BAB IX HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat membandingkan antara hubungan diplomatik dengan hubungan konsuler. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu: 1. 2. 3. 4. Menyebutkan pengertian Hubungan Diplomatik; Memberikan pengertian Hubungan Konsuler; Menyebutkan hak-hak istimewa dalam Hubungan Diplomatik; Menyebutkan hak-hak istimewa dalam Hubungan Konsuler. POKOK BAHASAN PENGERTIAN HUKUM DIPLOMATIK Hukum diplomatik adalah himpunan ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik dalam hubungan diplomatik sebagai bagian dari hukum internasional yang paling mapan dan sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat internasional. Konvensi Wina sebagai sumber hukum diplomatik telah memberikan inspirasi bagi hampir semua negara-negara di seluruh dunia, dalam melaksanakan hubungan diplomatik mereka. Banyak kasus dalam peradilan nasional mendasarkan keputusannya pada Konvensi Wina, walaupun salah satu pihak yang bersengketa belum menjadi pihak dalam Konvensi ini. UU NO. 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI Meningkatnya hubungan dan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara lain, baik dalam bentuk kerjasama bilateral maupun multilateral, dalam rangka pelaksanaan hubungan dan politik luar negeri memerlukan adanya pengaturan mengenai kegiatan hubungan luar negeri tersebut yang jelas, terkoordinasi dan terpadu serta mempunyai kekuatan hukum. Untuk itu, Indonesia mengeluarkan Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri yang mengatur secara menyeluruh dan terpadu mengenai kegiatan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri yaitu Undang-undang No. 37 tahun 1999. Indonesia yang sudah meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi tentang Misi-misi Khusus 1969. Dalam ketentuan umum Undang-undang No. 37 tahun 1999 disebutkan bahwa Politik Luar Negeri adalah: Kebijakan, sikap dan langkah Pemerintah Indonesia yang diambil dalam melakuakan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Ditegaskan juga bahwa hubungan luar negeri dan politik luar negeri Indonesia didasarkan kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan GBHN dan politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas aktif untuk kepentingan nasional. Undangundang juga menentukan bahwa bentuk diplomasi yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan haruslah bersifat kreatif, akti dan antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam perdebatan. PEMBUKAAN DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN DIPLOMATIK 1. Pembukaan Hubungan Diplomatik Setiap negara yang merdeka dan berdaulat memiliki hak legasi. Hak legasi ini adalah hak suatu negara untuk mengirimkan wakilnya ke negara lain (legasi aktif) dan kewajiban untuk menerima wakil-wakil negara asing (legasi pasif). Namun kemudian, praktek negara-negara mulai meninggalkan hak legasi ini, artinya tidak satu negarapun diharuskan menerima duta besar dari negara lain. Kemudian ditegaskan dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961 bahwa pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar kesepakatan bersama. Kesepakatan ini biasanya dituangkan dalam bentuk Komunike Bersama dan Perjanjian Persahabatan. Penolakan juga dapat dilakukan dengan alasan apapun juga. Hal ini erat kaitannya dengan pengakuan. Biasanya negara memberikan pengakuan terlebih dahulu, baru diikuti dengan hubungan diplomatik. 2. Penunjukan Kepala Perwakilan Pengangkatan duta besar biasanya dilakukan atas nama kepala negara. Caloncalon duta besar diajukan oleh Menteri Luar Negeri kepada negara utnuk mendapatkan persetujuannya. Menurut Pasal 29 Undang-undang No. 37 tahun 1999, seorang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara. Negara penerima berhak menolak seorang calon dengan dasar perilaku atau kebijakan professional si calon di masa lalu. Bila telah ditolak, maka negara penerima tidak harus memberikan alasan mengenai penolakan tersebut. Penerimaan duta besar (agrément) dapat dicabut kembali dengan syarat bahwa duta besar yang bersangkutan belum tiba di negara penerima. 3. Tugas-Tugas Perwakilan Diplomatik Pasal 3 Konvensi Wina menyebutkan tentang tugas-tugas yang harus dilakukan oleh perwakilan diplomatik, yaitu: a. Mewakili negara pengirim di negara penerima; b. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warganegaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional; c. Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima; d. Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada Pemerintah negara pengirim; e. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dengan negara penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. 4. Berakhirnya Hubungan Diplomatik Berakhirnya suatu misi diplomatik dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: c. Adanya pemberitahuan dari negara pengirim kepada negara penerima bahwa tugas dari pejabat diplomatik itu telah berakhir; d. Adanya pemberitahuan dari negara penerima kepada negara pengirim bahwa negara tersebut menolak untuk mengakui seorang pejabat diplomatik sebagai anggota perwakilan. Selain itu ada juga alasan lain yang menyebabkan berakhirnya fungsi diplomatik, yaitu: a. Putusnya hubungan diplomatic; b. Hilangnya negara pengirim atau negara penerima; PERSONA NON GRATA Pasal 9 Konvensi Wina mengatur mengenai persona non grata. Penyataan persona non grata adalah pernyataan dari negara penerima yang dapat diberikan setiap waktu dan tanpa harus memberikan penjelasan kepada negara pengirim tentang status salah satu anggota staf diplomatik yang harus dipanggil kembali dan mengakhiri tugasnya di perwakilan. Selain itu pernyataan persona non grata dapat juda ditetapkan bila negara pengirim menolak atau tidak mampu dalam jangka waktu yang pantas melakukan kewajibannya, sehingga negara penerima tidak mengakui pejabat tersebut sebagai anggota perwakilan. Tindakan persona non grata biasanya dilakukan terhadap diplomat yang terbukti melakukan kegiatan spionase, melindungi agen-agen rahasia asing dan membiarkan mereka melakukan kegiatan-kegitan dengan menggunakan fasilitas perwakilan, melindungi orang-orang yang dikenakan hukuman, mencampuri urusan dalam negeri negara penerima, melakukan penyelundupan atau membuat pernyataan-pernyataan yang merugikan negara setempat. HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN DIPLOMATIK 1. Dasar Pertimbangan Pemberian Hak-Hak Istimewa Dan Kekebalan Ada tiga teori mengenai dasar pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik di luar negeri. Teori tersebut adalah: a. Teori Eksteritorialitas; Teori ini menganggap seorang pejabat diplomatik seolah-olah tidak meninggalkan negerinya, walaupun sebenarnya dia berada di luar negeri dan melaksanakan tugas-tugasnya di sana. Oleh karena seorang diplomat dianggap tetap berada di negerinya maka ketentuan-ketentuan negara penerima tidak berlaku kepadanya. Teori ini kurang diterima karena dianggap tidak realistis, yang hanya didasarkan atas suatu fiksi dan tidak diterima oleh masyarakat internasional. b. Teori Representatif; Bagi pejabat diplomatik dan perwakilan diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas yang seperti itu maka pejabat dan perwakilan diplomatik menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan di negara penerima. Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu dimana negara penerima memberikan semua hak, kebebasan dan perlindungan kepada utusan-utusan raja sebagai penghormatan kepada rajanya. c. Teori Kebutuhan Fungsional; Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik hanya didasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar. Teori ini kemudian didukung oleh Konvensi Wina 1961, yang dituangkan dalam Pembukaan Konvensi dengan menyatakan bahwa tujuan hak-hak istimewa dan kekebalan tersebut bukan untuk menguntungkan orang perorangan tetapi untuk membantu pelaksanaan yang efisien fungsi-fungsi misi diplomatik sebagai wakil dari negara. 2. Kekebalan Pribadi Pejabat Diplomatik Pasal 29 Konvensi Wina menyebutkan bahwa pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan dan martabatnya. Perlindungan juga diberikan dengan jaminan kebebasan bergerak dan bepergian di wilayah negara penerima. 3. Kekebalan Yurisdiksional Hal yang terpenting dari tidak boleh diganggunya seorang diplomat adalah haknya untuk bebas dari yurisdiksi negara penerima sehubungan dengan masalahmasalah kriminal. Kekebalan para diplomat adalah bersifat mutlak dan dalam keadaan apapun mereka tidak boleh diadili atau dihukum. Bila dia melakukan tindakan kriminal di negara penerima, maka akan menjadi kebijakan pemerintah atau kepala perwakilannya untuk menanggalkan kekebalan diplomatik seorang diplomat. Bila tidak diadili oleh negara penerima, maka diplomat tersebut akan bebas sama sekali dari tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh peradilan negaranya apabila hukum pidana negaranya memberikan wewenang untuk mengadili dan menghukum kejahatan-kejahatan yang dilakukan warga negaranya di luar negeri. 4. Pembebasan Pajak Para pejabat diplomatik tidak membayar pajak di negara penerima karena dari segi prinsip, pembayaran pajak merupakan kepatuhan dan keterikatan kepada negara. Pajak hanya dipungut oleh negara terhadap warga negaranya dan orangorang asing bukan diplomat yang berdiam di negaranya atas dasar prinsip kedaulatan teritorial. Tetapi pungutan local atau retribusi yang dilakukan oleh pihak berwenang harus tetap dibayarkan, seperti pungutan air, listrik, penyaluran kotoran dan penjagaan malam. 5. Pencabutan Kekebalan Pasal 32 Konvensi menyatakan bahwa kekebalan dari kekuasaan hukum pejabat-pejabat diplomatik dan orang-orang yang menikmati kekebalan dapat ditanggalkan oleh negara pengirim, dan penanggalan kekebalan tersebut harus dilakukan dengan jelas dan nyata. HUBUNGAN KONSULER LEMBAGA KONSULER 1. Pembukaan Hubungan Konsuler Suatu hubungan konsuler dapat dibuka dengan melakukan kesepakatankesepakatan dengan negara asing. Perwakilan konsuler merupakan dinas publik suatu negara yang terletak di negara asing, tetapi hanya mengurus masalah-masalah perdagangan dan pelayaran, bukan masalah yang bersifat politis. Perwakilan konsuler tidak harus berada di suatu negara yang sudah merdeka, melainkan bisa juga di wilayah-wilayah yang belum mempunyai pemerintahan sendiri. Banyak negara yang membuat perjanjian konsuler dengan menentukan mengenai lokasi konsulat dan luasnya wilayah operasional konsulat tersebut. Atas alasan keamanan, negara penerima dapat menolak pembukaan konsulat di tempat-tempat tertentu. 2. Fungsi Konsuler Fungsi seorang konsul terbatas kepada masalah-masalah administrative. Berdasarkan Pasal 5 Konvensi Wina disebutkan bahwa tugas-tugas konsul adalah: a. melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warganegaranya yang berada di negara penerima; b. memajukan hubungan niaga, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan; c. mengamati keadaan dan perkembangan di bidang perdagangan, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan di negara penerima; d. mengeluarkan paspor dan surat jalan kepada warganegara pengirim, visa atau surat-surat lainnya; e. membantu warganegara pengirim, bertindak sebagai notaries dan pejabat catatan sipil; f. melaksanakan hak pengawasan dan pemeriksaan terhadap kapal-kapal negara pengirim; g. serta fungsi-fungsi lain yang tidak dilarang oleh hukum dan peraturan negaranegara penerima. 3. Hak-Hak Istimewa Dan Kekebalan Konvensi Wina 1963 memberikan hak-hak istimewa, kekebalan dan kemudahan kepada para konsulat dengan tujuan untuk memperlancar dan mempermudah kegiatan-kegiatan yang dilakukan mereka di negara penerima. Adapun kekebalan dan hak-hak istimewa tersebut diantaranya: a. Kekebalan terhadap kantor konsuler yang tidak boleh diganggu gugat dan para petugas negara setempat tidak boleh masuk kecuali dengan izin kepala perwakilan; b. Kekebalan alat komunikasi yang bebas digunakan untuk kegiatan resmi konsuler; c. Kebebasan berkomunikasi antara konsulat dengan negara pengirimnya; d. Kekebalan pribadi pejabat konsuler, namun dalam keadaan tertentu pejabat konsuler tidak kebal terhadap yurisdiksi kriminal; e. Kekebalan fiscal yang membebaskan kantor-kantor konsuler dari pajak nasional dan local di negara penerima; f. Pembebasan dari pajak pribadi; g. Pembebasan bea masuk terhadap barang-barang yang diimpor oleh perwakilan konsuler untuk keperluan resmi konsuler. RINGKASAN 1. Menyebutkan pengertian Hubungan Diplomatik; Hukum diplomatik adalah himpunan ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik dalam hubungan diplomatik sebagai bagian dari hukum internasional yang paling mapan dan sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat internasional. 2. Memberikan pengertian Hubungan Konsuler; Perwakilan konsuler merupakan dinas publik suatu negara yang terletak di negara asing, tetapi hanya mengurus masalah-masalah perdagangan dan pelayaran, bukan masalah yang bersifat politis. Perwakilan konsuler tidak harus berada di suatu negara yang sudah merdeka, melainkan bisa juga di wilayah-wilayah yang belum mempunyai pemerintahan sendiri. 3. Menyebutkan hak-hak istimewa dalam Hubungan Diplomatik; Pasal 29 Konvensi Wina menyebutkan bahwa pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan dan martabatnya. Perlindungan juga diberikan dengan jaminan kebebasan bergerak dan bepergian di wilayah negara penerima. Hal yang terpenting dari tidak boleh diganggunya seorang diplomat adalah haknya untuk bebas dari yurisdiksi negara penerima sehubungan dengan masalahmasalah kriminal. Kekebalan para diplomat adalah bersifat mutlak dan dalam keadaan apapun mereka tidak boleh diadili atau dihukum. Bila dia melakukan tindakan kriminal di negara penerima, maka akan menjadi kebijakan pemerintah atau kepala perwakilannya untuk menanggalkan kekebalan diplomatik seorang diplomat. Bila tidak diadili oleh negara penerima, maka diplomat tersebut akan bebas sama sekali dari tuntutan hukum. Ia dapat diadili dan dijatuhi hukuman oleh peradilan negaranya apabila hukum pidana negaranya memberikan wewenang untuk mengadili dan menghukum kejahatan-kejahatan yang dilakukan warganegaranya di luar negeri. Para pejabat diplomatik tidak membayar pajak di negara penerima karena dari segi prinsip, pembayaran pajak merupakan kepatuhan dan keterikatan kepada negara. Pajak hanya dipungut oleh negara terhadap warga negaranya dan orang-orang asing bukan diplomat yang berdiam di negaranya atas dasar prinsip kedaulatan teritorial. Tetapi pungutan local atau retribusi yang dilakukan oleh pihak berwenang harus tetap dibayarkan, seperti pungutan air, listrik, penyaluran kotoran dan penjagaan malam. 4. Menyebutkan hak-hak istimewa dalam Hubungan Konsuler. a. Kekebalan terhadap kantor konsuler yang tidak boleh diganggu gugat dan para petugas negara setempat tidak boleh masuk kecuali dengan izin kepala perwakilan; b. Kekebalan alat komunikasi yang bebas digunakan untuk kegiatan resmi konsuler; c. Kebebasan berkomunikasi antara konsulat dengan negara pengirimnya; d. Kekebalan pribadi pejabat konsuler, namun dalam keadaan tertentu pejabat konsuler tidak kebal terhadap yurisdiksi kriminal; e. Kekebalan fiscal yang membebaskan kantor-kantor konsuler dari pajak nasional dan local di negara penerima; f. Pembebasan dari pajak pribadi; g. Pembebasan bea masuk terhadap barang-barang yang diimpor oleh perwakilan konsuler untuk keperluan resmi konsuler. LATIHAN Mahasiswa membuat sebuah tabel tentang perbandingan antara hubungan diplomatik dan hubungan konsuler. DAFTAR PUSTAKA Adolf Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Raja Grafindo Persada, 1996 Agrawala, S.K., (eds.) Essays on the Law of Treaties. Orient Longman: New Delhi, 1972. Akehurst, Michael, A Modern Introduction to International Law, 7th edition, Peter Malanczuk, Routledge, New York, 1997 AM.Wahyudidjafar, Judicial Review: http://wahyudidjafar.wordpress.com/ Sebuah Pengantar, Aust, Anthony, "Modern treaty law and practice", Cambridge University Press, 2000 B. Conforti & A. Labella, Invalidity and Termination of Treaties: the Role of National Courts, EJIL 1, 1990 Bennet, Le Roy. International Organizations, Prentice Hall, Inc. USA, 1995 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, 2003, Alumni, Bandung Bowett, D.H, The Law of International Institutions, Stevens, London, 1982 Brierly, J.L, The Law of Nations, 6th Edition, Edited by Sir Humpherly Waldock, Oxford, London, 1985 Brownly, Ian. Principles of Publik International Law, Fourth edition, Oxford University Press, 1990 -----------------, Basic Document on International Law. Clarendon Press: Oxford, 1974. Budiarto, M., Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Azasi Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980. Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989 Churchill, R.R., dan Lowe, A.V. The Law of the Sea, 3th edition, Manchester University Press, 1999 Charter of the United Nations http://www.un.org/en/documents/charter/ Djalal. Hasyim, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Bina Cipta, 1979 Dorman, Peter J., Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press, 1976. Dunoff, Jeffrey L.International Law: Norm, Actors, Process: A Problem Oriented Approach, 2nd edition. Aspen Publishers, NY. 2006 Drs. R. Poerwanto, SH, MA, M.Si, Praktek Ratifikasi Dalam Organisasi Internasional, 2010. Damos Dumoli Agusman, Apa Perjanjian Internasional itu? Beberapa Perkembangan Teori dan Praktek di Indonesia Tentang Perjanjian Internasional, Refleksi Dinamika Hukum, 2008, dapat diakses di http://elibrary.kemlu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65 %3Aapa-perjanjian-internasional-itu&catid=45%3Aeresources&Itemid=76&lang=en --------------------------, Status Hukum Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Republik Indonesia: Tinjauan dan Perspektif Praktik Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5 No. 3 April 2008. Electronic Information System for International Law (EISIL) http://www.eisil.org/ Electronic Legal Resources on https://www.unodc.org/tldb International Terrorism (UNODC) Elias, T.O. The Modern Law of Treaties, Oceana, Dobbs Fery, NY, 1974 E. Klein, Genocide Convention (Advisory Opinion), EPIL II, 1995 Gautama, Sudargo, Hukum Perdata dan Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1980. --------------------------, Capita Selecta Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1983. --------------------------, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku Kedelapan). Bandung: Alumni, 1987. International Court of Justice http://www.icj-cij.org/ International Law Commission (ILC) International Law website http://www.un.org/law/ilc/ http://www.un.org/en/law/ Komar Mike., 1981, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 Mengenai Hukum Perjanjian Internasional, Diktat. Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional. Kusumaatmadja. Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003. -----------, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Bina Cipta, 1978. Kusumo Hamidjojo, Budiono., 1986, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina tahun 1969 Tentang Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung. Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional. Konvensi Wina 1986 tentan Perjanjian Internasional Antara Negara dan Organisasi Internasional dan Sesama Organisasi Internasional Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang Lita Arijati, et al, 2009, Kemungkinan Perjanjian Internasional Di-Judicial ReviewKan, http://treatyroom.blogspot.com, L. Wildhaber, Treaty Making Power and Constituion: An Interpretational and Comparative Study, 1971.