BAB II LANDASAN TEORI A. Grand Theory 1. Teori Keagenan (Agency Theory) Menurut Jensen dan Meckling (dalam Agus Purwanto, 2012) hubungan keagenan (agency relationship) adabilamana satu atau lebih individu yang disebut dengan principal bekerja dengan individu atau organisasi lain yang disebut agent, prinsipal akan menyediakan fasilitas dan mendelegasikan kebijakan pembuatan keputusan kepada agen. Agen (manajemen perusahaan) diwajibkan memberikan laporan periodik pada prinsipal (pemegang saham) tentang usaha yang dijalankannya. Prinsipal akan menilai kinerja agennya melalui laporan keuangan yang disampaikan kepadanya. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Akan tetapi informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya sehingga menimbulkan asimetri informasi (information asymetric) yang memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis, yaitu memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal pelaporan keuangan, manajer dapat melakukan 10 manajemen laba (earnings 11 management) untuk menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan (Muh. Arif, 2007). 2. Teori Stakeholder (Stakeholder Theory) Teori stakeholder menurut Freeman dan Reed (Ihyaul Ulum, 2009 ; 4) adalah sekelompok orang atau individu yang diidentifikasikan dapat mempengaruhi kegiatan perusahaan ataupun dapat dipengaruhi oleh kegiatan perusahaan. Yang termasuk dalam stakeholder antara lain para pemegang saham, karyawan, supplier, pemerintah, pelanggan, masyarakat, dan komunitas dalam masyarakat. Manajer diharapkan dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholder, dan melaporkan aktivitas-aktivitas tersebut (Ihyaul Ulum, 2009; 4-5). Oleh karena itu, perusahaan harus memperhitungkan kepentingan para stakeholder dengan mengungkapkan secara sukarela informasi yang dibutuhkan oleh para stakeholder untuk memenuhi ekspektasi mereka. Untuk memenuhi kepentingan stakeholder terutama investor dalam penelitian ini, perusahaan dapat memberikan informasi lain diluar informasi keuangan. Salah satunya adalah pengungkapan mengenai modal intelektual. 3. Teori Sinyal (Signalling Theory) Teori sinyal menjelaskan dorongan perusahaan dalam memberikan sinyal (signal) mengenai informasi laporan keuangan pada pihak eksternal 12 karena adanya asimetri informasi. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain (Agus Purwanto, 2012). Salah satu cara untuk memberikan sinyal adalah dengan mengungkapkan informasi kepada investor melalui pengungkapan sukarela. Hughes (dalam Istianingsih 2011) menunjukkan bagaimana pengungkapan dapat menjadi sinyal yang dapat diandalkan, sehingga nilai pasar saham perusahaan dapat mencerminkan nilai perusahaan. Dengan mengungkapkan informasi secara sukarela, perusahaan dapat memberikan sinyal mengenai kemampuan perusahaan selain yang tercermin dalam laporan keuangan. B. Manajemen Laba 1. Pengertian Manajemen Laba Menurut Scott (2012 : 423), manajemen laba adalah pilihan oleh manajer terkait kebijakan akuntansi, atau tindakan nyata,yang mempengaruhi laba untuk mencapai tujuan spesifik tertentu. Sedangkan manajemen laba didefinisikan oleh Lilis Setiawati dan AinunNa’im (2000) sebagai campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Definisi ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Healy dan Wahlen (1999) bahwa manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan pertimbangan di (dalam) pelaporan keuangan dan di (dalam) transaksi yang terstruktur untuk 13 mengubah laporan keuangan yang menyesatkan beberapa stakeholders tentang dasar kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil sesuai kontrak yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Sedangkan menurut Schipper (1989) dalam Beneish (2001), manajemen laba merupakan intervensi manajemen dalam proses menyusun pelaporan keuangan eksternal sehingga dapat menaikkan atau menurunkan laba akuntansi sesuai dengan kepentingan pelaksanaan manajemen laba tersebut. Scott (2012) melihat manajemen laba dari 2 perspektif, yaitu perspektif pelaporan keuangan dan perspektif kontrak.Dari perspektif pelaporan keuangan, manajer dapat menggunakan manajemen laba untuk memenuhi pendapatan perkiraan analis, untuk menghindari rusaknya reputasi dan reaksi harga saham negatif yang dengan cepat diikuti kegagalan untuk memenuhi harapan investor. Sedangkan dari perspektif kontrak, manajemen laba dapat digunakan sebagai cara untuk melindungi perusahaan dari konsekuensi kejadian tak terduga ketika kontrak sukar dan tidak lengkap. Terlalu banyak praktik manajemen laba yang dilakukan oleh perusahaan dapat mengurangi kegunaan laporan keuangan bagi investor. Apabila manajemen laba bersifat oportunis, maka informasi laba tersebut dapat menyebabkan pengambilan keputusan investasi yang salah bagi investor. 14 2. Motivasi Manajemen Laba Menurut Scott (2012), motivasi manajer perusahaan melakukan manajemen laba adalah : a. Bonus scheme (rencana bonus). Secara lebih spesifik, ini merupakan perluasan hipotesis rencana bonus, yang menyatakan bahwa manajer-manajer perusahaan yang menggunakan rencana bonus akan memaksimalisasikan pendapatan masa kini atau tahun berjalan mereka. b. Debt covenant (kontrak utang jangka panjang). Motivasi ini sejalan dengan hipotesis debt covenant dalam teori akuntansi positif yaitu semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian utang maka manajer akan cenderung memilih metode akuntansi yang dapat “memindahkan” laba periode mendatang ke periode berjalan sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak.Manajemen laba dapat muncul sebagai perangkat untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran perjanjian dalam kontrak utang. c. Meet Investor’s Earnings Expectation (memenuhi ekspektasi laba investor). Perusahaan yang melaporkan laba lebih besar dari yang diharapkan biasanya menikmati kenaikan harga saham yang signifikan, karena investor meninjau kembali probabilitas mereka untuk kinerja masa depan yang baik. Akibatnya, manajer memiliki insentif yang kuat untuk memastikan bahwa 15 harapan pendapatan terpenuhi. Salah satu cara untuk melakukannya adalah untuk mengelola peningkatan pendapatan. d. Maintain Reputation (menjaga reputasi). Kegagalan untuk memenuhi ekspektasi laba investor tentunya memiliki konsekuensi. Ada efek langsung pada harga saham perusahaan dan biaya modal karena investor meninjau kembali probabilitas mereka untuk kinerja masa depan yang baik. Bisa juga menjadi efek tidak langsung melalui reputasi manajer, terutama jika kekurangan tersebut kecil dan jika penjelasan manajer dianggap sebagai alasan. e. Initial Public Offering (penawaran saham perdana). Saat perusahaan go public, informasi keuangan yang ada dalam prospektus merupakan sumber informasi yang penting. Informasi ini dapat dipakai sebagai sinyal kepada calon investor tentang nilai perusahaan. Untuk mempengaruhi keputusan calon investor maka manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan dalam prospektus mereka dengan harapan menerima harga yang lebih tinggi untuk saham mereka. 3. Bentuk Manajemen Laba Scott (2012 ; 425) menyebutkan ada empat bentuk dari manajemen laba, yaitu: 16 a. Taking a bath, dilakukan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari pada periode berjalan atau karena restrukturisasi. Jika suatu perusahaan harus melaporkan kerugian, manajemen mungkin merasa lebih baik melaporkan satu yang memiliki sedikit kerugian. b. Meminimumkan laba (income minimation), dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil bisa berupa writeoffs cepat modal dan aset tidak berwujud, pembebanan iklan, riset dan pengembangan yang cepat. c. Memaksimumkan laba (income maximization), yaitu memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang lebih besar. Demikian pula dengan perusahaan yang mendekati suatu pelanggaran kontrak utang jangka panjang, manajer perusahaan tersebut akan cenderung untuk memaksimalkan laba. d. Perataan laba (income smoothing), merupakan bentuk manajemen laba yang paling menarik. Dari perspektif konrak, manajer yang ingin menghindari risiko lebih memilih aliran bonus yang kurang bervariasi, tetapi hal-hal lain sama. Akibatnya, manajer mungkin melakukan perataan laba yang dilaporkan dari waktu ke waktu sehingga dapat menerima kompensasi relatif yang konstan. 17 4. Pengukuran Manajemen Laba Pengukuran atas dasar akrual banyak digunakan dalam mendeteksi ada tidaknya manajemen laba. Michell (2005) membagi tipe akrual menjadi dua, yaitu discretionary accrual dan nondiscretionary accrual. Discretionary accrual adalah pengakuan laba atau beban yang bebas tidak diatur dan merupakan pilihan kebijakan manajemen. Nondiscretionary accrual adalah sebaliknya, pengakuan akrual laba yang wajar yang didasarkan pada suatu standar atau prinsip akuntansi yang berlaku umum. Karena nondiscretionary accrual merupakan akrual yang wajar dan apabila dilanggar akan mempengaruhi kualitas laporan keuangan (tidak wajar) maka hanya discretionary accrual yang digunakan dalam pengukuran manajemen laba. Namun penggunaan discretionary accrual dikritik karena menyebabkan terjadinya kesalahan dalam prediksi manajemen laba serta memberikan kesimpulan yang bias (Bernard dan Skinner, 1996 dalam Stubben, 2010). Atas dasar ketidakpuasan dan kritik terhadap model akrual tersebut, Stubben (2010) memperkenalkan Conditional Revenue Model sebagai salah satu cara pengukuran manajemen laba yang mirip dengan model akrual yang ada milik Jones (1991) dan Dechow et al. (1995) namun dengan tiga perbedaan. Pertama, model conditonal revenue menggunakan piutang akrual daripada akrual agregat sebagai fungsi dari perubahan pendapatan. Dari komponen akrual utama, piutang memiliki hubungan empiris yang kuat dan 18 hubungan konseptual secara langsung dengan pendapatan. Kedua, piutang akrual sebagai fungsi dari perubahan pelaporan pendapatan, daripada perubahan penerimaan kas (Dechow et al. 1995). Ketiga, perubahan piutang tahunan sebagai fungsi linear dari dua komponen dari perubahan dalam pendapatan tahunan: (1) perubahan pendapatan tiga kuartal pertama, dan (2) perubahan dalam pendapatan kuartal keempat. Conditional revenue model didasarkan pada discretionary revenue yang merupakan perbedaan antara perubahan akrual pada piutang dan perubahan prediksi pada piutang. Stubben (2010) menemukan bahwa ukuran discretionary revenue menghasilkan fakta dengan bias dan kesalahan pengukuran yang kurang substansial dibandingkan model akrual. C. Asimetri Informasi 1. Pengertian Asimetri Informasi Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Agency teory (teori keagenan) mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer (agent) dengan pemegang saham (principal). Hubungan keagenan didefinisikan sebagai hubungan antara satu orang atau lebih prinsipal dengan agen untuk melakukan tindakan atas nama prinsipal yang melibatkan pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen (Jensen dan Meckling, 1976). 19 Asimetri antara manajer (agent) dengan pemegang saham (principal) memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunitis, yaitu memperoleh keuntungan pribadi. Ketika timbul asimetri informasi, keputusan ungkapan yang dibuat oleh manajer dapat mempengaruhi harga saham sebab asimetri informasi antara investor yang lebih terinformasi dan investor kurang terinformasi menimbulkan biaya transaksi dan mengurangi likuiditas yang diharapkan dalam pasar untuk saham-saham perusahaan (Puput Tri, 2001). Dalam Rahmawati (2012) terdapat dua tipe asimetri informasi yaitu: a. Adverse selection, yaitu jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan/akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial, memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain. Para manajer serta orangorang dalam lainnya biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan dibandingkan investor pihak luar. Dan fakta yang mungkin dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan informasinya kepada pemegang saham. b. Moral hazard, yaitu jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial, dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. 20 Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.Moral hazard juga terjadi karena adanya pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asimetri Informasi Asimetri informasi terjadi apabila informasi yang dimiliki manajemen tidak sepenuhnya dikemukakan pada investor. Informasi pribadi (private information) yang dimiliki manajemen dapat digunakan untuk membantu penyusunan anggaran agar lebih akurat karena manajemen mampu mengatasi ketidakpastian dan dapat digunakan untuk memprediksi kejadian di masa mendatang. Manajemen juga dapat tidak memberikan informasi yang dimilikinya kepada investor. Hal ini yang menyebabkan terjadinya asimetri informasi dan memicu timbulnya budgetary slack (Darlis, 2000). Schift dan Lewin (1970) dalam Muh. Arief (2007), menyatakan bahwa agent berada pada posisi yang memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan informasi asimetri yang dimilikinya akan mendorong agent 21 untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Sehingga dalam kondisi semacam ini principal seringkali pada posisi yang tidak diuntungkan. Beberapa kondisi perusahaan yang memungkinkan timbulnya asimetri informasi yaitu perusahaan sangat besar, mempunyai penyebaran secara geografis, memiliki produk yang beragam, dan membutuhkan teknologi (Shield dan Young, 1993). D. Pengungkapan Modal Intelektual 1. Modal Intelektual (Intellectual Capital) Modal intelektual pertama kali dikemukakan oleh ekonom John Kenneth Galbraith yang menulis surat yang ditujukan kepada teman sejawatnya, Michal Kalecki, pada tahun 1969. Dalam tulisannya, Galbraith mengemukakan berikut ini: “I wonder if you realise how much those of us the world around have owed to the intellectual capital you have provided over these last decades” (Hudson, 1993 dalam Bontis, 2000). Istilah modal intelektual seringkali digunakan secara bergantian dengan intangible assets sebagai sinonim (Meritum, 2002; Lev, 2001; dan Lev dan Zambon, 2003). Namun sampai saat ini belum ada definisi yang pasti tentang modal intelektual. FASB (2001) menyatakan bahwa intangible assetsbukan hanya merupakan sesuatu yang dihasilkan dari research and development tetapi juga sumber daya manusia, hubungan dengan pelanggan, inovasi dan sebagainya. Sedangkan PSAK 19 (2012) memberikan definisi 22 aset tidak berwujud sebagai aset non-moneter yang teridentifikasi tanpa wujud fisik. Dalam PSAK 19 (2012) disebutkan bahwa intelectual capital merupakan kategori intangible asset. Namun tidak semua unsur intangible assets memenuhi definisi aset tak berwujud seperti goodwill. Goodwill tidak boleh diakui sebagai intangible asset karena tidak diidentifikasi secara individual dan diakui secara terpisah. 2. Kategori Modal Intelektual Choong, 2008 (dalam Istianingsih, 2011) menyatakan adanya dua alasan mengapa pemahaman dengan menggunakan kategori lebih baik dalam penggambaran modal intelektual dibandingkan menggunakan pendekatan definisi. Pertama, karena modal intelektual tidak dapat dilihat (invisible). Kedua, penelitian mengenai modal intelektual relatif masih baru sehingga sulit memberikan batasan tentang aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan modal intelektual yang dapat didefinisikan. Terdapat tiga atribut yang telah diterima luas sebagai komponen atau kategori dari modal intelektual yaitu human capital, structural capital atau organizational capital, dan relational capital (Sveiby, 1997; Choong, 2008 dalam Istianingsih, 2011). a. Human Capital (Modal Manusia) Human capital merupakan sumber daya strategis yang paling bernilai bagi perusahaan (Kluyver dan Perace II, 2009). Komponen modal manusia didefinisikan sebagai pengetahuan, 23 ketrampilan, pengalaman, dan kemampuan dari karyawan perusahaan (Meritum, 2002). Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Brinker (2000) memberikan beberapa karakteristik dasar yang dapat diukur dari modal ini, yaitu program pelatihan, pengalaman, kompetensi, perekrutan, mentoring, learning potensi individual dan kepribadian (Lampiran II). b. Structural Capital atau Organizational Capital (Modal Organisasi) Modal struktural merupakan rutinitas perusahaan, prosedur, sistem, budaya, basis data, fleksibilitas organisasi, teknologi informasi, organizational learning capacity, organizational charts, process manuals, strategies, dan perlindungan hukum atas hak kekayaan intelektual perusahaan (Meritum, 2002; Pablos, 2002) (Lampiran II). c. Relational Capital (Modal Relasional) Relational capital didefinisikan sebagai hubungan dengan stakeholders perusahaan baik internal maupun eksternal termasuk pelanggan, suppliers, asosiasi industri, stakeholders dan strategic alliance partner (Kannan dan Aulbur, 2004). Relational capital mencakup image perusahaan, loyalitas 24 pelanggan, kepuasan pelanggan, interaksi dengan pemasok, suppliers channels, licensing agreements, dan franchising agreements (Starvoic dan Marr, 2003) (Lampiran II). 3. Pengungkapan Modal Intelektual Healy dan Palepu (1991) menyatakan bahwa peningkatan pengungkapan sukarela akan mendorong investor untuk lebih yakin bahwa transaksi yang dilakukannya terjadi dalam harga yang fair sehingga akan meningkatkan likuiditas. Pengungkapan modal intelektual termasuk dalam voluntary disclosures yang merupakan sinyal dari manajer mengenai kemampuan perusahaan. PSAK 19 (2012) menyatakan bahwa aset tidak berwujud diakui jika kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut, dan biaya perolehan aset tersebut dapat diukur secara andal. Karena itu, FASB menyarankan perusahaan untuk mengungkapkan secara sukarela informasi yang terkait dengan modal intelektual. Secara umum, pernyataan modal intelektual memuat berbagai informasi keuangan dan non-keuangan seperti perputaran karyawan, dan kepuasan kerja, pelatihan karyawan, kepuasan pelanggan, beban penelitian dan pengembangan dan sebagainya (Istianingsih, 2011). Pengungkapan modal intelektual oleh perusahaan dapat memberikan konsekuensi terhadap risiko investasi mereka. Jika perusahaan tidak mengungkapkan modal intelektual, mereka mungkin akang menghadapi 25 konsekuensi negatif seperti volatilitas harga saham yang tinggi karena adanya kesalahan penilaian dari investor. E. Biaya Modal Ekuitas (Cost of Equity Capital) 1. Pengertian Biaya Modal Ekuitas Secara umum, biaya modal adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh dana yang berasal dari hutang, saham preferen, saham biasa maupun laba ditahan untuk mendanai suatu investasi atau operasi perusahaan. Menurut Aida (2002), cost of equity capital adalah biaya yang dikeluarkan untuk membiayai sumber pendanaan (source financing). Cost of equity capital merupakan tingkat pengembalian yang diinginkan oleh penyedia dana, baik investor maupun kreditur. Cost of equity capital berkaitan dengan risiko investasi atas saham perusahaan (Regina, 2012). Sedangkan dalam Wiwik Utami (2005) dijelaskan bahwa cost of equity capital adalah besarnya rate yang digunakan investor untuk mendiskontokan dividen yang diharapkan diterima dimasa yang akan datang. Biaya modal merupakan konsep yang dinamis yang dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi. Struktur biaya modal didasarkan pada beberapa asumsi yang berkaitan dengan risiko dan pajak. Asumsi dasar yang digunakan dalam estimasi biaya modal adalah risiko bisnis dan risiko keuangan adalah tetap (relatif stabil). 26 Biaya modal ekuitas dapat diperoleh perusahaan dari laba ditahan atau mengeluarkan saham baru dan menjualnya kepada investor yang berniat menanamkan modalnya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dana yang diperlukan oleh perusahaan. 2. Sumber Biaya Modal Ekuitas Perusahaan memiliki beberapa sumber dana agar memiliki struktur biaya modal yang optimal. Biaya modal dihitung atas beberapa sumber dana yang tersedia bagi perusahaan. Ada empat sumber dana dalam perhitungan biaya modal yaitu : a. Hutang jangka panjang Biaya hutang jangka panjang didapat dari pembagian antara beban bunga hutang jangka panjang yang ditanggung dengan total hutang jangka panjang yang digunakan oleh perusahaan pada periode tertentu. Dalam perhitungan biaya hutang jangka panjang perlu diperhitungkan adanya pajak penghasilan untuk mendapatkan dana jangka panjang melalui pinjaman. b. Saham preferen Pembayaran biaya saham preferen dilakukan dengan pemberian dividen dalam jumlah tertentu. Besarnya biaya saham preferen sama dengan tingkat keuntungan yang diharapkan oleh investor pemegang saham preferen. Perhitungan biaya saham preferen 27 adalah deviden saham preferen tahunan dibagi dengan hasil penjualan saham preferen. c. Saham biasa Biaya modal saham biasa adalah besarnya rate yang digunakan oleh investor untuk mendiskontokan deviden yang diharapkan diterima di masa yang akan datang. d. Laba ditahan Penggunaan laba ditahan untuk mendanai suatu proyek akan membawa konsekuensi berupa biaya internal common equity atau cost of retained earning. Laba ditahan adalah bagian dari laba tahunan yang diinvestasikan kembali dalam usaha selain dibayarkan dalam kas sebagai deviden dan bukan merupakan akumulasi surplus suatu neraca. Alasan mengapa biaya modal diterapkan pada laba ditahan adalah menyangkut prinsip biaya oportunities (opportunity cost principle). 3. Pengukuran Biaya Modal Ekuitas Pengukuran biaya modal ekuitas, dipengaruhi oleh model penilaian perusahaan yang digunakan. Menurut Botosan dan Plumlee (2000) ada beberapa model penilaian perusahaan, antara lain : 28 a. Model penilaian pertumbuhan konstan (constant growth valuation model) Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa nilai saham sama dengan nilai tunai (present value) dari semua deviden yang akan diterima di masa yang akan datang (diasumsikan pada tingkat pertumbuhan konstan) dalam waktu yang tidak terbatas (Model ini dikenal dengan sebutan Gordon model). Penentuan biaya laba ditahan dengan pendekatan ini mengacu pada penilaian saham biasa dengan pertumbuhan konstan atau normal. Nilai saham biasa dengan pertumbuhan normal diformulasikan sebagai berikut : = 1 − Dalam hal ini, Po = nilai saham biasa perusahaan. D = deviden pada tahun pertama. 1 k = tingkat hasil/pengembalian minimum saham biasa. s g = tingkat pertumbuhan deviden. Kelemahan dari pendekatan ini adalah bahwa untuk menentukan tingkat pengembalian yang diisyaratkan investor, penghitungan masing-masing saham pesaing harus dilakukan sendiri-sendiri. Kelemahan yang lain adalah bahwa tingkat pertumbuhan deviden konstan. 29 b. Capital Asset Pricing Model (CAPM) Berdasarkan model CAPM, biaya modal saham biasa adalah tingkat return yang diharapkan oleh investor sebagai kompensasi atas risiko yang tidak dapat didiversifikasi yang diukur dengan beta. Prosedur penentuan biaya laba ditahan dengan menggunakan pendekatan CAPM adalah sebagai berikut : 1) Tetapkan perkiraan tarif bebas risiko (R) yang umumnya ditetapkan berdasarkan suku bunga obligasi atau promes pemerintah. 2) Tentukan koefisien beta saham (β) dan gunakan sebagai indeks risiko saham. 3) Cari tingkat pengembalian menurut pasar atau rata-rata saham (k). 4) Tentukan perkiraan tingkat pengembalian disyaratkan dari saham dengan nilai (k-R) adalah premi risiko pada ratarata saham, sedangkan β adalah indeks risiko saham bersangkutan yang sedang dianalisis. Kelemahan metode ini adalah : 1) Bila diversifikasi pemegang saham suatu perusahaan tidak luas maka mereka akan lebih tertarik pada masalah total risiko dan bukannya hanya risiko pasar saja. 30 2) Adanya perubahan tingkat risiko saham versus hasil sehingga premi risiko pasar menjadi tidak stabil. c. Model Ohlson Model Ohlson digunakan untuk mengestimasi nilai perusahaan dengan mendasarkan pada nilai buku ekuitas ditambah dengan nilai tunai dari laba abnormal. Pt = yt + ∑ ( + ) Et {xr-1 – (r)Yr+t-1} Dalam hal ini, Pt = harga saham pada periode t Yt = nilai buku per lembar saham periode t Xt = laba per lembar saham r = ekspektasi biaya modal ekuitas Di Indonesia publikasi data forecast laba per saham tidak ada. Oleh karena itu, estimasi laba per saham penelitian ini menggunakan random walk model. Alasan untuk menggunakan estimasi model random walk karena model tersebut dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengukur prakiraan laba. Untuk mengestimasikan laba per lembar saham pada periode t+1 digunakan model random walk sebagai berikut : E (xt + 1) = xt + δ 31 Dalam hal ini, E (xt + 1) = Estimasi laba per lembar saham pada periode t +1 xt = Laba per lembar saham aktual pada periode t δ = Drift term yang merupakan rata-rata perubahan laba per lembar saham selama 5 tahun F. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai cost of capital, manajemen laba, asimetri informasi, dan modal intelektual telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Berikut ini disajikan tabel ringkasan dari penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu No. 1. Peneliti Wiwik Utami (2005) Variabel Dependen Biaya Modal Ekuitas Variabel Independen Hasil Manajemen Laba Manajemen laba yang diproksi dengan rasio akrual modal kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap biaya modal ekuitas. 32 2. 3. Bukh et.al (2005) Ira Novianty (2009) Kepemilikan manajerial sebelum IPO dan jenis industri mempengaruhi - Kepemilikan jumlah Pengungkapan pengungkapan Manajerial Modal - Size Perusahaan modal intelektual. Intelektual - Usia perusahaan Sementara ukuran dan usia perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan modal intelektual - Manajemen Laba - Biaya Modal Ekuitas Asimetri Informasi 4. 5. Stubben (2010) Istianingsih (2011) Perubahan Pendapatan FERC - discretionary revenue discretionary accrual - Pengungkapan modal intelektual - Kinerja modal intelektual (VAIC) - CG - Struktur kepemilikan - Jenis industri - ROA - Strategi Asimetri informasi yang baik secara parsial maupun simultan memiliki pengaruh terhadap praktek manajemen laba; manajemen laba berpengaruh terhadap biaya modal ekuitas. Revenue model kurang bias dan lebih baik dari accrual model sebagai ukuran manajemen pendapatan atau sebagai proksi manajemen laba. Tingkat pengungkapan modal intelektual, CG, dan kinerja modal intelektual berpengaruh positif terhadap kemampuan investor dalam memprediksi laba masa depan perusahaan yang 33 bersaing - Tahap siklus hidup perusahaan - Size - Leverager 6. 7. Etty Cost of Murwaningsari Capital (2012) - Asimetri Informasi - Manajemen Laba Agus Purwanto (2012) - Indeks Pengungkapan Sukarela - Asimetri Informasi - Manajemen Laba Cost of Equity Capital dilihat dari FERC. Terdapat pengaruh signifikan antara asimetri informasi dan manajemen laba terhadap cost of capital serta semakin besar tingkat pengungkapan maka semakin rendah cost of capital. Luas ungkapan sukarela tidak berpengaruh signifikan terhadap cost of equity capital; asimetri informasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap cost of equity capital; manajemen laba tidak berpengaruh signifikan terhadap cost of equity capital. Sumber : data sekunder yang diolah, 2013 G. Kerangka Pemikiran Teoritis Berdasarkan uraian teoritis dan hasil penelitian-penelitian terdahulu yang dikemukakan diatas, maka kerangka pemikiran penelitian dapat digambarkan seperti gambar 2.1 berikut ini. 34 Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Manajemen Laba Biaya Modal Ekuitas Asimetri Informasi Pengungkapan Modal Intelektual Var. Kontrol - Size Perusahaan - Leverage (Cost of Equity Capital)