kedaulatan negara pantai - e-Journal UIN Alauddin Makassar

advertisement
KEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA)
TERHADAP KONSERVASI KELAUTAN DALAM
WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA)
INDONESIA
Erlina
Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar
Abstrak
Dasar laut dan tanah di bawah daerah laut teritorial sudah
termasuk kedaulatan negara pantai, karena laut di wilayah
teritorial merupakan bagian integral dari wilayahnya. Konsep
kedaulatan teritorial berarti bahwa di daerah teritorial ini
yurisdiksi dijalankan oleh negara itu atas orang-orang dan harta
benda, yang ada di wilayah tersebut. Sebagai bagian integral
dan bagian dari yurisdiksi negara Indonesia, terhadap wilayah
laut teritorial itu Pemerintah Indonesia memiliki kedaulatan
untuk memanfaatkan dan memaksimalkan sumber daya alam
di lautan, termasuk melakukan konservasi. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 yang menetapkan wilayah teritorial laut
sepanjang 12 mil, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki
kedaulatan penuh atas lautan yang sangat luas. Luasnya
wilayah laut teritorial yang di dalamnya terkandung sumber
daya alam hayati dan non hayati ini merupakan potensi yang
sangat besar untuk dikelola dan dimanfaatkan dalam rangka
mewujudkan tujuan negara yakni memajukan kesejahteraan
umum.
Kata Kunci:
Laut Teritorial, Landas Kontinen, Zona Ekonomi Eksklusif, Laut
Lepas, Pemanfaatan Laut
A. Pendahuluan
alam Pasal 25 A UUD 1945 disebutkan bahwa “Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah
dan batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”.
D
Vol. 2 / No. 2 / Desember 2013 - 215
Erlina
Dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia juga
disebutkan bahwa, “Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan”. Negara
Indonesia terbentuk dari konfigurasi pulau-pulau yang berjumlah sekitar 17.508,
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 5,8 juta km, memiliki
ekosistem laut yang sangat strategis dan dapat dikelola untuk menjadi andalan
pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam kemaritiman. 1 Dengan
garis pantai sepanjang itu, berarti Indonesia memiliki wilayah teritorial yang sangat
luas. Keluasan wilayah teritorial laut ini merupakan potensi yang sangat besar, yang
di dalamnya mengandung sumber daya alam di lautan yang dapat dimanfaatkan
untuk menopang salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana diamanatkan
alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni memajukan kesejahteraan umum.
Potensi sumber daya alam Indonesia tidak hanya terdapat di daratan, tetapi
juga di lautan. Pendayagunaan perairan laut dan kawasan pantai secara maksimal
dan bijaksana akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap ketahanan
nasional, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun pertahanan serta
keamanan nasional (poleksosbudkam).
Disebutkan bahwa dasar laut dan tanah di bawah daerah laut teritorial sudah
termasuk kedaulatan negara pantai, karena laut di wilayah teritorial merupakan
bagian integral dari wilayahnya. 2 Konsep kedaulatan teritorial berarti bahwa di
daerah teritorial ini yurisdiksi dijalankan oleh negara itu atas orang-orang dan harta
benda,3 yang ada di wilayah tersebut. Sebagai bagian integral dan bagian dari
yurisdiksi negara Indonesia, terhadap wilayah laut teritorial itu Pemerintah
Indonesia memiliki kedaulatan untuk memanfaatkan dan memaksimalkan sumber
daya alam di lautan, termasuk melakukan konservasi. meskipun Indonesia memiliki
kedaulatan teritorial laut, namun juga berbatasan dengan negara-negara tetangga
atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan wilayah teritorial laut Indonesia.
Hal ini berarti bahwa dalam memanfaatkan sumber daya laut di wilayah
teritorial Indonesia untuk menopang tujuan negara tersebut di atas, Pemerintah
Indonesia juga harus menghormati atau memberikan hak kepada negara-negara lain
untuk menggunakan wilayah teritorial Indonesia seperti untuk lalu lintas damai
(innocent passage). Menurut Bierly, Istilah “perairan teritorial” mengandung arti
bahwa perairan itu sepenuhnya sebagian dari wilayah suatu negara, sebagaimana
halnya dengan wilayah daratannya. Negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah
teritorial, dan satu-satunya pembatasan bagi kedaulatannya ialah adanya satu hak
bagi kapal negara lain untuk “lalu lintas damai” di tengah perairan tersebut. Istilah
lalu lintas damai (innocent passage) dengan tepat menunjukkan sifat hak itu dan
1
Mohammad Askin, Aspek Yuridis Pengelolaan Sumber Daya Kemaritiman dan Lingkungan Hidup,
Tulisan pada Buku Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga
University Press, Surabaya, 2008, hlm. 320.
2
Mochtar Kusumaatmadja, Pengambilan Kekayaan Alam di Dasar Laut dan Tanah di Bawahnya (seabed
and subsoil) dan Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, tt., hlm. 8.
3
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1989, hlm. 143.
216 -
Vol. 2 / No. 2 / Desember 2013
Kedaulatan Negara Pantai (Indonesia) ...
pembatasan. Pertama, ia adalah hak untuk “melalui” wilayah perairan negara lain,
yaitu suatu hak untuk mempergunakan perairan itu sebagai satu jalan lewat yang
menghubungkan dua tempat yang terletak di luar perairan tersebut. Kedua, lewatnya
itu haruslah secara damai atau tidak membahayakan, artinya sebuah kapal yang
mempergunakan hak itu harus menghormati peraturan setempat mengenai
pelayaran, penggunaan pandu dan sebagainya. Sudah tentu dia tidak boleh
melakukan suatu tindakan yang mungkin mengganggu ketentraman di negara
pantai itu. Karena itu negara pantai harus mempunyai wewenang untuk
menjalankan sebagian dari kekuasaannya atas kapal-kapal yang lewat.4
B. Rumusan Masalah
a. Apakah dasar kedaulatan Pemerintah Indonesia terhadap wilayah teritorial laut?
b. Hak-hak dan kewajiban apa saja yang dimiliki Pemerintah Indonesia terhadap
wilayah teritorial laut?
c. Apakah yang menjadi dasar kewenangan Pemerintah Indonesia untuk mengelola
dan memanfaatkan sumber daya laut di wilayah teritorial?
C. Pembahasan
a. Batas Wilayah Laut Teritorial
Negara pantai seperti halnya Indonesia dikelilingi oleh laut, yang secara umum
terdiri dari laut territorial, landas kontinen, zona ekonomi eksklusif, dan laut lepas.
Secara garis besar beberapa jenis laut ini akan dipaparkan sebagai berikut:
1) Laut Territorial
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut batas territorial yang disepakati adalah 12
mil laut dari garis dasar ke arah laut lepas. Jika ada dua negara atau lebih menguasai
suatu lautan, sedangkan lebar lautan itu kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial
di tarik sama jauh dari garis masing-masing negara tersebut. Laut yang terletak
antara garis dengan garis batas teritorial di sebut laut teritorial. Laut yang terletak di
sebelah dalam garis dasar disebut laut internal. Garis dasar adalah garis yang
menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung pulau. Suatu negara mempunyai hak
kedaulatan penuh atas laut teritorial, dan mempunyai kewajiban menyediakan alur
pelayaran lintas damai baik di atas maupun di bawah permukaan laut. Bagi
Indonesia, ada pengumuman pemerintah tentang wilayah laut teritorial yang
dikeluarkan tanggal 13 Desember 1957. Hal ini dikenal dengan Deklarasi Djuanda
yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang No.4 Prp. 1960. Setelah ada
United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS) 1982, Indonesia
meratifikasi Konvensi tersebut dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut).
4
J.L. Bierly, Hukum Bangsa-Bangsa, Bhratara, Jakarta, 1996, hlm. 153.
Vol. 2 / No. 2 / Desember 2013 - 217
Erlina
2) Landas Kontinen
Landas kontinen adalah dasar laut yang secara geologis maupun morfologi
merupakan lanjutan dari sebuah kontinen (benua). Kedalaman lautnya kurang dari
150 meter. Indonesia terletak pada dua buah landasan kontinen, yaitu landasan
kontinen Asia dan landasan kontinen Australia. Batas landas kontinen diukur dari
garis dasar, yaitu paling jauh 200 mil laut. Jika ada dua negara atau lebih menguasai
lautan di atas landasan kontinen, maka batas negara tersebut ditarik sama jauh dari
garis dasar masing-masing negara.
3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona ekonomi eksklusif adalah jalur laut selebar 200 mil laut ke arah laut
terbuka diukur dari garis dasar. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini kebebasan
pelayaran dan pemasangan kabel serta pipa di bawah permukaan laut tetap diakui
sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Laut Internasional, batas landas kontinen, dan
batas zona ekonomi eksklusif antara dua negara yang bertetangga saling tumpang
tindih, maka ditetapkan garis-garis yang menghubungkan titik yang sama jauhnya
dari garis dasar kedua negara itu sebagai batasnya. Berdasarkan Konvensi Hukum
Laut bahwa masing-masing negara pantai memiliki hak pada zona ekonomi ekslusif
sebagai berikut:
a. Hak berdaulat (souvereign rights) untuk mengadakan eksplorasi dan eksploitasi,
konservasi dan pengurusan sumber kekayaan alam hayati atau non-hayati dari
perairan, dasar laut dan tanah bawah;
b. Hak berdaulat (souvereign rights) atas kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
seperti produksi energi dari air dan angin;
c. Yurisdiksi untuk pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi dan
bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pembinaan dari lingkungan
maritim.5
4) Laut Lepas
Laut lepas adalah laut yang tidak termasuk ke dalam wilayah laut teritorial,
zona ekonomi eksklusif, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan landas
kontinen. Laut lepas terbuka bagi semua negara, baik negara yang berpantai
maupun yang tidak berpantai, dan kebebasan di laut lepas ini antara lain adalah (a)
kebebasan berlayar; (b) kebebasan untuk terbang di atasnya; (c) kebebasan untuk
meletakkan kabel dan pipa bawah laut; (d) kebebasan untuk membangun pulaupulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya; (e) kebebasan menangkap ikan; dan (f)
kebebasan untuk melaksanakan riset ilmiah. 6
Berkenaan dengan wilayah laut teritorial, di dalam Pasal 2 ayat (1) United
Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS) disebutkan; “The sovereignty of a
5
Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, Jambatan, Jakarta, 1989., hlm. 45-46.
Albert W. Koers, Het Verdrag van de Verenigde Naties Inzake het Recht van de Zee, een Samenvating,
Edisi Indonesia, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, diterjemahkan oleh Rudi M. Rizki
dan Wahyuni Bahar, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hlm. 12.
6
218 -
Vol. 2 / No. 2 / Desember 2013
Kedaulatan Negara Pantai (Indonesia) ...
coastal state extends, beyond its land territory and internal waters and, in the case of an
archipelagis state, its archipelagic waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial
sea”, yang menunjukkan secara jelas bahwa kedaulatan negara pantai itu meliputi
laut teritorial dan ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya.
Mengenai luas perairan teritorial itu telah dipandang sebagai satu kaidah
hukum kebiasaan yang ditetapkan bahwa, dengan mengecualikan teluk-teluk dan
pulau-pulau di dekat pantai yang mendapat perlakuan khusus, yang menjadi garis
dasar (baseline) adalah garis air pada waktu pasang surut (lowwatermark) dengan
mengikuti liku-liku pantai.7 jauhnya garis luar yang membatasi perairan teritorial itu
semenjak dulu dipandang sebagai didasarkan atas jauhnya laut dapat dikuasai oleh
peluru meriam yang ditembakkan dari pantai. Asas ini diletakkan oleh Bynkershoek
dalam bukunya “De Domino Maris” (1702); imperium terrae finitur ubio finitur
armorum potestas. Dulu pada umumnya diterima tiga mil laut, atau lebih kurang 5564
meter, sudah lebar, karena jarak yang dicapai oleh peluru meriam pada masa itu
kurang dari tiga mil.8 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam awal masa sejarah
hukum laut ada beberapa ukuran yang dipergunakan orang untuk menetapkan lebar
laut teritorial sebagai jalur yang berada di bawah kedaulatan negara pantai. Di
antaranya yang terpenting adalah (1) ukuran tembakan meriam; (2) ukuran
pandangan mata; dan (3) ukuran “marine league”.9
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Konferensi Hukum Laut 1958 dan
1960 tidak berhasil menyelesaikan batas teritorial, Konferensi Hukum Laut 1982
menetapkan 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Lebar laut teritorial 12 mil ini
mengakibatkan beberapa selat yang menurut hukum laut klasik termasuk ke dalam
pengaturan laut lepas, kini tunduk pada pengaturan laut teritorial; kebebasan
berlayar yang dahulu dinikmati di laut lepas kini tidak diperoleh lagi di selat-selat
tersebut.10
Perolehan, Kehilangan, dan Yurisdiksi Kedaulatan Teritorial
J.G. Starke menyatakan bahwa ada beberapa cara perolehan kedaulatan
teritorial yakni; a) Aneksasi (annexation) yakni suatu metode memperoleh kedaulatan
teritorial yang digunakan dalam dua perangkat keadaan; pertama, di mana wilayah
yang dianeksasi itu telah ditaklukkan oleh negara yang menganeksasi; kedua, di
mana negara yang dianeksasi itu benar-benar berada dalam posisi lebih rendah
daripada negara penganeksasi pada waktu pengumuman maksud negara
penganekasasi; b) Akresi (accretion). Hak dengan akresi terjadi bila suatu negara baru
ditambahkan, khususnya melalui sebab-sebab alamiah, yang mungkin oleh kegiatan
sungai atau yang lain (misalnya pasir yang ditiup angin), ke wilayah yang telah
7
J.L. Bierly, op. cit., hlm. 140.
Ibid., hlm. 144. Lihat juga R.R. Churchill and A.V. Lowe, op. cit., hlm. 71-73.
9
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 20-21.
10
Albert W. Koers, op. cit., hlm. 6.
8
Vol. 2 / No. 2 / Desember 2013 - 219
Erlina
berada di bawah kedaulatan negara yang memperoleh itu. Tidak diperlukan
tindakan atau pernyataan resmi untuk memperoleh hak; c) Sesi (cession). Sesi
(penyerahan) merupakan suatu metode yang penting untuk memperoleh kedaulatan
teritorial. Metode ini bersandar pada prinsip bahwa hak mengalihkan teritorialnya
adalah sifat fundamental dari kedaulatan suatu negara; d) Preskripsi (prescription).
Hak dengan preskripsi (yaitu preskripsi akuisitif) adalah hasil pelaksanaan
kedaulatan de facto secara damai untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah
yang tunduk pada kedaulatan negara yang satu lagi. 11
Berkenaan dengan yurisdiksi dalam penegakan hukum atas wilayah teritorial
dikenal adanya dua asas yaitu asas teritorial subyektif dan asas teritorial obyektif.
Dalam asas teritorial subyektif negara-negara menjalankan yurisdiksi agar dapat
menuntut dan menghukum kejahatan-kejahatan yang dimulai dalam wilayah
mereka, tetapi diselesaikan di wilayah negara lain. Asas ini didasarkan pada Genewa
Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency (1929) dan Genewa
Convention for the Suppression of the Illicit Drug Traffic (1936). Sedangkan pada
asas teritorial obyektif, beberapa negara melaksanakan yurisdiksi teritorial terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang dimulai di negara lain.12
b. Hak dan Kewajiban Pemerintah Indonesia di Wilayah Laut Teritorial Indonesia
Berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara,
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu unsur negara yang
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan
dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di
atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi United Nations
Convention on the Law of Sea (UNCLOS). Hal ini berarti ketentuan tentang batas
laut teritorial Indonesia mengikuti Hukum Internasional, yakni 12 mil. Ketentuan
tentang laut teritorial Indonesia diatur lebih lanjut dalam Pasal 3, 4,5, dan 6 UU No. 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, rejim
laut teritorial merupakan dasar kedaulatan Pemerintah Indonesia terhadap wilayah
teritorial laut. Atas dasar kedaulatan itu, hak-hak Pemerintah Indonesia melakukan
eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan
non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatankegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis di wilayah teritorial
tersebut. Negara Indonesia, sebagai negara pantai, juga berhak membuat aturan
hukum untuk wilayah teritorial dan menegakkannya; the rights of the coastal state to
make laws its territarial sea and to enforce them.13 Negara pantai diakui mempunyai
wewenang untuk mengadakan peraturan-peraturan di laut wilayahnya untuk
11
J.G. Starke, op. cit., hlm. 150-152.
Ibid., hlm. 186-187.
13
R.R. Churchill and A.V. Lowe, op. cit., hlm. 92.
12
220 -
Vol. 2 / No. 2 / Desember 2013
Kedaulatan Negara Pantai (Indonesia) ...
melindungi kepentingan keamanan dan ketertiban serta kepentingan fiskalnya.
Wewenang untuk mengadakan peraturan-peraturan demikian bersumber kepada
kedaulatan yang dimiliki oleh negara pantai dalam laut wilayahnya. Selain membuat
peraturan-peraturan, kedaulatan negara mempunyai akibat lain dalam bidang
hukum yakni wewenang untuk melakukan penuntutan atas pelanggaranpelanggaran ketentuan-ketentuan perundang-undangan umum negara pantai baik
di bidang pidana maupun perdata.14
Adapun kewajiban negara pantai, dalam hal ini Indonesia, adalah sebagaimana
disebutkan dalam Penjelasan Umum UU No 17 Tahun 1985 yang antara lain
disebutkan; “Negara Kepulauan berkewajiban pula menghormati hak-hak
tradisional penangkapan ikan dan kegiatan lain yang sah dari negara-negara
tetangga yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian
tertentu perairan kepulauan yang dahulunya merupakan Laut Lepas. Hak-hak
tradisional dan kegiatan lain yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau
dibagi dengan negara ketiga atau warganegaranya”.
Kewajiban negara pantai untuk memberikan hak kepada negara-negara lain
atau pihak yang berkepentingan untuk menggunakan hak lintas damai. Konvensi
Hukum Laut 1982 mengakui hak lintas damai untuk kapal dari semua negara
melalui laut teritorial suatu negara. Arti dari melintasi ditentukan sebagai berlayar
melalui laut teritorial dengan atau tanpa maksud memasuki perairan pedalaman
atau membuang sauh atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman kecuali
alasan force majeur.15
c. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Laut Teritorial Indonesia
Kedaulatan Pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan dan mengelola sumber
daya alam di laut teritorial Indonesia bersumber dari Konvensi Hukum Laut 1982.
Dari kedaulatan tersebut, lahir kewenangan Pemerintah untuk memanfaatkan dan
mengelola sumber daya alam di laut teritorial, yang secara yuridis formal terdapat
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Atas dasar kedaulatan berdasarkan Konvensi dan kewenangan yang bersumber
dari UUD 1945 tersebut, muncul berbagai peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di laut teritorial
seperti UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UU No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
dan lainnya.
Sesuai dengan konsepsi Indonesia yang menganut asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, kewenangan Pemerintah Indonesia dalam penge14
15
Mochtar Kusumaatmadja, op. cit., hlm. 66.
Chairul Anwar, op. cit., hlm. 25.
Vol. 2 / No. 2 / Desember 2013 - 221
Erlina
lolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di laut teritorial untuk selanjutnya
diberikan sebagian kepada daerah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 UU No.
32 Tahun 2004. Namun pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengelola
sumber daya alam di laut teritorial tersebut belum terlaksana dengan baik sehingga
upaya mewujudkan tujuan negara sebagaimana disebutkan alinea keempat
Pembukaan UUD 1945, yakni memajukan kesejahteraan umum, masih jauh dari
kenyataan.
D. Penutup
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 yang menetapkan wilayah teritorial
laut sepanjang 12 mil, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kedaulatan
penuh atas lautan yang sangat luas. Luasnya wilayah laut teritorial yang di
dalamnya terkandung sumber daya alam hayati dan non hayati ini merupakan
potensi yang sangat besar untuk dikelola dan dimanfaatkan dalam rangka
mewujudkan tujuan negara yakni memajukan kesejahteraan umum. Pemerintah
Indonesia telah membuat berbagai perangkat hukum untuk pengelolaan dan
pemanfaatan potensi sumber daya alam di lautan tersebut. Hanya saja, karena
kelemahan pada sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan serta teknologi, baik
di tingkat Pemerintah Pusat apalagi tingkat Pemerintah Daerah, potensi sumber
daya alam di laut teritorial tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan baik, yang
pada gilirannya juga belum mampu memajukan kesejahteraan umum.
Daftar Pustaka
Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, edisi
Belanda, Het Verdrag van de Verenigde Naties Inzake het Recht van de Zee, een
Samenvating, diterjemahkan oleh Rudi M. Rizki dan Wahyuni Bahar, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 1994
Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, Jambatan, Jakarta, 1989.
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1989.
J.L. Bierly, Hukum Bangsa-Bangsa, Bhratara, Jakarta, 1996.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengambilan Kekayaan Alam di Dasar Laut dan Tanah di
Bawahnya dan Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, tt.
____________________, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1986.
R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, Third Editon, Juris Publishing,
Manchester University, U.K., 1999.
Siti Sundari Rangkuti, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum
Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya,
222 -
Vol. 2 / No. 2 / Desember 2013
Download