PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis Raffles 1821) DI PENANGKARAN SEMI ALAMI PULAU TINJIL, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN NUR ANITA GUSNIA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis Raffles 1821) DI PENANGKARAN SEMI ALAMI PULAU TINJIL, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN NUR ANITA GUSNIA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN NUR ANITA GUSNIA. Perilaku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Di bawah bimbingan: ACHMAD MACHMUD THOHARI dan ENTANG ISKANDAR. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) merupakan salah satu jenis primata yang belum dilindungi dan banyak dimanfaatkan oleh manusia. Rameiyanti dan Purnama (2008) mengatakan bahwa hasil penangkapan dari alam yang dijual secara bebas cenderung melebihi kuota tangkap yang telah ditentukan oleh pemerintah sehingga dapat mengurangi kelestarian spesies ini. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu upaya untuk menanggulangi kepunahan spesies ini dengan usaha konservasi seperti mendirikan penangkaran. Salah satu aspek terpenting dalam penangkaran yang berperan dalam meningkatkan populasi dan produktivitas satwa adalah aspek reproduksi. Dalam aspek reproduksi, terdapat salah satu bagian penting yang dapat menentukan keberhasilan peningkatan populasi satwa, yaitu perilaku seksual. Dengan mengetahui perilaku seksual satwa yang ditangkarkan dapat memberikan arahan pada tindakan dan bentuk pengelolaan yang sesuai guna menghasilkan produksi satwa yang sesuai harapan sehingga menunjang keberhasilan usaha penangkaran. Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk mengetahui perilaku seksual yang ditunjukkan oleh monyet ekor panjang di penangkaran semi alami Pulau Tinjil dan pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku harian monyet ekor panjang. Penelitian berlokasi di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian diawali pada tanggal 5-10 Mei 2009 dengan penentuan lokasi selama pengamatan pendahuluan dengan metode transek garis. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2009. Data perilaku diambil dengan metode behaviour sampling pada waktu aktif monyet pukul 06.00-10.00 WIB dan pukul 14.00-18.00 WIB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa monyet di kelompok kandang 3 menghabiskan 20% waktu aktifnya untuk makan, 3,9% untuk minum, 39,6% untuk berpindah, 21,4% untuk istirahat, 3,7% untuk grooming, 4,6% untuk agonistik dan 6,8% untuk aktivitas seksual. Posisi monyet dalam hierarki sosial berkorelasi positif dengan frekuensi perilaku seksual jantan dan berkorelasi negatif dengan frekuensi perilaku seksual betina. Terdapat tipe-tipe perilaku seksual pada monyet ekor panjang. Tipe dengan frekuensi paling tinggi yaitu mendekati-memeriksa kelamin. Pada monyet jantan, perilaku seksual berkorelasi positif dengan perilaku makan, berpindah dan istirahat serta memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku makan dan berpindah. Pada monyet betina yang tidak sedang bunting, perilaku seksual berkorelasi negatif dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku makan. Pada monyet betina yang sedang bunting, perilaku seksual berkorelasi negatif dengan perilaku makan serta berkorelasi positif dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku istirahat. Kata kunci : Perilaku seksual, Monyet ekor panjang, Pulau Tinjil. SUMMARY NUR ANITA GUSNIA. Sexual Behavior of Long-tailed Macaque (Macaca fascicularis Raffles 1821) in Semi Natural Habitat Breeding of Tinjil Island. Department of Forest Resources Conservation and Ecotourism. Faculty of Forestry. Bogor Agricultural University. Under supervision of ACHMAD MACHMUD THOHARI and ENTANG ISKANDAR. Long-tailed macaque (Macaca fascicularis Raffles 1821) is one of primate species that has not been protected in Indonesia. The wild caught tended to exceed the wild capture quotas that have been set by the government (Rameiyanti & Purnama 2008). This wild capture can reduce the sustainability of this species, so it should be an effort to prevent extinction by conservation effort such as establishing a captive breeding. One of the most important aspect to the succees of captive breeding is animal reproduction, especially sexual behavior. By knowing the sexual behavior of the macaque, it can be known about the appropriate form of management in order to produce a suitable animal production. The objectives of this study were to determine sexual behavior of the long-tailed macaque in Semi Natural Habitat Breeding of Tinjil Island (SNHBTI) and the influences of sexual behavior to daily behavior of long-tailed macaque. This research was conducted in SNHPTI, Pandeglang, Banten from June to August 2009. The study started on 5 to 10 May 2009 to determine location during preliminary observations by establishing the line transect method. Behavioral data was recorded using behavior sampling method during their active time at 06.00-10.00 WIB and 14.00-18.00 WIB. There was 29 group of the macaques in SNHBTI but only group 3 was observe for this study. The sample unit consist of 5 males and 4 females. The result shows that long-tailed macaques in group 3 spent 20% of their active time to eat, 3,9% drinking, 39,6% moving, 21,4% resting, 3,7% grooming, 4,6% agonistic and 6,8% for sexual activity. Sexual activity is frequently done in the morning. This activity also frequently taken place on the trees. The position of the monkey in the social hierarchy positively correlated with the frequency of male sexual behavior and negatively correlated with the frequency of female sexual behavior. There are types of sexual behavior in long-tailed macaque. The highest frequency was approach-genital inspection. Sexual behavior in males have positively correlated with eating, moving, and resting behavior, and also have a significant influence on eating and moving behavior. Sexual behavior at nonpregnant females have negatively correlated and give significant influences to eating behavior. Sexual behavior at pregnant female has negatively correlated with eating behavior, positively correlated and give significant influences to resting behavior. Keywords: Sexual behaviour, Long-tailed macaque, Tinjil Island. PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perilaku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi. Bogor, Februari 2010 Nur Anita Gusnia NIM E34052786 Judul Skripsi : Perilaku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten : Nur Anita Gusnia : E34052786 Nama NIM Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, (Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA) (Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si) NIP: 19480208.198001.1.001 NIP: 19670619.200701.1.002 Mengetahui: Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, (Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.) NIP: 19580915.198403.1.003 Tanggal lulus: KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr.wb. Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini yaitu Perilaku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA dan Bapak Dr. Ir Entang Iskandar, M.Si selaku dosen pembimbing. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pusat Studi Satwa Primata yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik pada isi maupun teknis penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Wassalamuaikum wr.wb. Bogor, Februari 2010 Penulis RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 25 Agustus 1988. Penulis adalah putri kedua dari pasangan Samsul Hidayat, SH dan Yeni Apriyanti, S.Pd. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri Kejaksaan, Rangkasbitung pada tahun ajaran 1994-2000. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 2 Bekasi pada tahun ajaran 2000-2003. Beranjak dari sekolah menengah pertama, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Bogor pada program Akselerasi yaitu pada tahun ajaran 2003-2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dengan kurikulum mayor minor. Setelah satu tahun di Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis tercatat sebagai mahasiswa mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan minor Agroforestry. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Pada tahun 2005-2006, penulis menjadi bendahara Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB. Pada tahun 2006-2007, penulis menjadi anggota Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) dan staf Biro Infokom Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). Pada tahun 2007-2008, penulis menjadi Bendahara Umum BEM Fakultas Kehutanan, anggota KPM dan staf Biro Sosial Lingkungan HIMAKOVA. Penulis telah melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Resor Pemangkuan Hutan Baturaden dan Cilacap, Praktek Umum Konservasi Eksitu Satwaliar di Kebun Binatang Ragunan dan Kebun Tanaman Obat Karyasari, dan Praktek Kerja Lapang Profesi di Taman Nasional Bali Barat. Penulis melakukan penelitian mengenai Perilaku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. H. Achmad Machmud Thohari, DEA dan Bapak Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si. UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur tak hentinya saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala kekuatan, kesempatan dan rezeki yang telah diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Banyak pihak yang telah terlibat dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Tidak ada kata yang lebih tepat selain terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam membantu penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua tercinta serta kakek dan nenek untuk segala limpahan kasih sayang, waktu, perhatian dan fasilitas yang telah diberikan. 2. Kakakku tersayang, Meditha Yukarani, yang selalu memberikan semangat dan motivasi untuk melakukan yang terbaik. 3. Komisi pembimbingan; Bapak Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA dan Bapak Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si. Terima kasih atas kesediaannya dalam meluangkan waktu untuk membimbing mahasiswa bimbingannya sehingga skripsi ini dapat rampung dengan baik. 4. Dosen-dosen penguji dalam Ujian Komprehensif; Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr dari Departemen Hasil Hutan, Ibu Dra. Nining Puspaningsih, M.Si dari Departemen Manajemen Hutan dan Ibu Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, MS. dari Departemen Silvikultur. 5. Dosen-dosen pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Tingkat Persiapan Bersama, yang telah memberikan banyak ilmu dan wawasan selama menuntut ilmu di IPB. 6. Septiantina Dyah Riendriasari, S.Hut sebagai pembimbing lapang yang telah membimbing selama studi pendahuluan dan persiapan teknis di lapangan. 7. Tubagus Muhammad Maulana Yusuf sebagai teman teristimewa yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan masukan yang berarti dalam penulisan karya ilmiah ini serta bimbingannya dalam pembuatan peta dan diagram profil pohon. 8. Seluruh staf dan pimpinan Pusat Studi Satwa Primata atas kesediaannya menerima saya untuk melakukan penelitian di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil juga fasilitas-fasilitas yang telah diberikan sehingga dapat memudahkan dalam pengambilan dan pengolahan data. 9. Sahabat-sahabat baikku; Maria Fatima Conchita Wawo, Ajeng Kartini Rahmania, Khairunnisa Nurul Firdausi, Fitri Kartika Sari, Rentry Augusti Nurbaity, Dian Thursina, Christina Eka Wardhani dan Noviana Pramitasari. 10. Staf-staf lapang di Pulau Tinjil atas segala bantuan juga kesediannya menjadi responden dalam wawancara. 11. Keluarga besar TARSIUS 42. Semoga persahabatan dan silaturahmi kita tetap terjalin meskipun sudah tidak di kampus lagi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penulisan skripsi ini dan tidak bisa ditulis satu persatu. Sekali lagi, terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan membalas segala kebaikan yang telah diberikan. Bogor, Februari 2010 Penulis DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................. i RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... ii UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................. v DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ix BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.3 Manfaat Penelitian ...................................................................... 1 2 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Macaca fascicularis ................................................. 2.2 Morfologi dan Ekologi M. fascicularis....................................... 2.3 Penyebaran Populasi M. fascicularis .......................................... 2.4 Perilaku Harian M. fascicularis .................................................. 2.4.1 Perilaku makan .............................................................. 2.4.2 Perilaku grooming .......................................................... 2.4.3 Perilaku agonistik .......................................................... 2.4.4 Perilaku berpindah ......................................................... 2.4.5 Perilaku kawin ................................................................ 2.5 Biologi Reproduksi ..................................................................... 2.6 Perilaku Reproduksi .................................................................... 2.7 Status Konservasi M. fascicularis ............................................... 3 3 4 5 6 6 7 7 7 8 9 11 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................... 3.2 Bahan dan Alat Penelitian........................................................... 3.3 Data yang Dikumpulkan 3.3.1 Data primer .................................................................... 3.3.2 Data sekunder ................................................................ 3.4 Unit Contoh Pengamatan ............................................................ 3.5 Metode Pengambilan Data .......................................................... 3.5.1 Pengamatan pendahuluan .............................................. 3.5.2 Penelitian ....................................................................... 3.6 Analisis Data ............................................................................... BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Kawasan ............................................................ 4.2 Topografi dan Geologi ................................................................ 4.3 Tanah dan Air ............................................................................. 12 12 12 13 13 13 13 15 16 17 17 17 4.4 Iklim ............................................................................................ 4.5 Sejarah dan Status Kawasan ....................................................... 4.6 Sarana dan Prasarana Kawasan ................................................... 4.7 Kondisi Flora dan Fauna 4.7.1 Flora ................................................................................ 4.7.2 Fauna ............................................................................... BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lokasi Pengamatan ....................................................... 5.2 Kelompok Monyet Ekor Panjang di Pulau Tinjil ....................... 5.2.1 Struktur monyet kelompok kandang 3 ............................. 5.2.2 Ciri morfologi .................................................................. 5.3 Perilaku Harian Monyet .............................................................. 5.4 Perilaku Seksual .......................................................................... 5.4.1 Jenis aktivitas seksual monyet ekor panjang ................... 5.4.2 Preferensi waktu dan lokasi perilaku seksual .................. 5.4.3 Aktivitas seksual yang terjadi sesama jantan ................... 5.4.4 Aktivitas seksual pada monyet remaja dan anak ............. 5.5 Pengaruh Perilaku Seksual Terhadap Perilaku Harian Monyet Ekor Panjang ............................................................................. 5.5.1 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku makan ....... 5.5.2 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku istirahat ..... 5.5.3 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku berpindah .. 5.6 Pengelolaan Reproduksi Monyet Ekor Panjang di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil.............................................................. 18 18 19 20 20 21 24 25 26 26 40 43 48 49 50 50 51 52 53 54 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................. 6.2 Saran ........................................................................................... 59 60 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 61 LAMPIRAN .................................................................................................. 64 DAFTAR TABEL No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Halaman Hierarki sosial unit contoh individu yang diamati .................................. Jenis-jenis pohon yang berada di lokasi pengamatan ............................. Ukuran kelompok monyet ekor panjang kandang 3 ............................... Hierarki sosial dan ciri morfologi obyek penelitian ................................ Variasi tahap perilaku seksual monyet jantan terhadap monyet betina .. Introduksi monyet ekor panjang ke Pulau Tinjil ..................................... Pemanenan monyet ekor panjang dari Pulau Tinjil ................................ Rekapitulasi perilaku harian monyet ekor panjang ................................. Rekapitulasi perilaku kopulasi monyet ekor panjang ............................. Preferensi lokasi perilaku harian ............................................................. Preferensi lokasi perilaku seksual ........................................................... Preferensi waktu perilaku seksual ........................................................... Korelasi perilaku seksual terhadap perilaku makan monyet jantan ........ Korelasi perilaku seksual terhadap perilaku istirahat monyet jantan ...... Korelasi perilaku seksual terhadap perilaku berpindah monyet jantan ... Korelasi perilaku seksual dengan perilaku makan monyet betina tidak bunting .................................................................................................... Korelasi perilaku seksual dengan perilaku istirahat monyet betina tidak bunting .................................................................................................... Korelasi perilaku seksual dengan perilaku berpindah monyet betina tidak bunting ........................................................................................... Korelasi perilaku seksual dengan perilaku makan monyet betina bunting Korelasi perilaku seksual dengan perilaku istirahat monyet betina bunting .................................................................................................... Korelasi perilaku seksual dengan perilaku berpindah monyet betina bunting .................................................................................................... Daftar jenis pohon di kelompok kandang 3 ............................................ Koordinat titik GPS ................................................................................. 13 22 25 26 47 54 55 66 71 72 72 73 74 74 74 75 75 75 76 76 76 77 78 DAFTAR GAMBAR No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Halaman Inventarisasi monyet ekor panjang dengan metode transek jalur ........... Peta skematik Pulau Tinjil ...................................................................... Kondisi lokasi pengamatan ..................................................................... Peta lokasi penelitian monyet ekor panjang di kelompok kandang 3 ..... Diagram profil habitat kelompok monyet kandang 3 ............................. Titik-titik pengamatan ............................................................................. Grafik frekuensi perilaku harian monyet ekor panjang .......................... Perilaku makan monyet ekor panjang ..................................................... Grafik rata-rata frekuensi makan monyet ekor panjang.......................... Garis kecenderungan perilaku makan pada monyet ekor panjang .......... Perilaku minum monyet ekor panjang .................................................... Grafik rata-rata frekuensi minum monyet ekor panjang ......................... Perilaku berpindah monyet ekor panjang................................................ Grafik rata-rata frekuensi berpindah monyet ekor panjang .................... Perilaku istirahat monyet ekor panjang ................................................... Grafik rata-rata frekuensi istirahat monyet ekor panjang ....................... Grafik rata-rata frekuensi grooming monyet ekor panjang ..................... Perilaku grooming individu D2 terhadap anak ........................................ Perilaku agonistik antara D1 dengan β1 ................................................... Grafik rata-rata frekuensi agonistik monyet ekor panjang...................... Grafik rata-rata frekuensi perilaku seksual monyet ekor panjang .......... Grafik frekuensi penerimaan jantan oleh betina dalam kopulasi ............ Garis kecenderungan aktivitas seksual pada monyet ekor panjang ........ Jantan α mendekati betina ....................................................................... Posisi jantan dan betina dalam aktivitas intromisi .................................. Jantan α melakukan grooming terhadap E1 ............................................. Frekuensi jenis-jenis aktivitas seksual monyet ekor panjang ................. Preferensi waktu aktivitas seksual monyet ekor panjang........................ Proses penatoan pada monyet ekor panjang ........................................... Unit contoh pengamatan ......................................................................... 13 14 21 23 24 27 28 29 31 32 33 33 34 35 36 36 37 38 38 40 40 41 42 44 45 46 46 49 56 65 DAFTAR LAMPIRAN No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Halaman Dokumentasi unit contoh pengamatan ................................................... Rekapitulasi perilaku harian monyet ekor panjang ................................ Rekapitulasi perilaku kopulasi monyet ekor panjang............................. Preferensi lokasi perilaku harian dan seksual......................................... Preferensi waktu perilaku seksual .......................................................... Korelasi perilaku seksual terhadap perilaku harian monyet ekor panjang Pemetaan pohon di lokasi pengamatan monyet kelompok kandang 3 ... Koordinat titik GPS ................................................................................ 65 66 71 72 73 74 77 78 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Primata merupakan ordo fauna yang sangat beragam di Indonesia. Dari sekitar 195 jenis primata di dunia, 40 jenis ditemukan di Indonesia dan 24 jenis diantaranya merupakan satwa endemik negeri ini. Di antara 40 jenis primata tersebut, 32 jenis diantaranya telah dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan dan Pelestarian Alam, yang berarti 80% dari total jenis primata yang ada di Indonesia (Supriatna & Wahyono 2000). Kekayaan alam dalam bentuk keanekaragaman jenis primata tersebut sangat menguntungkan bagi penduduk Indonesia karena dapat memberikan banyak manfaat bagi kelangsungan hidup mereka. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) merupakan salah satu jenis satwa primata yang belum dilindungi di Indonesia akan tetapi banyak dimanfaatkan oleh manusia. Jenis tersebut dimanfaatkan dalam penelitian biomedis seperti menjadi hewan percobaan di laboratorium dalam pembuatan vaksin dan pembiakan sel, pengganti induk tangkar, obyek ekowisata, hewan peliharaan, topeng monyet, bahkan bahan makanan. Akan tetapi, hasil penangkapan dari alam yang dijual secara bebas cenderung melebihi kuota tangkap yang telah ditentukan oleh pemerintah sehingga dapat mengurangi kelestarian spesies ini (Rameiyanti & Purnama 2008). Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu upaya untuk menjaga kelestarian spesies ini dengan usaha konservasi seperti mendirikan penangkaran baik secara insitu maupun eksitu. Penangkaran semi alami Pulau Tinjil merupakan suatu lahan berupa pulau yang digunakan untuk memfasilitasi kegiatan perkembangbiakan spesies monyet ekor panjang secara eksitu untuk berbagai kepentingan, baik di bidang ekologi maupun sosial ekonomi. Adanya kecenderungan peningkatan jumlah kuota tangkap monyet ekor panjang dari alam dan berkurangnya habitat spesies ini di Indonesia (Rameiyanti & Purnama 2008; Supriatna 2000) menyebabkan diperlukannya suatu upaya konservasi untuk menambah populasi monyet tersebut di luar habitat alaminya. Keberadaan penangkaran monyet ekor panjang di Pulau Tinjil diharapkan dapat meningkatkan jumlah populasi monyet ini di Indonesia sehingga mengurangi ancaman kepunahannya dan memenuhi kebutuhan pasar baik nasional maupun internasional. Salah satu aspek terpenting dalam penangkaran yang berperan dalam meningkatkan populasi dan produktivitas satwa adalah aspek reproduksi. Dalam aspek reproduksi, terdapat salah satu bagian penting yang dapat menentukan keberhasilan peningkatan populasi satwa, yaitu perilaku seksual. Dengan mengetahui perilaku seksual satwa yang ditangkarkan maka dapat memberikan arahan pada tindakan dan bentuk pengelolaan yang sesuai guna menghasilkan produksi satwa yang sesuai harapan sehingga menunjang keberhasilan suatu usaha penangkaran. Oleh karena itu, dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui perilaku seksual monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain : a. Mengetahui perilaku seksual yang ditunjukkan oleh monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di penangkaran semi alami Pulau Tinjil. b. Mengetahui pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku harian monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di penangkaran semi alami Pulau Tinjil. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya perbaikan pengelolaan reproduksi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di penangkaran semi alami Pulau Tinjil pada khususnya dan di penangkaran primata pada umumnya sehingga dapat meningkatkan kesuksesan perkembangbiakannya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Macaca fascicularis Monyet ekor panjang memiliki klasifikasi ilmiah seperti yang dipaparkan Napier dan Napier (1985) sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Kelas : Mamalia Bangsa : Primata Sub-bangsa : Anthropoda Suku : Cercopithecidae Marga : Macaca Jenis : Macaca fascicularis Rafles 1821 Sub-jenis : M. f. atriceps, M. f. aurea, M. f. condorensis, M. f. fascicularis, M. f. fusca, M. f. karimondjawae, M. f. lasiae, M. f. philippinensis, M. f. tua, M. f. umbrosa (Lekagul & McNeely 1977; IUCN version 2009.1). Spesies ini memiliki nama lain/sinonim : monyet ekor panjang (Indonesia), long-tailed macaque (Inggris), macaque de buffon (Perancis), macaca cangrejera (Spanyol), javaapa atau krabbmakak (Swedia). 2.2 Morfologi dan Ekologi M. fascicularis Lekagul dan McNeely (1977) memaparkan bahwa monyet ekor panjang memiliki dua warna utama, yaitu coklat keabu-abuan dan coklat kemerahmerahan dengan gradasi warna yang besar. Perbedaan warna bervariasi sesuai dengan umur, musim dan lokasi, dimana populasi monyet yang hidup di hutan umumnya berwarna lebih gelap dibandingkan monyet yang hidup di tepi laut. Hal ini dipengaruhi oleh efek pemutihan (bleaching effects) dari udara garam dan sinar matahari langsung. Medway (1978) menyebutkan bahwa monyet ekor panjang umumnya berwarna coklat mengkilap (grizzled olive brown), kulit telanjang pada wajah, telapak tangan dan kaki berwarna coklat kemerah-mudaan. Anak yang baru lahir berambut sangat tipis dengan puncak kepala berwarna gelap. Ukuran kepala sampai badan 350-455 mm, ekor 400-565 mm dan memiliki bobot badan 1,5-5,0 kg. Pada hewan yang sudah tua ekor kemungkinan lebih pendek akibat kecelakaan. Menurut Hoeve (2003), monyet ekor panjang hidup berkelompok sangat besar, terkadang sampai dengan 300-400 ekor sebelum terjadi pemecahan. Jumlah rata-rata kelompok antara 30-60 ekor. Apabila dua kelompok saling bertemu, timbul ketegangan dan perkelahian selama 15-30 menit dimana pada monyet ekor panjang hanya mengayun-ayunkan dahan dan memperlihatkan gigi. Jantan berukuran lebih besar dan lebih galak daripada betina. Satwa yang memiliki hierarki paling atas biasanya seekor jantan dewasa yang disebut alpha male. Peringkat tertinggi dari satwa disebut sebagai satwa dominan (dominant animal) dan peringkat paling bawah disebut juga sebagai satwa kalahan (subordinate animal) (Chalmer 1980, diacu dalam Yansyah 1993). 2.3 Penyebaran Populasi M. fascicularis M. fascicularis tersebar mulai dari Indochina, Thailand, Myanmar, Philipina dan Indonesia. Di Indonesia, spesies ini tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Lekagul & McNeely 1977; Suyanto et al. 2002). Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), penyebaran monyet ekor panjang meliputi daratan Sumatera, Nias, Kep. Lingga, Kep. Riau, P. Simalur, Kep. Natuna, Kep. Anabas, Kep. Tambelan, Bangka, Belitung, Kep. Karimata, daratan Kalimantan dan pulau sekitarnya, Jawa, Matasari, Bawean, Bali, Lombok, P. Maratua, Sumba, Sumbawa dan Flores. Supriatna et al. (2001) diacu dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003) mengungkapkan bahwa monyet ekor panjang merupakan satwa primata yang memiliki kelimpahan terbesar di Indonesia dengan jumlah lebih kurang 20 juta individu untuk subspesies fascicularis saja. Mereka hidup berkelompok terdiri dari 15-40 ekor di hutan sekunder dan hutan nipah mangrove sepanjang sungai. Ukuran populasi optimal yaitu jumlah individu yang harus ada berdasarkan kelas umur dan komposisi jenis kelamin, yang menjamin kelestarian usaha penangkaran berdasarkan azas kelestarian ekologis dan ekonomis (Priyono 1998). Wheatley (1980) diacu dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan bahwa nisbah kelamin (sex ratio) rata-rata M.fascicularis adalah 1 jantan dewasa untuk 3,3 betina dewasa, sedangkan menurut Hadinoto (1993), nisbah kelamin monyet ekor panjang dalam kandang penangkaran adalah 1:16,65. 2.4 Perilaku Harian M. fascicularis Menurut Odum (1993), perilaku dalam arti yang luas merupakan tindakan yang tegas dari suatu organisme untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan guna menjamin hidupnya. Sedangkan Alikodra (2002) menjelaskan bahwa perilaku adalah kebiasaan-kebiasaan satwaliar dalam aktivitas hidupnya, seperti sifat kelompok, waktu aktif, wilayah pergerakan, cara mencari makan, cara membuat sarang, hubungan sosial, tingkah laku bersuara, interaksi dengan spesies lainnya, cara kawin dan melahirkan anak. Tanudimadja (1987) menjelaskan fungsi utama perilaku yaitu untuk memungkinkan seekor hewan untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam. Beberapa sebab umum dari perilaku antara lain: a. Organisasi hereditas (turun-temurun) umum suatu spesies yang menentukan pola perilakunya. b. Terdapat atau tidak adanya rangsangan primer yang menghasilkan perilaku. Perlu adanya perubahan dalam keadaan, baik dari luar maupun dari dalam tubuh untuk menimbulkan tingkah laku. c. Hewan-hewan membentuk perilakunya karena proses belajar dan berperilaku sesuai dengan apa yang mereka telah peroleh dari perjalanan. Pada penelitian yang telah dilakukan di Taman Hutan Raya Ir. Djuanda, monyet ekor panjang di kawasan tersebut mempunyai waktu aktif pada pukul 09.00-10.00 WIB dengan rata-rata jumlah individu aktif 17 ekor dan siang hari pada pukul 15.00-16.00 WIB dengan rata-rata jumlah individu aktif 14 ekor. Pemakaian waktu harian paling besar digunakan untuk perilaku bersembunyi 45%, lalu diikuti perilaku lokomosi 24%, makan-minum 13%, istirahat 12% dan sosial 6% (Khadriana 2005). Menurut Widiyanti (2001), penggunaan waktu dalam satu hari pada monyet ekor panjang yaitu perilaku bergerak sebanyak 28% (145 menit) yang dilakukan sepanjang hari, perilaku makan sebanyak 25% (130 menit) pada rentang waktu pukul 07.00-15.00 WIB, perilaku istirahat sebanyak 21% (105 menit) yang dilakukan pada periode aktif monyet tersebut, perilaku mencari kutu atau grooming 15% (75 menit) yang dilakukan saat sedang istirahat bersama, perilaku main sebanyak 9% (45 menit) yang biasanya dilakukan oleh anakan, dan aktivitas lainnya sebanyak 2% (10 menit). Waktu aktif monyet ekor panjang adalah pukul 05.00-17.00 WIB, sedangkan waktu mulai keluar dari lokasi tidur adalah pukul 05.30 WIB. 2.4.1 Perilaku makan Aktivitas makan akan dimulai ketika monyet berada di dekat makanan, bisa dari pohon yang bersangkutan atau pohon lain di dekatnya. Aktivitas makan dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu mengambil makanan, memasukkan ke mulut dan mengunyah. Jenis yang paling banyak dimakan yaitu Ficus benjamina (31,7%), Eugenea densiflora (11,5%), Gnetum gnemon (11,4%), Terminalia catappa (11%), Hibiscus teleaceus (10,5%) dan Baringtonia asiatica (9,3%). Bagian yang paling banyak dimakan yaitu daun muda (48%), buah (40,4%), bunga (5,9%) dan bagian lain (5,7%). Waktu makan berkisar antara pukul 08.00-11.00 WIB dan 16.00-17.00 WIB (Sugiharto 1992). 2.4.2 Perilaku grooming Yansyah (1993) memaparkan bahwa individu betina lebih banyak menelisik, baik dengan sesama betina maupun dengan individu jantan dibandingkan dengan individu jantan menelisik individu betina. Aktivitas menelisik individu betina oleh jantan biasanya dilakukan sebelum individu jantan melakukan aktivitas seksual atau ketika individu jantan sedang istirahat diantara sejumlah individu betina. Grooming lebih sering dilakukan individu subordinat kepada individu yang mempunyai peringkat sosial lebih tinggi. 2.4.3 Perilaku agonistik Hadinoto (1993) memaparkan perilaku agonistik meliputi perkelahian, pengejaran dan pertengkaran. Perilaku ini terjadi baik antara individu jantan dengan betina, sesama jantan, sesama betina, individu jantan dengan kelompok betina dan individu betina dengan kelompok betina. Dalam perkelahian, individuindividu mengeluarakan suara khas (khrukh...khrukh...khrukh...) sambil memunculkan giginya dilanjutkan dengan berkejaran. Perkelahian antar individu betina berhubungan dengan hierarki sosial dimana individu yang peringkatnya lebih tinggi mengejar individu yang peringkatnya lebih rendah. Perkelahian antara jantan dengan betina lebih berhubungan dengan fungsi jantan sebagai pejantan dan pelindung betina dalam anggota kelompoknya. Kelompok betina menyerang jantan secara bersamaan menunjukkan pembelaan terhadap sesama betina, karena seringkali didahului oleh jantan yang menyerang individu betina. 2.4.4 Perilaku berpindah Menurut Hadinoto (1993) individu monyet melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dengan cara berjalan, berlari atau meloncat dengan menggunakan tangan dan kakinya. Individu jantan akan berjalan kemana saja tanpa terpengaruh individu betina. Monyet meloncat dengan cara menghentakan kaki belakangnya dan tidak jarang kaki-kaki depan memegang benda yang ada di depannya, hal ini diduga agar monyet tersebut dalam posisi menguntungkan dan tidak jatuh. Monyet jarang terlihat berpindah sambil berdiri dengan hanya menggunakan dua kaki, karena susunan kaki belakangnya tidak mendukung untuk dapat menopang tubuh dan berjalan atau bergerak. 2.4.5 Perilaku kawin Perilaku kawin ditandai dengan kesediaan betina terhadap jantan untuk memulai interaksi seksual (Hadinoto 1993). Aktivitas seksual lebih banyak dilakukan pada pagi hari. Individu jantan dominan lebih aktif melakukan aktivitas seksual dibandingkan dengan individu jantan peringkat di bawahnya. Individu jantan dominan lebih aktif mendekati individu betina yang sedang birahi untuk dikawini dan sering juga terlihat individu betina yang birahi mendekati individu- individu jantan. Individu jantan dominan sering terlihat mengancam/menyerang individu jantan subordinat ketika mengawini individu betina (Yansyah 1993). Priatna (2003) menyebutkan bahwa perilaku seksual monyet ekor panjang lebih banyak terjadi di pohon (arboreal) yaitu sebanyak 81,19% dibandingkan dengan di tanah (terestrial) yaitu sebanyak 18,81%. Menurut Kappeler dan Schaik (2004), sekali suatu pasangan M. fascicularis telah terbentuk, biasanya betina yang berinisiatif untuk melakukan perpindahan dan jantan akan mengikuti serta menjaga kedekatan dengan betina tersebut. Pada M. fascicularis, banyak kopulasi yang terjadi selama pasangan tersebut terbentuk. Pasangan ini dapat bertahan antara 1-3 minggu, akan tetapi lawan jenisnya masih memiliki kemungkinan untuk kawin dengan monyet lainnya. 2.5 Biologi Reproduksi Monyet ekor panjang memiliki usia dewasa kelamin yang berbeda pada jantan dan betina. Napier dan Napier (1967) diacu dalam Sugiharto (1992) menyatakan bahwa kematangan seksual pada jantan yaitu pada umur 4,2 tahun sedangkan pada betina 4,3 tahun. Siklus datang bulan (menstrual cycle) monyet ekor panjang selama 28 hari, lama birahi kira-kira 11 hari dan lama masa penyusuan (lactation) 14-18 bulan. Menurut Lavieren (1983) diacu dalam Sugiharto (1992), rata-rata monyet ini kawin pada usia 3,5-5 tahun dengan jarak berbiak (breeding interval) 24-48 bulan. Lama masa mengandung (gestation period) bagi M. fascicularis sekitar 160-186 hari, lama pengasuhan anak (nursing period) 18 bulan, dengan jumlah anak per kelahiran (litter size) satu ekor. Keberhasilan reproduksi betina berhubungan erat dengan ketersediaan makanan, apabila sepanjang tahun kelimpahan makanan tinggi, tingkat kelahiran akan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun dimana terjadi kekurangan pangan dan di tahun dengan ketersediaan pakan dan buah-buahan yang melimpah, aktivitas dan kelahiran terjadi lebih awal dan lebih sering daripada dalam tahun dengan ketersediaan buah rata-rata (Kappeler & Schaik 2004). Iskandar (1998) menyebutkan bahwa keberhasilan kebuntingan pada pasangan monyet ekor panjang rata-rata 66,67%. Masyud (1995) memaparkan bahwa siklus reproduksi adalah rangkaian semua kejadian biologik kelamin yang berlangsung secara sambung menyambung mulai dewasa kelamin sampai terlahir generasi baru dari suatu makhluk hidup. Faktor yang paling penting yang dapat mempengaruhi produktivitas satwa adalah tingkat reproduksinya. Tingkat reproduksi dapat diukur dengan cara menghitung jumlah betina yang hidup sampai umur dapat bereproduksi dibagi dengan jumlah induk. Tingkat reproduksi dibagi menjadi tiga komponen, yaitu (WodwickaTomaszewska et al. 1991): a. Fertilitas, atau kemampuan jantan atau betina untuk bereproduksi. b. Kesuburan (prolifikasi), atau jumlah anak per induk per kebuntingan. c. Kemampuan hidup dari anak sampai dapat bereproduksi. Alikodra (2002) memaparkan bahwa keberhasilan reproduksi sangat menentukan kepadatan populasi. Data keberhasilan reproduksi satwaliar sangat diperlukan sebagai dasar untuk membuat keputusan-keputusan pengelolaan. Reproduksi merupakan faktor penentu dalam memelihara keseimbangan populasi maupun untuk meningkatkan jumlah satwaliar yang dapat dipanen di dalam suatu taman buru atau penangkaran. 2.6 Perilaku Reproduksi Perilaku merupakan hasil dari perubahan yang berkelanjutan pada otot tubuh sebagai aliran yang tidak terpotong pada tubuh dan pergerakannya. Perilaku juga didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana pergerakan jelas terlihat (Huntingford 1984). Houpt (1998) menjelaskan bahwa perilaku reproduksi meliputi perilaku menerima dan menolak jantan oleh betina, juga percumbuan dan penjagaan betina oleh jantan, selain perilaku kopulasi aktual. Salah satu perilaku yang termasuk dalam perilaku reproduksi adalah perilaku estrus. Perilaku estrus adalah perilaku yang ditandai dengan penerimaan betina kepada jantan untuk melakukan kopulasi. Siklus estrus merupakan jarak antara birahi yang satu sampai pada birahi berikutnya (Partodiharjo 1987). Siklus estrus ditandai dengan adanya estrus (birahi). Pada saat estrus, hewan betina akan reseptif sebab di dalam ovarium sedang ovulasi dan uterusnya berada pada fase yang tepat untuk implantasi untuk fase berikutnya, yang disebut dengan satu siklus estrus. Masyud (1995) mengatakan bahwa gejala-gejala estrus yaitu betina bertambah tidak tenang, mudah terganggu dan biasanya bersifat eksploratif. Kedudukannya dalam hirarki sosial biasanya tidak dihiraukan (dapat mendekati jantan dari kelas rendahan, terkadang mencari jantan untuk kopulasi), frekuensi kencing meningkat, mencium dan menjilat alat kelamin (preputeum) pejantan dan cairan pelengkap pada preputeum tersebut, penyerahan diri secara seksual untuk memperlancar dan menampung intromisi atau pemasukkan penis oleh pejantan. Deteksi estrus penting untuk mengetahui kapan betina birahi perlu ditempatkan dengan jantan. Berguna untuk mengetahui waktu konsepsi sehingga dapat menyesuaikan nutrisi yang diperlukan untuk kebuntingan dan menentukan waktu beranak (Wodwicka-Tomaszewska et al. 1991). Menurut Hoeve (2003), selama jantan dan betina yang terikat saat masa birahi, jantan akan menaiki betina beberapa kali, baru ketika keempat atau kelima kalinya akan terjadi intromisi. Jantan monyet ekor panjang cukup berkopulasi satu kali dan ejakulasi terjadi setelah 20-30 gerakan. Betina yang birahi kulit muka dan kelaminnya akan kemerah-merahan, pada umumnya spesies ini tidak mengalami pembengkakan kelamin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Santoso (1993), kelompok monyet ekor panjang yang diamati yaitu kelompok M.26 menunjukkan bahwa setiap hari terjadi hubungan seksual. Jantan dewasa aktif mendekati, mengikuti, atau mengejar betina dewasa untuk dikawini (kopulasi). Biasanya jantan dewasa akan mendekati betina saat makan atau istirahat. Beberapa betina yang tanggap langsung menunjukkan posisi berdiri sambil ekornya diangkat (hindquarter presence) sehingga memudahkan jantan untuk melakukan pemeriksaan kelamin betina dengan cara melihat (visual communication), menyentuh kelamin betina dengan jarinya (tactile communication) atau langsung diciumnya (olfactory communication). Santoso (1993) juga mengungkapkan bahwa seringkali pemeriksaan kelamin tidak dilanjutkan dengan intromisi. Diduga betina tersebut sedang menstruasi atau menyusui anaknya. Aktivitas intromisi sering teramati tanpa pemeriksaan kelamin terlebih dahulu. Jantan akan langsung menyergap betina dengan memegang pinggulnya kemudian kaki jantan bertumpu pada betis betina yang ditungganginya sehingga memudahkan jantan untuk melakukan kopulasi. Posisi kopulasi ini khas pada monyet ekor panjang dan selama pengamatan tidak ditemukan adanya variasi posisi kopulasi. 2.7 Status Konservasi M. fascicularis Menurut CITES (2009), Macaca fascicularis tergolong satwa Appendix II, yaitu jenis satwa yang boleh dimanfaatkan tetapi dari hasil perkembangbiakan. Sedangkan menurut daftar merah IUCN (IUCN red list) versi 3.1 (2009), satwa ini tergolong least concern atau beresiko rendah mengalami kepunahan tetapi memerlukan perhatian. Monyet ekor panjang termasuk satwa yang tidak dilindungi oleh Perundang-undangan di Indonesia. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2009. Penelitian berlokasi di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peta kawasan Pulau Tinjil dan pustaka mengenai monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821). Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teropong binokuler, GPS, kompas, meteran, clinometer, jam tangan, kamera digital, tally sheet, recorder dan seperangkat komputer dengan software: ArcView 3.3, AutoCad 2006 dan SPSS 12.0 for Windows. 3.3 Data yang Dikumpulkan 3.3.1 Data primer Data primer yang dikumpulkan yaitu: a. Perilaku seksual monyet, mencakup perilaku sebelum, saat dan setelah kopulasi. b. Perilaku harian monyet, mencakup perilaku makan, minum, istirahat, berpindah, grooming dan agonistik. c. Kondisi habitat dimana populasi monyet ekor panjang yang diamati berada, termasuk jenis-jenis vegetasi yang berfungsi sebagai sumber pakan, shelter dan cover bagi monyet ekor panjang. d. Jenis satwa lain yang berada di habitat kelompok monyet ekor panjang yang diamati. e. Aktivitas yang dilakukan oleh pengelola di habitat kelompok monyet yang diamati. 3.3.2 Data sekunder Data sekunder yang dikumpulkan yaitu : a. Letak, luas dan status lokasi penelitian. b. Kondisi geografis lokasi penelitian. c. Data iklim dan curah hujan di lokasi penelitian. d. Manajemen reproduksi monyet ekor panjang di Pulau Tinjil. 3.4 Unit Contoh Pengamatan Monyet ekor panjang yang diamati merupakan individu monyet jantan dan betina yang masing-masing memiliki hierarki sosial yang berbeda-beda. Hierarki sosial jantan dibedakan menjadi jantan paling dominan, dominan, dan subordinat, sedangkan betina dibedakan menjadi betina dominan dan tidak dominan. Hierarki sosial unit contoh yang diamati dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Hierarki sosial unit contoh individu yang diamati No. Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelas Umur Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Dewasa Jenis Kelamin Jantan Jantan Jantan Jantan Jantan Betina Betina Betina Betina Hierarki Sosial Paling dominan Dominan Dominan Subordinat Subordinat Dominan Dominan Tidak dominan Tidak dominan Notasi α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 3.5 Metode Pengambilan Data 3.5.1 Pengamatan pendahuluan Metode yang digunakan dalam pengamatan pendahuluan adalah metode transek garis (line transect) untuk mengetahui jalur yang banyak terdapat monyet ekor panjang (M. fascicularis) dan yang akan digunakan sebagai lokasi penelitian (Gambar 1). Pelaksanaan metode ini adalah pengamat berjalan di sepanjang jalur yang telah ada di Pulau Tinjil dan mencatat jumlah kelompok yang ditemui di setiap jalur baik pada perjumpaan langsung maupun tidak langsung. * * To * * * Arah lintasan * Gambar 1 Inventarisasi monyet ekor panjang dengan metode transek jalur. Ta Keterangan : To = titik awal jalur pengamatan Ta = titik akhir jalur pengamatan * = posisi satwa. Pengamatan pendahuluan dilaksanakan pada tanggal 5-10 Mei 2009. Transek garis dilakukan pada 4 jalur, yaitu jalur ES (Emil Salim), KO (Kamil Oesman), JK (Jay Kaplan) dan CD (Chuck Darsono) (Gambar 2). Pada jalur ES dijumpai 9 kelompok monyet ekor panjang dan 6 kandang tangkap. Kelompok monyet ekor panjang yang dijumpai merupakan kelompok kandang 3, 1, 5, 8, 7, 9 dan 13, sedangkan 2 kelompok lagi hanya terdeteksi suaranya saja. Kelompok yang populasinya cukup banyak terlihat yaitu kelompok kandang 3, sebanyak lebih kurang 25 individu. Pada jalur KO, dijumpai 1 kelompok monyet ekor panjang yaitu kelompok 1 dan terdapat juga 1 kandang tangkap yaitu kandang 1. Pada jalur JK tidak dijumpai kelompok monyet ekor panjang, hanya terdapat 1 kandang tangkap, yaitu kandang 6. Pada jalur CD, dijumpai 1 kelompok monyet ekor panjang secara tidak langsung, yaitu melalui suara. Gambar 2 Peta skematik Pulau Tinjil (Iskandar et al. 2009). Berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan, kelompok monyet ekor panjang yang berpotensi menjadi obyek penelitian yaitu kelompok kandang 3. Hal ini dikarenakan terdapat tajuk pohon yang terbuka pada habitat monyet ekor panjang kelompok kandang 3 sehingga lebih mudah diamati. Aktivitas yang dilakukan kelompok ini lebih banyak berlangsung di atas tanah atau pada tajuk pohon yang cukup rendah. Selain itu, habitatnya yang dekat dengan basecamp menyebabkan aksesibilitasnya menjadi lebih mudah dan satwa lebih terhabituasi dengan kehadiran manusia. Habitat monyet ekor panjang ini mencakup jalur ES, OS (Orville Smith) dan SH (Suhardjo Hardjosworo). 3.5.2 Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: a. Behaviour sampling Pengamatan perilaku harian dan seksual monyet ekor panjang dilakukan melalui metode behaviour sampling. Pengamat mengamati obyek penelitian dan mencatat setiap kejadian dari tipe-tipe perilaku, bersama dengan rincian individu mana saja yang terlibat (Martin & Bateson 1993). Pengamatan dilakukan setiap hari selama waktu penelitian berdasarkan waktu aktif monyet ekor panjang, yaitu mulai pukul 06.00-10.00 WIB dan pukul 14.00-18.00 WIB. Selama pengambilan data, pengamat menjaga jarak terhadap kelompok monyet ekor panjang yang diamati agar tidak mengganggu aktivitasnya. Jarak antara pengamat dengan individu monyet ekor panjang tergantung pada posisi monyet ekor panjang di atas tajuk atau tanah dan kondisi topografi lokasi pengamatan. Pencatatan data dilakukan dengan metode continuous recording, yaitu mencatat kejadian perilaku yang terjadi termasuk frekuensi terjadinya suatu perilaku. b. Pemetaan diagram profil habitat Metode ini dilakukan untuk mengetahui komposisi vegetasi dari suatu habitat. Komposisi dari suatu habitat bermanfaat untuk membuat kesimpulan tentang hubungan antara kelimpahan satwa dengan tipe habitatnya. Vegetasi yang dijadikan unit contoh yaitu pohon. Profil pohon ditentukan dengan cara mengukur dan mencatat jenis, diameter, tinggi bebas cabang, tinggi total, tinggi tajuk, lebar tajuk dan posisi pohon dalam petak contoh berukuran 20 m x 20 m sebanyak 5 petak. c. Observasi lapang Observasi lapang dilakukan untuk mengetahui jenis satwa lain yang berada di lokasi pengamatan dan aktivitas yang dilakukan oleh pengelola di lokasi pengamatan. d. Wawancara Metode wawancara dilakukan untuk memperoleh data sekunder mengenai monyet ekor panjang di Pulau Tinjil maupun kegiatan pengelolaannya. Responden adalah pengelola dan staf lapang yang bekerja di Pulau Tinjil. Jumlah responden pengelola sebanyak 2 orang dan staf lapang sebanyak 8 orang. 3.6 Analisis Data Analisis data yang dilakukan dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Analisis deskriptif Analisis deskriptif merupakan penguraian dan penjelasan mengenai parameter-parameter yang diukur untuk dipaparkan sebagai perilaku reproduksi monyet ekor panjang. b. Analisis grafik dan tabel Analisis grafik dan tabel digunakan untuk menjelaskan hubungan antara parameter-parameter yang diukur dan diamati dengan metode grafik dan tabel serta interpretasinya. c. Analisis korelasi bivariat parametrik Pearson product moment Analisis korelasi digunakan untuk mengukur kuat lemahnya hubungan antara satu variabel bebas dan satu variabel tergantung yang berskala interval/parametrik. Kriteria kuat atau lemahnya hubungan antara variabel dapat dilihat dari angka korelasi variabel tersebut. Patokan angkanya adalah sebagai berikut (Sarwono 2006): Û° 0-0,25 : korelasi sangat lemah (dianggap tidak ada) Û° >0,25-0,5 : korelasi cukup Û° >0,5-0,75 : korelasi kuat Û° >0,75-1 : korelasi sangat kuat. Besarnya peranan satu variabel terhadap perubahan variabel lainnya dapat diketahui dengan rumus koefisien determinasi sebagai berikut (Sarwono 2006): KD = r2 x 100% Keterangan : KD = Koefisien determinasi (%) r = angka korelasi BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Kawasan Pulau Tinjil terletak di selatan Pulau Jawa lebih kurang 16 km dari Pantai Muara Binuangeun dengan luas lebih kurang 600 hektar. Secara administratif, Pulau Tinjil terletak di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Secara geografis, Pulau Tinjil berada pada 105046’-109049’ LS dan 6057’6059’ BT (Soehartono & Mardiastuti 2003). 4.2 Topografi dan Geologi Kondisi topografi Pulau Tinjil umumnya datar, kecuali pada jalur Hartono Wirdjodarmodjo, di sebelah barat pulau (3200 m dari ujung timur Basecamp jalur Emil Salim) yang sedikit berbukit. Kondisi pantai sebagian besar berupa batu karang kecuali di bagian Pantai Penyu dan Pondok Gede berupa pasir putih. Pada musim hujan, beberapa lokasi banyak yang tergenang air. Jenis tanah di Pulau Tinjil adalah Haplustuit, Lithic Quartzipsament, Lithic Ustipsamment, Lithic Ustropept dan Pluvaquentic Tropohemist. Jenis tanah ini memiliki sifat kelas tekstur tanah kasar sampai sedang, struktur lepas, remah dan pejal. Reaksi keasaman tanah bersifat netral sampai alkalin (pH 6,27-6,97). Kedalaman lapisan tanah umumnya dangkal dan kandungan unsur natrium serta kalsium tinggi (Rusliyana et al. 1991, diacu dalam Fadilah 2003). 4.3 Tanah dan Air Menurut hasil penelitian Santoso (1992), jenis tanah di Pulau Tinjil sebagian besar Lithic Quartzipsanment (215 ha) dan Lithic Ustipsamment (292 ha). Jenis tanah ini memiliki kelas tekstur kasar, struktur lepas, permeabilitas cepat, kedalaman lapisan solum tanah dangkal serta kandungan unsur Ca dan Mg yang tinggi. Karakteristik tanah ini cukup rawan terhadap adanya gangguan (eksploitasi). Romauli (1993) mengungkapkan bahwa tanah di pulau ini berupa pasir koral yang bercampur dengan humus hutan atau serasah hutan. Kondisi tanah tersebut menyebabkan tanah sulit ditembus oleh akar sehingga akar vegetasi cenderung dangkal. Sekeliling pulau berupa pasir putih dan gugusan karang. 4.4 Iklim Suhu rata-rata di luar tajuk 27,170C dan di dalam tajuk 26,830C. Pengaruh suhu erat kaitannya dengan intensitas cahaya, yaitu dari pagi-siang-sore hari terjadi perbedaan intensitas cahaya yang diterima oleh tajuk hutan. Kecepatan angin rata-rata di dalam tajuk pada siang hari 0,3 m/detik dan di luar tajuk 2,47 m/detik (Santoso 1992). 4.5 Sejarah dan Status Kawasan Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil dibangun pada tahun 1987 dan bertujuan untuk mengembangbiakan monyet ekor panjang yang bebas dari Simian Retrovirus (SRV). Monyet ekor panjang mulai diintroduksi tahun 1988. Sampai tahun 2007 telah diintroduksi sebanyak 603 ekor monyet ekor panjang dewasa (58 jantan dan 462 betina) ke Pulau Tinjil sebagai populasi induk. Monyet tersebut berasal dari Lampung (49%), Sumatera Selatan (48%) dan Jawa Barat (3%) Sebelum dilepasliarkan, satwa tersebut dikarantina terlebih dahulu. Sejak tahun 1990 dilakukan kegiatan monitoring setiap tahun dan dapat diketahui bahwa populasi induk tersebut telah membentuk antara 18-20 kelompok dengan jumlah individu tiap kelompok 49 ekor. Pada Penangkaran Pulau Tinjil, terdapat 13 kandang tangkap (12m x 6m x 2,5m) dan fasilitas perangkap yang tersebar di seluruh pulau untuk melakukan penangkapan secara periodik dan untuk pemantauan kesehatan (Suhartono & Mardiastuti 2003). Legalitas yang dimiliki oleh Pusat Studi Satwa Primata IPB sebagai pengelola kawasan diantaranya adalah : a. Konsesi selama 20 tahun dari Perum Perhutani untuk memanfaatkan Pulau Tinjil sebagai pulau penangkaran monyet ekor panjang berdasarkan surat No.13/SP/DIR/1987, tanggal 6 Juli 1987. b. Memorandum of Understanding antara IPB dengan Menteri KLH serta Konsorsium Penelitian Primata Amerika Serikat, tanggal 24 Februari 1988. c. Surat Menteri Sekretaris Negara no. R. 433/Mensesneg/8/1990, tanggal 13 Agustus 1990. d. Rekomendasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang sesuai Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Pandeglang no. 524.3/330Disnak.30/10/90, tanggal 30 Oktober 1990. e. Izin usaha penangkaran yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia Sesuai surat keputusan Dirjen PHPA no.01/KPTS/DJ-VI/1991, tanggal 2 Januari 1991. f. Tim pengarah upaya penangkaran monyet ekor panjang di Pulau Tinjil: SK Menteri KLH no.24/MENKLH/5/1991, tanggal 23 Mei 1991. 4.6 Sarana dan Prasarana Kawasan Pada penangkaran semi alami Pulau Tinjil telah dibuat jalan setapak (trail) atau jalur transek yang berfungsi sebagai jalur pengamatan populasi, pengontrolan habitat, dan jalan menuju kandang pakan. Adapun jalur – jalur transek yang ada di Pulau Tinjil yaitu (Fadilah 2003): a. Jalur SH (Suhardjo Hardjosworo) : 4175 m b. Jalur ES (Emil Salim) : 6225 m c. Jalur CD (Chuck Darsono) : 7025 m d. Jalur KO (Kamil Oesman) : 550 m e. Jalur OS (Orville Smith) : 925 m f. Jalur RK (Randy Kyes) : 1175 m g. Jalur JK (Jay Kaplan) : 1000 m h. Jalur SA (Sitanala Arsjad) : 1025 m i. Jalur HW (Hartono Wirdjodarmodjo) : 850 m j. Jalur DS (Dondin Sajuthi) : 850 m Terdapat dua jalur baru yang terletak di sebelah barat Pulau Tinjil yaitu jalur EI (Entang Iskandar) sepanjang 1250 m dan jalur JP (Joko Pamungkas) sepanjang 850 m. Fasilitas lain yang ada di dalam kawasan tersebut yaitu 13 kandang tangkap (12m x 6 m x 2,5m), 1 kandang penampungan untuk pemanenan, gudang penyimpanan pakan, 5 pondok, 2 rumah pegawai, 1 rumah besar dengan 3 kamar dan 1 ruang diskusi, 8 WC dan 3 sumur pompa . 4.7 Kondisi Flora dan Fauna 4.7.1 Flora Romauli (1993) menyatakan bahwa Pulau Tinjil tertutup oleh hutan hujan dataran rendah dan hutan pantai. Wilayah utara banyak terdapat spesies Barringtonia dan Callophyllum, sedangkan bagian selatan didominasi oleh Pandanus sp. Vegetasi dominan di hutan hujan dataran rendah tersebut yaitu Gnetum gnemon, Dysoxylum spp. dan Manilkara kauki yang menurut IUCN memiliki status Rare. Famili tumbuhan dengan jumlah jenis terbanyak yaitu Moraceae, dengan contoh spesies Ficus ampelas, F. timorensis, F. pubinervis, F. hispida dan F. septica. Spesies-spesies ini selain sebagai cover juga mengandung nutrisi yang tinggi bagi pakan monyet ekor panjang (Romauli 1993). 4.7.2 Fauna Menurut Romauli (1993), jenis burung yang berada di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil adalah elang laut perut putih (Heliatus leucogaster), kareo (Amaurornis phoenicurus), punai leher merah (Trerons vernans), enggang (Ptilinopus melanosphilla), dara laut (Ducula dicolor), kepodang (Oriolus chinensis), kutilang (Pycnonotus goiavier), raja udang (Halcyon chloris) dan burung mas/nikobar (Caloenas nicobarica). Beberapa jenis herpetofauna yang berada di lokasi tersebut antara lain biawak air-asia (Varanus salvator), ular sanca (Phyton reticulatus), kadal emas (Cnemidophorus sexlineatus) dan penyu (Celonia sp.). Jenis mamalia yang berada di lokasi tersebut yaitu kelelawar (Pteropus vampirus) dan tikus (Ratus rajah). Satwa lain yang ada di kawasan tersebut adalah kepiting (Scylla serrata) dan umang-umang/klomang (Reptania sp.). BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lokasi Pengamatan Lokasi pengamatan monyet di kelompok kandang 3 berada di sekitar basecamp dan kandang tangkap nomor 3. Jalur yang melewati habitat monyet kelompok ini yaitu jalur ES (Emil Salim), SH (Suhardjo Hardjosworo) dan OS (Orville Smith) (lihat Gambar 2 di halaman 14). Wilayah ini merupakan wilayah yang paling terbuka dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Tinjil karena terdapat bangunan dan lapangan, sebagaimana terlihat pada Gambar 3 berikut. (a) (b) Gambar 3 Kondisi lokasi pengamatan. Ket: (a) Tanah terbuka di habitat monyet kelompok kandang 3; (b) Bangunan pondok pegawai. Selain wilayah yang terbuka, pada habitat kelompok kandang 3 juga terdapat hutan yang mengelilinginya. Keberadaan vegetasi sumber pakan, shelter dan cover di wilayah ini cukup memadai. Vegetasi yang ada di habitat kelompok kandang 3 merupakan vegetasi hutan pantai. Berdasarkan observasi lapang, jenisjenis pohon yang berada di habitat monyet kelompok kandang 3 dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah. Beberapa pohon yang ada di lokasi pengamatan monyet kelompok kandang 3 ini dapat menjadi sumber pakan bagi monyet ekor panjang. Terdapat 16 jenis pohon di lokasi pengamatan dimana sejumlah 14 jenis dapat dimakan monyet. Jenis-jenis pohon tersebut antara lain ketapang (Terminalia catappa), ki huru (Litsea chinensis), bayur (Pterospermum javanicum) dan waru (Hibiscus tiliaceus). Jenis yang tidak dimanfaatkan untuk dimakan yaitu pangku (Dysoxylum excelsum) dan sengon (Paraserianthes falcataria L.). Fadilah (2003) mengatakan bahwa jenis vegetasi yang dapat dijadikan sumber pakan monyet di Pulau Tinjil dibedakan berdasarkan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Jenis vegetasi yang dapat dimakan oleh monyet dari tingkat semai yaitu 15 dari 53 jenis (28,30%), tingkat pancang 18 dari 49 jenis (36,73%), tingkat tiang 18 dari 49 jenis (36,73%) dan tingkat pohon 22 dari 46 jenis (47,83%). Tabel 2 Jenis-jenis pohon yang berada di lokasi pengamatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Jenis Bayur Butun Kalapari Kampis Ketapang Ki ara Ki cau Ki ciat Ki huru Ki langir Melinjo Merbau Pangku Renghas Sengon Waru Nama Latin Pterospermum javanicum Jungh Barringtonia asiatica Pongamia pinnata Hernandia peltata Terminallia catappa Ficus glomerata Dolichandrone spathacea Ficus septica Litsea chinensis Dysoxylum amoroides Gnetum gnemon Intsia bijuga Dysoxylum excelsum Gluta renghas L. Paraserianthes falcataria L. Hisbiscus tiliaceus L. Famili Sterculiaceae Lecytidaceae Fabaceae Hernandiaceae Combretaceae Moraceae Bignoniaceae Moraceae Euphorbiaceae Meliaceae Gnetaceae Fabaceae Meliaceae Anacardiaceae Fabaceae Malvaceae Bagian-bagian pohon yang dimakan yaitu daun, biji dan buah. Selain pakan dari hutan, monyet di pulau ini juga mendapat tambahan pakan dari staf lapang berupa pisang dan jagung. Sugiharto (1992) memaparkan bahwa bagian yang paling banyak dimakan oleh M. fascicularis, yaitu daun sebanyak 48,0%, buah sebanyak 40,4%, bunga sebanyak 5,9% dan bagian lainnya 5,7%. Monyet di kelompok ini memiliki pohon yang digunakan untuk tidur yaitu pohon ki ara (Ficus glomerata) dan pohon-pohon lain disekitar pohon tersebut. Pohon yang dijadikan pohon untuk tidur memiliki karakteristik berupa batang yang besar dan tinggi, tajuk yang lebar, cabang yang banyak dan kuat yang mampu menopang tubuh satu kelompok monyet ekor panjang tersebut. Pohon untuk tidur juga biasanya merupakan pohon sumber pakan sehingga dipertahankan dari kelompok lain. Kelompok monyet ini mulai mendekati pohon tidur ketika sudah petang atau di akhir waktu aktifnya, tergantung dengan kondisi cuaca. Apabila cuaca cerah, biasanya monyet mendekati pohon tidur lebih petang sedangkan apabila cuaca mendung atau hujan biasanya monyet mendekati pohon tidur lebih cepat. Selama pengamatan, dijumpai satwaliar yang berada di Pulau Tinjil selain monyet ekor panjang antara lain biawak-air asia (Varanus salvator), kadal emas (Cnemidophorus sexlineatus), tokek (Gecko gecko), kelelawar (Pteropus vampirus), tikus (Ratus rajah), kepiting (Scylla serrata), penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan umang-umang (Reptania sp.). Selain itu juga terdapat beberapa jenis burung seperti raja udang (Halcyon chloris), elang laut perut putih (Heliatus leucogaster), kepodang (Oriolus chinensis) dan kutilang (Pycnonotus goiavier). Berdasarkan data sekunder yaitu wawancara dengan staf lapang, terdapat juga satwaliar lain seperti ular sanca (Phyton reticulatus), ular tanah (Angkistrodon rhodostoma) dan kelabang hutan (Scolopendra morsitans). Gambar 4 Peta lokasi penelitian monyet ekor panjang di kelompok kandang 3. Gambar 4 di atas menunjukkan lokasi-lokasi yang sering digunakan untuk beraktivitas oleh monyet di kelompok kandang 3. Titik pengamatan merupakan lokasi pengamat melakukan pengamatan. Terdapat 3 titik pengamatan yang masing-masing berlokasi di lapangan, basecamp dan dekat kandang tangkap 3. Lokasi-lokasi tersebut digunakan sesuai dengan keberadaan monyet yang diamati. Tempat pakan merupakan lokasi dimana staf lapang menaruh pakan tambahan berupa pisang dan jagung di lapangan ketika sedang dilakukan pengamatan perilaku monyet oleh peneliti atau peserta pelatihan. Bak minum merupakan wadah berisi air yang disediakan staf lapang untuk memenuhi kebutuhan air bagi monyet kelompok ini. Terdapat pohon-pohon yang biasa digunakan monyet baik untuk beraktivitas maupun sebagai shelter dan cover. Pada lokasi pengamatan, terdapat daerah yang lebih terbuka dan tidak tertutup tajuk karena terdapat bangunan berupa basecamp, pondok pegawai, genset dan kandang penampungan. Gambar 5 Diagram profil habitat kelompok monyet kandang 3. Pada Gambar 5 terlihat bahwa penutupan tajuk di habitat monyet kelompok kandang 3 cukup rapat. Terdapatnya tajuk yang terputus dikarenakan pada areal tersebut terdapat bangunan untuk menaruh genset sehingga untuk melewati areal tersebut monyet ekor panjang di kelompok ini biasanya berpindah melalui pohon lain yang tajuk antar pohonnya tersambung, di atap bangunan genset ataupun di atas tanah. Tajuk yang rapat dan keberadaan vegetasi sumber pakan, shelter dan cover yang memadai dapat menyebabkan pergerakan hariannya tidak terlalu jauh karena sumberdaya yang dibutuhkan sudah tersedia di wilayah jelajah mereka. 5.2 Kelompok Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil Monyet ekor panjang yang berada di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil terbagi menjadi beberapa kelompok yang menyebar di setiap jalur transek dan kandang tangkap yang ada. Jumlah jalur transek yang berada di pulau ini sebanyak 12 jalur dan tersebar dari timur ke barat pulau dan dari utara ke selatan pulau. Jumlah kandang tangkap di Pulau Tinjil sebanyak 13 kandang. Kandang ini ada yang berada di tepi jalur transek atau di dalam jalur transek dan memiliki variasi dalam jumlah kelompok monyet yang melewatinya. Berdasarkan Iskandar et al. (2009), diketahui bahwa terdapat 29 kelompok monyet ekor panjang di Pulau Tinjil. 5.2.1 Ukuran kelompok monyet kandang 3 Kelompok monyet ekor panjang yang diamati yaitu kelompok kandang 3. Jumlah kelompok monyet ekor panjang ini sebanyak 37 ekor yang terdiri atas 22 jantan dan 15 betina (Tabel 3). Nisbah kelamin (sex ratio) monyet ekor panjang di kelompok kandang 3 yaitu 1 jantan dewasa untuk 2,4 betina dewasa, sedangkan menurut Wheatley (1980) diacu dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003), nisbah kelamin rata-rata M. fascicularis adalah 1 jantan dewasa untuk 3,3 betina dewasa. Tabel 3 Ukuran kelompok monyet ekor panjang kandang 3 Jantan Betina Total Dewasa 5 12 17 Remaja 4 2 6 Anak 10 1 11 Bayi 3 3 Total 22 15 37 Menurut Santoso (1993), nisbah kelamin jantan dan betina dewasa pada populasi awal monyet ekor panjang di Pulau Tinjil tahun 1988 yaitu 1:7, sedangkan berdasarkan studi lapang Santoso (1993) terhadap nisbah kelamin monyet di Pulau Tinjil pada tahun 1990 adalah 1:6 dan pada tahun 1991 adalah 1:5. Pada penelitian ini, nisbah kelamin jantan dan betina dewasa yaitu 1:2,4. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan penurunan populasi monyet betina di Pulau Tinjil. Selain pada kelas umur dewasa, pada kelas umur remaja, anak dan bayi pun jumlah betina sangat sedikit bila dibandingkan dengan jantan. Keberadaan Pulau Tinjil yang bertujuan untuk mengembangbiakkan monyet ekor panjang menyebabkan diperlukannya peningkatan populasi betina dibandingkan jantan agar dapat dicapai nisbah kelamin yang optimal sehingga dapat mengurangi persaingan jantan dalam memperebutkan betina dan meningkatkan proses reproduksi. 5.2.2 Ciri morfologi Monyet ekor panjang yang dijadikan obyek penelitian berjumlah 9 ekor yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan hierarki sosialnya. Secara fisik, setiap individu ini memiliki ciri khas sehingga dapat dibedakan dengan individu lainnya. Adapun hierarki sosial dan ciri morfologi monyet ekor panjang yang dijadikan obyek penelitian adalah sebagai berikut (Tabel 4): Tabel 4 Hierarki sosial dan ciri morfologi obyek penelitian 1 Individu yang Diamati Ganteng (α) Jenis Kelamin Jantan 2 Jateng (β1) Jantan 3 Giant (β2) Jantan 4 Bangor (γ1) Jantan 5 Pincang (γ2) Jantan 6 Galak (D1) Betina 7 Manci (D2) Betina 8 Nyengir (E1) Betina 9 Selir (E2) Betina No. Hierarki Sosial Paling dominan Ciri Morfologi Badan lebih besar dibandingkan monyet lain di kelompok 3, wajah lebar, badan tidak terlalu tinggi (gempal), tangan dan kaki berotot, puncak kepala seperti memiliki belahan tengah. Dominan Jari tengah di tangan kiri tidak bisa ditekuk, punggung sangat bungkuk saat duduk, lebih aktif dibandingkan jantan dewasa lainnya. Dominan Badan tinggi besar, taring panjang, seringkali berdekatan dengan β1. Subordinat Badan kecil, sering mengikuti D2, cukup jinak dengan manusia, puncak kepala berjambul. Subordinat Badan lebih besar dibandingkan γ1, sering dikejar-kejar oleh jantan lain dan betina dominan, ujung telinga lancip, hidung besar. Dominan Sering jalan berdekatan dengan α, bersifat lebih galak dibandingkan monyet betina lainnya, alis terang, mulut lebih lancip. Dominan Sangat jinak kepada manusia, kulit wajah lebih terang dibandingkan monyet lainnya, alis tidak terlalu putih, tato 863 di dada dan paha kanan. Tidak Kelamin hampir selalu berwarna merah dominan seperti sedang menstruasi, perut buncit yang tidak wajar seperti bunting, sering menyeringai. Tidak Wajah mirip dengan D2 tetapi lebih gelap, dominan lebih bundar dan alis lebih putih. 5.3 Perilaku Harian Monyet Pengamatan perilaku monyet ekor panjang dilakukan pada pagi hari pukul 06.00-10.00 WIB dan sore hari pada pukul 14.00-18.00 WIB. Pemilihan waktu tersebut berdasarkan pada waktu aktif monyet ekor panjang sesuai dengan pengamatan pendahuluan (survei) yang telah dilakukan. Lokasi pengamatan monyet di kelompok kandang 3 terbagi menjadi tiga lokasi, yaitu basecamp, lapangan dan kandang tangkap (Gambar 6). Pengamatan dilakukan sesuai dengan lokasi dimana monyet tersebut beraktivitas. (a) (b) (c) Gambar 6 Titik-titik pengamatan. Ket: (a) Titik Pengamatan 1 (bangku-bangku di lapangan); (b) Titik Pengamatan 2 (basecamp); (c) Titik Pengamatan 3 (dekat kandang 3). Monyet ekor panjang kelompok kandang 3 beraktivitas di atas tanah (terestrial) sebanyak 1245 kali atau 70,94% sedangkan di pohon (arboreal) hanya sebesar 510 kali atau 29,06%. Berbeda dengan yang diungkapkan oleh Medway (1978) yang mengatakan bahwa sebagian besar monyet ekor panjang bersifat arboreal meskipun seringkali turun ke permukaan tanah. Hal ini disebabkan karena terdapat bangunan dan lapangan yang terbuka pada wilayah jelajah monyet di kelompok kandang 3 sehingga dalam waktu aktifnya monyet di kelompok ini lebih sering dijumpai beraktifitas di atas tanah dibandingkan di pohon. Selain itu, pakan tambahan berupa jagung diletakkan oleh staf lapang di atas tanah dan tandan pisang digantung di pohon dekat bangku pengamatan atau kandang tangkap pada ketinggian lebih kurang 1 meter. Monyet di kelompok ini juga seringkali memakan sisa-sisa sayuran yang masih segar di dekat basecamp. Perilaku hewan adalah aktivitas hewan yang terlihat dan yang saling berkaitan baik secara individual maupun secara bersama-sama/kolektif. Perilaku merupakan cara hewan itu berinteraksi secara dinamik dengan lingkungannya, baik dengan makhluk hidup maupun dengan benda-benda (Tanudimadja & Kusumamihardja 1985). Secara umum, monyet ekor panjang di Pulau Tinjil menghabiskan 20% waktu aktifnya untuk makan, 3,9% untuk minum, 39,6% untuk berpindah, 21,4% untuk istirahat, 3,7% untuk grooming, 4,6% untuk agonistik dan 6,8% untuk aktivitas seksual, seperti yang terlihat pada Gambar 7 di bawah ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti (2001), dalam waktu aktifnya monyet ekor panjang menghabiskan 25% waktunya untuk makan, 28% untuk bergerak, 21% untuk istirahat, 15% untuk grooming, 9% untuk bermain (dilakukan oleh anakan) dan 2% untuk aktivitas lainnya. Frekuensi (kali) Frekuensi Perilaku Harian Rata-rata Monyet Ekor Panjang 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Agonistik Grooming Istirahat Berpindah Minum Makan α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 Individu Gambar 7 Grafik frekuensi perilaku harian monyet ekor panjang. Perilaku makan monyet di kelompok kandang 3 memiliki frekuensi yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti karena perilaku makan yang diamati dibedakan dengan perilaku minum, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti perilaku makan sudah mencakup perilaku minum. Perilaku berpindah monyet di kelompok kandang 3 memiliki frekuensi yang lebih tinggi karena habitat monyet ini yang berada di alam menyebabkan diperlukannya perpindahan yang banyak untuk memperoleh sumberdaya, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti dimana monyet yang diamati memiliki habitat didekat pemukiman penduduk sehingga wilayah jelajahnya lebih terbatas. Perilaku harian dari individu yang diamati yang memiliki frekuensi paling tinggi yaitu perilaku berpindah, karena untuk mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkannya monyet tersebut membutuhkan perpindahan. Selain itu, dalam melakukan perilaku satu ke perilaku lainnya monyet ekor panjang melakukan perpindahan tempat secara aktif. Secara teknis, masing-masing perilaku harian dipaparkan sebagai berikut: 1. Perilaku makan Perilaku makan mencakup konsumsi makanan atau bahan-bahan bermanfaat baik yang padat maupun yang cair (Tanudimadja & Kusumamihardja 1985). Perilaku makan pada monyet ekor panjang merupakan tindakan yang dimulai dengan mencari makanan, mengambil, membersihkan dengan cara menggosok-gosok makanan dengan tangannya, memasukkan ke mulut dan mengunyah makanan. Monyet ekor panjang dapat menyimpan makanan di dalam kantung pipinya sampai penuh dan menggembung, baru kemudian dikeluarkan lagi ke mulut dengan cara ditekan oleh punggung tangannya dan dikunyah, sebagaimana terlihat pada Gambar 8. Carter (1978) diacu dalam Sugiharto (1992) juga mengungkapkan bahwa kantung pipi (cheek pouch) menyebabkan monyet dapat mengumpulkan makanan dengan cepat dan mengunyah di tempat lain yang lebih aman. Gambar 8 Perilaku makan monyet ekor panjang. Sumber makanan primata di alam dapat dikelompokkan atas 3 kategori, yaitu telur binatang, insekta serta bagian vegetatif dan reproduktif tumbuhan dan binatang berupa bunga dan buah (Chivers & Raemakers 1984, diacu dalam Bismark 1991). Monyet ini dapat mencari makanan baik di atas tanah maupun di pohon. Makanan yang diambil ketika monyet di atas tanah berupa biji atau buah yang jatuh dari pohon, serangga-serangga kecil dari dalam tanah, tawon, umang-umang dan pakan yang diberikan oleh staf lapang. Staf lapang memberikan pakan di kandang tangkap sebelum dilakukan penangkapan dan saat dilakukan proses penangkapan, yaitu untuk memancing monyet tersebut masuk ke dalam kandang tangkap. Jenis pakan yang diberikan yaitu pisang sebanyak 1-2 tandan dan jagung secukupnya. Pada saat tertentu, pakan untuk kelompok monyet tersebut digantung di pohon waru yang berada di lapangan dekat bangku pengamatan atau di samping kandang 3 yaitu ketika terdapat peserta pelatihan yang melakukan pengamatan di kelompok monyet kandang 3. Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa beberapa tahun yang lalu monyet di pulau ini diberi pakan pelet (monkey chow), akan tetapi karena pelet tersebut tidak banyak dimakan oleh monyet maka pemberian pelet tersebut dihentikan dan pakan yang diberikan hanya pisang dan jagung saja. Setelah staf lapang menaruh pakan, monyet yang lebih dahulu menghampiri pakan adalah monyet yang jinak dengan manusia atau yang lebih dominan. Monyet yang terlebih dahulu menghampiri pakan yaitu ganteng (α), galak (D1) dan manci (D2). Jateng (β1) dan giant (β2) biasanya menghampiri secara perlahan, mengambil pisang dengan cepat, kemudian menjauhi tandan pisang tersebut dan makan agak jauh dari α, baik di atas tanah maupun di pohon. Apabila monyet-monyet dominan tidak berada di dekat lokasi makan, maka monyet dengan hierarki sosial yang lebih rendah terlebih dahulu menghampiri pakan tersebut, seperti nyengir (E1), selir (E2), bangor (γ1) dan pincang (γ2). Ketika monyet yang dominan datang, maka monyet-monyet dengan hierarki sosial lebih rendah tersebut akan segera menjauhi tempat makan dan menunggu sampai monyet yang dominan selesai makan dan menjauhi tempat ditaruhnya pakan. Apabila mereka berada terlalu dekat dengan lokasi pakan, maka monyet yang dominan akan mengejar monyet tersebut dan dapat terjadi perkelahian. Rata-rata frekuensi makan monyet ekor panjang dapat terlihat pada Gambar 9 di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan bahwa betina memiliki frekuensi makan yang lebih tinggi dibandingkan jantan. 5,0 4,3 Frekuensi 4,0 3,0 2,7 3,0 2,7 2,4 2,0 1,4 1,6 1,5 E1 E2 1,1 1,0 0,0 α β1 β2 γ1 γ2 Individu D1 D2 Gambar 9 Grafik rata-rata frekuensi makan monyet ekor panjang. Individu D2 memiliki frekuensi makan yang paling tinggi dibandingkan individu-individu lainnya bahkan α. Hal ini disebabkan karena D2 merupakan individu yang sudah terhabituasi dengan keberadaan manusia, khususnya staf lapang sehingga ketika staf lapang akan menaruh pakan baik pisang maupun jagung, D2 tidak takut dan langsung menghampiri staf lapang tersebut untuk mengambil pakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola dan staf lapang, diketahui bahwa individu ini sudah pernah tertangkap sebanyak 3 kali sejak individu tersebut masih dalam kelas umur remaja (juvenile). Akan tetapi, karena berat badannya yang selalu mengalami penurunan selama di kandang penampungan menyebabkan individu ini tidak memenuhi syarat untuk dipanen sehingga dilepaskan kembali. Oleh karena itu individu D2 menjadi terhabituasi dengan manusia dan tidak menganggap manusia sebagai ancaman atau gangguan lagi. Dalam memakan pakan lain diluar pakan yang disediakan oleh staf lapang pun monyet dengan hierarki sosial yang lebih dominan terlihat memiliki frekuensi yang lebih tinggi. Hal ini dibuktikan dari Gambar 10 yang menggambarkan bahwa frekuensi makan α lebih tinggi daripada frekuensi makan β dan frekuensi makan β lebih tinggi daripada γ. Demikian pula dengan individu betina, dimana betina dominan atau D memiliki frekuensi makan yang lebih tinggi dibandingkan E (betina tidak dominan). 4 2,7 2,2 Frekuensi Frekuensi 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 1,8 3,5 3 2 1,55 1 0 γ β Hierarki Sosial α Tidak dominan (a) Dominan Hierarki Sosial (b) Gambar 10 Garis kecenderungan perilaku makan pada monyet ekor panjang. Ket: (a) Kecenderungan perilaku makan pada monyet jantan; (b) Kecenderungan perilaku makan pada monyet betina. Berdasarkan Gambar 10 di atas, terlihat bahwa terdapat garis kecenderungan atau trendline yang linear pada perilaku makan monyet, dimana semakin tinggi hierarki sosial suatu individu maka semakin tinggi frekuensi makannya. Hal tersebut dikarenakan monyet dengan hierarki sosial yang lebih dominan memiliki penguasaan yang lebih tinggi terhadap sumber pakan. Umumnya individu α, β dan D memakan pisang sebanyak 7-10 buah. Individuindividu lainnya memakan pisang lebih sedikit, terutama monyet yang tidak dominan karena pisang yang di tandan hampir habis dimakan oleh monyet yang lebih dominan. 2. Perilaku minum Perilaku minum pada monyet ekor panjang merupakan tindakan mengkonsumsi air dengan cara menjilat air minum tersebut. Monyet di kelompok 3 memperoleh sumber minum dari bak air minum yang disediakan oleh staf lapang, keran di depan basecamp dan genangan air di atas permukaan tanah maupun di lubang pohon. Monyet ekor panjang lebih menyukai air yang bersih. Apabila air di bak penampungan sudah kotor, mereka cenderung tidak mau meminum air dari bak tersebut ataupun hanya meminum sedikit airnya. Keran di depan basecamp yang menetes-neteskan airpun mereka minum dengan cara menjilat tetesan-tetesan air tersebut. Perilaku minum monyet ekor panjang dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini. Gambar 11 Perilaku minum monyet ekor panjang Berbeda halnya dengan makan, perilaku minum bukanlah perilaku utama dari monyet ekor panjang karena kebutuhan air mereka sudah cukup terpenuhi dari buah-buahan yang mereka makan. Hal ini terbukti dengan frekuensi perilaku minum yang sedikit dan keberlangsungan hidup mereka meskipun tidak terdapat sumber air secara alami di Pulau Tinjil. Selain itu, tidak terdapat dominansi dalam menjaga sumber minum seperti halnya individu dominan yang lebih mendominasi sumber pakan. Gambar 12 di bawah ini menunjukkan bahwa selama pengamatan tidak selalu ditemukan perilaku minum setiap harinya, dibuktikan dengan rata-rata frekuensi minum harian tiap individu yang kurang dari 1. Meskipun tidak terdapat dominansi dalam perilaku minum, tetapi tetap terdapat garis kecenderungan linear dalam frekuensi minum monyet. Semakin tinggi hierarki sosial suatu individu, semakin tinggi frekuensi minum monyet tersebut. 1,0 0,8 Frekuensi 0,8 0,8 0,8 0,6 0,4 0,4 0,4 0,3 0,2 0,0 0,1 β2 γ1 γ2 Individu 0,1 0,0 α β1 D1 D2 E1 E2 Gambar 12 Grafik rata-rata frekuensi minum monyet ekor panjang. Selain minum, monyet ekor panjang juga menggunakan bak air minum untuk mandi, yaitu dengan cara mencelupkan wajah, badan ataupun seluruh bagian tubuhnya ke dalam bak. Individu yang masih remaja atau anak biasanya berjalan atau berenang di dalam bak tersebut. Sesuai dengan hal yang diungkapkan Medway (1978) bahwa secara ekologi, monyet ekor panjang merupakan monyet yang dapat berenang dengan baik. 3. Perilaku berpindah Perilaku berpindah merupakan tindakan pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya. Monyet ekor panjang berpindah dengan cara berjalan, berlari, maupun melompat dengan menggunakan tangan dan kakinya, sesuai dengan yang diungkapkan Hoeve (2003) bahwa primata yang termasuk monyet dunia lama (Old World Monkey) dan superfamili Cercopithecoidea bergerak dengan bantuan lengan dan tungkai, lain dengan kera manusia (Hominoidea). Perilaku berpindah monyet ekor panjang dapat dilihat pada Gambar 13 berikut. (a) (b) Gambar 13 Perilaku berpindah monyet ekor panjang. Ket: (a) monyet berjalan di pohon; (b) monyet berjalan di pantai. Individu yang memulai pergerakan kelompok adalah α. Anggota kelompok ini biasanya berpencar tetapi tetap berada di sekitar α. Biasanya, individu yang berada dekat dengan α yaitu betina dewasa, anak dan bayi. Individu yang berada paling akhir merupakan individu yang tidak dominan atau low rank. Adapun frekuensi rata-rata perilaku berpindah monyet ekor panjang dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini. 10,0 8,6 8,0 Frekuensi 6,0 6,0 6,0 5,0 4,0 4,7 2,6 2,8 3,1 E1 E2 1,7 2,0 0,0 α β1 β2 γ1 Individu γ2 D1 D2 Gambar 14 Grafik rata-rata frekuensi berpindah monyet ekor panjang. Berdasarkan Gambar 14 di atas, dapat diketahui rata-rata frekuensi berpindah monyet ekor panjang setiap harinya. Angka tersebut menunjukkan jumlah perpindahan monyet dari satu lokasi ke lokasi lainnya, bukan merupakan jumlah perpindahan monyet ketika melakukan aktivitas satu ke aktivitas lainnya. Individu yang paling aktif berpindah yaitu D2, α dan γ1. D2 merupakan betina dominan yang tidak sedang bunting sehingga memiliki frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan D1 yang merupakan betina dewasa yang sedang bunting. Akan tetapi frekuensi berpindah betina dominan tersebut lebih tinggi dibandingkan betina yang tidak dominan yaitu E1 dan E2. Pada jantan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi berpindah dengan hierarki sosial jantan tersebut. Individu α memiliki frekuensi berpindah yang paling tinggi. 4. Perilaku istirahat Perilaku istirahat merupakan tindakan diam di suatu tempat tanpa melakukan kegiatan lain yang membutuhkan perpindahan. Monyet ekor panjang beristirahat baik di luar maupun diantara waktu aktifnya. Monyet ini biasanya beristirahat dengan cara duduk di batang pohon, merebahkan badannya di batang pohon, bahkan sampai memejamkan matanya atau tidur (Gambar 15). Strata pohon yang biasa digunakan oleh monyet di kelompok ini untuk beristirahat yaitu strata C dengan ketinggian antara 4-20 meter dengan tajuk yang cukup rindang. (a) (b) Gambar 15 Perilaku istirahat monyet ekor panjang. Ket: (a) α duduk di batang pohon; (b) D1 merebahkan badan di pohon. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, hierarki sosial tidak berpengaruh terhadap frekuensi istirahat monyet. Jantan atau betina dengan hierarki sosial tinggi maupun rendah melakukan perilaku istirahat di antara aktivitas lainnya. Mereka lebih sering beristirahat di pohon dibandingkan di atas permukaan tanah karena lebih terlindung dari sinar matahari. Mereka juga lebih sering beristirahat pada siang dan sore hari dibandingkan pada pagi hari. Hal ini disebabkan karena pada pagi hari mereka lebih aktif dalam mencari makan. Gambar 16 di bawah ini menggambarkan frekuensi rata-rata perilaku istirahat yang dilakukan monyet ekor panjang setiap hari. 5,0 Frekuensi 3,0 4,0 3,9 4,0 2,5 3,0 2,6 2,0 1,6 1,5 2,0 2,0 1,0 0,0 α β1 β2 γ1 γ2 Individu D1 D2 E1 E2 Gambar 16 Grafik rata-rata frekuensi istirahat monyet ekor panjang. 5. Perilaku grooming Perilaku grooming merupakan tindakan menelisik baik yang dilakukan olah jantan, betina, jantan terhadap betina, betina terhadap jantan, maupun sesama betina. Selain mencari kutu, biasanya grooming juga dilakukan untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di badan monyet. Perilaku ini lebih banyak dilakukan oleh betina dibandingkan oleh jantan, seperti yang terlihat pada Gambar 17 di bawah ini. Perilaku ini juga seringkali dilakukan monyet setelah melakukan aktivitas kopulasi. Umumnya, yang melakukan grooming yaitu monyet betina terhadap monyet jantan. Monyet jantan biasanya mencari kutu pada bagian tubuhnya sendiri seperti tangan atau kaki. 2,5 2,0 Frekuensi 2,0 1,5 0,9 1,0 0,5 0,1 0,1 0,0 α β1 β2 0,2 0,4 0,3 E1 E2 0,1 0,0 γ1 γ2 Individu D1 D2 Gambar 17 Grafik rata-rata frekuensi grooming monyet ekor panjang. Monyet yang paling sering melakukan grooming yaitu betina dominan (D). Betina dominan dapat melakukan perilaku tersebut pada individu manapun, mulai dari jantan dewasa, remaja, anak, sampai bayi. Individu yang dicarikan kutu oleh D bersikap lebih menurut dan diam saja ketika dicarikan kutunya, sehingga perilaku tersebut memiliki intensitas dan frekuensi yang lebih sering pada D. Lain halnya apabila betina tidak dominan yang melakukan grooming terhadap individu lainnya, dimana individu tersebut dapat menolak dengan berlari menjauhi betina tersebut. Berdasarkan Gambar 17, diketahui bahwa monyet jantan sangat jarang melakukan grooming. Biasanya, jantan melakukan grooming kepada dirinya sendiri. Selama pengamatan, hanya satu kali dijumpai perilaku jantan yang melakukan grooming terhadap betina, yaitu betina pasangannya. Menurut Vore dan Eimer (1984) diacu dalam Sophia (1999), kegiatan grooming merupakan sarana yang sangat berguna untuk menjalin hubungan sosial antar anggota suatu kelompok dan untuk berbagai macam tujuan lain. Lebih lanjut dinyatakan bahwa fungsi penting tindakan saling menelisik pada monyet ialah kegiatan ini meniadakan garis hierarki dan menjalin hubungan akrab tanpa pandang kedudukan atau kekuasaan. Perilaku grooming pada monyet ekor panjang dapat dilihat pada Gambar 18 di bawah ini. Gambar 18 Perilaku grooming individu D2 terhadap anak. 6. Perilaku agonistik Perilaku agonistik merupakan tindakan perkelahian, pengejaran, pemberian peringatan, maupun reaksi-reaksi lainnya yang berhubungan dengan pertentangan. Perilaku ini biasanya dilakukan oleh individu yang peringkat sosialnya lebih tinggi terhadap individu dengan peringkat sosial yang lebih rendah maupun terhadap manusia dan satwa lain yang dianggap mengancam. Perilaku agonistik dapat terjadi antara jantan dan betina, sebagaimana terlihat pada Gambar 19 di bawah ini. Gambar 19 Perilaku agonistik antara D1 dengan β1. Perkelahian biasanya terjadi ketika terdapat individu yang mendekati atau mengganggu bayi atau anak dari individu betina, individu tidak dominan mendekati sumber pakan yang terdapat individu dominan, jantan yang mendekati pasangan jantan lain, monyet dari kelompok lain yang memasuki wilayah kelompok 3, jantan dominan yang ingin mengalahkan raja kelompok tersebut dan gangguan-gangguan lainnya. Dalam perkelahian, dapat terjadi penggertakan, kejar-mengejar bahkan cakar-mencakar sampai monyet tersebut terluka. Kriteria individu yang memiliki perilaku lebih galak atau agresif yaitu: a. Individu yang merupakan keturunan raja. Hal ini ditunjukan dengan perilakunya yang lebih berani melawan monyet lain yang tidak dominan meskipun monyet tersebut memiliki badan yang lebih besar. b. Betina yang menjadi pasangan raja. Meskipun hierarki sosialnya bukan betina yang dominan, ketika menjadi pasangan raja betina tersebut akan lebih berani dalam berinteraksi sosial dan beraktivitas karena selalu diikuti raja. Contohnya, betina tersebut dapat melakukan grooming dengan banyak individu, dapat makan bersama raja dan tidak dikejar monyet dominan lain ketika mengambil pakan. c. Betina yang sedang bunting dan menyusui. Betina cenderung lebih sensitif ketika sedang bunting dan menyusui, terutama ketika mempunyai bayi atau anak dimana betina tersebut sangat protektif terhadap anaknya. d. Individu yang memiliki hierarki sosial lebih tinggi. Apabila dibandingkan dengan individu yang tidak dominan, individu yang dominan tentu bersifat lebih galak karena individu tersebut mengawasi monyet-monyet lain dalam kelompoknya agar tidak menimbulkan gangguan maupun monyet dari kelompok lain yang memasuki wilayah kelompok monyet tersebut. Gambar 20 di bawah ini menunjukkan perilaku agonistik yang terjadi pada monyet ekor panjang di kelompok 3. Dari Gambar tersebut dapat terlihat bahwa monyet dengan hierarki sosial yang dominan lebih sering melakukan perilaku agonistik dibandingkan monyet yang hierarki sosialnya lebih rendah, terutama pada individu betina. Betina dominan lebih aktif dalam mengawasi keadaan di kelompoknya dari gangguan, terutama dari individu yang mendekati anak atau bayi betina tersebut. Pada individu jantan, perbedaan frekuensi tersebut tidak terlalu signifikan. Hal tersebut dikarenakan sifat jantan yang seringkali mendekati individu lain yang sedang berkelahi. 1,5 Frekuensi 1,1 0,9 1,0 0,9 0,8 0,6 0,5 0,3 0,1 0,1 0,0 0,0 α β1 β2 γ1 γ2 D1 Individu D2 E1 E2 Gambar 20 Grafik rata-rata frekuensi agonistik monyet ekor panjang. 5.4 Perilaku Seksual Perilaku seksual merupakan tindakan seksual yang dilakukan oleh individu jantan dan betina dewasa yang bertujuan untuk melakukan proses reproduksi sehingga dapat menghasilkan keturunan. Monyet ekor panjang termasuk satwa multimale-multifemale, dimana satu jantan atau satu betina dewasa dapat kawin dengan banyak lawan jenisnya. Monyet ekor panjang dapat membentuk pasangan yang dapat bertahan selama beberapa hari. Selama berpasangan, monyet tersebut dapat melakukan aktivitas seksual dengan monyet lain yang bukan pasangannya. Akan tetapi frekuensi terjadinya kopulasi lebih tinggi pada monyet yang berpasangan tersebut. Pada Gambar 21 di bawah ini, dapat terlihat rata-rata frekuensi perilaku seksual monyet ekor panjang. Aktivitas seksual dengan frekuensi tertinggi terdapat pada individu betina tidak dominan karena betina tersebut tidak terlalu selektif dalam memilih jantan yang boleh mengawininya. 1,5 1,5 1,0 1,0 Frekuensi 1,1 1,0 0,9 0,7 0,4 0,5 0,5 0,0 0,0 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 Individu Gambar 21 Grafik rata-rata frekuensi perilaku seksual monyet ekor panjang. Penerimaan jantan oleh setiap individu betina memiliki frekuensi yang berbeda-beda, seperti yang terlihat pada Gambar 22 di bawah ini. Individu yang lebih banyak diterima oleh D1 yaitu individu α. D1 merupakan betina yang paling dominan dibandingkan betina lain di kelompoknya. Individu D1 merupakan betina yang sedang bunting, oleh karena itu individu ini memiliki frekuensi aktivitas seksual yang rendah. Individu yang lebih banyak diterima oleh D2 yaitu individu γ1. Berdasarkan wawancara terhadap staf lapang, diketahui bahwa γ1 merupakan anak dari D2, sehingga diduga hal tesebut mempengaruhi penerimaan D2 terhadap γ1 yang cukup tinggi. Individu yang lebih banyak diterima oleh E1 yaitu individu α, hal ini dikarenakan E1 dan α merupakan pasangan yang terbentuk selama beberapa hari sehingga frekuensi aktivitas seksualnya lebih tinggi dibandingkan aktivitas seksual dengan jantan lainnya. Individu yang lebih banyak diterima oleh E2 yaitu individu β1. Sama halnya dengan E1 dan α, E2 dan β1 juga membentuk pasangan yang terbentuk selama beberapa hari sehingga frekuensi aktivitas seksualnya cukup tinggi. Selama pengamatan, tidak ditemukan aktivitas seksual yang dilakukan oleh individu γ2. Hal tersebut dapat disebabkan karena individu yang termasuk jantan low rank tersebut melakukan aktivitas seksual di luar jangkauan pengamatan, sehingga tidak terlihat oleh pengamat. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada staf lapang, mereka mengatakan bahwa jantan tersebut beberapa kali terlihat melakukan aktivitas seksual terhadap betina. 14 α β1 β2 γ1 γ2 12 Frekuensi 10 8 6 4 2 0 D1 D2 E1 E2 Individu Gambar 22 Grafik frekuensi penerimaan jantan oleh betina dalam aktivitas seksual. Jantan yang telah berpasangan dengan betina bersifat lebih protektif terhadap betina pasangannya. Meskipun jantan tersebut dapat kawin dengan betina lainnya, dia akan melindungi betina pasangannya agar tidak dikawini oleh jantan lain. Apabila terdapat jantan dewasa yang mencoba mendekati atau melakukan tindakan seksual terhadap betina pasangannya maka dapat terjadi perkelahian, kecuali apabila jantan yang mendekati betina tersebut memiliki hierarki sosial yang lebih tinggi, maka jantan tersebut hanya akan menyeringai (grimace) jantan lain dengan hierarki sosial yang lebih tinggi tersebut. Individu yang memiliki inisiatif dalam pergerakan pada monyet ekor panjang yang berpasangan yaitu individu betina. Selama berpasangan, jantan selalu mengikuti betina dalam berpindah ke tempat lain. Pasangan jantan dan betina ini dapat 25 20 15 10 5 0 Frekuensi Frekuensi berlangsung selama 4-5 hari. α β Hierarki Sosial (a) γ 30 25 20 15 10 5 0 Dominan Tidak dominan Hierarki Sosial (b) Gambar 23 Garis kecenderungan aktivitas seksual pada monyet ekor panjang. Ket: (a) Kecenderungan aktivitas seksual pada monyet jantan; (b) Kecenderungan aktivitas seksual pada monyet betina. Gambar 23 di atas menunjukkan kecenderungan frekuensi aktivitas seksual pada jantan berbeda dengan betina. Pada jantan, semakin tinggi hierarki sosial suatu jantan maka semakin tinggi frekuensi aktivitas seksualnya, sedangkan pada betina, semakin tinggi hierarki sosial suatu betina maka semakin rendah frekuensi aktivitas seksual betina tersebut. Monyet jantan yang paling dominan dapat mengawini banyak monyet betina di kelompoknya tanpa harus berkelahi dengan jantan lainnya. Betina dominan bersifat lebih selektif dalam memilih jantan yang boleh mengawininya. Betina dominan lebih memilih jantan yang dominan juga. Selain itu, betina dominan juga lebih tanggap terhadap gangguan dan melakukan pengawasan terhadap individu lain dalam kelompoknya sehingga frekuensi kawinnya lebih sedikit. Monyet ekor panjang merupakan satwa poliestrus, yaitu satwa yang mengalami estrus lebih dari satu kali dalam satu tahun. Selama pengamatan, setiap hari selalu ditemukan perilaku kawin meskipun pada individu yang berbeda-beda. Masyud (1995) menyatakan bahwa monyet ekor panjang memiliki lama waktu birahi antara 12-24 jam sehari. Jadi, pada betina yang tidak sedang bunting atau menyusui, dapat ditemukan aktivitas seksual setiap harinya. Yusuf (1998) menyatakan bahwa monyet ekor panjang memiliki siklus menstruasi antara 27-31 hari dengan lama menstruasi 3-4 hari. Akan tetapi, menstruasi tidak berpengaruh terhadap aktivitas seksual karena meskipun betina tersebut sedang menstruasi tetap terjadi aktivitas seksual bahkan mencapai ejakulasi. Menstruasi merupakan pertanda bahwa setelah kopulasi tidak terjadi pembuahan (ovulasi) sehingga betina tersebut tidak bunting. 5.4.1 Jenis aktivitas seksual monyet ekor panjang Perilaku seksual (kopulasi) pada monyet ekor panjang merupakan perilaku yang dilakukan sebelum, saat dan setelah melakukan intromisi. Perilaku ini dilakukan oleh jantan dan betina dewasa dan dapat dilakukan baik di pepohonan maupun di permukaan tanah. Perilaku seksual tersebut meliputi beberapa aktivitas sebagai berikut: a. Mengejar Pengejaran dilakukan oleh jantan terhadap betina dengan cara berlari. Perilaku ini termasuk perilaku pemaksaan betina agar mau melakukan kopulasi dengan jantan. Betina yang dikejar biasanya memperlihatkan muka yang menyeringai (grimace) pertanda tidak ingin didekati oleh jantan tersebut. b. Mendorong Perilaku mendorong juga dilakukan oleh jantan agar posisi betina menungging (hindquarter presence) sehingga memudahkan jantan untuk melakukan pemeriksaan kelamin atau kopulasi. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa setiap kali mendorong betina, jantan selalu dapat melakukan intromisi. c. Mendekati lawan jenis Perilaku mendekati dapat dilakukan oleh jantan maupun betina. Akan tetapi, frekuensi perilaku mendekati lebih sering dilakukan oleh jantan. Betina yang mendekati bahkan sampai memperlihatkan kelaminnya kepada jantan merupakan betina yang sedang birahi. Perilaku ini dilakukan dengan cara berjalan secara perlahan ke arah lawan jenisnya tersebut. Gambar 24 Jantan α mendekati betina. d. Memeriksa kelamin Pemeriksaan kelamin dilakukan oleh jantan terhadap betina. Perilaku ini didahului dengan perilaku jantan yang mengangkat ekor betina. Tetapi, terdapat juga betina yang tanggap dan langsung mengangkat ekornya ketika didekati jantan. Tidak semua perilaku intromisi didahului dengan pemeriksaan kelamin. Perilaku pemeriksaan kelamin dibedakan menjadi tiga, yaitu dengan cara dilihat (visual communication), dicium (olfactory communication) dan disentuh (tactile communication). Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa 76% pemeriksaan kelamin dilakukan dengan cara dilihat, 10% dengan cara dicium dan 14% dengan cara disentuh. Priatna (2003) memaparkan bahwa pemeriksaan kelamin dilakukan jantan untuk melihat apakah betina tersebut sedang estrus atau tidak lewat lendir yang ada pada alat kelaminnya. Poole (1985) juga mengatakan bahwa perilaku prakopulasi terdiri dari jantan mengidentifikasi betina estrus dan mencoba untuk bersaing untuk mendapatkan dan bercumbu (courtship) dengan betina tersebut. e. Intromisi Intromisi merupakan perilaku masuknya penis ke dalam alat kelamin betina. Jantan menaiki betina dengan cara memegang pinggul betina lalu kaki bertumpu pada betis betina dan melakukan gerakan thrusting, seperti yang terlihat pada Gambar 25 di bawah ini. Selama pengamatan, tidak ditemukan posisi lain ketika jantan dan betina melakukan intromisi. Gambar 25 Posisi jantan dan betina dalam aktivitas intromisi. f. Ejakulasi Ejakulasi merupakan perilaku penyemprotan sperma ke dalam vagina. Pada monyet ekor panjang, perilaku ini ditandai dengan semakin cepatnya gerakan thrusting dan wajah betina yang menyeringai ke arah jantan yang mengawininya. Setelah jantan mengeluarkan spermanya dan melepaskan penisnya dari vagina betina, biasanya betina tersebut akan mengeluarkan suara yang khas beberapa kali. Selain itu, pada penis jantan akan terlihat cairan sperma yang berwarna putih kental. Seringkali jantan membersihkan kelaminnya setelah mengeluarkan sperma. Menurut Andryansyah (1997) diacu dalam Priatna (2003), terjadinya ejakulasi dapat diketahui dengan cara: 1) Adanya cairan ejakulasi (ejaculation plug) yang biasanya masih tercecer disekitar alat kelamin monyet ekor panjang setelah melakukan kopulasi. 2) Saat mendorong penis (thrusting), jantan akan berhenti sebentar dan tubuhnya bergetar setelah ia melakukannya. 3) Setelah selesai mendorong penis (thrusting), betina akan berlari menjauhi jantan sambil mengeluarkan suara. g. Grooming Perilaku grooming seringkali dilakukan betina setelah melakukan kopulasi dengan jantan, meskipun tidak semua kopulasi diteruskan dengan grooming. Selama pengamatan, hanya ditemukan satu kali perilaku grooming dimana jantan yang mencari kutu betina yang dikawininya, yaitu antara individu α dan E1. Jantan dan betina tersebut merupakan pasangan yang terbentuk selama beberapa hari. Gambar 26 Jantan α melakukan grooming terhadap E1. h. Menolak Perilaku penolakan dilakukan betina terhadap jantan dengan cara berlari ketika didekati jantan. Betina menolak untuk melakukan kopulasi dapat disebabkan karena sedang bunting, menyusui, atau karena hierarki sosial betina tersebut tinggi sedangkan jantan tersebut termasuk satwa dengan hierarki sosial yang rendah. Perilaku ini dapat berlanjut menjadi perilaku perkelahian antara jantan dan betina tersebut. 3 Mengejar 97 Mendekati 56 Memeriksa kelamin 64 Intromisi 41 Ejakulasi 11 Grooming Mendorong 4 Menolak 3 0 20 40 Frekuensi 60 80 100 Gambar 27 Frekuensi jenis-jenis aktivitas seksual monyet ekor panjang. Gambar 27 memperlihatkan frekuensi dari setiap perilaku seksual yang dilakukan monyet ekor panjang selama pengamatan. Gambar tersebut menunjukkan bahwa tidak semua jantan yang mendekati betina diterima untuk melakukan kopulasi. Dari 97 perilaku mendekati betina yang dilakukan oleh jantan, hanya 64 kali yang sampai kepada kopulasi. Berbeda dengan perilaku pendorongan (pemaksaan) yang 100% sampai kepada kopulasi. Tidak semua perilaku kopulasi dilanjutkan dengan perilaku grooming. Dari 64 kopulasi hanya 11 kopulasi (17%) yang setelahnya dilanjutkan dengan perilaku grooming. Jantan tidak selalu melakukan ejakulasi ketika kopulasi, dari 64 kopulasi yang terjadi, hanya 41 perilaku ejakulasi yang terjadi, atau sebesar 64%. Berdasarkan Gambar 27 juga dapat disimpulkan bahwa terdapat variasi tahap-tahap perilaku yang berbeda pada perilaku seksual monyet ekor panjang. Variasi tahap-tahap perilaku seksual monyet ekor panjang dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Variasi tahapan perilaku seksual monyet jantan terhadap monyet betina No a b c d e f g h i j k l m n Tahap Perilaku Seksual Md Md-PK Md-PK-Int Md-PK-Int-Ej Md-PK-Int-Ej-Gr Dr-Int Md-Int Kj-Dr-Int Md-Int-Gr Md-Int-Ej Md-Bd Md-Bd-PK Md-Bd-Int-Ej Md-PK-Int-Gr Σ Keterangan: Md = Mendekati PK = Memeriksa kelamin Int = Intromisi Ej = Ejakulasi Frekuensi 2 18 7 13 8 1 12 3 1 15 6 2 1 2 91 Persentase(%) 2,2 19,8 7,7 14,3 8,8 1,1 13,2 3,3 1,1 16,5 6,6 2,2 1,1 2,2 100,0 Gr = Grooming Dr = Mendorong Kj = Mengejar Tahap perilaku seksual yang paling banyak dilakukan oleh monyet ekor panjang khususnya monyet jantan terhadap betina adalah tahap b, yaitu mendekati dan pemeriksaan kelamin. Perilaku ini tidak dilanjutkan dengan kopulasi dapat disebabkan oleh betina yang melakukan penolakan untuk kopulasi sehingga betina tersebut lari setelah pemeriksaan kelamin. Tahap j juga cukup banyak dilakukan oleh monyet ekor panjang, yaitu mendekati, kopulasi, dan ejakulasi. Perilaku kopulasi ini tidak didahului dengan dilakukannya pemeriksaan kelamin. Hal ini disebabkan betina yang memberi respon positif ketika didekati oleh jantan, salah satunya dengan berdiri memperlihatkan kelaminnya. Selain itu dapat disebabkan karena jantan dan betina tersebut merupakan pasangan, sehingga jantan tidak melakukan pemeriksaan kelamin terlebih dahulu untuk melihat apakah betina tersebut sedang estrus atau tidak. Jumlah gerakan mendorong penis (thrusting) rata-rata yang terjadi setiap kopulasi yaitu sebanyak 11 kali. Banyak atau sedikitnya gerakan kopulasi tidak dipengaruhi oleh hierarki sosial individu jantan atau betina, melainkan kecepatan jantan untuk melakukan ejakulasi. Setelah terjadi ejakulasi, betina akan mengeluarkan suara khas dengan frekuensi rata-rata sebanyak 5 kali. Biasanya betina mengeluarkan suara tersebut sembari berlari menjauhi jantan. Aktivitas lain yang dilakukan setelah kopulasi yaitu grooming. Individu yang lebih sering melakukan grooming terhadap pasangannya yaitu betina. Perilaku istirahat juga seringkali dilakukan setelah melakukan kopulasi, yaitu betina atau jantan yang baru saja melakukan kopulasi menjauhi pasangan kopulasinya tersebut kemudian duduk diam selama beberapa waktu tanpa melakukan aktivitas lainnya. 5.4.2 Preferensi waktu dan lokasi perilaku seksual Perilaku seksual monyet ekor panjang lebih banyak dilakukan pada pagi hari (Gambar 28). Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa 54% perilaku seksual dilakukan pada pagi hari dan 46% perilaku seksual dilakukan sore hari. Perilaku seksual yang banyak terjadi di pagi hari disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu ketersediaan pakan, suhu dan cuaca. Staf lapang memberikan pakan pada pagi hari, sehingga banyak monyet ekor panjang yang berkumpul di sekitar lokasi pakan. Pada pagi hari juga udara lebih sejuk dibandingkan sore hari sehingga mendukung dalam beraktivitas termasuk melakukan perilaku seksual. Cuaca yang cerah juga lebih disukai monyet ekor panjang untuk melakukan perilaku seksual. Sebanyak 42% perilaku seksual dilakukan pada cuaca yang panas, 56% pada cuaca yang berawan dan hanya 2% yang dilakukan pada cuaca yang mendung. Selama pengamatan, tidak ditemukan monyet ekor panjang yang melakukan perilaku seksual ketika turun hujan, baik gerimis maupun hujan lebat. 12 9 10 4 4 5 3 5 5 3 5 5 2 1 1 1 17.30-18.00 5 7 17.00-17.30 Frekuensi (kali) 15 16.30-17.00 16.00-16.30 15.30-16.00 15.00-15.30 14.30-15.00 14.00-14.30 09.30-10.00 09.00-09.30 08.30-09.00 08.00-08.30 07.30-08.00 07.00-07.30 06.30-07.00 06.00-06.30 0 Waktu Gambar 28 Preferensi waktu aktivitas seksual monyet ekor panjang. Berbeda dengan perilaku harian, perilaku seksual lebih sering dilakukan di pepohonan. Sebanyak 69% perilaku seksual dilakukan di pohon dan 31% perilaku seksual dilakukan di atas tanah. Lokasi perilaku seksual di pepohonan lebih disukai monyet ekor panjang karena lebih terlindung dari gangguan-gangguan yang ada di atas tanah seperti biawak, ular dan manusia. Aktivitas seksual tersebut lebih sering dilakukan di pohon pada ketinggian 4-20 m. Beberapa kali juga terdeteksi adanya aktivitas seksual pada tajuk pohon yang tinggi, yaitu adanya suara khas pada betina setelah jantan melakukan ejakulasi. Akan tetapi, tidak terdapat karakteristik khusus dari pepohonan yang sering digunakan monyet untuk melakukan aktivitas seksual. Monyet tersebut dapat melakukan aktivitas seksual baik pada pohon dengan penutupan tajuk yang rapat maupun yang tidak rapat. Lokasi tersebut lebih berkaitan dengan penerimaan betina terhadap jantan, apabila betina menerima ajakan jantan untuk melakukan aktivitas seksual maka di lokasi tersebutlah dilakukan aktivitas seksual. 5.4.3 Aktivitas seksual yang terjadi sesama jantan Selama pengamatan, ditemui beberapa perilaku seksual yang menyimpang, yaitu perilaku seksual yang dilakukan jantan terhadap jantan lainnya. Perilaku tersebut berupa perilaku menaiki dan melakukan gerakan intromisi yaitu gerakan memaju-mundurkan pinggulnya. Perilaku tersebut diduga merupakan salah satu perilaku affialiative untuk menunjukkan bahwa individu tersebut tidak akan bertindak agonistik terhadap individu lainnya. Selama pengamatan, hanya ditemukan lima kali perilaku tersebut, yaitu perilaku yang dilakukan oleh individu β1 ke β2, β1 ke γ1, β2 ke β1, γ2 ke β1 dan γ2 ke α. Selain itu, ditemukan juga perilaku jantan dewasa yang menaiki remaja jantan. Akan tetapi, individu yang melakukan perilaku ini tidak dapat disimpulkan merupakan individu yang memiliki penyimpangan dalam perilaku seksual karena individu-individu tersebut lebih sering melakukan perilaku seksual terhadap betina. Jantan dewasa yang melakukan perilaku menaiki jantan lain diduga untuk melampiaskan birahinya ketika tidak ada betina yang bersedia untuk melakukan kopulasi. 5.4.4 Aktivitas seksual pada monyet remaja dan anak Monyet ekor panjang dari kelas umur remaja dan anak belum dapat melakukan kopulasi karena individu tersebut belum mengalami kematangan seksual (sexual maturity). Aktivitas yang dilakukan yang berhubungan dengan aktivitas seksual hanya berupa menaiki dan melakukan gerakan intromisi. Individu yang biasanya melakukan aktivitas tersebut yaitu monyet jantan terhadap monyet betina maupun monyet jantan lainnya. Monyet betina bersifat lebih pasif dan tidak pernah terlihat menaiki monyet jantan. Perilaku ini hanya berlangsung selama beberapa detik saja. Perilaku-perilaku ini termasuk dalam perilaku meniru (allelomimetik) dari monyet lainnya. Tanudimadja (1987) memaparkan bahwa perilaku meniru mencakup dua hewan yang mengerjakan pekerjaan yang sama dengan sedikit stimulasi timbal balik. 5.5 Pengaruh Perilaku Seksual Terhadap Perilaku Harian Monyet Ekor Panjang Perilaku seksual yang dilakukan oleh monyet ekor panjang dapat menimbulkan pengaruh terhadap frekuensi beberapa perilaku harian monyet tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa ketika sedang aktif dalam melakukan perilaku seksual, terdapat pengaruh berupa peningkatan ataupun penurunan terhadap frekuensi beberapa perilaku harian baik pada monyet jantan maupun betina. Monyet betina tersebut dibedakan menjadi betina yang sedang bunting dan betina yang tidak sedang bunting. Perilaku harian yang dapat terkena pengaruh oleh perilaku seksual yaitu perilaku makan, berpindah dan istirahat. Perilaku minum, grooming dan agonistik tidak terlalu terpengaruh oleh frekuensi perilaku seksual yang dilakukan karena perilaku-perilaku tersebut hanya memiliki frekuensi yang rendah dan bukan merupakan perilaku harian utama yang dilakukan oleh monyet ekor panjang. Variabel yang dibandingkan adalah frekuensi dari perilaku seksual dengan frekuensi dari perilaku makan, berpindah dan istirahat dari individu jantan, betina yang sedang bunting dan betina yang tidak sedang bunting. 5.5.1 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku makan Berdasarkan analisis korelasi yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa aktivitas seksual yang dilakukan monyet ekor panjang berpengaruh terhadap perilaku makan monyet tersebut. Perilaku ini memberikan pengaruh yang berbeda pada monyet jantan dan betina. Pada monyet jantan, hubungan antara perilaku seksual dengan perilaku makan adalah kuat, signifikan pada taraf 0,01 dan positif (searah). Semakin tinggi frekuensi perilaku seksual jantan, maka semakin tinggi frekuensi perilaku makannya. Besarnya peranan perilaku seksual terhadap perubahan frekuensi perilaku makan jantan adalah sebesar 39,56%. Pada monyet betina yang tidak sedang bunting, hubungan antara perilaku seksual dengan perilaku makan adalah cukup kuat, signifikan pada taraf 0,01 dan negatif (berlawanan arah). Semakin tinggi frekuensi perilaku seksual betina, maka semakin rendah frekuensi perilaku makannya. Besarnya peranan perilaku seksual terhadap perubahan perilaku makan betina yang tidak sedang bunting adalah sebesar 11,09%. Pada monyet betina yang sedang bunting, hubungan antara perilaku seksual dengan perilaku makan adalah cukup kuat, tidak signifikan dan negatif (berlawanan arah). Besarnya peranan perilaku seksual terhadap perubahan perilaku makan betina yang sedang bunting adalah sebesar 9,18%. Perilaku seksual tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku makan monyet yang sedang bunting karena aktivitas seksual bukanlah aktivitas utama yang dilakukan oleh betina yang sedang bunting. Monyet betina yang sedang bunting atau mengasuh anak cenderung menolak ajakan jantan untuk melakukan aktivitas seksual sehingga aktivitas seksual yang terjadi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas harian betina tersebut. Meningkatnya frekuensi makan jantan ketika jantan melakukan aktivitas seksual dapat disebabkan karena setiap hari jantan secara aktif mencari dan mendekati betina yang sedang estrus untuk dikawini. Hal ini menyebabkan jantan membutuhkan energi yang lebih banyak yang dapat diperolehnya lewat pakan. Bahkan selama pengamatan beberapa kali ditemui jantan yang melakukan kopulasi dengan betina ketika kantung pipinya penuh oleh makanan. Penurunan frekuensi makan betina ketika terjadi peningkatan aktivitas seksual dapat disebabkan karena jantan mendekati betina ketika betina sedang aktif untuk mencari makan. Menurut Santoso (1993), diketahui bahwa jantan dewasa akan mendekati betina saat makan atau saat istirahat. Betina yang sedang estrus cenderung akan menerima ajakan jantan untuk melakukan aktivitas seksual bahkan intromisi meskipun jantan tersebut mendekati betina di antara aktivitas makan. Oleh karena itu frekuensi makannya menjadi berkurang. Apabila frekuensi makannya terus menerus mengalami penurunan ketika aktif dalam aktivitas seksual, dikhawatirkan betina tersebut akan mengalami penurunan berat badan dan kekurangan gizi. Hal ini dapat ditanggulangi dengan cara introduksi induk betina dewasa sehingga jantan dewasa lebih mempunyai banyak pilihan betina untuk melakukan aktivitas seksual. Selain itu, dapat juga diberikan tambahan pakan yang bergizi tinggi untuk monyet di penangkaran ini. 5.5.2 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku istirahat Seperti halnya perilaku makan, perilaku istirahat juga dapat terpengaruh oleh aktivitas seksual yang terjadi. Pada jantan, perilaku seksual tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan frekuensi perilaku istirahat. Kedua perilaku ini berhubungan positif. Besarnya peranan perilaku seksual terhadap perubahan frekuensi perilaku istirahat hanya sebesar 2,02%. Hubungan kedua perilaku ini sangat lemah sehingga dapat dianggap tidak ada. Pada betina yang tidak sedang bunting, hubungan antara perilaku seksual dengan perilaku istirahat adalah sangat lemah, tidak signifikan dan positif. Besarnya peranan perilaku seksual terhadap perubahan frekuensi perilaku istirahat hanya sebesar 4,84% sehingga dapat dianggap tidak terdapat korelasi. Pada betina yang sedang bunting, hubungan antara kedua perilaku ini adalah kuat, tidak signifikan dan positif. Besarnya peranan perilaku seksual terhadap perubahan frekuensi perilaku istirahat betina yang sedang bunting adalah sebesar 50,55% Baik pada betina yang sedang bunting maupun yang tidak sedang bunting, perilaku seksual tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku istirahat. Perilaku seksual memiliki hubungan yang positif (searah) terhadap perilaku istirahat karena setelah melakukan aktivitas seksual khususnya intromisi, baik jantan maupun betina selalu beristirahat yaitu dengan cara diam dan tidak melakukan aktivitas lain yang membutuhkan pergerakan selama beberapa waktu. Biasanya jantan beristirahat sembari membersihkan kelaminnya dari cairan ejakulasi apabila pada aktivitas seksual tersebut terjadi ejakulasi, atau dapat juga membersihkan kelaminnya dari darah apabila betina yang dikawininya sedang menstruasi. Pada jantan dan betina yang merupakan pasangan, perilaku istirahat ini seringkali dilakukan berdekatan, berbeda dengan jantan dan betina yang bukan merupakan pasangan dimana setelah terjadi aktivitas seksual betina tersebut lari menjauhi jantan. 5.5.3 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku berpindah Perilaku seksual memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap perilaku berpindah monyet ekor panjang. Pada monyet jantan, hubungan antara perilaku seksual terhadap perilaku berpindah adalah cukup kuat, signifikan pada taraf 0,01 dan positif. Semakin tinggi frekuensi perilaku seksual jantan, maka semakin tinggi frekuensi perilaku berpindahnya. Pada monyet betina yang tidak sedang bunting, hubungan antara kedua perilaku ini adalah sangat lemah, tidak signifikan dan positif. Koefisien determinasi sebesar 0,397% sehingga dapat dianggap tidak memiliki korelasi. Pada betina yang sedang bunting, hubungan antara kedua perilaku ini adalah sangat lemah, tidak signifikan dan negatif. Koefisien determinasi hanya sebesar 0,001% sehingga dapat dianggap tidak memiliki korelasi. Perbedaan pengaruh yang ditimbulkan perilaku seksual terhadap perilaku berpindah monyet ekor panjang disebabkan oleh peran individu tersebut dalam melakukan perilaku seksual. Individu jantan yang lebih aktif mendekati betina untuk melakukan perilaku seksual menyebabkan meningkatnya frekuensi perilaku berpindah monyet tersebut secara signifikan. Pada betina baik yang sedang bunting maupun yang tidak sedang bunting, pengaruh yang ditimbulkan tidak signifikan karena setelah melakukan perilaku seksual monyet tersebut lebih banyak istirahat untuk mengumpulkan energi atau menunggu didekati oleh jantan untuk melakukan aktivitas seksual. 5.6 Pengelolaan Reproduksi Monyet Ekor Panjang di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil memiliki organisasi tersendiri langsung di bawah institusi Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM IPB). Pengelolaan reproduksi yang telah dilakukan yaitu introduksi induk monyet dan pemanenan hasil anakan induk monyet tersebut. Monyet yang diintroduksi memiliki kondisi fisik dan genetik yang unggul serta kemampuan reproduksi yang normal. Berdasarkan laporan penelitian tahun 2009 yang dilakukan oleh PSSP, diketahui bahwa sejak awal didirikan telah dilakukan introduksi induk monyet sebanyak 603 individu, seperti yang terlihat pada tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Introduksi monyet ekor panjang ke Pulau Tinjil No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Tanggal Introduksi 21 Februari 1988 29 April 1988 10 Juli 1988 26 Juli 1988 28 September 1988 14 Maret 1989 26 April 1989 21 Oktober 1989 26 Juni 1990 4 Juni 1991 5 September 1994 20 Mei 2006 5 Januari 2007 Total Sumber: Iskandar et al. (2009) Jantan 1 5 2 7 0 13 1 29 0 0 0 3 0 61 Betina 50 10 11 51 10 53 47 96 89 3 42 32 48 542 Total 51 15 13 58 10 66 48 125 89 3 42 35 48 603 Penangkaran semi alami Pulau Tinjil bertujuan untuk mengembangbiakan monyet ekor panjang dimana hasil perkembangbiakan tersebut akan digunakan sebagai satwa model dalam penelitian biomedis, biologi dan perilaku. Jumlah monyet ekor panjang yang telah dipanen sejak tahun 1999 sampai 2008 yaitu sebanyak 1585 individu (tabel 7). Tabel 7 Pemanenan monyet ekor panjang dari Pulau Tinjil No. Tahun Pemanenan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Total Sumber: Iskandar et al. (2009) Individu yang Dipanen Jantan Betina 59 39 48 12 25 35 60 124 127 73 140 62 149 119 88 84 136 91 71 43 903 682 Total 98 60 60 184 200 202 268 172 227 114 1585 Kegiatan lapang yang dilakukan di Pulau Tinjil yaitu : a. Habituasi, yaitu kegiatan adaptasi monyet ekor panjang sebelum dilakukan penangkapan berupa pemberian pakan pisang dan jagung di dalam kandang tangkap tanpa melakukan penangkapan. Hal ini bertujuan untuk memancing kedatangan kelompok monyet ekor panjang yang berada di sekitar kandang tangkap agar terbiasa untuk mengambil pakan di dalam kandang tangkap dan tidak takut untuk memasuki kandang tersebut ketika dilakukan penangkapan. Pakan jagung diberikan dengan cara disebar di lantai kandang sedangkan pisang diberikan baik digantung di dalam kandang maupun ditaruh di lantai kandang. Habituasi dilakukan selama 2 periode pengkapalan atau shipment (lebih kurang 10 hari). b. Penangkapan. Syarat monyet yang ditangkap yaitu jantan atau betina dalam kelas umur remaja sampai dewasa dengan umur 1,5-2,5 tahun, berat badan antara 1,8-5,0 kg, tidak memiliki tato dan sehat secara fisik (tidak luka atau cacat). Monyet yang masuk ke dalam kandang tangkap dibawa dengan menggunakan karung ke kandang penampungan. Untuk monyet jantan dewasa, sebelum dimasukkan ke dalam karung monyet tersebut dibius terlebih dahulu agar tidak membahayakan staf lapang yang menangkapnya. Obat bius yang digunakan yaitu ketamin dengan dosis 10 mg/kg berat badan yang diberikan dengan cara disuntik pada paha atau pantat monyet tersebut. c. Penampungan monyet di kandang tampung. Setelah di tangkap, monyet tersebut ditimbang terlebih dahulu. Monyet yang akan ditampung untuk kemudian dipanen dipilih yang berat badannya lebih dari syarat berat minimal monyet yang boleh dipanen, karena monyet yang ditampung seringkali mengalami penurunan berat badan akibat stres. d. Pemberian pakan monyet di kandang tampung. Monyet di kandang tampung diberikan makan dan minum satu hari sekali yaitu pada pagi hari. Pakan berupa pisang dan jagung dengan komposisi yang disesuaikan dengan jumlah monyet yang ada di dalam kandang tersebut. e. Pembuatan tato. Setiap monyet ekor panjang yang akan dipanen dari Pulau Tinjil terlebih dahulu ditato di paha kanannya berupa nomor urut monyet. Sebelum ditato, daerah paha kanan tersebut dibersihkan dari bulu dengan cara dicukur. Gambar 29.a. di bawah ini menunjukkan proses pembuatan tato pada monyet ekor panjang. Monyet tersebut ditato dalam keadaan pingsan setelah disuntikkan obat bius. Gambar 29.b. menunjukkan hasil tato pada paha kanan monyet. Huruf T menandakan monyet tersebut berasal dari Pulau Tinjil dan angka 3288 menunjukkan bahwa monyet tersebut adalah monyet ke 3288 yang terdata di Pulau Tinjil. (a) (b) Gambar 29 Proses penatoan pada monyet ekor panjang, (a) pembuatan tato, (b) hasil tato di paha kanan monyet. f. Perawatan kandang tangkap dan kandang tampung. Perawatan kandang tangkap berupa pembersihan secara berkala setiap pengkapalan (shipment), yaitu dengan cara disapu dan dibersihkan dari serasah daun juga kulit pisang yang sudah membusuk. Kandang tampung dibersihkan setiap hari apabila terdapat monyet ekor panjang di dalamnya, yaitu dengan cara disapu dan dipel. Kandang-kandang tersebut juga diperiksa apabila terdapat kerusakan untuk kemudian diperbaiki. g. Pengangkutan. Monyet yang sudah ditato dimasukkan ke dalam kandang angkut. Satu kandang ditempati oleh satu ekor monyet. Di dalam kandang tersebut dimasukkan pakan secukupnya sebagai suplai makanan bagi monyet selama proses pengangkutan. Pakan yang disediakan berupa pisang sebanyak ± 8 buah. Monyet ekor panjang yang sudah dipanen dibawa ke Pusat Karantina Primata PSSP di Dramaga, Bogor untuk di karantina yang selanjutnya akan digunakan untuk kegiatan penelitian, baik oleh PSSP maupun oleh institusi lain di dalam dan luar negeri. Priyono (1998) mengatakan bahwa pemanenan hasil usaha penangkaran harus dapat menjamin kelestarian ekologis serta ekonomis. Kelestarian ekologis ditunjukkan oleh adanya kelangsungan pertumbuhan populasi yang menuju pada tercapainya daya dukung lingkungan, sedangkan kelestarian ekonomis merupakan perolehan manfaat finansial yang berkelanjutan. Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil belum mempunyai program pengelolaan reproduksi monyet ekor panjang secara khusus. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan lebih menekankan pada pengelolaan habitat dan populasi. Kegiatan pengelolaan reproduksi yang telah dilakukan berupa introduksi induk monyet dengan kualitas fisik dan genetik yang unggul. Induk dengan kualitas unggul diperlukan di penangkaran agar dapat menghasilkan keturunan dengan kualitas yang unggul juga. Pengelolaan reproduksi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan perkembangbiakan monyet ekor panjang antara lain : a. Pemberian pakan tambahan atau suplemen yang dapat meningkatkan kualitas sperma dan sel telur monyet, sehingga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ovulasi. b. Mengurangi populasi monyet jantan dan meningkatkan populasi monyet betina untuk mengurangi persaingan jantan dalam memperebutkan betina. Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dulu daya dukung habitat di Pulau Tinjil sehingga dapat ditentukan nisbah kelamin jantan dan betina dewasa yang optimal dan dapat meningkatkan tingkat natalitas per tahunnya. c. Seleksi induk dengan fisik dan genetik unggul sehingga dapat meningkatkan kualitas anak yang dilahirkan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Perilaku seksual merupakan salah satu bagian penting yang perlu diketahui dalam pengelolaan reproduksi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di penangkaran semi alami Pulau Tinjil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap kelompok monyet ekor panjang di kelompok kandang 3, dapat disimpulkan bahwa: a. Monyet ekor panjang di Pulau Tinjil tidak memiliki musim kawin. Setiap hari selama pengamatan selalu dijumpai aktivitas seksual. b. Semakin tinggi posisi jantan dalam hierarki sosial maka semakin tinggi frekuensi perilaku seksualnya sedangkan semakin tinggi posisi betina dalam hierarki sosial maka semakin rendah frekuensi perilaku seksualnya. c. Terdapat variasi pada tahap-tahap perilaku seksual monyet ekor panjang di kelompok kandang 3. Tahap dengan frekuensi paling tinggi yaitu mendekatimemeriksa kelamin. d. Pada monyet jantan, perilaku seksual memiliki korelasi yang positif terhadap perilaku makan, berpindah dan istirahat serta memberikan pengaruh yang signifikan pada taraf 0,01 terhadap perilaku makan dan berpindah. e. Pada monyet betina yang tidak sedang bunting, perilaku seksual berkorelasi negatif dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku makan. Pada monyet betina yang sedang bunting, perilaku seksual berkorelasi negatif dengan perilaku makan serta berkorelasi positif dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku istirahat. 6.2 Saran Saran yang dapat diberikan yaitu: a. Melakukan penelitian mengenai daya dukung (carrying capacity) habitat Pulau Tinjil sehingga dapat diketahui populasi monyet ekor panjang yang optimal berdasarkan kelas umur dan nisbah kelaminnya untuk ditangkarkan. b. Melakukan penelitian lanjutan mengenai aspek-aspek reproduksi pada monyet ekor panjang di Pulau Tinjil, seperti keberhasilan reproduksi, tingkat natalitas dan mortalitas, serta aspek-aspek lainnya yang dapat menunjang pengelolaan penangkaran. c. Introduksi monyet betina dewasa sehingga dapat mencapai nisbah kelamin yang optimal dalam penangkaran monyet ekor panjang di Pulau Tinjil. DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid 1. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Bismark M. 1991. Ekologi Makan Primata [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [CITES] Convention on International Trades in Endangered Species of Wildlife Flora and Fauna. 2009. Macaca fascicularis. http://www.cites.org/ eng/resources/ID/fauna/Volume1/A-106.008.003.004%20Macaca%20fascicularis_E.pdf [1 Juni 2009]. Fadilah A. 2003. fascicularis Kabupaten Konservasi Bogor. Evaluasi Habitat dan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca Raffles 1821) di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil Pandeglang Provinsi Banten [skripsi]. Bogor: Jurusan Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Hadinoto. 1993. Studi Perilaku dan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) dalam Kandang Penangkaran [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Hoeve VW van. 2003. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna: Mamalia 1. Jakarta: PT. Ikrar Mandiriabadi. Houpt KA. 1998. Domestic Animal Behavior for Veterinarians and Animal Scientists. Amerika Serikat: Iowa State University Press. Huntingford F. 1984. The Study of Animal Behaviour. London: Chapman and Hall. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2009. Macaca fascicularis. http://www.iucnredlist.org/details/12551/0 [2 Juni 2009]. Iskandar E. 1998. Studi Tingkah Laku Pasangan Macaca nemestrina dan Macaca fascicularis Dewasa di PSSP LP-IPB, Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Iskandar E, SD Riendriasari, W Sinaga. 2009. Dua Dekade Penangkaran Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821): Tinjauan Aspek Populasi, Habitat dan Manajemen. Laporan Penelitian. Bogor: Pusat Studi Satwa Primata LPPM IPB. Kappeler PM, C Schaik van. 2004. Sexual Selection in Primates: New and Comparative Perspectives. Massachusetts: Cambridge University Press. Khadriana F. 2005. Pola Aktivitas Harian Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Bandung Jawa Barat [tesis]. Bandung: Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Lekagul B, JA McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Thailand: Association for the Conservation of Wildlife. Martin P, P Bateson. 1993. Measuring Behaviour: an Introductory Guide. Massachussetts: Cambridge University Press. Masyud B. 1995. Pengantar Biologi Reproduksi Pada Satwaliar. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Medway L. 1978. The Wild Mammals of Malaya (Peninsular Malaysia) and Singapore Second Edition. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: Universitas Indonesia. Napier JR, PH Napier. 1985. The Natural History of Primates. Massachusetts: The MIT Press. Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Priatna B. 2003. Tingkah Laku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang: Studi Kasus di Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Poole T. 1985. Tertiary Level Biology: Social Behaviour in Mammals. New York: Blackie & Son Ltd. Rameiyanti D, AR Purnama. 2008. Kuota Monyet Ekor Panjang Terus Meningkat. http://www.profauna.org/content/id/berita/2008/monyet_ macaca_fascicularis.html#top [2 Juni 2009]. Romauli S. 1993. Studi Konservasi Vegetasi di Habitat Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Santoso N. 1992. Analisis Habitat dan Potensi Pakan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Pulau Tinjil. Media Konservasi V (1): 5-9. _________. 1993. Studi Populasi dan Perilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Pulau Tinjil, Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Soehartono T, A Mardiastuti. 2003. Jakarta: Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. JICA (Japan International Cooperation Agency). Sophia RF. 1999. Studi Variasi Penggunaan Waktu Berdasarkan Status Sosial Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Hutan Konservasi HTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Sugiharto G. 1992. Studi Perilaku Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Supriatna J, HE Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suyanto AM, I Yoneda, Maryanto, Mahadaratunkamsi, J Sugardjito. 2002. Checklist of the Mammals of Indonesia. Bogor: LIPI-JICA-PHKA Joint Project for Biodiversity Conservation in Indonesia. Tanudimadja K, S Kusumamihardja. 1985. Perilaku Hewan Ternak. Bogor: Jurusan Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Tanudimadja K. 1987. Buku Penuntun Kuliah Ethologi. Bogor: School of Environmental Conservation Management. Widiyanti DR. 2001. Aktivitas Harian Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) dan Pengaruhnya Terhadap Pengelolaan Lahan Hutan Rakyat: Studi Kasus di Dusun Nyemani, Desa Sidoharjo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Wodwicka-Tomaszewska B, TD Chaniago, IK Sutama. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produktivitas Ternak di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Yansyah E. 1993. Studi Perilaku Sosial dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Kandang Terbuka (Free Ranging) Pusat Studi Satwa Primata IPB, di Darmaga, Bogor [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Yusuf TL. 1998. Penentuan Waktu Kawin dan Hubungannya dengan Gejala Estrus pada Macaca fascicularis. Jurnal Primatologi Indonesia 2 (1):1-4. LAMPIRAN Lampiran 1. Dokumentasi Unit Contoh Pengamatan (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) Gambar 30 Unit contoh pengamatan. Ket: (a) jantan α; (b) jantan β1; (c) jantan β2; (d) jantan γ1; (e) jantan γ2; (f) betina D1; (g) betina D2; (h) betina E1; (i) betina E2. Lampiran 2. Rekapitulasi Perilaku Harian Monyet Ekor Panjang Tabel 8 Rekapitulasi perilaku harian monyet ekor panjang Status sosial Makan Minum Berpindah α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 2 1 2 2 7 3 1 - 5 9 6 5 1 6 8 5 2 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 3 1 2 2 2 2 5 2 - 6 3 1 4 1 6 5 1 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 5 3 5 1 3 8 3 4 - 4 5 5 4 1 3 12 3 - α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 1 2 3 2 3 5 1 2 1 1 - 7 2 5 5 4 9 14 3 2 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 3 2 3 2 3 1 - 1 - 5 2 1 4 3 4 5 2 - Istirahat Grooming Agonistik Total 5 8 3 4 1 2 4 2 1 1 2 3 - 1 1 2 - 14 19 10 12 2 14 22 10 4 3 3 1 3 1 2 3 3 2 1 1 - 2 1 1 1 1 - 14 8 3 11 3 5 11 15 5 3 4 1 1 1 1 3 1 1 4 2 - 2 1 1 2 1 - 13 14 11 7 3 7 29 9 5 1 3 4 1 2 2 1 1 - 1 - 1 1 1 - 11 6 12 10 8 15 22 5 4 1 5 4 2 1 1 4 1 2 1 2 - 1 2 - 9 10 5 10 6 9 14 3 2 010709 020709 030709 010809 020809 030809 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 1 1 2 2 1 2 1 - 1 1 2 - 3 6 1 7 3 2 4 1 8 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 4 4 3 2 1 5 5 2 1 1 1 - 8 8 4 5 2 7 10 2 7 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 1 3 2 2 1 4 5 2 - 1 - 6 4 4 5 1 5 9 2 4 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 1 3 1 2 1 2 - 1 1 - 4 4 2 4 2 4 10 4 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 6 7 2 2 4 7 1 - - 4 6 1 2 4 7 3 1 α β1 β2 γ1 4 2 2 1 7 3 1 6 3 1 3 5 3 2 1 - 2 1 2 1 1 - 4 13 4 14 10 9 8 2 10 2 4 5 2 3 2 4 2 3 1 1 4 1 - 2 1 - 14 17 13 13 6 18 22 4 12 1 1 4 1 2 1 2 1 1 - 1 1 1 - 8 9 11 7 2 11 17 6 6 1 2 5 3 1 2 2 - 1 - 1 1 - 6 8 5 9 7 7 16 2 4 1 5 2 1 3 1 1 1 - 2 1 1 2 1 - 11 20 6 5 1 14 15 5 2 1 5 1 1 2 3 15 5 1 18 040809 060809 070809 080709 090809 γ2 D1 D2 E1 E2 3 1 4 2 - - 2 5 12 2 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 5 2 3 7 2 2 2 1 1 1 1 5 5 1 11 2 3 10 3 2 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 3 4 2 1 1 3 9 2 4 1 3 1 1 1 1 6 6 3 9 4 7 10 2 4 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 1 1 1 6 2 1 1 3 1 1 1 2 1 3 4 1 5 5 7 6 2 4 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 3 1 1 2 4 1 1 1 2 1 1 1 - 7 5 2 4 4 8 7 4 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 9 1 3 1 2 2 3 1 1 2 2 2 7 8 3 7 2 6 8 4 5 4 1 8 1 - 4 - 2 1 - 9 9 29 3 2 2 1 2 6 3 2 2 4 - 1 2 1 3 - 10 15 1 12 8 22 20 3 7 2 7 5 3 2 5 6 1 5 2 - 1 1 - 12 21 10 14 7 19 26 5 14 1 2 5 4 3 9 1 3 1 1 3 1 1 1 1 1 - 7 11 1 14 11 16 23 4 10 1 5 2 3 4 5 3 2 1 1 - 1 1 1 13 13 5 9 12 19 11 8 3 10 7 4 1 4 3 4 1 - 2 1 1 2 1 - 18 29 11 15 5 12 15 7 13 120809 130809 140809 160809 170809 180809 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 2 1 1 3 1 3 2 1 2 1 - 5 11 10 5 7 1 3 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 2 1 3 2 2 - 4 1 1 2 1 6 9 3 9 7 5 1 3 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 2 1 1 - 1 1 1 4 1 - 3 6 1 2 1 1 2 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 1 4 1 1 1 - 6 1 1 4 1 1 2 2 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 2 2 4 3 4 5 3 1 1 - 12 3 2 7 3 3 10 4 2 α β1 β2 γ1 2 4 2 5 - 7 5 3 7 6 4 2 5 1 5 6 1 2 1 2 1 2 - 16 19 2 18 1 13 22 2 6 7 6 2 4 8 11 2 5 5 1 1 1 3 1 - 20 19 7 19 18 25 3 10 1 4 2 1 2 10 3 2 6 2 - 1 2 - 7 14 3 5 0 2 23 8 4 1 1 1 1 1 2 - 1 1 - 8 3 2 9 1 5 4 4 2 2 3 4 1 1 1 1 1 3 - 1 1 1 1 1 - 17 8 7 16 8 9 20 8 4 1 2 1 2 - 1 2 1 - 11 12 7 14 190809 200809 250609 260609 270609 γ2 D1 D2 E1 E2 1 4 4 3 1 - 2 11 5 4 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 1 2 2 3 2 2 2 - 1 1 - 4 6 4 3 2 2 8 2 2 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 2 5 3 5 1 3 7 4 3 1 - 3 8 4 2 1 4 7 2 2 2 4 3 2 6 2 1 2 2 1 - 7 26 16 11 2 3 2 1 1 4 1 3 1 1 1 1 - 7 12 9 8 4 5 15 4 6 1 5 3 3 3 5 2 3 1 2 2 1 1 2 1 1 - 6 19 10 13 2 11 23 10 9 290609 300609 Lampiran 3. Rekapitulasi Perilaku Kopulasi Monyet Ekor Panjang Tabel 9 Rekapitulasi perilaku kopulasi monyet ekor panjang Tanggal 1 2 3 4 6 7 8 9 12 13 14 16 17 18 19 20 25 26 27 29 30 Total α 2 2 1 1 4 1 1 3 2 1 1 1 1 1 22 β1 1 3 1 1 2 3 2 1 3 1 2 20 β2 2 1 2 2 2 - 3 2 14 γ1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 4 1 1 18 γ2 - D1 1 1 1 1 3 1 8 D2 3 2 1 2 1 1 1 11 E1 2 1 1 3 4 2 1 1 2 2 2 1 2 3 2 1 1 31 E2 2 2 1 1 2 1 2 3 3 4 1 2 24 ∑ 10 14 6 8 8 8 2 6 2 6 10 10 2 6 4 2 6 22 8 4 6 148 Lampiran 4. Preferensi lokasi perilaku harian dan seksual A. Preferensi lokasi perilaku harian Tabel 10 Preferensi lokasi perilaku harian Lokasi Status sosial Arboreal 40 84 64 89 48 59 48 38 40 510 α β1 β2 γ1 γ2 D1 D2 E1 E2 Σ Terestrial 182 163 62 151 42 166 325 67 87 1245 B. Preferensi lokasi perilaku seksual Tabel 11 Preferensi lokasi perilaku seksual Individu α β1 β2 γ1 γ2 ∑ D1 D2 E1 E2 D1 D2 E1 E2 D1 D2 E1 E2 D1 D2 E1 E2 D1 D2 E1 E2 Arboreal 2 2 3 4 3 3 5 1 1 8 5 1 38 Terestrial 3 1 1 5 1 1 1 1 2 1 17 Lampiran 5. Preferensi waktu perilaku seksual Tabel 12 Preferensi waktu perilaku seksual Pukul (WIB) 06.00-06.30 06.30-07.00 07.00-07.30 07.30-08.00 08.00-08.30 08.30-09.00 09.00-09.30 09.30-10.00 14.00-14.30 14.30-15.00 15.00-15.30 15.30-16.00 16.00-16.30 16.30-17.00 17.00-17.30 17.30-18.00 ∑ 4 12 7 4 3 5 3 1 5 5 2 9 5 5 1 1 Lampiran 6. Korelasi perilaku seksual terhadap perilaku harian monyet ekor panjang A. Korelasi Perilaku Seksual Terhadap Perilaku Harian Monyet Jantan Tabel 13 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku makan monyet jantan Seksual Seksual Makan Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 1 . 84 ,629(**) ,000 84 Makan ,629(**) ,000 84 1 . 84 ** Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-tailed). H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan jantan tidak signifikan H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan jantan signifikan. Kesimpulan: tolak H0, terima H1 Tabel 14 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku istirahat monyet jantan Seksual Istirahat 1 ,142 . ,196 84 84 Istirahat ,142 1 ,196 . 84 84 H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat jantan tidak signifikan H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat jantan signifikan Kesimpulan: tolak H0, terima H1 Seksual Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Tabel 15 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku berpindah monyet jantan Seksual Seksual Berpindah Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 1 . 84 ,433(**) ,000 84 Berpindah ,433(**) ,000 84 1 . 84 ** Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-tailed). H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah jantan tidak signifikan H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah jantan signifikan Kesimpulan: tolak H0, terima H1 B. Korelasi Perilaku Seksual Terhadap Perilaku Harian Monyet Betina Tidak Bunting Tabel 16 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku makan monyet betina tidak bunting Seksual Seksual Makan Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 1 . 63 -,333(**) ,008 63 Makan -,333(**) ,008 63 1 . 63 ** Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-tailed). H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan betina tidak signifikan H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan betina signifikan Kesimpulan: tolak H0, terima H1 Tabel 17 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku istirahat monyet betina tidak bunting Seksual Seksual Istirahat Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 1 ,220 . ,083 63 63 Istirahat ,220 1 ,083 . 63 63 H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat betina tidak signifikan H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat betina signifikan Kesimpulan: terima H0, tolak H1 Tabel 18 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku berpindah monyet betina tidak bunting Seksual Berpindah Seksual Pearson Correlation 1 -,063 Sig. (2-tailed) . ,621 N 63 63 Berpindah Pearson Correlation -,063 1 Sig. (2-tailed) ,621 . N 63 63 H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah betina tidak signifikan H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah betina signifikan Kesimpulan: terima H0, tolak H1 C. Korelasi Perilaku Seksual Terhadap Perilaku Harian Monyet Betina Bunting Tabel 19 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku makan monyet betina bunting Seksual Seksual Makan Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 1 -,303 . ,182 21 21 Makan -,303 1 ,182 . 21 21 H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat betina tidak signifikan H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat betina signifikan Kesimpulan: terima H0, tolak H1 Tabel 20 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku istirahat monyet betina bunting Seksual Seksual Istirahat Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 1 . 21 ,711** ,000 21 Istirahat ,711** ,000 21 1 . 21 ** Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-tailed). H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan betina tidak signifikan H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan betina signifikan Kesimpulan: tolak H0, terima H1 Tabel 21 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku berpindah monyet betina bunting Seksual Berpindah 1 -,003 . ,990 21 21 Berpindah -,003 1 ,990 . 21 21 H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah betina tidak signifikan H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah betina signifikan Kesimpulan: terima H0, tolak H1 Seksual Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Lampiran 7. Pemetaan pohon di lokasi pengamatan monyet kelompok kandang 3 Tabel 22 Daftar jenis pohon di kelompok kandang 3 Tinggi Tajuk D TT TBC U S 1. Waru 15 1,8 50 8,0 5,0 2. Kalapari 14 1,8 32 3,2 5,7 3. Merbau 30 2,0 30 11,1 2,0 4. Kampis 15 3,5 37 5,9 4,7 5. Waru 12 1,8 40 6,0 5,0 6. Waru 8 2,0 27 3,0 2,0 7. Waru 10 2,0 24 0 5,1 8. Ki ciat 11 3,5 35 0 4,0 9. Ki ciat 5 2,0 22 5 0 10. Ki ciat 15 3,5 31 6,5 2,0 11. Butun 20 4,0 44 11,0 0 12. Ki huru 17 10,0 31 6,9 0 13. Merbau 20 10,0 45 8,4 4,2 14. Waru 9 2,0 30 3,2 5,9 15. Ki ciat 10 4,0 32 4,2 2,0 16. Ki ciat 10 2,5 25 1,5 4,0 17. Ki ciat 10 2,5 28 4,4 4,0 18. Ki huru 18 10,0 42 9,0 3,2 19. Ki ciat 15 5,0 26 3,0 4,2 20. Ki huru 10 5,0 30 5,4 0 21. Ki langir 25 20,0 53 13,7 0 22. Merbau 25 9,0 55 1,0 8,3 23. Albasia 25 2,0 76 6,0 10,0 24. Bayur 15 3,0 66 3,0 5,7 25. Bayur 30 6,0 62 11.5 3,0 26. Renghas 20 4,0 50 2,0 6,0 27. Waru 7 1,8 32 6,2 1,5 28. Ki ara 26 6,0 135 9,0 11,0 29. Ki langir 25 10,0 55 10,5 3,4 30. Ketapang 20 2,0 40 15,0 0 31. Ki langir 30 10,0 73 6,5 1,7 32. Pangku 28 6,0 48 6,8 9,6 33. Ki huru 22 15,0 23 3,0 3,0 34. Ki cau 15 9,0 28 3,5 3,5 35. Kalapari 24 5,0 47 7,4 5,5 36. Ki langir 30 9,0 58 7,1 4,0 Keterangan : TT = Tinggi total (m) TBC = Tinggi bebas cabang (m) DBH = Diameter pohon (cm) U = Panjang tajuk bagian Utara (m) S = Panjang tajuk bagian Selatan (m) B = Panjang tajuk bagian Barat (m) T = Panjang tajuk bagian Timur (m) X = Posisi pohon arah Utara-Selatan (m) Y = Posisi pohon arah Barat-Timur (m) No. Jenis B 8,4 4,8 6,4 6,2 5,3 5,3 0 4,1 5,0 7,0 4,0 6,8 1,0 5,7 3,6 3,1 5,7 4,2 3,6 6,0 5,1 5,0 0 12,0 9,7 6,3 10,0 8,9 10,0 0 7,5 7,4 3,0 3,5 5,5 6,5 T 0 4,8 2,0 1,0 2,0 1,0 10,1 3,2 0 2,0 9,0 0 9,3 3,0 4,0 6,1 4,3 6,2 2,0 1,0 5,4 9,0 4,3 4,0 9,7 5,0 3,3 7,8 8,8 0 10,0 8,5 3,0 3,5 7,5 5,3 Posisi Pohon X Y 0 5 3 5,9 15 15 15 12 10 8 11 22 25 27 25 25 35 50 34 36 50 50 50 52 50 52 80 79 73 85 85 86 87 95 93 81 0 5 -9,4 6 2 2 2 -5 -2 -8 -10 1 0 2 -6 -6 1 2 4 7 -10 -10 -5 -5 0 -1 10 2 10 -5 -5 -5 -5 -7 0 -9 Lampiran 8. Koordinat titik GPS Tabel 23 Koordinat titik GPS No titik 001 Lokasi Balai-balai Ketinggian (m dpl) 27 002 Titik pengamatan 1 (bangku di lapangan) Baskom tempat minum dekat tandan pisang Tempat menggantung tandan pisang Pohon waru dekat tandan 25 27 008 Batang pohon sengon tempat keluar hutan Titik pengamatan 2 (Basecamp) Jalur menuju genset 009 Genset 28 010 Kandang 3 28 003 004 005 006 007 011 Batang pohon huru yang mati 012 Titik Pengamatan 3 (Kandang 3) UTM = Universal Transverse Mercator 26 27 27 28 28 29 23 UTM 0589756 9231750 0589772 9231734 0589785 9231738 0589790 9231736 0589799 9231738 0589787 9231730 0589800 9231722 0589794 9231706 0589773 9231702 0589748 9231714 0589782 9231726 0589737 9231722