Kandungan Senyawa Fitokimia, Total Fenol dan

advertisement
30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Perairan Ekosistem Lamun di Kepulauan Seribu
Perairan Kepulauan Seribu merupakan bagian dari wilayah perairan DKI
Jakarta yang terletak di sebelah luar perairan Teluk Jakarta. Perairan ini secara
oseanografis cukup rentan terhadap berbagai ancaman pencemaran, hal ini
dikarenakan lokasi perairan berhubungan langsung dengan Teluk Jakarta yang
merupakan tempat bermuaranya 13 sungai yang melintasi Kota Jakarta yang padat
pemukiman dan industri. Sebagai salah satu ekosistem laut di perairan utara
Jakarta, wilayah perairan Kepulauan Seribu didominasi oleh ekosistem terumbu
karang, padang lamun dan daratan pulau-pulau karang yang menjadi habitat
penting berbagai jenis biota perairan laut (Sachoemar 2008).
Ekosistem yang terdapat di wilayah perairan Kepulauan Seribu sangat
bergantung dengan kondisi lingkungan perairannya, seperti ekosistem padang
lamun. Ekosistem padang lamun berada di daerah intertidal atau daerah pasang
surut, dimana sangat dipengaruhi oleh kecerahan, temperatur, salinitas, substrat
dan kecepatan arus (Hidayatullah 2010). Iklim di wilayah perairan Kepulauan
Seribu adalah tropis, hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Sachoemar (2008)
bahwa temperatur maksimum wilayah perairan Kepulauan seribu adalah 32,3 ºC,
suhu minimum 21,6 ºC dan kelembaban udara 80 mm Hg. Tingkat kecerahan di
ekosistem lamun sangat tinggi, hal ini dikarenakan sifat lamun yang memerlukan
sinar matahari untuk berfotosintesis. Substrat pada ekosistem lamun adalah
lumpur dan sedimen berpasir. Keuntungan dari ekosistem lamun ini adalah dapat
menstabilkan substrat dasar, daun-daun lamun akan menangkap sedimen dan
mengendapkannya ke dasar sehingga perairan menjadi jernih. Kondisi perairan
Kepulauan Seribu di daerah ekosistem lamun dapat dilihat pada Gambar 4.
31
Gambar 4. Kondisi perairan ekosistem lamun di Kepulauan Seribu
4.2 Komposisi Proksimat dan Abu Tidak Larut Asam Lamun Syringodium
isoetifolium
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
mengetahui komposisi proksimat (gizi) dari suatu bahan, yang terdiri dari kadar
air, abu, lemak, protein dan karbohidrat. Kadar karbohidrat dalam lamun diketahui
dengan perhitungan secara by difference. Selain komposisi gizi tersebut,
dilakukan juga pengujian terhadap kadar abu tidak larut asam yang bertujuan
untuk mengetahui jumlah pengotor pada suatu bahan. Lamun Syringodium
isoetifolium merupakan jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat dikonsumsi sehingga
perlu dilakukan analisis proksimat dan abu tidak larut asam dari lamun tersebut.
Hasil analisis proksimat dan abu tidak larut asam dari lamun Syringodium
isoetifolium dapat dilihat pada Tabel 1 dan perhitungan masing-masing komponen
gizi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 1. Hasil analisis proksimat dan abu tidak larut asam lamun
Syringodium isoetifolium
Komponen
Nilai bb (%)
Kadar air
86,95±0,36
Kadar abu
4,48±0,12
Kadar lemak
2,90±3,83
Kadar protein
3,26±2,57
Karbohidrat (by difference)
2,41±1,50
Kadar abu tidak larut asam
0,49±0,42
32
Air merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam organisme dan
mencakup 70% atau lebih dari bobot hampir semua bentuk kehidupan. Hal ini
dikarenakan air mengisi semua bagian dari tiap sel, air merupakan medium tempat
berlangsungnya transport nutrien, reaksi-reaksi enzimatis metabolisme dan
transfer energi kimia. Kadar air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan
salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan. Pada umumnya bahan
pangan yang mudah rusak adalah bahan pangan yang memiliki kadar air yang
tinggi. Air dibutuhkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Demikian juga air
dibutuhkan untuk berlangsungnya reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam
bahan
pangan,
misalnya
reaksi-reaksi
yang
dikatalisis
oleh
enzim
(Lehninger 1988).
Sayur-sayuran (tumbuhan) merupakan bahan baku yang memiliki
kandungan air yang cukup tinggi setelah buah-buahan. Lamun Syringodium
isoetifolium memiliki kadar air yang cukup tinggi sebesar 86,95%. Tingginya nilai
kadar air yang terkandung pada lamun ini, menyebabkan lamun cepat mengalami
kebusukan. Menurut Wirakusumah (2007) buah dan sayuran merupakan bahan
baku yang tergolong high perishable yaitu mudah mengalami kerusakan. Hal ini
dikarenakan kandungan air yang terkandung di dalamnya merupakan media yang
cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme penyebab kebusukan.
Kadar air pada bahan pangan berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh
habitat atau lingkungannya. Prinsip analisis kadar air dilakukan dalam penelitian
ini adalah untuk mengukur berat air bebas yang teruapkan dan tidak terikat kuat
dalam jaringan bahan dengan bantuan panas. Air yang teruapkan adalah air bebas
yang hanya terikat secara fisik dalam jaringan matriks bahan yaitu membran,
kapiler, serat dan lain sebagainya (Winarno 2008).
Abu merupakan unsur-unsur mineral atau lebih dikenal sebagai zat
anorganik. Analisis kadar abu ini bertujuan untuk dapat mengetahui besar
kecilnya
unsur
mineral
yang terkandung dalam
suatu
bahan
pangan
(Winarno 2008). Kadar abu basis basah lamun Syringodium isoetifolium sebesar
4,48%, sedangkan kadar abu basis kering yang diperoleh sebesar 34,33%. Nilai
tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan lamun Syringodium foliforme
yang memiliki nilai kadar abu basis kering sebesar 70,62% (Setyati et al. 2005).
33
Tinggi rendahnya kadar abu yang terkandung pada suatu bahan dapat disebabkan
oleh perbedaan spesies, habitat atau lingkungan hidupnya. Selain itu masingmasing organisme memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi
dan mengabsorbsi mineral, sehingga nantinya akan mempengaruhi nilai kadar abu
dari bahan itu sendiri (Winarno 2008).
Lemak meliputi semua zat yang dapat larut di dalam pelarut organik.
Fungsi lemak dalam susunan makanan adalah sebagai sumber energi,
pembentukan jaringan adipose, sumber asam-asam lemak esensial dan vitamin
yang larut dalam lemak. Berdasarkan mampu tidaknya tubuh mensintesis asam
lemak, maka asam lemak juga dibedakan menjadi asam lemak esensial dan
nonesensial (Muchtadi 2001). Komposisi asam lemak dalam tanaman dan hewan
umumnya berbeda, menurut Duffus dan Slaughter (1980) dalam khairina dan
Fitrial (2003) lemak tanaman umumnya lebih tidak jenuh daripada lemak hewan.
Keadaan ini lebih umumnya disebabkan relatif tingginya proporsi asam lemak
tidak jenuh seperti oleat, linoleat dan linolenat. Sebaliknya pada hewan
mengandung lebih tinggi asam lemak jenuh seperti asam palmitat dan stearat.
Lemak merupakan komponen yang tersusun dari unit struktural yang
bersifat hidrofobik. Analisis kadar lemak dilakukan untuk mengetahui kandungan
kadar lemak pada lamun. Lamun Syringodium isoetifolium memiliki kadar lemak
sebesar 2,90% dengan perhitungan secara basis basah, sedangkan secara basis
kering nilai kadar lemak sebesar 22,22%. Nilai kadar lemak ini jauh lebih besar
jika dibandingkan dengan nilai kadar lemak basis kering lamun Syringodium
foliforme yang diperoleh oleh Setyati et al. (2005) yaitu sebesar 4,71%. Perbedaan
nilai kadar lemak yang terkandung pada suatu bahan dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya kandungan air yang terkandung pada bahan tersebut. Kadar air
umumnya berbanding terbalik dengan kadar lemak. Hubungan tersebut
mengakibatkan semakin tingginya kadar air, maka kadar lemaknya akan semakin
rendah (Winarno 2008).
Tumbuhan merupakan organisme autotrofik, artinya mampu membentuk
makannya sendiri (senyawa organik) dari bahan-bahan anorganik melalui proses
fotosintesis. Hasil fotosintesis adalah glukosa (C6H12O6). Glukosa dalam tubuh
tumbuhan
dapat
diubah
menjadi
protein
melalui
proses
asimilasi
34
(Khairina dan Fitrial 2003). Lamun Syringodium isoetifolium mengandung kadar
protein sebesar 3,26% dengan perhitungan secara basis basah , sedangkan dengan
perhitungan basis kering kadar protein yang diperoleh sebesar 24,98%. Nilai
tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan lamun Syringodium foliforme
yang memiliki nilai kadar protein basis kering sebesar 5,52% (Setyati et al. 2005).
Protein merupakan penyusun utama sel-sel dalam tubuh. Kualitas protein suatu
bahan makanan ditentukan oleh daya cerna, jumlah serta komposisi asam amino.
Asam amino esensial diamati untuk mengetahui nilai biologis protein suatu bahan
makanan.
Selama
pencernaan
protein
pangan
akan
dihidrolisis
untuk
menghasilkan asam amino. Namun, tidak semua asam amino mampu disintesis di
dalam tubuh. Khusus untuk asam amino esensial kita harus mensuplainya dari luar
tubuh melalui makanan yang kita konsumsi (Khairina dan Fitrial 2003).
Karbohidrat (C6H12O6) merupakan komponen organik yang paling banyak
tersebar di permukaan bumi. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme
hewan dan tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling
banyak digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari
karbohidrat sebesar 4 kkal. Karbohidrat ini dibentuk dari reaksi CO2 dan H2O
dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel tanaman yang
berklorofil (Belitz et al. 2009). Karbohidrat juga mempunyai peranan penting
dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur
dan lain-lainnya (Winarno 2008). Lamun Syringodium isoetifolium mengandung
karbohidrat sebesar 2,41%. Winarno (2008) menyatakan bahwa hasil perhitungan
dengan metode by difference ini merupakan metode penentuan kadar karbohidrat
dalam bahan pangan secara kasar, dimana serat kasar juga terhitung sebagai
karbohidrat.
Abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam,
yang sebagian merupakan garam-garam logam berat dan silica. Kadar abu tidak
larut asam yang tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau
logam yang tidak larut asam pada suatu bahan. Kadar abu tidak larut asam juga
dapat digunakan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan suatu
bahan (Basmal et al. 2003). Sampel lamun Syringodium isoetifolium mengandung
residu abu tidak larut asam sebesar 0,49%. Nilai kadar abu tidak larut asam yang
35
diperoleh dalam penelitian ini berada dibawah 1% yaitu nilai yang dipersyaratkan
dalam Food Chemical Codex (2009) yang diacu dalam Basmal et al. (2003)
terhadap rumput laut Eucheuma cottonii. Kadar abu tidak larut asam ini diduga
berasal dari material-material abu yang tidak larut asam yang terdapat di perairan
tempat lamun berasal seperti pasir, lumpur, silika dan batu.
4.3 Kandungan Serat Pangan Lamun Syringodium isoetifolium
Serat pangan (dietary fiber) merupakan bagian makanan yang tidak dapat
dicerna oleh cairan pencernaan (enzim), sehingga tidak menghasilkan energi atau
kalori. Serat pangan ini termasuk golongan karbohidrat yang terdiri dari selulosa,
hemiselulosa, pektin dan gum. Selulosa dan hemiselulosa tedapat pada bekatul
atau sekam padi, kacang-kacangan dan hampir pada semua buah dan sayuran
(Koswara 2007). Hasil pengujian serat pangan (dietary fiber) lamun Syringodium
isoetifolium dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis serat pangan lamun Syringodium isoetifolium
Parameter
Nilai bb (g/100 g sampel)
Serat pangan larut (SPL)
Serat pangan tidak larut (SPTL)
Total serat pangan (TSP)
6,20±0,00
8,13±0,62
14,34±0,62
Berdasarkan kelarutannnya dalam air, serat pangan terbagi menjadi dua
jenis, yaitu serat pangan larut air (SPL)/soluble dietary fiber (SDF) dan serat
pangan tidak larut air (SPTL)/insoluble dietary fiber (IDF) (Muchtadi 2001),
sedangkan untuk total serat pangan (TSP)/total dietary fiber (TDF) adalah
gabungan nilai serat pangan larut dan tidak larut air. Perhitungan serat pangan
pada lamun dapat dilihat pada Lampiran 2. Menurut Muchtadi (2001) serat
pangan total mengandung gula-gula dan asam-asam gula sebagai bahan
pembangun utama serta grup fungsional yang dapat mengikat dan terikat atau
bereaksi satu sama lain dengan komponen lain.
Gula-gula yang membentuk TDF adalah glukosa, galaktosa, silosa,
mannosa, arabinosa, rhamnosa dan fukosa, sedangkan asam-asam gulanya adalah
asam mannuronat, galaktironat, glukuronat, guluronat dan 4-0 metilglukuronat.
36
Serat pangan tidak larut dipengaruhi kandungan mineral seperti kalsium,
sedangkan serat pangan larut dipengaruhi oleh gum yang merupakan polisakarida
yang dihasilkan dari getah tanaman. Gum dapat membentuk gel atau larutan yang
kental bila ditambahkan air. Beberapa tipe gum yaitu galaktan, glukoromanan,
galaktomanan dan xilan (Muchtadi 2001).
Hampir sebagian besar serat pangan yang terkandung dalam makanan
bersumber dari pangan nabati. Serat tersebut berasal dari dinding sel berbagai
jenis buah-buahan, sayuran, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Astawan et al.
(2004) telah meneliti kandungan dietary fiber pada rumput laut jenis Eucheuma
cottonii dengan nilai SDF, IDF dan TDF dihitung dengan berat kering masingmasing sebesar 23,89%, 55,05% dan 78,94%. Nilai tersebut lebih rendah apabila
dibandingkan dengan kadar dietary fiber yang terkandung dalam lamun
Syringodium isoetifolium basis kering, sedangkan secara basis basah kandungan
serat pangan pada lamun Syringodium isoetifolium ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan jenis tumbuhan darat seperti kangkung, bayam, daun katuk,
salada dan sawi hijau yang memiliki kandungan serat pangan sekitar 44,9561,34% (Muchtadi 1998). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Hutomo (1997)
bahwa lamun tidak mengandung banyak serat seperti tumbuhan rumput di darat.
Proporsi dari berbagai komponen serat pangan berbeda-beda antara satu bahan
pangan dengan bahan pangan lainnnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perbedaan ini adalah jenis spesies, tingkat kematangan, lingkungan (habitat),
bagian yang dikonsumsi dan perlakuan terhadap bahan pangan tersebut
(Muchtadi 2001).
4.4 Rendemen Ekstrak Lamun Syringodium isoetifolium
Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun
cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak
substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi padat cair
atau leaching adalah transfer difusi komponen terlarut dari padatan inert ke dalam
pelarutnya. Proses ini termasuk proses yang bersifat fisik karena komponen
terlarut kemudian dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami
perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang
diinginkan dapat larut dalam solven pengekstraksi (Utami et al. 2009). Tujuan
37
ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada
bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen
zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka
kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbone 1987).
Ekstraksi lamun Syringodium isoetifolium dilakukan melalui proses
maserasi tipe pelarut tunggal. Jenis pelarut yang digunakan dibedakan
berdasarkan tingkat kepolarannya, yaitu metanol mewakili pelarut polar, etil
asetat mewakili pelarut semipolar dan n-heksana mewakili pelarut nonpolar.
Perbedaan jenis pelarut yang digunakan bertujuan untuk mengetahui rendemen
ekstrak dan identifikasi komponen-komponen bioaktif dari lamun Syringodium
isoetifolium yang masih belum diketahui kepolarannya. Nilai rendemen ekstrak
dari masing-masing pelarut dapat dilihat pada Gambar 5 dan perhitungan
rendemen masing-masing ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 3.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf (a,b) menunjukkan jenis pelarut
memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap kandungan rendemen ekstrak
Gambar 5. Rendemen ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana lamun
Syringodium isoetifolium
Gambar 5 menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut mempengaruhi
jumlah ekstrak kasar yang dihasilkan, dimana metanol memiliki rendemen ekstrak
kasar paling tinggi yaitu sebesar 7,23%, diikuti rendemen ekstrak kasar etil asetat
dan n-heksana secara berturut-turut sebesar 6,43% dan 1,43%. Nilai rendemen
terkecil terdapat pada ekstrak kasar dari pelarut n-heksana, hal ini menunjukkan
38
bahwa komponen bioaktif yang terlarut pada pelarut nonpolar sangat sedikit,
sedangkan pada pelarut polar terdapat komponen bioaktif yang larut dengan
jumlah yang lebih banyak. Perbedaan rendemen ekstrak kasar yang diperoleh
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu metode ekstraksi yang digunakan, ukuran
partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi,
perbandingan jumlah sampel terhadap jumlah pelarut yang digunakan dan jenis
pelarut yang digunakan (Salamah et al. 2008). Hasil analisis ragam terhadap
rendemen ekstrak kasar dari ketiga pelarut dapat dilihat pada Lampiran 4.
Metanol adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH yang
merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Senyawa tersebut memiliki gugus
polar yang lebih kuat daripada gugus nonpolar, hal ini terbukti dari struktur kimia
metanol yang memiliki gugus hidroksil (polar) dan gugus karbon (nonpolar).
Keadaan inilah yang diduga menyebabkan metanol mampu mengekstrak lebih
banyak komponen bioaktif yang bersifat sangat polar dan sedikit nonpolar yang
terdapat dalam lamun Syringodium isoetifolium.
4.5 Kandungan Total Fenol Lamun Syringodium isoetifolium
Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan
mempunyai ciri yang sama, yaitu memiliki cincin aromatik yang mengandung
satu atau dua gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golangan fenol terbesar,
selain itu juga terdapat beberapa jenis fenol lainnya seperti fenol monosiklik
sederhana, fenilpropanoid dan kuinon fenolik. Gugus aromatik yang dimiliki oleh
senyawa fenol dapat menyerap kuat pada spektrum sinar UV. Senyawa fenol
cenderung mudah larut dalam air karena sering berikatan dengan gula sebagai
glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne 1987).
Menurut Deore et al. (2009) senyawa fenol dapat memiliki aktivitas
antioksidan, antitumor, antiviral dan antibiotik. Senyawa fenol ini diklasifikasikan
menjadi dua kelompok yaitu fenol sederhana dan polifenol, dimana polifenol
diketahui memiliki peran penting dalam stabilisasi oksidasi lipida dan
berhubungan langsung dengan aksi antioksidan (Huang et al. 2005). Senyawa
fenol memiliki kemampuan dalam menangkap radikal peroksida dan dapat
mengkelat logam besi yang mengkatalis peroksida lemak. Berdasarkan sifat fenol
tersebut, maka dilakukan pengujian total fenol pada ekstrak kasar lamun
39
Syringodium isoetifolium dari beberapa jenis pelarut. Pengujian total fenol ini
menggunakan pelarut Follin-Ciocalteu dan sebagai pembanding digunakan asam
galat (Rohman dan Riyanto 2005).
Prinsip kerja metode Follin-Ciocalteu ini adalah reaksi antara senyawa
fenol dengan reagen Follin-Ciocalteu. Reaksi ini melibatkan oksidasi gugus
fenolik (ROH) dengan campuran asam fosfotungstat dan asam molibdat dalam
reagen, menjadi bentuk quinoid (R=O). Reduksi reagen Follin-Ciocalteu ini
menghasilkan warna biru sesuai dengan kadar fenol total yang bereaksi.
Selanjutnya warna ini dihitung intensitasnya pada panjang gelombang 765 nm.
Asam galat digunakan sebagai standar pengukuran dikarenakan asam galat
merupakan senyawa polifenol yang terdapat di hamper semua tanaman.
Kandungan
fenol
asam
organik
ini
bersifat
murni
dan
stabil
(Kusumaningati 2009).
Nilai total fenol diperoleh dari pengukuran nilai absorban dan perhitungan
menggunakan persamaan regresi linear asam galat. Perhitungan masing-masing
total fenol dapat dilihat pada Lampiran 5. Kandungan total fenol dalam ekstrak
kasar lamun Syringodium isoetifolium pada pelarut yang berbeda dapat dilihat
pada Gambar 6.
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf (a,b) menunjukkan jenis pelarut
memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap kandungan total fenol
Gambar 6. Kandungan total fenol ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana
lamun Syringodium isoetifolium
40
Gambar 6 menunjukkan bahwa perbedaan jenis pelarut memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan total fenol yang dihasilkan.
Ekstrak kasar dari pelarut etil asetat memiliki kandungan total fenol yang paling
tinggi yaitu sebesar 732,65 mg GAE/1000 g sampel, diikuti oleh ekstrak kasar
dari metanol sebesar 94,35 mg GAE/1000 g sampel dan total fenol dari ekstrak
kasar n-heksana sebesar 10,04 mg GAE/1000 g sampel. Senyawa fenol cenderung
lebih larut pada pelarut polar (Harborne 1987), akan tetapi pada hasil pengujian
total fenol dari lamun Syringodium isoetifolium menunjukkan bahwa ekstrak kasar
yang diperoleh menggunakan pelarut etil asetat memperoleh nilai total fenol
paling tinggi. Hal ini diduga banyaknya kadar fenol yang terekstrak pada pelarut
etil asetat (semipolar). Analisis ragam total fenol lamun dapat dilihat pada
Lampiran 6.
Perbedaan tingkat kepolaran pelarut menentukan struktur kimia senyawa
fenol yang terekstrak. Deore et al. (2009) menyatakan bahwa pengujian total fenol
sangat tergantung pada struktur kimianya. Senyawa fenol yang mempunyai gugus
fungsi hidroksil yang banyak atau dalam kondisi bebas (aglikon) akan
menghasilkan kadar total fenol yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa ekstrak
kasar etil asetat memiliki gugus fungsi hidroksil atau aglikon lebih banyak
dibandingkan kedua ekstrak kasar lainnya. Menurut Harborne (1987) etil asetat
merupakan pelarut semipolar yang dapat melarutkan senyawa semipolar pada
dinding sel seperti aglikon flavonoid. Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid adalah
polifenol yang mempunyai sifat kimia seperti senyawa fenol. Senyawa fenol ini
diduga berpengaruh terhadap kandungan antioksidan dalam lamun karena adanya
korelasi positif antara total fenol dan aktivitas antioksidan, dimana jika di dalam
suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi maka aktivitas
antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi (Widyawati et al. 2010).
Aglikon flavonoid atau polifenol merupakan senyawa fenol dengan
struktur kimia yang terdiri dari gugus benzena (nonpolar) dan gugus hidroksil
(polar). Polifenol ini memiliki gugus benzena (nonpolar) dalam jumlah yang lebih
banyak, sehingga gugus nonpolar pada senyawa fenol ini lebih kuat daripada
gugus polarnya. Pelarut etil asetat merupakan senyawa kimia organik dengan
rumus kimia CH3CH2OC(O)CH3. Pelarut ini memiliki sifat kimia yang sama
41
dengan senyawa aglikon flavonoid, yaitu memiliki gugus nonpolar yang lebih
kuat daripada gugus polar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah gugus alkana
(nonpolar) yang lebih dominan daripada jumlah gugus oksigen yang mempunyai
pasangan elektron bebas (polar). Keadaan inilah yang menyebabkan senyawa
aglikon flavonoid atau polifenol yang terdapat pada lamun Syringodium
isoetifolium lebih banyak terekstrak oleh pelarut etil asetat daripada dua pelarut
lainnya.
Senyawa-senyawa flavonoida atau polifenol terdiri atas dua inti fenolat
yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Senyawa flavonoid didalam
tumbuhan umumnya berikatan dengan gula yang disebut flavonoid glikon dan
tidak berikatan dengan gula yang disebut aglikon flavonoid. Flavonoid glikon
cenderung lebih mudah larut dalam pelarut polar, sedangkan untuk senyawa
aglikon flavonoid cenderung lebih mudah larut dalam pelarut semipolar. Beberapa
senyawa yang tergolong dalam flavonoid glikon antara lain flavanonol, katekin,
leukoantosianidin, antosianidin, khalkon dan auron, sedangkan senyawa-senyawa
yang tergolong aglikon flavonoid antara lain flavonol, flavon, flavanon dan
isoflavon (Lenny 2006). Struktur kimia dari senyawa-senyawa yang tergolong
aglikon flavonoid dapat dilihat pada Gambar 7 dan flavonoid glikon dapat dilihat
pada Gambar 8.
(a) Flavonol
(b) Flavon
(c) isoflavon
(d) flavanon
Gambar 7. Struktur kimia senyawa aglikon flavonoid atau polifenol
(Sumber: Lenny 2006)
42
(b) katekin
(a) Flavononol
(c) leukoantosianidin
(d) flavanon
(e) khalkon
(f) auron
Gambar 8. Struktur kimia senyawa flavonoid glikon
(Sumber: Lenny 2006)
4.6 Kandungan Senyawa Fitokmia Lamun Syringodium isoetifolium
Ekstrak kasar yang diperoleh dari masing-masing pelarut, diuji kandungan
senyawa bioaktif dengan metode fitokimia. Uji fitokimia dipilih karena dapat
mendeteksi komponen bioaktif yang tidak terbatas hanya pada metabolit sekunder
saja, tetapi juga terhadap metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis
fungsional, yaitu protein dan peptida. Uji fitokimia yang dilakukan pada lamun
Syringodium isoetifolium hanya terbatas pada uji metabolit sekunder yang
meliputi pengujian pada komponen alkaloid, flavonoid, streroid (triterpenoid),
saponin, tannin dan fenol hidrokuinon (Harborne 1987). Ekstrak kasar lamun
Syringodium isoetifolium terdeteksi beberapa senyawa fitokimia dari ekstrak kasar
ketiga pelarut, yaitu flavonoid, fenol hidrokuinon, steroid dan triterpenoid,
43
sedangkan saponin hanya terdeteksi dari ektrak kasar pelarut metanol dan etil
asetat. Senyawa alkaloid dan tannin tidak terdeteksi pada semua ekstrak kasar
lamun. Hasil uji fitokimia ekstrak lamun Syringodium isoetifolium dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji fitokimia ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana lamun
Syringodium isoetifolium
Uji Fitokimia
Metanol
Jenis Pelarut
Etil asetat
n-heksana
-
-
-
-
-
-
c. Wagner
-
-
-
Steroid
+
++
+
++
++
+
Flavonoid
++
+++
+
Saponin
Tanin
+
-
-
-
Fenol Hidrokuinon
++
++
+
Alkaloid
a. Dragendorff
b. Meyer
Triterpenoid
Standar warna
Endapan merah
atau jingga
Endapan putih
kekuningan
Endapan coklat
Perubahan dari
merah menjadi
biru/hijau
Merah menjadi
biru/hijau
Lapisan amil
alkohol berwarna
merah/kuning/hijau
Terbentuk busa
Merah tua
Warna hijau
hingga hijau
kebiruan
Keterangan :
(+++) = sangat banyak
(++) = banyak
(+)
= sedikit
(-)
= tidak terdeteksi
Tabel 3 menunjukkan bahwa ekstrak kasar dari pelarut metanol memiliki
kandungan senyawa fitokimia yang lebih banyak jika dibandingan dengan ekstrak
kasar dari pelarut etil asetat dan n-heksana. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Yu Lin et al. (2009) bahwa metanol dapat mengekstrak senyawa dengan berat
molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang sebab sifat kelarutannya yang luas,
akan tetapi senyawa fitokimia yang terkandung di dalam ekstrak kasar etil asetat
memiliki nilai yang lebih banyak pada masing-masing senyawa fitokimianya.
Proses ekstraksi dari jenis pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda akan
44
menghasilkan atau mengekstrak senyawa yang berbeda pula. Kelarutan komponen
bioaktif dalam sampel akan menentukan komposisi ekstrak yang diperoleh.
Ekstrak metanol (polar) akan mengekstraksi komponen yang bersifat polar
(fenolik, steroid, terpenoid, alkaloid dan glikosida). Ekstrak etil asetat (semipolar)
akan mengekstraksi komponen yang bersifat semipolar (alkaloid, aglikon-aglikon
dan glikosida). Ekstrak n-heksana (nonpolar) akan mengekstraksi komponen yang
bersifat semipolar (lilin, lemak dan minyak atsiri) (Houghton dan Rahman 1998).
Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang tersusun atas 6
unit isoprena dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C 30 hidrokarbon asiklin).
Senyawa tersebut tidak berwarna, sering mempunyai titik lebur yang tinggi dan
umumnya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia senyawa ini tidak
reaktif. Senyawa ini dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu triterpen,
steroid dan glikosida jantung (cardiac glycoside) (Harborne 1987).
Steroid merupakan salah satu kelompok senyawa dari triterpenoid. Steroid
adalah senyawa yang berbentuk padatan kristal yang memiliki warna putih dan
dapat berbentuk jarum kecil, lembaran, lempengan atau partikel amorf tergantung
pelarut yang digunakan dalam proses kristalisasi. Pada umumnya senyawa steroid
ini hanya digunakan sebagai substansi pada hewan saja, akan tetapi akhir-akhir ini
ditemukan pada tumbuhan (Harborne 1987). Hal ini terbukti pada hasil pengujian
fitokimia pada lamun Syringodium isoetifolium menunjukkan adanya komponen
steroid (triterpenoid). Senyawa ini terdeteksi pada masing-masing pelarut yang
memiliki tingkat kepolaran yang berbeda. Steroid yang terdeteksi pada ekstrak
tumbuhan ini diduga dapat berfungsi sebagai peningkat stamina tubuh
(aprodisiaka) dan anti-inflamasi dibandingkan sebagai antioksidan. Dugaan
tersebut didukung oleh hasil penelitiannya Juniarti et al. (2009), yang melaporkan
bahwa hasil ekstrak daun saga (Arbus precatorius L.) yang mengandung senyawa
steroid tidak memiliki aktivitas antioksidan.
Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol, karena itu
larutan ekstrak yanag mengandung komponen flavonoid akan berubah warna jika
diberi larutan busa atau ammonia. Flavonoid dapat dikelompokkan menjadi 9
kelas, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil,
chlacone dan aurone, flavonon dan isoflavon. Flavonoid pada tanaman berikatan
45
dengan gula sebagai glikosida dan ada pula yang berada dalam aglikon
(Harborne 1987).
Tabel 3 menunjukkan bahwa ketiga ekstrak kasar dari pelarut yang
berbeda mengandung komponen bioaktif flavonoid, hanya saja pada ekstrak kasar
dari pelarut n-heksana jumlah kandungan flavonoid lebih sedikit jika
dibandingkan dengan dua pelarut lainnya. Ekstrak kasar etil asetat memiliki
kandungan flavonoid lebih banyak jika dibandingkan dengan kandungan
flavonoid dari kedua ekstrak kasar lainnya, pernyataan ini diperkuat oleh hasil uji
total fenol ekstrak kasar etil asetat dengan kandungan total fenol terbanyak. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Widyawati et al. (2010) bahwa total flavonoid
terukur sebanding dengan kadar total fenol, dimana flavonoid merupakan
komponen terbesar dari senyawa fenol.
Adanya
kandungan
flavonoid
dari
masing-masing ekstrak
kasar
ditunjukkan dengan terbentuknya warna kuning pada lapisan amil alkohol.
Flavonoid yang larut pada pelarut polar seperti metanol, menunjukkan bahwa
komponen flavonoid yang diperoleh merupakan flavonoid yang bersifat polar. Hal
ini diduga karena flavonoid tersebut berikatan dengan gula sebagai glikosida,
sehingga flavonoid memiliki sifat polar dan dapat larut pada pelarut polar. Gugus
gula inilah yang memberikan sifat polar pada flavonoid karena gula juga bersifat
polar (larut air), sedangkan flavonoid yang terlarut pada pelarut semipolar seperti
etil asetat, menunjukkan juga bahwa flavonoid tersebut juga memiliki sifat kurang
polar. Hal ini diduga karena flavonoid tersebut berada dalam bentuk aglikon yang
bersifat kurang polar sehingga terlarut pada pelarut semipolar.
Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan
dan Kasih 2008), hal ini terbukti dari hasil penelitian Bernardi et al. (2007)
terhadap Hypericum ternum yang menunjukkan bahwa pada spesies ini terdapat
komponen flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan, walaupun aktivitas
peredaman radikal bebas DPPH oleh masing-masing komponen flavonoid tersebut
berbeda-beda. Komponen flavonoid yang terdeteksi pada ekstrak kasar etil asetat
dan metanol lamun Syringodium isoetifolium ini telah diuji aktivitas
antioksidannya dengan metode DPPH dan hasilnya menunjukkan bahwa dua
46
ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan walaupun hasil yang diperoleh
berbeda.
Saponin adalah suatu glikosida yang ada pada banyak macam tanaman.
Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian
tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Fungsi
dalam tumbuh-tumbuhan sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat, atau
merupakan waste product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan. Kemungkinan lain
adalah fungsi saponin sebagai pelindung terhadap serangan serangga. Sifat-sifat
Saponin antara lain mempunyai rasa pahit, dalam larutan air membentuk busa
yang stabil, menghemolisa eritrosit, membentuk persenyawaan dengan kolesterol
dan hidroksisteroid lainnya, sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi, berat
molekul relatif tinggi dan analisis hanya menghasil-kan formula empiris yang
mendekati (Sirait 2007). Hasil uji fitokimia pada lamun Syringodium isoetifolium
menunjukkan bahwa senyawa saponin hanya terdapat pada ektrak kasar metanol
karena struktur kimia saponin memiliki gugus polar yang lebih kuat, sehingga
hanya mampu diekstrak oleh pelarut metanol (polar).
Senyawa kimia fenol hidrokuinon terdeteksi pada ketiga ekstrak kasar.
Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena umumnya seyawa ini
seringkali berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat dalam
vakuola sel. Senyawa yang termasuk dalam golongan fenolik cenderung mudah
larut dalam pelarut yang mempunyai polaritas tinggi (Harborne 1987). Peranan
beberapa golongan fenol sudah diketahui, misalnya lignin sebagai bahan
pembangun dinding sel, antosianin sebagai pigmen bunga. Chen dan Blumberg
(2007) menyatakan bahwa mengkonsumsi fenol dipercaya dapat mengurangi
resiko beberapa penyakit kronis karena bersifat sebagai antioksidan, antiinflamansi, detoksifikasi karsinogen, dan antikolesterol.
4.7 Aktivitas Antioksidan Lamun Syringodium isoetifolium dengan Metode
Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)
Secara kimia, pengertian senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi
elektron (reduktan). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang
mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh.
Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa
47
yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bias dihambat
(Winarsi 2007). Ada tidaknya senyawa antioksidan dalam suatu bahan, dapat
dideteksi dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Penangkapan radikal adalah
mekanisme utama aktivitas antioksidan pada makanan, dimana aktivitas
antioksidan diukur oleh penangkapan radikal sintetik pada pelarut organik pada
temperatur kamar. Pengukuran aktivitas antioksidan lamun Syringodium
isoetifolium menggunakan metode uji Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) (Molyneux
2004).
Aktivitas antioksidan dinyatakan dengan persentase penghambatan
(inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi absorbansi sampel
(Zheng et al. 2011). Pada penelitian ini menggunakan butylated hydroxytoluene
(BHT) sebagai antioksidan pembanding. Suatu senyawa dikatakan memiliki
aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom
hidrogennya pada radikal bebas yang digunakan (DPPH). Hal ini dapat dilihat
pada perubahan warna yang tejadi pada DPPH, yaitu dari warna ungu berubah
menjadi kuning pucat (Molyneux 2004) (Lampiran 7).
Hasil dari metode DPPH diinterpretasikan dalam parameter IC50
(Inhibition Concentration 50). Nilai IC50 dapat didefinisikan sebagai besarnya
konsentrasi yang dapat menghambat aktivitas radikal bebas, yaitu menghambat
aktivitas radikal bebas DPPH sebanyak 50%. Nilai IC50 yang semakin kecil
menunjukkan aktivitas antioksidan pada bahan yang diuji semakin besar
(Molyneux 2004). Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar lamun Syringodium
isoetifolium dari ketiga pelarut yang digunakan, dapat dilihat pada Gambar 9.
48
Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf (a,b) menunjukkan jenis pelarut
memberikan pengaruh berbeda nyata (p<0,05) terhadap kandungan total fenol
Gambar 9. Nilai rata-rata IC50 ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana lamun
Syringodium isoetifolium
Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa perbedaan jenis pelarut memberikan
pengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Etil asetat
memiliki nilai IC50 terendah sebesar 96,34 ppm, sedangkan metanol memiliki nilai
IC50 sebesar 520.90 ppm dan ekstrak n-heksana memiliki nilai IC50 tertinggi yaitu
sebesar 3498,64 ppm. Data IC50 diatas menunjukkan bahwa ekstrak lamun dari
pelarut etil asetat memiliki aktivitas antioksidan yang lebih kuat dari dua ekstrak
lamun yang lainnya, hal ini terbukti dari nilai IC50-nya yang terkecil. Perhitungan
konsentrasi larutan ekstrak, persen inhibisi dan IC50 dapat dilihat pada Lampiran
8.
Berdasarkan Lampiran 8, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
BHT dan ekstrak lamun Syringodium isoetifolium pada masing-masing pelarut
yang digunakan maka semakin besar persentase penghambatan radikal bebas yang
dihasilkan yang ditunjukkan dengan kenaikan nilai inhibisi. Menurut Qian dan
Nihomrimbere (2004), semakin tinggi konsentrasi yang ekstrak yang digunakan,
maka semakin tinggi pula nilai persentase penghambatan aktivitas radikal bebas
(persen inhibisi). Hal ini tidak berlaku untuk ekstrak n-heksana, karena senyawa
bioaktif yang terlarut dalam pelarut n-heksana memiliki efektifitas yang lebih
49
rendah dibandingkan senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak metanol dan
etil asetat (Putri et al. 2010).
Menurut Blois (1958) dalam Molyneux (2004), suatu senyawa dikatakan
sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC 50 kurang dari 0,05mg/ml (50
ppm), kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml (50-100 ppm), sedang
apabila memiliki nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml (100-150 ppm) dan
lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (150-200 ppm).
Berdasarkan klasifikasi diatas, ekstrak kasar dari etil asetat memiliki aktivitas
antioksidan yang kuat, untuk ekstrak kasar dari metanol memiliki aktivitas
antioksidan yang lemah dan untuk ekstrak kasar dari n-heksana tidak memiliki
aktivitas antioksidan karena memiliki nilai IC50 diatas 1000 ppm.
Ekstrak etil asetat memiliki nilai aktivitas antioksidan paling baik diantara
dua pelarut lainnya, hal ini mungkin disebabkan oleh sifat etil asetat yang
semipolar. Sifat etil asetat yang semipolar dapat mengekstrak komponen glikon
yang polar dan komponen aglikon yang nonpolar pula (Tensiska et al. 2007),
sehingga menyebabkan etil asetat dapat mengekstrak lebih banyak komponen
flavonoid yang aktif sebagai antioksidan. Menurut Yu Lin et al. (2009) semakin
banyak molekul gugus hidroksil atau aglikon maka semakin kuat radikal bebas
DPPH yang ditangkap karena kemampuan mendonorkan atom hidrogennya
semakin besar, selain itu struktur aglikon diketahui mempunyai aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan struktur glikosida.
Aglikon merupakan komponen penyusun glikosida yang tidak berikatan
dengan gula atau bagian glikosida yang bukan karbohidrat. yang terdiri dari
beberapa senyawa kimia seperti fenolik, isotiosianat, nitril sianogenetik, flavonoid
dan steroid, dimana beberapa senyawa kimia tersebut diketahui memiliki aktivitas
antioksidan. Aglikon ini sendiri hanya mampu diekstrak oleh pelarut etil asetat,
karena struktur kimia dari aglikon memiliki sifat yang sama dengan etil asetat
yaitu memiliki gugus nonpolar yang lebih kuat daripada gugus polar. Nilai total
fenol dan aktivitas antioksidan pada ekstrak lamun Syringodium isoetifolium
dengan pelarut etil asetat memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak
dari pelarut lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Widyawati et al. (2010) yang
menunjukkan adanya korelasi positif antara total fenol dan aktivitas antioksidan,
50
dimana jika di dalam suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi
maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi.
Pada penelitian ini, diperoleh nilai IC50 dari larutan BHT dengan
konsentrasi 0-15 ppm adalah sebesar 19,04 ppm. Nilai antioksidan yang terdapat
pada BHT tergolong sangat kuat. BHT adalah antioksidan sintetik yang biasa
digunakan, aktivitas antioksidan BHT diperoleh hasil yang tinggi pada
pengolahan bahan pangan. Selain memiliki aktivitas yang baik terhadap radikal,
BHT juga mempunyai kelarutan yang baik dalam minyak/lemak, serta cukup
tahan terhadap proses pemanasan menurut Berry (2003) dalam Herawati (2006).
Karena itu BHT memiliki potensi yang sangat besar sebagai salah satu alternatif
antioksidan yang digunakan untuk proses pengolahan bahan pangan. Akan tetapi
penggunaan BHT yang berlebihan akan menyebabkan keracunan pada dosis
tertentu. Kadar maksimum BHT dalam bahan pangan adalah 200 ppm (Ketaren
1986).
Nilai IC50 yang diperoleh dari masing-masing pelarut sangat jauh berbeda
dengan nilai IC50 yang diperoleh dari BHT, hal ini disebabkan ekstrak yang
diperoleh dari masing-masing pelarut masih berupa ekstrak kasar. Ekstrak kasar
yang dihasilkan ini masih mengandung komponen atau senyawa-senyawa yang
bukan merupakan senyawa antioksidan yang ikut terekstrak dalam pelarut selama
proses ekstraksi. Senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan rendemen
ekstrak yang dihasilkan, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas antioksidan,
sehingga perlu dilakukan pemurnian terhadap ekstrak kasar tersebut. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan ekstrak yang lebih murni, sehingga ketika
dilakukan pengujian antioksidan diharapkan dapat meningkatkan aktivitas
antioksidan pada ekstrak yang telah dimurnikan tersebut.
Download