BAB VII KESIMPULAN 7.1. Kesimpulan umum Dari iterasi perancangan yang telah dilakukan, analogi musik ke dalam arsitektur memerlukan suatu simbolisasi yang lebih mendalam dari sekadar nadanada yang diterjemahkan langsung menjadi bentuk-bentuk arsitektural. Penganalogian secara langsung hanya menjadikan arsitektur sebagai karya yang naif dan lugu, tanpa suatu pendalaman yang lebih bernilai. Sebaliknya, sang pengamat atau pemakai bangunan dirangsang rasa keingintahuannya tentang makna suatu bentuk arsitektur, dan diberi jawabannya seiring pengalamannya menjelajahi bangunan tersebut. Cara ini lebih baik ketimbang memberikan “jawaban” nya secara langsung. Dalam hal ini, interpretasi sang arsitek tidak perlu sama dengan sang pengamat, terlihat pada interpretasi orang lain terhadap Kapel Ronchamp dan Sydney Opera House yang berbeda-beda. Dalam studi ditemukan bahwa penggunaan interpretasi puitik pada beberapa gedung konser dapat memberikan nilai yang lebih, seakan gedung itu sendiri yang bercerita. Ini dapat memberikan bukti bahwa kita dapat menerjemahkan sesuatu yang sifatnya abstrak (cerita, sejarah, puisi) ke dalam bentuk-bentuk arsitektural yang simbolik. Musik, jelas merupakan salah satu bentuk puisi, yang juga dapat disimbolisasikan. Alat-alat musik seperti gitar, biola, merupakan manifestasi dari musik itu sendiri. Dalam penjelajahan ide yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa bentuk alat musik tidak terbentuk begitu saja, namun terbentuk melalui penjiwaan terhadap suara seperti apa yang dihasilkannya. Sangat dimungkinkan, bentuk arsitektural meniru bentuk alat musik karena ia mensimbolisasikan musik itu sendiri. Banyak arsitek yang melakukan metoda semacam ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui dekonstruksi dan lain sebagainya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mungkinkah kita dapat menghasilkan 112 simbolisasi yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar “meniru” bentuk yang sudah ada. Teori y-condition oleh Elizabeh Martin merupakan satu langkah pijakan untuk langkah selanjutnya, yaitu membayangkan suatu bentuk yang lain dapat menghubungkan simbol tersebut. Proses “membayangkan” ini lebih bersifat black-box, karena sifatnya yang irrasional, subjektif. Atau jika kita ingin meminjam istilah Antoniades, memang seharusnya proses perancangan semakin menjauh dari literality (keharafiahan) dan semakin mendekat pada interpretasi yang bersifat metaforik. Musik y-condition / makna musik pencarian makna melalui metoda rasional “analogi” Makna bentuk irrasional Komposisi bentuk arsitektur pencarian makna melalui metoda rasional Bagan 7.1. Proses pencarian 7.2. Kesimpulan khusus Era Romantik yang dibuka oleh Ludwig van Beethoven seakan juga membuka kesempatan bagi kebebasan ekspresi, yang sebelumnya belum pernah ada. Oleh karena itu, interpretasi yang dihasilkan dari era ini sejalan dengan prinsip arsitektur puitik yang menempatkan subjektifitas pada tempat teratas. Perjalanan pencarian makna Fifth Symphony juga berarti mengenal kepribadian Beethoven secara langsung dan juga berbagai faktor yang membentuknya. Pribadi Beethoven yang cenderung kasar, jorok, namun dibalik itu ia menggunakan sisi kepribadiannya yang lembut dalam mengkomposisi musik. Ia bagaikan kekuatan alam yang destruktif namun juga dapat menunjukkan keindahan di dalamnya. 113 Setelah penyelesaian iterasi perancangan yang pertama, disadari bahwa perlunya dilakukan simbolisasi yang lebih mendalam daripada sekadar menerjemahkan “tema empat nada” Fifth Symphony secara langsung. “Tema empat nada” hanyalah suatu simbolisasi dari sesuatu yang lain. Dari sini kita menyadari bahwa adanya fenomena metafora yang juga terdapat pada arsitektur puitik. Suatu hal yang sangat cocok, jika tidak dikatakan kebetulan, bahwa kisah kehidupan pribadi Beethoven juga cerminan dari peristiwa besar yang sedang berlangsung saat itu, yaitu masa kejayaan Napoleon, sebuah kisah heroik. Beethoven justru kehilangan pendengarannya, indera yang sangat penting dalam pekerjaannya, yaitu seorang komposer musik. Namun dengan ketuliannya inilah lahir sebuah perjuangan yang mengangkatnya ke puncak kesuksesan. “Tema empat nada” Fifth Symphony seakan-akan berupa sebuah aktualisasi keadaan dirinya. Perjuangan yang lahir dari keterpurukan, menggapai cahaya dari kegelapan, dualisme yang tersimbolisasikan pada komposisi Fifth Symphony. Sifat tapak Taman Maluku memiliki dualisme ini (keras, lembut) dan bahkan memperkuat makna Fifth Symphony. Steven Holl, dengan Stretto Housenya, dapat memperkuat konsepsinya tentang musik Bella Bartok karena didukung oleh kondisi tapak yang sangat cocok. Begitu pula Fifth Symphony dan Taman Maluku, dan keputusan untuk mencari bentuk simbol tidak terlepas dari hal ini. Sejak iterasi pertama, proses perancangan dimulai dari bentuk atap. Ini dikarenakan tuntutan iklim Indonesia yang bersifat tropis. Dengan demikian maka diharapkan adanya kemudahan dalam penyelesaian fungsi-fungsi pelindung terhadap cuaca tropikal. Kesulitan yang ada dalam proses perancangan adalah pada tahap penerjemahan makna audial ke dalam makna visual, karena awalnya dipakai pemikiran secara rasional. Justru ketika dilakukan secara acak dan tak terukur, penemuan-penemuan gagasan dan ide selanjutnya akan muncul dengan sendirinya. Imajinasi yang terbentuk seakan-akan muncul akibat dari “endapanendapan” pengetahuan yang diperoleh dari penjelajahan ide sebelumnya. 114 Hal ini sebenarnya juga terjadi pada proses komposisi musik. Ketika sang komposer membuat musik, ide dapat muncul dari manapun dan tak terbatas. Pencarian makna keindahan dalam musik dilakukan secara acak dan tak terukur, sampai pada batas kemampuan sang komposer. Bahkan sesuatu yang jelek dapat juga dikatakan bentuk karya seni, karena memang sang penciptanya menginginkan bentuk yang jelek / buruk. Eksperimentasi terhadap bentuk-bentuk buruk dilakukan untuk mencari lagi makna keindahan sebenarnya. Inilah uniknya Romantisisme. Walaupun terdapat proses penerjemahan bentuk yang tak terukur tersebut, bagaimanapun kita perlu melakukan pengujian ulang terhadap konsep yang telah ditetapkan sebelumnya. Konsep dan bentuk seharusnya selaras dan konsisten. Bila tidak, perlu dilakukan iterasi selanjutnya yang menghasilkan bentuk baru yang kemudian diuji lagi kecocokannya. Begitulah seterusnya sampai didapat bentuk yang diinginkan. Perlu disadari juga, dalam proses iterasi yang berulang tersebut kita harus berpikir secara metaforikal, yang berarti menjadikannya semakin tak teraba, sehingga akan menghasilkan sebuah karya yang semakin tinggi nilainya. Karena itulah tesis ini sifatnya subjektif, sangat tergantung pada interpretasi pribadi. Proses iterasi perancangan yang dilaksanakan bersifat terbuka, sehingga memungkinkan eksplorasi lebih lanjut lagi. 115