II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Daya Saing

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Daya Saing
Perkembangan konsep daya saing yang disampaikan oleh Cho dan Moon
(2000) dimulai dari pandangan Merkantilisme yang memandang perdagangan
sebagai suatu zero-sum game, di mana surplus perdagangan sebuah negara
diimbangi dengan defisit perdagangan negara lain. Namun Smith (2003)
memandang perdagangan sebagai positive-sum game di mana semua mitra yang
berdagang dapat memperoleh manfaat jika negara-negara melakukan spesialisasi
dalam memproduksi barang-barang di mana mereka memiliki keunggulan absolut.
Ricardo memperluas teori keunggulan absolut menjadi teori keunggulan
komparatif.
Smith (2003), percaya operasi hukum alam, atau invisible hand, dan oleh
karenanya mendukung individualisme dan perdagangan bebas. Smith berpendapat
bahwa setiap orang lebih memahami kebutuhan dan keinginannya sendiri. Jika
setiap orang diizinkan mencari kesejahteraannya sendiri, maka dalam jangka
panjang ia akan memberikan kontribusi paling besar bagi kebaikan bersama.
Hukum alam, dan bukannya peraturan pemerintah, akan berperan mencegah
penyalahgunaan kebebasan ini. Secara khusus, keunggulan dari hukum alam ini di
mata Smith berasal dari pembagian kerja (division of labor).
Selanjutnya Smith (2003) memperluas gagasan mengenai pembagian kerja
menjadi gagasan mengenai pembagian kerja internasional. Spesialisasi, kerja
sama, dan pertukaran kontribusi pada kemajuan perekonomian dunia, dan
karenanya membuka jalan menuju kemajuan di masa depan.
16
Perdagangan internasional oleh karenanya merupakan positive game bagi
Adam Smith. Mengkritik merkantilisme, Smith (2003) menunjukkan bagaimana
segala bentuk campur tangan pemerintah, seperti memberikan monopoli,
mensubsidi ekspor, melarang impor, dan mengatur upah, dapat menghambat
pertumbuhan
alamiah
aktivitas
ekonomi.
Sebaliknya,
Smith
(2003)
mengungkapkan keunggulan spesialisasi berdasarkan wilayah dan negara. Diawali
dengan penalaran seperti ini, Adam Smith menunjukkan bagaimana setiap negara
dapat jauh lebih baik secara ekonomis dengan berkonsentrasi pada apa yang dapat
dilakukannya dengan paling baik daripada mengikuti doktrin merkantilis berupa
kecukupan diri nasional (national self-sufficiency).
Persaingan sangat penting dalam masyarakat yang diusulkan Adam Smith.
Persaingan memastikan bahwa setiap orang dan negara akan melakukan apa yang
paling sesuai mereka lakukan, dan hal ini memastikan bahwa masing-masing
mendapatkan penghargaan penuh atas jasa-jasa mereka dan kontribusi maksimal
mereka bagi kebaikan bersama. Oleh karena itu, peran pemerintah, atau penguasa,
seharusnya minimal.
Kebijakan perekonomian pemerintah yang paling penting adalah
menghilangkan monopoli dan melindungi persaingan. Meskipun demikian, posisi
Smith terhadap regulasi pemerintah tidaklah mutlak. Sebagaimana ditunjukkan
dalam tugas ketiga pemerintah, Smith (2003) menyatakan bahwa proyek-proyek
yang diperlukan yang terlalu besar untuk lembaga swasta akan dilaksanakan oleh
kewenangan publik.
Perdebatan tentang konsep keunggulan komparatif diawali ketika Smith
(2003) menerbitkan bukunya, yang dilanjutkan oleh banyak ekonom yang
17
memberikan kontribusi pada teori ini (Krugman dan Obstfeld, 2006). Di
antaranya, kontribusi Ricardo pada teori perdagangan internasional sedemikian
penting sehingga teori klasik ini kadang-kadang dikatakan sebagai teori Ricardian.
Terdapat suatu persoalan dengan teori keunggulan absolut. Menurut Smith,
sebuah negara yang superior seperti ini mungkin tidak memperoleh manfaat dari
perdagangan internasional. Aturan ini dikenal sebagai teori keunggulan
komparatif. Implikasi penting dari teori ini adalah bahwa sekalipun sebuah negara
tidak memiliki suatu keunggulan absolut dalam barang apapun, negara ini dan
juga negara-negara lainnya masih akan mendapatkan manfaat dari perdagangan
internasional.
Krugman dan Obstfeld (2006), berpendapat bahwa impor dapat
menguntungkan bagi sebuah negara walaupun negara itu mampu memproduksi
produk yang diimpor dengan biaya yang lebih rendah. Oleh karena itu, tidak benar
adanya, sebagaimana yang diyakini oleh Adam Smith bahwa di dalam
perdagangan bebas masing-masing komoditas akan diproduksi oleh negara yang
memproduksinya dengan biaya riil yang paling rendah. Hal ini merupakan prinsip
keunggulan komparatif yang melandasi keunggulan pembagian tenaga kerja, baik
antar-individu,
antar-wilayah,
maupun
antar-negara.
Model
perdagangan
internasional Ricardian dengan demikian merupakan suatu alat yang sangat
bermanfaat untuk menjelaskan alasan-alasan mengapa perdagangan dapat terjadi
dan bagaimana perdagangan meningkatkan kesejahteraan para mitra yang
berdagang.
Krugman dan Obstfeld (2006), juga menjelaskan bahwa keunggulan
komparatif muncul dari perbedaan dalam produktivitas tenaga kerja, tetapi tidak
18
menjelaskan secara memuaskan mengapa produktivitas tenaga kerja berbeda
antar-negara. Pada awal abad kedua puluh, sebuah teori penting yang baru
mengenai
perdagangan
internasional,
model
Heckscher-Ohlin
(HO),
dikembangkan oleh dua orang ekonom Swedia yakni Hecksher dan Ohlin.
Keduanya berpendapat bahwa keunggulan komparatif muncul dari perbedaan
dalam factor endowments. Menurut model HO tersebut, terdapat dua ciri-ciri
dasar dari negara dan produk. Negara berbeda satu sama lain menurut faktor
produksi yang dimilikinya. Barang berbeda satu sama lain menurut faktor yang
diperlukan dalam produksinya.
Model HO mengatakan bahwa suatu negara akan memiliki keunggulan
komparatif dalam barang yang diproduksinya relatif intensif dalam hal faktor
yang dimilikinya, dan oleh karena itu akan mengekspornya. Logikanya adalah
bahwa semakin berlebihannya suatu faktor, semakin rendah biayanya. Oleh
karena itu, perbedaan dalam factor endowments dari berbagai negara dapat
menjelaskan perbedaan dalam biaya faktor, yang mengakibatkan keunggulan
komparatif yang berbeda.
Studi empiris yang terkenal dari model HO dilakukan oleh Leontief
(1953). Leontief yang semula berekspektasi bahwa Amerika Serikat, negara yang
surplus modalnya paling besar di dunia, seharusnya mengekspor barang-barang
padat modal dan mengimpor barang-barang padat karya, tetapi ternyata
menemukan bahwa barang impor AS yang bersaing memerlukan modal yang 30
persen lebih besar.
Banyak barang manufaktur yang melalui suatu siklus produk yang terdiri
dari introduksi, pertumbuhan, kedewasaan dan penurunan. Jadi, keunggulan
19
komparatif dari barang ini berubah dari waktu ke waktu dan dari satu negara ke
negara lain. Hipotesis siklus produk berawal dengan asumsi bahwa rangsangan
pada inovasi biasanya dipicu oleh ancaman atau peluang di pasar. Dengan kata
lain, perusahaan cenderung dirangsang oleh kebutuhan dan kesempatan yang ada
di pasar yang terdekat, yaitu home market. Home market memainkan peran ganda
dalam hipotesis ini. Home market tidak hanya berperan sebagai sumber
rangsangan untuk perusahaan inovasi, tetapi juga lokasi yang lebih disukai untuk
melaksanakan produksi (Cho and Moon, 2000).
Berbeda dengan model keunggulan komparatif yang cenderung outside-in
approach yang menempatkan pasar, kompetisi, dan konsumen sebagai titik awal
proses penyusunan strategi. Konsep yang disusun oleh Prahalad dan Hamel (1994)
lebih cenderung inside-out. The core competence model yang disusun oleh
Prahalad dan Hamel (1994) menyatakan bahwa daya saing dalam jangka panjang
diturunkan dari kemampuan untuk membangun core competence, yaitu lower cost
dan more speedily dari pesaing. The core competence bisa menghasilkan produk
baru yang tidak diantisipasi sebelumnya.
Sumber utama untuk membangun competence adalah kemampuan
manajemen
untuk
mengkonsolidasikan
corporate-wide
technologies
dan
production skills menjadi kompetensi. Hamel dan Prahalad (1994) menganjurkan
perusahaan agar strategi bersaing dibangun di seputar core of shared
competencies.
Core competence yang dimaksud Hamel dan Prahalad harus memenuhi
tiga persyaratan dassar yaitu: (1) menyediakan potensial akses ke pasar yang
bervariasi luas, (2) membuat kontribusi nyata untuk membuat product benefit
20
seperti yang diharapkan konsumen, (3) core competence semestinya sulit ditiru
oleh pesaing.
Untuk membangun core competence diperlukan perbaikan proses yang
berkelanjutan, yang menjadi komitmen seluruh level manajemen termasuk
manajemen puncak.
Daya saing menggambarkan kemampuan bersaing di masa lalu, masa kini
dan bisa diproyeksikan ke masa depan. Daya saing bersifat dinamis dan akan
mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu tergantung pada tingkat kompetisi,
perubahan perilaku permintaan dan kemampuan dasar industri di negara
bersangkutan.
Penjelasan para ahli ekonomi mengenai daya saing global berkaitan
dengan teori keunggulan komparatif dan faktor harga banyak terinspirirasi oleh
pandangan Ricardo dan Heckscher-Ohlin.
Ricardo berfokus pada satu faktor
produksi dan tingkat teknologi yang berbeda-beda, sementara Hecksher dan Ohlin
berfokus pada input tenaga kerja dan kapital serta menilai keunggulan komparatif
berdasarkan perbedaan factor-faktor endowment dan faktor harga relatif.
(Dornbusch et al.,1998).
Dalam teori perdagangan modern dikatakan bahwa di dalam perdagangan
dengan tingkat kompetisi yang tidak sempurna, maka keunggulan komparatif
tetap memegang peranan penting untuk menjelaskan pola perdagangan yang
terjadi, namun skala ekonomi dan motivasi strategis juga berperan penting
(Helpman dan Krugman,1985 dalam Adams et al., 2004).
Menurut Adams et al. (2004), keunggulan komparatif tidak selalu
berhubungan erat dengan diskusi mengenai daya saing dikarenakan beberapa hal:
21
Pertama, karena keunggulan komparatif merupakan konsep mikroekonomi yang
berfokus pada perdagangan industri spesifik, yang mampu menjelaskan mengapa
sebuah negara melakukan ekspor atas produk-produk padat karya, sementara
negara lain melakukan spesialisasi hanya untuk produk yang padat modal. Setiap
negara mempunyai keunggulan komparatif dalam hal memperoduksi produkproduk tertentu, yaitu bila negara tersebut mempunyai tingkat biaya produksi yang
lebih rendah dibandingkan negara pesaingnya. Oleh karena itu keunggulan
komparatif tidak terlalu berperan nyata dalam perspektif makroekonomi.
Kedua, keunggulan komparatif adalah konsep ekuilibrium,
yang
memprediksi pola perdagangan di saat harga, aliran perdagangan dan nilai tukar
berada pada posisi ekuilibrium. Sementara itu, keputusan bisnis secara eksplisit
seringkali harus mempertimbangkan juga tingkat pertumbuhan jangka pendek
selain hasil ekuilibrium jangka panjang. Seperti misalnya, kondisi perekonomian
yang terjadi saat ini, fluktuasi nilai tukar mata uang asing, dan beberapa faktor
lain yang mewakili deviasi dari kondisi ekuilibrum jangka panjang.
Akhirnya, keunggulan komparatif tidak menempatkan secara khusus
semua alternatif teknologi yang mungkin dilakukan oleh produsen. Pada tingkat
mikroekonomi, jika berbicara mengenai produk spesifik, maka teori tidak akan
selalu dapat menjelaskan negara mana yang mempunyai campuran sumberdaya
dan faktor harga yang paling baik untuk berbagai tipe produk yang diproduksi.
Tergantung dari infrastruktur dan teknologi serta rendahnya angka relatif jumlah
tenaga kerja terhadap kapital, yang akan berimplikasi terhadap tingginya
produktivitas dan nilai upah buruh. Bagi produk-produk padat karya, upah yang
tinggi tidak selalu berkorelasi positif terhadap keunggulan komparatif, jika
22
tersedia teknologi alternatif yang menggunakan sedikit tenaga kerja dan lebih
banyak kapital. Sebagai contoh, beberapa produk yang diproduksi secara manual
di China dapat diproduksi dengan mesin di Amerika.
Daya saing global pada dasarnya berhubungan dengan biaya, sehingga
yang memenangkan kompetisi adalah negara yang mampu memasarkan produk
dengan harga paling rendah atau kualitas terbaik. Biaya berhubungan dengan
harga faktor-faktor input (seperti nilai tukar, upah domestik, biaya material),
produktivitas, kemampuan untuk memproduksi barang berkualitas, biaya
transportasi, biaya komunikasi, kendala perdagangan, strategi perdagangan dan
kemampuan untuk memenuhi spesifikasi pasar (Adams et al., 2004).
Pada kenyataannya penggunaan terminologi daya saing sangatlah luas.
Seringkali para pendukung daya saing menekankan pada tingkat pertumbuhan
produktifitas yang berkelanjutan, terutama dalam hal memproduksi produkproduk yang memenuhi kebutuhan pasar global dan mampu menggiring ke tingkat
hidup yang lebih baik (Porter, 1990 dalam Competitiveness Policy Council,
1992).
Menurut Reinhardt (2005), pembuat kebijakan industri di seluruh dunia
semakin sering menggunakan teknologi dan klasifikasi pasar untuk menilai daya
saing manufaktur. Sektor industri manufaktur yang intensif teknologi mempunyai
pertumbuhan dan prospek dagang lebih baik, menawarkan kesempatan belajar,
dan seringkali menghasilkan eksternalitas bagi perekonomian. Selain itu sektor
manufaktur yang intensif teknologi juga menghasilkan nilai tambah lebih tinggi
dan memberikan hambatan masuk lebih tinggi bagi pendatang baru.
23
Menurut Krugman dan Obstfeld (2006), hal paling mendasar dari
perekonomian global adalah banyaknya manfaat dari perdagangan antar negara.
Jika ada dua atau lebih negara yang saling menjual dan membeli barang dan jasa,
maka pertukaran ini akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat.
Manfaat perdagangan internasional sesungguhnya lebih luas dari apa yang
disadari masyarakat umum. Hanya saja, selama ini telah berkembang pendapat
yang salah bahwa perdagangan internasional akan sulit dilakukan diantara negaranegara yang mempunyai perbedaan jauh, baik dalam hal tingkat produktivitas
maupun tingkat kesejahteraan masyarakat.
Negara dengan tingkat perkembangan teknologi yang rendah bisa jadi
merasa bahwa melakukan hubungan dagang dengan negara yang lebih maju akan
mendatangkan kehancuran karena ketidakmampuan bersaing. Negara dengan
teknologi dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi akan merasa bahwa
melakukan hubungan dagang dengan negara yang kurang maju dapat menurunkan
standar kehidupan mereka. Ada juga kekuatiran bahwa negara maju akan dibanjiri
oleh produk dari negara berkembang dengan kualitas produk rendah.
Sekalipun sebuah negara akan mendapatkan manfaat positif dari
perdagangan internasional, namun bisa jadi hal ini akan memberi dampak tidak
menguntungkan bagi beberapa kelompok masyarakat dalam satu negara, karena
perdagangan internasional akan memberikan pengaruh yang besar dalam hal
distribusi pendapatan.
Ohmae (1995) dalam Hanani (2000), mengatakan dampak liberalisasi
perdagangan tidak hanya berpengaruh terhadap produksi, namun juga bisa terjadi
pada perubahan konsumsi. Pada banyak negara, termasuk Indonesia, liberalisasi
24
perdagangan telah mempengaruhi pola konsumsi masyarakat termasuk dalam
menyikapi produk impor.
Berbagai perdebatan yang kontradiktif tentang perdagangan menghasilkan
beberapa teori perdagangan internasional seperti diungkapkan oleh Krugman dan
Obstfeld (2006), yang menyatakan bahwa :
1.
Perdagangan internasional akan berpengaruh negatif bagi pemilik
sumberdaya yang bersifat spesifik dalam industri tertentu yang harus
bersaing dengan barang atau jasa impor, karena tidak dapat menemukan
tenaga kerja alternatif dari industri lain.
2.
Perdagangan internasional juga akan mengubah distribusi pendapatan pada
beberapa kelompok besar, seperti kelompok pekerja dan pemilik modal.
Keikutsertaan pada perdagangan internasional bisa dipandang dari dua
alasan, yaitu: (1) masing-masing negara yang berdagang mempunyai perbedaan,
dan (2) perdagangan merupakan sarana untuk mencapai skala ekonomi produksi.
Jika suatu negara hanya memproduksi beberapa jenis produk tertentu, maka
keterlibatannya dalam perdagangan internasional membuat negara ini mempunyai
kesempatan untuk memproduksi jenis produk yang terbatas tadi dalam skala yang
lebih besar, sehingga akan lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut
harus memproduksi sendiri semua produk kebutuhan dalam negerinya. Melalui
perdagangan internasional juga bisa tergambar bagaimana hubungan dan rivalitas
antar negara khususnya dalam perekonomian dunia, yang antara lain digambarkan
dalam peta persaingan.
Menurut Cho dan Moon (2000), retorika daya saing – pandangan bahwa,
berdasarkan istilah Presiden Clinton, masing-masing negara seperti sebuah
25
perusahaan besar yang bersaing dalam pasar global – telah sedemikian privatif.
Menurut Krugman dan Obstfeld (2006), daya saing menghadirkan tiga bahaya.
Pertama, hal ini dapat mengakibatkan penyia-nyiaan uang untuk meningkatkan
daya saing AS. Kedua, hal ini dapat mengarah pada proteksionisme dan perang
dagang. Akhirnya, hal ini dapat mengakibatkan kebijakan publik yang buruk.
Krugman memberikan peringatan bahwa suatu obsesi dengan daya saing
merupakan hal yang berbahaya dan menyarankan membuang produktivitas dalam
hal ini.
Pada kenyataannya, meskipun demikian, mencoba untuk mendefinisikan
daya saing sebuah negara ternyata jauh lebih problematik dibandingkan
mendefinisikan daya saing sebuah perusahaan. Ukuran kinerja untuk sebuah
perusahaan secara harfiah adalah labanya: jika sebuah perusahaan tidak mampu
membayar para pekerja, para pemasok, dan para pemegang obligasinya, maka
perusahaan akan keluar dari bisnis. Jadi, pada saat kita mengatakan bahwa sebuah
perusahaan tidak kompetitif, yang kita maksud adalah bahwa posisi pasarnya tidak
dapat dipertahankan untuk jangka waktu lama, kecuali perusahaan tersebut
memperbaiki kinerjanya, perusahaan tersebut akan berhenti. Negara, di sisi lain,
tidak mungkin keluar dari bisnis.
Seseorang mungkin mengumpamakan secara naif bahwa ukuran kinerja
dari sebuah perekonomian nasional sekadar neraca perdagangan saja, bahwa daya
saing dapat diukur dengan kemampuan sebuah negara untuk menjual produk ke
luar negeri yang jumlahnya lebih banyak daripada jumlah produk yang dibelinya.
Tetapi dalam teori maupun praktik suatu surplus perdagangan mungkin
26
merupakan suatu tanda kelemahan nasional, suatu defisit mungkin merupakan
suatu tanda kekuatan.
Negara-negara tidak saling bersaing seperti halnya perusahaan saling
bersaing. Pada persaingan antar perusahaan, keberhasilan perusahaan yang
menang bersaing akan berakibat kekalahan pada perusahaan satunya. Tetapi
dalam persaingan antar negara, keberhasilan negara yang satu menjual produk ke
negara lain juga memberi manfaat bagi negara yang mengimpor khususnya dalam
menghasilkan consumer surplus. Negara pengimpor bisa mendapatkan produk
berkualitas dengan harga lebih murah.
Menurut Cho dan Moon (2000), para pendukung daya saing tidak pernah
menyangkal pentingnya kinerja perekonomian domestik. Terlebih-lebih, secara
nyata semua resep daya saing menekankan tingkat tabungan dan investasi
domestik, pendidikan, biaya modal, penelitian dan pengembangan. Perdagangan
pada umumnya diperlakukan sebagai isu sekunder – lebih sebagai gejala daripada
penyebab daya saing.
Krugman (2006), tidak menjelaskan perlambatan dalam pertumbuhan
produktivitas AS, tetapi ia menunjukkan bahwa faktor-faktor domestik merupakan
penyebab intinya. Meskipun demikian, perlambatan tersebut datang tepat pada
saat impor AS sedang membubung tinggi dan seluruh industri seperti produk
elektronik konsumsi disapu habis oleh para pesaing luar negeri yang mengejar
taktik merkantilis.
Menurut Cho dan Moon (2000), negara mencoba untuk meningkatkan
standar kehidupan setiap warganya. Standar hidup yang lebih tinggi tergantung
pada peningkatan produktivitas, dan dalam banyak perekonomian tingkat
27
pertumbuhan produktivitas pada prinsipnya ditentukan oleh ukuran investasi
domestik dalam pabrik dan perlengkapan, penelitian dan pengembangan,
keterampilan dan infrastruktur publik, kualitas manajemen swasta dan
administrasi publik.
Cho and Moon (2000), menyebutkan bahwa kesalahan konsep dari daya
saing internasional didasarkan pada gagasan bahwa daya saing internasional
tergantung pada pasokan tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam yang banyak
dengan harga yang murah. Teori ilmu ekonomi ini secara keliru menghubungkan
daya saing internasional sebuah negara dengan penganugerahan faktornya. Ada
negara-negara yang memiliki banyak sumberdaya tetapi tingkat perekonomiannya
lemah. Dalam suatu dunia di mana bahan baku, modal, dan bahkan tenaga kerja
bergerak di seluruh batas wilayah nasional, kepemilikan sumberdaya yang
dianugerahkan saja tidak menentukan daya saing internasional.
Menurut Rooyen et al. (2002), daya saing ekonomi komparatif sebuah
negara sangat dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan sumberdaya khususnya
tanah, tenaga kerja dan modal.
Sementara pendekatan daya saing kompetitif
kesempatan bisnis, kebijakan yang berlaku dan distorsi harga perbedaan kualitas
produk dan kemampuan memasarkan. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan
skala ekonomi, economy of scope dan posisi di pasar
Selanjutnya Uchida dan Cook (2004), menyatakan bahwa daya saing
berkaitan erat dengan teknologi yang menghasilkan peningkatan produktivitas dan
perbaikan
kualitas
produk.
Peningkatan
spesialisasi
memungkinkankan dilakukannya pengembangan kapasitas.
teknologi
juga
28
2.1.1. Konsep Daya Saing Diamond Porter
Untuk menyelidiki mengapa negara memperoleh keunggulan kompetitif
dalam industri tertentu dan implikasinya bagi strategi perusahaan dan
perekonomian nasional, Porter (1990) melaksanakan suatu studi selama empat
tahun terhadap sepuluh negara utama dalam perdagangan. Porter mendefinisikan
industri sebuah negara sebagai sukses secara internasional jika memiliki
keunggulan kompetitif relatif terhadap para pesaing terbaik di seluruh dunia.
Sebagai indikator, ia memilih keberadaan ekspor yang besar dan bertahan lama
dan/atau investasi asing di luar wilayah yang signifikan berdasarkan pada
keterampilan dan aktiva yang diciptakan di negara asal. Porter menyimpulkan
bahwa beberapa negara berhasil dalam industri tertentu karena lingkungan asalnya
bersifat forward-looking, dinamis, dan menantang. Secara spesifik, beberapa
penentunya adalah kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan industri
pendukung, strategi perusahaan dan struktur persaingan.
Dalam persaingan global yang semakin meningkat, negara menjadi
semakin penting. Bersamaan dengan beralihnya basis persaingan menuju
penciptaan dan asimilasi pengetahuan, peran negara telah berkembang.
Keunggulan kompetitif diciptakan dan dipertahankan melalui proses yang sangat
terlokalisir. Perbedaan dalam hal nilai-nilai, kebudayaan, struktur perekonomian,
lembaga, dan sejarah nasional semuanya memberikan kontribusi terhadap
keberhasilan kompetitif.
Terdapat perbedaan yang bertarung dalam pola daya saing dalam setiap
negara; tidak ada negara yang dapat atau akan bersifat kompetitif dalam setiap
atau bahkan dalam sebagian besar industri. Beberapa negara berhasil dalam
29
industri tertentu karena lingkungan asalnya bersifat paling berpandangan ke
depan, dinamis dan menantang.
Satu-satunya cara untuk mempertahankan
keunggulan kompetitif adalah dengan memperbaharuinya, untuk terus bergerak
atau beralih ke tipe-tipe yang lebih canggih.
Terdapat empat atribut seperti terdapat pada Gambar 1, yang secara
individual dan sebagai suatu sistem menyatakan diamond dari keunggulan
nasional, antara lain: kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan
industri pendukung, serta strategi perusahaan (Porter, 1990).
1.
Kondisi Faktor
Menurut teori ekonomi yang standar, faktor-faktor produksi -seperti tenaga
kerja, tanah, sumberdaya alam, modal, dan infrastruktur- akan menentukan alur
perdagangan. Suatu negara akan mengekspor barang yang memanfaatkan faktorfaktor yang berlimpah. Doktrin ini, yang berawal dari teori Adam Smith dan
David Ricardo menyatu dengan mazhab ekonomi klasik, ternyata dalam
prakteknya tidak lengkap dan tidak benar.
Pada industri canggih yang menjadi tulang punggung ekonomi maju, suatu
negara menciptakan faktor produksi yang paling penting, seperti sumberdaya
manusia yang terlatih atau yang terdidik. Lebih jauh lagi, ketersediaan faktorfaktor yang dinikmati suatu negara pada kurun waktu tertentu tidaklah sepenting
tingkat efsiensi yang diciptakanya untuk industri tertentu.
Faktor produksi terpenting adalah yang melibatkan investasi yang tinggi
dan terspesialisasi. Faktor-faktor standar, seperti tenaga kerja dan sumberdaya
alam bukan merupakan suatu keunggulan dalam industri padat pengetahuan.
30
Perusahaan dapat dengan mudah mendapatkannya melalui strategi global atau
melalui kemajuan teknologi.
Strategi perusahaan,
struktur, dan persaingan
Kondisi faktor
Kondisi permintaan
Industri terkait dan
industri pendukung
Gambar 1. Beberapa Penentu Daya Saing Nasional
Sumber: Diadaptasi dari Porter (1990)
Kondisi sebaliknya bahwa ketidakberuntungan pada faktor-faktor standar
tersebut dapat medorong perusahaan untuk terus berinovasi dan berkembang,
sesuatu yang tidak menguntungkan pada model kompetisi statis dan dapat menjadi
sesuatu yang menguntungkan pada model dinamis. Disaat ada kelebihan pasokan
bahan mentah yang murah atau kelebihan tenaga kerja, perusahaan dapat dengan
mudah mengandalkan faktor-faktor ini atau bahkan menggunakannya secara tidak
efisien. Tetapi ketika perusahaan menghadapi adanya faktor selektif yang tidak
menguntungkan, seperti biaya tanah yang tinggi, kekurangan tenaga kerja, atau
kekurangan bahan mentah; maka mereka harus berinovasi dan terus berkembang
untuk dapat memenangkan persaingan.
Kondisi lain yang mampu mengubah ketidakunggulan menjadi keunggulan
adalah kondsi lingkungan di sekitar berlian tadi. Untuk berinovasi perusahaan
harus mempunyai akses ke sumberdaya manusia yang berketerampilan dan
31
mempunyai kondisi permintaan lokal yang mengirim sinyal secara benar. Mereka
juga harus mempunyai ‘musuh’ domestik yang aktif, yang mampu menciptakan
tekanan untuk berinovasi. Prakondisi lain adalah tujuan perusahaan yang
mengarah kepada komitmen berkelanjutan pada sektor industri tertentu. Tanpa
adanya komitmen dan pesaing aktif, maka perusahaan cenderung mengabaikan
faktor yang tidak menguntungkan itu daripada memanfaatkannya untk melakukan
inovasi.
2.
Kondisi Permintaan
Kelihatannya globalisasi akan menghilangkan fungsi penting dari
permintaan lokal. Pada prakteknya hal seperti ini bukanlah inti permasalahan.
Kenyataannya, komposisi dan karakter pasar lokal seringkali menimbulkan
pengaruh yang tidak tepat pada cara pandang dan respon perusahaan terhadap
kebutuhan pembeli. Negara bisa memperoleh keunggulan kompetitif pada satu
industri jika permintaan lokal mampu memberikan gambaran yang jelas bagi
perusahaan mengenai kebutuhan konsumen. Tuntutan konsumen domestik akan
memerikan tekanan bagi perusahaan untuk segera melakukan inovasi dan
mendapatkan keunggulan kompetitif yang lebih canggih daripada pesaing asing.
Kondisi permintaan lokal membantu tercapainya keunggulan kompetitif
bila segmen industri tertentu lebih besar atau lebih layak di pasar lokal daripada di
pasar asing. Para pembeli lokal dapat membantu perusahaan dari sebuah negara
untuk memperoleh keunggulan jika kebutuhan mereka mengantisipasi atau
bahkan membentuk kebutuhan negara lain, atau jika kebutuhan mereka
memberikan “indikator peringatan awal” yang terus-menerus dari kecenderungan
32
pasar global. Kebutuhan yang sudah diantisipasi mengemuka karena nilai-nilai
politik sebuah negara menutup kebutuhan yang akan tumbuh di tempat lain.
Yang lebih penting dari gabungan beberapa segmen adalah sifat alamiah
konsumen lokal. Perusahaan nasional akan memperoleh keunggulan kompetitif
jika konsumen lokal adalah juga konsumen dunia yang paling canggih dan paling
banyak tuntutannya terhadap barang dan jasa yang ditawarkan. Konsumen yang
menuntut dan canggih merupakan jendela menuju kebutuhan konsumen yang
maju karena akan menekan perusahaan untuk menghasilkan produk dengan
standar tinggi dan mendorong perusahaan untuk terus melakukan perbaikan dan
inovasi. Seperti juga halnya dengan kondisi faktor, maka kondisi permintaan
menghasilkan keunggulan dengan memaksa perusahaan untuk merespon
tantangan-tantangan yang berat.
3.
Industri Terkait dan Industri Pendukung
Hal ketiga yang menentukan keunggulan nasional adalah adanya industri
terkait dan industri pendukung yang bersaing secara internasional. Pemasok lokal
yang bersaing secara internasional akan menciptakan keunggulan pada industri
hilir dengan banyak cara. Mereka menyediakan input yang efektif dan hemat
biaya secara efisien, cepat, dan sedini mungkin, atau bahkan dengan cara yang
lebih disukai, dan selanjutnya mereka akan akan menyediakan keunggulan
bersaing melalui inovasi dan perbaikan secara terus menerus yang dihasilkan dari
hasil hubungan kerja yang erat antara industri hulu dan hilir.
Daya saing lokal pada industri terkait juga memberikan manfaat berupa
derasnya arus informasi dan pertukaran teknologi yang mempercepat tingkat
inovasi dan perbaikan. Industri terkait lokal juga meningkatkan kecenderungan
33
suatu perusahaan mengutamakan keterampilan baru, yang merupakan pintu masuk
untuk membawa perusahaan mampu berkompetisi di pasar internasional.
4.
Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan
Daya saing di industri tertentu dihasilkan dari konvergensi parktek
manajemen dan organisasi yang ada di negara tertentu dipadu dengan sumber
keunggulan bersaing di industri bersangkutan. Motivasi individu untuk berkerja
dan mengembangkan keterampilan juga penting dalam penciptaan keunggulan
bersaing. Bakat yang luar biasa merupakan sumberdaya yang sulit ditemui.
Kesuksesan bersaing suatu negara akan sangat tergantung pada jenis
pendidikan yang dipilih oleh para tenaga kerja berbakat, termasuk pekerjaan yang
mereka pilih, serta komitmen dan usaha mereka. Tujuan dan nilai-nilai individu
serta perusahaan yang ditentukan oleh lembaga negara, serta kebanggaan yang
melekat pada industri tertentu akan menggiring aliran modal dan tenaga kerja
yang akan berpengaruh langsung kepada kinerja daya saing suatu negara. Negara
cenderung menjadi kompetitif dalam kegiatan-kegiatan yang dikagumi dan
menjadi tumpuan masyarakatnya, yaitu kegiatan yang mampu menciptakan
pahlawan negara.
5.
Keunggulan Bersaing antar Negara
Banyak perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari adanya kompetisi
tingkat dunia karena tekanan tersebut sekaligus juga merupakan tantangan.
Mereka bisa memanfaatkan adanya persaingan domestik yang begitu ketat,
pemasok lokal yang agresif, dan konsumen lokal yang begitu banyak tuntutannya.
Pada kondisi semakin meningkatnya persaingan global, maka peran negara
menjadi semain penting. Dengan makin beralihnya basis persaingan ke arah
34
kretivitas dan asimilasi pengetahuan, maka peran negara makin bertumbuh.
Keunggulan bersaing akan tercipta dan menjadi mapan melalui suatu proses
lokalisasi tingkat tinggi. Perbedaan nilai antar negara, perbedaan budaya, struktur
ekonomi, institusi, dan sejarah bangsa, semuanya mempengaruhi tingkat
kesuksesan daya saing negara. Ada beberapa perbedaan menyolok pada pola daya
saing antar negara. Tidak ada satupun negara yang dapat unggul di semua atau di
sebagian besar sektor industri. Oleh karena itu, suatu negara dapat unggul pada
sektor industri tertentu karena lingkungan negaranya sangat menunjang, dinamis,
dan penuh tantangan.
Dalam debat yang berkelanjutan tentang daya saing negara, topik yang
paling kontroversial dan menimbulkan silang pendapat tentang peran pemerintah.
Banyak orang yang melihat pemerintah sebagai penolong utama atau pendukung
industri, memberlakukan kebijakan untuk memberikan kontribusi secara langsung
pada kinerja kompetitif dari industri strategik atau target.
Pakar yang lain
menerima pandangan “pasar bebas” bahwa operasi perekonomian seharusnya
dibiarkan menjadi pekerjaan dari invisible hand.
Kedua pandangan tersebut yang dilaksanakan secara ekstrim tidaklah
benar. Keduanya, diikuti pada hasil logisnya, akan mengarah pada erosi permanen
dari kemampuan kompetitif sebuah negara. Di satu sisi, nasihat bantuan
pemerintah untuk industri seringkali mengusulkan kebijakan yang pada
kenyataannya akan melukai perusahaan dalam jangka panjang dan hanya
menciptakan permintaan untuk mendapatkan bantuan yang lebih besar. Di sisi
lain, berkurangnya nasihat dari suatu pemerintah mengabaikan peran bahwa
pemerintah perlu membentuk konteks dan struktur kelembagaan yang melingkupi
35
perusahaan dan dalam menciptakan suatu lingkungan yang merangsang
perusahaan untuk memperoleh keunggulan kompetitif.
Peran yang tepat bagi pemerintah adalah sebagai suatu katalis dan
menantang; dengan maksud untuk memperkuat – atau bahkan mendorong –
perusahaan untuk meningkatkan aspirasi mereka dan bergerak menuju tingkat
kinerja kompetitif yang lebih tinggi, walaupun proses ini mungkin tidak
menyenangkan dan sulit. Pemerintah tidak dapat menciptakan industri yang
kompetitif, karena hanya perusahaan yang dapat melakukan hal itu. Pemerintah
memainkan suatu peran yang memang parsial, yang berhasil hanya saat bekerja
bersamaan dengan kondisi yang mendukung dalam diamond tersebut. Meskipun
demikian, peran pemerintah untuk mentransmisikan dan memperkuat kekuatan
diamond adalah suatu peran yang kuat.
Kebijakan pemerintah yang berhasil adalah suatu peran yang kuat.
Kebijakan pemerintah yang berhasil adalah yang menciptakan suatu lingkungan di
mana perusahaan dapat memperoleh keunggulan kompetitif, kecuali dalam negara
yang berada dalam awal proses pembangunan. Peran ini adalah suatu peran yang
tidak langsung, dan bukan peran yang langsung. Seringkali diperlukan lebih dari
satu dekade bagi sebuah industri untuk menciptakan keunggulan kompetitif, dan
proses
tersebut
memerlukan
peningkatan
keterampilan
manusia
secara
berkelanjutan, penginvestasian dalam produk dan proses, dan penetrasi pasar
asing.
Satu-satunya
konsep
daya
saing
pada
tingkat
nasional
adalah
produktivitas. Tujuan pokok dari sebuah negara adalah menghasilkan suatu
standar kehidupan yang tinggi dan meningkat bagi para warganya. Kemampuan
36
untuk melakukannya tergantung pada produktivitas di mana tenaga kerja dan
modal suatu negara digunakan. Produktivitas adalah nilai output yang diproduksi
oleh suatu unit tenaga kerja atau modal. Produktivitas tergantung baik pada
kualitas dan penampilan produk (yang menentukan harga yang dapat mereka
minta) maupun pada efisiensi di mana produk dihasilkan. Produktivitas adalah
penentu utama dari standar hidup negara yang berjangka panjang. Produktivitas
adalah akar penyebab pendapatan per kapita nasional. Produktivitas sumberdaya
manusia menentukan upah karyawan, produktivitas di mana modal digunakan
menentukan return yang diperolehnya untuk para pemegang sahamnya.
Pada studinya untuk menilai daya saing internasional Korea, Cho and
dalam Cho dan Moon (2000) menyimpulkan bahwa ada dua pertimbangan utama
yang harus diperhatikan. Pemerintah dan bisnis harus memperkenalkan modal dan
teknologi dari negara asing atau menciptakan sumberdaya dan faktor lain yang
mempengaruhi pertumbuhan perekonomian dari tahap awalnya. Mesin kunci dari
pertumbuhan perekonomian Korea adalah kelompok orang yang berlimpah dan
beragam dalam hal tingkat pendidikan, motivasi, dan dedikasi kerja yang tinggi.
Perbedaan antara model yang baru tersebut dengan model diamond Porter
banyak ditemukan dalam pembagian faktor sebagaimana dalam penambahan
faktor baru. Diamond mencakup sumberdaya alam maupun tenaga kerja dalam
kondisi faktor, tetapi model sembilan faktor menempatkan sumberdaya alam di
bawah sumberdaya yang dianugerahkan, sementara tenaga kerja tercakup di
dalam golongan pekerja. Suatu penyelidikan yang terinci mengenai sembilan
faktor daya saing internasional dibutuhkan.
37
Beberapa penulis telah memperkenalkan model pembangunan dalam
konteks tahap-tahap pembangunan yang berbeda. Rostow (1971) menampilkan
lima tahap yang terkenal, yaitu: masyarakat tradisional, pra kondisi untuk tinggal
landas, tinggal dorongan, arahan menuju kedewasaan, dan era konsumsi massa
tinggi. Porter (1990) menyatakan empat tahap pembangunan kompetitif nasional
yang berbeda, yaitu: factor-driven, investment-driven, innovation-driven, dan
wealth-driven.
2.1.2. Daya Saing Perusahaan, Industri dan Negara
McFetridge (1995) mengelompokkan pengertian daya saing dalam tiga
kategori yaitu: (1) daya saing pada level perusahaan, (2) daya saing pada level
industri, dan (3) daya saing pada level negara. Pada masing-masing level
digunakan ukuran daya saing berbeda. Indikator daya saing pada level perusahaan
diukur dari kemampuan menghasilkan keuntungan, efisiensi biaya, produktivitas
dan market share.
Penelitian yang dilakukan Asian Development Bank atau ADB (2003)
tentang Persaingan Internasional Ekonomi Asia mengidentifikasi adanya lima
faktor yang menentukan dalam persaingan internasional, seperti yang terlihat
pada Gambar 2.
Faktor–faktor tersebut mencakup faktor internal, yaitu: (1) teknologi, (2)
sumberdaya manusia, (3) struktur organisasi; dan faktor eksternal, yaitu: (4)
pemerintah, dan (5) peran modal dan keuangan. Secara bersama-sama kesemua
faktor ini dapat menentukan kemampuan perusahaan untuk sukses bersaing di
pasar internasional dalam menghadapi perubahan teknologi, ekonomi dan
lingkungan sosial.
38
Keuntungan ekspor dan kemampuan perusahaan untuk memelihara pangsa
pasarnya tetap menjadi indikator utama dari keberhasilan dalam persaingan
internasional.
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Teknologi dan
Informasi
Kebijakan
Pemerintah
Modal dan
Keuangan
Sumber Daya
Manusia
Struktur Organisasi
Interaksi berakibat pada persaingan
internasional
(Keuntungan Ekspor dan Pangsa Ekspor lebih tinggi)
Gambar 2. Model Gabungan Persaingan Internasional Perusahaan di Asia
Sumber: Diadaptasi dari McFetridge (1995)
Teknologi punya peranan penting dalam kompetisi saat ini. Terminologi
teknologi umumnya berkaitan dengan teknologi produk dan proses. Teknologi
produk menggambarkan sekumpulan pengetahuan atau pembaharuan untuk
mewujudkan sebuah produk, sedangkan teknologi proses diartikan sebagai
teknologi yang melekat pada proses produksi. Ada dua aspek teknologi sebagai
sumber
persaingan
perusahaan-perusahaan
di
Asia,
yaitu:
(1)
strategi
pembaharuan teknologi, dan (2) peran teknologi informasi dan komunikasi.
39
Pada negara-negara industri, lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi
jangka panjangnya berasal dari teknologi pembaharuan melalui peningkatan
produktivitas atau produk baru, proses atau industri. Peningkatan produktivitas di
salah satu institusi juga akan memberi dampak di intitusi lainnya (Grossman dan
Helpman, 1991). Negara-negara industri yang sudah mapan mengalokasikan
sumberdaya yang sangat besar pada bidang penelitian dan pengembangan untuk
memajukan kegiatan pembaharuan. Jepang, Amerika, dan Eropa Barat
mengalokasikan sekitar dua per tiga pengeluarannya untuk penelitian dan
pengembangan (Freeman dan Hagedoorn, 1994).
Daya saing bisnis pada industri tertentu ditunjukkan oleh tingkat
profitabilitas perusahaan-perusahaan yang menjadi bagian industri bersangkutan.
Dan untuk mencapai profitabilitas diperlukan adanya produktivitas. Produktivitas
dipengaruhi oleh adanya kompetensi sumberdaya manusia, aplikasi teknologi,
keunggulan komparatif bawaan, ketersediaan infrastruktur serta dukungan
kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah yang diperlukan
dalam industri minyak sawit antara lain kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan
produksi yaitu kebijakan pertanian dan industri, serta kebijakan perdagangan dan
ketenagakerjaan.
Menurut Sunaryanto (2006), jumlah industri menengah yang turun ke
industri kecil relatif lebih banyak daripada yang naik ke industri besar, kecuali
untuk ISIC 33 (kayu dan produk olahan). Industri menengah berbasis pertanian
atau orientasi pasarnya ekspor juga lebih dinamis. Keberadaan krisis lebih
menguntungkan bagi industri menengah ekspor.
40
Penelitian Sunaryanto (2006) menunjukkan faktor internal, kecuali
produktivitas tenaga kerja, berpengaruh positif terhadap kenaikan industri
menengah ke industri besar. Faktor eksternal, pajak dan bunga ternyata juga
berpengaruh oisitif terhadap dinamika industri menengah untuk naik menjadi
industri besar.
Menurut McFetridge (1995), pengukuran daya saing pada level industri
dilakukan melalui komparasi industri yang sama di satu negara dengan negara lain
yang sudah atau berpotensi melakukan hubungan dagang.
Dengan adanya
hubungan dagang tersebut, maka daya saing industri pada sektor tertentu dapat
diukur melalui indikator international market share.
Daya saing industri manufaktur sangat dipengaruhi oleh produktivitas
tenaga kerja yang tercermin dari kompetensinya. Dalam rangka meningkatkan
daya saing di sektor manufaktur, pelatihan bisa digunakan sebagai salah satu
instrumen (Padilla dan Judrez, 2007). Peningkatan inovasi organisasi dapat juga
digunakan sebagai cara meningkatkan daya saing (Bausang, 2003).
2.1.3. Ukuran-Ukuran Daya Saing
Menurut Imagawa (2003), Index of International Competitiveness (IIC)
yang telah diterapkan dalam berbagai analisa pada beberapa tahun terakhir ini
untuk mengukur daya saing mempunyai beberapa versi. IIC menunjukkan indeks
dari total ekspor dibagi dengan total perdagangan.
Vollrath (1991) dalam Imagawa (2003) telah merangkum 10 tipe IIC yang
berbeda, yang secara berurutan diberinya nama RCA1, RCA2, …dan RCA10.
Vollrath memulai dengan Index of Relative Export Performance, atau RCA1 yang
diperkenalkan oleh Liesner (1958) dalam Imagawa (2003) adalah:
41
RCA1 = X / X
ij
.......................................................................................
ik
(1)
dimana X adalah nilai ekspor, subscript i menunjukkan ekspor dari komoditi
tertentu, subscript j dan k secara berurutan menunjukkan negara sendiri dan
negara lain yang ditentukan (untuk selanjutnya subscript i menyatakan komoditi
dan subscript j menyatakan negara, kecuali jika ditetapkan berbeda).
IIC yang paling dikenal adalah Revealed Comparative Advantage atau
RCA2 yang diperkenalkan oleh Balassa (1965) dalam Imagawa (2003) yang
diturunkan dengan rumus:
RCA2 = (X / Σ X ) / (Σ X / Σ Σ X ) .......................................................
ij
i
ij
j
ij
i
j
ij
(2)
Subscript i menunjukkan ekspor komoditas manufaktur, dan subscript j
menunjukkan negara maju tertentu.
Teori RCA2 sama dengan teori Export Specialization Index (RCA3) yang
diperkenalkan Kanamori (1964) dalam Imagawa (2003) yakni sebagai berikut:
RCA3 = (X / Σ X ) / (Σ X / Σ Σ X ) .......................................................
ij
i
ij
j
ij
i
j
ij
(3)
Subscript i merupakan nilai ekspor komoditi tertentu.
Teori pengukuran relative ekspor-impor (RCA4) juga diperkenalkan oleh
Balassa (1965) dalam Imagawa (2003) adalah:
RCA4 = (X / Σ Σ X ) / (M / Σ Σ M ) ......................................................
ij
i
j
ij
ij
i
j
ij
(4)
dimana M menunjuk kepada angka nilai impor.
Trade-only Index of Comparative Advantage (RCA5) yang digunakan oleh
42
UNIDO (1982) dalam Imagawa (2003) merupakan indeks daya saing
internasional yang paling banyak digunakan, dengan rumus sebagai berikut.
RCA5 =(X - M ) / (X + M ) ..................................................................
ij
ij
ij
ij
(5)
Numerator menunjukkan nilai net ekspor dan denominator menunjukkan nilai
total perdagangan. Indeks ini sangat sederhana karena cukup dengan
membandingkan data perdagangan dari satu negara.
Trade-Only Index of Comparative Advantage (RCA6) yang diperkenalkan
Donges dan Riedel (1977) dalam Imagawa (2003) lebih komplikatif, adalah
sebagai berikut:
RCA6 = (((X - M ) / (X + M )) / ((Σ X - Σ M ) / ((Σ X + Σ M )) –
ij
ij
ij
ij
j
ij
j
ij
j
ij
j
ij
1)*
(sign (Σ X - Σ M )) ...................................................................
j
ij
j
ij
(6)
Jika (Σ X - Σ M ) bernilai positif (negatif), maka tanda plus (negatif) ditulis di
j
ij
j
ij
depan (Σ X - Σ M ).
j
ij
j
ij
Pengukuran RCA7 yang diperkenalkan oleh Bowen (1983) dalam
Imagawa (2003) adalah yang pertama kali menempatkan data output sebagai
faktor yang berperan penting, adalah:
RCA7 = (X - M ) / (Y / Σ Y )* Σ Q ....................................................
ij
ij
j
j
j
j
ij
(7)
Y menunjukkan nilai Gross National Product (GNP) dari negara
j
j dan Q
ij
menunjukkan angka produksi domestik atas komoditas i di Negara j. RCA7
43
bukanlah indeks yang hanya menghitung nilai perdagangan (trade only), sehingga
oleh karenanya dapat diabaikan dalam pembahasan selanjutnya.
Definisi RCA8 yang diperkenalkan Vollrath (1987) dalam Imagawa
(2003) merupakan yang pertama, yang memisahkan data perdagangan komoditi
tertentu atau negara tertentu dari perhitungan total pasar dunia. Dalam hal ini
RCA8 di hitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
RCA8 = RXA - RMA
ij
ij
.................................................................... (8)
dimana:
RXA = (X / Σ X ) / ( Σ X / Σ Σ X )
ij
ij
h
ij
k
ij
h
k
ij
RMA = (M / Σ M ) / ( Σ M / Σ Σ M )
ij
ij
h
ij
k
ij
h
k
ij
Subscript h merupakan total komoditas yang diperdagangkan dikurangi dengan
komoditas i, sedangkan subscript k menunjukkan nilai total dunia dikurangi
dengan negara j.
Sebagai varian dari RCA8 ada dua indeks lainnya yang dinyatakan dalam
format logaritmik, yaitu :
RCA9 = ln(RXA ) .................................................................................. (9)
ij
RCA10 = ln(RXA ) - ln(RMA ) ...........................................................
ij
ij
(10)
Keunggulan komparatif (comparatif advantage) tidak hanya bersumber
dari faktor alamiah saja, tetapi dapat juga diciptakan (Anggarwal dan Agmon,
1990). Selain itu, dinamika dari keberlimpahan dan pengelolaan sumberdaya,
mengakibatkan keunggulan komparatif tidak hanya bersifat statis melainkan
dinamis (Klein, 1971).
44
Pengamatan RCA dalam kurun waktu yang berbeda akan lebih bermakna
bila diperhatikan dari perubahannya (∆RCA), dimana untuk perubahan ini dapat
diberikan gambaran mengenai kemajuan pola industri, yakni: (1) jika ∆RCA = 0,
maka dapat dikatakan keunggulan komparatif industri di negara tersebut tidak
berubah, artinya komoditi-komoditi industri yang terindikasi sebelumnya
memiliki keunggulan kompartif, tetap memiliki keunggulan tersebut. Sementara
industri yang tidak memiliki keunggulan sebelumnya masih terindikasi tetap tidak
memiliki keunggulan komparatif saat ini, atau dikatakan bahwa pola spesialisasi
industri tidak berubah, (2) jika ∆RCA > 0, dapat diindikasikan sedang terjadi
kemajuan pola spesialisasi industri, dimana rentang antara industri yang memiliki
keunggulan komparatif dengan industri yang tidak memiliki keunggulan semakin
melebar, dan (3) jika ∆RCA < 0, terjadi kemunduran pada pola spesialisasi
industri yang ditunjukkan dengan menurunnya keunggulan komparatif.
2.2.
Keterkaitan Antar Sektor
Daya saing industri atau perusahaan di satu negara tertentu tidaklah berdiri
sendiri. Pada konsep daya saing Diamond Porter di sub bab sebelumnya, daya
saing punya keterkaitan dengan kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait
dan industri pendukung serta strategi perusahaan.
Aktivitas produktif dalam perekonomian memang tidak dapat berdiri
sendiri. Masing-masing proses produksi umumnya memerlukan input yang
disuplai dari dalam negeri maupun diperoleh secara langsung dari luar negeri.
Pada gilirannya, industri yang memproduksi input memerlukan pula input yang
berasal dari sektor lain untuk proses produksinya. Dengan menggunakan produk
antara dan barang modal, industri-industri menjadi saling berkaitan satu sama lain,
45
bahkan terjadi hubungan saling ketergantungan. Keterkaitan tersebut dapat berupa:
(1) Kaitan ke belakang (backward linkage), yang menunjukkan peranan suatu
sektor dalam menciptakan permintaan turunan, (2) Kaitan ke depan (forward
linkage), untuk melihat derajat pemencaran penggunaan hasil produksi suatu
sektor sebagai input bagi sektor lain.
Keterkaitan antar industri bisa mempengaruhi struktur industri dan
kemajuan perekonomian suatu negara. Aktivitas produksi di satu sektor bisa
mempengaruhi langsung dan tidak langsung pada sektor lain (Hayashi, 2005).
Penggunaan input antara yang berasal dari output sektor produksi lain dan
penggunaan input primer seperti tenaga kerja dan modal, membuat suatu sektor
produksi menjadi terintegrasi dengan sektor-sektor lainnya dalam suatu
perekonomian. Untuk melihat bagaimana integrasi perekonomian terjadi, dapat
digunakan model I-O, yang dapat merefleksikan hubungan atau keterkaitan
antarsektor (intersectoral).
Hubungan saling ketergantungan satu dengan lainnya, dimana output dari
suatu sektor produksi merupakan input bagi sektor produksi lainnya begitu pula
sebaliknya. Perubahan output suatu sektor produksi akan mempengaruhi pula
output dari sektor produksi yang lain. Hirschman (1958) dalam Jhingan (1993),
merinci keterkaitan antarsektor menjadi: (1) keterkaitan langsung ke belakang, (2)
keterkaitan langsung ke depan, (3) daya sebar ke depan dan (4) daya sebar ke
belakang. Berdasarkan hubungan keterkaitan ini, dapat ditentukan pengaruh suatu
perubahan dalam satu sektor terhadap semua sektor lain dalam perekonomian,
dengan demikian dapat pula disusun perencanaan yang sesuai.
46
Keterkaitan antar industri merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki
oleh growth pole dalam perkembangan ekonomi. Keterkaitan itu dapat berupa
forward linkages maupun backward linkages. Growth pole harusnya lebih
mengacu pada suatu sektor yang dapat menyebar dalam berbagai aktifitas sektor
produksi sehingga mampu menggerakkan ekonomi secara keseluruhan. Sektor
semacam ini
umumnya memiliki ciri-ciri, antara lain: (1) perkembangannya
relatif cepat, (2) industrinya relatif besar untuk memberikan dampak langsung dan
tidak langsung, (3) memiliki keterkaitan tinggi antar industri, dan (4) inovatif.
Dijelaskan oleh Chenery-Watanabe (1958) bahwa melalui penjumlahan
secara kolom matrik koefisien input A, akan diperoleh ukuran keterkaitan
kebelakang pada suatu sektor, dengan rumusnya sebagai berikut:
n
xij
i =1
xj
BL = ∑
c
j
n
= ∑ a ij
............................................................... ..(11)
i =1
dimana BL j c menunjukkan keterkaitan kebelakang dari sektor j dengan metode
Chenery-Watanabe, x ij adalah banyaknya input yang berasal dari sektor i yang
digunakan untuk memproduksi output sektor j, dan a ij adalah koefisien input dari
sektor j ke sektor i. Melalui cara yang sama, namun penjumlahan sekarang
dilakukan secara baris, ukuran keterkaitan kedepan dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
n
xij
j =1
xj
FLci = ∑
n
= ∑ bij
................................................................ .(12)
j =1
dimana FL i c merupakan keterkaitan kedepan dari sektor i, sedangkan b ij
menunjukkan koefisien output dari sektor i ke sektor j.
47
Oleh karena Chenery-Watanabe (1958) menggunakan koefisien input
(output) secara langsung, yang didapat dari satu kali iterasi perhitungan
keterkaitan antarsektor, maka ukuran yang diperoleh dengan metode ini sering
disebut sebagai keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan secara langsung,
yang mengabaikan dampak tidak langsung (indirect effect) antarsektor.
Agak berbeda dengan metode Chenery-Watanabe (1958), Rasmussen
(1956) mengajukan penjumlahan kolom (atau baris) pada matrik invers Leontif,
(I – A)-1, digunakan sebagai ukuran keterkaitan antarsektor. Sehingga keterkaitan
kebelakang dan keterkaitan kedepan menurut metode ini masing-masing diukur
dengan cara:
n
BLRj = ∑ g ij
.............................................................................. .(13)
i =1
n
FL = ∑ g ij
R
i
.............................................................................. .(14)
j =1
dimana BL j R dan FL i R masing-masing menunjukkan ukuran keterkaitan ke
belakang dan keterkaitan ke depan untuk metode Rasmussen, sedangkan g ij
adalah elemen pada matrik invers Leontif, G = (I – A)-1. Oleh karena model
Rasmussen menggunakan matrik invers Leontif, maka ukuran keterkaitan
antarsektor yang diperoleh bisa dikatakan merupakan ukuran keterkaitan secara
tidak langsung, yang menghitung dampak tidak langsung dari suatu sektor dalam
perekonomian.
Ukuran keterkaitan ke belakang, BL j R, pada model Rasmussen
merefleksikan pengaruh dari kenaikan permintaan akhir pada sektor j terhadap
output perekonomian secara keseluruhan, dengan kata lain ukuran ini menjelaskan
48
besarnya perubahan output perekonomian sebagai akibat terjadinya kenaikan
sebanyak satu unit pada permintaan akhir di sektor j. Keterkaitan kedepan, FL i R,
merefleksikan besarnya kenaikan output pada sektor j jika permintaan akhir pada
setiap sektor lainnya naik sebanyak satu unit. Hirschman (1958), mengatakan
bahwa indikator keterkaitan antarsektor yang disampaikan Rasmussen ini lebih
baik dipakai untuk mengidentifikasi sektor-sektor kunci dalam perekonomian.
Berdasarkan teori perencanaan dan pembangunan ekonomi, yang
dimaksud sektor kunci ialah sektor yang paling efektif untuk berperan sebagai
engine of development dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan yang
berkelanjutan, yang intinya mengacu pada kemampuan sektor tersebut untuk
mendorong dan menopang pertumbuhan seluruh sektor dalam perekonomian.
Oleh karena itu, layak tidaknya suatu sektor menjadi andalan perekonomian
semata-mata tidak hanya ditentukan berdasarkan besarnya kontribusi langsung
terhadap perekonomian tetapi juga harus memperhitungkan kontribusi tidak
langsungnya melalui keterkaitan antar-industri, artinya apakah industri tersebut
mempunyai peranan besar untuk mendorong atau menunjang kegiatan produksi
dari sektor-sektor yang lain.
Dalam model I-O antarnegara, keterkaitan antarsektor ini tidak hanya
dipandang dalam satu negara saja, namun yang lebih jauh lagi diamati pada
keterkaitan antar negara. Inilah salah satu kelebihan dari penggunaan model I-O
antarnegara dibandingkan model I-O tunggal suatu negara.
Model input-output antarnegara dapat digunakan untuk menelusuri sektorsektor kunci yang dapat diidentifikasi kedalam empat indikator dibawah ini,
antara lain:
49
1.
Suatu sektor dianggap sebagai sektor kunci apabila mempunyai kaitan
ke belakang (backward linkage) dan kaitan ke depan (forward linkage)
yang relatif tinggi.
2.
Suatu sektor dianggap sebagai sektor kunci apabila menghasilkan
output bruto yang relatif tinggi, sehingga mampu mempertahankan
final demand yang relatif tinggi pula .
3.
Suatu
sektor
dianggap
sebagai
sektor kunci apabila
mampu
menghasilkan penerimaan bersih devisa yang relatif tinggi.
4.
Suatu
sektor
dianggap
sebagai
sektor
kunci
apabila
mampu
menciptakan lapangan kerja yang relatif tinggi.
Pengembangan industri penunjang yang kompetitif untuk menjamin
perusahaan-perusahaan Indonesia yang merupakan bagian dari perdagangan,
keuangan dan jaringan teknologi internasional; dan meningkatkan kemampuan
teknologinya (Aswicahyono dan Pangestu, 2000).
2.3.
Kinerja Daya Saing
Menurut Besanko et al. (2004), kinerja daya saing dirumuskan sebagai
Economic Profitability. Keuntungan perusahaan dipengaruhi oleh economics of its
market and its success in creating more value than its competitors. Kemampuan
perusahaan menangkap nilai yang diharapkan konsumen dan menyajikannya akan
menjadi kunci sukses bisnis. Penciptaan nilai (value creation) akan menjadi modal
untuk membangun keunggulan bersaing (competitive advantage). Value creation
akan menghasilkan surplus konsumen.
Value-created yang merupakan perbedaan antara benefit dan cost, akan
menghasilkan nilai ekonomi. Bila produsen mengkombinasikan tenaga kerja,
50
modal, bahan baku, dan membeli komponen untuk membuat produk di mana
benefit-nya (B) melebihi cost (C), dan bila produk tersebut dibeli oleh konsumen,
maka nilai ekonomi telah tercipta. Benefit yang ada dalam produk (B)
merepresentasikan nilai yang diperoleh konsumen, sementara cost (C)
merepresentasikan nilai yang diberikan oleh input yang dikonversikan ke dalam
produk yang sudah jadi.
Value-created dibagikan kepada konsumen dan produsen. Surplus
konsumen (B–P) menunjukkan porsi value-created yang ‘diperoleh’ konsumen.
Penjual menerima harga P dan menggunakannya untuk membayar input, seperti
tenaga kerja, modal, dan material yang dibutuhkan untuk membuat sebuah
produk. Profit yang diterima produsen (P – C) menunjukkan porsi value-created
yang diperolehnya. Dengan menambahkan surplus konsumen dan profit produsen
maka diperoleh formula value-created sebagai berikut:
Value-created = Surplus Konsumen + Surplus Produsen
= (B – P) + (P – C)
= B – C ......................................................................... (15)
2.4.
Konsep Sumber Pertumbuhan
Peningkatan daya saing sektor industri tertentu perlu memperhatikan
sumber-sumber pertumbuhan di masa sebelumnya dan membandingkannya
dengan industri sejenis di negara atau tempat lain. Menurut Imagawa (2002)
terdapat 4 (empat) sumber pertumbuhan yang bisa diturunkan melalui analisis
dekomposisi perubahan struktural, yaitu:
1.
The expansion of domestic final demand yang menjelaskan dampak
langsung dan tidak langsung dari perluasan permintaan akhir domestik.
51
2.
Export expansion yang merupakan dampak langsung dan tidak langsung
dari perluasan perdagangan internasional ekspor.
3.
Import Substitution (IS) yang merupakan dampak langsung dan tidak
langsung akibat perubahan dalam proporsi perdagangan internasional
impor.
4.
Technological Change (TC) yang menunjukkan dampak langsung dan
tidak langsung dari perubahan koefisien input-output.
Dalam pembahasan berikut ini dijelaskan bagaimana caranya menurunkan
persamaan dekomposisi faktor-faktor pertumbuhan berdasarkan sistem I-O antar
negara. Pertama, yang akan disampaikan terlebih dahulu adalah persamaan
keseimbangan untuk sistem I-O antar negara yang digambarkan dengan
menggunakan persamaan matriks sebagai berikut:
 X L   A LL
 R  =  RL
X  A
A LR   X L   F LL + F LR   E L   M L 
 ..(16)
 +
+ −
A RR  X R  F RL + F RR  E R  M R 
Pada matriks ini, notasi L menunjukan negara L, sedangkan R untuk
negara R. Sementara XK , EK , dan MK masing-masing adalah matriks gross
output, perdagangan luar negeri ekspor, dan perdagangan luar negeri impor untuk
masing-masing negara K, dimana K sama dengan L dan R, sedangkan AKJ adalah
matrix koefisien input dari suatu negara apabila K = J, dan menjadi matrix
koefisien perdagangan antar negara jika K ≠ J.
Kedua, akan didefinisikan proporsi impor dari sebuah sektor produksi
dalam sebuah negara seperti di bawah ini.

 n
m iK = M Kj /  ∑ a ijKK X iK + FiKK  ...................................................... (17)

 j=1
52
dimana a ijKK adalah elemen matrix koefisien input ke-ij dari matrix AKK, X i K
adalah elemen ke-i dari vektor matrix ekspor XK, dan terakhir F i KK adalah elemen
ke-i dari vektor permintaan akhir (final demand) FKK. Seandainya persamaan (17)
kita transformasikan ke persamaan (16) akan diperoleh turunannya :
 X L  p L A LL
 R  =  RL
X   A
A LR   X L  p L F LL +
F LR   E L 
 +
 +   ........(18)
p L A RR  X R   F RL + p K F RR  E R 
dimana pK = I – mK adalah matriks diagonal proporsi suplai domestik dari sebuah
negara K (K = L, R).
Persamaan (18) merupakan suatu sistem yang simultan dari gross output
kedua negara L dan R, yang dapat diringkas dalam notasi umum matrix sebagai
berikut.
X = [ (p Aa + Ab ) X ] + (p Fa + Fb + E) ...............................................(19)
Penyelesaian persamaan (8) adalah :
X - [ (p Aa + Ab ) X ] = (p Fa + Fb + E)
[I - (p Aa + Ab ) ] X
= (p Fa + Fb + E)
X = [ I - (p Aa + Ab ) ]-1 (p Fa + Fb + E) .............................................(20)
atau,
X = B (p Fa + Fb + E).......................................................................... (21)
dimana B = [I-(pAa+Ab)]-1 merupakan matriks invers Leontief untuk sistem I-O
antar negara, sedangkan X, Aa, Ab, p, Fa , Fb dan E masing-masing adalah :
p L
E L 
XL 
X =  R,E= R,p=
0
E 
X 
A LL
0  b
Aa = 
,A
RR 
0
A


 F LL  b F LR 
0
 , F =  RR  , F =  RL 
pR 
F 
F 
 0 A LR 
=  RL
 .................................................... (22)
A
0


53
Ketiga, seluruh persamaan (22) jika diturunkan dalam bentuk deviasi akan
diperoleh persamaan perubahan gross output yaitu :
∆X = X t – X 0 = B t (p t Ft a + Ft b + E t ) – B 0 (p 0 F 0 a + F0 b + E 0 ) .............
(23)
Subskrip t menunjukkan tahun berjalan (terminal year), sedangkan subskrip 0
menunjukkan tahun awal (initial year). Notasi ∆ merupakan simbol dari
perubahan.
Selanjutnya jika kita defenisikan ∆Fa = Ft a - F 0 a , ∆Fb = F t b - F0 b , dan
∆E= E t - E 0 kemudian disubtitusikan ke dalam persamaan (12) maka diperoleh
persamaan :
∆X = B t [(p t ∆Fa+∆Fb)+∆E] + B t (p t – p 0 ) F0 a + (B t – B 0 )
(p 0 F 0 b + F0 b + E 0 ) ....................................................................
(24)
atau,
∆X = B t [ (p t ∆Fa + ∆Fb) + ∆E + ∆p (A0 a X o + F0 a ) +
(p t ∆Aa + ∆Ab) X 0 ] .......................................................................(25)
dimana ∆p = p t – p 0 , ∆Aa = At a – A0 a , ∆Ab = A t b – A0 b .
2.5.
Persaingan Global
Menurut Adams et al. (2004), kinerja ekspor dalam perekonomian China
pada dua dekade terakhir ini sangat fenomenal. Beberapa pengamat memberi
perhatian yang mendalam pada bertumbuhnya tingkat sentralisasi produk
manufaktur di Asia Timur, khususnya China. Isu ini akan berdampak pada
masalah tenaga kerja dan upah karyawan pabrikan di Amerika, Eropa, dan Jepang
ketika
produk-produk
ekspor
China
mulai
merambah.
Para
pengamat
54
mengkhawatirkan implikasi deflasi akibat murahnya harga produk impor dari
China yang beredar di negara-negara maju.
Beberapa tahun terakhir ini kinerja ekspor China sangat tinggi dengan
kenaikan sebesar 20-30 persen. Pada tahun 2002, ekspor China mencapai $326
triliun, atau sekitar 5 persen dari nilai ekspor dunia dengan tingkat pertumbuhan
sebesar 22.3 persen di tahun 2002. Pada Tabel 1 berikut terlihat jelas bahwa dari
tahun ke tahun ekspor China terus mengalami peningkatan, bahkan ketika negaranegara lain sedang mengalami penurunan ekspor.
Seperti terlihat pada Tabel 1, perdagangan internasional yang tercermin
dari nilai ekspor dunia mengalami pertumbuhan pesat sejak tahun 1970-an.
Perkembangan ekspor dunia banyak dinikmati oleh China, Hongkong, Korea
Selatan dan Negara-negara anggota ASEAN. Hanya saja mulai tahun 2000 ketika
ekspor China terus tumbuh, ternyata Korea Selatan dan negara-negara ASEAN
tidak menunjukkan kecenderungan yang sama. Gambaran lebih jelas terdapat dari
pertumbuhan ekspor pada Tabel 2.
Tabel 1. Perkembangan Ekspor Dunia Tahun 1970-2002
Country
(milyar US $)
2000
2002
1970
1980
1990
1995
World
298.4
1921.8
3377.6
5079.1
6387.5
6478
China
2.3
18.1
62.1
148.8
249.2
326
Hongkong
2.5
19.8
82.2
173.8
201.9
200.1
Korea Selatan
0.8
17.5
65
125.1
172.3
162.8
Malaysia
1.7
11.1
29.4
74.1
98.2
88
Thailand
1
5.7
8.1
17.5
39.8
32.7
Philipina
0.7
6.5
23.1
56.5
69.1
65.1
Indonesia
1.1
25.2
25.7
45.5
62.1
57.4
Sumber: International Financial Statistics dalam Adams et al., 2004
Tabel 2. Pertumbuhan Ekspor Tahun 1970-2002
(% per tahun)
55
Region
1970-1980 1980-1990 1990-1995 1995-2000 2000-2002
World
18.63
11.28
8.16
4.58
0.7
China
20.63
12.33
17.48
10.31
13.43
Hongkong
20.69
14.23
14.97
3.0
-0.45
Korea Selatan
30.85
13.12
13.09
6.40
-2.84
Malaysia
18.76
9.74
18.49
5.63
-5.48
Thailand
22.28
12.68
17.89
4.03
-2.98
Indonesia
31.32
0.20
11.42
6.22
-3.94
Sumber: International Financial Statistics dalam Adams et al., 2004
Perbedaan pertumbuhan ekspor pada negara-negara utama eksportir dunia
berakibat
terjadinya
pergeseran
kontribusi
negara
bersangkutan
perdagangan internasional seperti tercermin dari pangsa pasarnya.
dalam
Perubahan
pangsa pasar ekspor negara-negara utama dunia dari tahun 1970 ke tahun 2002
terdapat pada Tabel 3. Negara-negara yang selama ini menguasai pasar ekspor
dunia seperti Amerika Serikat dan Jepang terus mengalami penurunan pangsa
pasar ekspor sementara China terus meningkat.
Negara-negara ASEAN yang punya kontribusi besar dalam produksi dan
dalam ekspor dunia yaitu Malaysia, Thailand dan Indonesia kesemuanya
mengalami penurunan pangsa pasar pada tahun 2002 dibandingkan tahun 2000
dan 1995, dan perlu diantisipasi agar tidak berkelanjutan di masa selanjutnya.
Tabel 3. Pangsa Pasar Ekspor Dunia Tahun 1970–2002
1970
1980
1990
1995
2000
(%)
2002
China
0.77
0.94
1.84
2.93
3.90
5.03
Korea Selatan
0.27
0.91
1.92
2.46
2.70
2.51
Malaysia
0.57
0.58
0.87
1.46
1.54
1.36
Thailand
0.23
0.34
0.68
1.11
1.08
1.00
Indonesia
0.37
1.31
0.76
0.90
0.97
0.89
Jepang
6.47
6.79
8.51
8.72
7.50
6.44
14.31
11.74
11.65
11.51
12.23
10.71
Negara
Amerika Serikat
Sumber: International Financial Statistics dalam Adams et al., 2004
56
Tabel 4. Pertumbuhan Ekspor Per Jenis Produk di Negara-Negara China,
Indonesia dan Thailand Tahun1995-2001
Jenis Produk
4.2
Indonesia
-1.6
-3.0
-6.1%
-4.0
-20.4
3.6%
24.8
Bahan baku industry
5.6
7.1%
8.2
Hasil indus tri masal
6.9
1.8%
-3.0
15.0
12.4%
5.3
9.5
3.2%
2.8
Produk pangan dasar
Produk olahan hasil pertanian
Minyak
Produk kapital dan teknologi
tinggi
Total
China
(%)
Thailand
-0.7
Sumber: United Nations Comtrade dalam Adams et al., 2004
Untuk memberikan gambaran lebih mendalam pertumbuhan ekspor tiga
negara yang dijadikan obyek penelitian yaitu Indonesia, Thailand dan China; pada
Tabel 4 ditampilkan gambaran pertumbuhan ekspor per jenis produk pada tahun
1995-2001.
China telah menjadi negara eksportir dominan dan secara kontinyu beralih
ke sektor-sektor yang berteknologi tinggi. Perlu pula dicatat bahwa kategori
teknologi tinggi yang dijalankan China tidak hanya mencakup teknologi yang
canggih, tetapi juga teknologi yang lebih sederhana seperti aktivitas perakitan
yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk-produk berteknologi tinggi seperti
Personal Computer (PC) dan telepon, yang menjadi bagian penting dalam proses
produksi produk-produk ekspor China (Adams et al., 2004).
Pada produk olahan hasil penelitian yang menjadi obyek penelitian ini,
terlihat penurunan pangsa pasar dari Indonesia, China dan Thailand. Penurunan
paling besar dialami oleh ekspor produk olahan hasil pertanian Indonesia, diikuti
oleh Thailand dan China. Perbedaan perubahan pangsa pasar seperti ini memberi
57
sinyal indikasi terjadinya perubahan kemampuan bersaing dari negara Indonesia,
Thailand dan China dalam industri olehan pertanian.
2.6.
Instrumen Daya Saing
2.6.1. Instrumen Daya Saing pada Kebijakan Perdagangan
Krugman dan Obstfeld (2006) menyebutkan beberapa instrumen yang bisa
digunakan dalam merumuskan kebijakan peningkatan daya saing perdagangan,
antara lain:
1.
Tarif
Kebijakan perdagangan yang paling sederhana adalah tarif, yang
menyatakan besarnya pajak atas produk impor. Ada dua jenis tarif, yaitu:
(1) Specific Tariffs, berupa pajak dalam jumlah nominal tertentu atas setiap
unit produk yang diimpor, dan (2) Ad Valorem Tariff, berupa persentase
atas nilai yang diimpor.
Tarif merupakan kebijakan tertua dan digunakan sebagai sumber
pendapatan pemerintah, terutama sebelum ditentukan adanya pajak
pendapatan. Penerapan tarif juga berfungsi melindungi sektor domestik
terhadap persaingan dari produk-produk impor sejenis karena beban tarif
atas produk impor dapat menaikkan harga produk domestik sejenis.
2.
Subsidi Ekspor
Subsidi ekspor (export subsidies) adalah pembayaran yang
diberikan kepada perusahaan atau individu yang mengapalkan barang ke
luar negeri. Seperti halnya tarif, nilai subsidi ekspor dapat berupa jumlah
uang tertentu per unit produk (specific), atau dalam persentase terhadap
nilai yang diekspor (ad valorem). Jika pemerintah menawarkan subsidi
58
ekspor, maka pihak pengapal dapat terus mengekspor produk sampai satu
titik dimana harga produk di pasar domestik melebihi harga di luar negeri
sebesar nilai yang disubsidi.
3.
Kuota Impor
Pada era perdagangan moderen dewasa ini, peran tarif semakin
memudar karena pemerintah lebih condong untuk melindungi industri
domestik melalui berbagai hambatan non-tarif (nontariff barriers), antara
lain dengan penerapan kuota impor, yaitu membatasi jumlah yang diimpor
atas produk tertentu. Penerapan kuota impor biasanya dilakukan dengan
mengeluarkan lisensi kepada grup atau individu atau perusahaan tertentu.
Kuota impor berimplikasi pada meningkatnya harga produk impor
di pasar domestik. Jika impor dibatasi, maka ada satu titik di mana jumlah
permintaan akan lebih dari jumlah penawaran, baik yang berasal dari
produsen lokal maupun dari produk impor. Kondisi ini akan menaikkan
harga produk, sampai dengan posisi permintaan dan penawaran kembali
normal. Oleh karena itu, sama halnya dengan penerapan tarif, kuota impor
juga pada akhirnya akan meningkatkan harga produk domestik.
4.
Pembatasan Ekspor
Jenis hambatan nontarif lainnya disebut juga Voluntary Export
Restraint (VER) atau Voluntary Restraint Agreement (VRA). VER
merupakan
kuota
perdagangan
yang
dibebankan
kepada
negara
pengekspor, bukan kepada negara pengimpor. Dari sudut pandang
ekonomi, VER bagaikan kuota impor yang lisensinya diberikan kepada
pemerintah luar negeri, sehingga akan menimbulkan efek biaya tinggi.
59
5.
Persyaratan Kandungan Lokal
Persyaratan Kandungan Lokal atau Local Content Requirements
(LCR) adalah sebuah regulasi yang mengharuskan adanya sejumlah
tertentu kandungan produk lokal pada produk akhir yang akan
diperdagangkan. Jumlah ini dapat dinyatakan dalam bentuk persentase,
jumlah unit, maupun dalam terminologi ‘nilai’, misalnya berapa persen
dari harga produk mencerminkan nilai tambah dari produk lokal.
Local Content Requirements (LCR) umum digunakan oleh negara
berkembang untuk mengalihkan konsep manufakturnya dari sistem rakitan
ke produk antara (intermediate goods). Dari sisi produsen lokal, penerapan
LCR memberikan proteksi yang sama seperti halnya dengan penerapan
kuota impor. Namun dari sisi perusahaan yang harus membeli produk
lokal, LCR memberikan efek yang berbeda karena penggunaan kandungan
lokal tidak berarti membatasi jumlah impor.
6.
Subsidi Kredit Ekspor
Subsidi kredit ekspor (export credit subsidies) hampir sama dengan
subsidi ekspor, namun subsidi ini diberikan kepada pihak pembeli, bukan
kepada pengekspor. Pada beberapa negara telah ditunjuk institusi tertentu
yang memberikan subsidi kredit ekspor, misalnya Bank Ekspor-Impor.
7.
Belanja Kebutuhan Negara
Belanja yang dilakukan pemerintah atau oleh beberapa perusahaan
yang diregulasi dengan ketat dapat diarahkan untuk hanya membeli produk
yang diproduksi di dalam negeri, sekalipun harganya lebih mahal daripada
harga produk impor.
60
8.
Red-Tape Barriers
Kadangkala pemerintah bermaksud membatasi impor dengan cara
yang tidak terlalu formal. Sebagai contoh, pemerintah Jerman pernah
mengeluarkan keputusan yang mengharuskan semua produk elektronik
perekam video kaset asal Jepang msuk melalui petugas pabean di Poitiers.
Kebijakan ini secara efektif mampu membatasi jumlah impor.
2.6.2. Instrumen Daya Saing pada Kebijakan Perindustrian
Pengertian industri dalam arti sempit adalah kumpulan perusahaan yang
menghasilkan produk sejenis dimana terdapat kesamaan dalam bahan baku
yang digunakan, proses, bentuk produk akhir, dan konsumen akhir (Kuncoro,
2007; Hasibuan, 1993; Sudarman; 1990). Dalam arti yang lebih luas, industri
dapat didefinisikan sebagai kumpulan perusahaan yang memproduksi barang
dan jasa dengan elastisitas silang (cross elasticities of demand) yang positif dan
tinggi.
Secara garis besar, industri dapat didefinisikan sebagai sekelompok
perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang sama atau bersifat subtitusi.
1.
Globalisasi Industri
Dewasa ini globalisasi produksi sudah mempengaruhi komposisi suatu
produk. Seringkali sulit menentukan dari mana suatu produk sebenarnya
berasal sebab akibat globalisasi produksi, suatu produk bisa merupakan
kumpulan komponen yang diproduksi oleh banyak negara. Perkembangan
perusahaan transnasional sebagai penggerak globalisasi industri sebenarnya
sudah dimulai berabad lampau, tetapi baru memegang peranan penting dalam
perdagangan produk industri internasional setelah perang dunia berakhir.
61
Sebelumnya, yang beroperasi di negara sedang berkembang kebanyakan bergerak
di sektor primer, seperti pertanian dan pertambangan.
Dua karakteristik yang menonjol adalah skala usaha yang relatif besar
dan operasi bisnis yang mendunia, serta cenderung dikontrol secara sentralistik
oleh perusahaan induknya. harus diakui telah muncul sebagai kekuatan utama
dalam globalisasi perdagangan dunia yang semakin cepat. Hampir sepertiga
perdagangan dunia merupakan penjualan intra-perusahaan transnasional dari
cabang yang satu ke cabang di lain negara, baik perdagangan produk antara
maupun peralatan (Todaro, 1994).
2.
Pandangan Liberal dan Struktural terhadap Industri
Kaum liberal memijakkan pemikirannya pada apa yang ditulis oleh Adam
Smith dalam karya monumentalnya The Wealth of Nations.
Menurut kaum
Neoliberalis, semakin besar intervensi pemerintah, semakin tidak efisien
pengeluaran pemerintah.
Kaum strukturalis berbeda pendapat dengan neoliberalis dalam hal
peran pemerintah. Kaum strukturalis menganggap intervensi pemerintah dalam
mengatur dan memprioritaskan industri domestik amat penting. Intervensi
pemerintah tidak selalu mengakibatkan korupsi, pemburuan rente, dan
persaingan tidak sehat. Kaum strukturalis yakin bahwa pengurangan peran aktif
pemerintah justru berakibat pada pembangunan industri yang kontraproduktif.
62
Sementara itu, kaum strukturalis kontemporer segan melakukan
generalisasi kebijakan pemerintah. Mereka menekankan bahwa kebutuhan akan
kebijakan harusnya (rujukannya) disesuaikan dengan kondisi spesifik tiap negara.
3.
Kebijakan Perdagangan dan Perindustrian Negara Berkembang
Menurut Kuncoro (2007), ada beberapa kebijakan perdagangan dan
perindustrian, seperti yang dijelaskan dibawah ini:
1.
Industrialisasi Pengganti Impor
Krugman dan Obstfeld (2006) menyampaikan Argumen Industri
Baru (Infant Industry Argument) yang menyatakan bahwa negara
berkembang mempunyai keunggulan komparatif dalam bidang manufaktur
tetapi belum mampu bersaing dengan industri manufaktur yang sudah
mapan di negara maju. Pada beberapa negara berkembang, strategi dasar
di bidang industrialisasi adalah mengembangkan industri dalam negeri
dengan menggunakan batasan-batasan perdagangan, seperti tarif dan kuota
untuk mendorong beralihnya penggunaan produk impor ke produk lokal.
Strategi memajukan industri dalam negeri dengan membatasi impor
produk manufaktur dikenal sebagai Strategi Industrialisasi Pengganti
Impor (Import-Substituting Industrialization).
2.
Industrialisasi Berorientasi Ekspor
Jika
pada
tahun
1950
sampai
1960-an
diyakini
bahwa
industrialisasi di negara berkembang hanya dapat dilakukan dengan
menciptakan produk-produk lokal untuk menggantikan produk impor,
maka sejak pertengahan 1960-an kenyataan mengatakan bahwa masih ada
cara lain untuk menuju era industrialisasi, yaitu dengan melakukan ekspor
63
atas produk-produk manufaktur. Lebih jauh lagi, ternyata negara-negara
yang berkembang dengan melakukan ekspor produk manufaktur, dimana
oleh World Bank (2003) diklasifikasikan sebagai High Performance Asian
Economies (HPAEs), ternyata mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi
yang spektakuler, lebih dari 10 persen per tahun.
3.
Liberalisasi Perdagangan
Liberalisasi perdagangan yang berlangsung cepat sejak tahun 1985
mempunyai dua pengaruh, yaitu kenaikan volume perdagangan secara
dramatis, dan adanya perubahan pada kondisi perdagangan. Sebelum
terjadinya perubahan kebijakan perdagangan, sebagian besar negara
berkembang mengekspor produk pertanian dan pertambangan. Setelah
tahun 1980 porsi ekspor produk manufaktur telah mendominasi nilai
ekspor pada sebagian besar perekonomian negara berkembang.
Seperti halnya kebijakan pengganti impor, liberalisasi perdagangan
juga memberikan pertanyaan besar. Jika kebijakan pengganti impor tidak
lagi popular karena tidak berpengaruh nyata pada perkembangan ekonomi,
berubah ke sistem perdagangan yang lebih bebas juga belum tentu
memberikan hasil lebih baik.
4.
Strategi Pertumbuhan Dominan Permintaan Domestik
Ketika sebagian besar literatur pertumbuhan dan pembangunan
mempertimbangkan strategi dominan ekspor, strategi pertumbuhan
dominan permintaan domestik tidak didefinisikan dan digunakan. Maka
dari itu, kita tidak secara langsung memperdebatkan antara ekspor dan
permintaan domestik dalam konteks teori.
64
Beberapa tahun belakangan, para ekonom memberikan hipotesis
bahwa krisis Asia Timur memiliki sumber yang berbeda dan setelah
beberapa dekade melakukan strategi pertumbuhan optimal, model
pertumbuhan dominan ekspor yang diikuti negara Asia Timur akhirnya
berakhir
dan
bahkan
mengganggu
harapan
pertumbuhan
negara
berkembang. Ekonom ini bersama-sama mengkritik model dominan
ekspor dan mengusulkan perubahan menuju pertumbuhan dominan
permintaan domestik.
Berdasarkan hasil simulasi historis yang dilakukan Herjanto (2003)
diperoleh hasil bahwa kebijakan perdagangan luar negeri industri agro
Indonesia pada tahun 1983-1998, sebelum krisis ekonomi, telah
dilaksanakan cukup memadai. Meskipun masih terdapat peluang untuk
meningkatkan kinerja perdagangan, yaitu melalui penurunan pajak ekspor
dan depresiasi nilai tukar mata uang rupiah, yang saat itu dianggap over
valued. Penurunan pajak ekspor dapat meningkatkan ekspor untuk
mendatangkan devisa lebih besar. Hasil simulasi peramalan yang
dilakukan pada tahun 2003-2015 menunjukkan bahwa penurunan pajak
ekspor oleh Indonesia merupakan kebijakan yang tepat untuk mendorong
pertumbuhan industri agro dalam negeri.
Pada
umumnya,
menguntungkan
Indonesia
penghapusan
dalam
neraca
tarif
impor
perdagangan.
cenderung
Namun
kesepakatan penghapusan tariff impor di kalangan ASEAN ternyata
menurunkan surplus neraca perdangan Indonesia karena penurunan nilai
total ekspor yang lebih besar daripada penurunan nilai impor. Sementara
65
liberalisasi dini di lingkungan APEC lebih menguntungkan Indonesia dari
sisi neraca perdagangan.
2.7.
Industri Agro
Secara etimologi, agribisnis merupakan gabungan dari dua kata yang
mengandung makna “bisnis yang berbasis pertanian”. Banyak pendapat tentang
batasan dan ruang lingkup agribisnis. Biere (1988) dalam Daryanto dan Daryanto
(1999), mendefinisikan agribisnis sebagai aktivitas-aktivitas di luar usahatani,
meliputi kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi usahatani, kegiatan
industri yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk olahan beserta
perdagangannya, dan kegiatan yang menyediakan jasa yang dibutuhkan seperti
misalnya perbankan, angkutan, asuransi, dan penyimpanan.
Definisi yang lebih lengkap mengenai agribisnis diberikan oleh pencetus
awal istilah agribisnis, yaitu Davis and Goldberg (1957) dalam Daryanto dan
Daryanto (1999) sebagai berikut: “Agribusiness is the sum total of all operation
involved in the manufacture and distribution of farm supplies; production
activities on the farm; and storage, processing and distribution of commodities
and items made from them”. Singkatnya, agribisnis meliputi semua kegiatan
ekonomi berbasis pertanian yang melibatkan seluruh pelaku usaha, baik yang
berada dalam subsistem usahatani (on-farm) maupun di luar usahatani (off-farm).
Nasrun (1996) mendefinisikan industri agro sebagai usaha pengolahan
lebih lanjut hasil pertanian (perkebunan), untuk dijadikan bahan setengah jadi dari
bahan baku industri maupun yang diolah lebih lanjut menjadi barang siap pakai.
Proses pengolahan lebih lanjut dalam industri agro memberi nilai tambah pada
66
produk yang dihasilkan, dibandingkan dengan nilai bahan baku awal yang terjadi
karena adanya perubahan bentuk maupun karena perubahan rasa.
Saragih (1999) memandang batasan agribisnis sebagai sistem yang utuh
dan saling terkait diantara seluruh kegiatan ekonomi, yakni subsistem agribisnis
hulu, subsistem usahatani, subsistem agribisnis hilir, dan subsistem jasa
penunjang agribisnis. Masing-masing subsistem dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yang meliputi
kegiatan di luar usahatani, seperti bioteknologi, industri agrokimia (pupuk,
pestisida), alat-alat pertanian dan pakan ternak.
2.
Subsistem
usahatani
(on-farm
agribusiness)
seperti
pembibitan/
pembenihan, budidaya perikanan; peternakan, perkebunan, dan pertanian
3.
Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), yang meliputi
kegiatan pengolahan hasil produksi sektor agribisnis, baik berupa industri
makanan dan industri bukan makanan yang terkait.
4.
Subsistem jasa-jasa penunjang, yang meliputi kegiatan-kegiatan yang
menunjang
kegiatan
sektor
agribisnis,
seperti
industri
pengolahan/pengawetan, agrowisata, perdagangan/jasa, transportasi, dan
jasa pembiayaan/keuangan.
White (1990) dalam Kuncoro et al. (1997), mendefinisikan industri agro
sebagai berikut: “agro industry can defined loosely as certain forms of
agricultural (livestock, fishery) production itself. In particular, those which are
tending toward an industrial character, highly commercialised and normally
involving significant investment and/or working capital. The agricultural
production unit themselves are not necessary large-scale”.
67
Definisi industri agro diatas, relatif sama dengan pengertian agribisnis,
sedangkan agrobased industry didefinisikan sebagai: “industry on the upstream
(input) and downstream (output processing) side of agricultural production
(generaly limited to the first stage of agro linked input production of processing,
or at least to the relatively immadiate stages)”. Sehingga menurut definisi
tersebut agrobased industry mengandung dua pengertian, yakni:
1.
Industri penyedia input pertanian (upstream), seperti: industri pupuk,
pestisida, mesin-mesin pertanian, peralatan pertanian, dan lain-lain.
2.
Industri pengolah hasil pertanian (downstream) seperti: industri minuman
teh, industri gula, industri barang dari karet, industri kecap, dan lain-lain.
Pemahaman industri agro yang relatif lebih lengkap dinyatakan oleh
Saragih (1994), bahwa industri agro memiliki pengertian sebagai suatu kegiatan
usaha yang mengolah bahan baku yang berasal dari tanaman dan hewan.
Pengolahan tersebut dapat mencakup berbagai bentuk transformasi dan preservasi
melalui perlakuan fisik dan kimia, penyimpanan, pengemasan dan distribusi.
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa karakteristik produk olahan yang dihasilkan
oleh industri agro banyak ditentukan oleh teknologi yang digunakan.
Nilai
tambah yang terdapat didalamnya dengan sendirinya akan meningkatkan nilai
guna.
Menurut UNIDO (1997) bahwa pertumbuhan industri agro di negaranegara yang relatif kurang berkembang, yang berada di Asia meningkat dengan
tajam. Peningkatan teknologi merupakan faktor penting bagi perkembangan
industri agro di negara-negara ini. Bioteknologi juga berkembang sangat pesat,
68
dan telah mendorong terjadinya pertumbuhan yang nyata dalam hal produktivitas
pertanian, yaitu dengan ditemukannya beberapa spesies hasil pangan yang baru.
Negara-negara yang kurang berkembang perlu mengembangkan kapasitas
penggunaan bioteknologi untuk memperbaiki proses pengolahan pangan guna
menaikkan masa simpan dan daya tahan produk pangan, yang pada akhirnya dapat
menaikkan tingkat keamanan produk, memberi nilai tambah, dan meningkatkan
penyerapan tenaga kerja.
Mereka harus pula siap menghadapi tantangan
kompetisi di pasar global untuk produk-produk pengganti sumberdaya alam.
Penerapan teknologi informasi dan otomasi berkembang pesat, dan ini
sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas produk dan efisiensi pada hampir
semua sektor industri, termasuk pada proses produksi dan distribusi industri agro.
Negara kurang berkembang harus dapat dengan cepat meningkatkan sektor
produksi dan teknologi pemasaran di sektor industri untuk dapat bersaing di
kancah internasional. Pengembangan industri informasi lokal diperlukan untuk
meningkatkan produktivitas dan kualitas di sektor agrondustri.
Upaya pengembangan industri agro hendaknya memberikan dampak
positif bagi pembangunan ekonomi daerah. Ada lima indikator yang dapat dilihat
dari keberhasilan pengembangan industri agro dalam pembangunan ekonomi
daerah,
yaitu: (1) pertumbuhan pendapatan dan produksi per kapita, (2)
pengurangan kemiskinan dan peningkatan pemerataan, (3) peningkatan daya serap
tenaga kerja dan upah riil, (4) perlindungan sumberdaya alam, dan (5) berdampak
positif terhadap sosial budaya.
Lebih jauh disebutkan bahwa menyatakan bahwa ciri industri agro yang
baik adalah tumbuh dan berkembangnya spesialisasi usaha industri pengolahan
69
pada setiap mata rantai agribisnis dan diversifikasi pengolahan. Pada akhirnya
diharapkan akan menimbulkan peningkatan nilai tambah industri dan mempunyai
keterkaitan serta perluasan bidang usaha dan lapangan kerja.
Dalam penelitian ini, konsep industri agro yang digunakan adalah industri
agro sebagai industri pengolahan hasil pertanian dalam arti luas yang meliputi
tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan.
Berdasarkan laporan Bank Dunia (2007), tentang pembangunan dunia
Agriculture for Development, bahwa bisnis di sektor pertanian dapat menjadi
sumber utama pertumbuhan dan dapat mengurangi kemiskinan serta memperbaiki
lingkungan. Bank Dunia merekomendasikan beberapa hal dalam upaya
menumbuh-kembangkan sektor pertanian, yaitu:
1.
Meningkatkan akses kepada aset
Aset rumah tangga adalah faktor penentu utama dari kemampuan untuk
berpartisipasi dalam pasar pertanian, mendapatkan mata pencaharian
dalam pertanian untuk menjadi penyambung hidup, bersaing sebagai
pengusaha di ekonomi pedesaan non pertanian, dan menemukan karyawan
dalam pekerjaan yang terampil. Tiga aset ini adalah modal tanah, air dan
manusia. Meningkatkan aset membutuhkan investasi-investasi pemerintah
yang signifikan dalam irigasi, kesehatan, dan pendidikan.
2.
Membuat para petani kecil lebih kompetitif dan bertahan.
Meningkatkan produktivitas, profitabilitas, dan sustainabilitas dari petani
kecil adalah jalan keluar utama dari kemiskinan dalam menggunakan
pertanian untuk pengembangan. Instrumen kebijakan di sektor pertanian
dapat digunakan untuk mencapai beberapa hal berikut: (1) Meningkatkan
70
insentif harga dan meningkatkan kualitas dan kuantitas dari investasi
pemerintah, (2) Membuat pasar-pasar barang berkerja lebih baik, (3)
Meningkatkan akses kepada jasa-jasa keuangan dan mengurangi exsposure
kepada risiko-risiko tidak tertanggung, (4) Meningkatkan kinerja dari
organisasi produsen, (5) Memajukan inovasi melalui pengetahuan dan
teknologi, dan (6) Membuat pertanian lebih bertahan dan penyedia jasa
lingkungan.
Kontribusi pertanian pada pertumbuhan perekonomian dan pengurangan
kemiskinan dapat dilihat dari kategorisasi negara berdasarkan peran pertanian
dalam pertumbuhan agregat 15 tahun terakhir dengan menggunakan batas
pendapatan $2 per hari sebagai garis kemiskinan. Perspektif ini menghasilkan
tiga jenis negara yang menggambarkan tiga dunia pedesaan yang berbeda, yaitu:
1.
Agricultural-based countries
Pertanian menjadi sumber utama pertumbuhan, berkontribusi rata-rata 32
persen dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan kebanyakan
rakyat miskin (70 persen) berada di area pedesaan.
2.
Transforming countries
Pertanian tidak lagi menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi, dan
berkontribusi hanya sekitar 7 persen dari pertumbuhan Gross Domestic
Product (GDP) tetapi tetap mempunyai tingkat kemiskinan yang tinggi di
pedesaan (82 persen). Kelompok ini meliputi China, India, Indonesia dan
lain-lain.
3.
Urbanized countries
71
Pertanian berkontribusi kecil pada pertumbuhan ekonomi, rata-rata 5
persen, dan kemiskinan paling banyak di kota. Meskipun demikian sekitar
45 persen dari orang miskin berada di area pedesaan. Agribisnis dan
industri makanan berkontribusi pada sepertiga dari Produk Domestik
Bruto (PDB).
2.8.
Perkembangan Industri Agro Indonesia
Sektor
industri
non-migas
selama
tahun
2000-2004
mengalami
pertumbuhan sekitar 4.6 persen per tahun. Peran sektor industri terhadap
perekonomian nasional meningkat dari 23.8 persen pada tahun 2000 menjadi 24.5
persen pada tahun 2004. Struktur industri pada tahun 2000-2004 terdapat pada
Tabel 5.
Cabang industri yang memberikan efek berganda yang kecil mengalami
penurunan peranan seperti yang terjadi di industri makanan, minuman, dan
tembakau dari 33.8 persen pada tahun 2000, menjadi 28.1 persen pada tahun
2004. Industri barang kayu dan hasil hutan lainnya juga turun dari 6.1 persen pada
tahun 2000 menjadi 5.6 persen pada tahun 2004, dan untuk industri kertas dan
barang cetakan turun dari 6.0 persen pada tahun 2000 menjadi 5.3 persen pada
tahun 2004.
Tabel 5. Pangsa Sub Sektor Industri Nasional Tahun 2000-2004
(%)
No.
Sektor Industri
2000
2001
2002
2003
2004
1
Makanan, minuman dan tembakau
33.8
29.1
30.1
29.9
28.1
2.
Tekstil, Barang Kulit, dan Alas kaki
13.2
12.9
14.4
14.8
13.8
3.
Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya
6.1
7.1
6.1
6.0
5,6
4.
Kertas dan Barang Cetakan
6.0
4.4
4.8
5.2
5,3
5.
Pupuk, Kimia, dan Barang dari Karet
12.9
16.0
15.2
16.5
16.9
6.
Semen dan Barang Galian bukan Logam
3.0
3.8
3.9
4.2
4,2
72
7.
Logam Dasar, Besi, dan Baja
8.
AlatAngkut, Mesin, dan Peralatannya
9.
Barang Lainnya
To t al
2.7
2.8
2.9
2.6
2,9
20.7
23.1
21.7
20.0
22.5
0.8
0.9
0.9
0.8
0,8
100.0 100.0 100.0 100.0
100.0
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2005
Industri agro dan kimia Indonesia sampai tahun 2006 tumbuh lebih besar
dari target, demikian juga peranan industri agro dan kimia pada total PDB tumbuh
cukup signifikan yaitu sebesar 13.7 persen pada tahun 2006. Sedangkan peranan
industri agro dan kimia pada PDB industri pengolahan non migas meskipun
mengalami penurunan tetapi tetap dominan yaitu 55.3 persen pada tahun 2004,
54.3 persen pada tahun 2005 dan 54.1 persen pada tahun 2006 (DJIAK, 2007).
Dengan menempatkan sektor industri agro sebagai sektor andalan, diharapkan
pemerintah dan pelaku
usaha
memberi kesempatan
pengembangan usaha di sektor tersebut.
lebih
luas untuk
Kebijakan tersebut sesuai dengan
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia tahun 2005-2009
yang menetapkan bahwa Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) industri
agro dan kimia tahun 2005-2009 sebesar 7.63 persen per tahun.
Pertumbuhan industri agro dan kimia pada tahun 2006 sebesar 4.94 persen,
lebih tinggi dari target sebesar 4.5 persen. Pertumbuhan tahun 2006 tersebut juga
lebih besar dari pertumbuhan tahun 2005 sebesar 3.88 persen dan tahun 2004
sebesar 3.89 persen seperti terlihat pada Tabel 6 yang menjelaskan Pertumbuhan
Industri Nasional pada tahun 2004-2006.
Berdasarkan publikasi DJIAK (2007), dinyatakan bahwa sasaran dan
target pengembangan industri agro dan kimia sesuai dengan Rencana Strategis
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia tahun 2005-2009, antara lain:
pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) industri agro dan kimia tahun 2005-
73
2009 sebesar 7.63 persen per tahun, utilisasi kapasitas produksi rata-rata mencapai
79 persen, penyerapan tenaga kerja sebesar 80 ribu orang per tahun dan
pertumbuhan nilai ekspor rata-rata sebesar 7.8 persen per tahun.
Kebijakan pembangunan industri diprioritaskan pada pengembangan tujuh
klaster industri sebagai berikut: (1) Industri makanan dan minuman, (2) Industri
pengolahan hasil laut, (3) Industri kelapa sawit, (4) Industri barang kayu
(termasuk rotan dan bambu), (5) Industri karet dan barang karet, (6) Industri pulp
dan kertas, dan (7) Industri petrokimia.
Pada tiga tahun terakhir, peranan industri agro dan kimia pada total PDB
masih cukup signifikan, yaitu sebesar 14.0 persen pada tahun 2004, 13.7 persen
pada tahun 2005 dan 13.7 persen pada tahun 2006, sedangkan peranan industri
agro dan kimia pada PDB industri pengolahan non migas sebesar 55.3 persen
pada tahun 2004, 54.3 persen pada tahun 2005 dan 54.1 persen pada tahun 2006.
Tabel 6. Pertumbuhan Industri Nasional Tahun 2004-2006
Nilai PDB Harga Konstan
Tahun 2000 (Miliar Rp.)
No.
Lapangan Usaha
Tahun
2004
2005*
469,952
491,421
514,192
51,583
48,519
47,928
b.Industri bukan Migas
418,368
442,902
466,264
6.2
Industri Agrokimia
231,417
240,389
252,262
1
Makanan, Minuman dan
Tembakau
118,149
121,395
130,163
2
Barang kavu & Hasil hutan
lainnya
20,325
20,138
20,006
3
Kertas dan Barang cetakan
23,384
23,944
24,444
3.8
4
Pupuk, Kimia & Barang
dari karet
Karet
54,513
59,293
61,947
7.5
Industri Pengolahan
a. Industri Migas
2006**
Tren
(%)
Thn
2004 2006
5.1
Pertumbuhan
(%)
Tahun
2004
2005*
2006**
6.38
4.57
4.63
(3.4) (1.95)
(5.94)
(1.22)
7.51
5.86
5.27
4.2
3.89
3.88
4.94
3.7
1.39
2.75
7.22
-1.2 (2.07)
(09.2)
(0.66)
7.61
2.39
2.09
9.01
8.77
4.48
74
5
Semen & Barang Galian
bukan logam Industri
Pengolahan Lainnya
15,045
186,950
15,618
292,513
15,700
214,001
4.5 9.53
8.7 12.36
3.81
8.32
0.53
5.67
2.1
4.06
1.31
1.23
6
Tekstil. Barang kulit Alas
kaki
53,576
54,277
54,944
7
Logam Dasar Besi & Baja
8,008
7,712
8,076
-0.9 (2.61)
(3.70)
4.73
8
Alat Angkutan Mesin &
Peralatannya
121,683
136,744
147,063
12.4 17.67
12.38
7.55
3,683
3,779
3,916
5.9 12.77
2.61
3.62
418,368
442,902
466,264
6.2
7.51
5.86
527
1,656,516 1,750,656 1,846,654
5.4
5.03
5.68
5.48
1,506,296 1,605,247 1,703,086
6.2
5.97
6.57
6.09
9
Barang lainnva
JUMLAH (Sektor Industri
Pengolahan)
PRODUK DOMESTIK BRUTO
PRODUK DOMESTIK BRUTO
TANPA MIGAS
Sumber: Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2007
Dari total kontribusi agro dan kimia terhadap PDB industri pengolahan non migas
tersebut, industri makanan, minuman dan tembakau mempunyai peran yang paling
signifikan sebesar 27.9 persen, disusul oleh industri pupuk, kimia dan karet
sebesar 13.3 persen, dan industri kertas dan barang cetakan sebesar 5.2 persen,
industri kayu dan barang kayu sebesar 4.3 persen. Perkembangan ekspor industri
agro dan kimia mengalami peningkatan cukup signifikan dimana pada tahun 2003
nilai ekspor sebesar US$16.3 milyar maningkat menjadi US $20.5 milyar pada
tahun 2005 dan sampai tahun 2006 telah mencapai US$25.1 milyar atau tumbuh
rata-rata sebesar 14.8 persen.
Pada tahun 2006, kontribusi ekspor terbesar diberikan oleh kelompok
industri pupuk, kimia dan barang karet sebesar US$10.2 milyar disusul oleh
industri makanan, minuman dan tembakau sebesar US$5.3 milyar dan industri
barang kayu dan hasil hutan lainnya sebesar US$ 4.7 milyar.
Salah satu kritik yang sering dilontarkan terhadap strategi pembangunan
nasional adalah orientasi pembangunan yang lebih banyak memberikan
75
perhatian pada pengembangan industri manufaktur dan relatif mengabaikan
peranan sektor pertanian sebagai pendukung perkembangan sektor industri.
Perhatian yang besar terhadap peningkatan produksi dan nilai tambah sektor
industri manufaktur sejalan dengan proses transformasi struktural yang
menekankan pada percepatan kegiatan ekonomi dengan dominasi industri
manufaktur. Perhatian yang besar terhadap sektor industri ternyata berakibat: (1)
kurang mempunyai kaitan erat dan saling mendukung dengan sektor pertanian
dan (2) relatif mengesampingkan peran sektor pertanian dalam mendukung
pembangunan nasional (Sumodiningrat dan Kuncoro, 1990).
Salah satu syarat perlu (necessary condition) agar dapat mencapai
transformasi struktural dari pertanian (industri primer) ke industri manufaktur
(industri sekunder) adalah adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri
yang tangguh. Kaitan yang paling sesuai adalah pengolahan produk pertanian ke
dalam pengembangan industri agro. Saling keterkaitan antara sektor pertanian
dan sektor industri agro akan memberi ekfek saling memperkuat bagi kedua sektor
bersangkutan.
Perkembangan sektor industri agro Indonesia juga berkaitan dengan
kebijakan perdagangan yang diterapkan dalam kurun waktu bersangkutan.
Berdasarkan penelitian Widjaja (2000), diterapkannya liberalisasi perdagangan
ternyata memberi dampak positif terhadap kinerja perdagangan Indonesia.
Namun demikian penurunan atau penghapusan proteksi tersebut juga menurunkan
kinerja ekspor beberapa komoditi ekspor, yang mengindikasikan masih banyak
industri ekspor yang disubsidi atau bahkan hidup karena kebijakan yang bersifat
protektif. Industri-industri tersebut perlu dipersiapkan segera agar lebih efisien
76
dan dapat bersaing di kemudian waktu, misalnya industri yang berbasis
sumberdaya alam dan tenaga kerja yang tidak trampil.
Satu tahun sebelum terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996,
sumbangan industri non migas Indonesia terhadap pembentukan PDB nasional
sebesar 22.1 persen. Pada tahun 2003 dan 2004 berturut-turut sebesar 25 persen
dan 24.6 persen. Cabang industri yang memberikan sumbangan terbesar terhadap
PDB pada tahun 2004, yaitu industri makanan, minuman dan tembakau, meskipun
tahun 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2003, yaitu
sebesar 6.9 persen. Kontribusi terbesar lainnya adalah industri alat angkut, mesin
dan peralatan sebesar 5.5 persen, produk industri pupuk, kimia serta barang dari
karet sebesar 4.2 persen.
Sebelum terjadinya krisis moneter, laju pertumbuhan industri non-migas
sekitar 12 persen dan pada tahun 1997 pertumbuhan ini menurun menjadi 6.1
persen, bahkan pada tahun 1998 menjadi -13.1 persen. Kemudian laju
pertumbuhan industri non migas pada tahun 2003 dan 2004 berturut-turut adalah
5.57 persen dan 7.7 persen. Pada tahun 2004, laju pertumbuhan tertinggi tercatat
pada industri alat angkut, mesin dan peralatan yaitu 17.7 persen, yang kemudian
disusul oleh industri lainnya sebesar 15.1 persen, serta industri kertas dan barang
cetakan sebesar 9.6 persen.
Bila dikaitkan dengan pemanfaatan kapasitas industri pada tahun 2004,
industri kimia hulu, kimia hasil pertanian dan perkebunan, kimia hilir dan TPT,
masing-masing dapat memanfaatkan kapasitasnya hingga di atas 70 persen,
sedangkan untuk industri hasil hutan, teknologi informasi dan elektronika, agro,
aneka, logam dan mesin, serta alat angkut lebih rendah dari 70 persen.
77
Hayashi (2005) yang meneliti perubahan industri dan perdagangan
Indonesia pada tahun 1995-2000 mendapati bahwa industri pengolahan Indonesia
telah berhasil mengembangkan share of production, memperkuat orientasi ekspor
dam menurunkan ketergantungan impor. Fenomena tersebut dihasilkan terutama
dari penurunan faktor-faktor pertumbuhan dibandingkan permintaan ekspor serta
penurunan nilai rupiah. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa penurunan
investasi merupakan bottleneck di industrialisasi and mengindikasikan kebutuhan
mendesak untuk memberikan lingkungan investasi yang lebih baik, terutama bagi
investor asing.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Feridhanusetyawan dan Aswicahyono
(2003), Hill (1996), dan Ohkawa dan Kohama (1993) yang dikonfirmasikan
dalam penelitian Hayashi (2005) ditemukan bahwa terdapat kemajuan
industrialisasi di Indonesia pada tahun 1985–2000. Sebaliknya, terlihat dengan
jelas bahwa industrialisasi di Indonesia telah dikembangkan dengan kelemahan
struktural seperti terlihat dari turunnya permintaan investasi dan tertundanya
penguatan keterkaitan antar industri.
Industrialisasi di Indonesia cenderung
inefisiensi jika dibandingkan dengan negara tetangganya di Asia Timur.
Industrialisasi di Indonesia tampak bergerak mundur jika dibandingkan dengan
kemajuan luar biasa dalam industrialisasi dan international specialization dari
negara-negara tetangganya.
Dengan mengggunakan analisis I-O, Hayashi (2005) menguji perubahan
struktur industri dan perdagangan, efek keterkaitan industri (industrial linkage
effects) dan sumber-sumber pertumbuhan (sources of output growth). Permintaan
ekspor bersama permintaan domestik
mendukung pertumbuhan industri
78
manufaktur pada tahun setelah 1980an dan memainkan peranan penting dalam
promosi pertumbuhan output selama 1995-2000. Permintaan konsumen domestik
Indonesia pada tahun 1995-2000 mengalami pertumbuhan negatif, seperti juga
permintaan investasi.
Perekonomian Indonesia yang telah mengalami penderitaan akibat
kemunduran melalui tahun perubahan institusional termasuk krisis ekonomi dan
jatuhnya rejim Presiden Soeharto, kembali mencapai pertumbuhan 4 persen sejak
2000. Dalam rangka menyediakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan,
dibutuhkan kemajuan industrialisasi.
Promosi atas
industrialisasi sangat
diperlukan untuk
mendorong
pertumbuhan perekonomian. Analisis yang dilakukan oleh Hayashi (2005)
menunjukkan bahwa kemunduran investasi di industri pengolahan merupakan
major bottleneck untuk pembangunan industry di Indonesia. Salah satu alasan
utamanya adalah melemahnya inflow investasi langsung asing. Menurut Hayashi
(2005), pemerintah Indonesia mendukung kebijakan “Indonesianization” selama
20 tahun sejak insiden Malari pada Januari 1974, telah memutuskan di Juni 1994
untuk mengijinkan perusahaan asing memegang 100 persen saham. Hanya saja
pemerintah perlu juga menyadari bahwa Indonesia belum memberikan iklim
perekonomian yang memungkinkan investor asing bisa beroperasi tanpa rasa
takut. Dalam rangka mendorong industrialisasi, Indonesia harus melanjutkan
capital formation pada level tertentu. Foreign Direct Investment (FDI) dapat
memainkan peranan penting untuk memindahkan produksi dan manajemen
teknologi dari luar negeri.
79
Promosi industrialisasi juga membutuhkan perbaikan daya saing bisnis di
sektor swasta yang dilaksanakan pararel dengan pembangunan sistem investasi
yang efektif. Hal ini memerlukan perbaikan iklim investasi, menarik Foreign
Direct Investment (FDI), dan mengembangkan daya saing bisnis melalui
perkuatan kapasitas pengelolaan keuangan dan sektor korporat (Sato, 2005).
Berbeda dengan Hayashi (2005), pada jurnal terbitan IDE dengan tema
khusus
“Indonesia’s
Recovery”,
Pangestu
dan
Aswicahyono
(2000)
mengungkapkan bahwa pertumbuhan cepat ekspor yang diikuti dengan penurunan
sebelum terjadinya krisis ekonomi pada akhir 1990an yang juga terjadi di negara
Asia Timur lebih disebabkan oleh faktor siklus (cyclical) daripada faktor
struktural atau penurunan daya saing.
Pandangan Pangestu dan Aswicahyono didasarkan pada hasil pengamatan
bahwa penurunan harga merupakan faktor utama dalam penurunan pertumbuhan
nilai ekspor. Analisis trade mapping
mengindikasikan terjadinya penurunan
ekspor yang berkaitan dengan penurunan permintaan di negara tujuan ekspor
daripada penurunan daya saing. Beberapa saat sebelum krisis, Indonesia sedang
mengalami transisi dari keunggulan komparatif yang
didasarkan pada
melimpahnya sumberdaya terutama sumberdaya alam seperti kayu dan tenaga
kerja tidak trampil untuk ekspor garmen dan tekstil; yang bergerak ke arah ekspor
yang berbasiskan teknologi dan kapital seperti elektronik yang banyak digerakkan
oleh FDI dan didukung tenaga kerja yang relatif murah.
Bagaimanapun, seperti ditunjukkan oleh berbagai kasus, Indonesia tidak
diragukan lagi berada pada tahap awal fase ekspor berbasiskan teknologi dan
kapital, yang mempunyai kelemahan di sumberdaya manusia. Infrastruktur fisik,
80
industri penunjang seperti komponen dan bahan dasar, dan industri elektronik
yang di awal 90an lebih berorientasi pasar dalam negeri. Ketergantungan pada
bahan baku impor masih tinggi, dan dari pengalaman semasa krisis menujukkan
bahwa ketergantungan seperti ini membuat Indonesia punya kemungkinan lebih
kecil untuk keluar dari krisis.
Situasi sebelum krisis ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa keunggulan
komparatif di sumberdaya alam dan tenaga kerja murah telah berkontribusi nyata
untuk meningkatkan daya saing ekspor, khususnya pada tahun deregulasi setelah
1986. Berdasarkan pengalaman sektor yang masih bertahan hidup atau bahkan
mendapat hasil lebih pada saat krisis, sangat penting untuk mempunyai struktur
industri yang lebih dalam sebagai dasar dari industri ekspor dan transisi alami
sumber tradisonil dari keunggulan komparatif. Tantangan yang dihadapi Indonesia
di jangka menengah adalah menjaga keunggulan komparatif tradisionil sambil
membangun sumber baru keunggulan komparatif. Hal ini memerlukan
pengembangan industri penunjang yang kompetitif untuk menjamin perusahaanperusahaan Indonesia yang merupakan bagian dari perdagangan, keuangan dan
jaringan teknologi internasional serta meningkatkan kemampuan teknologinya.
Promosi teknologi dan peran dari Foreign Direct Investment (FDI)
merupakan hal penting untuk menjamin tercapainya daya saing dan tidak hanya
sekedar menerima lips service di Indonesia. Pembentukan keterampilan dan daya
saing ekspor umumnya diterima sebagai keperluan, tetapi menjadi lebih urgen
untuk mempercepat perubahan teknologi dan pembangunan teknologi informasi
yang disebut sebagai masa depan knowledge-based economy.
81
Implikasi dari mempertahankan daya saing di jangka menengah sudah
jelas. Indonesia cepat atau lambat harus membuat gerakan menuju aktivitas yang
mengarahkan pembelajaran teknologi lebih besar, mempercepat perubahan teknik,
dan memperluas efek yang dihasilkan. Indonesia perlu membangun dasar
sumberdaya kapital yang mendalam dan luas seperti yang dicapai lebih matang di
negara-negara industri baru Asia.
Daripada melanjutkan pengembangan kuantitas, lebih penting memberi
percepatan peningkatan kualitas dari pendidikan tingkat sekunder dan tersier
untuk memberi penekanan pada keterampilan khusus khususnya pada area teknik
tertentu. Dalam rangka mengembangkan kemampuan teknologi, diperlukan
insentif untuk mempromosikan kompetisi dan inovasi yang didukung oleh insitusi
yang sesuai. Penurunan peran investasi dalam pertumbuhan output perekonomian
mengindikasikan perlunya perbaikan institusi untuk mendorong aktivitas investasi
dalam rangka menjaga momentum industrialisasi yang berkelanjutan (Sato, 2005).
2.9.
Kebijakan Daya Saing Industri
Menurut UNIDO (1997), sebagai hasil simposium Industrial Capacity
Building and Entreprenurship Development in LDCs with Particular Emphasis on
Agrorelated Industries, peningkatan daya saing industri agro bisa dilakukan
melalui beberapa cara berikut.
1.
Kebijakan Makroekonomi
Teori ekuilibrium neoklasikal yang berkembang telah mensahkan beberapa
intervensi pemerintah seiring dengan adanya ketidaksempurnaan pasar (Phelps,
1994). Kebijakan pemerintah terhadap tingkat suku bunga yang dinilai mampu
82
memfasilitasi pencapaian output ekuilibrium potensial dan meminimalkan markup harga pada pasar monopolistik sangat diharapkan.
Belanja pemerintah terhadap produk-produk padat karya dianggap mampu
meningkatkan output. Dalam perspektif ini, intervensi yang mampu memberikan
solusi pasar tidaklah tergantung dari
seberapa dalam tingkat intervensinya,
melainkan bagaimana bentuk dan struktur intervensi tersebut. Kebijakan tingkat
suku bunga dan belanja masyarakat haruslah mampu mempengaruhi investasi
swasta dan mendorongnya ke arah sektor-sektor yang diprioritaskan. Untuk
menaikkan penggunaan kapasitas perlu dilakukan perluasan ekspor dan
pengontrolan terhadap nilai tukar mata uang yang stabil.
Untuk dapat melakukan intervensi yang efektif di tingkat perusahaan dan
tingkat makro, maka kapasitas pemerintah dalam hal membuat konsep,
menyampaikan
dan
mengimplementasikan
kebijakan
perlu
diperkuat.
Pengembangkan kapasitas pemerintah diperlukan dalam hal-hal berikut: (1)
akuisisi dan difusi teknologi, (2) pengembangan ekonomi di bidang pendidikan,
baik dari segi cakupan maupun jangkauan, (3) integrasi inter-sektoral, terutama
antara pertanian dan manufaktur, dan diantara sektor-sektor industri agro, dan (4)
kemampuan untuk memberi penghargaan dan hukuman bagi perusahaanperusahaan, dan meningkatkan kredibilitas kebijakan
2.
Kebijakan Industri
Strategi industrialisasi negara kurang berkembang haruslah berfokus pada
masalah-masalah
bagaimana
menaikkan
produktivitas
pertanian
dengan
menyediakan input-input dan produk konsumsi ínsentif, menyerap produksi hasil
pertanian dan kelebihan tenaga kerja. Sekalipun telah terjadi kenaikan kapasitas
83
utilisasi sejak awal tahun 90-an, namun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
telah terjadi peningkatan produktivitas atau Total Factor Productivity (TFP),
maupun peningkatan pilihan teknologi bagi perusahaan. Hambatan persediaan,
terutama kekurangan tenaga kerja teknik, merupakan hambatan krusial bagi
pertumbuhan produktivitas.
Lebih
jauh
lagi,
adalah
penting
menekankan
kembali
bahwa
berkonsentrasi pada tenaga kerja dengan keterampilan rendah dan produk-produk
berbasis sumberdaya akan membuat lupa pengambil kebijakan terhadap perlunya
meningkatkan teknologi sesegera mungkin, karena industri padat karya tidak akan
mampu mengejar pertumbuhan teknologi yang sedemikian cepatnya di pasar
internasional. Peningkatan teknologi, keterampilan tenaga kerja dan sistem difusi
tetap harus dilakukan.
Hubungan jejaring -integrasi horizontal- tumbuh diantara perusahaan
berskala kecil dan mikro.
Proses penyebaran informasi dan penggabungan
tabungan meningkat. Kebijakan industri dapat memperkuat integrasi horizontal
dengan menfasilitasi terjadinya hubungan subkontrak antara para pedagang
dengan klaster pengusaha kecil dan mikro. Pembentukan klaster diharapkan dapat
menjadi sesuatu yang efektif untuk mengembangkan pengusaha kecil dan mikro
melalui peningkatan efisiensi secara kolektif.
Menurut Aswicahyono dan Feridhanusetyawan (2004) bahwa kebijakan
industri harus dirumuskan secara komprehensif dengan kebijakan perdagangan;
bahkan juga dengan kebijakan ketenegakerjaan, investasi dan keuangan.
3.
Kebijakan Teknologi dan Membangun Kapasitas
84
Sehubungan dengan pilihan teknologi yang salah di masa lampau, maka
kebutuhan untuk membangun kapasitas di bidang teknologi dan keterampilan
tenaga kerja sektor industri agro sangatlah penting bagi negara yang kurang
berkembang.
Teknologi bersifat spesifik untuk setiap perusahaan dan untuk
mendapatkannya diperlukan pelembagaan proses belajar pada tingkat perusahaan.
Peningkatan ketrampilam teknis tenaga kerja juga penting untuk
mengembangkan
infrastruktur
teknologi
yang
menyediakan
informasi,
standarisasi, fasilitas riset dan lain-lain. Kapasitas teknologi tidak dapat tumbuh
secara spontan untuk mengikuti pertumbuhan kompetisi. Namun dibutuhkan
perubahan kebijakan yang mempengaruhi perilaku perusahaan (Stiglitz, 1987).
Program pendukung teknologi harus diseleksi sehingga hanya berfokus pada
sektor-sektor
dan
aktivitas-aktivitas
yang
mampu
menciptakan
tingkat
pertumbuhan yang tinggi.
4.
Kebijakan Perdagangan
Banyak teori untuk mengukur ‘outward orientation’ dan untuk
menetapkan tingkat pertumbuhan GDP terhadap pertumbuhan ekspor. Kondisi
perdagangan saat ini -yang berbasis harga di pasar dunia- tidak selalu dapat
diandalkan untuk mengukur tingkat proteksi ataupun untuk menjadi pedoman
dalam penetapan harga domestik (UNIDO, 1997).
Negara-negara Asia Timur cenderung menggunakan strategi yang
berorientasi proteksi ekspor yang secara tepat menggabungkan elemen-elemen
proteksi dan strategi meningkatkan kompetisi dalam lingkungan internasional
(UNIDO, 1997)
85
Para pembuat kebijakan perdagangan menghadapi pilihan yang sulit.
Tidak ada jaminan bahwa pengurangan proteksi akan berkorelasi positif terhadap
efisiensi produksi atau alokasi. Keunggulan komparatif yang dinamis harus mulai
dibangun. Perubahan dalam harga interbasional memerlukan struktur perdagangan
yang fleksibel. Konsentrasi harus lebih dipusatkan untuk meningkatkan kinerja
pasar domestik dan ekspor.
5.
Keuangan, Privatisasi, dan Rehabilitasi Proyek
Restrukturisasi sektor keuangan di negara kurang berkembang bisa terjadi
dalam bentuk terciptanya versi pengembangan dari perbankan universal. Fitur
dasar dari restrukturisasi ini termasuk : Rekapitalisasi lembaga keuangan seperti
diberlakukannya inisiatif pemerintah untuk melakukan privatisasi, terbentuknya
bank per sektor industri seperti bank untuk komiditi tertentu atau bank eksporimpor, pertumbuhan pasar modal, kesempatan mengembangkan skema kredit
bagi perusahaan mikro juga terbuka lebar dan program privatisasi.
6.
Kerjasama Regional
Elemen yang paling penting dari semua usaha integrasi regional adalah
terciptanya kerjasama antar perusahaan. Perkembangan dari perusahaan swasta
yang berfokus regional dapat menjadi dasar terbentuknya kolaborasi dengan
perusahaan asing yang diperlukan bagi pengembangan pasar regional. Usaha
patungan antar negara dapat menjadi elemen inti dalam kebijakan integrasi
regional karena dapat memperluas kesempatan untuk memproduksi produkproduk industri agro seiring dengan terbukanya akses ke pasar internasional.
7.
Pengembangan Lembaga dan Infrastruktur
86
Mempelajari bagaimana cara memodifikasi model perilaku perusahaan
publik dan swasta merupakan elemen kunci dalam rangkaian proses pembuatan
kebijakan. Perlu dilakukan restrukturisasi kelembagaan guna memfasilitasi
interaksi antara pemerintah dan pebisnis sektor industri agro untuk memastikan
bahwa prioritas perusahaan terintegrasi dalam kerangkan kebijakan koheren yang
dibangun berdasarkan prosedur dan tujuan bersama yang memungkinkan
terjadinya proses evaluasi kinerja perusahaan yang netral secara politik.
Kebijakan-kebijakan tersebut tidak boleh terikat pada suatu hubungan
domestik maupun internasional. Kebijakan haruslah selalu dapat dimodifikasi,
direstrukturisasi dan diperbaiki.
Kebijakan infrastruktur harus menekankan pada pengembangan daerah
pedesaan dan kota-kota perantara. Pertumbuhan ini dapat menstimulasi investasi
di bidang pengolahan hasil pertanian dan sektor pedesaan lainnya, selain juga
merupakan basis bagi terintegrasinya ekonomi pedesaan dan perkotaan, dan
pengembangan pertanian sebagai suatu industri.
2.9.1. Kebijakan Industri China
Menurut Reinhardt (2005) bahwa kinerja industri manufaktur dipengaruhi
oleh beberapa faktor, meliputi: lingkungan makroekonomi, iklim investasi dan
bisnis, peraturan dan kebijakan pemerintah, investasi langsung luar negeri,
stabilititas sosial dan politik, institusi penunjang, keterampilan tenaga kerja,
teknologi, infrastruktur dan faktor lainnya.
Dalam penelitiannya tentang industri di bagian barat China, faktor
keseimbangan menjadi pertimbangan penting dalam pembangunan industri dan
perekonomian di China. Baik keseimbangan antar daerah maupun keseimbangan
87
akan perhatian terhadap pasar ekspor dan domestik. China terus menerus
mengembangkan kemampuan penetrasi pasar ekspor, dan pada saat bersamaan
juga meningkatkan daya saing di pasar dalam negeri.
Pemerintah meluncurkan berbagai inisiatif berskala raksasa untuk
mengurangi ketertinggalan di daerah-daerah yang umumnya ada di bagian barat
China, sekaligus untuk mengurangi tingkat kemiskinan.
Beberapa kebijakan yang diambil antara lain sebagai berikut:
1.
Mendorong konsumsi produk industri pengolahan dalam negeri di daerahdaerah produsennya melalui pengembangan produktivitas tenaga kerja
yang akan berimbas pada peningkatan pendapatan masyarakat.
2.
Meningkatkan keterkaitan, baik backward linkages maupun forward
linkages, dalam rangka meningkatkan penggunaan barang dan jasa
setempat.
3.
Mendorong capital-intensive manufacturing subsectors, yang meskipun
cenderung
sedikit
menggunakan
tenaga
kerja
tetapi
mempunyai
keterkaitan backward dan forward linkages.
4.
Mengupayakan peningkatan keterkaitan antar daerah
5.
Memanfaatkan pertumbuhan cepat industrialisasi di bagian timur China
sebagai mesin pertumbuhan keseluruhan perekonomian.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja, FDI diarahkan
untuk mengembangkan sektor industri manufaktur lokal. Perusahaan asing dapat
meningkatkan level pembentukan kapital, penetrasi pasar luar negeri, promosi
ekspor dan menghasilkan devisa. Mereka juga dapat menyediakan pasar untuk
pemasok dalam negeri dan industri penunjang yang sekaligus juga menggerakkan
88
alih teknologi, peningkatkan keterkaitan industri dan menstimulasi keseluruhan
industri
sehingga
menyediakan
kesempatan
kerja.
Mereka
juga
dapat
menyebarluaskan best practices melalui contoh efisiensi produksi yang lebih
tinggi, standar tenaga kerja serta perlindungan lingkungan dan upah yang lebih
baik.
Lebih dari itu, kompetisi di antara perusahaan asing dan domestik di pasar
yang didominasi oleh hanya beberapa perusahaan besar dapat meningkatkan daya
saing dan efisiensi perusahaan lokal. Tantangan yang dihadapi oleh perusahaan
manufaktur di barat China adalah menghasilkan produk yang mempunyai nilai
tambah lebih tinggi untuk menutup kekurangbertuntungan dalam hal biaya,
mengidentifikasi niche market baru didasarkan pada keunggulan komparatif
alami, dan melakukan spesialisasi produk baru yang dapat menciptakan
keunggulan kompetitif, serta mengembangkan pemasaran dan jalus ditribusi untuk
meraih nilai tambah yang relatif lebih tinggi.
2.9.2. Kebijakan Industri Indonesia
Pada buku Kebijakan Pembangunan Industri Nasional yang diterbitkan
oleh Departemen Perindustrian (2005) dinyatakan bahwa permasalahan
struktural industri Indonesia makin panjang, sesuai dengan dengan yang
tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
yaitu: Pertama, masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan
antara, dan komponen untuk seluruh industri, yang berkisar antara 28-30 persen
antara tahun 1993-2002. Inilah yang barangkali menjelaskan mengapa
melemahnya nilai rupiah terhadap dolar
menyebabkan kenaikan ekspor secara signifikan.
yang
secara tidak
langsung
89
Kedua, lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri
kita masih banyak yang bertipe 'tukang jahit' dan 'tukang rakit'. Ini terlihat jelas
dalam industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) serta industri elektronika.
Padahal, kedua sektor merupakan industri yang padat karya. Meningkatnya
upah minimum di berbagai daerah Indonesia menyebabkan Indonesia mulai
kehilangan pijakan untuk industri yang berbasis tenaga kerja murah.
Masalah
struktural berikutnya adalah rendahnya kualitas SDM,
sebagaimana tercermin pada tingkat pendidikan tenaga kerja industri, sehingga
menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja industri. Kemudian, belum
terintegrasinya UKM (Usaha Kecil dan Menengah) di Indonesia dalam satu mata
rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar dan kurang sehatnya iklim
persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam kondisi
mendekati 'monopoli'. Dengan berbagai permasalahan tersebut, bagaimana daya
saing industri Indonesia di pasar global? Dengan menggunakan indeks RCA
(Revealed Comparative Advantage), sejak tahun 1982 keunggulan komparatif
Indonesia meningkat pesat dengan pertumbuhan rata-rata 19 persen per tahun
hingga tahun 1994. Tidak berubahnya RCA Indonesia selama tahun 1965 sampai
tahun 1982 besar kemungkinan karena ekspor kita masih didominasi oleh minyak
dan produk pertanian yang padat sumberdaya alam (agricultural and resource
based industries).
Setelah tahun 1982, sejalan dengan upaya pengembangan broad base
industry, produk ekspor nonmigas Indonesia semakin beragam. Namun, beberapa
studi dengan menggunakan RCA menunjukkan bahwa komoditi industri
manufaktur Indonesia yang meningkat pangsa pasarnya di dunia masih didominasi
90
oleh produk berteknologi sederhana seperti karet, plastik, tekstil, kulit, kayu, dan
gabus.
Dalam rangka memberi acuan pada pembangunan sektor perindustrian,
Departemen Perindustrian merumuskan Bangun Industri Tahun 2025 yang
memberikan gambaran keadaan sektor industri yang sudah mapan, dimana
sektor ini telah menjadi mesin penggerak utama (prime mover) perekonomian
nasional, sekaligus tulang punggung ketahanan ekonomi nasional dengan
berbasis sumberdaya nasional, yang memiliki struktur keterkaitan dan
kedalaman yang kuat, serta memiliki daya saing yang tangguh di pasar
internasional.
Bangun industri tahun 2025 ditetapkan dengan mempertimbangkan
cabang-cabang industri yang memiliki potensi untuk dikembangkan, serta
mempertimbangkan sepenuhnya modal dasar, dan keinginan masyarakat dalam
membangun industri serta perekonomiannya di masa yang akan datang.
Cabang-cabang industri yang akan diprioritaskan pengembangannya
pada Bangun Industri tahun 2025 sebagai industri andalan masa depan adalah
sebagai berikut:
1.
Pilar Industri Agro, meliputi industri pengolahan kelapa sawit,
pengolahan hasil laut, pengolahan karet, pengolahan kayu, pengolahan
tembakau, pengolahan kakao dan cokelat, pengolahan buah, pengolahan
kelapa dan pengolahan kopi.
2.
Pilar
Industri
Angkut,
yaitu
kedirgantaraan, dan perkeretaapian.
industri
otomotif,
perkapalan,
91
3.
Pilar
Industri
Telematika,
yaitu
industri
perangkat/devices,
infrastruktur/jaringan dan aplikasi/content.
Tujuan pembangunan sektor industri jangka menengah tahun 2004-2009
ditetapkan sebagai berikut:
1.
Meningkatkan penyerapan tenaga kerja industri.
2.
Meningkatkan ekspor Indonesia dan pemberdayaan pasar dalam negeri.
3.
Memberikan sumbangan pertumbuhan yang berarti bagi perekonomian.
4.
Mendukung perkembangan sektor infrastruktur.
5.
Meningkatkan kemampuan teknologi.
6.
Meningkatkan pendalaman struktur industri dan diversifikasi produk.
7.
Meningkatkan penyebaran industri.
Tujuan pembangunan sektor industri jangka panjang tahun 2010-2025 meliputi:
1.
Memperkuat basis industri manufaktur agar industri yang tergabung dalam
kelompok ini mampu menjadi industri kelas dunia (world class industry).
2.
Meningkatkan peran industri prioritas agar menjadi modal penggerak
perekonomian nasional.
3.
Meningkatkan peran sektor industri kecil dan menengah terhadap struktur
industri, sehingga terjadi keseimbangan peran antara industri besar dengan
industri kecil dan menengah.
Beberapa strategi pokok dalam pembangunan sektor industri Tahun 20102025 adalah sebagai berikut:
92
1.
Memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari
industri termasuk kegiatan dari industri penunjang (supporting industries),
industri terkait (related industries), industri penyedia infrastruktur, dan
industri jasa penunjang lainnya.
2.
Meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun
kompetensi inti.
3.
Meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumberdaya yang digunakan
dalam industri, dan memfokuskan pada penggunaan sumber-sumberdaya
yang terbarukan (green product).
Beberapa strategi operasional dalam pembangunan sektor industri adalah
sebagai berikut:
1.
Pengembangan Lingkungan Bisnis yang nyaman dan kondusif.
2.
Fokus pengembangan industri dilakukan dengan mendorong pertumbuhan
Klaster Industri Prioritas yang sesuai.
3.
Penetapan prioritas persebaran pembangunan industri ke daerah-daerah
mendekati sumber bahan baku.
4.
Pengembangan kemampuan inovasi khususnya di bidang teknologi
industri dan manajemen.
Download