III. DISOSIASI JARINGAN TESTIKULAR IKAN GURAMI ABSTRAK Disosiasi jaringan testikular untuk mendapatkan suspensi sel donor yang mengandung populasi sel spermatogonia banyak dan viabilitas tinggi merupakan teknik dasar yang menunjang keberhasilan transplantasi. Pada penelitian ini dilakukan pengujian jenis larutan disosiasi dan lama inkubasi terhadap jumlah dan viabilitas sel spermatogonia yang dihasilkan pascadisosiasi. Dua jenis larutan disosiasi yang diuji, yaitu larutan A: tripsin 0,5% dalam PBS (phosphate buffered solution) , dan larutan B dengan komposisi: tripsin 0,5%, dan DNase 10 unit/µL dalam PBS dilengkapi dengan 1 mM CaCl2, 25 mM HEPES, dan 5% FBS (fetal bovine serum). Lama inkubasi dalam larutan disosiasi adalah 1, 2, 3, 4, dan 5 jam. Setiap perlakuan dilakukan 3 ulangan. Testis segar didisosiasi pada masingmasing larutan hingga mendapatkan suspensi sel testikular. Jumlah sel spermatogonia yang berdiameter >10 µm dihitung menggunakan hemositometer dan viabilitas sel diidentifikasi menggunakan pewarna trypan blue; sel yang hidup (viable) terlihat transparan, sedangkan yang mati berwarna biru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah rata-rata sel spermatogonia hasil disosiasi menggunakan larutan B lebih banyak (P<0,05) dibandingkan larutan A, sedangkan viabilitas sel spermatogonia pada kedua jenis larutan tidak berbeda (P>0,05). Lama waktu inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah sel (P>0,05), namun berbeda nyata terhadap viabilitas sel. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa viabilitas sel hingga lama masa inkubasi 3 jam belum berbeda nyata dengan lama inkubasi 1 dan 2 jam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa larutan disosiasi B lebih baik dari larutan A untuk disosiasi jaringan testikular ikan gurami, dan masa inkubasi optimum dalam larutan B adalah 3 jam. Kata kunci: testis, spermatogonia, ikan gurami, disosiasi, viabilitas . *) Bab ini telah dipublikasi dengan judul: Morphological characteristic of spermatogonia dan testis dissociation : a preliminary study for the germ cell transplantation in giant gourami (Osphronemus goramy), pada Indonesian Aquaculture Journal 5(2):163-17. 26 III. THE DISSOCIATION OF TESTICULAR TISSUE ON GIANT GOURAMI ABSTRACT Testis dissociation is the first necessary steps to obtain highly amount and viable population of spermatogonia as donor cells for transplantation. This research examined the effect of two methods of testis dissociations (i.e. medium A contained 0.5% trypsin in PBS (phosphate buffered solution) and medium B contained 0.5% trypsin and DNase 10 IU/µL in PBS complemented with 1 mM CaCl2, 25 mM HEPES and 5% FBS (fetal bovine serum). We also determined the optimum incubation time (1, 2, 3, 4 and 5 hours) in dissociation medium. Freshly isolated testis of immature giant gouramy were minced in dissociation medium and then incubated to get monodisperce cell suspension. Parameters observed were the number and viability of spermatogonia (ø > 10 µm). The viability was analyzed using trypan blue exclusion dye, a cell with blue color indicated a death cell. The results showed that the average number of spermatogonia observed in medium B was higher than in medium A (P<0.05), meanwhile the viability of spermatogonia between medium A and B were not significantly different (P>0.05). The viability of spermatogonia decreased by the increasing of duration time of dissociation, however the amount of spermatogonia were not different significantly by the increasing of duration time of incubation. Post hoc test showed that until 3 hours incubation, the viability of spermatogonia did not differed significantly with cell viability in 1 dan 2 hours incubation time. In conclusion, application of dissociation medium B yielded higher number of viable spermatogonia than dissociation medium A with 3 hours optimum incubation time in medium B. Key words: testis, spermatogonia, giant gourami, dissociation, viability. PENDAHULUAN Disosiasi merupakan teknik dasar yang menunjang keberhasilan tansplantasi sel spermatogonia. Selama ini ketersediaan sel spermatogonia dalam jumlah dan viabilitas tinggi adalah salah satu kendala dalam melakukan transplantasi sel germinal spermatogonia. Semakin sedikit jumlah spermatogonia yang terkandung dalam suspensi sel yang disuntikkan, maka peluang sel donor terkolonisasi semakin kecil. Oleh karena itu, pengadaan sel donor yang kaya spermatogonia merupakan langkah penting dalam melakukan transplantasi (Kim et al. 2006, Shinohara & Brinster 2000). 27 Tahap pertama yang dilakukan untuk mendapatkan spermatogonia sebagai sel donor adalah disosiasi jaringan gonad testis dengan tujuan memisahkan sel-sel gamet dari bagian atau jaringan pengikat tempatnya melekat, dan menghilangkan bagian-bagian yang nekrotik, pembuluh darah dan lemak yang menempel. Jaringan dapat didisosiasi secara mekanik melalui proses pencacahan dan pemipetan secara perlahan-lahan. Cara lain adalah secara enzimatik, yaitu dengan menggunakan enzim-enzim tertentu seperti tripsin, kolagenase, elastase, hyaluronidase, DNase, pronase atau variasi dari beberapa jenis enzim dalam larutan dapar atau medium tertentu sampai diperoleh suspensi sel tunggal (Worthington 2003). Selain bertujuan untuk mendapatkan suspensi sel testikular yang tunggal, teknik disosiasi yang efektif seharusnya menghasilkan suspensi sel yang memiliki viabilitas tinggi dan dapat meminimumkan terjadinya proses agregasi sel kembali pascadisosiasi (Freshney 2005). Oleh karena itu berbagai macam teknik disosiasi pada hewan vertebrata dilakukan oleh para peneliti untuk mendapatkan suspensi sel yang memiliki kriteria-kriteria tersebut, namun sedikit sekali yang menjelaskan teknik disosiasi pada ikan. Penelitian disosiasi jaringan testikular pada ikan masih sangat terbatas (Takeuchi et al. 2003, Hong et al. 2004, Okutsu et al. 2006b, Lacerda et al. 2008). Sementara itu, disosiasi jaringan dapat berbeda-beda pada setiap jenis hewan dan jaringan karena setiap hewan atau jaringan memiliki karakteristik anatomi yang berbeda-beda khususnya yang berkaitan dengan besarnya jaringan pengikat antar tubulus pada testis dan kekuatan membran tunika yang membungkus testis (Kim et al. 2006). Selain jenis dan asal jaringan yang digunakan, umur hewan, tipe enzim, dan larutan dapar atau medium serta lama inkubasi jaringan dalam larutan disosiasi juga menentukan efektivitas proses disosiasi (Worthington 2003). Oleh karena itu, untuk mendapatkan suspensi sel spermatogonia ikan gurami yang dapat digunakan sebagai sel donor, dibutuhkan uji coba metode disosiasi yang tepat untuk jaringan gonad ikan gurami. Pada penelitian ini diuji dua metode disosiasi enzimatik sel testikular ikan gurami. Metode pertama merujuk pada Takeuchi et al. (2002) yang menggunakan satu jenis enzim pengurai saja, yaitu tripsin. Metode disosiasi ini diterapkan pada ikan rainbow trout. Metode kedua merujuk pada Takeuchi et al. (2009) yang 28 menggunakan dua enzim pengurai, yaitu tripsin dan DNase untuk mendapatkan suspensi sel testikular tunggal dari jaringan testis ikan nibe. Tripsin dikenal sebagai enzim pengurai yang kuat, sedangkan DNase merupakan enzim pengurai yang lemah (Worthington 2003). Tripsin bertugas melepaskan matriks ekstraseluler glikoprotein dari sel dan sekaligus menguraikan sisa-sisa matriks yang terdapat dalam larutan disosiasi (Jones & Werb 1980). Sementara DNase pada beberapa kasus ditambahkan ke dalam larutan disosiasi untuk menghindari terjadinya penggumpalan sel akibat pelepasan DNA bebas dari sel-sel yang mati selama proses disosiasi (Crabbe et al. 1997). Kombinasi dari kedua enzim ini diharapkan juga dapat meningkatkan jumlah sel spermatogonia tunggal dalam suspensi sel testikular yang dihasilkan pascadisosiasi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa dalam proses disosiasi jaringan, enzim dapat menyebabkan efek kerusakan pada sel (Nicosia et al. 1975, Bellve et al. 1977, Du et al. 2006). Lama waktu inkubasi dalam larutan disosiasi yang mengandung enzim merupakan faktor yang penting diketahui dalam melakukan disosiasi. Hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan pada sel-sel selama proses disosiasi berlangsung. Oleh karena itu pada penelitian ini juga dilakukan pengujian lama waktu inkubasi terhadap hasil disosiasi yang meliputi jumlah dan viabilitas sel spermatogonia. Metode disosiasi dengan larutan disosiasi yang tepat dan waktu inkubasi yang optimum diharapkan dapat menghasilkan suspensi sel spermatogonia ikan gurami dalam jumlah dan viabilitas yang tinggi. Metode disosiasi yang efektif akan memperbesar peluang keberhasilan transplantasi spermatogonia pada ikan khususnya pada ikan gurami. BAHAN DAN METODE Gonad (testis) ikan gurami dengan bobot tubuh 700–900 g/ekor diisolasi serta dibersihkan dari jaringan lemak dan pembuluh darah yang menempel dalam larutan NaCl fisiologis lalu ditimbang beratnya. Selanjutnya gonad dipotong- potong menjadi 5 bagian secara acak dengan kisaran bobot gonad per potong sekitar 30 mg. Kelima potongan testis segar dicincang secara terpisah dengan 29 skapel atau gunting dalam 1 mL larutan disosiasi dan diinkubasi pada suhu ruang masing-masing selama 1, 2, 3, 4 dan 5 jam. Larutan disosiasi pertama terdiri atas larutan tripsin (Worthington) 0,5% dalam Phosphate Buffered Saline/PBS (selanjutnya diberi nama larutan A) dan larutan disosiasi kedua terdiri atas larutan tripsin 0,5% dan 30 µL DNase 10 IU/µL dalam larutan PBS yang telah ditambahkan 5% fetal bovine serum/FBS (Sigma), 1 mM CaCl2 dan 25 mM HEPES (selanjutnya diberi nama larutan B). Setiap 30 menit inkubasi, suspensi sel dipipet dengan perlahan-lahan agar jaringan ikat cepat terlepas dari sel. Setelah masa inkubasi selesai, suspensi sel hasil disosiasi disaring menggunakan nylon screen steril dengan ukuran 35 μm untuk menghilangkan jaringan-jaringan yang tidak diinginkan. Untuk menghilangkan aktivitas tripsin, suspensi sel dicuci dengan PBS sebanyak 2 kali. Percobaan ini diulang sebanyak tiga kali dengan rancangan acak lengkap faktorial pada lima taraf lama waktu inkubasi. Parameter yang diamati adalah jumlah dan viabilitas sel spermatogonia yang berdiameter >10 µm atau sebesar satu skala pada pembesaran lensa objektif mikroskop 10x. Sebanyak 10 µL suspensi sel hasil disosiasi diwarnai dengan menggunakan pewarna vital trypan blue 0,4% (1:1). Sel yang mati akan terwarnai oleh trypan blue sehingga terlihat berwarna biru, sedangkan yang hidup akan tetap terlihat transparan. Jumlah total sel spermatogonia dan jumlah sel spermatogonia yang mati dihitung menggunakan hemositometer di bawah mikroskop. Viabilitas dihitung berdasarkan persentase jumlah sel spermatogonia yang hidup per jumlah total sel spermatogonia. Jumlah dan viabilitas sel spermatogonia pada setiap perlakuan dianalisis dengan sidik ragam. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Duncan multiple range test (DMRT). Data diolah dengan menggunakan program SPSS 17.0 dan MS Office Excell 2007. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab II dijelaskan bahwa tipe-tipe spermatogonia dapat diidentifikasi berdasarkan karakter diameter sel. Hasil disosiasi jaringan testikular ikan gurami pada Gambar 4A memperlihatkan morfologi berbagai tipe spermatogonia 30 berdasarkan perbedaan ukuran diameter sel. Sel punca spermatogonia (SSC) adalah sel spermatogonia yang paling mudah dikenali karena memiliki ukuran yang terbesar dengan membran sel yang lebih tipis dan transparan (Gambar 4B). Sel spermatogonia lainnya hanya dapat dibedakan berdasarkan ukuran diameter selnya. Dengan pewarnaan trypan blue, sel-sel yang mati tampak berwarna biru (Gambar 4C), sedangkan sel-sel yang transparan adalah sel-sel testikular yang masih hidup. Gambar 4 Suspensi sel testikular ikan gurami pascadisosiasi. A. Tipe-tipe sel spermatogonia. B. Sel punca spermatogonia dengan membran sel yang tipis (kepala panah adalah membran sel). C. Sel yang mati berwarna biru setelah pewarnaan dengan trypan blue. Skala 20 µm. SSC = sel punca spermatogonia, SpA = spermatogonia A, SpT = spermatogonia transisi, SpB = spermatogonia B. Pengaruh Lama Waktu Inkubasi dan Jenis Larutan Disosiasi terhadap Jumlah dan Viabilitas Sel Spermatogonia Hasil disosiasi jaringan testikular ikan gurami memperlihatkan bahwa jumlah sel rata-rata hasil disosiasi pada masing-masing larutan A dan B bertambah sejalan dengan meningkatnya lama waktu inkubasi (Gambar 5A) meskipun hasil analisis statistik RAL faktorial menunjukkan bahwa faktor waktu inkubasi tidak pengaruh nyata terhadap jumlah sel (P>0,05) (Lampiran 3). Peningkatan jumlah sel secara rata-rata seiring dengan meningkatnya lama waktu inkubasi menunjukkan bahwa semakin lama jaringan diinkubasi dalam larutan 31 disosiasi, maka semakin banyak bagian dari jaringan ikat yang terdisosiasi oleh proses enzimatik tripsin dan DNase sehingga jumlah sel spermatogonia tunggal yang dapat diisolasi juga semakin banyak. Sementara itu viabilitas sel rata-rata yang menggambarkan persentase jumlah sel yang hidup mengalami penurunan yang nyata baik pada larutan A maupun larutan B diakibatkan oleh semakin lamanya jaringan diinkubasi dalam larutan disosiasi (Gambar 5B). Hasil analisis menunjukkan bahwa lama waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap viabilitas sel (P<0,05). Semakin lama jaringan diinkubasi baik dalam larutan disosiasi A maupun larutan disosiasi B dapat menyebabkan semakin banyak sel yang mati atau rusak. Gambar 5 Jumlah dan viabilitas sel spermatogonia ikan gurami pada larutan disosiasi dan lama inkubasi berbeda. A. Jumlah sel spermatogonia yang dihasilkan pada lama waktu inkubasi 1 hingga 5 jam dalam larutan A dan larutan B. B. Viabilitas sel spermatogonia pada lama inkubasi 1 hingga 5 jam dalam larutan A dan larutan B. Larutan A ( ), Larutan B ( ). Analisis pengaruh larutan disosiasi terhadap jumlah dan viabilitas sel spermatogonia (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perbedaan larutan disosiasi yang digunakan berbeda nyata terhadap jumlah sel spermatogonia yang dihasilkan (P<0,05) tetapi tidak berbeda nyata terhadap viabilitas sel spermatogonia (P>0,05). Jumlah rata-rata sel spermatogonia yang dihasilkan oleh larutan A adalah 27.489±11.062 sedangkan larutan B menghasilkan jumlah ratarata 55.318±29.304. Dengan demikian komposisi larutan disosiasi B memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap jumlah sel hasil disosiasi dibandingkan larutan 32 disosiasi A. Larutan disosiasi B yang mengandung dua enzim (tripsin dan DNase) mampu menguraikan atau mendisosiasi jaringan testikular lebih banyak dibandingkan larutan A yang hanya mengandung enzim tripsin. Metode disosiasi jaringan testis bersifat spesifik spesies karena masingmasing spesies memiliki karakteristik anatomi testis yang berbeda (Marret & Durant 2000, Kim et al. 2006). Testis ikan terdiri atas 2 rongga yaitu tubular dan intertubular. Rongga tubular terdiri atas epitel seminiferus, tempat menempelnya sel germinal dalam sista dan sel-sel sertoli, tunika propria tersusun atas basal lamina dan sel-sel peritubular myoid serta lumen yang berisi cairan yang dikeluarkan oleh sel sertoli (Nobrega et al. 2009). Rongga intertubular terdiri atas sel-sel Leydig, jaringan ikat dan pembuluh darah (Grier 1993, Pudney 1993). Antar sel germinal terdapat juga jembatan sitoplasmik yang menghubungkan sel germinal yang satu dengan yang lainnya (Loir et al. 1995). Anatomi dan ciri-ciri fisik ini mungkin saja berbeda pada setiap jenis ikan sehingga metode disosiasi enzimatik yang sama dapat memberikan hasil yang berbeda-beda. Enzim tripsin dalam larutan A dan B berfungsi menghidrolisis proteinprotein yang menyusun jaringan ikat pada gonad menjadi ikatan-ikatan peptida kecil atau asam-asam amino. Selama proses disosiasi berlangsung, jaringan ikat dan jaringan interstisial antara tubulus maupun sista akan terurai oleh enzim. Secara bersamaan sel-sel germinal terlepas dari sel sertoli dan jembatan sitoplasmik menjadi melemah hingga akhirnya sel germinal akan terlepas sebagai sel tunggal. Proses enzimatik ini digambarkan oleh Bellve et al. (1977) pada disosiasi jaringan testikular tikus menggunakan enzim tripsin. Namun demikian, proses enzimatik ini juga memungkinkan membran sel tercerna (Du et al. 2006), sehingga semakin lama jaringan diinkubasi, maka sel-sel testikular yang telah terpisah dari jaringan ikat tadi juga akan mengalami kerusakan membran sel. Oleh karena itu semakin lama jaringan didisosiasi, jumlah sel yang mati semakin bertambah atau dengan kata lain viabilitas sel semakin menurun. Penambahan enzim DNase dalam larutan disosiasi B membantu proses disosiasi jaringan. DNase adalah enzim hidrolisis yang berfungsi untuk digesti asam-asam nukleat dengan cara menghidrolisis ikatan DNA ganda menjadi ikatan-ikatan DNA tunggal. Disosiasi sel darah merah yang memiliki sitoskeleton 33 dengan protein membran periferal kompleks ketika ditambahkan DNase, sitoskeleton menjadi terdisosiasi dan filamen aktin menjadi larut. DNase mencegah terjadinya polimerisasi aktin (Sheetz 1979). Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis larutan disosiasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap viabilitas sel (P>0,05). Viabilitas rata-rata yang tidak berbeda nyata antara larutan A dan larutan B menunjukkan bahwa penggunaan dua enzim dalam larutan B tidak mempengaruhi kemampuan atau daya tahan sel spermatogonia selama proses disosiasi. Tripsin dikenal sebagai enzim pengurai yang kuat namun DNase merupakan enzim pengurai yang lemah (Worthington 2003). Dengan tambahan senyawa komplemen seperti FBS, CaCl2 dan HEPES, larutan B dapat mempertahankan daya hidup sel spermatogonia seperti halnya pada larutan A yang hanya terdiri atas satu enzim saja. Dalam aktivitas hidrolisisnya, DNase membutuhkan kondisi fisiologis dimana Ca2+ dan Mg2+ tersedia dalam jumlah cukup. Penambahan CaCl2 pada medium atau larutan disosiasi meningkatkan efisiensi DNase menguraikan jaringan (Dwyer et al. 1999). Ion Ca2+ berfungsi mempertahankan integritas membran plasma spermatogonia tikus sehingga viabilitas sel tetap tinggi selama proses disosiasi berlangsung. Di samping itu, ion Ca2+ juga sangat dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan osmotik dan potensial membran sel (Yazawa et al. 2007). Penambahan serum berfungsi untuk menekan aktivitas tripsin dan memberikan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh sel selama proses disosiasi berlangsung (Freshney 2005). Pemberian serum pada medium disosiasi biasanya dilakukan untuk disosiasi yang menggunakan konsentrasi tripsin tinggi dan dalam waktu inkubasi yang lama agar sel tetap kuat. Pemberian tripsin dengan konsentrasi tinggi bertujuan agar penempelan antar sel tidak terjadi (Brown et al. 2007). Oleh karena itu meskipun aktivitas disosiasi tinggi disebabkan oleh kedua enzim yang berperan dalam proses disosiasi tetapi viabilitas sel pada larutan disosiasi B ini tetap tinggi. Serum juga bermanfaat untuk melindungi medium dari efek toksisitas senyawa-senyawa tertentu pada media yang digunakan (Mather & Roberts 1998). 34 Senyawa HEPES atau 4-(2-hydroxyethyl)-1-piperazineethanesulfonic acid umumnya digunakan sebagai komplemen medium sel-sel yang dikultur pada udara terbuka atau tanpa menggunakan inkubator CO2. Dalam proses disosiasi sel, HEPES berperan sebagai dapar dan menstabilkan pH dalam medium (Mather & Roberts 1998). Lama Waktu Inkubasi yang Optimum dalam Larutan Disosiasi A dan B Secara umum kriteria lama waktu inkubasi yang optimum dalam disosiasi sel adalah lama waktu inkubasi yang menghasilkan jumlah sel spermatogonia yang terbanyak dengan viabilitas tertinggi. Viabilitas menggambarkan persentase jumlah sel yang hidup. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa analisis faktorial (Lampiran 3) menghasilkan lama waktu inkubasi yang hanya berpengaruh nyata pada viabilitas sel spermatogonia (P<0,05), tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah sel (P>0,05). Jenis larutan disosiasi diketahui tidak memiliki interaksi yang nyata dengan lama inkubasi (P>0,05). Hal ini mempertegas pembahasan sebelumnya bahwa jenis larutan disosiasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap viabilitas sel atau dengan kata lain perbedaan viabilitas pada lama masa inkubasi berbeda tidak dipengaruhi oleh jenis larutan. Dengan demikian faktor lama inkubasi terhadap viabilitas sel akan memberikan pengaruh yang sama pada larutan A dan larutan B. Hasil uji lanjut pengaruh lama waktu inkubasi terhadap viabilitas sel menunjukkan bahwa viabilitas sel rata-rata dari larutan disosiasi A dan B jam ke 1 hingga jam ke 3 tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa disosiasi jaringan testikular baik dalam larutan A maupun larutan B dengan lama waktu inkubasi satu hingga tiga jam belum menunjukkan penurunan viabilitas yang nyata (Tabel 3). Penurunan viabilitas mulai terlihat nyata pada jam ke 4 dan menurun drastis pada jam ke 5 inkubasi. Meskipun lama inkubasi tidak berpengaruh nyata terhadap viabilitas namun jumlah sel rata-rata baik pada larutan A maupun larutan B menunjukkan kenaikan dengan semakin bertambahnya lama masa inkubasi. Dengan demikian lama waktu inkubasi yang optimum adalah tiga jam karena waktu tiga jam inkubasi memberikan jumlah sel spermatogonia hidup lebih banyak dari satu dan dua jam inkubasi. 35 Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah sel hasil disosiasi tidak berbeda nyata dengan semakin lamanya jaringan diinkubasi. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya peran proses disosiasi secara mekanik yang terjadi selama proses disosiasi berlangsung yaitu pemipetan larutan setiap 30 menit selama masa inkubasi. Oleh karena itu proses penguraian jaringan testikular menjadi sel-sel testikular tunggal tidak sepenuhnya disebabkan oleh disosiasi enzimatik. Pada penelitian ini terdapat dua tahap disosiasi mekanik, yaitu 1) proses eliminasi pembuluh darah dan jaringan-jaringan ikat lainnya pada testis semaksimum mungkin dengan tujuan agar proses disosiasi berlangsung sama dan tidak terkontaminasi oleh sel-sel darah, dan 2) proses pencacahan dan pemipetan larutan setiap 30 menit selama masa inkubasi dengan tujuan untuk membantu sel terpisah dari jaringan. Secara teknis, kedua proses mekanik ini dapat mempengaruhi hasil disosiasi, baik dari jumlah maupun viabilitas sel sehingga hasil penghitungan jumlah sel spermatogonia tidak memberikan perbedaan nyata terhadap lama waktu inkubasi. Tabel 3 Larutan disosiasi A B Jumlah dan viabilitas rata-rata sel spermatogonia hasil disosiasi jaringan testikular ikan gurami dalam larutan A dan B Waktu inkubasi (jam) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 Jumlah spermatogonia (x103)/ mg testis 15.946 ± 3.475 23.461 ± 6.807 29.429 ± 15.390 31.654 ± 12.094 36.956 ± 4.978 42.100 ± 38.822 53.316 ± 33.713 57.556 ± 35.026 60.667 ± 37.671 62.952 ± 17.757 Viabilitas (%) 100,00 98,15 97,32 95,20 94,15 100,00 100,00 97,51 96,00 91,81 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± 0,00 a 3,21 a 2,52 ab 0,94 bc 2,07 c 0,00 a 0,00 a 0,93 ab 1,75 bc 5,84 c Larutan A: Tripsin dalam PBS. Larutan B: Tripsin dan DNase dalam PBS mengandung HEPES, CaCl2 dan FBS. Huruf superskrip yang berbeda setelah angka pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05). Angka adalah rata-rata±SD, n=3. Informasi lama waktu inkubasi yang optimum pada ikan khususnya teleostei dan kaitannya dengan jumlah sel yang dihasilkan dan viabilitasnya setelah disosiasi belum ada. Namun, umumnya para peneliti menggunakan lama waktu 36 inkubasi 2 jam dalam larutan disosiasi seperti pada ikan rainbow trout (Okutsu et al. 2006b), ikan nila (Lacerda et al. 2008), dan ikan nibe (Takeuchi et al. 2009). Pada ikan gurami dengan lama waktu disosiasi 3 jam, viabilitas sel spermatogonia selama proses disosiasi belum berbeda dengan lama waktu inkubasi 1 dan 2 jam. Hal ini menunjukkan bahwa daya tahan sel spermatogonia ikan gurami diduga lebih kuat dibandingkan dengan ikan nila, rainbow trout dan ikan nibe. KESIMPULAN 1. Larutan disosiasi yang mengandung tripsin-DNase memberikan hasil disosiasi dengan jumlah sel spermatogonia yang lebih banyak dibandingkan larutan disosiasi yang mengandung tripsin saja. 2. Waktu inkubasi yang optimum untuk disosiasi adalah 3 jam.