30 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perairan Ekosistem Lamun di Kepulauan Seribu Perairan Kepulauan Seribu merupakan bagian dari wilayah perairan DKI Jakarta yang terletak di sebelah luar perairan Teluk Jakarta. Perairan ini secara oseanografis cukup rentan terhadap berbagai ancaman pencemaran, hal ini dikarenakan lokasi perairan berhubungan langsung dengan Teluk Jakarta yang merupakan tempat bermuaranya 13 sungai yang melintasi Kota Jakarta yang padat pemukiman dan industri. Sebagai salah satu ekosistem laut di perairan utara Jakarta, wilayah perairan Kepulauan Seribu didominasi oleh ekosistem terumbu karang, padang lamun dan daratan pulau-pulau karang yang menjadi habitat penting berbagai jenis biota perairan laut (Sachoemar 2008). Ekosistem yang terdapat di wilayah perairan Kepulauan Seribu sangat bergantung dengan kondisi lingkungan perairannya, seperti ekosistem padang lamun. Ekosistem padang lamun berada di daerah intertidal atau daerah pasang surut, dimana sangat dipengaruhi oleh kecerahan, temperatur, salinitas, substrat dan kecepatan arus (Hidayatullah 2010). Iklim di wilayah perairan Kepulauan Seribu adalah tropis, hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Sachoemar (2008) bahwa temperatur maksimum wilayah perairan Kepulauan seribu adalah 32,3 ºC, suhu minimum 21,6 ºC dan kelembaban udara 80 mm Hg. Tingkat kecerahan di ekosistem lamun sangat tinggi, hal ini dikarenakan sifat lamun yang memerlukan sinar matahari untuk berfotosintesis. Substrat pada ekosistem lamun adalah lumpur dan sedimen berpasir. Keuntungan dari ekosistem lamun ini adalah dapat menstabilkan substrat dasar, daun-daun lamun akan menangkap sedimen dan mengendapkannya ke dasar sehingga perairan menjadi jernih. Kondisi perairan Kepulauan Seribu di daerah ekosistem lamun dapat dilihat pada Gambar 4. 31 Gambar 4. Kondisi perairan ekosistem lamun di Kepulauan Seribu 4.2 Komposisi Proksimat dan Abu Tidak Larut Asam Lamun Syringodium isoetifolium Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi proksimat (gizi) dari suatu bahan, yang terdiri dari kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat. Kadar karbohidrat dalam lamun diketahui dengan perhitungan secara by difference. Selain komposisi gizi tersebut, dilakukan juga pengujian terhadap kadar abu tidak larut asam yang bertujuan untuk mengetahui jumlah pengotor pada suatu bahan. Lamun Syringodium isoetifolium merupakan jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat dikonsumsi sehingga perlu dilakukan analisis proksimat dan abu tidak larut asam dari lamun tersebut. Hasil analisis proksimat dan abu tidak larut asam dari lamun Syringodium isoetifolium dapat dilihat pada Tabel 1 dan perhitungan masing-masing komponen gizi dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 1. Hasil analisis proksimat dan abu tidak larut asam lamun Syringodium isoetifolium Komponen Nilai bb (%) Kadar air 86,95±0,36 Kadar abu 4,48±0,12 Kadar lemak 2,90±3,83 Kadar protein 3,26±2,57 Karbohidrat (by difference) 2,41±1,50 Kadar abu tidak larut asam 0,49±0,42 32 Air merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam organisme dan mencakup 70% atau lebih dari bobot hampir semua bentuk kehidupan. Hal ini dikarenakan air mengisi semua bagian dari tiap sel, air merupakan medium tempat berlangsungnya transport nutrien, reaksi-reaksi enzimatis metabolisme dan transfer energi kimia. Kadar air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan. Pada umumnya bahan pangan yang mudah rusak adalah bahan pangan yang memiliki kadar air yang tinggi. Air dibutuhkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Demikian juga air dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam bahan pangan, misalnya reaksi-reaksi yang dikatalisis oleh enzim (Lehninger 1988). Sayur-sayuran (tumbuhan) merupakan bahan baku yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi setelah buah-buahan. Lamun Syringodium isoetifolium memiliki kadar air yang cukup tinggi sebesar 86,95%. Tingginya nilai kadar air yang terkandung pada lamun ini, menyebabkan lamun cepat mengalami kebusukan. Menurut Wirakusumah (2007) buah dan sayuran merupakan bahan baku yang tergolong high perishable yaitu mudah mengalami kerusakan. Hal ini dikarenakan kandungan air yang terkandung di dalamnya merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme penyebab kebusukan. Kadar air pada bahan pangan berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh habitat atau lingkungannya. Prinsip analisis kadar air dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengukur berat air bebas yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan dengan bantuan panas. Air yang teruapkan adalah air bebas yang hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan yaitu membran, kapiler, serat dan lain sebagainya (Winarno 2008). Abu merupakan unsur-unsur mineral atau lebih dikenal sebagai zat anorganik. Analisis kadar abu ini bertujuan untuk dapat mengetahui besar kecilnya unsur mineral yang terkandung dalam suatu bahan pangan (Winarno 2008). Kadar abu basis basah lamun Syringodium isoetifolium sebesar 4,48%, sedangkan kadar abu basis kering yang diperoleh sebesar 34,33%. Nilai tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan lamun Syringodium foliforme yang memiliki nilai kadar abu basis kering sebesar 70,62% (Setyati et al. 2005). 33 Tinggi rendahnya kadar abu yang terkandung pada suatu bahan dapat disebabkan oleh perbedaan spesies, habitat atau lingkungan hidupnya. Selain itu masingmasing organisme memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga nantinya akan mempengaruhi nilai kadar abu dari bahan itu sendiri (Winarno 2008). Lemak meliputi semua zat yang dapat larut di dalam pelarut organik. Fungsi lemak dalam susunan makanan adalah sebagai sumber energi, pembentukan jaringan adipose, sumber asam-asam lemak esensial dan vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan mampu tidaknya tubuh mensintesis asam lemak, maka asam lemak juga dibedakan menjadi asam lemak esensial dan nonesensial (Muchtadi 2001). Komposisi asam lemak dalam tanaman dan hewan umumnya berbeda, menurut Duffus dan Slaughter (1980) dalam khairina dan Fitrial (2003) lemak tanaman umumnya lebih tidak jenuh daripada lemak hewan. Keadaan ini lebih umumnya disebabkan relatif tingginya proporsi asam lemak tidak jenuh seperti oleat, linoleat dan linolenat. Sebaliknya pada hewan mengandung lebih tinggi asam lemak jenuh seperti asam palmitat dan stearat. Lemak merupakan komponen yang tersusun dari unit struktural yang bersifat hidrofobik. Analisis kadar lemak dilakukan untuk mengetahui kandungan kadar lemak pada lamun. Lamun Syringodium isoetifolium memiliki kadar lemak sebesar 2,90% dengan perhitungan secara basis basah, sedangkan secara basis kering nilai kadar lemak sebesar 22,22%. Nilai kadar lemak ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan nilai kadar lemak basis kering lamun Syringodium foliforme yang diperoleh oleh Setyati et al. (2005) yaitu sebesar 4,71%. Perbedaan nilai kadar lemak yang terkandung pada suatu bahan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kandungan air yang terkandung pada bahan tersebut. Kadar air umumnya berbanding terbalik dengan kadar lemak. Hubungan tersebut mengakibatkan semakin tingginya kadar air, maka kadar lemaknya akan semakin rendah (Winarno 2008). Tumbuhan merupakan organisme autotrofik, artinya mampu membentuk makannya sendiri (senyawa organik) dari bahan-bahan anorganik melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis adalah glukosa (C6H12O6). Glukosa dalam tubuh tumbuhan dapat diubah menjadi protein melalui proses asimilasi 34 (Khairina dan Fitrial 2003). Lamun Syringodium isoetifolium mengandung kadar protein sebesar 3,26% dengan perhitungan secara basis basah , sedangkan dengan perhitungan basis kering kadar protein yang diperoleh sebesar 24,98%. Nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan lamun Syringodium foliforme yang memiliki nilai kadar protein basis kering sebesar 5,52% (Setyati et al. 2005). Protein merupakan penyusun utama sel-sel dalam tubuh. Kualitas protein suatu bahan makanan ditentukan oleh daya cerna, jumlah serta komposisi asam amino. Asam amino esensial diamati untuk mengetahui nilai biologis protein suatu bahan makanan. Selama pencernaan protein pangan akan dihidrolisis untuk menghasilkan asam amino. Namun, tidak semua asam amino mampu disintesis di dalam tubuh. Khusus untuk asam amino esensial kita harus mensuplainya dari luar tubuh melalui makanan yang kita konsumsi (Khairina dan Fitrial 2003). Karbohidrat (C6H12O6) merupakan komponen organik yang paling banyak tersebar di permukaan bumi. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme hewan dan tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari karbohidrat sebesar 4 kkal. Karbohidrat ini dibentuk dari reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel tanaman yang berklorofil (Belitz et al. 2009). Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lainnya (Winarno 2008). Lamun Syringodium isoetifolium mengandung karbohidrat sebesar 2,41%. Winarno (2008) menyatakan bahwa hasil perhitungan dengan metode by difference ini merupakan metode penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar juga terhitung sebagai karbohidrat. Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam, yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silica. Kadar abu tidak larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak larut asam pada suatu bahan. Kadar abu tidak larut asam juga dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan suatu bahan (Basmal et al. 2003). Sampel lamun Syringodium isoetifolium mengandung residu abu tidak larut asam sebesar 0,49%. Nilai kadar abu tidak larut asam yang 35 diperoleh dalam penelitian ini berada dibawah 1% yaitu nilai yang dipersyaratkan dalam Food Chemical Codex (2009) yang diacu dalam Basmal et al. (2003) terhadap rumput laut Eucheuma cottonii. Kadar abu tidak larut asam ini diduga berasal dari material-material abu yang tidak larut asam yang terdapat di perairan tempat lamun berasal seperti pasir, lumpur, silika dan batu. 4.3 Kandungan Serat Pangan Lamun Syringodium isoetifolium Serat pangan (dietary fiber) merupakan bagian makanan yang tidak dapat dicerna oleh cairan pencernaan (enzim), sehingga tidak menghasilkan energi atau kalori. Serat pangan ini termasuk golongan karbohidrat yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin dan gum. Selulosa dan hemiselulosa tedapat pada bekatul atau sekam padi, kacang-kacangan dan hampir pada semua buah dan sayuran (Koswara 2007). Hasil pengujian serat pangan (dietary fiber) lamun Syringodium isoetifolium dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis serat pangan lamun Syringodium isoetifolium Parameter Nilai bb (g/100 g sampel) Serat pangan larut (SPL) Serat pangan tidak larut (SPTL) Total serat pangan (TSP) 6,20±0,00 8,13±0,62 14,34±0,62 Berdasarkan kelarutannnya dalam air, serat pangan terbagi menjadi dua jenis, yaitu serat pangan larut air (SPL)/soluble dietary fiber (SDF) dan serat pangan tidak larut air (SPTL)/insoluble dietary fiber (IDF) (Muchtadi 2001), sedangkan untuk total serat pangan (TSP)/total dietary fiber (TDF) adalah gabungan nilai serat pangan larut dan tidak larut air. Perhitungan serat pangan pada lamun dapat dilihat pada Lampiran 2. Menurut Muchtadi (2001) serat pangan total mengandung gula-gula dan asam-asam gula sebagai bahan pembangun utama serta grup fungsional yang dapat mengikat dan terikat atau bereaksi satu sama lain dengan komponen lain. Gula-gula yang membentuk TDF adalah glukosa, galaktosa, silosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa dan fukosa, sedangkan asam-asam gulanya adalah asam mannuronat, galaktironat, glukuronat, guluronat dan 4-0 metilglukuronat. 36 Serat pangan tidak larut dipengaruhi kandungan mineral seperti kalsium, sedangkan serat pangan larut dipengaruhi oleh gum yang merupakan polisakarida yang dihasilkan dari getah tanaman. Gum dapat membentuk gel atau larutan yang kental bila ditambahkan air. Beberapa tipe gum yaitu galaktan, glukoromanan, galaktomanan dan xilan (Muchtadi 2001). Hampir sebagian besar serat pangan yang terkandung dalam makanan bersumber dari pangan nabati. Serat tersebut berasal dari dinding sel berbagai jenis buah-buahan, sayuran, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Astawan et al. (2004) telah meneliti kandungan dietary fiber pada rumput laut jenis Eucheuma cottonii dengan nilai SDF, IDF dan TDF dihitung dengan berat kering masingmasing sebesar 23,89%, 55,05% dan 78,94%. Nilai tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan kadar dietary fiber yang terkandung dalam lamun Syringodium isoetifolium basis kering, sedangkan secara basis basah kandungan serat pangan pada lamun Syringodium isoetifolium ini lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis tumbuhan darat seperti kangkung, bayam, daun katuk, salada dan sawi hijau yang memiliki kandungan serat pangan sekitar 44,9561,34% (Muchtadi 1998). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Hutomo (1997) bahwa lamun tidak mengandung banyak serat seperti tumbuhan rumput di darat. Proporsi dari berbagai komponen serat pangan berbeda-beda antara satu bahan pangan dengan bahan pangan lainnnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan ini adalah jenis spesies, tingkat kematangan, lingkungan (habitat), bagian yang dikonsumsi dan perlakuan terhadap bahan pangan tersebut (Muchtadi 2001). 4.4 Rendemen Ekstrak Lamun Syringodium isoetifolium Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi padat cair atau leaching adalah transfer difusi komponen terlarut dari padatan inert ke dalam pelarutnya. Proses ini termasuk proses yang bersifat fisik karena komponen terlarut kemudian dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solven pengekstraksi (Utami et al. 2009). Tujuan 37 ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbone 1987). Ekstraksi lamun Syringodium isoetifolium dilakukan melalui proses maserasi tipe pelarut tunggal. Jenis pelarut yang digunakan dibedakan berdasarkan tingkat kepolarannya, yaitu metanol mewakili pelarut polar, etil asetat mewakili pelarut semipolar dan n-heksana mewakili pelarut nonpolar. Perbedaan jenis pelarut yang digunakan bertujuan untuk mengetahui rendemen ekstrak dan identifikasi komponen-komponen bioaktif dari lamun Syringodium isoetifolium yang masih belum diketahui kepolarannya. Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada Gambar 5 dan perhitungan rendemen masing-masing ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 3. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf (a,b) menunjukkan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap kandungan rendemen ekstrak Gambar 5. Rendemen ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana lamun Syringodium isoetifolium Gambar 5 menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut mempengaruhi jumlah ekstrak kasar yang dihasilkan, dimana metanol memiliki rendemen ekstrak kasar paling tinggi yaitu sebesar 7,23%, diikuti rendemen ekstrak kasar etil asetat dan n-heksana secara berturut-turut sebesar 6,43% dan 1,43%. Nilai rendemen terkecil terdapat pada ekstrak kasar dari pelarut n-heksana, hal ini menunjukkan 38 bahwa komponen bioaktif yang terlarut pada pelarut nonpolar sangat sedikit, sedangkan pada pelarut polar terdapat komponen bioaktif yang larut dengan jumlah yang lebih banyak. Perbedaan rendemen ekstrak kasar yang diperoleh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, perbandingan jumlah sampel terhadap jumlah pelarut yang digunakan dan jenis pelarut yang digunakan (Salamah et al. 2008). Hasil analisis ragam terhadap rendemen ekstrak kasar dari ketiga pelarut dapat dilihat pada Lampiran 4. Metanol adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH yang merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Senyawa tersebut memiliki gugus polar yang lebih kuat daripada gugus nonpolar, hal ini terbukti dari struktur kimia metanol yang memiliki gugus hidroksil (polar) dan gugus karbon (nonpolar). Keadaan inilah yang diduga menyebabkan metanol mampu mengekstrak lebih banyak komponen bioaktif yang bersifat sangat polar dan sedikit nonpolar yang terdapat dalam lamun Syringodium isoetifolium. 4.5 Kandungan Total Fenol Lamun Syringodium isoetifolium Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri yang sama, yaitu memiliki cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golangan fenol terbesar, selain itu juga terdapat beberapa jenis fenol lainnya seperti fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan kuinon fenolik. Gugus aromatik yang dimiliki oleh senyawa fenol dapat menyerap kuat pada spektrum sinar UV. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena sering berikatan dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne 1987). Menurut Deore et al. (2009) senyawa fenol dapat memiliki aktivitas antioksidan, antitumor, antiviral dan antibiotik. Senyawa fenol ini diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu fenol sederhana dan polifenol, dimana polifenol diketahui memiliki peran penting dalam stabilisasi oksidasi lipida dan berhubungan langsung dengan aksi antioksidan (Huang et al. 2005). Senyawa fenol memiliki kemampuan dalam menangkap radikal peroksida dan dapat mengkelat logam besi yang mengkatalis peroksida lemak. Berdasarkan sifat fenol tersebut, maka dilakukan pengujian total fenol pada ekstrak kasar lamun 39 Syringodium isoetifolium dari beberapa jenis pelarut. Pengujian total fenol ini menggunakan pelarut Follin-Ciocalteu dan sebagai pembanding digunakan asam galat (Rohman dan Riyanto 2005). Prinsip kerja metode Follin-Ciocalteu ini adalah reaksi antara senyawa fenol dengan reagen Follin-Ciocalteu. Reaksi ini melibatkan oksidasi gugus fenolik (ROH) dengan campuran asam fosfotungstat dan asam molibdat dalam reagen, menjadi bentuk quinoid (R=O). Reduksi reagen Follin-Ciocalteu ini menghasilkan warna biru sesuai dengan kadar fenol total yang bereaksi. Selanjutnya warna ini dihitung intensitasnya pada panjang gelombang 765 nm. Asam galat digunakan sebagai standar pengukuran dikarenakan asam galat merupakan senyawa polifenol yang terdapat di hamper semua tanaman. Kandungan fenol asam organik ini bersifat murni dan stabil (Kusumaningati 2009). Nilai total fenol diperoleh dari pengukuran nilai absorban dan perhitungan menggunakan persamaan regresi linear asam galat. Perhitungan masing-masing total fenol dapat dilihat pada Lampiran 5. Kandungan total fenol dalam ekstrak kasar lamun Syringodium isoetifolium pada pelarut yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf (a,b) menunjukkan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap kandungan total fenol Gambar 6. Kandungan total fenol ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana lamun Syringodium isoetifolium 40 Gambar 6 menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan total fenol yang dihasilkan. Ekstrak kasar dari pelarut etil asetat memiliki kandungan total fenol yang paling tinggi yaitu sebesar 732,65 mg GAE/1000 g sampel, diikuti oleh ekstrak kasar dari metanol sebesar 94,35 mg GAE/1000 g sampel dan total fenol dari ekstrak kasar n-heksana sebesar 10,04 mg GAE/1000 g sampel. Senyawa fenol cenderung lebih larut pada pelarut polar (Harborne 1987), akan tetapi pada hasil pengujian total fenol dari lamun Syringodium isoetifolium menunjukkan bahwa ekstrak kasar yang diperoleh menggunakan pelarut etil asetat memperoleh nilai total fenol paling tinggi. Hal ini diduga banyaknya kadar fenol yang terekstrak pada pelarut etil asetat (semipolar). Analisis ragam total fenol lamun dapat dilihat pada Lampiran 6. Perbedaan tingkat kepolaran pelarut menentukan struktur kimia senyawa fenol yang terekstrak. Deore et al. (2009) menyatakan bahwa pengujian total fenol sangat tergantung pada struktur kimianya. Senyawa fenol yang mempunyai gugus fungsi hidroksil yang banyak atau dalam kondisi bebas (aglikon) akan menghasilkan kadar total fenol yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak kasar etil asetat memiliki gugus fungsi hidroksil atau aglikon lebih banyak dibandingkan kedua ekstrak kasar lainnya. Menurut Harborne (1987) etil asetat merupakan pelarut semipolar yang dapat melarutkan senyawa semipolar pada dinding sel seperti aglikon flavonoid. Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid adalah polifenol yang mempunyai sifat kimia seperti senyawa fenol. Senyawa fenol ini diduga berpengaruh terhadap kandungan antioksidan dalam lamun karena adanya korelasi positif antara total fenol dan aktivitas antioksidan, dimana jika di dalam suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi (Widyawati et al. 2010). Aglikon flavonoid atau polifenol merupakan senyawa fenol dengan struktur kimia yang terdiri dari gugus benzena (nonpolar) dan gugus hidroksil (polar). Polifenol ini memiliki gugus benzena (nonpolar) dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga gugus nonpolar pada senyawa fenol ini lebih kuat daripada gugus polarnya. Pelarut etil asetat merupakan senyawa kimia organik dengan rumus kimia CH3CH2OC(O)CH3. Pelarut ini memiliki sifat kimia yang sama 41 dengan senyawa aglikon flavonoid, yaitu memiliki gugus nonpolar yang lebih kuat daripada gugus polar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah gugus alkana (nonpolar) yang lebih dominan daripada jumlah gugus oksigen yang mempunyai pasangan elektron bebas (polar). Keadaan inilah yang menyebabkan senyawa aglikon flavonoid atau polifenol yang terdapat pada lamun Syringodium isoetifolium lebih banyak terekstrak oleh pelarut etil asetat daripada dua pelarut lainnya. Senyawa-senyawa flavonoida atau polifenol terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Senyawa flavonoid didalam tumbuhan umumnya berikatan dengan gula yang disebut flavonoid glikon dan tidak berikatan dengan gula yang disebut aglikon flavonoid. Flavonoid glikon cenderung lebih mudah larut dalam pelarut polar, sedangkan untuk senyawa aglikon flavonoid cenderung lebih mudah larut dalam pelarut semipolar. Beberapa senyawa yang tergolong dalam flavonoid glikon antara lain flavanonol, katekin, leukoantosianidin, antosianidin, khalkon dan auron, sedangkan senyawa-senyawa yang tergolong aglikon flavonoid antara lain flavonol, flavon, flavanon dan isoflavon (Lenny 2006). Struktur kimia dari senyawa-senyawa yang tergolong aglikon flavonoid dapat dilihat pada Gambar 7 dan flavonoid glikon dapat dilihat pada Gambar 8. (a) Flavonol (b) Flavon (c) isoflavon (d) flavanon Gambar 7. Struktur kimia senyawa aglikon flavonoid atau polifenol (Sumber: Lenny 2006) 42 (b) katekin (a) Flavononol (c) leukoantosianidin (d) flavanon (e) khalkon (f) auron Gambar 8. Struktur kimia senyawa flavonoid glikon (Sumber: Lenny 2006) 4.6 Kandungan Senyawa Fitokmia Lamun Syringodium isoetifolium Ekstrak kasar yang diperoleh dari masing-masing pelarut, diuji kandungan senyawa bioaktif dengan metode fitokimia. Uji fitokimia dipilih karena dapat mendeteksi komponen bioaktif yang tidak terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga terhadap metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, yaitu protein dan peptida. Uji fitokimia yang dilakukan pada lamun Syringodium isoetifolium hanya terbatas pada uji metabolit sekunder yang meliputi pengujian pada komponen alkaloid, flavonoid, streroid (triterpenoid), saponin, tannin dan fenol hidrokuinon (Harborne 1987). Ekstrak kasar lamun Syringodium isoetifolium terdeteksi beberapa senyawa fitokimia dari ekstrak kasar ketiga pelarut, yaitu flavonoid, fenol hidrokuinon, steroid dan triterpenoid, 43 sedangkan saponin hanya terdeteksi dari ektrak kasar pelarut metanol dan etil asetat. Senyawa alkaloid dan tannin tidak terdeteksi pada semua ekstrak kasar lamun. Hasil uji fitokimia ekstrak lamun Syringodium isoetifolium dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji fitokimia ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana lamun Syringodium isoetifolium Uji Fitokimia Metanol Jenis Pelarut Etil asetat n-heksana - - - - - - c. Wagner - - - Steroid + ++ + ++ ++ + Flavonoid ++ +++ + Saponin Tanin + - - - Fenol Hidrokuinon ++ ++ + Alkaloid a. Dragendorff b. Meyer Triterpenoid Standar warna Endapan merah atau jingga Endapan putih kekuningan Endapan coklat Perubahan dari merah menjadi biru/hijau Merah menjadi biru/hijau Lapisan amil alkohol berwarna merah/kuning/hijau Terbentuk busa Merah tua Warna hijau hingga hijau kebiruan Keterangan : (+++) = sangat banyak (++) = banyak (+) = sedikit (-) = tidak terdeteksi Tabel 3 menunjukkan bahwa ekstrak kasar dari pelarut metanol memiliki kandungan senyawa fitokimia yang lebih banyak jika dibandingan dengan ekstrak kasar dari pelarut etil asetat dan n-heksana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yu Lin et al. (2009) bahwa metanol dapat mengekstrak senyawa dengan berat molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang sebab sifat kelarutannya yang luas, akan tetapi senyawa fitokimia yang terkandung di dalam ekstrak kasar etil asetat memiliki nilai yang lebih banyak pada masing-masing senyawa fitokimianya. Proses ekstraksi dari jenis pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda akan 44 menghasilkan atau mengekstrak senyawa yang berbeda pula. Kelarutan komponen bioaktif dalam sampel akan menentukan komposisi ekstrak yang diperoleh. Ekstrak metanol (polar) akan mengekstraksi komponen yang bersifat polar (fenolik, steroid, terpenoid, alkaloid dan glikosida). Ekstrak etil asetat (semipolar) akan mengekstraksi komponen yang bersifat semipolar (alkaloid, aglikon-aglikon dan glikosida). Ekstrak n-heksana (nonpolar) akan mengekstraksi komponen yang bersifat semipolar (lilin, lemak dan minyak atsiri) (Houghton dan Rahman 1998). Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang tersusun atas 6 unit isoprena dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C 30 hidrokarbon asiklin). Senyawa tersebut tidak berwarna, sering mempunyai titik lebur yang tinggi dan umumnya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia senyawa ini tidak reaktif. Senyawa ini dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu triterpen, steroid dan glikosida jantung (cardiac glycoside) (Harborne 1987). Steroid merupakan salah satu kelompok senyawa dari triterpenoid. Steroid adalah senyawa yang berbentuk padatan kristal yang memiliki warna putih dan dapat berbentuk jarum kecil, lembaran, lempengan atau partikel amorf tergantung pelarut yang digunakan dalam proses kristalisasi. Pada umumnya senyawa steroid ini hanya digunakan sebagai substansi pada hewan saja, akan tetapi akhir-akhir ini ditemukan pada tumbuhan (Harborne 1987). Hal ini terbukti pada hasil pengujian fitokimia pada lamun Syringodium isoetifolium menunjukkan adanya komponen steroid (triterpenoid). Senyawa ini terdeteksi pada masing-masing pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda. Steroid yang terdeteksi pada ekstrak tumbuhan ini diduga dapat berfungsi sebagai peningkat stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi dibandingkan sebagai antioksidan. Dugaan tersebut didukung oleh hasil penelitiannya Juniarti et al. (2009), yang melaporkan bahwa hasil ekstrak daun saga (Arbus precatorius L.) yang mengandung senyawa steroid tidak memiliki aktivitas antioksidan. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol, karena itu larutan ekstrak yanag mengandung komponen flavonoid akan berubah warna jika diberi larutan busa atau ammonia. Flavonoid dapat dikelompokkan menjadi 9 kelas, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, chlacone dan aurone, flavonon dan isoflavon. Flavonoid pada tanaman berikatan 45 dengan gula sebagai glikosida dan ada pula yang berada dalam aglikon (Harborne 1987). Tabel 3 menunjukkan bahwa ketiga ekstrak kasar dari pelarut yang berbeda mengandung komponen bioaktif flavonoid, hanya saja pada ekstrak kasar dari pelarut n-heksana jumlah kandungan flavonoid lebih sedikit jika dibandingkan dengan dua pelarut lainnya. Ekstrak kasar etil asetat memiliki kandungan flavonoid lebih banyak jika dibandingkan dengan kandungan flavonoid dari kedua ekstrak kasar lainnya, pernyataan ini diperkuat oleh hasil uji total fenol ekstrak kasar etil asetat dengan kandungan total fenol terbanyak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widyawati et al. (2010) bahwa total flavonoid terukur sebanding dengan kadar total fenol, dimana flavonoid merupakan komponen terbesar dari senyawa fenol. Adanya kandungan flavonoid dari masing-masing ekstrak kasar ditunjukkan dengan terbentuknya warna kuning pada lapisan amil alkohol. Flavonoid yang larut pada pelarut polar seperti metanol, menunjukkan bahwa komponen flavonoid yang diperoleh merupakan flavonoid yang bersifat polar. Hal ini diduga karena flavonoid tersebut berikatan dengan gula sebagai glikosida, sehingga flavonoid memiliki sifat polar dan dapat larut pada pelarut polar. Gugus gula inilah yang memberikan sifat polar pada flavonoid karena gula juga bersifat polar (larut air), sedangkan flavonoid yang terlarut pada pelarut semipolar seperti etil asetat, menunjukkan juga bahwa flavonoid tersebut juga memiliki sifat kurang polar. Hal ini diduga karena flavonoid tersebut berada dalam bentuk aglikon yang bersifat kurang polar sehingga terlarut pada pelarut semipolar. Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan dan Kasih 2008), hal ini terbukti dari hasil penelitian Bernardi et al. (2007) terhadap Hypericum ternum yang menunjukkan bahwa pada spesies ini terdapat komponen flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan, walaupun aktivitas peredaman radikal bebas DPPH oleh masing-masing komponen flavonoid tersebut berbeda-beda. Komponen flavonoid yang terdeteksi pada ekstrak kasar etil asetat dan metanol lamun Syringodium isoetifolium ini telah diuji aktivitas antioksidannya dengan metode DPPH dan hasilnya menunjukkan bahwa dua 46 ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan walaupun hasil yang diperoleh berbeda. Saponin adalah suatu glikosida yang ada pada banyak macam tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat, atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan. Kemungkinan lain adalah fungsi saponin sebagai pelindung terhadap serangan serangga. Sifat-sifat Saponin antara lain mempunyai rasa pahit, dalam larutan air membentuk busa yang stabil, menghemolisa eritrosit, membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya, sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi, berat molekul relatif tinggi dan analisis hanya menghasil-kan formula empiris yang mendekati (Sirait 2007). Hasil uji fitokimia pada lamun Syringodium isoetifolium menunjukkan bahwa senyawa saponin hanya terdapat pada ektrak kasar metanol karena struktur kimia saponin memiliki gugus polar yang lebih kuat, sehingga hanya mampu diekstrak oleh pelarut metanol (polar). Senyawa kimia fenol hidrokuinon terdeteksi pada ketiga ekstrak kasar. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya seyawa ini seringkali berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. Senyawa yang termasuk dalam golongan fenolik cenderung mudah larut dalam pelarut yang mempunyai polaritas tinggi (Harborne 1987). Peranan beberapa golongan fenol sudah diketahui, misalnya lignin sebagai bahan pembangun dinding sel, antosianin sebagai pigmen bunga. Chen dan Blumberg (2007) menyatakan bahwa mengkonsumsi fenol dipercaya dapat mengurangi resiko beberapa penyakit kronis karena bersifat sebagai antioksidan, antiinflamansi, detoksifikasi karsinogen, dan antikolesterol. 4.7 Aktivitas Antioksidan Lamun Syringodium isoetifolium dengan Metode Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) Secara kimia, pengertian senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (reduktan). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa 47 yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bias dihambat (Winarsi 2007). Ada tidaknya senyawa antioksidan dalam suatu bahan, dapat dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Penangkapan radikal adalah mekanisme utama aktivitas antioksidan pada makanan, dimana aktivitas antioksidan diukur oleh penangkapan radikal sintetik pada pelarut organik pada temperatur kamar. Pengukuran aktivitas antioksidan lamun Syringodium isoetifolium menggunakan metode uji Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) (Molyneux 2004). Aktivitas antioksidan dinyatakan dengan persentase penghambatan (inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi absorbansi sampel (Zheng et al. 2011). Pada penelitian ini menggunakan butylated hydroxytoluene (BHT) sebagai antioksidan pembanding. Suatu senyawa dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya pada radikal bebas yang digunakan (DPPH). Hal ini dapat dilihat pada perubahan warna yang tejadi pada DPPH, yaitu dari warna ungu berubah menjadi kuning pucat (Molyneux 2004) (Lampiran 7). Hasil dari metode DPPH diinterpretasikan dalam parameter IC50 (Inhibition Concentration 50). Nilai IC50 dapat didefinisikan sebagai besarnya konsentrasi yang dapat menghambat aktivitas radikal bebas, yaitu menghambat aktivitas radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Nilai IC50 yang semakin kecil menunjukkan aktivitas antioksidan pada bahan yang diuji semakin besar (Molyneux 2004). Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar lamun Syringodium isoetifolium dari ketiga pelarut yang digunakan, dapat dilihat pada Gambar 9. 48 Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf (a,b) menunjukkan jenis pelarut memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap kandungan total fenol Gambar 9. Nilai rata-rata IC50 ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana lamun Syringodium isoetifolium Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa perbedaan jenis pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Etil asetat memiliki nilai IC50 terendah sebesar 96,34 ppm, sedangkan metanol memiliki nilai IC50 sebesar 520.90 ppm dan ekstrak n-heksana memiliki nilai IC50 tertinggi yaitu sebesar 3498,64 ppm. Data IC50 diatas menunjukkan bahwa ekstrak lamun dari pelarut etil asetat memiliki aktivitas antioksidan yang lebih kuat dari dua ekstrak lamun yang lainnya, hal ini terbukti dari nilai IC50-nya yang terkecil. Perhitungan konsentrasi larutan ekstrak, persen inhibisi dan IC50 dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan Lampiran 8, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi BHT dan ekstrak lamun Syringodium isoetifolium pada masing-masing pelarut yang digunakan maka semakin besar persentase penghambatan radikal bebas yang dihasilkan yang ditunjukkan dengan kenaikan nilai inhibisi. Menurut Qian dan Nihomrimbere (2004), semakin tinggi konsentrasi yang ekstrak yang digunakan, maka semakin tinggi pula nilai persentase penghambatan aktivitas radikal bebas (persen inhibisi). Hal ini tidak berlaku untuk ekstrak n-heksana, karena senyawa bioaktif yang terlarut dalam pelarut n-heksana memiliki efektifitas yang lebih 49 rendah dibandingkan senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak metanol dan etil asetat (Putri et al. 2010). Menurut Blois (1958) dalam Molyneux (2004), suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC 50 kurang dari 0,05mg/ml (50 ppm), kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml (50-100 ppm), sedang apabila memiliki nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml (100-150 ppm) dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (150-200 ppm). Berdasarkan klasifikasi diatas, ekstrak kasar dari etil asetat memiliki aktivitas antioksidan yang kuat, untuk ekstrak kasar dari metanol memiliki aktivitas antioksidan yang lemah dan untuk ekstrak kasar dari n-heksana tidak memiliki aktivitas antioksidan karena memiliki nilai IC50 diatas 1000 ppm. Ekstrak etil asetat memiliki nilai aktivitas antioksidan paling baik diantara dua pelarut lainnya, hal ini mungkin disebabkan oleh sifat etil asetat yang semipolar. Sifat etil asetat yang semipolar dapat mengekstrak komponen glikon yang polar dan komponen aglikon yang nonpolar pula (Tensiska et al. 2007), sehingga menyebabkan etil asetat dapat mengekstrak lebih banyak komponen flavonoid yang aktif sebagai antioksidan. Menurut Yu Lin et al. (2009) semakin banyak molekul gugus hidroksil atau aglikon maka semakin kuat radikal bebas DPPH yang ditangkap karena kemampuan mendonorkan atom hidrogennya semakin besar, selain itu struktur aglikon diketahui mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan struktur glikosida. Aglikon merupakan komponen penyusun glikosida yang tidak berikatan dengan gula atau bagian glikosida yang bukan karbohidrat. yang terdiri dari beberapa senyawa kimia seperti fenolik, isotiosianat, nitril sianogenetik, flavonoid dan steroid, dimana beberapa senyawa kimia tersebut diketahui memiliki aktivitas antioksidan. Aglikon ini sendiri hanya mampu diekstrak oleh pelarut etil asetat, karena struktur kimia dari aglikon memiliki sifat yang sama dengan etil asetat yaitu memiliki gugus nonpolar yang lebih kuat daripada gugus polar. Nilai total fenol dan aktivitas antioksidan pada ekstrak lamun Syringodium isoetifolium dengan pelarut etil asetat memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak dari pelarut lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Widyawati et al. (2010) yang menunjukkan adanya korelasi positif antara total fenol dan aktivitas antioksidan, 50 dimana jika di dalam suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi. Pada penelitian ini, diperoleh nilai IC50 dari larutan BHT dengan konsentrasi 0-15 ppm adalah sebesar 19,04 ppm. Nilai antioksidan yang terdapat pada BHT tergolong sangat kuat. BHT adalah antioksidan sintetik yang biasa digunakan, aktivitas antioksidan BHT diperoleh hasil yang tinggi pada pengolahan bahan pangan. Selain memiliki aktivitas yang baik terhadap radikal, BHT juga mempunyai kelarutan yang baik dalam minyak/lemak, serta cukup tahan terhadap proses pemanasan menurut Berry (2003) dalam Herawati (2006). Karena itu BHT memiliki potensi yang sangat besar sebagai salah satu alternatif antioksidan yang digunakan untuk proses pengolahan bahan pangan. Akan tetapi penggunaan BHT yang berlebihan akan menyebabkan keracunan pada dosis tertentu. Kadar maksimum BHT dalam bahan pangan adalah 200 ppm (Ketaren 1986). Nilai IC50 yang diperoleh dari masing-masing pelarut sangat jauh berbeda dengan nilai IC50 yang diperoleh dari BHT, hal ini disebabkan ekstrak yang diperoleh dari masing-masing pelarut masih berupa ekstrak kasar. Ekstrak kasar yang dihasilkan ini masih mengandung komponen atau senyawa-senyawa yang bukan merupakan senyawa antioksidan yang ikut terekstrak dalam pelarut selama proses ekstraksi. Senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan rendemen ekstrak yang dihasilkan, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan, sehingga perlu dilakukan pemurnian terhadap ekstrak kasar tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan ekstrak yang lebih murni, sehingga ketika dilakukan pengujian antioksidan diharapkan dapat meningkatkan aktivitas antioksidan pada ekstrak yang telah dimurnikan tersebut.