BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Escherichia coli Bakteri merupakan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Escherichia coli
Bakteri merupakan organisme uniseluler, prokariotik, dan umumnya tidak
memiliki klorofil dengan ukuran rata-rata selnya 0,5-1 x 2-5 μm, memiliki bentuk
yang beraneka ragam yaitu kokus (bulat), basil (batang), dan spirilia (spiral).
Selain berinteraksi intraspesies, bakteri tersebut juga berinteraksi secara
interspesies dengan manusia, tumbuhan, dan hewan. Dalam interaksinya dengan
manusia, bakteri tersebut ada yang bersifat berbahaya dan yang tidak berbahaya.
Salah satu contoh bakteri patogen adalah Escherichia coli yang diketahui dapat
menyebabkan diare, kolera, dan berbagai penyakit pada saluran pencernaan.
Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh seorang bacteriologist yang
berasal dari Jerman bernama Theodor Von Escherich pada tahun 1885. Secara
alamiah E. coli adalah penghuni umum dalam pencernaan manusia dan hewan
(Melliawati, 2009). Adapun taksonomi dari E. coli sebagai berikut;
Superdomain
: Phylogenetica
Filum
: Proterobacteria
Kelas
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Family
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Species
: Escherichia coli
9
10
Gambar 3. Bentuk bakteri Escherichia coli pada mikroskop elektron
Sumber : Stevens (2009)
Bakteri E. coli merupakan bakteri yang bersifat fakultatif anaerob dan
memiliki tipe metabolisme fermentasi dan respirasi tetapi pertumbuhannya paling
banyak di bawah keadaan anaerob, namun beberapa E. coli juga dapat tumbuh
dengan baik pada suasana aerob (Meng dan Schroeder, 2007). Suhu yang baik
untuk menumbuhkan E. coli yaitu pada suhu optimal 37OC pada media yang
mengandung 1% peptone sebagai sumber nitrogen dan karbon. Ukuran sel dari
bakteri E. coli biasanya berukuran panjang 2,0 – 6,0 μm dan lebar 1,1 – 1,5 μm
dengan bentuk sel bulat dan cenderung ke batang panjang (Melliawati, 2009).
Struktur sel dari bakteri E. coli terdiri dari dinding sel, membran plasma,
sitoplasma, flagella, nucleus (inti sel), dan kapsul.
Membran sel terdiri dari sitoplasma yang mengandung nukleoprotein.
Membran sel E. coli ditutupi oleh dinding sel berlapis kapsul. Flagela dan fili E.
coli menjulur dari permukaan sel. Tiga struktur antigen utama permukaan yang
digunakan untuk membedakan serotipe golongan E. coli adalah antigen O (antigen
11
lipoporisakarida somatik di dalam dinding sel), antigen K (antigen polisakaride
kapsul), dan antigen H (antigen protein flagella) (Todar, 2008).
Bakteri E. coli mempunyai dinding sel yang kaku, berpori dan berguna
untuk memberikan bentuk tertentu pada sel serta berperan sebagai pelindung.
Dinding sel diklasifikasikan sebagai antigen O. Berdasarkan komposisi dinding
sel dan pewarnaannya itulah E. coli digolongkan sebagai bakteri Gram negatif.
Bakteri Gram negatif diketahui tidak tahan terhadap perlakuan fisik (bakteri akan
mati pada suhu 60OC selama 30 menit). Namun, bakteri ini lebih tahan terhadap
antibiotik golongan penisilin dan golongan lainnya seperti streptomisin. Kapsul
pada bakteri E. coli terbentuk karena pengaruh media pertumbuhan dan kondisi
lingkungan. Kapsul terdiri dari polisakarida atau kompleks polisakarida-protein
yang dapat melindungi membran luar dari fagositik dan sistem komplemen.
Kapsul ini diklasifikasikan sebagai antigen K. Flagella dari E. coli bersifat
antigenik sehingga dikenal sebagai antigen H. Sedangkan membran selnya terdiri
dari beberapa lemak dan protein dalam presentase yang hampir sama dimana
lemaknya membentuk fase non polar yang kontinyu (Todar, 2008).
2.2
Verotipe Escherichia coli
Ada beberapa kelompok E. coli yang menyebabkan diare pada manusia
dikelompokkan menjadi beberapa yaitu; Enterotoxigenik E. coli (ETEC),
Enteroinvasive E. coli (EIEC), Enteropatogenik E. coli (EPEC), Enteroagregative
E. coli (EAEC), Diffuse-adherent E. coli (DAEC), Extraintestinal pathogenik E.
coli (ExPEC), Urophatogenik E. coli (UPEC), Adherent-invasive E. coli (AIEC),
12
dan Enterohaemorragic E. coli (EHEC) (Chaudhuri dan Henderson, 2012). E. coli
ini diklasifikasikan berdasarkan ciri khas dari sifat-sifat virulensinya dan seberapa
besar setiap grup dapat menimbulkan penyakit melalui mekanisme yang berbeda.
Enteropatogenik E. coli (EPEC) merupakan salah satu dari enam verotipe E.
coli yang dapat menyebabkan diare pada manusia. Istilah EPEC dikemukakan
oleh Neter pada tahun 1950-an berdasarkan uji serotype. Karakter sel dan
biokimia dari EPEC sama dengan E. coli pada umumnya. Adapun serotype bakteri
E. coli yang termasuk ke dalam EPEC adalah O26, O55, O86, O111, O119, O125,
O126, O127, O128ab dan O142. Dalam setiap patogenesitas EPEC diperlukan
faktor virulensi yang berperan untuk mengalahkan sistem pertahanan dari inang.
Berdasarkan patogenesitasnya faktor virulensi EPEC dibedakan menjadi dua yaitu
faktor virulensi pasif yang berperan untuk mempertahankan diri dari sistem
pertahanan inang dan faktor virulensi aktif yang berperan dalam melemahkan atau
menghancurkan sistem pertahanan inang. Adapun faktor virulensi yang terlibat
dalam patogenesitas EPEC meliputi adesin, intimin, protein-protein sekresi
dan bundle-forming pili (bfp). Proses perlekatan terjadi melalui tiga tahap meliputi
tahap perlekatan tidak erat yang diperantarai oleh bundle-forming pili (bfp),
kemudian transduksi signal diperantarai oleh protein sekresi (EspA, EspB dan
EspD) sedangkan proses pengikatan erat melibatkan intimin (Hicks et al., 1998).
Selain bakteri golongan EPEC, bakteri golongan ETEC diketahui sebagai
penyebab diare enterotoksigenik dengan gejala klinis yang dapat terjadi seperti
diare, dehidrasi, asidosis, bahkan menyebabkan kematian. Faktor virulensi yang
digunakan untuk identifikasi ETEC adalah enterotoksin dan antigen pili
13
(fimbriae). Enterotoxigenic E. coli (ETEC) terdiri dari toksin tidak tahan panas
(heat-labile toxins/ LT) dan toksin tahan panas (heat-stabile toxins/ ST). ETEC
dapat menghasilkan satu atau dua enterotoksin tergantung pada plasmid (massa
DNA ekstra kromosom). Inang yang ter bakteri biasanya akan mengalami diare
yang lebih berat dan lebih lama karena mengandung kedua plasmid. Enterotoksin
kemudian diabsorbsi oleh sel epitel jejenum dan ileum sehingga dapat merusak
motilitas usus (Salyers and Whitt, 1994). Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi
ETEC pada inang, yaitu umur, pH lambung, dan kehadiran
antibodi spesifik terhadap permukaan antigen ETEC.
Enterohemoragik E. coli (EHEC) atau yang dikenal juga sebagai
Verocytotoxigenic Escherichia coli (VTEC) merupakan salah satu bakteri usus
bersifat patogen yang dapat menyebabkan diare hemolitic uremic syndrome
(HUS). E. coli ini berbahaya karena dapat menghasilkan dua toksin shiga like
toxin (SLT) sekaligus. Toksin pertama disebut SLT-I (VT-1) dan yang kedua
SLT-II (VT-2). Toksin ini membunuh sel dengan memecah adenine dari RNA
ribosom pada tempat dimana terjadi pemanjangan perlekatan aminoasil t-RNA
dan akhirnya terjadi hambatan sintesis protein dan kematian sel. EHEC melekat
pada sel usus dan menghasilkan lesi yang menyerupai lesi yang terlihat pada
EPEC. Serotype yang paling sering menyebabkan hemolitic uremic syndrome
(HUS) adalah E. coli 0157 : H7 (Hicks et al., 1998).
Golongan Enteroinvansif E. coli (EIEC) menyebabkan penyakit yang
memiliki kemiripan dengan shigellosis. EIEC melakukan fermentasi laktosa
dengan lambat dan tidak bergerak. EIEC menimbulkan diare hanya pada manusia
14
melalui invasi ke sel epitel mukosa usus. Kebanyakan penyakit ini muncul di
negara-negara berkembang. Sedangkan Enteroagregatif E. coli (EAEC) juga
dapat menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di Negara
berkembang. Bakteri ini ditandai dengan pola khas perlekatannya pada sel
manusia. EAEC memproduksi hemolisin dan ST enterotoksin yang sama dengan
ETEC (Todar, 2008).
2.3
Escherichia coli O157:H7
Escherichia coli merupakan salah satu bakteri Gram negatif berbentuk
batang dan tidak membentuk spora yang hidup normal dalam saluran pencernaan
manusia dan hewan. Bakteri ini ditemukan pertama kali pada tahun 1885 oleh
seorang bacteriologist asal Jerman bernama Theodor Von Escherich yang berhasil
melakukan isolasi terhadap bakteri tersebut. Dr. Escherich juga berhasil
membuktikan bahwa bakteri E. coli penyebab dari diare dan gastroenteritis pada
infant (Andriani, 2005). Bakteri ini dominan dapat ditemukan di dalam tinja
manusia dan hewan. Bakteri ini dikenal memiliki ratusan strain baik yang tidak
berbahaya maupun yang berbahaya. Salah satu strain yang dikenal paling patogen
yaitu E. coli O157:H7 (Sanchez et al., 2002).
Escherichia coli secara normal terdapat pada saluran pencernaan baik pada
manusia dan hewan, namun E. coli O157:H7 merupakan strain yang virulen yang
berasal dari sapi dan domba. E. coli O157:H7 adalah salah satu strain E. coli yang
memiliki peran sangat penting dalam penyakit zoonosis karena penyebarannya
dapat melalui makanan (Andriani, 2005). E. coli O157:H7 diidentifikasi patogen
15
pada manusia pertama kali pada tahun 1982 di Amerika Serikat (Sanchez et al.,
2002). Faktor virulen dari E. coli O157:H7 adalah Shiga toxin yang dihasilkan
dari E. coli (Andriani, 2005). Sejak itulah diketahui bahwa ternak sapi merupakan
reservoir utama dari Verocytotoxin-producing Escherichia coli (VTEC) dan
merupakan sumber penularan utama infeksi dari hewan ke manusia. Infeksi ke
manusia dapat terjadi karena penularan dari makanan yang berasal dari hewan
yang telah tercemar atau terkontaminasi misalnya dari daging sapi mentah
maupun susu mentah (Sumiarto, 2004b).
McGee et al., (2004) mengatakan bahwa penularan E. coli O157:H7 dari
satu sapi ke sapi lain sebelum berpindah ke manusia dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Kulit merupakan sumber penularan yang paling beresiko dalam
penyebaran bakteri E. coli O157:H7 tersebut. Andriani (2005) juga mengatakan
bahwa sapi yang dalam pencernaannya terdapat E. coli O157:H7 maka sapi
tersebut bertindak sebagai carrier sehingga dapat menyebarkan bakteri ini dari
hewan lain ataupun ke manusia. Bakteri E. coli O157:H7 pada pencernaan sapi
sebenarnya merupakan bentuk mutan dari E. coli yang biasanya terdapat dalam
pencernaan sapi, domba, kambing, babi bahkan ayam (Andriani, 2005).
Bakteri E. coli O157:H7 bersifat patogen memiliki faktor yang virulen yaitu
shiga like toxin (Stx) atau dikenal juga dengan STEC. Strain STEC ini yang
mnenghasilkan dua jenis racun shiga yaitu Stx1 dan Stx2 yang merupakan faktor
virulen utama dari E. coli O157:H7 (Andriani, 2005). Stx1 diketahui hampir
identik dengan racun yang diproduksi oleh Shigella dysenteriae serotipe 1. Jika
dibandingkan dengan Stx2, penderita yang telah terinfeksi Stx1 lebih berpeluang
16
menderita gastrointestinal dengan gejala seperti diare berdarah (Fraser et al.,
2004).
STEC memiliki ketahanan asam yang menyebabkan ketika tercerna oleh
tubuh STEC mampu bertahan dalam lumen usus dan menempel pada sel-sel usus
dalam sistem pencernaan sehingga terbentuk lesi pada sel-sel usus. Lesi yang
terbentuk inilah yang menjadi faktor resiko terjadinya hemolytic uremic syndrome
(HUS) (Gyles, 2007). Stx yang diproduksi oleh STEC ini mampu berikatan
dengan reseptor spesifik pada sel inang dan merupakan penyebab kematian dari
sel-sel inang. Adapun target utama dari Stx adalah sel-sel endotel vaskular
sehingga jika produksi Stx meningkat akan terjadi kerusakan pada pembuluh
darah di usus. Gangguan pada pembuluh darah di usus secara terus-menerus akan
mengakibatkan terjadinya diare berdarah pada penderita dan menyebabkan
gangguan ginjal (Desmarchelier dan Fegan, 2003; Gyles, 2007).
Andriani (2005) menjelaskan bahwa toksin yang telah diproduksi oleh
bakteri E. coli O157:H7 dapat masuk ke dalam lumen usus hingga menembus
lapisan endothel sehingga masuk ke aliran darah. Hal ini dikarenakan adanya
faktor virulen lain berupa intimin yang mampu menimbulkan lesi patogenik yang
disebut lesi attaching and effacing (lesi A/E). Lesi attaching and effacing ini
memicu terjadinya Locus of Enterocites Effecment (LEE). Bakteri EHEC ini
kemudian menghasilkan faktor protein EspA dan EspB yang berperan dalam
proses penempelan pada epithel usus dengan bantuan geneae yang terdapat pada
bakteri tersebut. Jika telah masuk ke aliran darah maka dapat mengganggu fungsi
17
ginjal sehingga dapat terjadi gagal ginjal akut. Akibat yang paling parah dari
infeksi E. coli O157:H7 ini adalah mengakibatkan kematian pada manusia.
2.3.1 Penularan Escherichia coli O157:H7
Tingkat kejadian infeksi Escherichia coli O157:H7 di negara-negara maju
diketahui cukup tinggi. Di Australia pada tahun 2012 dilaporkan kejadian infeksi
STEC sebesar 0,5 kasus per 100.000 penduduk (112 kasus). Pada tahun 2010
teridentifikasi di Australia sebanyak 58,8 kasus (Yates, 2011). Di Selandia Baru
laporan mengenai infeksi STEC pada tahun 2011 adalah 3,5 kasus per 100.000
penduduk (154 kasus) terjadi sedikit peningkatan dari tahun 2010 yaitu 3,2 kasus
per 100.000 penduduk (Yates, 2011). Laporan dari CDC (2012) menyatakan
bahwa tingkat infeksi STEC di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2010 adalah
1,78 kasus per 100.000 penduduk yang juga mengalami sedikit peningkatan dari
tahun 2009 dari 1,53 kasus per 100.000 penduduk. Hal ini dikarenakan E. coli
O157:H7 merupakan salah satu penyebab dari Foodborne Disease.
Penelitian yang dilakukan oleh Sumiarto (2002a) menjelaskan bahwa
Prevalensi infeksi VTEC di Indonesia pada sapi perah di Yogyakarta dan Jawa
Tengah pada tingkat ternak sebesar 27,4% dan pada peternak 53,5%. Sedangkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Hanif et., al (2003) prevalensi VTEC pada
ternak di Kabupaten Sleman Yogyakarta sebanyak 35%. Di Indonesia pada
manusia pernah dilaporkan dari Rumah Sakit Ciptomangun kusumo terjadi
sembilan kasus VTEC dimana empat diantaranya meninggal dunia (Tambunan et
al., 2001).
18
Gambar 4. Transmisi infeksi E. coli O157:H7 dari ternak ke manusia
Sumber : Siech (2001)
Pada Gambar 4. digambarkan secara singkat bagaimana penularan E. coli
O157:H7 ini dari hewan ke manusia. Pada manusia proses masuknya bakteri E.
coli O157:H7 ke dalam tubuh hingga menimbulkan infeksi dalam sebuah studi di
Kanada dan perancis menjelaskan bahwa infeksi VTEC yang menyebabkan HUS
pada manusia sangat berkaitan dengan populasi kepadatan ternak. E. coli
O157:H7 diketahui dapat menular ke manusia karena; interaksi dengan hewan
penderita misalnya para pekerja di peternakan atau manusia yang bertempat
tinggal dekat dengan peternakan, melalui kotoran ternak atau feses yang
mencemari daging pada saat pemotongan, sumber air minum yang tercemar
bakteri E. coli O157:H7, dan sayuran atau buah yang tidak sengaja tercemar
karena menggunakan pupuk kandang pada saat dilakukan pemupukan (Doyle et
al., 2006).
19
Andriani (2005) juga menjelaskan bahwa penularan bakteri E. coli O157:H7
ke manusia dapat juga dikarenakan pada saat proses pemotongan hewan di rumah
potong hewan (RPH) terjadi kontaminasi pada daging sapi dan peralatan yang
digunakan. Sedangkan pada susu kontaminasi E. coli O157:H7 bisa berasal dari
ambing yang telah tercemar maupun dari alat-alat perah yang digunakan. Daging
dan susu yang tidak dimasak secara sempurna pula dapat menyebabkan
kontaminasi dan secara organoleptik tidak terlihat adanya perubahan warna, bau
dan rasa. Pada tahun 2001 di Ohio pernah dilaporkan terjadi penularan yang
bersifat airbone infection yang berasal dari dinding dan debu yang sebelumnya
telah ter bakteri E. coli O157:H7.
Pada sapi yang merupakan reservoir utama dari bakteri E. coli O157:H7 ini,
penularan dari sapi ke sapi dapat terjadi karena transmisi E. coli O157:H7 pada
kulit sapi (McGee et al., 2004). Pada sapi perah dan sapi potong VTEC telah
pernah terdeteksi berada pada betis sapi berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Doyle et al., 2006. Prevalensi bakteri E. coli O157:H7 pada kotoran ternak
tergantung pada faktor musim dan faktor usia hewan kurang dari 10%. E. coli
O157:H7 dapat ditemukan pada pemeriksaan rektal di mukosa dari rectum yang
dapat dilakukan pada anak sapi (McGee et al., 2004).
2.3.2 Faktor Resiko Infeksi Escherichia coli O157:H7
Bakteri colliform merupakan bakteri yang selalu berhubungan dengan
penyakit pencernaan pada manusia dan hewan. Colliform terbagi menjadi dua
yaitu Fecal coli (Escherichia coli) yang berasal dari feses manusia dan hewan
20
berdarah panas, dan coli non-fecal yang bukan berasal dari feses dan hewan
berdarah panas (Yates, 2011). Escherichia coli merupakan bakteri yang patogen
karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu strain E. coli yang
bersifat zoonosis yaitu E. coli O157:H7. Sapi merupakan reservoir utama dari E.
coli O157:H7 (Sanchez et al., 2002). Infeksi E. coli O157:H7 dari hewan ke
hewan maupun dari hewan ke manusia dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Kejadian infeksi E. coli O157:H7 pada ternak sapi dapat disebabkan oleh
berbagai faktor secara umum dapat berupa faktor pakan, stress, kondisi geografis,
kepadatan ternak serta musim (Kudva et al., 1996). Selain itu beberapa variabel
yang perlu diperhatikan seperti; umur ternak, jenis kelamin, sistem pemeliharaan,
sumber air minum, kebersihan lantai kandang, kemiringan lantai kandang,
kebersihan sapi, serta keadaan cuaca tempat sapi tersebut dipelihara. Keadaan
cuaca pada suatu daerah sangat mempengaruhi pertumbuhan bakteri E. coli
O157:H7 karena pertumbuhan E. coli tersebut sangat bergantung dari kelembaban
dan suhu (temperatur) di wilayah tersebut (Kudva et al., 1996).
Pertumbuhan bakteri E. coli sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti; suhu, pH, kelembaban, water activity (wa), dan nutrisi bakteri (komposisi
makanan). Kisaran suhu untuk pertumbuhan E. coli berkisar 7-8OC sampai 46OC
dengan suhu optimun pertumbuhan 35OC-40OC (Desmarchelier dan Fegan, 2003).
Ketahanan panas dari E. coli juga sangat bergantung pada komposisi, pH, dan
aktivitas air dari makanan. E. coli lebih tahan terhadap panas pada saat berada
dalam fase diam jika dibandingkan pada fase pertumbuhan (Desmarchelier dan
Fegan, 2003).
21
Secara umum bakteri E. coli dapat tumbuh lambat pada pH di bawah 4,6
dengan beberapa pengecualian. Menurut Desmarcheller dan Fegan (2003) bakteri
E. coli tumbuh pada kisaran pH dari 4,4-10,0 dengan pH optimun 6-7. Strain
STEC diketahui mampu bertahan terhadap kondisi asam dengan pH 2,5-3,0
selama lebih dari 4 jam (Molina, 2003). Water activity secara sederhana dapat
diartikan sebagai ketersediaan air di dalam makanan untuk mendukung
pertumbuhan mikroba. Water activity yang diperlukan oleh bakteri E. coli
O157:H7 untuk tumbuh mendekati derajat pertumbuhan normal yaitu 0,90-0,99
dengan rata-rata 0,95 atau sekitar 8% natrium klorida. E. coli merupakan
organisme anaerob fakultatif sehingga tidak memerlukan oksigen untuk proses
pertumbuhan namun, E. coli tumbuh lebih baik pada kondisi aerobik (Meng dan
Schroeder, 2007).
Kejadian infeksi E. coli O157:H7 pada sapi juga dapat disebabkan karena
penumpukan feses di permukaan kandang ternak yang kotor. Penyebarannya
dapat melalui kontak antara kulit hewan dengan feses sapi yang telah terinfeksi
bakteri E. coli O157:H7 karena E. coli tersebut dapat bertahan selama 18 minggu
dalam feses sapi pada suhu 15OC dan kelembaban tertentu. Sumber air minum
juga merupakan salah satu faktor infeksi penularan bakteri E. coli O157:H7. Feses
yang berasal dari ternak sapi kemungkinan dapat mencemari air di sungai dan
danau ataupun sumber air minum yang berada di dekat peternakan.
Hasil penelitian Sumiarto (2004b) pada sapi perah menunjukkan bahwa
pada sapi yang kotor beresiko 3,22 kali terinfeksi VTEC jika dibandingkan
dengan sapi yang bersih karena tinja yang menempel pada badan sapi merupakan
22
tempat pertumbuhan yang baik untuk E. coli O157:H7. Selain kebersihan sapi,
kebersihan dari lantai kandang juga merupakan faktor utama dari pertumbuhan
bakteri E. coli O157:H7. Hal ini dikarenakan bakteri E. coli O157:H7 dapat
bertahan hidup dalam tinja sapi pada suhu 370C dengan kelembaban relatif 10%
selama 42-49 hari dan dapat bertahan hidup selama 49-56 hari di dalam tinja pada
suhu 22OC dengan kelembaban relatif 10% (Wang et al., 1996). Selain faktor
kebersihan sapi dan kandang, faktor lain yang memungkinkan tumbuhnya bakteri
E. coli adalah umur dari sapi tersebut. Tokhi et al., (1993) menjelaskan dalam
penelitiannya bahwa tidak ada asosiasi antara kejadian VTEC dengan diare pada
ternak, tetapi VTEC mempunyai asosiasi dengan diare pada ternak yang berumur
kurang dari 10 minggu dengan perkiraan bahwa distribusi E. coli O157:H7 dapat
menyerang sebagian besar ternak umur antara 4 sampai 12 bulan. Namun, pada
penelitian yang dilakukan oleh Hancock et al., (1994) menyatakan bahwa ternak
yang berumur kurang dari 4 bulan lebih banyak memproduksi E. coli O157:H7.
Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor resiko penyebaran E.
coli O157:H7 pada ternak sapi
2.4
Kondisi Geografis Kecamatan Petang
Kecamatan Petang merupakan salah satu Kecamatan yang terletak terletak
di bagian utara Kabupaten Badung Provinsi Bali dengan luas wilayah 115,00 km².
Secara geografis terletak di antara 8º14’17”-8º28’25” ls dan 115º11’01”–
115º15’09” bt dan terletak di ketinggian 275-2.075 mdpl yang sebagian besar
wilayahnya berupa perbukitan dengan tebing-tebing curam dan menjadi hulu dari
23
beberapa sungai yang ada di Badung. Selain itu, wilayah Petang memiliki curah
hujan yang tinggi setiap tahunnya sekitar 180,3 mm dengan jumlah hari hujan
sekitar 159 hari pertahun hingga akhir tahun 2012 dengan suhu rata-rata 28,5OC
dan kelembaban sekitar 75 - 85% (Badan Pusat Statistik Badung., 2012a). Kondisi
geografis tersebut memadai untuk tumbuh dan berkembangnya pertumbuhan
bakteri E. coli O157:H7.
Peternakan merupakan usaha tambahan bagi masyarakat di kecamatan
Petang. Kondisi alam di daerah tersebut sangat mendukung dan memudahkan
dalam penyediaan pakan ternak bagi masyarakat khususnya bagi ternak sapi.
Berdasarkan hasil statistik populasi ternak sapi pada tahun 2012 di kecamatan
Petang menunjukkan adanya sedikit penurunan jumlah produksi ternak sapi
(Badan Pusat Statistik Badung., 2013b). Jumlah populasi ternak sapi pada tahun
2011 sebanyak 15.567 ekor yang pada tahun 2012 berkisar 14.430 ekor. Adapun
jumlah ternak sapi di 7 Desa di kecamatan Petang pada tahun 2012 berturut-turut
sebagai berikut; desa Carangsari 1.254 ekor, desa Getasan 573 ekor, desa Pangsan
742 ekor, desa Petang 895 ekor, desa Sulangai 2.398 ekor, desa Pelaga 4.372 ekor
dan desa Belok sebanyak 4.196 ekor sapi (Badan Pusat Statistik Badung., 2013b).
Download