1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi global saat ini telah menyebabkan persaingan
dalam bisnis sebagai tantangan sehari-hari yang akan terus dihadapi. Dalam
semakin ketatnya kompetisi ini, strategi pemasaran yang hanya fokus pada
manfaat fungsional dari suatu produk atau layanan sudah dinilai kurang menarik
dan kurang efektif untuk mempertahankan minat konsumen. Beragam merek
dalam satu kategori produk atau layanan menantang para pelaku bisnis untuk
dapat mengembangkan strategi yang lebih inovatif agar dapat mempertahankan
eksistensi merek dan bisnisnya. Salah satu strategi manajemen merek yang saat
ini mulai banyak dilakukan adalah dengan menciptakan pengalaman unik dan
menyenangkan bagi konsumen yang dapat memuaskan kebutuhan mereka
sehingga suatu merek dapat dibedakan dari merek lain meskipun dalam industri
yang sama.
Seperti yang dikemukakan oleh Joy dan Sherry (2003), pasar saat ini telah
mengalami perubahan substansial dimana pemasar telah beralih dari menjual dan
mempromosikan produk dan jasa, untuk menjual dan memikat pelanggan melalui
pengalaman. Banyak perusahaan di seluruh dunia dengan mereknya masingmasing saling bersaing untuk menarik perhatian pelanggan, sehingga menciptakan
pengalaman dengan merek yang membangkitkan sensasi, perasaan, kognisi, dan
respon perilaku pun kian menjadi hal penting (Brakus et al., 2009).
1
Empat puluh tahun lalu, Ries dan Trout (1972) menuliskan artikel yang
menegaskan bahwa perang pemasaran bukanlah di pasar secara fisik dengan iklan
visual yang semakin lama kian menjadi gangguan bagi pelanggan. Dengan
semakin banyaknya merek, istilah proposisi penjualan yang unik (Unique Selling
Proposition) yang hanya fokus pada fitur dan manfaat produk atau layanan bagi
konsumen sudah semakin sulit merebut hati pelanggan. Era baru yang terjadi
adalah konsep ini semakin digantikan oleh pentingnya memposisikan suatu merek
karena perang pemasaran sebenarnya terjadi di benak pelanggan.
Schmitt (1999) mengemukakan bahwa saat ini adalah jaman pemasaran
pengalaman (experiential marketing), dimana konsumen tidak hanya sekedar
mencari produk secara fungsional saja, namun juga mencari perusahaan dan
merek-merek tertentu untuk dijadikan bagian dari hidup, berhubungan dengan
hidup mereka, memahami mereka, sesuai dengan kebutuhan mereka dan membuat
hidup mereka lebih terpenuhi. Konsep ini berbeda dengan pemasaran tradisional
yang memandang konsumen sebagai pengambil keputusan rasional yang hanya
fokus pada fitur fungsional dan manfaat dari suatu produk atau jasa. Pemasaran
berbasis pengalaman melihat konsumen tidak hanya sebagai manusia rasional,
melainkan juga emosional yang menginginkan pengalaman menyenangkan. Ada
lima jenis pengalaman yang dapat dirasakan pelanggan menurut Schmitt (1999),
yaitu yang dapat diterima oleh panca indera (sensorik); dirasakan oleh perasaan
(afektif); memicu pemikiran (kreativitas kognitif); melibatkan fisik, perilaku, dan
gaya hidup (tindakan); serta memenuhi kebutuhan sosial dan budaya manusia
sebagai makhluk sosial (identitas sosial). Namun berdasarkan penelitian terbaru
2
oleh Brakus et al. (2009), diantara lima jenis pengalaman tersebut, hanya
pengalaman sensorik, afektif, perilaku, dan intelektual saja yang paling
berpengaruh bagi konsumen. Beberapa penelitian lain juga dapat mengkonfirmasi
temuan oleh Brakus et al. ini, dimana produk dan layanan yang menawarkan
interaksi berkesan, tidak terlalu signifikan dipengaruhi pengalaman sosial
konsumen dengan merek tersebut, sehingga teori yang dikemukakan Brakus et al.
(2009) dapat dikatakan lebih relevan untuk menjelaskan secara umum cakupan
pengalaman merek saat ini.
Pengalaman yang ditawarkan suatu merek (brand experience) sebagai
titik-titik persentuhan pelanggan atau konsumen dengan merek, adalah bagian dari
strategi implementasi yang penting bagi perusahaan yang ingin menciptakan
kepuasan pelanggan dan loyalitas tinggi (Brakus et al., 2009), dimulai sejak awal
proses ketika mencari produk, membeli dan menerima layanan, serta
mengkonsumsi produk. Interaksi paling penting dalam membentuk loyalitas
pelanggan terhadap suatu merek adalah interaksi saat mengkonsumsi produk atau
menerima jasa. Interaksi dengan produk atau jasa ini menjadi yang paling bernilai
karena melalui produk dan jasalah pelanggan mengevaluasi apakah perusahaan
mampu memenuhi janjinya atau tidak. Interaksi ini menjadi 'moment of truth',
dimana ketika konsumen masih dalam tahap pengalaman saat mencari informasi,
terbentuklah ekspektasi kepuasan dan persepsi atas kepribadian merek tersebut.
Saat konsumen mendapatkan kesan yang sama dan sesuai dengan ekspektasinya,
bahkan melebihi yang diharapkan, maka konsumen akan berpotensi besar untuk
puas dan membeli kembali di lain waktu (Noegroho, 2013).
3
Brakus et al. (2009) melalui penelitiannya menemukan bahwa pengalaman
yang diciptakan suatu merek terbukti mempengaruhi tingkat loyalitas pelanggan
kepada merek tersebut secara positif. Jika puas dengan pengalaman yang
dirasakan, dimana terdapat respon terpenuhinya harapan atas fitur dari suatu
produk atau jasa (Oliver, 2010, p.8), maka konsumen akan cenderung membeli
kembali serta merekomendasikan merek tersebut kepada orang lain dan tidak
berpindah membeli merek lain (Oliver, 1997 dalam Brakus et al., 2009),
meskipun fungsional dari produk atau layanan lain yang ditawarkan pesaing
adalah sama. Pengalaman yang positif akan membentuk suatu ikatan emosional
antara konsumen suatu produk atau jasa dari suatu perusahaan, begitu pula
sebaliknya, pengalaman negatif dapat menjadi pemutus ikatan emosional yang
seharusnya terbentuk antara konsumen dan produk yang dikonsumsi.
Tingkat kepuasan pelanggan bersifat dinamis dan salah satunya
dipengaruhi bagaimana perasaan pelanggan dan faktor situasional, misalnya opini
anggota keluarga, ketika berinteraksi dengan produk dan layanan tersebut
(Zeithaml et al., 2009, p.103). Terdapat hubungan erat antara kepuasan yang
dirasakan konsumen dengan loyalitasnya pada produk atau jasa yang ditawarkan
suatu merek (Hesket et al., 1997, p.83). Hubungan ini sangat kuat ketika
konsumen merasa sangat puas sehingga menghasilkan loyalitas, dan ketika
konsumen merasa sangat tidak puas yang berpotensi menimbulkan ketidaksetiaan
atau kecenderungan beralih merek.
Pengalaman yang ditawarkan merek untuk pelanggan selama proses
mencari, membeli, dan mengkonsumsi tersebut akan mempengaruhi pada
4
bagaimana konsumen mengevaluasi, mempersepsikan dan menilai karakter atau
kepribadian yang dimiliki merek suatu produk dan layanan. Menurut Aaker
(1997), kepribadian merek dapat dipengaruhi oleh orang-orang yang terhubung
dengan merek tersebut (konsumen, representatif perusahaan, endorser), atribut
produk, kategori produk, nama merek, atau strategi berkomunikasi. Pengaruh
tersebut akan menjadi bagian dari pengalaman merek, karena penilaian akan
faktor ketulusan, kegembiraan, kompetensi, kecanggihan, dan maskulinitas suatu
merek dapat difasilitasi ketika konsumen merasakan pengalaman dengan merek
secara sensorik, afektif, intelektual, atau pengalaman perilaku (Brakus et al.,
2009).
Berbagai inisiatif dilakukan perusahaan untuk membangun loyalitas
pelanggan. Loyalitas pelanggan menjadi semakin penting karena makin lama
biaya menarik pelanggan baru kian mahal. Selain memperkuat ikatan emosional
konsumen dalam pengalaman dengan suatu merek, cara lain dalam meningkatkan
kepuasan dan loyalitas konsumen dapat dilakukan dengan memperkuat
kepribadian merek, yang diartikan sebagai rangkaian karakteristik manusia yang
mendeskripsikan suatu merek (Aaker, 1997). Hal ini seperti yang dikemukakan
oleh beberapa peneliti, dimana kepribadian merek memungkinkan konsumen
untuk mengekspresikan diri sendiri (Belk, 1998), diri ideal (Malhotra, 1981), atau
dimensi tertentu yang ingin ditonjolkan dari diri mereka (Klein et al., 1993)
melalui suatu merek.
Eksistensi citra dan kepribadian tertentu yang diyakini dimiliki oleh suatu
merek produk dan jasa dapat mempengaruhi persepsi positif maupun negatif
5
konsumen terhadap merek yang berpotensi mempengaruhi kepuasan serta
loyalitas mereka setelah berinteraksi dengan merek tersebut. Dengan memiliki
kepribadian merek yang kuat, baik positif maupun negatif, maka suatu merek
dapat menonjol dibandingkan pesaingnya dalam menyampaikan pesan maupun
mendukung hubungan dengan konsumen (Aaker, 2013), misalnya ketika suatu
merek direpresentasikan oleh endorser yang bagi target konsumen sesuai dengan
diri mereka, maka konsumen akan memiliki preferensi lebih besar pada merek
tersebut (Malhotra, 1981), cenderung lebih puas serta berpotensi loyal pada merek
tersebut (Brakus et al., 2009). Oleh karena itu, menjaga agar kepribadian merek
tetap sesuai dengan harapan manajemen dalam pencitraan suatu merek adalah hal
yang sangat penting dalam meraih target konsumen yang tepat dan menjaganya
untuk selalu kembali.
Restoran merupakan salah satu industri jasa dimana kualitas produk dan
layanan yang maksimal bagi pelanggan adalah hal yang sangat penting. Oleh
karena itu, restoran harus mempunyai nilai tambah yang dapat membedakannya
dari pesaing. Dalam era persaingan bisnis di industri yang ketat saat ini pelanggan
bukan lagi sebagai pelengkap usaha tetapi sebagai bagian dari sistem pelayanan
bagi perusahaan yang bersangkutan (Zeithaml et al., 2009, p.392). Sebuah
restoran harus dapat membangun dan menjaga kredibilitas perusahaannya agar
setiap pelanggan yang datang berkunjung bisa mendapatkan kesan positif bagi
restoran tersebut dan kemudian dapat membagi pengalaman mereka dengan
orang-orang di sekitarnya.
6
Perkembangan bisnis restoran di Indonesia akhir-akhir ini dapat dikatakan
cukup berkembang. Jumlah penduduk yang memilih untuk makan di luar rumah
semakin meningkat dan beberapa alasannya adalah perubahan gaya hidup dan
struktur keluarga (Warde et al., 2007 dalam Rezende dan Silva, 2012).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, sektor perdagangan, hotel dan
restoran pada tahun 2013 menyumbang hingga 14,33% pada perekonomian
Indonesia, dengan subsektor restoran sendiri menyumbang sekitar 2,3%. Sektor
perdagangan, hotel dan restoran ini menduduki posisi kedua penyumbang terbesar
bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan tahun
2012, dimana sektor perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sekitar 13,9%
dari total Produk Domestik Bruto, dan hanya menjadi penyumbang terbesar ketiga
diantara sektor-sektor yang lain.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia secara umum, sektor
perdagangan, hotel dan restoran berkontribusi hingga 25,4% dari produk domestik
regional bruto dengan harga konstan untuk wilayah D.I Yogyakarta pada tahun
2012, dan menjadi penyumbang terbesar kedua perekonomian regional provinsi
setelah sektor jasa-jasa.
Berbagai jenis restoran dengan tawaran konsep dan ide yang berbeda-beda
banyak bermunculan di Yogyakarta. Diperlukan strategi dalam menentukan
konsep unik, kenyamanan tempat, layanan yang superior, pengalaman yang
berkesan dan menyenangkan, serta harga yang sesuai daya beli target pasar. Salah
satu restoran yang menawarkan sebuah konsep menarik melalui pemanfaatan
7
teknologi terkini yang berkembang pesat, unik dan menyenangkan di dalamnya
adalah Michigo.
Michigo yang memiliki tagline Eat. Share! menawarkan kuliner Korea dan
memiliki dua cabang di Yogyakarta, yaitu di Plaza Ambarrukmo dan Babarsari
Ruko Rafflesia. Sebagai bagian dari Fajar Montana Group, Michigo merupakan
restoran yang peduli pada sosial dan lingkungan. Tiga prinsip utamanya adalah
teknologi, zero waste (memaksimalkan pengolahan limbah), dan pelestarian
budaya. Oleh karena itu, pengalaman yang ditawarkan oleh Michigo dikemas
sedemikian rupa dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip tersebut dan
merepresentasikan nilai yang dianut oleh perusahan.
Berbeda dengan restoran lain pada umumnya, untuk pengalaman membeli
dan mengkonsumsi produk serta jasa, Michigo menawarkan pengalaman
swalayan (self-service) mulai dari pemesanan makanan hingga pengambilan
pesanan dan pengembalian nampan serta peralatan makan setelah selesai.
Pengalaman unik yang ditawarkan Michigo kepada pelanggannya, yaitu
Michigoers (sebutan untuk pelanggan Michigo) dapat memilih menu kesukaan di
iPad yang telah disediakan di konter depan dengan asistensi dari seorang
karyawan, dilanjutkan dengan proses membayar di kasir, kemudian sambil
menunggu diberikan sebuah video pager. Dengan adanya video pager, pelanggan
bisa menunggu pesanan sambil menonton video klip K-Pop dan video hiburan
lain sekaligus menikmati suasana restoran yang cerah bernuansa kayu dan logo
ikonik merah menyala. Saat pesanan sudah jadi, pelanggan akan mendapat
pemberitahuan melalui video pager tersebut dan dapat mengambil sendiri pesanan
8
di konter pengambilan pesanan (pick-up point) yang telah disediakan di dekat
jendela dapur. Michigo juga dilengkapi Social Wall, yaitu layar televisi ukuran
besar yang diletakkan di tengah ruangan yang akan menampilkan perkembangan
terbaru secara tepat waktu dari akun media sosial Michigo. Pelanggan dapat ikut
berinteraksi di sana dengan memperbarui status di Facebook, Twitter, dan media
sosial lainnya. Setelah selesai menikmati makanan dan minuman, pelanggan
diharapkan untuk mengosongkan peralatan makan di meja secara mandiri dengan
meletakkannya di tempat yang sudah disediakan serta membuang sampah pada
tempat sampah.
Sejak kehadiran pertamanya tahun 2013 lalu, Michigo merupakan salah
satu restoran yang berani mengimplementasikan tren baru dalam menciptakan
pengalaman unik makan di restoran dengan memanfaatkan Self Service
Technology (SST) yang masih cukup jarang digunakan di Indonesia. Berbeda
dengan perilaku masyarakat saat ini yang terbiasa dengan restoran layanan penuh
dimana pramusaji akan mencatat pesanan pelanggan, mengantarkan pesanan ke
meja pelanggan, dan membersihkan meja setelah pelanggan selesai, konsep
swalayan berbasis teknologi ini membutuhkan partisipasi dan keterlibatan
pelanggan dan teknologi dalam proses pelayanan.
Michigo mengklasifikasikan restorannya sebagai sophisticated Korean
Pop Style restaurant dimana target pasar yang dituju adalah masyarakat
menengah ke atas, khususnya yang menyukai kuliner Korea. Restoran ini
menawarkan menu-menu yang bisa dinikmati oleh semua kalangan usia mulai
dari anak-anak sampai orang tua. Terinspirasi oleh desain bistro di Seoul, interior
9
dan eksterior restoran diatur sedemikian menarik agar pengunjung nyaman dan
memperoleh pengalaman yang menyenangkan. Michigo ramai dengan pelanggan
yang datang sendirian atau berkelompok bersama keluarga, teman, maupun rekan
bisnis terutama saat memasuki jam makan siang dan makan malam.
Sebagian besar restoran saat ini hanya fokus dalam memberikan layanan
yang baik untuk konsumen sesuai konsep yang umum dilakukan dengan layanan
penuh untuk memuaskan konsumen. Masih jarang restoran yang menonjolkan
keunikan pengalaman dengan konsep swalayan sejak awal pemesanan hingga
akhir setelah selesai mengkonsumsi untuk bisa bersaing secara kompetitif.
Pengalaman yang dirasakan pelanggan Michigo yang unik ini akan memberikan
kesan tersendiri bagi setiap pengunjung yang datang, sehingga diharapkan dapat
membentuk persepsi positif akan kepribadian merek serta diharapkan mampu
meningkatkan kepuasan pelanggan khususnya pecinta makanan Korea dan secara
alami akan menjadi basis loyalitas mereka untuk datang kembali atau
merekomendasi Michigo kepada orang lain.
Menurut Zeithaml et al. (2009, p.404), meski sebagian konsumen
menikmati konsep swalayan, tidak sedikit yang masih membutuhkan layanan
dengan interaksi manusia. Sebagian besar keengganan ini muncul karena
ketakutan pada teknologi, tidak ingin terlihat kurang kompeten dihadapan orang
lain, kebutuhan akan interaksi manusia dan dilayani, serta pikiran bahwa 'ini tugas
perusahaan, bukan tugas saya' (Zeithaml et al., 2009, p.399).
Menurut Beaujean et al. (2006), dalam pengalaman di industri jasa,
interaksi yang menciptakan percikan antara konsumen dan staf lini depan
10
sangatlah penting karena dapat mengubah konsumen yang skeptik menjadi
pengikut merek. Percikan tersebut dan ikatan emosional konsumen dengan merek
dapat menjelaskan kepercayaan dan loyalitas selama interaksi yang terjadi.
Dengan konsep swalayan berbasis teknologi, Michigo mengambil resiko bahwa
ada potensi kerugian dalam peluang mempererat interaksi dengan pelanggan
ketika mengganti proses tersebut menjadi lebih melibatkan mereka secara mandiri
dalam tiap proses. Masih jarang restoran yang menggunakan konsep ini di
Indonesia, khususnya Yogyakarta, meskipun di luar negeri sudah lebih umum
dilakukan.
Melihat pentingnya menciptakan pengalaman merek yang terbaik dan
menyenangkan pelanggan, kepribadian merek, dan kepuasan sebagai basis
loyalitas pelanggan terhadap merek serta keberlangsungan bisnis untuk jangka
panjang bagi pihak manajemen Michigo dalam bersaing dengan restoran-restoran
baru, maka penelitian ini akan melihat bagaimana pengaruh faktor pengalaman
merek, kepribadian merek, dan kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan
di restoran yang menggunakan konsep swalayan berbasis teknologi terkini seperti
Michigo yang justru menerapkan konsep layanan swalayan yang mengurangi
interaksi langsung antara konsumen dengan karyawan lini depan seperti yang
biasa dilakukan restoran tradisional dengan konsep layanan penuh atau fullservice.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa
bisnis makanan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat
11
khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Banyaknya pilihan memperkecil
biaya beralih sehingga pelanggan dapat dengan mudah memutuskan untuk
meninggalkan restoran tertentu dan berpindah ke restoran lain. Oleh karena itu,
para pengusaha restoran perlu memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan dan
diharapkan oleh pelanggan yang secara langsung memiliki peran penting dalam
keberlangsungan bisnis.
Michigo yang mendiferensiasikan restorannya melalui pemanfaatan
teknologi dalam konsep swalayan dalam mengangkat kuliner Korea yang sedang
populer, membuat restoran ini menarik untuk dikunjungi. Namun, sejak kehadiran
restoran-restoran baru di sekitarnya seperti Pepper Lunch dan Fish & Co. yang
juga menawarkan pengalaman unik dan kepribadian merek yang kuat, angka
kunjungan pelanggan ke Michigo semakin menunjukkan penurunan. Meskipun
penurunan tersebut saat ini belum terlalu signifikan bagi pihak manajemen,
penurunan ini dikhawatirkan akan berdampak untuk keberlangsungan bisnis
jangka panjang.
Michigo yang hadir dengan menawarkan restoran berkonsep swalayan
yang menggantikan interaksi langsung antara pelanggan dan karyawan seperti
yang biasa dilakukan di restoran-restoran layanan penuh perlu memahami
bagaimana kesan dari pengalaman yang dirasakan pelanggannya selama ini,
karena dengan konsep swalayan ini pelanggan belum tentu menerima dan puas
serta berniat untuk kembali berkunjung. Padahal, pelanggan yang senang dengan
pengalaman
yang
diterimanya
dan
merasa
bahwa
Michigo
mampu
merepresentasikan karakter yang diinginkannya merupakan basis loyalitas yang
12
penting untuk eksistensi restoran dalam jangka panjang Michigo dalam bersaing
dengan restoran-restoran baru yang diproyeksikan akan terus bertambah
sepanjang tahun.
Selain itu sebuah restoran yang ideal juga perlu menyesuaikan konsep dan
karakter restorannya dengan target pasar yang akan dituju. Michigo memiliki
target pasar masyarakat menengah ke atas yang terbiasa dilayani secara penuh
justru menggunakan konsep swalayan dan mengharuskan pelanggannya untuk
melakukan sendiri proses pemesanan, pengambilan pesanan yang telah jadi,
hingga mengantarkan peralatan nampan makan kotor dari meja ke tempat yang
telah disediakan. Michigo berani mengunggulkan restorannya melalui konsep ini
dan dibantu oleh teknologi tersebut meskipun terlihat bertolak belakang dengan
kebiasaan umumnya ketika orang ke restoran kelas menengah atas karena ingin
dilayani semua kebutuhan makanan dan lain-lainnya.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, peneliti ingin menguji
bagaimana pengaruh pengalaman merek yang ditawarkan Michigo, terutama
terkait dengan pengalaman membeli dan mengkonsumsi di restoran yang unik ini,
kepribadian merek Michigo, dan kepuasan pelanggan terhadap loyalitas
pelanggannya.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan penelitian yang menjadi pokok pembahasan dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah pengalaman merek akan mempengaruhi kepuasan pelanggan
Michigo?
13
2. Apakah pengalaman merek akan mempengaruhi loyalitas pelanggan
Michigo?
3. Apakah pengalaman merek akan mempengaruhi kepribadian merek
Michigo?
4. Apakah kepribadian merek akan mempengaruhi kepuasan pelanggan
Michigo?
5. Apakah kepribadian merek akan mempengaruhi loyalitas pelanggan
Michigo?
6. Apakah kepuasan pelanggan akan mempengaruhi loyalitas pelanggan
Michigo?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menguji pengaruh pengalaman merek pada kepuasan pelanggan Michigo.
2. Menguji pengaruh pengalaman merek pada loyalitas pelanggan Michigo.
3. Menguji pengaruh pengalaman merek pada kepribadian merek Michigo.
4. Menguji pengaruh kepribadian merek pada kepuasan pelanggan Michigo.
5. Menguji pengaruh kepribadian merek pada loyalitas pelanggan Michigo.
6. Menguji pengaruh kepuasan pelanggan pada loyalitas pelanggan Michigo.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran sebagai
berikut:
1. Bagi Manajemen Michigo
14
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk
penyusunan strategi pemasaran dalam meningkatkan loyalitas pelanggan
Michigo, terutama melalui penciptaan pengalaman merek dan kepribadian
merek, serta kepuasan pelanggan.
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan kesempatan bagi penulis dalam
menambah wawasan tentang masalah yang terjadi secara nyata khususnya
mengenai loyalitas pelanggan suatu merek yang bergerak di industri
layanan dengan bantuan teknologi.
3. Bagi Pihak Lain
Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi penelitian untuk
permasalahan yang serupa.
1.6. Batasan Penelitian
Dalam penulisan tesis ini, peneliti akan membatasi ruang lingkup
penelitian untuk pelanggan Michigo di wilayah Yogyakarta. Adapun variabel
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari model penelitian
oleh Brakus et al. (2009), yaitu pengalaman merek, kepribadian merek, kepuasan
pelanggan, dan loyalitas pelanggan.
1.7. Sistematika Penulisan
Adanya sistematika dalam penulisan tesis ini adalah untuk mempermudah
pembahasan dalam penulisan. Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
15
BAB I Pendahuluan
Bab ini membahas latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi teori-teori yang diperlukan dalam menjelaskan variabel yang
digunakan, penelitian terdahulu yang relevan, rerangka model serta hipotesis
yang diteliti.
BAB III Metode Penelitian
Bab ini membahas jenis penelitian beserta definisi operasional variabel,
penentuan sampel penelitian, metode pengumpulan data, metode untuk
menganalisis data, serta pengujian validitas dan reliabilitas untuk sampel pretest.
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini akan dibahas tentang deskripsi statistik penelitian, pengujian
hipotesis, dan pembahasan dari hasil uji hipotesis.
BAB V Penutup
Bab ini membahas kesimpulan hasil penelitian, keterbatasan penelitian, dan
implikasi manajerial untuk manajemen Michigo.
16
Download