MINERAL M L PADA SUSU S KA AMBING PERANA AKAN ET TAWAH YANG Y MINER RALPADA SUSU KAMBIN K NG PERA ANAKAN N ETAWA AH DIBE ERI RANS SUM BER RSUPLEM MEN KEDELAI S SANGRAI, Y YANG DIIBERI RA ANSUM BERSUPL B LEMEN KEDELA AI SANGRAI, SELENIU UM, KRO OMIUM,V VITAMIN N A, DDA AN E SELENIU UM,KRO OMIUM,V VITAMIN N A, DDA AN E SKRIPS SI ALTAMII NURMIL LA DANIAR RI DEP PARTEME EN ILMU NUTRISI N DAN D TEKN NOLOGI P PAKAN FAKUL LTAS PETE ERNAKAN N INSTITUT T PERTAN NIAN BOGOR 2012 RINGKASAN ALTAMI NURMILA DANIARI. D24080231.2012. Mineral pada Susu Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Ransum Bersuplemen Kedelai Sangrai, Selenium,Kromium, Vitamin A, Ddan E. Skripsi. Departemen Ilmi Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Insititut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama :Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc. Pembimbing Anggota:Dr. Ir. Ibnu Khatsir Amrullah, MS. Susu kambing merupakan salah satu alternatif sumber protein hewani. Namun produktifitas kambing perah di Indonesia masih rendah. Hal tersebut disebabkan karena pemberian pakan dengan nutrien yang belum mencukupi.Kondisi lingkungan yang panas dan lembab memungkinkan kebutuhan kambing laktasi terhadap nutrien meningkat. Oleh karena itu diperlukan koreksi terhadap kebutuhan nutrien dengan suplementasi. Penelitian ini dirancang untuk mengkajipengaruh suplementasi kromimum (3,0 ppm), selenium (0,3 ppm), vitamin A (8000 IU/kg), vitamin D (1500 IU/kg), dan vitamin E (400 IU/kg) pada delapan ekor kambing perah peranakan Etawah (PE) laktasi dengan rataan produksi susu 556,67 ± 366,67 ml/hari/ekor.Kambing dibagi menjadi dua kelompok masing-masing empat ekor sesuai dengan produksi susunya. Kambing dikandangkan dan dipelihara secara individu dalam kandang panggung beratapkan genting. Pakan yang diberikan adalah rumput lapang, ampas tempe, rumput gajah, dedak, onggok, jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan crude palm oil (CPO)sebagai pakan perlakuan 1 dan pakan dengan suplemen kedelai sangrai, selenium, kromimum,vitamin A,D, danE sebagai perlakuan 2. Kambing mendapat pakan perlakuan selama 6 minggu. Peubah yang diukur meliputi produksi susu, konsumsi pakan, kadar mineral susu, kadar mineral feses, absorbsi mineral, dan deposisi mineral dalam susu. Rataan nilai peubah dibandingkan menggunakan uji t. Pemberian ransum komplit bersuplemen kedelai sangrai, selenium, kromium,vitamin A, Ddan Etidak mempengaruhi konsumsi bahan kering dan mineral, kadar mineral feses, absorbsi mineral,dan sekresi mineral di susu. Kadar mineral susu pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kadar mineral susu yang telah dilaporkan sebelumnya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa peningkatan kualitas pakan kambing PE diperkirakan lebih diperlukan untuk menunjang produksi dan kualitas susu. Kata kunci: Kambing, susu, selenium, vitamin, mineral ABSTRACT Mineral of Milk from Etawah Grade Goats Offered a Ration Suplemented with Selenium, Cromium, Roasted Soybeans, Vitamin A, D and E A.N Daniari, T. Toharmat, I. K Amrullah Milk from Etawah grade goatsis known as an alternative source of animal protein and provides better nutrients than cow’s milk. However,the dairy goat in Indonesia has low productivity. Goat may be exposed to heat stress and therefore nutrient intake is not adequate for optimum milk production. This study was designed to evaluate the efficiency of mineral, roasted soybeans, and vitamin supplementation in lactating goats. Eight Etawah gradegoat were allocated randomly to two dietary treatments. Experimental diet were a complete diet without supplement (treatment 1) and diet supplemented with roasted soybeans (280 g/kg),selenium (0.5 ppm),cromium (3 ppm),vitamin A (8000 IU/kg), vitamin D (1500 IU/kg), dan vitamin E (400 IU/kg). Feed intake, mineralabsorption, andmilkmineral content were observed. The results showed that the suplementation of minerals and vitamins in a complete ration did not affect feed intake, mineral absortion and mineral component in the dairy goats. It was concluded that supplementation of roasted soybeans, selenium, chromium, vitamin A, D and E in lactating goats did not influence absorption and secretion of the mineral in milk of Goats. The improvement of feed quality in feeding Etawah grade goats was important tosupport high production and quality of milk. Keywords: Milk, goat, selenium, vitamin, mineral MINERALPADA PADASUSU SUSUKAMBING KAMBINGPERANAKAN YANG DIBERI RANSUM MINERAL ETAWAH YANG BERSUPLEMEN SELENIUM, KROMIUM ORGANIK, DIBERI RANSUM BERSUPLEMEN KEDELAI SANGRAI, KEDELAI SANGRAI,VITAMINA, A,DDAN E SELENIUM, KROMIUM,VITAMIN VITAMIN DDAN VITAMIN E ALTAMI NURMILA DANIARI D24080231 Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Judul : Mineral pada Susu Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Ransum Bersuplemen Kedelai Sangrai, Selenium, Kromium, Vitamin A, Ddan E Nama : NIM : D24080231 Altami Nurmila Daniari Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc. NIP. 19590902198303 1 003 Dr. Ir. Ibnu Khatsir Amrullah, MS. NIP. 19521110 198003 1 004 Mengetahui: Ketua Departemen, Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Dr. Ir. Idat Galih Permana, MScAgr NIP. 19670506 199103 1 001 Tanggal Ujian: 20 Juni 2012 Tanggal Lulus: RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan 21 tahun yang lalu pada tanggal 21 Januari 1991 di Desa Gadungan, Kediri, Jawa Timur. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Budi Wiyono, B.Sc (55 tahun) dan Nurhayati Wiyono, B.Sc (48 tahun). Adik pertama bernama Hasbi Asyari merupakan mahasiswa jurusan psikologi Universitas Muhamadiyah Malang sedangkan adik kedua bernama Apsari Sekar Candrasmurti merupakan siswi kelas 4 SD Negeri Pare 1. Penulis memperoleh pendidikan yang dimulai pada tahun 1996 di SDN Pare I dan lulus pada tahun 2002, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Pare dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Penulis di SMA Negeri 2 Pare dan lulus pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2008 Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Nutrisi dan Teknologi Pakan sebagai major dan minor pada Budidaya dan Pengolahan Hasil Ternak Pedaging. Selama menjadi mahasiwa penulis aktif di berbagai kepengurusan organisasi diantaranya anggota pada Organisasi Mahasiswa Daerah Kediri KAMAJAYA (Keluarga Mahasiswa Jayabaya), Sanyuri (Santi Paguyuban Kediri), BEM KM staff Kementrian Lingkungan Hidup Kabinet Gemilang2009-2010,BEM KM Kementrian Budaya Olahraga dan Seni2010-2011, anggota dari Leadership and Entepreunership School (LES) Angkatan III, dan menjadi anggota Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI). Pada tahun 2010 Penulis beserta tim mendapat dana Dikti untuk melaksanakan PKM-P (Pekan Kreativitas Mahasiswa Bidang Penelitian). Pada tahun 2012 Penulis menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis (PKTT). KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Mineral pada Susu Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Ransum Bersuplemen Kedelai Sangrai, Selenium,Kromium, Vitamin A, Ddan E”. Penelitian ini merupakan lanjutan dari kegiatan penelitiandari Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penelitian (PKM-P) pada tahun 2010 dan dil5aksanakan selama 4 bulan (Juni – September 2011) bertempat di Pesantren Darul Fallah, Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Analisa pakan, feses, dan kandungan mineral susu dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan informasi terhadap upaya peningkatan kualitas susu kambing perah Etawah melalui perbaikan kualitas pakan yang diberikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memenuhi tujuan kegiatan penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran dan membangun sangat penulis harapkan untuk menjadikan karya ilmiah ini menjadi lebih baik. Bogor, Juni 2012 Penulis DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ……………………………………………………………. i ABSTRACT ……………………………………………………………… iii RIWAYAT HIDUP …………………………………………………….... vi KATA PENGANTAR ………………………………………………….... Vii DAFTAR ISI …………………………………………………………....... viii DAFTAR TABEL ……………………………………………………....... X DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. Xi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………...... Xii PENDAHULUAN ……………………………………………………...... 1 Latar Belakang …………………………………………………… Tujuan…………………………………………………………….. 1 3 TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………. 4 Ratio Pakan Hijauan dan Kosentrat ……………………………… Kacang Kedelai Sangrai ………………………………………….. Kambing Peranakan Etawah (PE) ………………………………... Populasi dan Produksi Susu ……………………………………… Komposisi Susu ………………………………………………….. Mineral …………………………………………………................ Kromium (Cr) …………………………………………………..... Selenium (Se) …………………………………………………….. Kalsium (Ca) …………………………………………………....... Pospor (P) …………………………………………………........... Magnesium (Mg) ………………………………………………… Seng (Zn) …………………………………………………............ Natrium (Na) …………………………………………………....... Kalium (K) ………………………………………………….......... Vitamin …………………………………………………............... Vitamin A ………………………………………………………... Vitamin E …………………………………………………............ Vitamin D …………………………………………………........... Kondisi Lingkungan Kandang dan Cekaman Panas ……………... 4 4 5 6 7 9 9 12 13 14 14 15 15 16 17 18 18 18 19 MATERI DAN METODE ……………………………………………….. 20 Lokasi dan Waktu ………………………………………………... Materi ………………………………………………….................. Prosedur ………………………………………………….............. Perlakuan …………………………………………………….. Persiapan Pakan …………………………………………….... 21 21 21 21 23 Pemeliharaan Kambing ………………………………………. Pengambilan Sampel dan Pengukuran Kadar Mineral Susu … Pengambilan Sampel dan Pengukuran Kadar Mineral Feses ... Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) ……………………………….. Komposisi Mineral Susu (%) dan Absorbsi Mineral (%) ……. Produksi susu (ml/ekor/hari) dan Sekresi Mineral Susu (g/ekor/hari) ………………………………………………….. Rancangan Percobaan ……………………………………………. 23 24 24 25 25 HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………….. 27 Kondisi Lingkungan Peternakan …………………………………. Konsumsi Pakan …………………………………………………. Absorbsi Mineral ………………………………………………… Komposisi Mineral Susu …………………………………………. Sekresi Mineral Susu …………………………………………… 28 30 31 33 34 KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 36 Kesimpulan …………………………………………………......... Saran …………………………………………………................... 36 36 UCAPAN TERIMAKASIH ……………………………………………... 37 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..... 38 LAMPIRAN ………………………………………………….................... 44 26 26 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Kebutuhan Nutrien Kambing Perah Dewasa pada Berbagai Fase Produksi ………………………………………………………….. 4 2. Komposisi Susu Kambing, Sapi, dan ASI ……………………….. 7 3. Karakteristik Susu Kambing ……………………………………... 8 4. Komposisi Bahan Komponen Pakan yang Digunakan pada Penelitian ………………………………………………………… 22 5. Komposisi Nutrient Rumput Lapang, Ampas Tempe, dan Ransum Komplit ………………………………………………………… 22 6. Rataan Konsumsi Bahan Kering dan Mineral Kambing Peranakan Etawah Laktasi yang Mendapat Pakan Tanpa atau Dengan Suplemen ………………………………………………................ 30 7. Rataan Kandungan Mineral Feses Kambing PE Laktasi yang Mendapat Pakan Tanpa atau Dengan Suplemen ………………. 31 8. Absorbsi Mineral pada Kambing PE Laktasi yang Mendapat Pakan Tanpa atau Dengan Suplemen ………………………….. 32 9. Komposisi Mineral Susu Kambing Peranakan Etawah Laktasi yang Mendapat Pakan Tanpa atau Dengan Suplemen ………… 32 10. Sekresi Mineral dalam Susu Kambing Peranakan Etawah Laktasi yang Mendapat Pakan Tanpa atau Dengan Suplemen … 35 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kambing Perah Peranakan Etawah ……......................................... 10 2. Struktur Glucose Tolerance Factor (Linder, 1992) ......................... 11 3. Metabolisme Se selenit .................................................................. 11 4. Reabsorbsi Asam Amino pada Filtrat Glomerulus (Sudrajat, 2000) .............................................................................................. 13 5. Grafik Suhu Minimum dan Maksimum di dalam Kandang Kambing Milik Darul Fallah Farm Selama Penelitian .................. 28 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Konsumsi Kambing Perah Peranakan Etawah (g/ekor/minggu) … 45 2. Kadar Mineral Pakan Kambing Perah Peranakan Etawah .............. 45 3. Data Koleksi Feses Kambing Perah Peranakan Etawah ................. 46 4. Kadar Mineral Feses Kambing Perah Peranakan Etawah .............. 47 5. Kadar Mineral Susu Kambing Perah Peranakan Etawah ................ 48 6. Data Produksi Susu Kambing Perah Peranakan Etawah ................ 49 PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi susu masyarakat Indonesia pada tahun 2001 adalah 883.758 ton dan meningkat menjadi 1.758.243 ton pada tahun 2007 atau meningkat sebesar 98.9%. Peningkatan konsumsi tersebut sejalan dengan peningkatan minat masyarakat akan susu kambing. Populasi ternak kambing di Indonesia mencapai 16.821.000 ekor (BPS, 2011). Menurut Ditjenak (2008) peningkatan konsumsi susu nasional tidak diimbangi dengan peningkatan produksi susu nasional termasuk susu kambing. Susu kambing mempunyai nilai nutrient yang tinggi. Menurut American Dairy Goat Association (2002) secara keseluruhan nilai nutrien susu kambing lebih tinggi dibandingkan susu sapi kecuali kadar kolesterol sedangkan kandungan protein, vitamin C dan vitamin D kadarnya sama. Apabila dibandingkan dengan air susu ibu (ASI), nilai nutrien susu kambing lebih tinggi, kecuali pada kandungan lemak, unsur besi (Fe) dan kolesterol. Namun produktifitas kambing perah di Indonesia masih rendah sehingga ketersediannya masih terbatas Kondisi lingkungan yang panas dan lembab khas iklim tropis di Indonesia menyebabkan kambing mengalami cekaman panas. Menurut Wayman et al. (1962) Cekaman panas meningkatkan kebutuhan nutrien untuk mempertahankan status fisiologis normalnya namun menurunkan konsumsi bahan kering karena kambing akan lebih banyak mengkonsumsi air. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan produksi susu maupun performan reproduksi kambing perah. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mendukung produktifitas kambing perah peranakan Ettawah (PE) di Indonesia adalah dengan pemberian ransum berkualitas baik yang mampu menjaga kondisi fisiologis yang normal. Kondisi pemberian pakan pada kambing PE di Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan nutrisinya sehingga diperlukan upaya perbaikan pakan. Beberapa pakan yang biasa digunakan peternak mempunyai kadar mineral mikro yang rendah.Selain itu perbaikan pakan dapat dilakukan dengan suplementasi nutrien yang mampu meminimalisasi pengaruh buruk dari oksidasi yang berlebihan dalam tubuh kambing yang mengalami cekaman. Beberapa komponen mineral mikro dan vitamin yang dapat ditambahkan adalah selenium, kromium organik, vitamin A, vitamin D, dan vitamin E. 1 Kacang kedelai merupakan salah satu sumber protein dan asam linoleat (Adawiyah et al., 2006). Proses pemanasan (sangrai) dapat menambah efisiensi pakan karena protein dapat diproteksi dari degradasi rumen dan lemak linoleat dapat membentuk conyugated linoleic acid (CLA) (Adawiyahet al., 2006).Sehingga suplementasi kacang kedelai diharapkan mampu menambah mutu ransum bagi ternak ruminansia. Menurut Piliang dan Soewondo (2006) kandungan protein yang cukup pada pakan dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrien oleh sel-sel tubuh. Menurut Muchtadi (1994) dan Winarto (2010) vitamin E mempunyai fungsi utama sebagai antioksidan di dalam tubuh dan mengurangi pengaruh buruk radikal bebas yang menumpuk akibat terjadinya cekaman. Vitamin E bekerja sinergis dengan Se dalam menjaga keutuhan membran selular dan subselular (Underwood dan Suttle, 2001; McDowell 1982). Unsur Se dikenal sebagai salah satu mineral yang mampu melawan efek oksidasi dari radikal bebas, sehubungan dengan perannya dalam salah satu unsur dari glutathione peroxidase (GSH-Px). GSH-Px merupakan salah satu enzim yang mampu melindungi membran selular dan subselular dari kerusakan oksidatif dengan cara mencegah akumulasi H2O2 (radikal hidroksil) serta menghancurkan peroksida sebelum peroksida merusak membran selular.(McDowell, 1992; Brody, 1994). Pemberian vitamin E dan selenium diharapkan mampu mempertahankan kondisi fisiologis kambing perah dalam memproduksi susunya. Menurut McDowell (2000)defisiensi vitamin A dapat menyebabkan hilangnya nafsu makanserta menyebabkan fertilitas menurun. Kambing dengan berbagai jenis status fisiologis membutuhkan vitamin A sebanyak 5000 IU/kg. Pemberian vitamin A diharapkan mampu membantu kambing dalam mempertahankan status fisiologis normalnya dan menunjang produksi susu. Cromium (Cr) organik sebagai suplemen digunakan karena kemampuan absorbsinya lebih baik dibanding Cr anorganik (Astuti, 2005). Menurut Piliang dan Soewondo (2006) Cr berfungsi: 1) meningkatkan aktifitas insulin dalam metabolisme glukosa; 2) mempertahankan kecepatan transpor glukosa dari darah menuju sel; 3) mengaktifkan kerja beberapa enzim; serta 4) merupakan komponen aktif dari GTF (glucose tolerance factor) yang dibutuhkan dalam transpor glukosa dan asam amino serta memegang peran dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Unsur Cr menurunkan level kortisol yang bekerja antagonistik dengan kerja insulin pada 2 ternak sapi yang mengalami cekaman sehingga kerja insulin berjalan normal untuk mendorong glukosa masuk ke dalam jaringan tubuh (Moonsie dan Mowat, 1993). Vitamin D diperlukan pada metabolisme kalsium (Ca), meningkatkan produksi enzim citrogenase dan pada akhirnya meningkatkan produksi sitrat yang dibutuhkan pada saat metabolisme Ca (Piliang dan Soewondo, 2006). Kalsium merupakan salah satu komponen pembentuk susu dan mineral yang diperlukan dalam jumlah banyak pada kambing periode laktasi. Selain itu Ca berfungsi untuk: 1) pembentukan tulang dan gigi; 2) membantu pembekuan darah; 3) membantu perkembangan fetus; 4) mempertahankan ritme jantung normal; 5) mempertahankan mekanisme tubuli ginjal; 6) berperan dalam kontraksi otot dan rangsangan syaraf; 7) mempertahankan kerja enzim, permeabilitas sel dan produksi air susu. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh perlakuan pemberian ransum komplit bersuplemen vitamin E, vitamin D, mineral Se dan Cr organik terhadap (a) konsumsi bahan kering, (b) konsumsi mineral, (c) absorpsi mineral, dan (d) sekresi mineral pada susu kambing peranakan Ettawah laktasi. 3 TINJAUAN PUSTAKA Ratio Pakan Hijauan dan Konsentrat Menurut Sudono et al. (2003), hijauan dalam pakan sapi laktasi yang tinggi menyebabkan tingginya kadar lemak susu karena lemak susu disintesis dari asetat yang tinggi produksinya jika kandungan serat kasar ransum tinggi. Pada ransum, serat kasar minimal 17% dari bahan kering. Jadi kadar lemak dalam susu tergantung pada rasio hijauan dan konsentrat dalam bahan pakan. Penurunan rasio hijauan menyebabkan produksi dan protein meningkat namun kadar lemak menurun. Formula ransum sangat mempengaruhi efisiensi produksi ternak. Menurut Blakely dan Bade (1991) kambing yang sedang laktasi akan menunjukan performan yang lebih baik jika diberikan hijauan yang dicampur dengan konsentrat. Apabila kualitas hijauannya tinggi, maka penggunaannya dalam ransum harus ditingkatkan, sebaliknya apabila kualitas hijuan rendah, presentase dalam ransum juga harus dikurangi dengan ketentuan serat kasar dan protein tidak kurang dari batas minimum (Suherman, 2005). Perbedaan konsumsi terjadi karena perbedaan faktor fisiologis ternak dan pakan (Orskov, 2001). Selain itu tingkat konsumsi pada kambing perah dipengaruhi oleh bobot badan, produksi susu, dan periode laktasi (Avondo etal., 2008), sedangkan pakan adalah faktor utama penentu produksi susu. Kebutuhan kambing perah pada setiap fase produksi ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Kambing Perah Dewasa pada Berbagai Fase Produksi Fase Produksi Konsumsi BK (% bobot badan) Kebutuhan Nutrien Hidup Pokok 1,8 – 2,4 Protein Kasar (% BK) 7 TDN (% BK) 53 Awal Kebuntingan 2,4 – 3,0 9 – 10 53 Akhir Kebuntingan 2,4 – 3,0 13 – 14 53 Laktasi 2,8 – 4,6 12 – 17 53 – 66 (Rashid, 2008) Kacang Kedelai Sangrai Kacang kedelai merupakan salah satu sumber protein dan asam linoleat (Adawiyah et al., 2006). Asam linoelat merupakan salah satu jenis asam lemak yang 4 sangat penting untuk tubuh karena berperan dalam pembentukan asam arachidonat dan asam linolinic (Williams, 1997). Sehingga suplementasi kacang kedelai diharapkan mampu menambah mutu ransum bagi ternak ruminansia. Proses pemanasan (sangrai) dapat menambah efisiensi pakan karena protein dapat diproteksi dari degradasi rumen dan lemak linoleat dapat membentuk conyugated linoleic acid (CLA) (Adawiyahet al., 2006). Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, subfamili Capriane, genus Capra dan spesies Carpa hicrus (Ensminger, 2002). Kambing peranakan Etawah (PE) merupakan hasil kawin tatar (grading-up) antara kambing Kacang dengan kambing Etawah, sehingga mempunyai sifat diantara tetuanya (Atabany, 2001). Sarwono (2002) menambahkan kambing PE memiliki bentuk fisik mirip kambing Etawah, dan ukuran badannya lebih kecil dari kambing PE dan disebut kambing Bligon, Gumbolo, atau Jawa Randu. Gambar 1. Kambing Perah Peranakan Ettawah (PE) Sumber : https://sites.google.com/site/afitrianto25/kambingPE.jpg (2012) 5 Karakterisitik kambing PE yaitu telinga panjang menggantung dengan warna bulu hitam atau merah dengan putih. Bobot badan jantan sektar 40 – 45 kg sedangkan bobot betina sekitar 32 kg (Susilorini et al., 2009). Kambing jantan PE berbulu di bagian atas dan bawah leher, pundak dan paha belakang, lebih lebat dan panjang. Kambing PE betina mempunyai bulu panjang hanya pada bagian paha belakang. Warna kombinasi coklat sampai hitam abu-abu (Sudono dan Abdulgani, 2002). Populasi dan Produksi Susu Populasi ternak kambing di Indonesia mencapai 16.821.000 ekor (BPS, 2011). Produksi susu kambing PE berkisar antara 0,5 – 2,5 liter/hari/ekor dengan masa laktasi 7-10 bulan (Sawarno, 2002). Asminaya (2007) menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering dan produksi susu kambing PE laktasi ke-2 adalah 1346 g/ekor/hari dan 1,2 liter/ekor/hari secara berturut-turut, sedangkan karakteristik susu kambing PE yaitu: berat jenis 1,0276 kg/m3; protein 3,43%; laktosa 6,42%; lemak 5,56%. Menurut Novita et al. (2006) produksi susu pada kambing PE dapat berkisar 567,1 g/ekor/hari, sedangkan menurut Atabany (2001) produksi susu harian PE di peternakan Barokah 0,99 kg/ekor/hari. Menurut Ensminger (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas susu kambing antara lain: 1) bobot badan induk; 2) umur induk; 3) ukuran ambing; 4) jumlah anak; 5) nutrisi pakan; 6) suhu lingkungan; dan 7) penyakit. Phalepi (2004) melaporkan bahwa produksi susu dipengaruhi oleh mutu genetik, umur induk ukuran dimensi ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana yang diberlakukan terhadap ternak (perkandangan, pakan, dan kesehatan), kondisi iklim setempat, daya adaptasi ternak dan aktivitas pemerahan. Populasi ternak kambing di Indonesia mencapai 16.821.000 ekor (BPS, 2011). Menurut Ditjenak (2008) peningkatan konsumsi susu nasional tidak diimbangi dengan peningkatan produksi susu nasional. Konsumsi susu masyarakat Indonesia pada tahun 2001 adalah 883.758 ton dan meningkat menjadi 1.758.243 ton pada tahun 2007 atau meningkat sebesar 98,9%. 6 Komposisi Susu Menurut American Dairy Goat Association (2002) terdapat perbedaan antara komposisi susu kambing, susu sapi, dan air susu ibu (ASI). Komposisi susu kambing dan susu spesies lainnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Susu Kambing, Sapi, dan ASI Komposisi Satuan Kambing Sapi ASI Protein (%) 3,0 3,0 1,1 Lemak (%) 3,8 3,6 4,0 Kalori (/100 ml) 70 69 68 Vitamin A (IU/gram) 39 21 32 Vitamin B (μ/100mg) 68 45 17 Riboflavin (μ/100mg) 210 159 26 Vitamin C (mg/100ml) 2 2 3,0 Vitamin D (IU/gram) 0,7 0,7 0,3 Kalsium (%) 0,19 0,18 0,04 Fe (%) 0,07 0,06 0,2 Fosfor (%) 0,27 0,23 0,06 (mg/100ml) 12 15 20 Kolesterol Sumber: American Dairy Goat Association (2002) Kosentrasi laktosa, mineral, dan komponen solid lainnya dalam susu dipengaruhi langsung oleh nutrien yang dikonsumsi ternak (Pulina et al., 2008). Menurut Ensminger (2002) susu kambing lebih berwarna putih dibanding susu sapi karena tidak mengandung karoten. Perbedaan utama antara susu sapi dan susu kambing adalah butiran lemak (fat globule) susu kambing lebih kecil dibandingkan dengan susu sapi sehingga lebih mudah diserap oleh tubuh manusia. Hal ini yang menyebabkan susu kambing perah PE mulai digemari oleh masyarakat Indonesia, selain kandungan gizinya yang lebih baik dibandingkan ASI dan susu sapi, daya serap susu kambing perah PE ini juga lebih baik di bandingkan kedua susu tersebut. Beberapa penelitian terdahulu telah mencoba menganalisa komposisi susu kambing pada umumnya. Komposisi susu kambing disajikan pada Tabel 3. 7 Tabel 3. Karakteristik Susu Kambing Komposisi Satuan Jumlah Sumber Bahan kering (%) 15,56 – 17,76 Hertaviani (2009) Berat jenis (kg/m3) 1,030 – 1,035 Hertaviani (2009) Laktoferin (mg/I) 42,62 – 46,10 Hertaviani (2009) Laktosa (%) 4,8 Pulina dan Nudda (2004) Energi (kkal/I) 650 Pulina dan Nudda (2004) Kalsium (mg/I) 134 Pulina dan Nudda (2004) Ca (%) 0,133 Setiawan (2003) (mg/100g) 130,28 ± 2,26 Soliman (2005) (mg/100g) 114 Haeinlein (1980) (%) 0,27 ADGS*(2002) (%) 0,11 Setiawan (2003) (mg/100g) 110,16 ± 1,61 Soliman (2005) (mg/100g) 84 Haeinlein (1980) (%) 0,0134 Setiawan (2003) (mg/100g) 13,87 ± 0,11 Soliman (2005) (mg/100g) 13 Haeinlein (1980) (%) 0,204 Setiawan (2003) (mg/100g) 201,45 ± 1,90 Soliman (2005) (mg/100g) 165 Haeinlein (1980) (%) 0,490 Setiawan (2003) (mg/100g) 50,33 ± 0,77 Soliman (2005) (mg/100g) 35 Haeinlein (%) 0,0003 Setiawan (2003) (mg/100mg) 0,32 ± 0,03 Soliman (2005) (mg/100g) 0,002 Haeinlein (1980) Vitamin A (IU/gram) 39 ADGS*(2002) Vitamin B (μ/100mg) 68 ADGS*(2002) Vitamin C (mg / 100 ml) 2 ADGS* (2002) Vitamin D (IU/gram) 0,7 ADGS*(2002) Posfor Mg K Na Zn *Keterangan : ADGS (American Dairy Goat Association) 8 Mineral Menurut McDowell (1992) mineral mutlak dibutuhkan oleh tubuh ternak karena menyusun seluruh jaringan tubuh ternak dalam kosentrasi dan proporsi yang berbeda. Mineral dibedakan menjadi mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro dibutuhkan dalam jumlah lebih dari 100 ppm (part per million) atau dinyatakan dalam persen (%) sedangkan mineral mikro dibutuhkan dalam jumlah kurang dari 100 ppm dan dinyatakan ppb (part per billion). Fungsi mineral diantaranya sebagai: 1) komponen penyusun organ dan jaringan tubuh; 2) penyusun cairan tubuh dan jaringan sebagai elektrolit; 3) katalis enzim dan sistem hormon (Underwood, 1981). Mineral dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang cukup dan proposional (McDonald, 1992). Jumlah mineral yang terdapat di dalam tubuh hanya mencapai 3,5% dari tubuh. Namun jika terjadi kekurangan atau kelebihan akan menyebabkan gangguan metabolisme secara luas. Metabolisme yang abnormal akan berhubungan dengan produktifitas dan pertumbuhan. Kromium (Cr) Unsur Cr bentuk organik dibuat dengan menginkorporasi mineral Cr inorganik ke dalam tubuh fungi dan fungi yang memberikan nilai inkorporasi dan efisiensi terbaik adalah Rhizopus oryzae (Astuti et al., 2005). Suplementasi Cr organik banyak digunakan karena ketersediaannya (bioavailability) dan penyerapannya lebih baik dibandingkan dengan Cr anorganik. Unsur Cr tergolong sebagai unsur transisi yang terdapat pada kondisi oksidasi + + 0, 2 , 3 , dan 6+. Ion Cr 3+ dianggap sebagai bentuk yang paling stabil dalam sistem biologis namun sulit melewati membran sel dan tidak reaktif sehingga sulit diserap oleh tubuh. Sedangkan ion Cr 6+ memiliki tingkat absorbsi di usus tinggi karena mudah melewati membran biologis dan bereaksi dengan komponen protein dan asam nukleat, namun dapat menimbulkan toksisitas (Mordenti et al., 1997). Bentuk Cr organik diidentifikasi berperan dalam sintesis susu, metabolisme karbohidrat dan lemak. Menurut Mertz (1998) unsur Cr berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3). Hormon tersebut berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat lemak, dan protein dalam hati, ginjal, jantung, dan otot serta meningkatkan sintesis protein. 9 Subiyatno et al (1996) melaporkan bahwa suplementasi Cr dapat meningkatkan glukosa dan kosentrasi hormone IGF-I (Insulin Like Growth Factor I) Hormon IGF-I berpengaruh terhadap pertumbuhan sel ambing, transport glukosa, dan berpengaruh langsung pada perkembangan epithelium sel ambing untuk sintesis susu. Meskipun menurut Collier (1985) pada sel kelenjar ambing ruminansia, uptake glukosa tidak dipengaruhi oleh insulin namun insulin berhubungan dengan uptake asam amino ke dalam kelenjar susu seperti valin, isoleusin, tirosin (Laarveld et al.,1981), metionin, lisin, asam glutamate, treonin, asparagin, dan serin (Fleet dan Mepham, 1985). Unsur Cr berperan dalam metabolisme glukosa dalam tubuh. Unsur Cr dalam tubuh membentuk glucose tolerance faktor (GTF). Menurut Cefalu dan Hu (2004) sGTF tersusun atas kompleks Cr 3+dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamate, glisin, dan sistein. Tanpa adanya Cr pada intinya maka GTF tidak bisa bekerja mempengaruhi insulin dan kondisi ini disebut apo-chromodulin. Apo-chromodulin terdapat pada sitoplasma dan nukleus sel yang sensitif terhadap insulin. Setiap individu hewan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mensintesis GTF. Sintesis GTF berlangsung dalam hati dan dapat terbentuk dalam usus oleh bakteri (Pilliang dan Soewondo, 2006). Pada kondisi hewan stress maka kebutuhan glukosa sebagai sumber energi untuk mempertahankan kondisi fisiologis normalnya meningkat. Keadaan ini diikuti oleh meningkatnya level kortisol yang menghambat penyerapan glukosa menuju jaringan tubuh sehingga terjadi penumpukan glukosa dalam darah (hiperglikemia). Unsur Cr menurunkan level kortisol yang bekerja antagonistik dengan kerja insulin. Unsur Cr masuk ke dalam tubuh secara endositosis dengan bantuan transferin dan bergabung dengan apo-chromodulin membentuk chromodulin aktif (GTF). Chromodulin aktif mengaktivasi reseptor insulin sehingga mengaktifasi tyrosine kinase dan phospotyrosine phospatase. Ketika reseptor insulin aktif maka reseptor tersebut mampu menangkap insulin sehingga uptake glugosa dan asam amino dipermudah (Burton, 1995; Davis dan Vincent, 1997; Nikkah et al., 2010; Moonsie dan Mowat, 1993; Pechova dan Pavlata, 2007; Vincent, 1999; Vincent, 2000;) 10 Gam mbar 2. Strukktur Glukosse Tolerancce Factor Suumber: Linder (1992) Supleementasi Crr dapat menningkatkan konsumsi k b bahan kering (Hayirli et e al,. 20001; McNaamara dan Valdes, 2005; 2 dan Nikkah et al., 2010)). Pening gkatan koonsumsi dissebabkan kaarena suplem mentasi Cr menekan m lippolisis (Nikkkah et al., 2010) 2 m mobilisasi lemak dan laj aju pelepasaan non esterrified fatty acids a (NEF FA) (Yang et e al., 19996; Kegleyy et al., 20000). Meninggkatnya kon nsumsi bahaan kering dan berkuran ngnya leevel insulin dalam daraah menginddikasikan banyaknya nutrien n yangg beredar dalam d tuubuh, terutaama yang menuju m ke kelenjar susu s untuk sintesis protein susu u dan prroduksi sussu (Hayirli et e al.,2001; NRC, 2001 1) Astussti et al (20005) melapoorkan bahw wa suplemenntasi Cr orgganik cendeerung daapat meningkatkan produksi NH H3, volatile fatty acidss (VFA) tootal, isoacid d dan prroduksi propionat yangg berkolerasi dengan peningkatan p n efisiensi kkonversi hek ksosa seerta penurunnan produkssi CH4 (mettan). Menurrut McDonaald (1995) ppropionat adalah a V VFA yang bersifat b gluukogenik ataau dapat seebagai prekkursor padaa proses sin ntesis gllukosa melaalui tahapann glukoneogenesis. An ndries et all.(1987) meelaporkan bahwa b isoacid adalaah sumber kerangka karbon k bagii bakteri unntuk biosinntesis asam--asam mino rantai cabang seperti valin, leusin, dan n isoleusin serta berguuna bagi baakteri am seelulotik untuuk sintesis asam a lemakk rantai panjjang dan sinntesis aldehhid. Astuti (2 2005) m melaporkan bahwa penningkatan efisiensi e ko onversi hekksosa berhuubungan deengan peenurunan energi e yangg terbuang dalam ben ntuk metann. Penelitiann Astuti (2 2005) m menyatakan b bahwa supllementasi krromium org ganik pada level 1 mg//kg telah mampu m meningkatka n kosentrassi ammonia.. Arora (199 95) menyataakan bahwaa amonia peenting kaarena berpenngaruh terhhadap pertum mbuhan bio omassa mikrroba rumenn sehingga sangat s m menentukan sintesis prootein mikrooba rumen. Perbaikan kondisi biomassa mik kroba 11 rumen tersebut berpengaruh terhadap aktivitas mikroba rumen dalam mencerna bahan kering. Selenium (Se) Selenium telah lama dikenal sebagai mineral yang mempunyai peran penting pada tubuh ternak. Unsur Se memiliki tingkat rentang yang sempit antara tingkat Se ransum suboptimal dan tingkat Se toksis (Sudrajat, 2000). Optimasi penggunaan Se dapat meningkatkan efisiensi produksi telur, efisiensi produksi daging, dan produksi susu (Lyson, 2007). McDowell (1992) menjelaskan bahwa Se dapat direduksi menjadi keadaan oksidasi -2 (selenida) atau dioksidasi menjadi keadaan oksidasi +4 (selenite) atau +6 (selenat). Georgievskii (1982) menginformasikan bahwa H2SeO3 dan (H2SeO4 dapat membentuk garam selenit dan selenat. Sodium selenit dan sodium selenat dikenal sebagai sumber Se inorganik untuk hewan, sedangkan seneomethionin dikenal sebagai bentuk Se organik. Saat ini kedua garam tersebut banyak digunakan untuk suplementasi pada pakan. (Lyson et al., 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi ketersediaan Se adalah bentuk kimia dari Se, komponen penyusun pakan yang lain, status Se, status fisiologis ternak, dan spesies (Thomson, 1998). Se selenit Eritrosit Selenida Plasma Albumin Gluthatione Hati Gambar 3. Metabolisme Se selenit Menurut Underwood (1977) serta Suzuki dan Ogra (2002) Se selenit diubah menjadi selenida oleh glutathione di eritrosit sehingga dapat ditransport melalui plasma dan berikatan dengan albumin dan selanjutnya ditransfer ke hati. McDowell (1982) menyatakan bahwa Se diangkut darah menuju tulang, rambut, dan leukosit. Georgievskii (1982) menerangkan bahwa penyerapan Se melawan kosentrasi di bagian bawah usus halus dan ekskresi Cr endogen terjadi pada duodenum (Georgievskii, 1982). McDowell (1982) menyatakan bahwa tidak ada penyerapan Se 12 di rumen dan abomasum domba, penyerapan tertinggi terjadi pada duodenum dan sekum. Vitamin E bekerja sinergis dengan Se dalam menjaga keutuhan membran selular dan subselular (Underwood dan Suttle, 2001; McDowell 1982). Unsur Se dikenal mampu melawan efek oksidasi dari radikal bebas dalam bentuk glutathione peroxidase (GSH-Px). GSH-Px merupakan salah satu enzim yang mampu melindungi membran selular dan subselular dari kerusakan oksidatif dengan cara mencegah akumulasi H2O2 serta menghancurkan peroksida sebelum peroksida merusak membran selular (McDowell, 1992; Brody, 1994). Brody (1994) menyatakan bahwa glutathione terlibat dalam reabsorpsi asam amino pada filtrat glomerulus. Glutathione mempengaruhi enzim γ-glutamyltranspeptidase yang membatasi sel lumen tubulus ginjal dan mempengaruhi penyerapan substrat asam amino cystein, glutamine, methionine, alanine, serine, dan dipeptida. γ-glutamyltranspeptidase Asam amino Gluthatione γ-glutamyl – asam amino Cys-Gly Gambar 4. Reabsorbsi Asam Amino pada Filtrat Glomerulus Sumber: Sudrajat (2000) Kalsium (Ca) Unsur Ca diperlukan dengan kisaran 1%-2% dalam ransum. Unsur Ca merupakan mineral terbesar yang terdapat dalam tubuh hewan. Sebagian besar (99%) terdapat dalam tulang dan gigi, sedangkan 1% terdapat dalam cairan ekstraseluler (Paraksi, 1999). Unsur Ca diabsorpsi pada usus halus (Uderwood dan Suttle, 1999). Menurut Haenlein (1980) aborbsi Ca terbanyak dimulai dari duodenum, jejunum, dan ileum. Piliang dan Soewondo (2006) menjelaskan bahwa Ca diserap dengan transpor aktif dalam keadaan ionik . Ca dieksresikan dari tubuh melalui feses, urine, plasenta, kulit dan melalui kelenjar susu pada proses laktasi. Menurut McDowell (1992) ekskresi Ca dalam urin sangat sedikit karena adanya penyerapan kembali oleh ginjal. 13 Unsur Ca dibutuhkan dalam jumlah yang lebih besar ketika kambing berada pada masa laktasi. Kekurangan Ca menyebabkan hipokalsemia, berkurangnya Ca dalam susu, dan berkurangnya produksi susu (Horst,2003; Heinlein, 1980). Kekurangan Ca pada kambing laktasi akan mengurangi cadangan Ca di tulang dan meningkatkan absorpsi Ca (Heinlein, 1980). Pengambilan Ca dalam tubuh selama periode kehamilan dan laktasi dapat mencapai 60% atau 70%. Pada sapi perah Ca yang berasal dari tulang lebih banyak digunakan untuk produksi susu daripada Ca dari pakan sehingga penting untuk menjaga keseimbangan Ca dalam darah dan tulang. Penurunan konsumsi Ca juga berakibat pada infertilitas (Piliang dan Soewondo, 2006). Penyerapan Ca dihambat oleh adanya sodium alginate (Heinlein, 1980). Piliang dan Soewondo (2006) menyatakan bahwa hormon parathyroid mempengaruhi metabolisme Ca dan eksresi P dalam urine. Hormon tersebut memiliki fungsi mengatur kadar Ca di dalam plasma dan mengatur kosentrasi Ca di dalam air susu. Beberapa fungsi Ca adalah: (1) komponen tulang, gigi, dan produksi susu (2) terlibat pada proses pembekuan darah, (3) mendukung pertumbuhan dan perkembangan fetus, (4) memelihara rhytme jantung yang normal, (5) membantu fungsi tubuli ginjal, (6) berperan dalam kontraksi otot dan rangsangan syaraf, (7) mengatur aktifitas enzim, dan (8 mempertahankan permeabilitas dinding sel. Piliang dan Soewondo (2006) menjelaskan bahwa protein berperan dalam penyerapan Ca oleh usus. Pakan yang mengandung protein tinggi akan mempermudah penyerapan Ca. Kadar P pakan yang P tinggi menurunkan absorbsi Ca. Transpor Ca dapat dihambat oleh kelangkaan oksigen dan adanya i dinitrofenol, natrium azida, maupun florizin. Kosentrasi K yang tinggi menghambat transpor Ca di dalam sel mukosa. Mineral Ca memegang peranan penting pada proses transfer komplek vitamin B12–intrinstic factor ke dalam sel. Haenlein (1980) menjelaskan bahwa penambahan ammonium klorida pada pakan akan meningkatkan penyerapan Ca di usus. Hal ini karena sifat ammonium klorida yang asam. Namun pemberian ammonium klorida dapat menurunkan nafsu makan. Posfor (P) Unsur P sangat penting perannya dalam proses biokimia dan fisiologis. Pospor berfungsi untuk 1) mengatur keseimbangan asam basa, 2) dalam metabolisme 14 protein dan energy, 3) mempertahankan struktur sel membrane, 4) menjaga kesehatan tulang dan gigi (WHO/FAO, 1996). Rasio Ca:P pada pakan menentukan produksi susu dan rasio yang normal akan mencegah terjadinya hipophospatemia dan hipokalsemia (Fomon, 1993). Suplementasi 20g CaO dan 13g P2O5 selama 2 minggu akan meningkatkan produksi susu kambing sebanyak 10% sedangkan suplementasi selama 4 minggu akan meningkatkan produksi susu sebanyak 15% - 25% (Soliman, 2005) Penyerapan P akan terhambat dengan pemberian estrogen (estradiol). Kekurangan asupan P akan menyebabkan berkurangnya nafsu makan dan menekan pemanfaatan fosfat oleh tulang. Hal ini dapat menimbulkan hipophospatemia yang merupakan salah satu penyebab milk fever. Keadaan ini akan mempengaruhi kerja hormon paratiroid pada mekanisme homeostasis (Haenlein, 1980). Magnesium (Mg) Unsur Mg memegang peranan penting dalam mengaktifkan 100 enzim dan berperan dalam reaksi 300 enzim. Unsur Mg juga berfungsi menjaga kesehatan kardiovaskular, otot, fungsi syaraf, metabolisme protein, dan pembentukan tulang dan gigi (WHO/FAO, 1996). Kadar Mg darah menurun ketika kambing mendapat pakan yang banyak mengandung Kyang menyebabkan peningkatan uptake seluluar Mg, dan meningkatkan retensi Mg. Menurut Haenlein (1980) pemberian 238 mg Mg pada kambing berusia 2 tahun selama 11 hari mengindikasikan terjadinya defisiensi Mg yang ditandai dengan penurunan produksi susu, penurunan eksresi urin, penurunan eksresi Mg total, dan peningkatan plasma darah sebesar 10%. Kadar Mg pada urin turun, namun akan kembali naik dengan volume urin yang lebih sedikit, sedangkan kadar Mg susu tidak berubah.Tempat absorpsi Mg pada ternak ruminansia dewasa adalah pada bagian retikulorumen, sekitar 25% Mg. Jumlah Mg yang diaborpsi menurun seiring dengan penurunan tingkat Mg pakan. Dalam kondisi defisien Mg, hewan akan meningkatkan mobilisasi Mg cadangan dalam tubuh untuk menggantikan absorpsi Mg yang rendah (McDowell, 1992). Seng (Zn) Unsur Zn berfungsi dalam pengaktifan 200 enzim dan terlibat pada metabolisme, reproduksi, dan penyembuhan luka (WHO/FAO, 1996). Ketika 15 pasokan Zn menurun tidak mempengaruhi produksi susu namun menurunkan kadar Zn susu. Gejala defisiensi Zn diantaranya terjadi paraketosis, peningkatan bakteri di mulut, kekuan sendi dan pembengkakan kaki, berkurangnya inkordinasi, mata banyak mengeluarkan cairan, produksi saliva berlebih, testis kecil, skortum kecil, berkurangnya nafsu makan, rambut tumbuh kasar, dan tidak adanya libido. Di dalam tubuh kosentrasi tertinggi Zn ada pada prostat, semen, dan epididimis. Metabolisme Zn dihambat oleh adanya Cu dan Fe. Kadar Zn yang tinggi menyebabkan terjadinya anemia. Level Zn 1000 ppm menyebabkan diare. Sekresi Zn terbanyak ada pada feses (88%) sedangkan sekresi pada urin dan susu rendah. Analisa rambut dapat mengetahui status Zn pada tubuh ternak (Haenlein, 1980) Natrium (Na) Natrium terdapat di dalam cairan esktraseluler membentuk larutan NaCl atau Na2CO3 dan berfungsi mengatur keseimbangan air, mengatur tekanan osmosis, mengatur keseimbangan asam basa, mengatur kontraksi otot, dan mengatur kontraksi syaraf (WHO/FAO, 1996; Nasoetion, 1995). Kekurangan Na menyebabkan 1) turunnya nafsu makan, 2) timbulnya rasa haus, 3) menurunkan tekanan osmosis, 4) volume cairan tubuh menurun sehingga tekanan darah menurun dan penurunan berat badan, 5) penurunan volume urin, 6) produksi susu menurun, 7) lemak susu meningkat, 8) pertumbuhan terhambat, dan 10 ) penurunan produksi susu saat laktasi. Kelebihan Na menyebabkan 1) diare, 2) otot gemetar, 3) naiknya tekanan darah, 4) volume cairan esktraseluler meningkat, dan 5) kematian (Haeinlein, 1980; Nasoetion, 1995). Nasoetion (1995) menyatakan bahwa metabolisme Na diatur oleh aldosteron dari korteks adrenal yang meningkatkan penyerapan kembali dari ginjal. Pengangkutan Na melalui dinding epitel usus. Pada duodenum dan jejenum, NaCl akan berpindah dari darah ke usus bila cairan mengalami hipotonik. Metabolisme Na dipengaruhi oleh beberapa faktor. Estrus dan estrogen akan menyebabkan penurunan Na dan Cl (Soliman, 2005). Pemberian ammonium chloride akan menyebabkan asidosis dan meningkatkan ekskresi Na dan air (Heinlein, 1980) 16 Kalium (K) Kalium adalah unsur terbanyak yang terdapat pada susu kambing (Soliman, 2005). Menurut WHO/FAO (1996), K berfungsi untuk 1) mengatur impuls syaraf, 2) mengatur keseimbangan air dan cairan tubuh, 3) mengatur keseimbangan asam basa, 4) mengatur kontraksi otot, 5) dan meregulasikan detak jantung secara normal. Defisiensi K menurut Hurley (1989) akan menyebabkan 1) estrus tidak normal, 2) aktivitas ovarium menurun, 3) fertilitas menurun, 4) hypophospatemic. Unsur K bersama Na, Ca dan Mg dalam cairan ekstraseluler mempunyai reaksi alkalis. Kalium bersama-sama dengan klorida (Cl) membantu menjaga tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa dalam cairan intraseluler dan sebagian terikat dengan protein. Kalium membantu mengaktivasi reaksi enzim piruvat kinase yang menghasilkan asam piruvat dalam metabolisme karbohidrat. Kalium diekskresikan dalam usus oleh cairan pencernaan tetapi sebagian besar akan diserap. Ginjal adalah organ utama ekskresi K. Kalium mencapai sel melalui proses absorbsi aktif. Kalium dibuang dari tubuh melalui urin. Hampir sebagian besar kegiatan tubuh dipengaruhi oleh kosentrasi K dalam plasma (Nasoetion, 1995). Vitamin Menurut Piliang dan Soewondo (2006) vitamin-vitamin dapat diabsorpsi secara keseluruhan oleh usus halus. Vitamin tidak dapat digunakan secara habis dalam reaksi biokomia namun satu molekul vitamin akan digunakan berulang-ulang, namun mengalami degradasi dan memerlukan pergantian molekul baru. Fungsi vitamin diantaranya 1) sebagai koenzim atau gugus prostetik dari enzim, 2) mengatur metabolisme, 3) membantu mengkonversi lemak dan karbohidrat mejadi energi, dan 4) membantu pembentukan tulang serta jaringan tubuh. Beberapa vitamin dapat disintesis oleh tubuh di saluran pencernaan pada batas-batas tertentu, misalnya vitamin K, thiamin, folacin, dan vitamin B12. Vitamin A, choline, dan niacin dapat dibentuk di dalam tubuh jika tersedia prekursornya. Vitamin D dapat disintesis kulit melalui bantuan sinar ultra violet (UV). Jumlah maksimum suatu vitamin dimana jaringan tubuh dapat mempertahankannya dikenal sebagai kadar kejenuhan suatu vitamin (Saturation Level). Bentuk vitamin dapat mempengaruhi tingkat absorbsi (Piliang dan Soewondo, 2006). 17 Vitamin larut lemak dapat disimpan dalam jumlah yang lebih banyak dibanding vitamin yang larut air, sehingga vitamin larut lemak mempunyai potensi besar untuk mencapai kondisi toksisitas dibanding vitamin larut air. Vitamin larut air mempunyai daya jenuh rendah karena kelebihannya akan diekskresikan melalui urin. Vitamin larut lemak umumnya cukup stabil terhadap proses pemasakan, pemanasan, dan tidak hilang dalam air dalam proses memasak (Piliang dan Soewondo, 2006). Vitamin A Vitamin A berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan, diferensiasi sel, reproduksi dan kekebalan. Menurut McDowell (2000) defisiensi vitamin A dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, hilangnya bobot badan, penampilan buruk dan rabun serta menyebabkan fertilitas menurun pada kambing yang sedang tumbuh. Kambing dengan berbagai jenis status fisiologis membutuhkan vitamin A sebanyak 5000 IU/kg. Vitamin D Piliang dan Soewondo (2006) menyatakan bahwa vitamin D meningkatkan enzim citrogenase dan produksi sitrat dan memacu penyerapan Ca.Hurley (1989) menyatakan bahwa vitamin D terlibat dalam proses homeostatis Ca darah yang juga melibatkan hormone paratiroid, kalsitonin, dan bentuk aktif vitamin D (1,25 dihidroxyvitamin D3) (Horst, 2003). Kadar Ca darah memiliki laju pergantian yang sangat cepat ketika kambing sedang laktasi. Regulasi Ca dalam darah penting untuk dijaga pada level normal untuk mencegah terjadinya hipokalsemia.Kambing dengan berbagai jenis status fisiologis membutuhkan viamin E sebanyak 100 IU/kg (McDowell, 2000). Vitamin E Menurut Muchtadi (1994) dan Winarto (2010) vitamin E mempunyai fungsi utama sebagai antioksidan di dalam tubuh dan mengurangi pengaruh buruk radikal bebas yang menumpuk akibat terjadinya cekaman. Menurut Piliang dan Soewondo (2006) vitamin E mempunyai potensi sebesar 1%-50% dari bentuk aktif dalam vitamin E, yaitu sebagai tokoferol (Piliang dan Soewondo, 2006). Vitamin E berfungsi: (1) sebagai antioksidan biologis, (2) menjaga struktur lipida, (3) dalam 18 reaksi-reaksi fosforilasi, (4) dalam metabolisme asam nukleat, (5) dalam sintesis asam askorbat, (6) sintesis ubiquinon dan metabolisme sulfur asam amino (Sumardjo, 2006). Vitamin E juga berfungsi untuk mengatur integritas dan fungsi organ reproduksi, sirkulasi darah, dan kekebalan tubuh (Leshchinsky dan Klasing, 2001). Vitamin E sebagian besar disimpan di jaringan lemak dan selebihnya di hati (Almatsier, 2001). Menurut Noguchi dan Niki (1999), vitamin E termasuk antioksidan primer yang bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai peroksidasi lipid dengan cara menjadi donor ion hidrogen bagi radikal bebas menjadi molekul yang lebih stabil yaitu hidroperoksida. Enzim GSH-Px juga bekerja sebagai donor hidrogen. Vitamin E bekerja sinergis dengan Se dalam menjaga keutuhan membran selular dan subselular (Underwood dan Suttle, 2001; McDowell 1982; Parakkasi, 1983). Dalam bentuk tokoferol, vitamin E bekerja mencegah terbentuknya peroksida bebas sedangkan Se mengurangi peroksidasi fofolipid yang sudah terlanjur terbentuk (Fellenberg dan Speisky, 2006; McDowell, 1982). Namun jumlah vitamin E yang cukup masih belum mampu mencegah timbulnya beberapa peroksida yang terbentuk. Unsur Se merupakan pertahanan kedua untuk menjaga keutuhan membrasel setelah Vitamin E (McDowell, 1982). Kambing dengan berbagai jenis status fisiologis membutuhkan viamin E sebanyak 100 IU/kg (McDowell, 2000). Kondisi Lingkungan Kandang dan Cekaman Panas Menurut Siregar (1997) iklim merupakan stressor yang kuat dalam mempengaruhi produksi susu baik secara langsung maupun tidak langsung. Wayman et al (1962) mengungkapkan bahwa suhu udara yang tinggi dapat menurunan produksi susu sebagai akibat dari turunnya nafsu makan ternak, turunnya gerak laju digesta, dan turunnya efisiensi penggunaan energi untuk produksi susu. Battacharya dan Husain (1974) menyatakan bahwa suhu yang panas mampu menurunkan daya cerna bahan kering, protein kasar, lemak, dan metabolisme energi. Menurut Scientific Committee on Animal Health and Animal Welfare (1999) kambing lebih sensitif terhadap dingin dibandingkan dengan domba. Kambing rentan terhadap kelembaban dan angin (Constantinou, 1987). Meskipun kambing lebih toleran terhadap suhu yang tinggi, namun kambing juga peka terhadap suhu tinggi. Menurut Appleman dan Delouche (1958), suhu 300C dapat menurunkan 19 produksi susu. Hafez (1968) melaporkan bahwa suhu 350C sudah dapat menurunkan produksi susu kambing. Smith dan Sherman (1994) melaporkan kondisi optimum kandang kambing pada iklim temperate minimum 60C dan maksimum 270C, sedangkan kelembaban relatifnya 60%-80%. Olsson et al. (1997) menjelaskan bahwa suhu lingkungan yang tinggi mempengaruhi peripheral thermoreceptor dan thermosensitive unit pada sistem syaraf pusat. Suhu juga merangsang bagian pre-optical di hipotalamus untuk mengaktifkan mekanisme heat-loss secara fisiologis dan tingkah laku. Ketika cekaman panas terjadi maka peredaran darah mengalami penyesuaian dengan adanya inhibisi dari syaraf sympathetic vasoconstrictor sehingga kulit mencapai vasodilatasi maksimal. Suhu rectal meningkat sehingga hewan akan mengalami panting yang diikuti dengan menurunnya konsumsi pakan dan meningkatnya konsumsi air. 20 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di peternakan kambing Darul Fallah Farm yang terletak di Pondok Pesantren Darul Fallah, Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Juni sampai September 2011. Analisa pakan, feses, dan kandungan mineral susu dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Ternak yang digunakan adalah kambing perah peranakan Etawah (PE) yang sedang laktasi sebanyak 8 ekor dengan rataan produksi susu 356,46±320,69 g/hari/ekor. Pakan yang diberikan adalah rumput lapang, ampas tempe, rumput gajah, dedak, onggok, jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan crude palm oil (CPO). Suplemen yang digunakan adalah kedelai sangrai, selenium, kromium, vitamin A, vitamin D, dan vitamin E. Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan kambing berupa kandang individu berbentuk panggung berukuran 1 x 2m yang terbuat dari bambu. Peralatan lain yang digunakan selama penelitian adalah perlengkapan kandang, perlengkapan koleksi feses, peralatan analisa proksimat, peralatan analisa mineral, gelas ukur 1 liter, timbangan kasar 5 kg, timbangan kasar 1 kg, oven 600 dan tanur. Prosedur Perlakuan Pakan yang diberikan adalah rumput lapang, ampas tempe, rumput gajah, dedak, onggok, jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan crude palm oil (CPO). Dua perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalahperlakuan 1 yaitu pemberian pakan tanpa suplementasi dan perlakuan 2 yaitu pemberian pakan dengan suplementasi kedelai sangrai, vitamin A, D, E dan mineral kromium dan selenium. Pakan Komposisi ransum komplit yang digunakan selama penelitian dapat dilihat di Tabel 4. 21 Tabel 4. Komposisi Bahan Pakan yang Digunakan pada Penelitian Bahan Pakan Komposisi dalam Ransum (%) Perlakuan 1 Perlakuan 2 Pakan Basal Rumput Lapang 32,12 32,12 Ampas Tempe 53,15 53,15 Rumput Gajah Kering 5,89 5,89 Dedak 0,85 0,85 Jagung 2,48 2,48 Onggok 1,29 1,29 Bungkil Kedelai 2,98 2,98 Bungkil Kelapa 0,94 0,94 CPO 0,30 0,30 Suplementasi Kedelai Sangrai - 280g/kg Vitamin A - 8000 IU Vitamin E - 0,045 g/kg Vitamin D3 1500 IU Se - 0,30 ppm Cr Organik - 3,00 ppm Pakan yang digunakan pada penelitian terdiri dari dua jenis, yaitu perlakuan 1 dan pakan perlakuan 2. Kedua jenis pakan tersebut dianalisa beserta sampel ampas temp dan rumput lapang yang digunakan pada peternakan Darul Fallah Farm. Analisa proksimat bertujuan untuk mendapatkan komposisi nutrien yang terkandung pada pakan dan bahan pakan tersebut. Analisa proksimat berguna untuk menghitung peubah-peubah yang diamati meliputi (a) konsumsi bahan kering, (b) konsumsi mineral, (c) absorpsi mineral, dan (d) sekresi mineral pada susu kambing peranakan Ettawah laktasi. Komposisi nutrien pakan perlakuan 1, pakan perlakuan 2, ampas temped an rumput lapang yang digunakan dalam penelitian terdapat pada Tabel 5. 22 Tabel 5. Komposisi Nutrient Rumput Lapang, Ampas Tempe, dan Pakan Kode BK(%) Perlakuan 1 Perlakuan 2 Ampas Tempe Rumput Lapang 85,69 84,18 20,59 22,42 Abu 10,85 10,85 4,42 11,69 PK 21,96 16,27 18,02 13,29 SK 17,62 19,29 51,68 39,16 LK 2,26 2,77 2,23 1,29 Beta-N 47,31 50,82 23,65 34,57 Ca 0,28 0,37 0,16 0,21 P 0,14 0,12 0,04 0,18 Mg 0,07 0,03 0,04 0,04 K 4,03 4,29 0,94 4,11 Na 0,06 0,04 0,15 0,03 Zn 0,02 0,02 0,02 0,02 Komponen(% BK) Mineral(%) Keterangan : Data diperoleh dari analisis proksimat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Persiapan Pakan Rumput gajah yang digunakan dikeringkan (hay) dibawah terik matahari. Bahan-bahan lain penyusun konsentrat digiling halus. Kromium yang digunakan berasal dari inkorporasi kromium inorganik melalui bantuan fermentasi kapang tempe (Rhizopus oligosporus) selama 10 hari. Tempe yang mengandung kromium dan telah siap panen kemudian dicacah dan dikeringkan di dalam oven 60o untuk selanjutnya digiling. Selenium, vitamin A, vitamin D, dan vitamin E diperoleh dari PT. Nutreco Indonesia. Saat penyusunan ransum dilakukan pencampuran bertahap. Bahan yang dicampurkan lebih dahulu adalah bahan-bahan dengan presentase terkecil hingga presentase terbesar, metode ini dilakukan untuk memastikan bahwa bahan-bahan ransum komplit tercampur secara merata. Pemeliharaan Kambing Kambing yang telah dikelompokkan ke dalam dua perlakuan dipelihara selama 1 bulan dengan masa adaptasi pakan selama 2 minggu. Pakan diberikan 23 sebanyak 7,3 kg/hari/ekor. Setiap harinya dilakukan pencatatan konsumsi pakan dan produksi susu. Pada minggu ke-4 dilakukan koleksi total feses dan pengambilan sampel susu untuk analisa mineral. Pengambilan Sampel dan Pengukuran Kadar Mineral Susu Pengambilan sampel susu dilakukan pada minggu keempat. Sampel susu terdiri atas susu pada pemerahan pagi dan sore hari. Sampel susu pagi disimpan dalam botol plastik ukuran 50 ml dan dimasukan ke dalam lemari es, kemudian setelah mendapatkan sampel susu sore hari dilakukan pencampuran kedua sampel secara proposional, lalu dihomogenkan dan diabukan dengan metode wet ashing (Reitz, 1960). Pengabuan dengan metode wet ashing dilakukan untuk mengetahui kandungan mineral pada susu kambing. Sebanyak 5 ml susu dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 100 ml. Sampel ditambah 5 ml HNO3(p) dan didiamkan selama 1 jam di ruang asam. Sampel dipanaskan di atas hot plate bertemperatur 250 OC selama 4 – 6 jam di ruang asam, tempat sampel ditutup lalu dibiarkan selama semalam. Selanjutnya ke dalam sampel ditambahkan 0,4 ml H2SO4(P) dan sampel dipanaskan selama ± 1 jam pada suhu 250 OC hingga larutan lebih pekat. Selanjutnya hasil destruksi ditambah 2-3 tetes campuran larutan HClO4 : HNO3(P) dengan perbandingan 2:1. Sampel tetap diletakkan di atas hot plate dan dilakukan pemanasan hingga terjadi perubahan warna larutan menjadi kuning muda. Sampel kemudian didinginkan dan ditambah 2 ml aquades dan 0,6 ml HCl(p). Pemanasan dilanjutkan hingga sampel larut kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Endapan disaring dengan kertas saring whatman No.41 lalu filtrat digunakan untuk pembacaan kadar mineral menggunakan atomic absorption spectrophotometer (AAS) atau double beam spectophotometer khususnya untuk posphor. Pengambilan Sampel dan Pengukuran Komposisi Mineral Feses Pengambilan sampel feses dilakukan pada minggu keempat selama 1 minggu. Koleksi feses dilakukan menggunakan jaring paranet yang dipasang di bawah setiap kandang individu. Feses individu kambing yang terkumpul pada pagi hari, dijemur menggunakan nampan dan setelah kering dikumpulkan pada kantung kain hingga 24 periode koleksi selesai. Sebanyak 10% feses dimasukan ke dalam oven 60⁰C selama 24 jam. Sebanyak 15 g feses kering digunakan untuk analisa komposisi mineral dengan metode wet ashing (Reitz, 1960) Pengabuan dengan metode wet ashing dilakukan untuk mengetahui kandungan mineral pada susu kambing. Sebanyak 15 g feses dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 100 ml. Ke dalam labu ditambahkan 15 ml HNO3(p) dan didiamkan selama 1 jam. Sampel dipanaskan di atas hot plate bertemperatur 250OC selama 4 – 6 jam di ruang asam, sampel ditutup lalu dibiarkan selama semalam. Sampel ditambah 1,2 ml H2SO4(P) dan dipanaskan selama ± 1 jam hingga larutan lebih pekat. Selanjutnya ditambahkan 6-9 tetes campuran larutan HClO4 : HNO3(P) dengan perbandingan 2:1. Sampel tetap diletakkan di atas hot plate dan dilakukan pemanasan pada suhu 250OC hingga terjadi perubahan larutan menjadi kuning muda. Sampel kemudian didinginkan dan ditambah 6 ml aquades dan 1,8 ml HCl(p). Pemanasan dilanjutkan hingga sampel larut kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Endapan disaring dengan kertas saring whatman No.41 lalu filtrat digunakan untuk pembacaan kadar mineral menggunakan atomic absorption spectrophotometer (AAS) atau double beam spectophotometer khususnya untuk phospor. Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) Konsumsi pakan merupakan selisih antara pakanyang diberikan (g/ekor/hari) dengan pakan sisa yang ditimbang (g/ekor/hari). Jumlah konsumsi digunakan untuk mengetahui konsumsi bahan kering (BK) dan mineral. 1. Konsumsi BK pakan (g/ekor/hari) = [BK pakan yang diberikan (g/ekor/hari) – BK sisa pakan (g/ekor/hari)] 2. Konsumsi mineral pakan (g/ekor/hari) / KM = [Mineral pakan yang diberikan (g/ekor/hari) – Mineral sisa pakan (g/ekor/hari)] Komposisi Mineral Susu (%) dan Absorbsi Mineral (%) Sampel susu diambil pada minggu keempat pada penelitian untuk mengetahui kandungan mineral. Analisa komposisi mineral susu meliputi mineral makro kalsium (Ca), phospor (P), magnesium (Mg), kalium (K), dan natirum (Na) serta mineral 25 mikro seng (Zn), selenium (Se), dan kromium (Cr). Koleksi feses dilakukan selama 7 hari berturut-turut pada minggu keempat penelitian dengan menggunakan jaring paranet yang dipasang di bawah setiap kandang individu. Feses individu kambing dikoleksi pada pagi hari. Feses yang terkumpul dijemur di bawah terik matahari selama ± 7 jam dengan menggunakan nampan, setelah setengah kering dikumpulkan pada kantung kain hingga periode koleksi selesai. Penjemuran feses bertujuan untuk mencegah tumbuhnya jamur selama periode koleksi feses. Sebanyak 10% feses dimasukan kedalam oven 60⁰C selama 24 jam. Sebanyak 15 g feses kering digunakan untuk analisa komposisi mineral dengan metode wet ashing (Reitz,1960). Mineral feses yang diukur kadarnya meliputi mineral makro, kalsium (Ca), phospor (P), magnesium (Mg), kalium (K), dan natirum (Na) serta mineral mikro seng (Zn), selenium (Se), dan kromium (Cr). Koleksi feses dilakukan untuk menghitung nilai absorbsi mineral pakan. Absorbsi mineral merupakan selisih dari konsumsi mineral pakan dengan kandungan mineral feses. Konsumsi mineral merupakan jumlah total konsumsi mineral yang terkandung pada BK pakan yang terdiri terdiri atas rumput lapang, ampas tempe, dan ransum komplit selama periode pemeliharaan. Sedangkan kandungan mineral feses dihitung dengan mengalikan jumlah total BK feses yang dikoleksi dengan kandungan mineral feses tersebut. 1. Kandungan Mineral Feses (g/ekor/hari) / KMF: Total BK feses (g) x kadar mineral feses (%) 2. Absorbsi Mineral (%) = KM (g/ekor/hari) – KMF (g/ekor/hari) KM (g/ekor/hari) X 100% Produksi susu (ml/ekor/hari) dan Sekresi Mineral Susu (g/ekor/hari) Produksi susu diperoleh dengan cara mencatat hasil pemerahan dari setiap 8 ekor kambing PE pada pagi dan sore hari yang diukur selama masa penelitian. Alat yang digunakan adalah gelas ukur plastik dengan kapasitas 1 liter dan milk can. Hasil produksi susu digunakan untuk menghitung sekresi mineral susu pada minggu terakhir penelitian. Sekresi mineral susu dihitung dengan mengalikan kandungan mineral dalam susu dengan jumlah produksi susu pada minggu terakhir penelitian. 26 Sekresi Mineral Susu (g/ekor/hari): Jumlah produksi susu (g/ekor/hari) x kandungan mineral susu (%) Rancangan Percobaan Percobaan dilakukan terhadap delapan ekor kambing PE laktasi yang dibagi menjadi dua kelompok perlakuan. Setiap kelompok perlakuan terdiri dari empat ulangan. Data hasil penelitian pada dua perlakuan dianalisis menggunakan Uji t untuk dua perlakuan masing-masing empat ulangan kambing perah dengan perhitungan mengikuti prosedur Mattjik dan Sumertajaya (2002). Hubungan antara dua peubah dianalisis menggunakan analisis regresi linear (Steel dan Torri, 1995) untuk mendapatkan gambaran penuh mengenai pengaruh pemberian ransum komplit terhadap peubah yang diamati. 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Peternakan Rataan suhu minimum dan maksimum di dalam kandang pada peternakan selama penelitian adalah berturut-turut 22,55 ± 0,469oC dan 32,25 ± 0,374oC. Cuaca pada saat penelitian berlangsung menggambarkan cuaca pada musim kemarau yang umumnya panas, kering, dan berangin. Pada cuaca ini kambing perah rentan mengalami cekaman panas karena perbedaan suhu kandang yang ekstrim pada malam hari dan siang hari. Pada Gambar 1 disajikan grafik suhu maksimum dan minimum di dalam kandang di peternakan Darul Fallah Farm. Suhu yang dicatat merupakan suhu terendah dan suhu tertinggi dalam periode waktu 24 jam. Sumbu Y merupakan suhu di dalam kandang sedangkan sumbu X merupakan hari pengamatan.Terdapat perbedaan suhu yang mencolok pada suhu terendah dan tertinggi. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab cekaman panas dan stress pada ternak. 35 33 Suhu Kandang (OC) 31 29 27 25 Suhu Maksimum 23 Suhu Minimum 21 19 17 15 1 2 3 4 5 6 7 8 Hari Pengamatan Gambar5. Grafik Suhu Minimum dan Maksimum di dalam Kandang Kambing Milik Darul Fallah Farm Selama Penelitian. Menurut Siregar (1997) iklim merupakan stressor yang kuat dalam mempengaruhi produksi susu baik secara langsung maupun tidak langsung. Wayman et al (1962) mengungkapkan bahwa suhu udara yang tinggi dapat menurunkan 28 produksi susu sebagai akibat dari turunnya nafsu makan ternak, gerak laju makanan rumen, dan efisiensi penggunaan energi untuk produksi susu. Battacharya dan Husain (1974) menyatakan iklim adalah salah satu faktor menurunnya daya cerna bahan kering, protein kasar, lemak, dan metabolisme energi. Oisson et al. (1997) menjelaskan bahwa reaksi adaptif kambing perah terhadap panas dapat dilihat dari tingkah lakunya yang menghindari merumput saat cuaca panas dan cenderung mencari area teduh. Suhu yang tinggi mempengaruhi peripheral thermoreceptor dan thermosensitive unit pada sistem syaraf pusat. Suhu juga merangsang bagian pre-optical di hipotalamus untuk mengaktifkan mekanisme heat-loss secara fisiologis dan tingkah laku. Ketika cekaman panas terjadi maka peredaaran darah akan mengalami penyesuaian dengan adanya inhibisi dari syaraf sympathetic vasoconstrictor sehingga kulit mencapai vasodilatasi maksimal. Suhu rectal meningkat sehingga hewan akan mengalami panting yang diikuti dengan menurunnya konsumsi pakan dan meningkatnya konsumsi air. Menurut Appleman dan Delouche (1958) suhu lingkungan 300C dapat menurunkan produksi susu. Hafez (1968) melaporkan bahwa suhu 350C sudah dapat menurunkan produksi susu kambing. mith dan Sherman (1994) melaporkan kondisi optimum kandang kambing pada iklim temperate minimum 60C dan maksimum 270C, sedangkan kelembaban relatifnya 60% - 80%. Sementara dari data yang diperoleh diketahui bahwa suhu di dalam kandang melebihi suhu yang dinyatakan dapat menyebabkan cekaman. Data suhu maksimum dan maksimum di dalam kenadang menggambarkan bahwa kambing mengalami cekaman khusunya pada siang hari. Perbedaan suhu maksimum dan suhu minimum dalam 24 jam membuat kambing memerlukan nutrien yang cukup untuk mempertahankan status fisiologis normalnya dan menunjang produksi susunya.Unsur Se dikenal mampu melawan efek oksidasi dari radikal bebas dalam bentuk glutathione peroxidase (GSH-Px). Selenium bekerja secara sinergis dengan vitamin E untuk menjaga keutuhan membrane selular dan subselular sehingga sel dapat berfungsi secara normal. Kedelai sangrai sebagai sumber protein disuplementasikan agar dapat membantu sel dalam menyerap nutrien dari pakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Piliang dan Soewondo (2006) bahwa protein dapat meningkatkan efisiensi absorbs nutrien. Vitamin D dan vitamin A 29 disuplementasikan untuk meningkatkan aborbsi kalsium yang banyak dibutuhkan pada kambing PE laktasi. Konsumsi Pakan Tabel 6 menunjukkan bahwa rataankonsumsi bahan kering sebesar 1821 ± 298 g/ekor/hari untuk perlakuan 1 dan 1750 ± 521 g/ekor/hari untuk perlakuan 2. Apdini (2011) menunjukkan konsumsi bahan kering yang lebih tinggi 2170.86 g/ekor/hari. Sedangkan Novita (2005) pada penelitiannya menunjukkan bahwa konsumsi BK pada kambing PE betina laktasi adalah 1071± 63 g/ekor/hari, konsumsi Ca 2,84 ± 0,95 g/ekor/hari, dan konsumsi P 4,49 ± 0,26 g/ekor/hari. Atabany (2001) menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering harian kambing PE dengan rataan bobot hidup 48 kg adalah 1753 g/ekor/hari. Konsumsi bahan kering dan mineral disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Konsumsi Bahan Kering dan Mineral Kambing Peranakan Etawah Laktasi yang Mendapat Pakan Tanpa atau dengan Suplemen Konsumsi Perlakuan 1 Perlakuan 2 1821 ± 29 1750 ±52 Ca 3,668 ± 0,102 3,316 ± 0,131 P 1,716 ± 0,040 1,714 ± 0,078 Mg 1,660 ± 0,015 1,055± 0,527 K 43,464 ± 1,313 40,502 ± 2,142 Na 1,738 ± 0,020 1,715 ± 0,052 Zn 0,366 ± 0,006 0,350 ± 0,010 BK, g/ekor/hari Mineral, g/ekor/hari Tidak terdapat perbedaan konsumsi bahan kering dan komponen nutriennya dalam penelitian ini (P>0,05).Konsumsi bahan kering kambing perah pada penelitian ini lebih dari 4% bobot badan kambing. Namun hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Apdini (2011) yang melaporkan bahwa konsumsi bahan kering kambing perah lebih dari 4% bobot badan kambing. Kebutuhan nutrien kambing perah dewasa pada fase produksi laktyasi dapat mencapai 4,6% dari bobot hidup (Rashid, 2008). Tingginya konsumsi bahan kering ransum komplit pada kedua 30 perlakuan memastikan bahwa kambing percobaan mendapat suplai nutrien yang mencukupi kebutuhan masa laktasi. Perbedaan konsumsi dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satunya faktor fisiologis ternak dan pakan (Orskov, 2001). Selain itu tingkat konsumsi pada kambing perah dipengaruhi oleh bobot badan, produksi susu, dan periode laktasi (Avondo etal., 2008). Perbedaan konsumsi berpengaruh terhadap konsumsi nutrien yang terkandung dalam pakan. Penelitian ini menunjukkan konsumsi yang tinggi. Hal ini diduga terkait dengan perbaikan kualitas ransum yang diberikan. Sedangkan turunnya konsumsi pada pakan perlakuan 2, diduga karena pengaruh suplementasi kromium organik yang digunakan. Kromium organik mampu mempengaruhi aktivitas metabolisme rumen. Penelitian Astuti (2005) menyatakan bahwa suplementasi kromium organik pada level 1 mg/kg telah mampu meningkatkan kosentrasi ammonia. Arora (1995) menyatakan bahwa amonia penting karena berpengaruh terhadap pertumbuhan biomassa mikroba rumen sehingga sangat menentukan sintesis protein mikroba rumen. Perbaikan kondisi biomassa mikroba rumen tersebut berpengaruh terhadap aktivitas mikroba rumen dalam mencerna bahan kering. Absorbsi Mineral Efisiensi penyerapan mineral pada kambing penelitian dapat diketahui dengan mengukur tingkat absorpsinya. Data dari hasil pengukuran kadar mineral feses disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Kandungan Mineral Feses Kambing PE Laktasi yang Mendapat Pakan Tanpa atau dengan Suplemen (%) Mineral (%) Ca Perlakuan 1 Perlakuan 2 0,63 ± 0,46 0,61 ± 0,15 P 0,42 ± 0,12 0,33 ± 0,05 Mg 0,23 ± 0,11 0,15 ± 0,05 K 1,25 ± 0,36 1,03 ± 0,29 Na 0,22 ± 0,10 0,28 ± 0,17 Zn 0,23 ± 0,11 0,07 ± 0,023 31 Suplementasi kedelai sangrai, kromium, selenium, vitamin A, vitamin D, dan vitamin E yang diberikan melalui pakan tidak berpengaruh (P > 0,05) terhadap rataan kandungan mineral feses pada kambing Ettawah laktasi. Kandungan Ca, P, Mg, pada feses kambing perlakuan memiliki kecenderungan lebih rendah. Hal ini terkait dengan konsumsi yang lebih rendah dan juga kemungkinan mengindikasikan bahwa absorbsi mineral berlangsung dengan baik. Absorbsi mineral sangat tergantung pada kelarutan mineral, jumlah dan kebutuhan ternak yang mengkonsumsinya. Peningkatan absorpsi dapat terjadi jika unsur mineral mudah larut dan mempunyai konsentrasi tinggi. Data absorbsi mineral pada kambing laktasi yang digunakan dalam percobaan disajikan pada Tabel 8. Suplementasi kedelai sangrai, kromium, selenium, vitamin A, vitamin D, dan vitamin E yang diberikan melalui ransum komplit tidak berpengaruh terhadap absorbsi mineral pada kambing Ettawah laktasi (P > 0,05). Toharmat et al. (2006) melaporkan bahwa pada kambing peranakan Etawah muda, absorsi mineral Ca berkisar antara 12,44%-33,82% Mg 17,92%-52,32% dan Zn 22,11% - 41,69%. Absorpsi Ca, P, Mg, Na, K dan Zn pada kambing Etawah laktasi sangat tinggi pada penelitian ini. Nilai absorpsi dan konsumsi mineral yang tinggi merupakan indikator kebutuhan dan kecukupan mineral tersebut. Semakin tinggi nilai absorbsi yang diperoleh maka semakin banyak mineral yang diabsorbsi oleh tubuh kambing dan semakin sedikit yang disekresikan oleh kambing melalu feses. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan kambing laktasi akan mineral sangat tinggi, namun diperkirakan bahwa kebutuhannya sudah terpenuhi dari pakan yang dikonsumsinya. Tabel 8. Absorbsi Mineral pada Kambing PE Laktasi yang Mendapat Pakan Tanpa atau dengan Suplemen Mineral(%) Perlakuan 1 Perlakuan 2 Ca 57,96 ± 21,99 50,60 ± 18,88 P 39,41 ± 7,04 49,54 ± 14,78 Mg 27,84 ± 17,85 44,66 ± 27,89 K 92,22 ± 2,94 93,21 ± 2,57 Na 64,83 ± 20,03 59,17 ± 21,83 Zn 40,94 ± 4,05 56,91 ± 28,33 32 Komposisi Mineral Susu Konsumsi nutrien ditentukan oleh komposisi nutrien pakan dan jumlah konsumsi pakan tersebut. Konsumsi akan mempengaruhi produksi dan kualitas susu kambing perah karena untuk mensintesis susu pada ambingnya,kambing memerlukan nutrien yang terkandung dalam pakan. Rumentor (2008) menyatakan bahwa kualitas susu ditentukan oleh nutrien yang terdapat dalam darah sebagai prekursor sintesis susu. Nutrien yang dikonsumsi akan mengalami proses pencernaan dan metabolisme kemudian ditranspor ke seluruh tubuh dengan bantuan darah menuju organ-organ yang memerlukan. Salah satunya adalah organ ambing yang merupakan tempat terjadinya sintesis susu. Komposisi mineral susu kambing yang digunakan dalam peneltian ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi Mineral Susu Kambing Peranakan Etawah Laktasi yang Mendapat Ransum Tanpa atau dengan Suplemen Mineral (%) Ca Perlakuan 1 Perlakuan 2 0,20 ± 0,13 0,165 ± 0,05 P 0,21 ± 0,06 0,220 ± 0,10 Mg 0,02 ± 0,01 0,030 ± 0,005 K 0,47 ± 0,05 0,618 ± 0,15 Na 0,44 ± 0,09 0,471 ± 0,28 Zn 0,02 ± 0,01 0,015 ± 0,003 Menurut Setiawan (2003) komposisi mineral susu kambing adalah sebagai berikut: Ca 0,133%, Mg 0, 0134%, P 0,110 %, K 0,204 %, Na 0,490%, dan Zn 0,0003 %. Kandungan mineral susu kambing Ettawah laktasi menunjukkan bahwa suplementasi kedelai sangrai, kromium, selenium, vitamin A, vitamin D, dan vitamin E yang diberikan melalui ransum komplit tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap kandungan mineral susu kambing. Kandungan mineral Ca, Mg, P, K, dan Zn pada susu kambing yang digunakan dalam penelitian ini lebih baik dari pada komposisi mineral susu kambing yang dilaporkanSetiawan (2003).Hal ini mengindikasikan bahwa kambing dalam penelitian mengkonsumsi mineral dalam jumlah mencukupi kebutuhan dan mampu mengekresikan dalam jumlah yang lebih banyak. 33 Menurut Vincent dan Davis (1997) di dalam tubuh kromium membentuk senyawa kompleks yang disebut glucose tolerance factor (GTF). Molekul tersebut berinteraksi dengan insulin dan sel reseptor yang memungkinkan pasokan glukosa ke dalam sel lebih baik. Sel akan mengubah glokosa menjadi energi yang diperlukan untuk peningkatan imunitas, pemulihan pasca stress, glikogenesis, transpor, dan pengambilan asam amino. Peningkatan kualitas transpor dan metabolisme nutrien diperkirakan mempengaruhi komposisi mineral pada susu kambing yang dihasilkan dan meningkatkan kandungan mineral pada susu kambing kelompok perlakuan. Suplementasi Se dan vitamin E pada ransum komplit sangat diperlukan terkait fungsinya yang sinergis sebagai antioksidan utama (Underwood dan Suttle, 2001). Surai (2003) melaporkan bahwa Se membantu retensi vitamin E dalam plasma. Antioksidan utama tersebut berguna untuk menghilangkan radikal lemak, radikal H2O2, atau metabolit relatif O2 yang berpotensi mengakibatkan kerusakan sel dan menimbulkan penyakit. Vitamin E bekerja mencegah terbentuknya peroksida bebas sedangkan selenium bekerja mengurangi peroksida yang sudah terlanjur terbentuk (Fellenberg dan Speisky, 2006). Terhambatnya pembentukan radikal bebas tersebut berpengaruh terhadap pening katan kualitas fisiologis ternak dari cekaman stress, sehingga metabolisme nutrien dari bahan pakan lebih baik.Kualitas transpor metabolisme dalam tubuh yang meningkat berhubungan dengan peningkatan kualitas komposisi mineral susu pada kambing.Perbaikan metabolisme dalam tubuh kambing dengan supelementasi Se dan vitamin E, tidak terekpresikan dalam produksi, namun terjadi terdapat sedikit peningkatan pada kadar beberapa mineral susu (Tabel 9). Vitamin D berkaitan dengan penyerapan dan metabolisme Ca yang sangat dibutuhkan oleh kambing perah pada periode laktasi. Piliang dan Soewondo (2006) menyatakann bahwa keasaman pada lambung yang berasal dari HCl akan meningkatkan penyerapan kalsium oleh usus. Vitamin D dapat meningkatkan enzim citrogenase dan pada gilirannya akan meningkatkan produksi sitrat dalam sel mukosa (Piliang dan Soewondo, 2006). Ketika sitrat diproduksi maka penyerapan Ca dari usus semakin meningkat sehingga efisiensi penyerapan Ca menjadi lebih baik. Neuman (1961) menyatakan bahwa vitamin D juga berperan sebagai antioksidan. Defiseinsi vitamin D dapat menurunkan Ca darah dan merangsang sekresi kelenjar paratiroid yang menghambat proses oksidasi sehingga menyebabkan mobilisasi Ca 34 dari tulang dan tulang rawan (Piliang dan Soewondo, 2006). Namun peran tersebut tidak terekpresikan dalam komposisi susu. Hal ini kemungkinan bahwa kebutuhan vitamin D pada kambing penelitian telah terpenuhi. Sekresi Mineral Susu Piliang dan Soewondo (2006) menyatakan bahwa pengambilan Ca dalam tubuh selama periode kehamilan dan laktasi dapat mencapai 60% atau 70% dari kebutuhan Ca selama proses tersebut. Sekresi mineral susu dihitung dengan mengalikan jumlah produksi susu (g/ekor/hari) dengan kandungan mineral susu (%).Suplementasi Cr, Se, vitamin D, dan vitamin E yang diberikan melalui ransum komplit tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap sekresi mineral dalam susu pada kambing Etawah laktasi. Mineral yang disekresi dan diekresikan sebagai komponen susu disajikan pada Tabel 10. Penambahan kedelai sangrai, kromium, selenium, vitamin A, vitamin D, dan vitamin E pada kelompok kambing perlakuan menyebabkan kecenderungan penurunan sekresi Ca, Na, dan Zn namun menyebabkan kecenderungan peningkatan sekresi P, Mg, dan K di susu kambing. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi tersebut berpengaruh berbeda pada mineral yang berbeda. Tabel 10. Sekresi Mineral dalam Susu Kambing PE Laktasi yang Mendapat RansumTanpa atau dengan Suplemen. Mineral Sekresi (g/ekor/hari) Perlakuan 1 Perlakuan 2 Ca 1,45 ± 1,29 0,82 ± 0,93 P 1,39 ± 0,94 1,50 ± 1,61 Mg 0,14 ± 0,13 0,15 ± 0,15 K 3,22 ± 1,94 3,39 ± 3,90 Na 1,79 ± 0,87 1,77 ± 1,66 Zn 0,20 ± 0,10 0,15 ± 0,01 35 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Suplementasi kedelai sangrai, kromium, selenium, vitamin A, vitamin D, dan vitamin E yang diberikan melalui ransum komplit tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi bahan kering, komsumsi mineral, absorpsi dan sekresinya dalam air susu kambing perah Etawah pada peternakan Darul Fallah. Upaya peningkatan kualitas susu kambing perah ettawah dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memastikan pemenuhan asupan nutrien pakan khususnya protein sesuai dengan standar kebutuhannya. Saran Perlu diadakan penelitian lanjutan untuk menentukan taraf pemberian kedelai sangrai, kromium, selenium, vitamin A, vitamin D, dan vitamin E yang tepat sehingga dapat diketahui taraf yang tepat untuk peningkatan kualitas mineral susu kambing Etawah yang optimal. 36 UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur kehadirat Allah SWT sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc selaku pembimbing utama skripsi dan Dr. Ir. Ibnu Khatsir Amrullah, MS selaku pembimbing anggota sekaligus pembimbing akademik, atas motivasi, bimbingan, dan pelajaran serta koreksi yang diberikan sejak perencanaan penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Suharti, MSi selaku dosen penguji seminar dan panitia sidang, kepada Dr. Despal Tanjung, S.Pt, MScAgr dan kepada Dr. Afton Attabany, S.Pt, MSi selaku dosen penguji sidang. Ucapan terimakasih dan rasa hormat setinggi-tingginya juga ingin penulis sampaikan kepada yang tercinta Ayahanda Budi Wiyono, B.Sc dan Ibunda Nurhayati, B.Sc atas doa, dukungan moril maupun materiil, nasihat, kesabaran, dan cinta kasih yang sangat berlimpah dan tiada henti. Adik Hasbi Asyari dan Adik Apsari Sekar Candrasmurti atas keceriaan yang diberikan. Keluarga besar Kakek dan Nenek: Hj. Sudari Effendy (Alm) dan Ibu Hj. Zainab, keluarga besar Bapak Soekardji dan Ibu Rinah atas doa dan motivasi yang selalu diberikan, dan keluarga besar Bapak Kaboel yang menginspirasi. Ucapan terimakasih juga ingin penulis sampaikan untuk yang terkasih Yogie Santoso, S.Si atas pengalaman yang berharga, dukungan selama masa perkuliahan dan penyusunan skripsi. Penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada Pak Hendri, Bu Novit, Pak Kiki dan seluruh pegawai di peternakan Darul Fallah Farm atas kerja sama dan bantuannya selama ini. Dhiki Mardiana Januari, Annita Aviantry, Putri Hidayah, dan Ali Nurhadi, teman-teman tim PKM-P 2010 atas pengorbanannya. Selviana Yustika Moechry dan Emmy Ratna Susanti, teman satu bimbingan dan penelitian untuk perjuangan selama ini. Keluarga besar Kamajaya Kediri sebagai keluarga kedua. Sahabat suka maupun duka Ira Dewiyana Sambas, Liza Nur Azizah, Fenni Uldha S, Tekad Urip Pambudi Sujarnoko, Realita Denik Purwohandini, dan GENETIC 45 serta sahabat-sahabat terdekat atas kebersamaan yang indah. Seluruh staff Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan yang sabar dan penuh pengertian. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu, semoga skripsi ini berguna bagi pembaca. 37 DAFTAR PUSTAKA Adawiyah, T. Sutardi, T. Toharmat, W. Manalu, & Nahrowi. 2006. Respons kualitas susu pada suplementasi kacang kedelai sangrai dan sabun kalsium serta mineral organik dalam ransum sapi perah. JITV11(4): 280-286 Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Pustaka Utama. Gramedia, Jakarta. American Dairy Goat Association. 2002. Milk Comparison. The American Dairy Goat Association. Sinpdale, New York City. Andries, J. I., F. X. Buysse, D. L.Debrabander, & B. G. Cottyn. 1987. Isoacid in ruminant nutrition: their role in ruminal and intermediary metabolism and possible influences on perfomance. Anim Feed Sci Technol18: 169-180. Appleman, R. D.& J. C. Delouche. 1958. Behavioral, physiological and biochemical responses of goats to temperature 0oC to 40oC. J. Anim. Sci. 17:326-330. Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Murwani R, penerjemah; Srigandono B, editor. Ed ke-2. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Microbial Digestion in Ruminants. Asminaya, N. S. 2007. Penggunaan ransum komplit berbasis sampah sayuran pasar untuk produksi dan komposisi susu kambing perah. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Astuti, W. D. 2005. Produksi kromium organik dari fungi serta peranannya bagi aktivitas fermentasi rumen. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Atabany, A. 2001. Study kasus produktivitas kambing peranakan ettawah dan kambing saanen pada peternakan kambing perah barokah dan PT. Taurus Dairy Farm. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Avondo, M., L. Biondi, R. I. Pagan, A. Bonannom,& L. Lutri. 2008. Feed Intake. In: G. Pulina & A. Cannas (Eds.) Dairy Goats Feeding and Nutrition. CAB International, Wallingford. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Populasi https://www.bps.go.id/. [10 Agustus 2011] Ternak di Indonesia. Bhattacharya, A.N.& F. Hussain. 1974 . Intake and utilization of nutrients in sheep fed different levels of roughage under heat stress. J. Anim.Sci.38:877. Brody, T. 1994. Nutritional Biochemistry. Academic Press, Toronto. Burton, J.L. 1995. Supplemental chromium: its benefit to the bovine immune system. Anim. Feed. Sci. Technol. 53: 117-125. Cefalu, W. T.&F. B. Hu. 2004. Role of chromium in human health and in diabetes. Diabetes Care27:2741-2751. Collier R. J. 1985. Nutritional metabolic and environmental aspect of lactation. Di dalam: Larson BLM editor. Lactation. The Iowa State University Press, Iowa. 38 Constantinou, A. 1987. Goat housing for different environment and production systems. Proceedings, 4th International Conference on Goats, Brasilia, Brazil, EMBRAPA 1: 241-268. Davis, C.M.&J. B. Vincent. 1997. Isolation and characterization of a biologically active chromium oligopeptide from bovine liver. Archives of Biochemistry and Biophysics 119: 335-343. Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Statistik Peternakan 2008. Jakarta: Departemen Pertanian. Ensminger, M. E. 2002. Sheep and Goat (Animal Agriculture Series) 6th Ed. Interstate Publisher, Inc., Danvile. Fellenberg, M. A. & H. Speisky. 2006. Antioxidant: what role do they plan in physical activity and health. Am. J. Clin. Nutr. 729: 637-646. Fleet I. R. & T. B. Mepham. 1985. Mammary uptake of amino acids and glucose throughout lactation in Friesland sheep. J. Dairy Res.52: 228-237. Fomon, S. J.1993. Nutrition of Normal Infants. Mosby, St. Louis. Georgievskii VI. 1982. The Physiological Role of Microelements. Di dalam: Mineral Nutrition of Animals. London: Butterworths, London. Hayirli, A., D. R. Bremmer, S. J. Bertics, M. T. Socha, & R. R Grummer.2001. Effect of chromium supplementation on production and metabolic parameter in periparturient dairy cows. Journal of Dairy Science 84: 1218-1230. Haenlein, G.F.W. 1980. Mineral nutrition of goat. J Dairy Sci. 63:1729-1748. Hafez, E.S.E. 1968. Adaptation of Domestic Animals. Lea and Febiger, Philadelphia. Hertaviani, R. F. 2009. Kandungan nutrisi dan kadar laktoferin dalam susu kambing perah bangsa peranakan etawah (PE) dan jawarandu. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Horst, R. L., J. P Goff,& T. A Reinhardt. 2003. Role of vitamin D in calcium homeostasis and its use in prevention of bovine periparturient paresis. Acta. Ved Scand. Suppl. 97: 35-50. Hurley, W. L. &R. M. Doanne. 1989. Recent Development in The roles of vitamins and minerals in reproduction. J Dairy Sci 72: 784-804. Kegley, E. B., D. L Galloway, & T. M Fakler. 2000. Effect of dietary chromium Lmethionine on glucose metabolism of beef steers. Journal of Animal Science 78: 3117-3118. Laarveld, B., D. A. Christensen,& R. P. Brockman. 1981. The effect of insulin on nett metabolism of glucose and amino acid by the bovine mammary gland. J. Endocrinol 108:2217-2225. Leschchinsky, T. V. & K. C. Klasing. 2001. Relationship between the level of dictary vitamin E and the immune response of broiler chickens. Poultry Sci. 80: 1590-1599. 39 Linder M. C. 1992. Nutrisi dan Metabolisme Mikromineral dalam: Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. Cetakan Pertama. Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta. Lyson, M. P., T. T. Papazyan,&P. F. Surai. 2007. Selenium in food chain and animal nutrition: lesson from nature. Asian-Aust. J. Animal Sci.20 (7): 1135-1155. McDowell, L. R. 1992. Minerals and Human Nutrition. Academic Press, London. McDowell, L. R. 2000. Vitamins in Animal and Human Nutrition. Second Edition. Iowa State University Press. McDonald P.R. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, &C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition Ed ke-5. New York: Longman Scientific and Technical, New York. McNamara, J. P.&F. Valdes. 2005. Adiposetissue metabolism and production responses to calcium propionate and chromium propionate. Journal of Dairy Science 88: 2498-2507. Mertz, W. 1998. Chromium research from a distance: from 1959 to 1980. Journal of The American College of Nutrition 17:554-547. Muchtadi, D. 1994. Makanan sebagai Sumber Energi dan Zat Fizi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Moonsie S. S &D. N. Mowat. 1993. Effect of level of supplemental chromium on perfomance, serum constituents, and immune status of stressed feeder calves. J.Anim.Sci.71: 232-238. Mordenti A &G. Piva. 1997. The European perpective on organic chromium in animal nutrition. Di dalam: Lyson TP, Jacques KA, editor. Biotechnology in The Feed Industry. Proc. Of Alltech 13tg Annual Sympsoium. Nottingham University Press: 227-240. [NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requierment of Dairy Cattle. EdKe 7. National Academic Press, Washington, D.C Nasoetion, A., H. Riyadi, & S. M. Edi. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta. Nikkah, A., M. Mirzaei, M. Khorvash, H. R Rahmani, & G. R Ghorbani. 2010. Chromium improves production and alter metabolisme of early lactation cows in summer. Journal of Animal Physiology and Animal Nutrition 95:81-89 Noguchi, N. & E. Niki. 1999. Chemistry of active oxygen species and atioxidant. In: A. M. Papas (Ed). Antioxidants Status, Diet, Nutrition, and Health. CRC Press Boca Roton, London, New York. Washington, DC. Novita, C. I., A. Sudono, I. K. Sutama,& T. Toharmat. 2006. Produktivitas kambing Peranakan Etawah yang diberi ransum berbasis jerami padi fermentasi. Media Peternakan 29 (2): 96 – 106. Neuman, W. F &C. M. Dowse. 1961. Possible Fundamental Action in Parathyroid Hormone. In: Greep, R. O. and Talmage, R. V. (eds). The parathyroid. Charles Thomas Publ., Springfield III, USA. 40 Oisson, K., S. Benlamlih, J. Hossaini-Hilall,& K. Dahlborn. 1997. Regulation of fluid balance in goats and sheep from dry area. CIHEAM: Options Mediterraneennes. Orskov, E. R. 2001. The Feeding of Ruminants Principles and Practice. Chalcombe Publication, Lincoln. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Pechova, A &L. Pavlata. 2007. Chromium as an essential nutrient: a review. Veterinarni Medicinena, 52 (1): 1-18. Phalepi, M. A. 2004. Performa Kambing Peranakan Ettawah (Studi Kasus di Peternakan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya Citarasa). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Piliang, W.G. & D. A. H. Soewondo. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume II. Edisi Revisi ; Januari 2006. IPB Press, Bogor. Pulina, G. & A. Nudda. 2004. Milk production. Di dalam: D. Pulina, editor. Dairy Sheep Nutrition. CABI Production, Wallingford. Pulina, G, A. Nudda, G. Battacone, S. Fancellu, & A. H. D. Francesconi. 2008. Nutrition and Quality of Goat’s Milk. Di dalam : Cannas A dan Pulina G, editor. Dairy Goats Feeding and Nutrition. Wallingford: CAB International. Reitz, L. L., W. H. Smith, and M. I. Plumlee. 1960. A simple wet oxidation procedure for biological materials. Anal. Chem. 32:1728. Reporsitory IPB. 2012. Kambing Perah Peranakan Etawah (PE). https://sites.google.com/site/afitrianto25/kambingPE.jpg). [1 Juli 2012] Rumentor, S. D. 2008. Suplementasi daun bangun-bangunan (Coleus amboinicus lour) dan zinc-vitamin E dalam ransum untuk memperbaiki metabolisme dan produksi susu kambing peranakan Ettawah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sarwono, B. 2002. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta. Scientific Committee on Animal Health and Animal Welfare. 1999. Standart for the microclimate inside animal transport road vehicle. European Comission of Health & Consumer Protection Directorate-General. Sanco/B3/AW/R13/1999. Setiawan, T.&A. Tanius. 2003. Beternak Kambing Perah Peranakan Ettawah. Penebar Swadaya. Jakarta. Siregar, S.B. 1997. Aspek iklim tropis terhadap kemampuan berproduksi susu kambing perah. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia. Vol.6 No.2. Smith, M.C. and D. M. Sherman. 1994. Goat Medicine. Lea & Febiger, Philadelphia, Baltimore, London, Munich, Tokio, p. 251. Soliman, G.Z.A. 2005. Comparison of chemical and mineral content of milk from human, cow, buffalo, camel and goat in Egypt. The Egyptian Journal of Hospital Medicine Vol.21: 116 – 130. 41 Subiyanto, A., D. N. Mowat, &W. Z. Yang. 1996. Metabolite and hormonal responses to glucose or propionate infusions in periparnutrient dairy cows supplemented with chromium. J. Dairy. Sci. 79:1436-1445. Sudrajat, D. 2005. Pengaruh Suplementasi Se Organik Dalam Ransum Terhadap Kecernaan, Aktivitas Fermentasi dan Pertumbuhan Kambing Peranakan Ettawah. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susilorini, T.E., M.E. Sawitri, & Muharlien. 2009. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta. Sudono, A.& I. K. Abdulgani, & H. Nadjib. 2002. Budidaya Aneka Ternak Perah. Diktat Kuliah Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suherman, D. 2005. Imbangan rumput lapangan dan kosentrat terhadap kualitas produksi susu sapi perah holstein. Animal Production. 7(1):14 – 20. Sumardjo, D. 2006. Pengantar Kimia. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Surai, P. F. 2003. Natural Antioxidant in Avian Nutrition and Reproduction. Nottingham University Press, Nottingham. Suzuki, K. T. & Y. Ogra. 2002. Metabolic pathway for selenium in body speciation by HPLC-ICP MS with enriched Se food addit contamin. 19: 974-983. Thomson, C. D. 1998. Selenium Speciation in Human Body Fluids. Analyst. 123:827-831 Toharmat, T., N. Hotimah, E. Nurasih, R. Nazilah, T. Q. Noerzihad, N. A. Sigit, & Y. Retnani.2006. Status Ca, Mg dan Zn pada kambing peranakan ettawah muda yang diberi ransum bentuk Mash dengan pakan sumber serat berbeda. Med. Pet. 30 (2): 71-78. Underwood, E. J. & N. F. Suttle. 2001. The Mineral Nutrition of Lifestock. 3rd Edition. CABI Publishing, New York. Vincent J.B. 1999. Mechanism of chromium action : low molecular weight chromium binding substance. J Am College of Nutrition 18:6-12 Vincent J.B. 2000. The Biochemistry of Chromium. J Nutrition 130: 715-718. WHO/FAO report. 1996. Trace Elements in Human Nutrition and Health. Williams, I. 1997. CLA: The Essential Nutrient for Cutting Cancer Risk, Reducing Body Fat, and Providing Antioxidant Properties. Woodland Publishing, UT. Winarto, D. 2010. Pemanfaatan Vitamin C dan Vitamin E Sebagai Antioksidan Untuk Memperbaiki Kuantitas dan Kualitas Spermatozoa. Universitas Muhammadiyah Purworejo, Purworejo. Wayman, D.H., H.D.,C. P. Johnson, Mariland,& I.L.Berry.1962. Effects of ad ibitum or force-feeding of two retions on lactating dairy cows subject to temepature stress. J. Dairy Sci. 45: 1472 42 Yang, W. Z., D. N Mowat, A. Subiyanto,&R. M Liptrap. 1996. Effect of chromium supplementation on early lactation perfomance of holstein cows. Canadian Journal of Animal Science 76: 221-230. 43 LAMPIRAN Lampiran 1. Konsumsi Kambing Perah Peranakan Etawah (g/ekor/minggu) Kambing Konsentrat Rumput K1 K2 K3 K4 P1 P2 P3 P4 1910 1410 1495 1830 1930 860 920 980 19240 19495 19030 19630 18790 18680 19400 20425 Ampas Tempe 33210 34255 34305 34400 31450 33630 33810 35340 BK Konsentrat 1607,83 1186,93 1258,49 1540,49 1653,81 736,93 788,34 839,76 BK Rumput 4313,60 4370,77 4266,52 4401,04 4212,71 4188,05 4349,48 4579,28 BK Ampas Tempe 6837,93 7053,10 7063,39 7082,96 6475,55 6924,41 6961,47 7276,50 Total Konsumsi BK 1822,76 1801,54 1798,34 1860,64 1763,15 1692,77 1728,47 1813,65 Rata-Rata Konsumsi K / hari Standar deviasi K 1820,82 28,67 Rata-Rata Konsumsi P / hari Standar deviasi P 1749,512 51,51 Lampiran 2. Kadar Mineral Pakan Kambing Perah Peranakan Etawah (PE) Bahan Pakan Rumput Ampas Tempe Kosentrat P Kosentrat K 45 K (%) 4,11 0,94 4,29 4,03 Na (%) 0,03 0,15 0,04 0,06 P (%) 0,18 0,04 0,12 0,14 Ca (%) 0,21 0,16 0,37 0,28 Mg (%) 0,04 0,04 0,03 0,07 Zn (%) 0,02 0,02 0,02 0,02 Lampiran 3. Data Koleksi Feses Kambing Perah Peranakan Etawah Tanggal 31-Jul-11 1-Aug-11 2-Aug-11 3-Aug-11 4-Aug-11 5-Aug-11 6-Aug-11 TOTAL Rataan Feses/hari/ekor/g Berat Total Feses (Kering Udara) Kering udara (%) 10% berat total feses (KU) setelah di oven 60⁰C Oven (%) BK Proximat (%) BK TOTAL 46 Feses Kambing (g) K4 P1 800 600 850 650 1000 750 800 900 900 1200 750 700 800 900 5900 5700 K1 1050 680 950 1050 1500 900 1200 7330 K2 600 200 400 650 400 400 500 3150 K3 600 700 750 700 750 600 700 4800 P2 500 350 550 450 650 450 550 3500 P3 1050 550 750 900 1250 1000 900 6400 P4 450 1000 400 650 750 750 800 4800 1047,14 450 685,71 842,85 814,28 500 914,28 685,71 2820 38,47 1700 53,96 2100 43,75 2650 44,91 2600 45,61 1600 45,71 2830 44,21 2300 47,91 282,02 250,21 88,72 170,06 158,3 93,08 210,01 187,37 89,21 265,09 234,77 88,56 260,43 235,87 90,56 160,06 157,75 98,55 283,04 240,86 85,09 230,68 183,28 79,45 89,6 30,58 89,73 45,07 89,93 35,10 89,69 35,67 89,98 37,17 89,56 40,35 89,63 33,72 89,75 34,16 Lampiran 4. Kadar Mineral Feses Kambing Perah Peranakan Etawah (PE) Kambing Kadar K (%) Kadar Na (%) Kadar P (%) Kadar Ca (%) Kadar Mg (%) Kadar Zn (%) P1 1,45 0,07 0,4 0,82 0,11 0,06 P2 0,96 0,47 0,28 0,57 0,14 0,04 P3 0,92 0,33 0,31 0,61 0,23 0,08 P4 0,79 0,28 0,32 0,46 0,13 0,09 K1 1,23 0,35 0,28 0,31 0,13 0,07 K2 0,75 0,23 0,55 1,31 0,32 0,1 K3 1,45 0,18 0,47 0,44 0,33 0,08 K4 1,55 0,14 0,37 0,47 0,15 0,08 AV P 1,03 0,28 0,32 0,61 0,15 0,06 STDEV P 0,28 0,16 0,05 0,15 0,053 0,02 AV K 1,24 0,22 0,41 0,63 0,23 0,08 STDEV K 0,35 0,091 0,11 0,45 0,10 0,01 47 Lampiran 5. Kadar Mineral Susu Kambing Perah Peranakan Etawah (PE) Kambing Kadar K (%) Kadar Na (%) Kadar P (%) Kadar Ca (%) Kadar Mg (%) Kadar Zn (%) P1 0.636 0.589 0.221 0.161 0.025 0.015 P2 0.549 0.500 0.082 0.176 0.035 0.011 P3 0.467 0.319 0.300 0.226 0.033 0.020 P4 0.819 0.333 0.292 0.096 0.024 0.014 K1 0.538 0.254 0.265 0.116 0.011 0.016 K2 0.418 0.788 0.228 0.100 0.017 0.013 K3 0.473 0.340 0.227 0.182 0.017 0.014 K4 0.457 0.164 0.133 0.387 0.038 0.045 AV P 0.618 0.435 0.224 0.165 0.029 0.015 STDEV P 0.151 0.131 0.101 0.053 0.006 0.004 AV K 0.472 0.387 0.213 0.196 0.021 0.022 STDEV K 0.050 0.277 0.056 0.132 0.012 0.015 48 Lampiran 6. Data Produksi Susu Kambing Perah Ettawah Rataan Produksi Rataan Produksi P Standar deviasi P Rataan Produksi K Standar deviasi K Rataan Produksi Total Stdev Total K1 K2 K3 K4 P1 P2 P3 P4 770 860 980 820 850 810 790 845 850 600 970 890 950 570 890 600 950 960 570 880 530 1000 450 850 580 970 960 550 950 1000 980 1000 819,53 515,84 437,74 597,49 343,01 556,66 55 90 90 90 80 90 70 80 40 80 110 115 100 60 130 50 110 120 80 110 60 79 50 100 60 120 90 70 70 110 120 120 87,46 540 640 800 700 780 760 840 510 690 690 740 825 720 580 800 500 800 840 550 780 560 840 450 700 520 800 820 550 900 750 820 900 709,21 690 830 980 860 950 950 630 680 700 800 860 890 870 610 870 520 850 800 430 870 620 740 550 870 560 850 890 650 700 950 900 840 773,75 110 160 200 160 230 180 120 170 135 150 120 140 160 90 140 50 130 130 60 110 50 74 50 55 50 80 80 20 70 100 90 90 111,06 240 320 380 320 550 320 190 160 220 150 300 230 220 140 190 80 230 150 90 130 80 89 90 50 40 55 70 20 60 50 40 50 165,75 670 700 900 870 850 930 550 880 700 820 990 980 900 870 950 580 1060 930 850 1060 630 1120 510 880 680 1010 870 500 1150 900 1000 950 851,25 790 920 1030 1010 1000 1060 650 930 870 940 880 900 910 850 920 630 1000 1010 1050 1090 700 1080 700 1000 700 950 1210 700 1100 1150 1150 1050 935,31 367,31 49