PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG

advertisement
PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis Raffles 1821)
DI PENANGKARAN SEMI ALAMI PULAU TINJIL,
KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN
NUR ANITA GUSNIA
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PERILAKU SEKSUAL MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis Raffles 1821)
DI PENANGKARAN SEMI ALAMI PULAU TINJIL,
KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN
NUR ANITA GUSNIA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
NUR ANITA GUSNIA. Perilaku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis Raffles 1821) di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Di bawah
bimbingan: ACHMAD MACHMUD THOHARI dan ENTANG ISKANDAR.
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) merupakan salah
satu jenis primata yang belum dilindungi dan banyak dimanfaatkan oleh manusia.
Rameiyanti dan Purnama (2008) mengatakan bahwa hasil penangkapan dari alam
yang dijual secara bebas cenderung melebihi kuota tangkap yang telah ditentukan
oleh pemerintah sehingga dapat mengurangi kelestarian spesies ini. Oleh karena
itu perlu dilakukan suatu upaya untuk menanggulangi kepunahan spesies ini
dengan usaha konservasi seperti mendirikan penangkaran. Salah satu aspek
terpenting dalam penangkaran yang berperan dalam meningkatkan populasi dan
produktivitas satwa adalah aspek reproduksi. Dalam aspek reproduksi, terdapat
salah satu bagian penting yang dapat menentukan keberhasilan peningkatan
populasi satwa, yaitu perilaku seksual. Dengan mengetahui perilaku seksual satwa
yang ditangkarkan dapat memberikan arahan pada tindakan dan bentuk
pengelolaan yang sesuai guna menghasilkan produksi satwa yang sesuai harapan
sehingga menunjang keberhasilan usaha penangkaran. Tujuan dari penelitian ini
antara lain untuk mengetahui perilaku seksual yang ditunjukkan oleh monyet ekor
panjang di penangkaran semi alami Pulau Tinjil dan pengaruh perilaku seksual
terhadap perilaku harian monyet ekor panjang.
Penelitian berlokasi di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian diawali pada tanggal 5-10 Mei 2009
dengan penentuan lokasi selama pengamatan pendahuluan dengan metode transek
garis. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2009. Data perilaku
diambil dengan metode behaviour sampling pada waktu aktif monyet pukul
06.00-10.00 WIB dan pukul 14.00-18.00 WIB. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa monyet di kelompok kandang 3 menghabiskan 20% waktu aktifnya untuk
makan, 3,9% untuk minum, 39,6% untuk berpindah, 21,4% untuk istirahat, 3,7%
untuk grooming, 4,6% untuk agonistik dan 6,8% untuk aktivitas seksual. Posisi
monyet dalam hierarki sosial berkorelasi positif dengan frekuensi perilaku seksual
jantan dan berkorelasi negatif dengan frekuensi perilaku seksual betina. Terdapat
tipe-tipe perilaku seksual pada monyet ekor panjang. Tipe dengan frekuensi paling
tinggi yaitu mendekati-memeriksa kelamin. Pada monyet jantan, perilaku seksual
berkorelasi positif dengan perilaku makan, berpindah dan istirahat serta
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku makan dan berpindah.
Pada monyet betina yang tidak sedang bunting, perilaku seksual berkorelasi
negatif dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku makan. Pada
monyet betina yang sedang bunting, perilaku seksual berkorelasi negatif dengan
perilaku makan serta berkorelasi positif dan memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap perilaku istirahat.
Kata kunci : Perilaku seksual, Monyet ekor panjang, Pulau Tinjil.
SUMMARY
NUR ANITA GUSNIA. Sexual Behavior of Long-tailed Macaque (Macaca
fascicularis Raffles 1821) in Semi Natural Habitat Breeding of Tinjil Island.
Department of Forest Resources Conservation and Ecotourism. Faculty of
Forestry. Bogor Agricultural University. Under supervision of ACHMAD
MACHMUD THOHARI and ENTANG ISKANDAR.
Long-tailed macaque (Macaca fascicularis Raffles 1821) is one of
primate species that has not been protected in Indonesia. The wild caught tended
to exceed the wild capture quotas that have been set by the government
(Rameiyanti & Purnama 2008). This wild capture can reduce the sustainability of
this species, so it should be an effort to prevent extinction by conservation effort
such as establishing a captive breeding. One of the most important aspect to the
succees of captive breeding is animal reproduction, especially sexual behavior. By
knowing the sexual behavior of the macaque, it can be known about the
appropriate form of management in order to produce a suitable animal production.
The objectives of this study were to determine sexual behavior of the long-tailed
macaque in Semi Natural Habitat Breeding of Tinjil Island (SNHBTI) and the
influences of sexual behavior to daily behavior of long-tailed macaque.
This research was conducted in SNHPTI, Pandeglang, Banten from June
to August 2009. The study started on 5 to 10 May 2009 to determine location
during preliminary observations by establishing the line transect method.
Behavioral data was recorded using behavior sampling method during their active
time at 06.00-10.00 WIB and 14.00-18.00 WIB.
There was 29 group of the macaques in SNHBTI but only group 3 was
observe for this study. The sample unit consist of 5 males and 4 females. The
result shows that long-tailed macaques in group 3 spent 20% of their active time
to eat, 3,9% drinking, 39,6% moving, 21,4% resting, 3,7% grooming, 4,6%
agonistic and 6,8% for sexual activity. Sexual activity is frequently done in the
morning. This activity also frequently taken place on the trees. The position of the
monkey in the social hierarchy positively correlated with the frequency of male
sexual behavior and negatively correlated with the frequency of female sexual
behavior. There are types of sexual behavior in long-tailed macaque. The highest
frequency was approach-genital inspection. Sexual behavior in males have
positively correlated with eating, moving, and resting behavior, and also have a
significant influence on eating and moving behavior. Sexual behavior at nonpregnant females have negatively correlated and give significant influences to
eating behavior. Sexual behavior at pregnant female has negatively correlated
with eating behavior, positively correlated and give significant influences to
resting behavior.
Keywords: Sexual behaviour, Long-tailed macaque, Tinjil Island.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perilaku Seksual
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Penangkaran Semi
Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten adalah benar-benar
hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah
digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi.
Bogor, Februari 2010
Nur Anita Gusnia
NIM E34052786
Judul Skripsi
: Perilaku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis
Raffles 1821) di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil,
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
: Nur Anita Gusnia
: E34052786
Nama
NIM
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA)
(Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si)
NIP: 19480208.198001.1.001
NIP: 19670619.200701.1.002
Mengetahui:
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor,
(Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.)
NIP: 19580915.198403.1.003
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini yaitu
Perilaku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di
Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA dan Bapak Dr. Ir Entang Iskandar, M.Si
selaku dosen pembimbing. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Pusat Studi Satwa Primata yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk melaksanakan penelitian di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik pada isi maupun
teknis penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.
Wassalamuaikum wr.wb.
Bogor, Februari 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada tanggal 25
Agustus 1988. Penulis adalah putri kedua dari pasangan Samsul
Hidayat, SH dan Yeni Apriyanti, S.Pd. Penulis menempuh
pendidikan di SD Negeri Kejaksaan, Rangkasbitung pada tahun
ajaran 1994-2000. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP
Negeri 2 Bekasi pada tahun ajaran 2000-2003. Beranjak dari sekolah menengah
pertama, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Bogor pada program
Akselerasi yaitu pada tahun ajaran 2003-2005. Pada tahun 2005, penulis diterima
di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB)
dengan kurikulum mayor minor. Setelah satu tahun di Tingkat Persiapan Bersama
(TPB), penulis tercatat sebagai mahasiswa mayor Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
dengan minor Agroforestry.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam organisasi
kemahasiswaan. Pada tahun 2005-2006, penulis menjadi bendahara Departemen
Pengembangan Sumberdaya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB.
Pada tahun 2006-2007, penulis menjadi anggota Kelompok Pemerhati Mamalia
(KPM) dan staf Biro Infokom Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). Pada tahun 2007-2008, penulis menjadi
Bendahara Umum BEM Fakultas Kehutanan, anggota KPM dan staf Biro Sosial
Lingkungan HIMAKOVA.
Penulis telah melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Resor
Pemangkuan Hutan Baturaden dan Cilacap, Praktek Umum Konservasi Eksitu
Satwaliar di Kebun Binatang Ragunan dan Kebun Tanaman Obat Karyasari, dan
Praktek Kerja Lapang Profesi di Taman Nasional Bali Barat. Penulis melakukan
penelitian mengenai Perilaku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis
Raffles 1821) di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil di bawah bimbingan
Bapak Dr. Ir. H. Achmad Machmud Thohari, DEA dan Bapak Dr. Ir. Entang
Iskandar, M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur tak hentinya saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
segala kekuatan, kesempatan dan rezeki yang telah diberikan kepada saya
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Banyak pihak
yang telah terlibat dalam penulisan karya tulis ilmiah ini. Tidak ada kata yang
lebih tepat selain terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam
membantu penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1.
Kedua orang tua tercinta serta kakek dan nenek untuk segala limpahan kasih
sayang, waktu, perhatian dan fasilitas yang telah diberikan.
2.
Kakakku tersayang, Meditha Yukarani, yang selalu memberikan semangat
dan motivasi untuk melakukan yang terbaik.
3.
Komisi pembimbingan; Bapak Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA dan
Bapak Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si. Terima kasih atas kesediaannya dalam
meluangkan waktu untuk membimbing mahasiswa bimbingannya sehingga
skripsi ini dapat rampung dengan baik.
4.
Dosen-dosen penguji dalam Ujian Komprehensif; Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf
Sudo Hadi, M.Agr dari Departemen Hasil Hutan, Ibu Dra. Nining
Puspaningsih, M.Si dari Departemen Manajemen Hutan dan Ibu Dr. Ir. Elis
Nina Herliyana, MS. dari Departemen Silvikultur.
5.
Dosen-dosen pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Tingkat Persiapan Bersama, yang telah
memberikan banyak ilmu dan wawasan selama menuntut ilmu di IPB.
6.
Septiantina Dyah Riendriasari, S.Hut sebagai pembimbing lapang yang telah
membimbing selama studi pendahuluan dan persiapan teknis di lapangan.
7.
Tubagus Muhammad Maulana Yusuf sebagai teman teristimewa yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan masukan yang berarti
dalam penulisan karya ilmiah ini serta bimbingannya dalam pembuatan peta
dan diagram profil pohon.
8.
Seluruh staf dan pimpinan Pusat Studi Satwa Primata atas kesediaannya
menerima saya untuk melakukan penelitian di Penangkaran Semi Alami
Pulau Tinjil juga fasilitas-fasilitas yang telah diberikan sehingga dapat
memudahkan dalam pengambilan dan pengolahan data.
9.
Sahabat-sahabat baikku; Maria Fatima Conchita Wawo, Ajeng Kartini
Rahmania, Khairunnisa Nurul Firdausi, Fitri Kartika Sari, Rentry Augusti
Nurbaity, Dian Thursina, Christina Eka Wardhani dan Noviana Pramitasari.
10. Staf-staf lapang di Pulau Tinjil atas segala bantuan juga kesediannya menjadi
responden dalam wawancara.
11. Keluarga besar TARSIUS 42. Semoga persahabatan dan silaturahmi kita tetap
terjalin meskipun sudah tidak di kampus lagi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang
telah membantu penulisan skripsi ini dan tidak bisa ditulis satu persatu. Sekali
lagi, terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan membalas segala
kebaikan yang telah diberikan.
Bogor, Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................
ii
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
iii
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................
1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................
1
2
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taksonomi Macaca fascicularis .................................................
2.2 Morfologi dan Ekologi M. fascicularis.......................................
2.3 Penyebaran Populasi M. fascicularis ..........................................
2.4 Perilaku Harian M. fascicularis ..................................................
2.4.1 Perilaku makan ..............................................................
2.4.2 Perilaku grooming ..........................................................
2.4.3 Perilaku agonistik ..........................................................
2.4.4 Perilaku berpindah .........................................................
2.4.5 Perilaku kawin ................................................................
2.5 Biologi Reproduksi .....................................................................
2.6 Perilaku Reproduksi ....................................................................
2.7 Status Konservasi M. fascicularis ...............................................
3
3
4
5
6
6
7
7
7
8
9
11
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................
3.2 Bahan dan Alat Penelitian...........................................................
3.3 Data yang Dikumpulkan
3.3.1 Data primer ....................................................................
3.3.2 Data sekunder ................................................................
3.4 Unit Contoh Pengamatan ............................................................
3.5 Metode Pengambilan Data ..........................................................
3.5.1 Pengamatan pendahuluan ..............................................
3.5.2 Penelitian .......................................................................
3.6 Analisis Data ...............................................................................
BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Luas Kawasan ............................................................
4.2 Topografi dan Geologi ................................................................
4.3 Tanah dan Air .............................................................................
12
12
12
13
13
13
13
15
16
17
17
17
4.4 Iklim ............................................................................................
4.5 Sejarah dan Status Kawasan .......................................................
4.6 Sarana dan Prasarana Kawasan ...................................................
4.7 Kondisi Flora dan Fauna
4.7.1 Flora ................................................................................
4.7.2 Fauna ...............................................................................
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Lokasi Pengamatan .......................................................
5.2 Kelompok Monyet Ekor Panjang di Pulau Tinjil .......................
5.2.1 Struktur monyet kelompok kandang 3 .............................
5.2.2 Ciri morfologi ..................................................................
5.3 Perilaku Harian Monyet ..............................................................
5.4 Perilaku Seksual ..........................................................................
5.4.1 Jenis aktivitas seksual monyet ekor panjang ...................
5.4.2 Preferensi waktu dan lokasi perilaku seksual ..................
5.4.3 Aktivitas seksual yang terjadi sesama jantan ...................
5.4.4 Aktivitas seksual pada monyet remaja dan anak .............
5.5 Pengaruh Perilaku Seksual Terhadap Perilaku Harian Monyet
Ekor Panjang .............................................................................
5.5.1 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku makan .......
5.5.2 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku istirahat .....
5.5.3 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku berpindah ..
5.6 Pengelolaan Reproduksi Monyet Ekor Panjang di Penangkaran
Semi Alami Pulau Tinjil..............................................................
18
18
19
20
20
21
24
25
26
26
40
43
48
49
50
50
51
52
53
54
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan .................................................................................
6.2 Saran ...........................................................................................
59
60
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
61
LAMPIRAN ..................................................................................................
64
DAFTAR TABEL
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Halaman
Hierarki sosial unit contoh individu yang diamati ..................................
Jenis-jenis pohon yang berada di lokasi pengamatan .............................
Ukuran kelompok monyet ekor panjang kandang 3 ...............................
Hierarki sosial dan ciri morfologi obyek penelitian ................................
Variasi tahap perilaku seksual monyet jantan terhadap monyet betina ..
Introduksi monyet ekor panjang ke Pulau Tinjil .....................................
Pemanenan monyet ekor panjang dari Pulau Tinjil ................................
Rekapitulasi perilaku harian monyet ekor panjang .................................
Rekapitulasi perilaku kopulasi monyet ekor panjang .............................
Preferensi lokasi perilaku harian .............................................................
Preferensi lokasi perilaku seksual ...........................................................
Preferensi waktu perilaku seksual ...........................................................
Korelasi perilaku seksual terhadap perilaku makan monyet jantan ........
Korelasi perilaku seksual terhadap perilaku istirahat monyet jantan ......
Korelasi perilaku seksual terhadap perilaku berpindah monyet jantan ...
Korelasi perilaku seksual dengan perilaku makan monyet betina tidak
bunting ....................................................................................................
Korelasi perilaku seksual dengan perilaku istirahat monyet betina tidak
bunting ....................................................................................................
Korelasi perilaku seksual dengan perilaku berpindah monyet betina
tidak bunting ...........................................................................................
Korelasi perilaku seksual dengan perilaku makan monyet betina bunting
Korelasi perilaku seksual dengan perilaku istirahat monyet betina
bunting ....................................................................................................
Korelasi perilaku seksual dengan perilaku berpindah monyet betina
bunting ....................................................................................................
Daftar jenis pohon di kelompok kandang 3 ............................................
Koordinat titik GPS .................................................................................
13
22
25
26
47
54
55
66
71
72
72
73
74
74
74
75
75
75
76
76
76
77
78
DAFTAR GAMBAR
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
Halaman
Inventarisasi monyet ekor panjang dengan metode transek jalur ...........
Peta skematik Pulau Tinjil ......................................................................
Kondisi lokasi pengamatan .....................................................................
Peta lokasi penelitian monyet ekor panjang di kelompok kandang 3 .....
Diagram profil habitat kelompok monyet kandang 3 .............................
Titik-titik pengamatan .............................................................................
Grafik frekuensi perilaku harian monyet ekor panjang ..........................
Perilaku makan monyet ekor panjang .....................................................
Grafik rata-rata frekuensi makan monyet ekor panjang..........................
Garis kecenderungan perilaku makan pada monyet ekor panjang ..........
Perilaku minum monyet ekor panjang ....................................................
Grafik rata-rata frekuensi minum monyet ekor panjang .........................
Perilaku berpindah monyet ekor panjang................................................
Grafik rata-rata frekuensi berpindah monyet ekor panjang ....................
Perilaku istirahat monyet ekor panjang ...................................................
Grafik rata-rata frekuensi istirahat monyet ekor panjang .......................
Grafik rata-rata frekuensi grooming monyet ekor panjang .....................
Perilaku grooming individu D2 terhadap anak ........................................
Perilaku agonistik antara D1 dengan β1 ...................................................
Grafik rata-rata frekuensi agonistik monyet ekor panjang......................
Grafik rata-rata frekuensi perilaku seksual monyet ekor panjang ..........
Grafik frekuensi penerimaan jantan oleh betina dalam kopulasi ............
Garis kecenderungan aktivitas seksual pada monyet ekor panjang ........
Jantan α mendekati betina .......................................................................
Posisi jantan dan betina dalam aktivitas intromisi ..................................
Jantan α melakukan grooming terhadap E1 .............................................
Frekuensi jenis-jenis aktivitas seksual monyet ekor panjang .................
Preferensi waktu aktivitas seksual monyet ekor panjang........................
Proses penatoan pada monyet ekor panjang ...........................................
Unit contoh pengamatan .........................................................................
13
14
21
23
24
27
28
29
31
32
33
33
34
35
36
36
37
38
38
40
40
41
42
44
45
46
46
49
56
65
DAFTAR LAMPIRAN
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Halaman
Dokumentasi unit contoh pengamatan ...................................................
Rekapitulasi perilaku harian monyet ekor panjang ................................
Rekapitulasi perilaku kopulasi monyet ekor panjang.............................
Preferensi lokasi perilaku harian dan seksual.........................................
Preferensi waktu perilaku seksual ..........................................................
Korelasi perilaku seksual terhadap perilaku harian monyet ekor panjang
Pemetaan pohon di lokasi pengamatan monyet kelompok kandang 3 ...
Koordinat titik GPS ................................................................................
65
66
71
72
73
74
77
78
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Primata merupakan ordo fauna yang sangat beragam di Indonesia. Dari
sekitar 195 jenis primata di dunia, 40 jenis ditemukan di Indonesia dan 24 jenis
diantaranya merupakan satwa endemik negeri ini. Di antara 40 jenis primata
tersebut, 32 jenis diantaranya telah dilindungi oleh Undang-undang Perlindungan
dan Pelestarian Alam, yang berarti 80% dari total jenis primata yang ada di
Indonesia (Supriatna & Wahyono 2000). Kekayaan alam dalam bentuk
keanekaragaman jenis primata tersebut sangat menguntungkan bagi penduduk
Indonesia karena dapat memberikan banyak manfaat bagi kelangsungan hidup
mereka.
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) merupakan salah
satu jenis satwa primata yang belum dilindungi di Indonesia akan tetapi banyak
dimanfaatkan oleh manusia. Jenis tersebut dimanfaatkan dalam penelitian
biomedis seperti menjadi hewan percobaan di laboratorium dalam pembuatan
vaksin dan pembiakan sel, pengganti induk tangkar, obyek ekowisata, hewan
peliharaan, topeng monyet, bahkan bahan makanan. Akan tetapi, hasil
penangkapan dari alam yang dijual secara bebas cenderung melebihi kuota
tangkap yang telah ditentukan oleh pemerintah sehingga dapat mengurangi
kelestarian spesies ini (Rameiyanti & Purnama 2008). Oleh karena itu, perlu
dilakukan suatu upaya untuk menjaga kelestarian spesies ini dengan usaha
konservasi seperti mendirikan penangkaran baik secara insitu maupun eksitu.
Penangkaran semi alami Pulau Tinjil merupakan suatu lahan berupa pulau
yang digunakan untuk memfasilitasi kegiatan perkembangbiakan spesies monyet
ekor panjang secara eksitu untuk berbagai kepentingan, baik di bidang ekologi
maupun sosial ekonomi. Adanya kecenderungan peningkatan jumlah kuota
tangkap monyet ekor panjang dari alam dan berkurangnya habitat spesies ini di
Indonesia (Rameiyanti & Purnama 2008; Supriatna 2000) menyebabkan
diperlukannya suatu upaya konservasi untuk menambah populasi monyet tersebut
di luar habitat alaminya. Keberadaan penangkaran monyet ekor panjang di Pulau
Tinjil diharapkan dapat meningkatkan jumlah populasi monyet ini di Indonesia
sehingga mengurangi ancaman kepunahannya dan memenuhi kebutuhan pasar
baik nasional maupun internasional.
Salah satu aspek terpenting dalam penangkaran yang berperan dalam
meningkatkan populasi dan produktivitas satwa adalah aspek reproduksi. Dalam
aspek reproduksi, terdapat salah satu bagian penting yang dapat menentukan
keberhasilan peningkatan populasi satwa, yaitu perilaku seksual. Dengan
mengetahui perilaku seksual satwa yang ditangkarkan maka dapat memberikan
arahan pada tindakan dan bentuk pengelolaan yang sesuai guna menghasilkan
produksi satwa yang sesuai harapan sehingga menunjang keberhasilan suatu usaha
penangkaran. Oleh karena itu, dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui
perilaku seksual monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Penangkaran Semi
Alami Pulau Tinjil.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain :
a. Mengetahui perilaku seksual yang ditunjukkan oleh monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) di penangkaran semi alami Pulau Tinjil.
b. Mengetahui pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku harian monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis) di penangkaran semi alami Pulau Tinjil.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam
upaya perbaikan pengelolaan reproduksi monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis Raffles 1821) di penangkaran semi alami Pulau Tinjil pada khususnya
dan di penangkaran primata pada umumnya sehingga dapat meningkatkan
kesuksesan perkembangbiakannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taksonomi Macaca fascicularis
Monyet ekor panjang memiliki klasifikasi ilmiah seperti yang dipaparkan
Napier dan Napier (1985) sebagai berikut :
Kerajaan
: Animalia
Kelas
: Mamalia
Bangsa
: Primata
Sub-bangsa
: Anthropoda
Suku
: Cercopithecidae
Marga
: Macaca
Jenis
: Macaca fascicularis Rafles 1821
Sub-jenis
: M. f. atriceps, M. f. aurea, M. f. condorensis, M. f. fascicularis,
M. f. fusca, M. f. karimondjawae, M. f. lasiae, M. f.
philippinensis, M. f. tua, M. f. umbrosa (Lekagul & McNeely
1977; IUCN version 2009.1).
Spesies ini memiliki nama lain/sinonim : monyet ekor panjang (Indonesia),
long-tailed macaque (Inggris), macaque de buffon (Perancis), macaca cangrejera
(Spanyol), javaapa atau krabbmakak (Swedia).
2.2 Morfologi dan Ekologi M. fascicularis
Lekagul dan McNeely (1977) memaparkan bahwa monyet ekor panjang
memiliki dua warna utama, yaitu coklat keabu-abuan dan coklat kemerahmerahan dengan gradasi warna yang besar. Perbedaan warna bervariasi sesuai
dengan umur, musim dan lokasi, dimana populasi monyet yang hidup di hutan
umumnya berwarna lebih gelap dibandingkan monyet yang hidup di tepi laut. Hal
ini dipengaruhi oleh efek pemutihan (bleaching effects) dari udara garam dan sinar
matahari langsung.
Medway (1978) menyebutkan bahwa monyet ekor panjang umumnya
berwarna coklat mengkilap (grizzled olive brown), kulit telanjang pada wajah,
telapak tangan dan kaki berwarna coklat kemerah-mudaan. Anak yang baru lahir
berambut sangat tipis dengan puncak kepala berwarna gelap. Ukuran kepala
sampai badan 350-455 mm, ekor 400-565 mm dan memiliki bobot badan 1,5-5,0
kg. Pada hewan yang sudah tua ekor kemungkinan lebih pendek akibat
kecelakaan.
Menurut Hoeve (2003), monyet ekor panjang hidup berkelompok sangat
besar, terkadang sampai dengan 300-400 ekor sebelum terjadi pemecahan. Jumlah
rata-rata kelompok antara 30-60 ekor. Apabila dua kelompok saling bertemu,
timbul ketegangan dan perkelahian selama 15-30 menit dimana pada monyet ekor
panjang hanya mengayun-ayunkan dahan dan memperlihatkan gigi. Jantan
berukuran lebih besar dan lebih galak daripada betina.
Satwa yang memiliki hierarki paling atas biasanya seekor jantan dewasa
yang disebut alpha male. Peringkat tertinggi dari satwa disebut sebagai satwa
dominan (dominant animal) dan peringkat paling bawah disebut juga sebagai
satwa kalahan (subordinate animal) (Chalmer 1980, diacu dalam Yansyah 1993).
2.3 Penyebaran Populasi M. fascicularis
M. fascicularis tersebar mulai dari Indochina, Thailand, Myanmar, Philipina
dan Indonesia. Di Indonesia, spesies ini tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan pulau-pulau kecil di sekitarnya
(Lekagul & McNeely 1977; Suyanto et al. 2002).
Menurut Supriatna dan
Wahyono (2000), penyebaran monyet ekor panjang meliputi daratan Sumatera,
Nias, Kep. Lingga, Kep. Riau, P. Simalur, Kep. Natuna, Kep. Anabas, Kep.
Tambelan, Bangka, Belitung, Kep. Karimata, daratan Kalimantan dan pulau
sekitarnya, Jawa, Matasari, Bawean, Bali, Lombok, P. Maratua, Sumba, Sumbawa
dan Flores.
Supriatna et al. (2001) diacu dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003)
mengungkapkan bahwa monyet ekor panjang merupakan satwa primata yang
memiliki kelimpahan terbesar di Indonesia dengan jumlah lebih kurang 20 juta
individu untuk subspesies fascicularis saja. Mereka hidup berkelompok terdiri dari
15-40 ekor di hutan sekunder dan hutan nipah mangrove sepanjang sungai.
Ukuran populasi optimal yaitu jumlah individu yang harus ada berdasarkan kelas
umur dan komposisi jenis kelamin, yang menjamin kelestarian usaha penangkaran
berdasarkan azas kelestarian ekologis dan ekonomis (Priyono 1998). Wheatley
(1980) diacu dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan bahwa
nisbah kelamin (sex ratio) rata-rata M.fascicularis adalah 1 jantan dewasa untuk
3,3 betina dewasa, sedangkan menurut Hadinoto (1993), nisbah kelamin monyet
ekor panjang dalam kandang penangkaran adalah 1:16,65.
2.4 Perilaku Harian M. fascicularis
Menurut Odum (1993), perilaku dalam arti yang luas merupakan tindakan
yang tegas dari suatu organisme untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan
lingkungan guna menjamin hidupnya. Sedangkan Alikodra (2002) menjelaskan
bahwa perilaku adalah kebiasaan-kebiasaan satwaliar dalam aktivitas hidupnya,
seperti sifat kelompok, waktu aktif, wilayah pergerakan, cara mencari makan, cara
membuat sarang, hubungan sosial, tingkah laku bersuara, interaksi dengan spesies
lainnya, cara kawin dan melahirkan anak. Tanudimadja (1987) menjelaskan fungsi
utama perilaku yaitu untuk memungkinkan seekor hewan untuk menyesuaikan diri
terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam.
Beberapa sebab umum dari perilaku antara lain:
a. Organisasi hereditas (turun-temurun) umum suatu spesies yang menentukan
pola perilakunya.
b. Terdapat atau tidak adanya rangsangan primer yang menghasilkan perilaku.
Perlu adanya perubahan dalam keadaan, baik dari luar maupun dari dalam
tubuh untuk menimbulkan tingkah laku.
c. Hewan-hewan membentuk perilakunya karena proses belajar dan berperilaku
sesuai dengan apa yang mereka telah peroleh dari perjalanan.
Pada penelitian yang telah dilakukan di Taman Hutan Raya Ir. Djuanda,
monyet ekor panjang di kawasan tersebut mempunyai waktu aktif pada pukul
09.00-10.00 WIB dengan rata-rata jumlah individu aktif 17 ekor dan siang hari
pada pukul 15.00-16.00 WIB dengan rata-rata jumlah individu aktif 14 ekor.
Pemakaian waktu harian paling besar digunakan untuk perilaku bersembunyi
45%, lalu diikuti perilaku lokomosi 24%, makan-minum 13%, istirahat 12% dan
sosial 6% (Khadriana 2005).
Menurut Widiyanti (2001), penggunaan waktu dalam satu hari pada monyet
ekor panjang yaitu perilaku bergerak sebanyak 28% (145 menit) yang dilakukan
sepanjang hari, perilaku makan sebanyak 25% (130 menit) pada rentang waktu
pukul 07.00-15.00 WIB, perilaku istirahat sebanyak 21% (105 menit) yang
dilakukan pada periode aktif monyet tersebut, perilaku mencari kutu atau
grooming 15% (75 menit) yang dilakukan saat sedang istirahat bersama, perilaku
main sebanyak 9% (45 menit) yang biasanya dilakukan oleh anakan, dan aktivitas
lainnya sebanyak 2% (10 menit). Waktu aktif monyet ekor panjang adalah pukul
05.00-17.00 WIB, sedangkan waktu mulai keluar dari lokasi tidur adalah pukul
05.30 WIB.
2.4.1 Perilaku makan
Aktivitas makan akan dimulai ketika monyet berada di dekat makanan, bisa
dari pohon yang bersangkutan atau pohon lain di dekatnya. Aktivitas makan dapat
dibagi dalam tiga tahapan, yaitu mengambil makanan, memasukkan ke mulut dan
mengunyah. Jenis yang paling banyak dimakan yaitu Ficus benjamina (31,7%),
Eugenea densiflora (11,5%), Gnetum gnemon (11,4%), Terminalia catappa
(11%), Hibiscus teleaceus (10,5%) dan Baringtonia asiatica (9,3%). Bagian yang
paling banyak dimakan yaitu daun muda (48%), buah (40,4%), bunga (5,9%) dan
bagian lain (5,7%). Waktu makan berkisar antara pukul 08.00-11.00 WIB dan
16.00-17.00 WIB (Sugiharto 1992).
2.4.2 Perilaku grooming
Yansyah (1993) memaparkan bahwa individu betina lebih banyak
menelisik, baik dengan sesama betina maupun dengan individu jantan
dibandingkan dengan individu jantan menelisik individu betina. Aktivitas
menelisik individu betina oleh jantan biasanya dilakukan sebelum individu jantan
melakukan aktivitas seksual atau ketika individu jantan sedang istirahat diantara
sejumlah individu betina. Grooming lebih sering dilakukan individu subordinat
kepada individu yang mempunyai peringkat sosial lebih tinggi.
2.4.3 Perilaku agonistik
Hadinoto (1993) memaparkan perilaku agonistik meliputi perkelahian,
pengejaran dan pertengkaran. Perilaku ini terjadi baik antara individu jantan
dengan betina, sesama jantan, sesama betina, individu jantan dengan kelompok
betina dan individu betina dengan kelompok betina. Dalam perkelahian, individuindividu
mengeluarakan
suara
khas
(khrukh...khrukh...khrukh...)
sambil
memunculkan giginya dilanjutkan dengan berkejaran. Perkelahian antar individu
betina berhubungan dengan hierarki sosial dimana individu yang peringkatnya
lebih tinggi mengejar individu yang peringkatnya lebih rendah. Perkelahian antara
jantan dengan betina lebih berhubungan dengan fungsi jantan sebagai pejantan
dan pelindung betina dalam anggota kelompoknya. Kelompok betina menyerang
jantan secara bersamaan menunjukkan pembelaan terhadap sesama betina, karena
seringkali didahului oleh jantan yang menyerang individu betina.
2.4.4 Perilaku berpindah
Menurut Hadinoto (1993) individu monyet melakukan perpindahan dari satu
tempat ke tempat lain dengan cara berjalan, berlari atau meloncat dengan
menggunakan tangan dan kakinya. Individu jantan akan berjalan kemana saja
tanpa terpengaruh individu betina. Monyet meloncat dengan cara menghentakan
kaki belakangnya dan tidak jarang kaki-kaki depan memegang benda yang ada di
depannya, hal ini diduga agar monyet tersebut dalam posisi menguntungkan dan
tidak jatuh. Monyet jarang terlihat berpindah sambil berdiri dengan hanya
menggunakan dua kaki, karena susunan kaki belakangnya tidak mendukung untuk
dapat menopang tubuh dan berjalan atau bergerak.
2.4.5 Perilaku kawin
Perilaku kawin ditandai dengan kesediaan betina terhadap jantan untuk
memulai interaksi seksual (Hadinoto 1993). Aktivitas seksual lebih banyak
dilakukan pada pagi hari. Individu jantan dominan lebih aktif melakukan aktivitas
seksual dibandingkan dengan individu jantan peringkat di bawahnya. Individu
jantan dominan lebih aktif mendekati individu betina yang sedang birahi untuk
dikawini dan sering juga terlihat individu betina yang birahi mendekati individu-
individu jantan. Individu jantan dominan sering terlihat mengancam/menyerang
individu jantan subordinat ketika mengawini individu betina (Yansyah 1993).
Priatna (2003) menyebutkan bahwa perilaku seksual monyet ekor panjang lebih
banyak terjadi di pohon (arboreal) yaitu sebanyak 81,19% dibandingkan dengan di
tanah (terestrial) yaitu sebanyak 18,81%.
Menurut Kappeler dan Schaik (2004), sekali suatu pasangan M. fascicularis
telah terbentuk, biasanya betina yang berinisiatif untuk melakukan perpindahan
dan jantan akan mengikuti serta menjaga kedekatan dengan betina tersebut. Pada
M. fascicularis, banyak kopulasi yang terjadi selama pasangan tersebut terbentuk.
Pasangan ini dapat bertahan antara 1-3 minggu, akan tetapi lawan jenisnya masih
memiliki kemungkinan untuk kawin dengan monyet lainnya.
2.5 Biologi Reproduksi
Monyet ekor panjang memiliki usia dewasa kelamin yang berbeda pada
jantan dan betina. Napier dan Napier (1967) diacu dalam Sugiharto (1992)
menyatakan bahwa kematangan seksual pada jantan yaitu pada umur 4,2 tahun
sedangkan pada betina 4,3 tahun. Siklus datang bulan (menstrual cycle) monyet
ekor panjang selama 28 hari, lama birahi kira-kira 11 hari dan lama masa
penyusuan (lactation) 14-18 bulan.
Menurut Lavieren (1983) diacu dalam Sugiharto (1992), rata-rata monyet ini
kawin pada usia 3,5-5 tahun dengan jarak berbiak (breeding interval) 24-48 bulan.
Lama masa mengandung (gestation period) bagi M. fascicularis sekitar 160-186
hari, lama pengasuhan anak (nursing period) 18 bulan, dengan jumlah anak per
kelahiran (litter size) satu ekor.
Keberhasilan reproduksi betina berhubungan erat dengan ketersediaan
makanan, apabila sepanjang tahun kelimpahan makanan tinggi, tingkat kelahiran
akan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun dimana terjadi kekurangan pangan
dan di tahun dengan ketersediaan pakan dan buah-buahan yang melimpah,
aktivitas dan kelahiran terjadi lebih awal dan lebih sering daripada dalam tahun
dengan ketersediaan buah rata-rata (Kappeler & Schaik 2004). Iskandar (1998)
menyebutkan bahwa keberhasilan kebuntingan pada pasangan monyet ekor
panjang rata-rata 66,67%.
Masyud (1995) memaparkan bahwa siklus reproduksi adalah rangkaian
semua kejadian biologik kelamin yang berlangsung secara sambung menyambung
mulai dewasa kelamin sampai terlahir generasi baru dari suatu makhluk hidup.
Faktor yang paling penting yang dapat mempengaruhi produktivitas satwa adalah
tingkat reproduksinya. Tingkat reproduksi dapat diukur dengan cara menghitung
jumlah betina yang hidup sampai umur dapat bereproduksi dibagi dengan jumlah
induk. Tingkat reproduksi dibagi menjadi tiga komponen, yaitu (WodwickaTomaszewska et al. 1991):
a. Fertilitas, atau kemampuan jantan atau betina untuk bereproduksi.
b. Kesuburan (prolifikasi), atau jumlah anak per induk per kebuntingan.
c. Kemampuan hidup dari anak sampai dapat bereproduksi.
Alikodra (2002) memaparkan bahwa keberhasilan reproduksi sangat
menentukan kepadatan populasi. Data keberhasilan reproduksi satwaliar sangat
diperlukan sebagai dasar untuk membuat keputusan-keputusan pengelolaan.
Reproduksi merupakan faktor penentu dalam memelihara keseimbangan populasi
maupun untuk meningkatkan jumlah satwaliar yang dapat dipanen di dalam suatu
taman buru atau penangkaran.
2.6 Perilaku Reproduksi
Perilaku merupakan hasil dari perubahan yang berkelanjutan pada otot
tubuh sebagai aliran yang tidak terpotong pada tubuh dan pergerakannya. Perilaku
juga didefinisikan sebagai suatu tingkat dimana pergerakan jelas terlihat
(Huntingford 1984). Houpt (1998) menjelaskan bahwa perilaku reproduksi
meliputi perilaku menerima dan menolak jantan oleh betina, juga percumbuan dan
penjagaan betina oleh jantan, selain perilaku kopulasi aktual. Salah satu perilaku
yang termasuk dalam perilaku reproduksi adalah perilaku estrus.
Perilaku estrus adalah perilaku yang ditandai dengan penerimaan betina
kepada jantan untuk melakukan kopulasi. Siklus estrus merupakan jarak antara
birahi yang satu sampai pada birahi berikutnya (Partodiharjo 1987). Siklus estrus
ditandai dengan adanya estrus (birahi). Pada saat estrus, hewan betina akan
reseptif sebab di dalam ovarium sedang ovulasi dan uterusnya berada pada fase
yang tepat untuk implantasi untuk fase berikutnya, yang disebut dengan satu
siklus estrus.
Masyud (1995) mengatakan bahwa gejala-gejala estrus yaitu betina
bertambah tidak tenang, mudah terganggu dan biasanya bersifat eksploratif.
Kedudukannya dalam hirarki sosial biasanya tidak dihiraukan (dapat mendekati
jantan dari kelas rendahan, terkadang mencari jantan untuk kopulasi), frekuensi
kencing meningkat, mencium dan menjilat alat kelamin (preputeum) pejantan dan
cairan pelengkap pada preputeum tersebut, penyerahan diri secara seksual untuk
memperlancar dan menampung intromisi atau pemasukkan penis oleh pejantan.
Deteksi estrus penting untuk mengetahui kapan betina birahi perlu
ditempatkan dengan jantan. Berguna untuk mengetahui waktu konsepsi sehingga
dapat menyesuaikan nutrisi yang diperlukan untuk kebuntingan dan menentukan
waktu beranak (Wodwicka-Tomaszewska et al. 1991).
Menurut Hoeve (2003), selama jantan dan betina yang terikat saat masa
birahi, jantan akan menaiki betina beberapa kali, baru ketika keempat atau kelima
kalinya akan terjadi intromisi. Jantan monyet ekor panjang cukup berkopulasi satu
kali dan ejakulasi terjadi setelah 20-30 gerakan. Betina yang birahi kulit muka dan
kelaminnya akan kemerah-merahan, pada umumnya spesies ini tidak mengalami
pembengkakan kelamin.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Santoso (1993), kelompok
monyet ekor panjang yang diamati yaitu kelompok M.26 menunjukkan bahwa
setiap hari terjadi hubungan seksual. Jantan dewasa aktif mendekati, mengikuti,
atau mengejar betina dewasa untuk dikawini (kopulasi). Biasanya jantan dewasa
akan mendekati betina saat makan atau istirahat. Beberapa betina yang tanggap
langsung menunjukkan posisi berdiri sambil ekornya diangkat (hindquarter
presence) sehingga memudahkan jantan untuk melakukan pemeriksaan kelamin
betina dengan cara melihat (visual communication), menyentuh kelamin betina
dengan jarinya (tactile communication) atau langsung diciumnya (olfactory
communication).
Santoso (1993) juga mengungkapkan bahwa seringkali pemeriksaan
kelamin tidak dilanjutkan dengan intromisi. Diduga betina tersebut sedang
menstruasi atau menyusui anaknya. Aktivitas intromisi sering teramati tanpa
pemeriksaan kelamin terlebih dahulu. Jantan akan langsung menyergap betina
dengan memegang pinggulnya kemudian kaki jantan bertumpu pada betis betina
yang ditungganginya sehingga memudahkan jantan untuk melakukan kopulasi.
Posisi kopulasi ini khas pada monyet ekor panjang dan selama pengamatan tidak
ditemukan adanya variasi posisi kopulasi.
2.7 Status Konservasi M. fascicularis
Menurut CITES (2009), Macaca fascicularis tergolong satwa Appendix II,
yaitu jenis satwa yang boleh dimanfaatkan tetapi dari hasil perkembangbiakan.
Sedangkan menurut daftar merah IUCN (IUCN red list) versi 3.1 (2009), satwa
ini tergolong least concern atau beresiko rendah mengalami kepunahan tetapi
memerlukan perhatian. Monyet ekor panjang termasuk satwa yang tidak
dilindungi oleh Perundang-undangan di Indonesia.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2009. Penelitian berlokasi
di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peta kawasan Pulau Tinjil
dan pustaka mengenai monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teropong binokuler, GPS,
kompas, meteran, clinometer, jam tangan, kamera digital, tally sheet, recorder dan
seperangkat komputer dengan software: ArcView 3.3, AutoCad 2006 dan SPSS
12.0 for Windows.
3.3 Data yang Dikumpulkan
3.3.1 Data primer
Data primer yang dikumpulkan yaitu:
a. Perilaku seksual monyet, mencakup perilaku sebelum, saat dan setelah
kopulasi.
b. Perilaku harian monyet, mencakup perilaku makan, minum, istirahat,
berpindah, grooming dan agonistik.
c. Kondisi habitat dimana populasi monyet ekor panjang yang diamati berada,
termasuk jenis-jenis vegetasi yang berfungsi sebagai sumber pakan, shelter dan
cover bagi monyet ekor panjang.
d. Jenis satwa lain yang berada di habitat kelompok monyet ekor panjang yang
diamati.
e. Aktivitas yang dilakukan oleh pengelola di habitat kelompok monyet yang
diamati.
3.3.2 Data sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan yaitu :
a. Letak, luas dan status lokasi penelitian.
b. Kondisi geografis lokasi penelitian.
c. Data iklim dan curah hujan di lokasi penelitian.
d. Manajemen reproduksi monyet ekor panjang di Pulau Tinjil.
3.4 Unit Contoh Pengamatan
Monyet ekor panjang yang diamati merupakan individu monyet jantan dan
betina yang masing-masing memiliki hierarki sosial yang berbeda-beda. Hierarki
sosial jantan dibedakan menjadi jantan paling dominan, dominan, dan subordinat,
sedangkan betina dibedakan menjadi betina dominan dan tidak dominan. Hierarki
sosial unit contoh yang diamati dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Hierarki sosial unit contoh individu yang diamati
No. Individu
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kelas Umur
Dewasa
Dewasa
Dewasa
Dewasa
Dewasa
Dewasa
Dewasa
Dewasa
Dewasa
Jenis Kelamin
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Jantan
Betina
Betina
Betina
Betina
Hierarki Sosial
Paling dominan
Dominan
Dominan
Subordinat
Subordinat
Dominan
Dominan
Tidak dominan
Tidak dominan
Notasi
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
3.5 Metode Pengambilan Data
3.5.1 Pengamatan pendahuluan
Metode yang digunakan dalam pengamatan pendahuluan adalah metode
transek garis (line transect) untuk mengetahui jalur yang banyak terdapat monyet
ekor panjang (M. fascicularis) dan yang akan digunakan sebagai lokasi penelitian
(Gambar 1). Pelaksanaan metode ini adalah pengamat berjalan di sepanjang jalur
yang telah ada di Pulau Tinjil dan mencatat jumlah kelompok yang ditemui di
setiap jalur baik pada perjumpaan langsung maupun tidak langsung.
*
*
To
*
*
*
Arah lintasan
*
Gambar 1 Inventarisasi monyet ekor panjang dengan metode transek
jalur.
Ta
Keterangan :
To = titik awal jalur pengamatan
Ta = titik akhir jalur pengamatan
* = posisi satwa.
Pengamatan pendahuluan dilaksanakan pada tanggal 5-10 Mei 2009.
Transek garis dilakukan pada 4 jalur, yaitu jalur ES (Emil Salim), KO (Kamil
Oesman), JK (Jay Kaplan) dan CD (Chuck Darsono) (Gambar 2). Pada jalur ES
dijumpai 9 kelompok monyet ekor panjang dan 6 kandang tangkap. Kelompok
monyet ekor panjang yang dijumpai merupakan kelompok kandang 3, 1, 5, 8, 7, 9
dan 13, sedangkan 2 kelompok lagi hanya terdeteksi suaranya saja. Kelompok
yang populasinya cukup banyak terlihat yaitu kelompok kandang 3, sebanyak
lebih kurang 25 individu. Pada jalur KO, dijumpai 1 kelompok monyet ekor
panjang yaitu kelompok 1 dan terdapat juga 1 kandang tangkap yaitu kandang 1.
Pada jalur JK tidak dijumpai kelompok monyet ekor panjang, hanya terdapat 1
kandang tangkap, yaitu kandang 6. Pada jalur CD, dijumpai 1 kelompok monyet
ekor panjang secara tidak langsung, yaitu melalui suara.
Gambar 2 Peta skematik Pulau Tinjil (Iskandar et al. 2009).
Berdasarkan hasil pengamatan pendahuluan, kelompok monyet ekor
panjang yang berpotensi menjadi obyek penelitian yaitu kelompok kandang 3. Hal
ini dikarenakan terdapat tajuk pohon yang terbuka pada habitat monyet ekor
panjang kelompok kandang 3 sehingga lebih mudah diamati. Aktivitas yang
dilakukan kelompok ini lebih banyak berlangsung di atas tanah atau pada tajuk
pohon yang cukup rendah. Selain itu, habitatnya yang dekat dengan basecamp
menyebabkan aksesibilitasnya menjadi lebih mudah dan satwa lebih terhabituasi
dengan kehadiran manusia. Habitat monyet ekor panjang ini mencakup jalur ES,
OS (Orville Smith) dan SH (Suhardjo Hardjosworo).
3.5.2 Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Behaviour sampling
Pengamatan perilaku harian dan seksual monyet ekor panjang dilakukan
melalui metode behaviour sampling. Pengamat mengamati obyek penelitian
dan mencatat setiap kejadian dari tipe-tipe perilaku, bersama dengan rincian
individu mana saja yang terlibat (Martin & Bateson 1993). Pengamatan
dilakukan setiap hari selama waktu penelitian berdasarkan waktu aktif monyet
ekor panjang, yaitu mulai pukul 06.00-10.00 WIB dan pukul 14.00-18.00 WIB.
Selama pengambilan data, pengamat menjaga jarak terhadap kelompok monyet
ekor panjang yang diamati agar tidak mengganggu aktivitasnya. Jarak antara
pengamat dengan individu monyet ekor panjang tergantung pada posisi monyet
ekor panjang di atas tajuk atau tanah dan kondisi topografi lokasi pengamatan.
Pencatatan data dilakukan dengan metode continuous recording, yaitu
mencatat kejadian perilaku yang terjadi termasuk frekuensi terjadinya suatu
perilaku.
b. Pemetaan diagram profil habitat
Metode ini dilakukan untuk mengetahui komposisi vegetasi dari suatu
habitat. Komposisi dari suatu habitat bermanfaat untuk membuat kesimpulan
tentang hubungan antara kelimpahan satwa dengan tipe habitatnya. Vegetasi
yang dijadikan unit contoh yaitu pohon. Profil pohon ditentukan dengan cara
mengukur dan mencatat jenis, diameter, tinggi bebas cabang, tinggi total, tinggi
tajuk, lebar tajuk dan posisi pohon dalam petak contoh berukuran 20 m x 20 m
sebanyak 5 petak.
c. Observasi lapang
Observasi lapang dilakukan untuk mengetahui jenis satwa lain yang
berada di lokasi pengamatan dan aktivitas yang dilakukan oleh pengelola di
lokasi pengamatan.
d. Wawancara
Metode wawancara dilakukan untuk memperoleh data sekunder
mengenai
monyet
ekor
panjang
di
Pulau
Tinjil
maupun
kegiatan
pengelolaannya. Responden adalah pengelola dan staf lapang yang bekerja di
Pulau Tinjil. Jumlah responden pengelola sebanyak 2 orang dan staf lapang
sebanyak 8 orang.
3.6 Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Analisis deskriptif
Analisis deskriptif merupakan penguraian dan penjelasan mengenai
parameter-parameter
yang diukur untuk
dipaparkan
sebagai
perilaku
reproduksi monyet ekor panjang.
b. Analisis grafik dan tabel
Analisis grafik dan tabel digunakan untuk menjelaskan hubungan antara
parameter-parameter yang diukur dan diamati dengan metode grafik dan tabel
serta interpretasinya.
c. Analisis korelasi bivariat parametrik Pearson product moment
Analisis korelasi digunakan untuk mengukur kuat lemahnya hubungan
antara satu variabel bebas dan satu variabel tergantung yang berskala
interval/parametrik. Kriteria kuat atau lemahnya hubungan antara variabel
dapat dilihat dari angka korelasi variabel tersebut. Patokan angkanya adalah
sebagai berikut (Sarwono 2006):
Û° 0-0,25
: korelasi sangat lemah (dianggap tidak ada)
Û° >0,25-0,5 : korelasi cukup
Û° >0,5-0,75 : korelasi kuat
Û° >0,75-1
: korelasi sangat kuat.
Besarnya peranan satu variabel terhadap perubahan variabel lainnya dapat
diketahui dengan rumus koefisien determinasi sebagai berikut (Sarwono 2006):
KD = r2 x 100%
Keterangan : KD = Koefisien determinasi (%)
r = angka korelasi
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Luas Kawasan
Pulau Tinjil terletak di selatan Pulau Jawa lebih kurang 16 km dari Pantai
Muara Binuangeun dengan luas lebih kurang 600 hektar. Secara administratif,
Pulau Tinjil terletak di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten. Secara geografis, Pulau Tinjil berada pada 105046’-109049’ LS dan 6057’6059’ BT (Soehartono & Mardiastuti 2003).
4.2 Topografi dan Geologi
Kondisi topografi Pulau Tinjil umumnya datar, kecuali pada jalur Hartono
Wirdjodarmodjo, di sebelah barat pulau (3200 m dari ujung timur Basecamp jalur
Emil Salim) yang sedikit berbukit. Kondisi pantai sebagian besar berupa batu
karang kecuali di bagian Pantai Penyu dan Pondok Gede berupa pasir putih. Pada
musim hujan, beberapa lokasi banyak yang tergenang air.
Jenis tanah di Pulau Tinjil adalah Haplustuit, Lithic Quartzipsament, Lithic
Ustipsamment, Lithic Ustropept dan Pluvaquentic Tropohemist. Jenis tanah ini
memiliki sifat kelas tekstur tanah kasar sampai sedang, struktur lepas, remah dan
pejal. Reaksi keasaman tanah bersifat netral sampai alkalin (pH 6,27-6,97).
Kedalaman lapisan tanah umumnya dangkal dan kandungan unsur natrium serta
kalsium tinggi (Rusliyana et al. 1991, diacu dalam Fadilah 2003).
4.3 Tanah dan Air
Menurut hasil penelitian Santoso (1992), jenis tanah di Pulau Tinjil sebagian
besar Lithic Quartzipsanment (215 ha) dan Lithic Ustipsamment (292 ha). Jenis
tanah ini memiliki kelas tekstur kasar, struktur lepas, permeabilitas cepat,
kedalaman lapisan solum tanah dangkal serta kandungan unsur Ca dan Mg yang
tinggi. Karakteristik tanah ini cukup rawan terhadap adanya gangguan
(eksploitasi).
Romauli (1993) mengungkapkan bahwa tanah di pulau ini berupa pasir
koral yang bercampur dengan humus hutan atau serasah hutan. Kondisi tanah
tersebut menyebabkan tanah sulit ditembus oleh akar sehingga akar vegetasi
cenderung dangkal. Sekeliling pulau berupa pasir putih dan gugusan karang.
4.4 Iklim
Suhu rata-rata di luar tajuk 27,170C dan di dalam tajuk 26,830C. Pengaruh
suhu erat kaitannya dengan intensitas cahaya, yaitu dari pagi-siang-sore hari
terjadi perbedaan intensitas cahaya yang diterima oleh tajuk hutan. Kecepatan
angin rata-rata di dalam tajuk pada siang hari 0,3 m/detik dan di luar tajuk 2,47
m/detik (Santoso 1992).
4.5 Sejarah dan Status Kawasan
Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil dibangun pada tahun 1987
dan bertujuan untuk mengembangbiakan monyet ekor panjang yang bebas dari
Simian Retrovirus (SRV). Monyet ekor panjang mulai diintroduksi tahun 1988.
Sampai tahun 2007 telah diintroduksi sebanyak 603 ekor monyet ekor panjang
dewasa (58 jantan dan 462 betina) ke Pulau Tinjil sebagai populasi induk. Monyet
tersebut berasal dari Lampung (49%), Sumatera Selatan (48%) dan Jawa Barat
(3%) Sebelum dilepasliarkan, satwa tersebut dikarantina terlebih dahulu. Sejak
tahun 1990 dilakukan kegiatan monitoring setiap tahun dan dapat diketahui bahwa
populasi induk tersebut telah membentuk antara 18-20 kelompok dengan jumlah
individu tiap kelompok 49 ekor. Pada Penangkaran Pulau Tinjil, terdapat 13
kandang tangkap (12m x 6m x 2,5m) dan fasilitas perangkap yang tersebar di
seluruh pulau untuk melakukan penangkapan secara periodik dan untuk
pemantauan kesehatan (Suhartono & Mardiastuti 2003).
Legalitas yang dimiliki oleh Pusat Studi Satwa Primata IPB sebagai
pengelola kawasan diantaranya adalah :
a. Konsesi selama 20 tahun dari Perum Perhutani untuk memanfaatkan Pulau
Tinjil sebagai pulau penangkaran monyet ekor panjang berdasarkan surat
No.13/SP/DIR/1987, tanggal 6 Juli 1987.
b. Memorandum of Understanding antara IPB dengan Menteri KLH serta
Konsorsium Penelitian Primata Amerika Serikat, tanggal 24 Februari 1988.
c. Surat Menteri Sekretaris Negara no. R. 433/Mensesneg/8/1990, tanggal 13
Agustus 1990.
d. Rekomendasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang sesuai Surat
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Pandeglang no. 524.3/330Disnak.30/10/90, tanggal 30 Oktober 1990.
e. Izin
usaha
penangkaran
yang
dikeluarkan
oleh
Direktorat
Jenderal
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Republik
Indonesia Sesuai surat keputusan Dirjen PHPA no.01/KPTS/DJ-VI/1991,
tanggal 2 Januari 1991.
f. Tim pengarah upaya penangkaran monyet ekor panjang di Pulau Tinjil: SK
Menteri KLH no.24/MENKLH/5/1991, tanggal 23 Mei 1991.
4.6 Sarana dan Prasarana Kawasan
Pada penangkaran semi alami Pulau Tinjil telah dibuat jalan setapak (trail)
atau jalur transek yang berfungsi sebagai jalur pengamatan populasi, pengontrolan
habitat, dan jalan menuju kandang pakan. Adapun jalur – jalur transek yang ada di
Pulau Tinjil yaitu (Fadilah 2003):
a. Jalur SH (Suhardjo Hardjosworo)
: 4175 m
b. Jalur ES (Emil Salim)
: 6225 m
c. Jalur CD (Chuck Darsono)
: 7025 m
d. Jalur KO (Kamil Oesman)
: 550 m
e. Jalur OS (Orville Smith)
: 925 m
f. Jalur RK (Randy Kyes)
: 1175 m
g. Jalur JK (Jay Kaplan)
: 1000 m
h. Jalur SA (Sitanala Arsjad)
: 1025 m
i. Jalur HW (Hartono Wirdjodarmodjo)
: 850 m
j. Jalur DS (Dondin Sajuthi)
: 850 m
Terdapat dua jalur baru yang terletak di sebelah barat Pulau Tinjil yaitu jalur
EI (Entang Iskandar) sepanjang 1250 m dan jalur JP (Joko Pamungkas) sepanjang
850 m. Fasilitas lain yang ada di dalam kawasan tersebut yaitu 13 kandang
tangkap (12m x 6 m x 2,5m), 1 kandang penampungan untuk pemanenan, gudang
penyimpanan pakan, 5 pondok, 2 rumah pegawai, 1 rumah besar dengan 3 kamar
dan 1 ruang diskusi, 8 WC dan 3 sumur pompa .
4.7 Kondisi Flora dan Fauna
4.7.1 Flora
Romauli (1993) menyatakan bahwa Pulau Tinjil tertutup oleh hutan hujan
dataran rendah dan hutan pantai. Wilayah utara banyak terdapat spesies
Barringtonia dan Callophyllum, sedangkan bagian selatan didominasi oleh
Pandanus sp. Vegetasi dominan di hutan hujan dataran rendah tersebut yaitu
Gnetum gnemon, Dysoxylum spp. dan Manilkara kauki yang menurut IUCN
memiliki status Rare. Famili tumbuhan dengan jumlah jenis terbanyak yaitu
Moraceae, dengan contoh spesies Ficus ampelas, F. timorensis, F. pubinervis, F.
hispida dan F. septica. Spesies-spesies ini selain sebagai cover juga mengandung
nutrisi yang tinggi bagi pakan monyet ekor panjang (Romauli 1993).
4.7.2 Fauna
Menurut Romauli (1993), jenis burung yang berada di Penangkaran Semi
Alami Pulau Tinjil adalah elang laut perut putih (Heliatus leucogaster), kareo
(Amaurornis phoenicurus), punai leher merah (Trerons vernans), enggang
(Ptilinopus melanosphilla), dara laut (Ducula dicolor), kepodang (Oriolus
chinensis), kutilang (Pycnonotus goiavier), raja udang (Halcyon chloris) dan
burung mas/nikobar (Caloenas nicobarica). Beberapa jenis herpetofauna yang
berada di lokasi tersebut antara lain biawak air-asia (Varanus salvator), ular sanca
(Phyton reticulatus), kadal emas (Cnemidophorus sexlineatus) dan penyu
(Celonia sp.). Jenis mamalia yang berada di lokasi tersebut yaitu kelelawar
(Pteropus vampirus) dan tikus (Ratus rajah). Satwa lain yang ada di kawasan
tersebut adalah kepiting (Scylla serrata) dan umang-umang/klomang (Reptania
sp.).
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Lokasi Pengamatan
Lokasi pengamatan monyet di kelompok kandang 3 berada di sekitar
basecamp dan kandang tangkap nomor 3. Jalur yang melewati habitat monyet
kelompok ini yaitu jalur ES (Emil Salim), SH (Suhardjo Hardjosworo) dan OS
(Orville Smith) (lihat Gambar 2 di halaman 14). Wilayah ini merupakan wilayah
yang paling terbuka dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Tinjil karena
terdapat bangunan dan lapangan, sebagaimana terlihat pada Gambar 3 berikut.
(a)
(b)
Gambar 3 Kondisi lokasi pengamatan. Ket: (a) Tanah terbuka di habitat monyet
kelompok kandang 3; (b) Bangunan pondok pegawai.
Selain wilayah yang terbuka, pada habitat kelompok kandang 3 juga
terdapat hutan yang mengelilinginya. Keberadaan vegetasi sumber pakan, shelter
dan cover di wilayah ini cukup memadai. Vegetasi yang ada di habitat kelompok
kandang 3 merupakan vegetasi hutan pantai. Berdasarkan observasi lapang, jenisjenis pohon yang berada di habitat monyet kelompok kandang 3 dapat dilihat pada
Tabel 2 di bawah.
Beberapa pohon yang ada di lokasi pengamatan monyet kelompok kandang
3 ini dapat menjadi sumber pakan bagi monyet ekor panjang. Terdapat 16 jenis
pohon di lokasi pengamatan dimana sejumlah 14 jenis dapat dimakan monyet.
Jenis-jenis pohon tersebut antara lain ketapang (Terminalia catappa), ki huru
(Litsea chinensis), bayur (Pterospermum javanicum) dan waru (Hibiscus tiliaceus).
Jenis yang tidak dimanfaatkan untuk dimakan yaitu pangku (Dysoxylum excelsum)
dan sengon (Paraserianthes falcataria L.). Fadilah (2003) mengatakan bahwa
jenis vegetasi yang dapat dijadikan sumber pakan monyet di Pulau Tinjil
dibedakan berdasarkan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Jenis vegetasi
yang dapat dimakan oleh monyet dari tingkat semai yaitu 15 dari 53 jenis
(28,30%), tingkat pancang 18 dari 49 jenis (36,73%), tingkat tiang 18 dari 49 jenis
(36,73%) dan tingkat pohon 22 dari 46 jenis (47,83%).
Tabel 2 Jenis-jenis pohon yang berada di lokasi pengamatan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Jenis
Bayur
Butun
Kalapari
Kampis
Ketapang
Ki ara
Ki cau
Ki ciat
Ki huru
Ki langir
Melinjo
Merbau
Pangku
Renghas
Sengon
Waru
Nama Latin
Pterospermum javanicum Jungh
Barringtonia asiatica
Pongamia pinnata
Hernandia peltata
Terminallia catappa
Ficus glomerata
Dolichandrone spathacea
Ficus septica
Litsea chinensis
Dysoxylum amoroides
Gnetum gnemon
Intsia bijuga
Dysoxylum excelsum
Gluta renghas L.
Paraserianthes falcataria L.
Hisbiscus tiliaceus L.
Famili
Sterculiaceae
Lecytidaceae
Fabaceae
Hernandiaceae
Combretaceae
Moraceae
Bignoniaceae
Moraceae
Euphorbiaceae
Meliaceae
Gnetaceae
Fabaceae
Meliaceae
Anacardiaceae
Fabaceae
Malvaceae
Bagian-bagian pohon yang dimakan yaitu daun, biji dan buah. Selain pakan
dari hutan, monyet di pulau ini juga mendapat tambahan pakan dari staf lapang
berupa pisang dan jagung. Sugiharto (1992) memaparkan bahwa bagian yang
paling banyak dimakan oleh M. fascicularis, yaitu daun sebanyak 48,0%, buah
sebanyak 40,4%, bunga sebanyak 5,9% dan bagian lainnya 5,7%.
Monyet di kelompok ini memiliki pohon yang digunakan untuk tidur yaitu
pohon ki ara (Ficus glomerata) dan pohon-pohon lain disekitar pohon tersebut.
Pohon yang dijadikan pohon untuk tidur memiliki karakteristik berupa batang
yang besar dan tinggi, tajuk yang lebar, cabang yang banyak dan kuat yang
mampu menopang tubuh satu kelompok monyet ekor panjang tersebut. Pohon
untuk tidur juga biasanya merupakan pohon sumber pakan sehingga
dipertahankan dari kelompok lain. Kelompok monyet ini mulai mendekati pohon
tidur ketika sudah petang atau di akhir waktu aktifnya, tergantung dengan kondisi
cuaca. Apabila cuaca cerah, biasanya monyet mendekati pohon tidur lebih petang
sedangkan apabila cuaca mendung atau hujan biasanya monyet mendekati pohon
tidur lebih cepat.
Selama pengamatan, dijumpai satwaliar yang berada di Pulau Tinjil selain
monyet ekor panjang antara lain biawak-air asia (Varanus salvator), kadal emas
(Cnemidophorus sexlineatus), tokek (Gecko gecko), kelelawar (Pteropus
vampirus), tikus (Ratus rajah), kepiting (Scylla serrata), penyu sisik
(Eretmochelys imbricata) dan umang-umang (Reptania sp.). Selain itu juga
terdapat beberapa jenis burung seperti raja udang (Halcyon chloris), elang laut
perut putih (Heliatus leucogaster), kepodang (Oriolus chinensis) dan kutilang
(Pycnonotus goiavier). Berdasarkan data sekunder yaitu wawancara dengan staf
lapang, terdapat juga satwaliar lain seperti ular sanca (Phyton reticulatus), ular
tanah (Angkistrodon rhodostoma) dan kelabang hutan (Scolopendra morsitans).
Gambar 4 Peta lokasi penelitian monyet ekor panjang di kelompok kandang 3.
Gambar 4 di atas menunjukkan lokasi-lokasi yang sering digunakan untuk
beraktivitas oleh monyet di kelompok kandang 3. Titik pengamatan merupakan
lokasi pengamat melakukan pengamatan. Terdapat 3 titik pengamatan yang
masing-masing berlokasi di lapangan, basecamp dan dekat kandang tangkap 3.
Lokasi-lokasi tersebut digunakan sesuai dengan keberadaan monyet yang diamati.
Tempat pakan merupakan lokasi dimana staf lapang menaruh pakan tambahan
berupa pisang dan jagung di lapangan ketika sedang dilakukan pengamatan
perilaku monyet oleh peneliti atau peserta pelatihan. Bak minum merupakan
wadah berisi air yang disediakan staf lapang untuk memenuhi kebutuhan air bagi
monyet kelompok ini. Terdapat pohon-pohon yang biasa digunakan monyet baik
untuk beraktivitas maupun sebagai shelter dan cover. Pada lokasi pengamatan,
terdapat daerah yang lebih terbuka dan tidak tertutup tajuk karena terdapat
bangunan berupa basecamp, pondok pegawai, genset dan kandang penampungan.
Gambar 5 Diagram profil habitat kelompok monyet kandang 3.
Pada Gambar 5 terlihat bahwa penutupan tajuk di habitat monyet kelompok
kandang 3 cukup rapat. Terdapatnya tajuk yang terputus dikarenakan pada areal
tersebut terdapat bangunan untuk menaruh genset sehingga untuk melewati areal
tersebut monyet ekor panjang di kelompok ini biasanya berpindah melalui pohon
lain yang tajuk antar pohonnya tersambung, di atap bangunan genset ataupun di
atas tanah. Tajuk yang rapat dan keberadaan vegetasi sumber pakan, shelter dan
cover yang memadai dapat menyebabkan pergerakan hariannya tidak terlalu jauh
karena sumberdaya yang dibutuhkan sudah tersedia di wilayah jelajah mereka.
5.2 Kelompok Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil
Monyet ekor panjang yang berada di Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil
terbagi menjadi beberapa kelompok yang menyebar di setiap jalur transek dan
kandang tangkap yang ada. Jumlah jalur transek yang berada di pulau ini
sebanyak 12 jalur dan tersebar dari timur ke barat pulau dan dari utara ke selatan
pulau. Jumlah kandang tangkap di Pulau Tinjil sebanyak 13 kandang. Kandang ini
ada yang berada di tepi jalur transek atau di dalam jalur transek dan memiliki
variasi dalam jumlah kelompok monyet yang melewatinya. Berdasarkan Iskandar
et al. (2009), diketahui bahwa terdapat 29 kelompok monyet ekor panjang di
Pulau Tinjil.
5.2.1 Ukuran kelompok monyet kandang 3
Kelompok monyet ekor panjang yang diamati yaitu kelompok kandang 3.
Jumlah kelompok monyet ekor panjang ini sebanyak 37 ekor yang terdiri atas 22
jantan dan 15 betina (Tabel 3). Nisbah kelamin (sex ratio) monyet ekor panjang di
kelompok kandang 3 yaitu 1 jantan dewasa untuk 2,4 betina dewasa, sedangkan
menurut Wheatley (1980) diacu dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003), nisbah
kelamin rata-rata M. fascicularis adalah 1 jantan dewasa untuk 3,3 betina dewasa.
Tabel 3 Ukuran kelompok monyet ekor panjang kandang 3
Jantan
Betina
Total
Dewasa
5
12
17
Remaja
4
2
6
Anak
10
1
11
Bayi
3
3
Total
22
15
37
Menurut Santoso (1993), nisbah kelamin jantan dan betina dewasa pada
populasi awal monyet ekor panjang di Pulau Tinjil tahun 1988 yaitu 1:7,
sedangkan berdasarkan studi lapang Santoso (1993) terhadap nisbah kelamin
monyet di Pulau Tinjil pada tahun 1990 adalah 1:6 dan pada tahun 1991 adalah
1:5. Pada penelitian ini, nisbah kelamin jantan dan betina dewasa yaitu 1:2,4.
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan
penurunan populasi monyet betina di Pulau Tinjil. Selain pada kelas umur
dewasa, pada kelas umur remaja, anak dan bayi pun jumlah betina sangat sedikit
bila dibandingkan dengan jantan. Keberadaan Pulau Tinjil yang bertujuan untuk
mengembangbiakkan
monyet
ekor
panjang
menyebabkan
diperlukannya
peningkatan populasi betina dibandingkan jantan agar dapat dicapai nisbah
kelamin yang optimal sehingga dapat mengurangi persaingan jantan dalam
memperebutkan betina dan meningkatkan proses reproduksi.
5.2.2 Ciri morfologi
Monyet ekor panjang yang dijadikan obyek penelitian berjumlah 9 ekor
yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan hierarki sosialnya. Secara fisik,
setiap individu ini memiliki ciri khas sehingga dapat dibedakan dengan individu
lainnya. Adapun hierarki sosial dan ciri morfologi monyet ekor panjang yang
dijadikan obyek penelitian adalah sebagai berikut (Tabel 4):
Tabel 4 Hierarki sosial dan ciri morfologi obyek penelitian
1
Individu
yang Diamati
Ganteng (α)
Jenis
Kelamin
Jantan
2
Jateng (β1)
Jantan
3
Giant (β2)
Jantan
4
Bangor (γ1)
Jantan
5
Pincang (γ2)
Jantan
6
Galak (D1)
Betina
7
Manci (D2)
Betina
8
Nyengir (E1)
Betina
9
Selir (E2)
Betina
No.
Hierarki
Sosial
Paling
dominan
Ciri Morfologi
Badan lebih besar dibandingkan monyet lain
di kelompok 3, wajah lebar, badan tidak
terlalu tinggi (gempal), tangan dan kaki
berotot, puncak kepala seperti memiliki
belahan tengah.
Dominan Jari tengah di tangan kiri tidak bisa ditekuk,
punggung sangat bungkuk saat duduk, lebih
aktif dibandingkan jantan dewasa lainnya.
Dominan Badan tinggi besar, taring panjang, seringkali
berdekatan dengan β1.
Subordinat Badan kecil, sering mengikuti D2, cukup jinak
dengan manusia, puncak kepala berjambul.
Subordinat Badan lebih besar dibandingkan γ1, sering
dikejar-kejar oleh jantan lain dan betina
dominan, ujung telinga lancip, hidung besar.
Dominan Sering jalan berdekatan dengan α, bersifat
lebih galak dibandingkan monyet betina
lainnya, alis terang, mulut lebih lancip.
Dominan Sangat jinak kepada manusia, kulit wajah
lebih terang dibandingkan monyet lainnya,
alis tidak terlalu putih, tato 863 di dada dan
paha kanan.
Tidak
Kelamin hampir selalu berwarna merah
dominan
seperti sedang menstruasi, perut buncit yang
tidak
wajar seperti bunting,
sering
menyeringai.
Tidak
Wajah mirip dengan D2 tetapi lebih gelap,
dominan
lebih bundar dan alis lebih putih.
5.3 Perilaku Harian Monyet
Pengamatan perilaku monyet ekor panjang dilakukan pada pagi hari pukul
06.00-10.00 WIB dan sore hari pada pukul 14.00-18.00 WIB. Pemilihan waktu
tersebut berdasarkan pada waktu aktif monyet ekor panjang sesuai dengan
pengamatan pendahuluan (survei) yang telah dilakukan. Lokasi pengamatan
monyet di kelompok kandang 3 terbagi menjadi tiga lokasi, yaitu basecamp,
lapangan dan kandang tangkap (Gambar 6). Pengamatan dilakukan sesuai dengan
lokasi dimana monyet tersebut beraktivitas.
(a)
(b)
(c)
Gambar 6 Titik-titik pengamatan. Ket: (a) Titik Pengamatan 1 (bangku-bangku
di lapangan); (b) Titik Pengamatan 2 (basecamp); (c) Titik
Pengamatan 3 (dekat kandang 3).
Monyet ekor panjang kelompok kandang 3 beraktivitas di atas tanah
(terestrial) sebanyak 1245 kali atau 70,94% sedangkan di pohon (arboreal) hanya
sebesar 510 kali atau 29,06%. Berbeda dengan yang diungkapkan oleh Medway
(1978) yang mengatakan bahwa sebagian besar monyet ekor panjang bersifat
arboreal meskipun seringkali turun ke permukaan tanah. Hal ini disebabkan
karena terdapat bangunan dan lapangan yang terbuka pada wilayah jelajah monyet
di kelompok kandang 3 sehingga dalam waktu aktifnya monyet di kelompok ini
lebih sering dijumpai beraktifitas di atas tanah dibandingkan di pohon. Selain itu,
pakan tambahan berupa jagung diletakkan oleh staf lapang di atas tanah dan
tandan pisang digantung di pohon dekat bangku pengamatan atau kandang
tangkap pada ketinggian lebih kurang 1 meter. Monyet di kelompok ini juga
seringkali memakan sisa-sisa sayuran yang masih segar di dekat basecamp.
Perilaku hewan adalah aktivitas hewan yang terlihat dan yang saling
berkaitan baik secara individual maupun secara bersama-sama/kolektif. Perilaku
merupakan cara hewan itu berinteraksi secara dinamik dengan lingkungannya,
baik dengan makhluk hidup maupun dengan benda-benda (Tanudimadja &
Kusumamihardja 1985). Secara umum, monyet ekor panjang di Pulau Tinjil
menghabiskan 20% waktu aktifnya untuk makan, 3,9% untuk minum, 39,6%
untuk berpindah, 21,4% untuk istirahat, 3,7% untuk grooming, 4,6% untuk
agonistik dan 6,8% untuk aktivitas seksual, seperti yang terlihat pada Gambar 7 di
bawah ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti (2001), dalam
waktu aktifnya monyet ekor panjang menghabiskan 25% waktunya untuk makan,
28% untuk bergerak, 21% untuk istirahat, 15% untuk grooming, 9% untuk
bermain (dilakukan oleh anakan) dan 2% untuk aktivitas lainnya.
Frekuensi (kali)
Frekuensi Perilaku Harian Rata-rata Monyet Ekor Panjang
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Agonistik
Grooming
Istirahat
Berpindah
Minum
Makan
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
Individu
Gambar 7 Grafik frekuensi perilaku harian monyet ekor panjang.
Perilaku makan monyet di kelompok kandang 3 memiliki frekuensi yang
lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti
karena perilaku makan yang diamati dibedakan dengan perilaku minum,
sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti perilaku makan sudah
mencakup perilaku minum. Perilaku berpindah monyet di kelompok kandang 3
memiliki frekuensi yang lebih tinggi karena habitat monyet ini yang berada di
alam menyebabkan diperlukannya perpindahan yang banyak untuk memperoleh
sumberdaya, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Widiyanti dimana
monyet yang diamati memiliki habitat didekat pemukiman penduduk sehingga
wilayah jelajahnya lebih terbatas.
Perilaku harian dari individu yang diamati yang memiliki frekuensi paling
tinggi yaitu perilaku berpindah, karena untuk mendapatkan sumberdaya yang
dibutuhkannya monyet tersebut membutuhkan perpindahan. Selain itu, dalam
melakukan perilaku satu ke perilaku lainnya monyet ekor panjang melakukan
perpindahan tempat secara aktif. Secara teknis, masing-masing perilaku harian
dipaparkan sebagai berikut:
1. Perilaku makan
Perilaku makan mencakup konsumsi makanan atau bahan-bahan
bermanfaat
baik
yang
padat
maupun
yang
cair
(Tanudimadja
&
Kusumamihardja 1985). Perilaku makan pada monyet ekor panjang merupakan
tindakan yang dimulai dengan mencari makanan, mengambil, membersihkan
dengan cara menggosok-gosok makanan dengan tangannya, memasukkan ke
mulut dan mengunyah makanan. Monyet ekor panjang dapat menyimpan
makanan di dalam kantung pipinya sampai penuh dan menggembung, baru
kemudian dikeluarkan lagi ke mulut dengan cara ditekan oleh punggung
tangannya dan dikunyah, sebagaimana terlihat pada Gambar 8. Carter (1978)
diacu dalam Sugiharto (1992) juga mengungkapkan bahwa kantung pipi (cheek
pouch) menyebabkan monyet dapat mengumpulkan makanan dengan cepat dan
mengunyah di tempat lain yang lebih aman.
Gambar 8 Perilaku makan monyet ekor panjang.
Sumber makanan primata di alam dapat dikelompokkan atas 3 kategori,
yaitu telur binatang, insekta serta bagian vegetatif dan reproduktif tumbuhan
dan binatang berupa bunga dan buah (Chivers & Raemakers 1984, diacu dalam
Bismark 1991). Monyet ini dapat mencari makanan baik di atas tanah maupun
di pohon. Makanan yang diambil ketika monyet di atas tanah berupa biji atau
buah yang jatuh dari pohon, serangga-serangga kecil dari dalam tanah, tawon,
umang-umang dan pakan yang diberikan oleh staf lapang.
Staf lapang memberikan pakan di kandang tangkap sebelum dilakukan
penangkapan dan saat dilakukan proses penangkapan, yaitu untuk memancing
monyet tersebut masuk ke dalam kandang tangkap. Jenis pakan yang diberikan
yaitu pisang sebanyak 1-2 tandan dan jagung secukupnya. Pada saat tertentu,
pakan untuk kelompok monyet tersebut digantung di pohon waru yang berada
di lapangan dekat bangku pengamatan atau di samping kandang 3 yaitu ketika
terdapat peserta pelatihan yang melakukan pengamatan di kelompok monyet
kandang 3. Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa beberapa
tahun yang lalu monyet di pulau ini diberi pakan pelet (monkey chow), akan
tetapi karena pelet tersebut tidak banyak dimakan oleh monyet maka
pemberian pelet tersebut dihentikan dan pakan yang diberikan hanya pisang
dan jagung saja.
Setelah staf lapang menaruh pakan, monyet yang lebih dahulu
menghampiri pakan adalah monyet yang jinak dengan manusia atau yang lebih
dominan. Monyet yang terlebih dahulu menghampiri pakan yaitu ganteng (α),
galak (D1) dan manci (D2). Jateng (β1) dan giant (β2) biasanya menghampiri
secara perlahan, mengambil pisang dengan cepat, kemudian menjauhi tandan
pisang tersebut dan makan agak jauh dari α, baik di atas tanah maupun di
pohon. Apabila monyet-monyet dominan tidak berada di dekat lokasi makan,
maka monyet dengan hierarki sosial yang lebih rendah terlebih dahulu
menghampiri pakan tersebut, seperti nyengir (E1), selir (E2), bangor (γ1) dan
pincang (γ2). Ketika monyet yang dominan datang, maka monyet-monyet
dengan hierarki sosial lebih rendah tersebut akan segera menjauhi tempat
makan dan menunggu sampai monyet yang dominan selesai makan dan
menjauhi tempat ditaruhnya pakan. Apabila mereka berada terlalu dekat
dengan lokasi pakan, maka monyet yang dominan akan mengejar monyet
tersebut dan dapat terjadi perkelahian. Rata-rata frekuensi makan monyet ekor
panjang dapat terlihat pada Gambar 9 di bawah ini. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa betina memiliki frekuensi makan yang lebih tinggi
dibandingkan jantan.
5,0
4,3
Frekuensi
4,0
3,0
2,7
3,0
2,7
2,4
2,0
1,4
1,6
1,5
E1
E2
1,1
1,0
0,0
α
β1
β2
γ1
γ2
Individu
D1
D2
Gambar 9 Grafik rata-rata frekuensi makan monyet ekor panjang.
Individu D2 memiliki frekuensi makan yang paling tinggi dibandingkan
individu-individu lainnya bahkan α. Hal ini disebabkan karena D2 merupakan
individu yang sudah terhabituasi dengan keberadaan manusia, khususnya staf
lapang sehingga ketika staf lapang akan menaruh pakan baik pisang maupun
jagung, D2 tidak takut dan langsung menghampiri staf lapang tersebut untuk
mengambil pakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola dan staf
lapang, diketahui bahwa individu ini sudah pernah tertangkap sebanyak 3 kali
sejak individu tersebut masih dalam kelas umur remaja (juvenile). Akan tetapi,
karena berat badannya yang selalu mengalami penurunan selama di kandang
penampungan menyebabkan individu ini tidak memenuhi syarat untuk dipanen
sehingga dilepaskan kembali. Oleh karena itu individu D2 menjadi terhabituasi
dengan manusia dan tidak menganggap manusia sebagai ancaman atau
gangguan lagi.
Dalam memakan pakan lain diluar pakan yang disediakan oleh staf
lapang pun monyet dengan hierarki sosial yang lebih dominan terlihat memiliki
frekuensi yang lebih tinggi. Hal ini dibuktikan dari Gambar 10 yang
menggambarkan bahwa frekuensi makan α lebih tinggi daripada frekuensi
makan β dan frekuensi makan β lebih tinggi daripada γ. Demikian pula dengan
individu betina, dimana betina dominan atau D memiliki frekuensi makan yang
lebih tinggi dibandingkan E (betina tidak dominan).
4
2,7
2,2
Frekuensi
Frekuensi
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
1,8
3,5
3
2
1,55
1
0
γ
β
Hierarki Sosial
α
Tidak dominan
(a)
Dominan
Hierarki Sosial
(b)
Gambar 10 Garis kecenderungan perilaku makan pada monyet ekor panjang.
Ket: (a) Kecenderungan perilaku makan pada monyet jantan; (b)
Kecenderungan perilaku makan pada monyet betina.
Berdasarkan Gambar 10 di atas, terlihat bahwa terdapat garis
kecenderungan atau trendline yang linear pada perilaku makan monyet, dimana
semakin tinggi hierarki sosial suatu individu maka semakin tinggi frekuensi
makannya. Hal tersebut dikarenakan monyet dengan hierarki sosial yang lebih
dominan memiliki penguasaan yang lebih tinggi terhadap sumber pakan.
Umumnya individu α, β dan D memakan pisang sebanyak 7-10 buah. Individuindividu lainnya memakan pisang lebih sedikit, terutama monyet yang tidak
dominan karena pisang yang di tandan hampir habis dimakan oleh monyet
yang lebih dominan.
2. Perilaku minum
Perilaku minum pada monyet ekor panjang merupakan tindakan
mengkonsumsi air dengan cara menjilat air minum tersebut. Monyet di
kelompok 3 memperoleh sumber minum dari bak air minum yang disediakan
oleh staf lapang, keran di depan basecamp dan genangan air di atas permukaan
tanah maupun di lubang pohon. Monyet ekor panjang lebih menyukai air yang
bersih. Apabila air di bak penampungan sudah kotor, mereka cenderung tidak
mau meminum air dari bak tersebut ataupun hanya meminum sedikit airnya.
Keran di depan basecamp yang menetes-neteskan airpun mereka minum
dengan cara menjilat tetesan-tetesan air tersebut. Perilaku minum monyet ekor
panjang dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini.
Gambar 11 Perilaku minum monyet ekor panjang
Berbeda halnya dengan makan, perilaku minum bukanlah perilaku utama
dari monyet ekor panjang karena kebutuhan air mereka sudah cukup terpenuhi
dari buah-buahan yang mereka makan. Hal ini terbukti dengan frekuensi
perilaku minum yang sedikit dan keberlangsungan hidup mereka meskipun
tidak terdapat sumber air secara alami di Pulau Tinjil. Selain itu, tidak terdapat
dominansi dalam menjaga sumber minum seperti halnya individu dominan
yang lebih mendominasi sumber pakan.
Gambar 12 di bawah ini menunjukkan bahwa selama pengamatan tidak
selalu ditemukan perilaku minum setiap harinya, dibuktikan dengan rata-rata
frekuensi minum harian tiap individu yang kurang dari 1. Meskipun tidak
terdapat dominansi dalam perilaku minum, tetapi tetap terdapat garis
kecenderungan linear dalam frekuensi minum monyet. Semakin tinggi hierarki
sosial suatu individu, semakin tinggi frekuensi minum monyet tersebut.
1,0
0,8
Frekuensi
0,8
0,8
0,8
0,6
0,4
0,4
0,4
0,3
0,2
0,0
0,1
β2
γ1
γ2
Individu
0,1
0,0
α
β1
D1
D2
E1
E2
Gambar 12 Grafik rata-rata frekuensi minum monyet ekor panjang.
Selain minum, monyet ekor panjang juga menggunakan bak air minum
untuk mandi, yaitu dengan cara mencelupkan wajah, badan ataupun seluruh
bagian tubuhnya ke dalam bak. Individu yang masih remaja atau anak biasanya
berjalan atau berenang di dalam bak tersebut. Sesuai dengan hal yang
diungkapkan Medway (1978) bahwa secara ekologi, monyet ekor panjang
merupakan monyet yang dapat berenang dengan baik.
3. Perilaku berpindah
Perilaku berpindah merupakan tindakan pergerakan dari satu tempat ke
tempat lainnya. Monyet ekor panjang berpindah dengan cara berjalan, berlari,
maupun melompat dengan menggunakan tangan dan kakinya, sesuai dengan
yang diungkapkan Hoeve (2003) bahwa primata yang termasuk monyet dunia
lama (Old World Monkey) dan superfamili Cercopithecoidea bergerak dengan
bantuan lengan dan tungkai, lain dengan kera manusia (Hominoidea). Perilaku
berpindah monyet ekor panjang dapat dilihat pada Gambar 13 berikut.
(a)
(b)
Gambar 13 Perilaku berpindah monyet ekor panjang. Ket: (a) monyet
berjalan di pohon; (b) monyet berjalan di pantai.
Individu yang memulai pergerakan kelompok adalah α. Anggota
kelompok ini biasanya berpencar tetapi tetap berada di sekitar α. Biasanya,
individu yang berada dekat dengan α yaitu betina dewasa, anak dan bayi.
Individu yang berada paling akhir merupakan individu yang tidak dominan
atau low rank. Adapun frekuensi rata-rata perilaku berpindah monyet ekor
panjang dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.
10,0
8,6
8,0
Frekuensi
6,0
6,0
6,0
5,0
4,0
4,7
2,6
2,8
3,1
E1
E2
1,7
2,0
0,0
α
β1
β2
γ1
Individu
γ2
D1
D2
Gambar 14 Grafik rata-rata frekuensi berpindah monyet ekor panjang.
Berdasarkan Gambar 14 di atas, dapat diketahui rata-rata frekuensi
berpindah monyet ekor panjang setiap harinya. Angka tersebut menunjukkan
jumlah perpindahan monyet dari satu lokasi ke lokasi lainnya, bukan
merupakan jumlah perpindahan monyet ketika melakukan aktivitas satu ke
aktivitas lainnya. Individu yang paling aktif berpindah yaitu D2, α dan γ1. D2
merupakan betina dominan yang tidak sedang bunting sehingga memiliki
frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan D1 yang merupakan betina dewasa
yang sedang bunting. Akan tetapi frekuensi berpindah betina dominan tersebut
lebih tinggi dibandingkan betina yang tidak dominan yaitu E1 dan E2. Pada
jantan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi berpindah
dengan hierarki sosial jantan tersebut. Individu α memiliki frekuensi berpindah
yang paling tinggi.
4. Perilaku istirahat
Perilaku istirahat merupakan tindakan diam di suatu tempat tanpa
melakukan kegiatan lain yang membutuhkan perpindahan. Monyet ekor
panjang beristirahat baik di luar maupun diantara waktu aktifnya. Monyet ini
biasanya beristirahat dengan cara duduk di batang pohon, merebahkan
badannya di batang pohon, bahkan sampai memejamkan matanya atau tidur
(Gambar 15). Strata pohon yang biasa digunakan oleh monyet di kelompok ini
untuk beristirahat yaitu strata C dengan ketinggian antara 4-20 meter dengan
tajuk yang cukup rindang.
(a)
(b)
Gambar 15 Perilaku istirahat monyet ekor panjang. Ket: (a) α duduk di
batang pohon; (b) D1 merebahkan badan di pohon.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, hierarki sosial tidak
berpengaruh terhadap frekuensi istirahat monyet. Jantan atau betina dengan
hierarki sosial tinggi maupun rendah melakukan perilaku istirahat di antara
aktivitas lainnya. Mereka lebih sering beristirahat di pohon dibandingkan di
atas permukaan tanah karena lebih terlindung dari sinar matahari. Mereka juga
lebih sering beristirahat pada siang dan sore hari dibandingkan pada pagi hari.
Hal ini disebabkan karena pada pagi hari mereka lebih aktif dalam mencari
makan. Gambar 16 di bawah ini menggambarkan frekuensi rata-rata perilaku
istirahat yang dilakukan monyet ekor panjang setiap hari.
5,0
Frekuensi
3,0
4,0
3,9
4,0
2,5
3,0
2,6
2,0
1,6
1,5
2,0
2,0
1,0
0,0
α
β1
β2
γ1
γ2
Individu
D1
D2
E1
E2
Gambar 16 Grafik rata-rata frekuensi istirahat monyet ekor
panjang.
5. Perilaku grooming
Perilaku grooming merupakan tindakan menelisik baik yang dilakukan
olah jantan, betina, jantan terhadap betina, betina terhadap jantan, maupun
sesama betina. Selain mencari kutu, biasanya grooming juga dilakukan untuk
membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di badan monyet. Perilaku ini
lebih banyak dilakukan oleh betina dibandingkan oleh jantan, seperti yang
terlihat pada Gambar 17 di bawah ini. Perilaku ini juga seringkali dilakukan
monyet setelah melakukan aktivitas kopulasi. Umumnya, yang melakukan
grooming yaitu monyet betina terhadap monyet jantan. Monyet jantan biasanya
mencari kutu pada bagian tubuhnya sendiri seperti tangan atau kaki.
2,5
2,0
Frekuensi
2,0
1,5
0,9
1,0
0,5
0,1
0,1
0,0
α
β1
β2
0,2
0,4
0,3
E1
E2
0,1
0,0
γ1
γ2
Individu
D1
D2
Gambar 17 Grafik rata-rata frekuensi grooming monyet ekor panjang.
Monyet yang paling sering melakukan grooming yaitu betina dominan
(D). Betina dominan dapat melakukan perilaku tersebut pada individu
manapun, mulai dari jantan dewasa, remaja, anak, sampai bayi. Individu yang
dicarikan kutu oleh D bersikap lebih menurut dan diam saja ketika dicarikan
kutunya, sehingga perilaku tersebut memiliki intensitas dan frekuensi yang
lebih sering pada D. Lain halnya apabila betina tidak dominan yang melakukan
grooming terhadap individu lainnya, dimana individu tersebut dapat menolak
dengan berlari menjauhi betina tersebut. Berdasarkan Gambar 17, diketahui
bahwa monyet jantan sangat jarang melakukan grooming. Biasanya, jantan
melakukan grooming kepada dirinya sendiri. Selama pengamatan, hanya satu
kali dijumpai perilaku jantan yang melakukan grooming terhadap betina, yaitu
betina pasangannya.
Menurut Vore dan Eimer (1984) diacu dalam Sophia (1999), kegiatan
grooming merupakan sarana yang sangat berguna untuk menjalin hubungan
sosial antar anggota suatu kelompok dan untuk berbagai macam tujuan lain.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa fungsi penting tindakan saling menelisik pada
monyet ialah kegiatan ini meniadakan garis hierarki dan menjalin hubungan
akrab tanpa pandang kedudukan atau kekuasaan. Perilaku grooming pada
monyet ekor panjang dapat dilihat pada Gambar 18 di bawah ini.
Gambar 18 Perilaku grooming individu D2 terhadap anak.
6. Perilaku agonistik
Perilaku
agonistik
merupakan
tindakan
perkelahian,
pengejaran,
pemberian peringatan, maupun reaksi-reaksi lainnya yang berhubungan dengan
pertentangan. Perilaku ini biasanya dilakukan oleh individu yang peringkat
sosialnya lebih tinggi terhadap individu dengan peringkat sosial yang lebih
rendah maupun terhadap manusia dan satwa lain yang dianggap mengancam.
Perilaku agonistik dapat terjadi antara jantan dan betina, sebagaimana terlihat
pada Gambar 19 di bawah ini.
Gambar 19 Perilaku agonistik antara D1 dengan β1.
Perkelahian biasanya terjadi ketika terdapat individu yang mendekati
atau mengganggu bayi atau anak dari individu betina, individu tidak dominan
mendekati sumber pakan yang terdapat individu dominan, jantan yang
mendekati pasangan jantan lain, monyet dari kelompok lain yang memasuki
wilayah kelompok 3, jantan dominan yang ingin mengalahkan raja kelompok
tersebut dan gangguan-gangguan lainnya. Dalam perkelahian, dapat terjadi
penggertakan, kejar-mengejar bahkan cakar-mencakar sampai monyet tersebut
terluka.
Kriteria individu yang memiliki perilaku lebih galak atau agresif yaitu:
a. Individu yang merupakan keturunan raja. Hal ini ditunjukan dengan
perilakunya yang lebih berani melawan monyet lain yang tidak dominan
meskipun monyet tersebut memiliki badan yang lebih besar.
b. Betina yang menjadi pasangan raja. Meskipun hierarki sosialnya bukan
betina yang dominan, ketika menjadi pasangan raja betina tersebut akan lebih
berani dalam berinteraksi sosial dan beraktivitas karena selalu diikuti raja.
Contohnya, betina tersebut dapat melakukan grooming dengan banyak
individu, dapat makan bersama raja dan tidak dikejar monyet dominan lain
ketika mengambil pakan.
c. Betina yang sedang bunting dan menyusui. Betina cenderung lebih sensitif
ketika sedang bunting dan menyusui, terutama ketika mempunyai bayi atau
anak dimana betina tersebut sangat protektif terhadap anaknya.
d. Individu yang memiliki hierarki sosial lebih tinggi. Apabila dibandingkan
dengan individu yang tidak dominan, individu yang dominan tentu bersifat
lebih galak karena individu tersebut mengawasi monyet-monyet lain dalam
kelompoknya agar tidak menimbulkan gangguan maupun monyet dari
kelompok lain yang memasuki wilayah kelompok monyet tersebut.
Gambar 20 di bawah ini menunjukkan perilaku agonistik yang terjadi
pada monyet ekor panjang di kelompok 3. Dari Gambar tersebut dapat terlihat
bahwa monyet dengan hierarki sosial yang dominan lebih sering melakukan
perilaku agonistik dibandingkan monyet yang hierarki sosialnya lebih rendah,
terutama pada individu betina. Betina dominan lebih aktif dalam mengawasi
keadaan di kelompoknya dari gangguan, terutama dari individu yang
mendekati anak atau bayi betina tersebut. Pada individu jantan, perbedaan
frekuensi tersebut tidak terlalu signifikan. Hal tersebut dikarenakan sifat jantan
yang seringkali mendekati individu lain yang sedang berkelahi.
1,5
Frekuensi
1,1
0,9
1,0
0,9
0,8
0,6
0,5
0,3
0,1
0,1
0,0
0,0
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
Individu
D2
E1
E2
Gambar 20 Grafik rata-rata frekuensi agonistik monyet ekor panjang.
5.4 Perilaku Seksual
Perilaku seksual merupakan tindakan seksual yang dilakukan oleh individu
jantan dan betina dewasa yang bertujuan untuk melakukan proses reproduksi
sehingga dapat menghasilkan keturunan. Monyet ekor panjang termasuk satwa
multimale-multifemale, dimana satu jantan atau satu betina dewasa dapat kawin
dengan banyak lawan jenisnya. Monyet ekor panjang dapat membentuk pasangan
yang dapat bertahan selama beberapa hari. Selama berpasangan, monyet tersebut
dapat melakukan aktivitas seksual dengan monyet lain yang bukan pasangannya.
Akan tetapi frekuensi terjadinya kopulasi lebih tinggi pada monyet yang
berpasangan tersebut. Pada Gambar 21 di bawah ini, dapat terlihat rata-rata
frekuensi perilaku seksual monyet ekor panjang. Aktivitas seksual dengan
frekuensi tertinggi terdapat pada individu betina tidak dominan karena betina
tersebut tidak terlalu selektif dalam memilih jantan yang boleh mengawininya.
1,5
1,5
1,0
1,0
Frekuensi
1,1
1,0
0,9
0,7
0,4
0,5
0,5
0,0
0,0
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
Individu
Gambar 21 Grafik rata-rata frekuensi perilaku seksual monyet ekor panjang.
Penerimaan jantan oleh setiap individu betina memiliki frekuensi yang
berbeda-beda, seperti yang terlihat pada Gambar 22 di bawah ini. Individu yang
lebih banyak diterima oleh D1 yaitu individu α. D1 merupakan betina yang paling
dominan dibandingkan betina lain di kelompoknya. Individu D1 merupakan betina
yang sedang bunting, oleh karena itu individu ini memiliki frekuensi aktivitas
seksual yang rendah. Individu yang lebih banyak diterima oleh D2 yaitu individu
γ1. Berdasarkan wawancara terhadap staf lapang, diketahui bahwa γ1 merupakan
anak dari D2, sehingga diduga hal tesebut mempengaruhi penerimaan D2 terhadap
γ1 yang cukup tinggi. Individu yang lebih banyak diterima oleh E1 yaitu individu
α, hal ini dikarenakan E1 dan α merupakan pasangan yang terbentuk selama
beberapa hari sehingga frekuensi aktivitas seksualnya lebih tinggi dibandingkan
aktivitas seksual dengan jantan lainnya.
Individu yang lebih banyak diterima oleh E2 yaitu individu β1. Sama halnya
dengan E1 dan α, E2 dan β1 juga membentuk pasangan yang terbentuk selama
beberapa hari sehingga frekuensi aktivitas seksualnya cukup tinggi. Selama
pengamatan, tidak ditemukan aktivitas seksual yang dilakukan oleh individu γ2.
Hal tersebut dapat disebabkan karena individu yang termasuk jantan low rank
tersebut melakukan aktivitas seksual di luar jangkauan pengamatan, sehingga
tidak terlihat oleh pengamat. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada staf
lapang, mereka mengatakan bahwa jantan tersebut beberapa kali terlihat
melakukan aktivitas seksual terhadap betina.
14
α
β1
β2
γ1
γ2
12
Frekuensi
10
8
6
4
2
0
D1
D2
E1
E2
Individu
Gambar 22
Grafik frekuensi penerimaan jantan oleh betina dalam aktivitas
seksual.
Jantan yang telah berpasangan dengan betina bersifat lebih protektif
terhadap betina pasangannya. Meskipun jantan tersebut dapat kawin dengan
betina lainnya, dia akan melindungi betina pasangannya agar tidak dikawini oleh
jantan lain. Apabila terdapat jantan dewasa yang mencoba mendekati atau
melakukan tindakan seksual terhadap betina pasangannya maka dapat terjadi
perkelahian, kecuali apabila jantan yang mendekati betina tersebut memiliki
hierarki sosial yang lebih tinggi, maka jantan tersebut hanya akan menyeringai
(grimace) jantan lain dengan hierarki sosial yang lebih tinggi tersebut. Individu
yang memiliki inisiatif dalam pergerakan pada monyet ekor panjang yang
berpasangan yaitu individu betina. Selama berpasangan, jantan selalu mengikuti
betina dalam berpindah ke tempat lain. Pasangan jantan dan betina ini dapat
25
20
15
10
5
0
Frekuensi
Frekuensi
berlangsung selama 4-5 hari.
α
β
Hierarki Sosial
(a)
γ
30
25
20
15
10
5
0
Dominan
Tidak dominan
Hierarki Sosial
(b)
Gambar 23 Garis kecenderungan aktivitas seksual pada monyet ekor panjang.
Ket: (a) Kecenderungan aktivitas seksual pada monyet jantan; (b)
Kecenderungan aktivitas seksual pada monyet betina.
Gambar 23 di atas menunjukkan kecenderungan frekuensi aktivitas seksual
pada jantan berbeda dengan betina. Pada jantan, semakin tinggi hierarki sosial
suatu jantan maka semakin tinggi frekuensi aktivitas seksualnya, sedangkan pada
betina, semakin tinggi hierarki sosial suatu betina maka semakin rendah frekuensi
aktivitas seksual betina tersebut. Monyet jantan yang paling dominan dapat
mengawini banyak monyet betina di kelompoknya tanpa harus berkelahi dengan
jantan lainnya. Betina dominan bersifat lebih selektif dalam memilih jantan yang
boleh mengawininya. Betina dominan lebih memilih jantan yang dominan juga.
Selain itu, betina dominan juga lebih tanggap terhadap gangguan dan melakukan
pengawasan terhadap individu lain dalam kelompoknya sehingga frekuensi
kawinnya lebih sedikit.
Monyet ekor panjang merupakan satwa poliestrus, yaitu satwa yang
mengalami estrus lebih dari satu kali dalam satu tahun. Selama pengamatan, setiap
hari selalu ditemukan perilaku kawin meskipun pada individu yang berbeda-beda.
Masyud (1995) menyatakan bahwa monyet ekor panjang memiliki lama waktu
birahi antara 12-24 jam sehari. Jadi, pada betina yang tidak sedang bunting atau
menyusui, dapat ditemukan aktivitas seksual setiap harinya. Yusuf (1998)
menyatakan bahwa monyet ekor panjang memiliki siklus menstruasi antara 27-31
hari dengan lama menstruasi 3-4 hari. Akan tetapi, menstruasi tidak berpengaruh
terhadap aktivitas seksual karena meskipun betina tersebut sedang menstruasi
tetap terjadi aktivitas seksual bahkan mencapai ejakulasi. Menstruasi merupakan
pertanda bahwa setelah kopulasi tidak terjadi pembuahan (ovulasi) sehingga
betina tersebut tidak bunting.
5.4.1 Jenis aktivitas seksual monyet ekor panjang
Perilaku seksual (kopulasi) pada monyet ekor panjang merupakan perilaku
yang dilakukan sebelum, saat dan setelah melakukan intromisi. Perilaku ini
dilakukan oleh jantan dan betina dewasa dan dapat dilakukan baik di pepohonan
maupun di permukaan tanah. Perilaku seksual tersebut meliputi beberapa aktivitas
sebagai berikut:
a. Mengejar
Pengejaran dilakukan oleh jantan terhadap betina dengan cara berlari.
Perilaku ini termasuk perilaku pemaksaan betina agar mau melakukan kopulasi
dengan jantan. Betina yang dikejar biasanya memperlihatkan muka yang
menyeringai (grimace) pertanda tidak ingin didekati oleh jantan tersebut.
b. Mendorong
Perilaku mendorong juga dilakukan oleh jantan agar posisi betina
menungging (hindquarter presence) sehingga memudahkan jantan untuk
melakukan pemeriksaan kelamin atau kopulasi. Berdasarkan hasil pengamatan
dapat diketahui bahwa setiap kali mendorong betina, jantan selalu dapat
melakukan intromisi.
c. Mendekati lawan jenis
Perilaku mendekati dapat dilakukan oleh jantan maupun betina. Akan
tetapi, frekuensi perilaku mendekati lebih sering dilakukan oleh jantan. Betina
yang mendekati bahkan sampai memperlihatkan kelaminnya kepada jantan
merupakan betina yang sedang birahi. Perilaku ini dilakukan dengan cara
berjalan secara perlahan ke arah lawan jenisnya tersebut.
Gambar 24 Jantan α mendekati betina.
d. Memeriksa kelamin
Pemeriksaan kelamin dilakukan oleh jantan terhadap betina. Perilaku ini
didahului dengan perilaku jantan yang mengangkat ekor betina. Tetapi, terdapat
juga betina yang tanggap dan langsung mengangkat ekornya ketika didekati
jantan. Tidak semua perilaku intromisi didahului dengan pemeriksaan kelamin.
Perilaku pemeriksaan kelamin dibedakan menjadi tiga, yaitu dengan cara dilihat
(visual communication), dicium (olfactory communication) dan disentuh
(tactile communication). Berdasarkan hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa
76% pemeriksaan kelamin dilakukan dengan cara dilihat, 10% dengan cara
dicium dan 14% dengan cara disentuh. Priatna (2003) memaparkan bahwa
pemeriksaan kelamin dilakukan jantan untuk melihat apakah betina tersebut
sedang estrus atau tidak lewat lendir yang ada pada alat kelaminnya. Poole
(1985) juga mengatakan bahwa perilaku prakopulasi terdiri dari jantan
mengidentifikasi betina estrus dan mencoba untuk bersaing untuk mendapatkan
dan bercumbu (courtship) dengan betina tersebut.
e. Intromisi
Intromisi merupakan perilaku masuknya penis ke dalam alat kelamin
betina. Jantan menaiki betina dengan cara memegang pinggul betina lalu kaki
bertumpu pada betis betina dan melakukan gerakan thrusting, seperti yang
terlihat pada Gambar 25 di bawah ini. Selama pengamatan, tidak ditemukan
posisi lain ketika jantan dan betina melakukan intromisi.
Gambar 25 Posisi jantan dan betina dalam aktivitas intromisi.
f. Ejakulasi
Ejakulasi merupakan perilaku penyemprotan sperma ke dalam vagina.
Pada monyet ekor panjang, perilaku ini ditandai dengan semakin cepatnya
gerakan thrusting dan wajah betina yang menyeringai ke arah jantan yang
mengawininya. Setelah jantan mengeluarkan spermanya dan melepaskan
penisnya dari vagina betina, biasanya betina tersebut akan mengeluarkan suara
yang khas beberapa kali. Selain itu, pada penis jantan akan terlihat cairan
sperma yang berwarna putih kental. Seringkali jantan membersihkan
kelaminnya setelah mengeluarkan sperma.
Menurut Andryansyah (1997) diacu dalam Priatna (2003), terjadinya
ejakulasi dapat diketahui dengan cara:
1) Adanya cairan ejakulasi (ejaculation plug) yang biasanya masih tercecer
disekitar alat kelamin monyet ekor panjang setelah melakukan kopulasi.
2) Saat mendorong penis (thrusting), jantan akan berhenti sebentar dan
tubuhnya bergetar setelah ia melakukannya.
3) Setelah selesai mendorong penis (thrusting), betina akan berlari menjauhi
jantan sambil mengeluarkan suara.
g. Grooming
Perilaku grooming seringkali dilakukan betina setelah melakukan
kopulasi dengan jantan, meskipun tidak semua kopulasi diteruskan dengan
grooming. Selama pengamatan, hanya ditemukan satu kali perilaku grooming
dimana jantan yang mencari kutu betina yang dikawininya, yaitu antara
individu α dan E1. Jantan dan betina tersebut merupakan pasangan yang
terbentuk selama beberapa hari.
Gambar 26 Jantan α melakukan grooming terhadap E1.
h. Menolak
Perilaku penolakan dilakukan betina terhadap jantan dengan cara berlari
ketika didekati jantan. Betina menolak untuk melakukan kopulasi dapat
disebabkan karena sedang bunting, menyusui, atau karena hierarki sosial betina
tersebut tinggi sedangkan jantan tersebut termasuk satwa dengan hierarki sosial
yang rendah. Perilaku ini dapat berlanjut menjadi perilaku perkelahian antara
jantan dan betina tersebut.
3
Mengejar
97
Mendekati
56
Memeriksa kelamin
64
Intromisi
41
Ejakulasi
11
Grooming
Mendorong
4
Menolak
3
0
20
40
Frekuensi
60
80
100
Gambar 27 Frekuensi jenis-jenis aktivitas seksual monyet ekor
panjang.
Gambar 27 memperlihatkan frekuensi dari setiap perilaku seksual yang
dilakukan monyet ekor panjang selama pengamatan. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa tidak semua jantan yang mendekati betina diterima untuk
melakukan kopulasi. Dari 97 perilaku mendekati betina yang dilakukan oleh
jantan, hanya 64 kali yang sampai kepada kopulasi. Berbeda dengan perilaku
pendorongan (pemaksaan) yang 100% sampai kepada kopulasi. Tidak semua
perilaku kopulasi dilanjutkan dengan perilaku grooming. Dari 64 kopulasi
hanya 11 kopulasi (17%) yang setelahnya dilanjutkan dengan perilaku
grooming. Jantan tidak selalu melakukan ejakulasi ketika kopulasi, dari 64
kopulasi yang terjadi, hanya 41 perilaku ejakulasi yang terjadi, atau sebesar
64%.
Berdasarkan Gambar 27 juga dapat disimpulkan bahwa terdapat variasi
tahap-tahap perilaku yang berbeda pada perilaku seksual monyet ekor panjang.
Variasi tahap-tahap perilaku seksual monyet ekor panjang dapat dilihat pada
tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Variasi tahapan perilaku seksual monyet jantan terhadap monyet betina
No
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l
m
n
Tahap Perilaku Seksual
Md
Md-PK
Md-PK-Int
Md-PK-Int-Ej
Md-PK-Int-Ej-Gr
Dr-Int
Md-Int
Kj-Dr-Int
Md-Int-Gr
Md-Int-Ej
Md-Bd
Md-Bd-PK
Md-Bd-Int-Ej
Md-PK-Int-Gr
Σ
Keterangan: Md = Mendekati
PK = Memeriksa kelamin
Int = Intromisi
Ej = Ejakulasi
Frekuensi
2
18
7
13
8
1
12
3
1
15
6
2
1
2
91
Persentase(%)
2,2
19,8
7,7
14,3
8,8
1,1
13,2
3,3
1,1
16,5
6,6
2,2
1,1
2,2
100,0
Gr = Grooming
Dr = Mendorong
Kj = Mengejar
Tahap perilaku seksual yang paling banyak dilakukan oleh monyet ekor
panjang khususnya monyet jantan terhadap betina adalah tahap b, yaitu
mendekati dan pemeriksaan kelamin. Perilaku ini tidak dilanjutkan dengan
kopulasi dapat disebabkan oleh betina yang melakukan penolakan untuk
kopulasi sehingga betina tersebut lari setelah pemeriksaan kelamin. Tahap j
juga cukup banyak dilakukan oleh monyet ekor panjang, yaitu mendekati,
kopulasi, dan ejakulasi. Perilaku kopulasi ini tidak didahului dengan
dilakukannya pemeriksaan kelamin. Hal ini disebabkan betina yang memberi
respon positif ketika didekati oleh jantan, salah satunya dengan berdiri
memperlihatkan kelaminnya. Selain itu dapat disebabkan karena jantan dan
betina tersebut merupakan pasangan, sehingga jantan tidak melakukan
pemeriksaan kelamin terlebih dahulu untuk melihat apakah betina tersebut
sedang estrus atau tidak.
Jumlah gerakan mendorong penis (thrusting) rata-rata yang terjadi setiap
kopulasi yaitu sebanyak 11 kali. Banyak atau sedikitnya gerakan kopulasi tidak
dipengaruhi oleh hierarki sosial individu jantan atau betina, melainkan
kecepatan jantan untuk melakukan ejakulasi. Setelah terjadi ejakulasi, betina
akan mengeluarkan suara khas dengan frekuensi rata-rata sebanyak 5 kali.
Biasanya betina mengeluarkan suara tersebut sembari berlari menjauhi jantan.
Aktivitas lain yang dilakukan setelah kopulasi yaitu grooming. Individu yang
lebih sering melakukan grooming terhadap pasangannya yaitu betina. Perilaku
istirahat juga seringkali dilakukan setelah melakukan kopulasi, yaitu betina atau
jantan yang baru saja melakukan kopulasi menjauhi pasangan kopulasinya
tersebut kemudian duduk diam selama beberapa waktu tanpa melakukan
aktivitas lainnya.
5.4.2 Preferensi waktu dan lokasi perilaku seksual
Perilaku seksual monyet ekor panjang lebih banyak dilakukan pada pagi
hari (Gambar 28). Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa 54% perilaku
seksual dilakukan pada pagi hari dan 46% perilaku seksual dilakukan sore hari.
Perilaku seksual yang banyak terjadi di pagi hari disebabkan oleh berbagai faktor,
yaitu ketersediaan pakan, suhu dan cuaca. Staf lapang memberikan pakan pada
pagi hari, sehingga banyak monyet ekor panjang yang berkumpul di sekitar lokasi
pakan. Pada pagi hari juga udara lebih sejuk dibandingkan sore hari sehingga
mendukung dalam beraktivitas termasuk melakukan perilaku seksual. Cuaca yang
cerah juga lebih disukai monyet ekor panjang untuk melakukan perilaku seksual.
Sebanyak 42% perilaku seksual dilakukan pada cuaca yang panas, 56% pada
cuaca yang berawan dan hanya 2% yang dilakukan pada cuaca yang mendung.
Selama pengamatan, tidak ditemukan monyet ekor panjang yang melakukan
perilaku seksual ketika turun hujan, baik gerimis maupun hujan lebat.
12
9
10
4
4
5
3
5
5
3
5
5
2
1
1
1
17.30-18.00
5
7
17.00-17.30
Frekuensi (kali)
15
16.30-17.00
16.00-16.30
15.30-16.00
15.00-15.30
14.30-15.00
14.00-14.30
09.30-10.00
09.00-09.30
08.30-09.00
08.00-08.30
07.30-08.00
07.00-07.30
06.30-07.00
06.00-06.30
0
Waktu
Gambar 28 Preferensi waktu aktivitas seksual monyet ekor panjang.
Berbeda dengan perilaku harian, perilaku seksual lebih sering dilakukan di
pepohonan. Sebanyak 69% perilaku seksual dilakukan di pohon dan 31% perilaku
seksual dilakukan di atas tanah. Lokasi perilaku seksual di pepohonan lebih
disukai monyet ekor panjang karena lebih terlindung dari gangguan-gangguan
yang ada di atas tanah seperti biawak, ular dan manusia. Aktivitas seksual tersebut
lebih sering dilakukan di pohon pada ketinggian 4-20 m. Beberapa kali juga
terdeteksi adanya aktivitas seksual pada tajuk pohon yang tinggi, yaitu adanya
suara khas pada betina setelah jantan melakukan ejakulasi. Akan tetapi, tidak
terdapat karakteristik khusus dari pepohonan yang sering digunakan monyet untuk
melakukan aktivitas seksual. Monyet tersebut dapat melakukan aktivitas seksual
baik pada pohon dengan penutupan tajuk yang rapat maupun yang tidak rapat.
Lokasi tersebut lebih berkaitan dengan penerimaan betina terhadap jantan, apabila
betina menerima ajakan jantan untuk melakukan aktivitas seksual maka di lokasi
tersebutlah dilakukan aktivitas seksual.
5.4.3 Aktivitas seksual yang terjadi sesama jantan
Selama pengamatan, ditemui beberapa perilaku seksual yang menyimpang,
yaitu perilaku seksual yang dilakukan jantan terhadap jantan lainnya. Perilaku
tersebut berupa perilaku menaiki dan melakukan gerakan intromisi yaitu gerakan
memaju-mundurkan pinggulnya. Perilaku tersebut diduga merupakan salah satu
perilaku affialiative untuk menunjukkan bahwa individu tersebut tidak akan
bertindak agonistik terhadap individu lainnya. Selama pengamatan, hanya
ditemukan lima kali perilaku tersebut, yaitu perilaku yang dilakukan oleh individu
β1 ke β2, β1 ke γ1, β2 ke β1, γ2 ke β1 dan γ2 ke α. Selain itu, ditemukan juga
perilaku jantan dewasa yang menaiki remaja jantan. Akan tetapi, individu yang
melakukan perilaku ini tidak dapat disimpulkan merupakan individu yang
memiliki penyimpangan dalam perilaku seksual karena individu-individu tersebut
lebih sering melakukan perilaku seksual terhadap betina. Jantan dewasa yang
melakukan perilaku menaiki jantan lain diduga untuk melampiaskan birahinya
ketika tidak ada betina yang bersedia untuk melakukan kopulasi.
5.4.4 Aktivitas seksual pada monyet remaja dan anak
Monyet ekor panjang dari kelas umur remaja dan anak belum dapat
melakukan kopulasi karena individu tersebut belum mengalami kematangan
seksual (sexual maturity). Aktivitas yang dilakukan yang berhubungan dengan
aktivitas seksual hanya berupa menaiki dan melakukan gerakan intromisi.
Individu yang biasanya melakukan aktivitas tersebut yaitu monyet jantan terhadap
monyet betina maupun monyet jantan lainnya. Monyet betina bersifat lebih pasif
dan tidak pernah terlihat menaiki monyet jantan. Perilaku ini hanya berlangsung
selama beberapa detik saja. Perilaku-perilaku ini termasuk dalam perilaku meniru
(allelomimetik) dari monyet lainnya. Tanudimadja (1987) memaparkan bahwa
perilaku meniru mencakup dua hewan yang mengerjakan pekerjaan yang sama
dengan sedikit stimulasi timbal balik.
5.5 Pengaruh Perilaku Seksual Terhadap Perilaku Harian Monyet Ekor
Panjang
Perilaku seksual yang dilakukan oleh monyet ekor panjang dapat
menimbulkan pengaruh terhadap frekuensi beberapa perilaku harian monyet
tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa ketika sedang
aktif dalam melakukan perilaku seksual, terdapat pengaruh berupa peningkatan
ataupun penurunan terhadap frekuensi beberapa perilaku harian baik pada monyet
jantan maupun betina. Monyet betina tersebut dibedakan menjadi betina yang
sedang bunting dan betina yang tidak sedang bunting. Perilaku harian yang dapat
terkena pengaruh oleh perilaku seksual yaitu perilaku makan, berpindah dan
istirahat. Perilaku minum, grooming dan agonistik tidak terlalu terpengaruh oleh
frekuensi perilaku seksual yang dilakukan karena perilaku-perilaku tersebut hanya
memiliki frekuensi yang rendah dan bukan merupakan perilaku harian utama yang
dilakukan oleh monyet ekor panjang. Variabel yang dibandingkan adalah
frekuensi dari perilaku seksual dengan frekuensi dari perilaku makan, berpindah
dan istirahat dari individu jantan, betina yang sedang bunting dan betina yang
tidak sedang bunting.
5.5.1 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku makan
Berdasarkan analisis korelasi yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa
aktivitas seksual yang dilakukan monyet ekor panjang berpengaruh terhadap
perilaku makan monyet tersebut. Perilaku ini memberikan pengaruh yang berbeda
pada monyet jantan dan betina. Pada monyet jantan, hubungan antara perilaku
seksual dengan perilaku makan adalah kuat, signifikan pada taraf 0,01 dan positif
(searah). Semakin tinggi frekuensi perilaku seksual jantan, maka semakin tinggi
frekuensi perilaku makannya. Besarnya peranan perilaku seksual terhadap
perubahan frekuensi perilaku makan jantan adalah sebesar 39,56%.
Pada monyet betina yang tidak sedang bunting, hubungan antara perilaku
seksual dengan perilaku makan adalah cukup kuat, signifikan pada taraf 0,01 dan
negatif (berlawanan arah). Semakin tinggi frekuensi perilaku seksual betina, maka
semakin rendah frekuensi perilaku makannya. Besarnya peranan perilaku seksual
terhadap perubahan perilaku makan betina yang tidak sedang bunting adalah
sebesar 11,09%. Pada monyet betina yang sedang bunting, hubungan antara
perilaku seksual dengan perilaku makan adalah cukup kuat, tidak signifikan dan
negatif (berlawanan arah). Besarnya peranan perilaku seksual terhadap perubahan
perilaku makan betina yang sedang bunting adalah sebesar 9,18%. Perilaku
seksual tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku makan
monyet yang sedang bunting karena aktivitas seksual bukanlah aktivitas utama
yang dilakukan oleh betina yang sedang bunting. Monyet betina yang sedang
bunting atau mengasuh anak cenderung menolak ajakan jantan untuk melakukan
aktivitas seksual sehingga aktivitas seksual yang terjadi tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas harian betina tersebut.
Meningkatnya frekuensi makan jantan ketika jantan melakukan aktivitas
seksual dapat disebabkan karena setiap hari jantan secara aktif mencari dan
mendekati betina yang sedang estrus untuk dikawini. Hal ini menyebabkan jantan
membutuhkan energi yang lebih banyak yang dapat diperolehnya lewat pakan.
Bahkan selama pengamatan beberapa kali ditemui jantan yang melakukan
kopulasi dengan betina ketika kantung pipinya penuh oleh makanan. Penurunan
frekuensi makan betina ketika terjadi peningkatan aktivitas seksual dapat
disebabkan karena jantan mendekati betina ketika betina sedang aktif untuk
mencari makan. Menurut Santoso (1993), diketahui bahwa jantan dewasa akan
mendekati betina saat makan atau saat istirahat. Betina yang sedang estrus
cenderung akan menerima ajakan jantan untuk melakukan aktivitas seksual
bahkan intromisi meskipun jantan tersebut mendekati betina di antara aktivitas
makan. Oleh karena itu frekuensi makannya menjadi berkurang. Apabila frekuensi
makannya terus menerus mengalami penurunan ketika aktif dalam aktivitas
seksual, dikhawatirkan betina tersebut akan mengalami penurunan berat badan
dan kekurangan gizi. Hal ini dapat ditanggulangi dengan cara introduksi induk
betina dewasa sehingga jantan dewasa lebih mempunyai banyak pilihan betina
untuk melakukan aktivitas seksual. Selain itu, dapat juga diberikan tambahan
pakan yang bergizi tinggi untuk monyet di penangkaran ini.
5.5.2 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku istirahat
Seperti halnya perilaku makan, perilaku istirahat juga dapat terpengaruh
oleh aktivitas seksual yang terjadi. Pada jantan, perilaku seksual tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan frekuensi perilaku
istirahat. Kedua perilaku ini berhubungan positif. Besarnya peranan perilaku
seksual terhadap perubahan frekuensi perilaku istirahat hanya sebesar 2,02%.
Hubungan kedua perilaku ini sangat lemah sehingga dapat dianggap tidak ada.
Pada betina yang tidak sedang bunting, hubungan antara perilaku seksual
dengan perilaku istirahat adalah sangat lemah, tidak signifikan dan positif.
Besarnya peranan perilaku seksual terhadap perubahan frekuensi perilaku istirahat
hanya sebesar 4,84% sehingga dapat dianggap tidak terdapat korelasi. Pada betina
yang sedang bunting, hubungan antara kedua perilaku ini adalah kuat, tidak
signifikan dan positif. Besarnya peranan perilaku seksual terhadap perubahan
frekuensi perilaku istirahat betina yang sedang bunting adalah sebesar 50,55%
Baik pada betina yang sedang bunting maupun yang tidak sedang bunting,
perilaku seksual tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku
istirahat.
Perilaku seksual memiliki hubungan yang positif (searah) terhadap perilaku
istirahat karena setelah melakukan aktivitas seksual khususnya intromisi, baik
jantan maupun betina selalu beristirahat yaitu dengan cara diam dan tidak
melakukan aktivitas lain yang membutuhkan pergerakan selama beberapa waktu.
Biasanya jantan beristirahat sembari membersihkan kelaminnya dari cairan
ejakulasi apabila pada aktivitas seksual tersebut terjadi ejakulasi, atau dapat juga
membersihkan kelaminnya dari darah apabila betina yang dikawininya sedang
menstruasi. Pada jantan dan betina yang merupakan pasangan, perilaku istirahat
ini seringkali dilakukan berdekatan, berbeda dengan jantan dan betina yang bukan
merupakan pasangan dimana setelah terjadi aktivitas seksual betina tersebut lari
menjauhi jantan.
5.5.3 Pengaruh perilaku seksual terhadap perilaku berpindah
Perilaku seksual memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap
perilaku berpindah monyet ekor panjang. Pada monyet jantan, hubungan antara
perilaku seksual terhadap perilaku berpindah adalah cukup kuat, signifikan pada
taraf 0,01 dan positif. Semakin tinggi frekuensi perilaku seksual jantan, maka
semakin tinggi frekuensi perilaku berpindahnya. Pada monyet betina yang tidak
sedang bunting, hubungan antara kedua perilaku ini adalah sangat lemah, tidak
signifikan dan positif. Koefisien determinasi sebesar 0,397% sehingga dapat
dianggap tidak memiliki korelasi. Pada betina yang sedang bunting, hubungan
antara kedua perilaku ini adalah sangat lemah, tidak signifikan dan negatif.
Koefisien determinasi hanya sebesar 0,001% sehingga dapat dianggap tidak
memiliki korelasi.
Perbedaan pengaruh yang ditimbulkan perilaku seksual terhadap perilaku
berpindah monyet ekor panjang disebabkan oleh peran individu tersebut dalam
melakukan perilaku seksual. Individu jantan yang lebih aktif mendekati betina
untuk melakukan perilaku seksual menyebabkan meningkatnya frekuensi perilaku
berpindah monyet tersebut secara signifikan. Pada betina baik yang sedang
bunting maupun yang tidak sedang bunting, pengaruh yang ditimbulkan tidak
signifikan karena setelah melakukan perilaku seksual monyet tersebut lebih
banyak istirahat untuk mengumpulkan energi atau menunggu didekati oleh jantan
untuk melakukan aktivitas seksual.
5.6 Pengelolaan Reproduksi Monyet Ekor Panjang di Penangkaran Semi
Alami Pulau Tinjil
Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil memiliki organisasi tersendiri
langsung di bawah institusi Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM IPB).
Pengelolaan reproduksi yang telah dilakukan yaitu introduksi induk monyet dan
pemanenan hasil anakan induk monyet tersebut. Monyet yang diintroduksi
memiliki kondisi fisik dan genetik yang unggul serta kemampuan reproduksi yang
normal. Berdasarkan laporan penelitian tahun 2009 yang dilakukan oleh PSSP,
diketahui bahwa sejak awal didirikan telah dilakukan introduksi induk monyet
sebanyak 603 individu, seperti yang terlihat pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6 Introduksi monyet ekor panjang ke Pulau Tinjil
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Tanggal Introduksi
21 Februari 1988
29 April 1988
10 Juli 1988
26 Juli 1988
28 September 1988
14 Maret 1989
26 April 1989
21 Oktober 1989
26 Juni 1990
4 Juni 1991
5 September 1994
20 Mei 2006
5 Januari 2007
Total
Sumber: Iskandar et al. (2009)
Jantan
1
5
2
7
0
13
1
29
0
0
0
3
0
61
Betina
50
10
11
51
10
53
47
96
89
3
42
32
48
542
Total
51
15
13
58
10
66
48
125
89
3
42
35
48
603
Penangkaran semi alami Pulau Tinjil bertujuan untuk mengembangbiakan
monyet ekor panjang dimana hasil perkembangbiakan tersebut akan digunakan
sebagai satwa model dalam penelitian biomedis, biologi dan perilaku. Jumlah
monyet ekor panjang yang telah dipanen sejak tahun 1999 sampai 2008 yaitu
sebanyak 1585 individu (tabel 7).
Tabel 7 Pemanenan monyet ekor panjang dari Pulau Tinjil
No.
Tahun Pemanenan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Total
Sumber: Iskandar et al. (2009)
Individu yang Dipanen
Jantan
Betina
59
39
48
12
25
35
60
124
127
73
140
62
149
119
88
84
136
91
71
43
903
682
Total
98
60
60
184
200
202
268
172
227
114
1585
Kegiatan lapang yang dilakukan di Pulau Tinjil yaitu :
a. Habituasi, yaitu kegiatan adaptasi monyet ekor panjang sebelum dilakukan
penangkapan berupa pemberian pakan pisang dan jagung di dalam kandang
tangkap tanpa melakukan penangkapan. Hal ini bertujuan untuk memancing
kedatangan kelompok monyet ekor panjang yang berada di sekitar kandang
tangkap agar terbiasa untuk mengambil pakan di dalam kandang tangkap dan
tidak takut untuk memasuki kandang tersebut ketika dilakukan penangkapan.
Pakan jagung diberikan dengan cara disebar di lantai kandang sedangkan
pisang diberikan baik digantung di dalam kandang maupun ditaruh di lantai
kandang. Habituasi dilakukan selama 2 periode pengkapalan atau shipment
(lebih kurang 10 hari).
b. Penangkapan. Syarat monyet yang ditangkap yaitu jantan atau betina dalam
kelas umur remaja sampai dewasa dengan umur 1,5-2,5 tahun, berat badan
antara 1,8-5,0 kg, tidak memiliki tato dan sehat secara fisik (tidak luka atau
cacat). Monyet yang masuk ke dalam kandang tangkap dibawa dengan
menggunakan karung ke kandang penampungan. Untuk monyet jantan dewasa,
sebelum dimasukkan ke dalam karung monyet tersebut dibius terlebih dahulu
agar tidak membahayakan staf lapang yang menangkapnya. Obat bius yang
digunakan yaitu ketamin dengan dosis 10 mg/kg berat badan yang diberikan
dengan cara disuntik pada paha atau pantat monyet tersebut.
c. Penampungan monyet di kandang tampung. Setelah di tangkap, monyet
tersebut ditimbang terlebih dahulu. Monyet yang akan ditampung untuk
kemudian dipanen dipilih yang berat badannya lebih dari syarat berat minimal
monyet yang boleh dipanen, karena monyet yang ditampung seringkali
mengalami penurunan berat badan akibat stres.
d. Pemberian pakan monyet di kandang tampung. Monyet di kandang tampung
diberikan makan dan minum satu hari sekali yaitu pada pagi hari. Pakan berupa
pisang dan jagung dengan komposisi yang disesuaikan dengan jumlah monyet
yang ada di dalam kandang tersebut.
e. Pembuatan tato. Setiap monyet ekor panjang yang akan dipanen dari Pulau
Tinjil terlebih dahulu ditato di paha kanannya berupa nomor urut monyet.
Sebelum ditato, daerah paha kanan tersebut dibersihkan dari bulu dengan cara
dicukur. Gambar 29.a. di bawah ini menunjukkan proses pembuatan tato pada
monyet ekor panjang. Monyet tersebut ditato dalam keadaan pingsan setelah
disuntikkan obat bius. Gambar 29.b. menunjukkan hasil tato pada paha kanan
monyet. Huruf T menandakan monyet tersebut berasal dari Pulau Tinjil dan
angka 3288 menunjukkan bahwa monyet tersebut adalah monyet ke 3288 yang
terdata di Pulau Tinjil.
(a)
(b)
Gambar 29 Proses penatoan pada monyet ekor panjang, (a) pembuatan
tato, (b) hasil tato di paha kanan monyet.
f. Perawatan kandang tangkap dan kandang tampung. Perawatan kandang
tangkap berupa pembersihan secara berkala setiap pengkapalan (shipment),
yaitu dengan cara disapu dan dibersihkan dari serasah daun juga kulit pisang
yang sudah membusuk. Kandang tampung dibersihkan setiap hari apabila
terdapat monyet ekor panjang di dalamnya, yaitu dengan cara disapu dan dipel.
Kandang-kandang tersebut juga diperiksa apabila terdapat kerusakan untuk
kemudian diperbaiki.
g. Pengangkutan. Monyet yang sudah ditato dimasukkan ke dalam kandang
angkut. Satu kandang ditempati oleh satu ekor monyet. Di dalam kandang
tersebut dimasukkan pakan secukupnya sebagai suplai makanan bagi monyet
selama proses pengangkutan. Pakan yang disediakan berupa pisang sebanyak ±
8 buah.
Monyet ekor panjang yang sudah dipanen dibawa ke Pusat Karantina
Primata PSSP di Dramaga, Bogor untuk di karantina yang selanjutnya akan
digunakan untuk kegiatan penelitian, baik oleh PSSP maupun oleh institusi lain di
dalam dan luar negeri. Priyono (1998) mengatakan bahwa pemanenan hasil usaha
penangkaran harus dapat menjamin kelestarian ekologis serta ekonomis.
Kelestarian ekologis ditunjukkan oleh adanya kelangsungan pertumbuhan
populasi yang menuju pada tercapainya daya dukung lingkungan, sedangkan
kelestarian ekonomis merupakan perolehan manfaat finansial yang berkelanjutan.
Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil belum mempunyai program
pengelolaan reproduksi monyet ekor panjang secara khusus. Kegiatan pengelolaan
yang dilakukan lebih menekankan pada pengelolaan habitat dan populasi.
Kegiatan pengelolaan reproduksi yang telah dilakukan berupa introduksi induk
monyet dengan kualitas fisik dan genetik yang unggul. Induk dengan kualitas
unggul diperlukan di penangkaran agar dapat menghasilkan keturunan dengan
kualitas yang unggul juga. Pengelolaan reproduksi yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan keberhasilan perkembangbiakan monyet ekor panjang antara lain :
a. Pemberian pakan tambahan atau suplemen yang dapat meningkatkan kualitas
sperma dan sel telur monyet, sehingga dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya ovulasi.
b. Mengurangi populasi monyet jantan dan meningkatkan populasi monyet betina
untuk
mengurangi
persaingan
jantan
dalam
memperebutkan
betina.
Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dulu daya dukung habitat di Pulau Tinjil
sehingga dapat ditentukan nisbah kelamin jantan dan betina dewasa yang
optimal dan dapat meningkatkan tingkat natalitas per tahunnya.
c. Seleksi induk dengan fisik dan genetik unggul sehingga dapat meningkatkan
kualitas anak yang dilahirkan.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Perilaku seksual merupakan salah satu bagian penting yang perlu diketahui
dalam pengelolaan reproduksi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles
1821) di penangkaran semi alami Pulau Tinjil. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan terhadap kelompok monyet ekor panjang di kelompok kandang 3, dapat
disimpulkan bahwa:
a. Monyet ekor panjang di Pulau Tinjil tidak memiliki musim kawin. Setiap hari
selama pengamatan selalu dijumpai aktivitas seksual.
b. Semakin tinggi posisi jantan dalam hierarki sosial maka semakin tinggi
frekuensi perilaku seksualnya sedangkan semakin tinggi posisi betina dalam
hierarki sosial maka semakin rendah frekuensi perilaku seksualnya.
c. Terdapat variasi pada tahap-tahap perilaku seksual monyet ekor panjang di
kelompok kandang 3. Tahap dengan frekuensi paling tinggi yaitu mendekatimemeriksa kelamin.
d. Pada monyet jantan, perilaku seksual memiliki korelasi yang positif terhadap
perilaku makan, berpindah dan istirahat serta memberikan pengaruh yang
signifikan pada taraf 0,01 terhadap perilaku makan dan berpindah.
e. Pada monyet betina yang tidak sedang bunting, perilaku seksual berkorelasi
negatif dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku makan.
Pada monyet betina yang sedang bunting, perilaku seksual berkorelasi negatif
dengan perilaku makan serta berkorelasi positif dan memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap perilaku istirahat.
6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan yaitu:
a. Melakukan penelitian mengenai daya dukung (carrying capacity) habitat
Pulau Tinjil sehingga dapat diketahui populasi monyet ekor panjang yang
optimal berdasarkan kelas umur dan nisbah kelaminnya untuk ditangkarkan.
b. Melakukan penelitian lanjutan mengenai aspek-aspek reproduksi pada
monyet ekor panjang di Pulau Tinjil, seperti keberhasilan reproduksi, tingkat
natalitas dan mortalitas, serta aspek-aspek lainnya yang dapat menunjang
pengelolaan penangkaran.
c. Introduksi monyet betina dewasa sehingga dapat mencapai nisbah kelamin
yang optimal dalam penangkaran monyet ekor panjang di Pulau Tinjil.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid 1. Bogor: Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Bismark M. 1991. Ekologi Makan Primata [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
[CITES] Convention on International Trades in Endangered Species of Wildlife
Flora and Fauna. 2009. Macaca fascicularis. http://www.cites.org/
eng/resources/ID/fauna/Volume1/A-106.008.003.004%20Macaca%20fascicularis_E.pdf [1 Juni 2009].
Fadilah A. 2003.
fascicularis
Kabupaten
Konservasi
Bogor.
Evaluasi Habitat dan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca
Raffles 1821) di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil
Pandeglang Provinsi Banten [skripsi]. Bogor: Jurusan
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Hadinoto. 1993. Studi Perilaku dan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis Raffles 1821) dalam Kandang Penangkaran [skripsi]. Bogor:
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
Hoeve VW van. 2003. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna: Mamalia 1. Jakarta:
PT. Ikrar Mandiriabadi.
Houpt KA. 1998. Domestic Animal Behavior for Veterinarians and Animal
Scientists. Amerika Serikat: Iowa State University Press.
Huntingford F. 1984. The Study of Animal Behaviour. London: Chapman and
Hall.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.
2009. Macaca fascicularis. http://www.iucnredlist.org/details/12551/0 [2
Juni 2009].
Iskandar E. 1998. Studi Tingkah Laku Pasangan Macaca nemestrina dan Macaca
fascicularis Dewasa di PSSP LP-IPB, Bogor [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Iskandar E, SD Riendriasari, W Sinaga. 2009. Dua Dekade Penangkaran Monyet
Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821): Tinjauan Aspek Populasi,
Habitat dan Manajemen. Laporan Penelitian. Bogor: Pusat Studi Satwa
Primata LPPM IPB.
Kappeler PM, C Schaik van. 2004. Sexual Selection in Primates: New and
Comparative Perspectives. Massachusetts: Cambridge University Press.
Khadriana F. 2005. Pola Aktivitas Harian Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis Raffles 1821) di Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Bandung
Jawa Barat [tesis]. Bandung: Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut
Teknologi Bandung.
Lekagul B, JA McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Thailand: Association for
the Conservation of Wildlife.
Martin P, P Bateson. 1993. Measuring Behaviour: an Introductory Guide.
Massachussetts: Cambridge University Press.
Masyud B. 1995. Pengantar Biologi Reproduksi Pada Satwaliar. Bogor: Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Medway L. 1978. The Wild Mammals of Malaya (Peninsular Malaysia) and
Singapore Second Edition. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan Unggas. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Napier JR, PH Napier. 1985. The Natural History of Primates. Massachusetts:
The MIT Press.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Priatna B. 2003. Tingkah Laku Seksual Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis) di Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang: Studi Kasus di Pulau
Tinjil, Kabupaten Pandeglang [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu Produksi
Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Poole T. 1985. Tertiary Level Biology: Social Behaviour in Mammals. New York:
Blackie & Son Ltd.
Rameiyanti D, AR Purnama. 2008. Kuota Monyet Ekor Panjang Terus
Meningkat. http://www.profauna.org/content/id/berita/2008/monyet_ macaca_fascicularis.html#top [2 Juni 2009].
Romauli S. 1993. Studi Konservasi Vegetasi di Habitat Monyet Ekor Panjang
(Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Santoso N. 1992. Analisis Habitat dan Potensi Pakan Monyet Ekor Panjang
(Macaca fascicularis Raffles 1821) di Pulau Tinjil. Media Konservasi V (1):
5-9.
_________. 1993. Studi Populasi dan Perilaku Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis Raffles 1821) di Pulau Tinjil, Jawa Barat [tesis]. Bogor:
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Soehartono T, A Mardiastuti. 2003. Jakarta: Pelaksanaan Konvensi CITES di
Indonesia. JICA (Japan International Cooperation Agency).
Sophia RF. 1999. Studi Variasi Penggunaan Waktu Berdasarkan Status Sosial
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Hutan
Konservasi HTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan [skripsi].
Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
Sugiharto G. 1992. Studi Perilaku Makan Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis) di Pulau Tinjil, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Supriatna J, HE Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Suyanto AM, I Yoneda, Maryanto, Mahadaratunkamsi, J Sugardjito. 2002.
Checklist of the Mammals of Indonesia. Bogor: LIPI-JICA-PHKA Joint
Project for Biodiversity Conservation in Indonesia.
Tanudimadja K, S Kusumamihardja. 1985. Perilaku Hewan Ternak. Bogor:
Jurusan Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Tanudimadja K. 1987. Buku Penuntun Kuliah Ethologi. Bogor: School of
Environmental Conservation Management.
Widiyanti DR. 2001. Aktivitas Harian Monyet Ekor Panjang (Macaca
fascicularis) dan Pengaruhnya Terhadap Pengelolaan Lahan Hutan Rakyat:
Studi Kasus di Dusun Nyemani, Desa Sidoharjo, Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Wodwicka-Tomaszewska B, TD Chaniago, IK Sutama. 1991. Reproduksi,
Tingkah Laku, dan Produktivitas Ternak di Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia.
Yansyah E. 1993. Studi Perilaku Sosial dan Pola Penggunaan Ruang Monyet Ekor
Panjang (Macaca fascicularis Raffles 1821) di Kandang Terbuka (Free
Ranging) Pusat Studi Satwa Primata IPB, di Darmaga, Bogor [skripsi].
Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Yusuf TL. 1998. Penentuan Waktu Kawin dan Hubungannya dengan Gejala
Estrus pada Macaca fascicularis. Jurnal Primatologi Indonesia 2 (1):1-4.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi Unit Contoh Pengamatan
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
Gambar 30 Unit contoh pengamatan. Ket: (a) jantan α; (b) jantan β1; (c) jantan
β2; (d) jantan γ1; (e) jantan γ2; (f) betina D1; (g) betina D2; (h) betina
E1; (i) betina E2.
Lampiran 2. Rekapitulasi Perilaku Harian Monyet Ekor Panjang
Tabel 8 Rekapitulasi perilaku harian monyet ekor panjang
Status
sosial
Makan
Minum
Berpindah
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
2
1
2
2
7
3
1
-
5
9
6
5
1
6
8
5
2
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
3
1
2
2
2
2
5
2
-
6
3
1
4
1
6
5
1
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
5
3
5
1
3
8
3
4
-
4
5
5
4
1
3
12
3
-
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
1
2
3
2
3
5
1
2
1
1
-
7
2
5
5
4
9
14
3
2
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
3
2
3
2
3
1
-
1
-
5
2
1
4
3
4
5
2
-
Istirahat
Grooming
Agonistik
Total
5
8
3
4
1
2
4
2
1
1
2
3
-
1
1
2
-
14
19
10
12
2
14
22
10
4
3
3
1
3
1
2
3
3
2
1
1
-
2
1
1
1
1
-
14
8
3
11
3
5
11
15
5
3
4
1
1
1
1
3
1
1
4
2
-
2
1
1
2
1
-
13
14
11
7
3
7
29
9
5
1
3
4
1
2
2
1
1
-
1
-
1
1
1
-
11
6
12
10
8
15
22
5
4
1
5
4
2
1
1
4
1
2
1
2
-
1
2
-
9
10
5
10
6
9
14
3
2
010709
020709
030709
010809
020809
030809
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
1
1
2
2
1
2
1
-
1
1
2
-
3
6
1
7
3
2
4
1
8
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
4
4
3
2
1
5
5
2
1
1
1
-
8
8
4
5
2
7
10
2
7
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
1
3
2
2
1
4
5
2
-
1
-
6
4
4
5
1
5
9
2
4
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
1
3
1
2
1
2
-
1
1
-
4
4
2
4
2
4
10
4
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
6
7
2
2
4
7
1
-
-
4
6
1
2
4
7
3
1
α
β1
β2
γ1
4
2
2
1
7
3
1
6
3
1
3
5
3
2
1
-
2
1
2
1
1
-
4
13
4
14
10
9
8
2
10
2
4
5
2
3
2
4
2
3
1
1
4
1
-
2
1
-
14
17
13
13
6
18
22
4
12
1
1
4
1
2
1
2
1
1
-
1
1
1
-
8
9
11
7
2
11
17
6
6
1
2
5
3
1
2
2
-
1
-
1
1
-
6
8
5
9
7
7
16
2
4
1
5
2
1
3
1
1
1
-
2
1
1
2
1
-
11
20
6
5
1
14
15
5
2
1
5
1
1
2
3
15
5
1
18
040809
060809
070809
080709
090809
γ2
D1
D2
E1
E2
3
1
4
2
-
-
2
5
12
2
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
5
2
3
7
2
2
2
1
1
1
1
5
5
1
11
2
3
10
3
2
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
3
4
2
1
1
3
9
2
4
1
3
1
1
1
1
6
6
3
9
4
7
10
2
4
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
1
1
1
6
2
1
1
3
1
1
1
2
1
3
4
1
5
5
7
6
2
4
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
3
1
1
2
4
1
1
1
2
1
1
1
-
7
5
2
4
4
8
7
4
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
9
1
3
1
2
2
3
1
1
2
2
2
7
8
3
7
2
6
8
4
5
4
1
8
1
-
4
-
2
1
-
9
9
29
3
2
2
1
2
6
3
2
2
4
-
1
2
1
3
-
10
15
1
12
8
22
20
3
7
2
7
5
3
2
5
6
1
5
2
-
1
1
-
12
21
10
14
7
19
26
5
14
1
2
5
4
3
9
1
3
1
1
3
1
1
1
1
1
-
7
11
1
14
11
16
23
4
10
1
5
2
3
4
5
3
2
1
1
-
1
1
1
13
13
5
9
12
19
11
8
3
10
7
4
1
4
3
4
1
-
2
1
1
2
1
-
18
29
11
15
5
12
15
7
13
120809
130809
140809
160809
170809
180809
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
2
1
1
3
1
3
2
1
2
1
-
5
11
10
5
7
1
3
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
2
1
3
2
2
-
4
1
1
2
1
6
9
3
9
7
5
1
3
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
2
1
1
-
1
1
1
4
1
-
3
6
1
2
1
1
2
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
1
4
1
1
1
-
6
1
1
4
1
1
2
2
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
2
2
4
3
4
5
3
1
1
-
12
3
2
7
3
3
10
4
2
α
β1
β2
γ1
2
4
2
5
-
7
5
3
7
6
4
2
5
1
5
6
1
2
1
2
1
2
-
16
19
2
18
1
13
22
2
6
7
6
2
4
8
11
2
5
5
1
1
1
3
1
-
20
19
7
19
18
25
3
10
1
4
2
1
2
10
3
2
6
2
-
1
2
-
7
14
3
5
0
2
23
8
4
1
1
1
1
1
2
-
1
1
-
8
3
2
9
1
5
4
4
2
2
3
4
1
1
1
1
1
3
-
1
1
1
1
1
-
17
8
7
16
8
9
20
8
4
1
2
1
2
-
1
2
1
-
11
12
7
14
190809
200809
250609
260609
270609
γ2
D1
D2
E1
E2
1
4
4
3
1
-
2
11
5
4
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
1
2
2
3
2
2
2
-
1
1
-
4
6
4
3
2
2
8
2
2
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
2
5
3
5
1
3
7
4
3
1
-
3
8
4
2
1
4
7
2
2
2
4
3
2
6
2
1
2
2
1
-
7
26
16
11
2
3
2
1
1
4
1
3
1
1
1
1
-
7
12
9
8
4
5
15
4
6
1
5
3
3
3
5
2
3
1
2
2
1
1
2
1
1
-
6
19
10
13
2
11
23
10
9
290609
300609
Lampiran 3. Rekapitulasi Perilaku Kopulasi Monyet Ekor Panjang
Tabel 9 Rekapitulasi perilaku kopulasi monyet ekor panjang
Tanggal
1
2
3
4
6
7
8
9
12
13
14
16
17
18
19
20
25
26
27
29
30
Total
α
2
2
1
1
4
1
1
3
2
1
1
1
1
1
22
β1
1
3
1
1
2
3
2
1
3
1
2
20
β2
2
1
2
2
2
-
3
2
14
γ1
1
1
2
1
1
2
1
1
2
4
1
1
18
γ2
-
D1
1
1
1
1
3
1
8
D2
3
2
1
2
1
1
1
11
E1
2
1
1
3
4
2
1
1
2
2
2
1
2
3
2
1
1
31
E2
2
2
1
1
2
1
2
3
3
4
1
2
24
∑
10
14
6
8
8
8
2
6
2
6
10
10
2
6
4
2
6
22
8
4
6
148
Lampiran 4. Preferensi lokasi perilaku harian dan seksual
A. Preferensi lokasi perilaku harian
Tabel 10 Preferensi lokasi perilaku harian
Lokasi
Status sosial
Arboreal
40
84
64
89
48
59
48
38
40
510
α
β1
β2
γ1
γ2
D1
D2
E1
E2
Σ
Terestrial
182
163
62
151
42
166
325
67
87
1245
B. Preferensi lokasi perilaku seksual
Tabel 11 Preferensi lokasi perilaku seksual
Individu
α
β1
β2
γ1
γ2
∑
D1
D2
E1
E2
D1
D2
E1
E2
D1
D2
E1
E2
D1
D2
E1
E2
D1
D2
E1
E2
Arboreal
2
2
3
4
3
3
5
1
1
8
5
1
38
Terestrial
3
1
1
5
1
1
1
1
2
1
17
Lampiran 5. Preferensi waktu perilaku seksual
Tabel 12 Preferensi waktu perilaku seksual
Pukul (WIB)
06.00-06.30
06.30-07.00
07.00-07.30
07.30-08.00
08.00-08.30
08.30-09.00
09.00-09.30
09.30-10.00
14.00-14.30
14.30-15.00
15.00-15.30
15.30-16.00
16.00-16.30
16.30-17.00
17.00-17.30
17.30-18.00
∑
4
12
7
4
3
5
3
1
5
5
2
9
5
5
1
1
Lampiran 6. Korelasi perilaku seksual terhadap perilaku harian monyet ekor
panjang
A. Korelasi Perilaku Seksual Terhadap Perilaku Harian Monyet Jantan
Tabel 13 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku makan monyet jantan
Seksual
Seksual
Makan
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
.
84
,629(**)
,000
84
Makan
,629(**)
,000
84
1
.
84
** Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-tailed).
H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan jantan tidak signifikan
H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan jantan signifikan.
Kesimpulan: tolak H0, terima H1
Tabel 14 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku istirahat monyet jantan
Seksual
Istirahat
1
,142
.
,196
84
84
Istirahat
,142
1
,196
.
84
84
H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat jantan tidak signifikan
H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat jantan signifikan
Kesimpulan: tolak H0, terima H1
Seksual
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Tabel 15 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku berpindah monyet jantan
Seksual
Seksual
Berpindah
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
.
84
,433(**)
,000
84
Berpindah
,433(**)
,000
84
1
.
84
** Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-tailed).
H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah jantan tidak signifikan
H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah jantan signifikan
Kesimpulan: tolak H0, terima H1
B. Korelasi Perilaku Seksual Terhadap Perilaku Harian Monyet Betina Tidak
Bunting
Tabel 16 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku makan monyet betina tidak
bunting
Seksual
Seksual
Makan
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
.
63
-,333(**)
,008
63
Makan
-,333(**)
,008
63
1
.
63
** Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-tailed).
H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan betina tidak signifikan
H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan betina signifikan
Kesimpulan: tolak H0, terima H1
Tabel 17 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku istirahat monyet betina tidak
bunting
Seksual
Seksual
Istirahat
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
,220
.
,083
63
63
Istirahat
,220
1
,083
.
63
63
H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat betina tidak signifikan
H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat betina signifikan
Kesimpulan: terima H0, tolak H1
Tabel 18 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku berpindah monyet betina
tidak bunting
Seksual
Berpindah
Seksual
Pearson Correlation
1
-,063
Sig. (2-tailed)
.
,621
N
63
63
Berpindah
Pearson Correlation
-,063
1
Sig. (2-tailed)
,621
.
N
63
63
H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah betina tidak signifikan
H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah betina signifikan
Kesimpulan: terima H0, tolak H1
C. Korelasi Perilaku Seksual Terhadap Perilaku Harian Monyet Betina Bunting
Tabel 19 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku makan monyet betina bunting
Seksual
Seksual
Makan
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
-,303
.
,182
21
21
Makan
-,303
1
,182
.
21
21
H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat betina tidak signifikan
H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku istirahat betina signifikan
Kesimpulan: terima H0, tolak H1
Tabel 20 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku istirahat monyet betina
bunting
Seksual
Seksual
Istirahat
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
.
21
,711**
,000
21
Istirahat
,711**
,000
21
1
.
21
** Korelasi signifikan pada taraf 0.01 (2-tailed).
H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan betina tidak signifikan
H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku makan betina signifikan
Kesimpulan: tolak H0, terima H1
Tabel 21 Korelasi perilaku seksual dengan perilaku berpindah monyet betina
bunting
Seksual
Berpindah
1
-,003
.
,990
21
21
Berpindah
-,003
1
,990
.
21
21
H0 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah betina tidak signifikan
H1 : Hubungan antara variabel perilaku seksual dan perilaku berpindah betina signifikan
Kesimpulan: terima H0, tolak H1
Seksual
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Lampiran 7. Pemetaan pohon di lokasi pengamatan monyet kelompok kandang 3
Tabel 22 Daftar jenis pohon di kelompok kandang 3
Tinggi
Tajuk
D
TT
TBC
U
S
1. Waru
15
1,8
50
8,0
5,0
2. Kalapari
14
1,8
32
3,2
5,7
3. Merbau
30
2,0
30 11,1
2,0
4. Kampis
15
3,5
37
5,9
4,7
5. Waru
12
1,8
40
6,0
5,0
6. Waru
8
2,0
27
3,0
2,0
7. Waru
10
2,0
24
0
5,1
8. Ki ciat
11
3,5
35
0
4,0
9. Ki ciat
5
2,0
22
5
0
10. Ki ciat
15
3,5
31
6,5
2,0
11. Butun
20
4,0
44 11,0
0
12. Ki huru
17
10,0
31
6,9
0
13. Merbau
20
10,0
45
8,4
4,2
14. Waru
9
2,0
30
3,2
5,9
15. Ki ciat
10
4,0
32
4,2
2,0
16. Ki ciat
10
2,5
25
1,5
4,0
17. Ki ciat
10
2,5
28
4,4
4,0
18. Ki huru
18
10,0
42
9,0
3,2
19. Ki ciat
15
5,0
26
3,0
4,2
20. Ki huru
10
5,0
30
5,4
0
21. Ki langir
25
20,0
53 13,7
0
22. Merbau
25
9,0
55
1,0
8,3
23. Albasia
25
2,0
76
6,0
10,0
24. Bayur
15
3,0
66
3,0
5,7
25. Bayur
30
6,0
62 11.5
3,0
26. Renghas
20
4,0
50
2,0
6,0
27. Waru
7
1,8
32
6,2
1,5
28. Ki ara
26
6,0
135
9,0
11,0
29. Ki langir
25
10,0
55 10,5
3,4
30. Ketapang
20
2,0
40 15,0
0
31. Ki langir
30
10,0
73
6,5
1,7
32. Pangku
28
6,0
48
6,8
9,6
33. Ki huru
22
15,0
23
3,0
3,0
34. Ki cau
15
9,0
28
3,5
3,5
35. Kalapari
24
5,0
47
7,4
5,5
36. Ki langir
30
9,0
58
7,1
4,0
Keterangan : TT
= Tinggi total (m)
TBC = Tinggi bebas cabang (m)
DBH = Diameter pohon (cm)
U
= Panjang tajuk bagian Utara (m)
S
= Panjang tajuk bagian Selatan (m)
B
= Panjang tajuk bagian Barat (m)
T
= Panjang tajuk bagian Timur (m)
X
= Posisi pohon arah Utara-Selatan (m)
Y
= Posisi pohon arah Barat-Timur (m)
No.
Jenis
B
8,4
4,8
6,4
6,2
5,3
5,3
0
4,1
5,0
7,0
4,0
6,8
1,0
5,7
3,6
3,1
5,7
4,2
3,6
6,0
5,1
5,0
0
12,0
9,7
6,3
10,0
8,9
10,0
0
7,5
7,4
3,0
3,5
5,5
6,5
T
0
4,8
2,0
1,0
2,0
1,0
10,1
3,2
0
2,0
9,0
0
9,3
3,0
4,0
6,1
4,3
6,2
2,0
1,0
5,4
9,0
4,3
4,0
9,7
5,0
3,3
7,8
8,8
0
10,0
8,5
3,0
3,5
7,5
5,3
Posisi Pohon
X
Y
0
5
3
5,9
15
15
15
12
10
8
11
22
25
27
25
25
35
50
34
36
50
50
50
52
50
52
80
79
73
85
85
86
87
95
93
81
0
5
-9,4
6
2
2
2
-5
-2
-8
-10
1
0
2
-6
-6
1
2
4
7
-10
-10
-5
-5
0
-1
10
2
10
-5
-5
-5
-5
-7
0
-9
Lampiran 8. Koordinat titik GPS
Tabel 23 Koordinat titik GPS
No titik
001
Lokasi
Balai-balai
Ketinggian (m dpl)
27
002
Titik pengamatan 1
(bangku di lapangan)
Baskom tempat minum
dekat tandan pisang
Tempat menggantung
tandan pisang
Pohon waru dekat tandan
25
27
008
Batang pohon sengon
tempat keluar hutan
Titik pengamatan 2
(Basecamp)
Jalur menuju genset
009
Genset
28
010
Kandang 3
28
003
004
005
006
007
011
Batang pohon huru yang
mati
012
Titik Pengamatan 3
(Kandang 3)
UTM = Universal Transverse Mercator
26
27
27
28
28
29
23
UTM
0589756
9231750
0589772
9231734
0589785
9231738
0589790
9231736
0589799
9231738
0589787
9231730
0589800
9231722
0589794
9231706
0589773
9231702
0589748
9231714
0589782
9231726
0589737
9231722
Download