Pengaruh Pemberian Antibiotika pada Kultur in

advertisement
PENGARUH PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PADA
KULTUR IN VITRO PULAI (Alstonia scholaris (L.) R. Br)
DWI WORO NAVY PROBOWATI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
DWI WORO NAVY PROBOWATI. Pengaruh Pemberian Antibiotika pada
Kultur invitroPulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br). Dibawah bimbingan EDHI
SANDRA dan AGUS HIKMAT.
Pulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br) merupakan salah satu tumbuhan yang
termasuk dalam kategori tumbuhan obat langka (LIPI 2001). Selain sebagai
tumbuhan berkhasiat obat pulai dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan
baku dalam konstruksi ringan, kerajinan tangan seperti patung,topeng, ukir-ukiran
dan bahan dasar pembuat pensil. Tingginya pemanfaatan pulai oleh masyarakat
tanpa adanya pengelolaan yang baik dapat mengancam kelestariannya di alam.
Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian dan memenuhi kebutuhan masyarakat
maka diperlukan tindakan konservasi melalui kegiatan budidaya.Teknik budidaya
melalui kultur in vitro dihadapkan pada kendala kontaminasi eksternal dan
internal yang sulit diatasi. Oleh karena itu, upaya sterilisasi internal yang dapat
dilakukan adalah dengan pemberian antibiotikaPlant Preservative Mixture (PPM)
dan propolis pada media kultur in vitro. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi pengaruh pemberian jenis antibiotikaterhadap tingkat
kontaminasi yang terjadi pada kultur in vitro pulai dan mengidentifikasi jenis serta
konsentrasi antibiotikayang baik dan tepat untuk meminimalkan terjadinya
kontaminasi.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari bulan
Maret hingga Juli 2011.Percobaan ini dirancang dengan menggunakan rancangan
percobaan faktorial dua faktor dengan dasar rancangan acak lengkap
(RAL).Pengambilan data kualitatif berupa deskripsi kondisi eksplan (kontaminasi
jamur dan bakteri serta pencoklatan), sedangkan data kuantitatif berupa jumlah
tunas, tinggi tunas dan jumlah daun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwapersentase total kontaminasi jamur
sebesar 29,60%, kontaminasi bakteri 12% dan pencoklatan 6,40% dengan rataratapersentase keberhasilan tumbuh pada kultur in vitro pulai sebesar 50,40%.
Adapun persentase keberhasilan tumbuh tertinggi sebesar 70%. Hasil analisis
sidik ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pemberian
antibiotika PPM dan propolis beserta kombinasinya tidak berpengaruh nyata
terhadap tingkat kontaminasi yang terjadi pada kultur in vitro pulai. Namun,
pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang paling baik dapat terlihat pada
perlakuan penambahan PPM 0,5 ml + propolis 0,5 ml/l (A1B1).
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu pemberian antibiotika PPM, propolis
beserta kombinasinya dengan konsentrasi 0 ml/l, 0,5 ml/l, 1ml/l, 1,5 ml/l dan 2
ml/l pada kultur berdasarkan hasil analisis sidik ragam tidak berpengaruh nyata
terhadap tingkat kontaminasi pada kultur in vitro pulai. Jenis antibiotikabeserta
konsentrasinya yang paling sesuai adalah perlakuan PPM0,5 ml/l + propolis 0,5
ml/l (A1B1).
Kata kunci : antibiotika, kultur in vitro, Alstonia scholaris, kontaminasi
SUMMARY
DWI WORO NAVY PROBOWATI. Effect of Antibiotics on in vitro Culture
of Pulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br). Under supervision of EDHI SANDRA
and AGUS HIKMAT.
Pulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br.) is listed in the category of rare
medicinal plants (LIPI 2001). Pulai also used by the community as raw material in
lightweight construction, handicrafts, such as statues, masks, carvings and pencil
manufacture. High utilization of Pulai by community without proper management
could threaten its sustainability in the nature. Conservation action through
cultivation was needed in order to maintain the sustainability of and to fulfil the
community’s needs on pulai. Cultivation techniques through in vitro culture faced
external and internal contamination which was difficult to overcome. An effort of
internal sterilization was by adding antibiotics, such as Plant Preservative Mixture
(PPM) and Propolis in to the media. The objective of this research was to identify
the effect of antibiotics on the level of contamination that occurs in in vitro culture
of Pulai and identify the best type and concentration of antibiotics to minimize the
occurrence of contamination.
Research was conducted at the Laboratory of Environmental
Biotechnology, Center for Environmental Research, Bogor Agricultural
University (PPLH IPB) from March to July 2011. This experiment wasdesigned
using two-factor factorial experimental design with a basis of Completely
Randomized Design (CRD). Qualitative data on explant condition included fungal
and bacterial contamination and browning of explant, while quantitative data
measured included number of shoots, height of shoots, and number of leaves.
The results showed that there was 29,60% of the total fungal
contamination, 12% bacterial contamination and 6,40% browning. Average
percentage of growth success was 50,40% with highest percentage of 70%.
Results of analysis of variance at 95% confidence intervals showed that addition
of a combination of antibiotics PPM and propolis did not significantly affect the
level of contamination that occurs in in vitro culture of Pulai. However, addition
of PPM 0,5 ml/l + propolis 0,5 ml/l (treatment A1B1) provided the best growth
and development of explant.
The conclusion of this study shows that PPM antibiotic, propolis and its
combination with concentration of 0 ml/l, 0,5 ml/l, 1 ml/l, 1,5 ml/l and 2 ml/l in
the culture based on the results of the analysis of variance has no significant
impact in the level of contamination in the in vitro culture of Pulai. The most
appropriate treatment type of antibiotic and its concentration was PPM 0,5 ml / l +
propolis 0,5 ml/l (treatment A1B1).
Keywords: antibiotics, in vitro culture, Alstonia scholaris, contamination.
PENGARUH PEMBERIAN ANTIBIOTIKA PADA
KULTUR IN VITRO PULAI (Alstonia scholaris (L.) R. Br)
DWI WORO NAVY PROBOWATI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
DepartemenKonservasiSumberdayaHutandanEkowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh
Pemberian Antibiotika pada Kultur in vitro Pulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br)”
adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosenpembimbing
dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau
lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Nopember 2011
Dwi Woro Navy Probowati
NIM. E34070023
Judul Skripsi
: Pengaruh Pemberian Antibiotika pada Kultur in vitroPulai
(Alstonia scholaris (L.) R.Br)
Nama
: Dwi Woro Navy Probowati
NIM
: E34070023
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Ir. Edhi Sandra, M.Si
Dr. Ir. Agus Hikmat, M.ScF
NIP.196610191993031002
NIP. 196209181989031002
Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor,
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.
NIP. 195809151984031003
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengaruh Pemberian Antibiotika pada Kultur in vitro Pulai (Alstonia
scholaris (L.) R. Br)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Penyusunan skripsi ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang
penggunaan antibiotika pada kultur in-vitro dalam upaya meminimalisir terjadinya
kontaminasi. Selain itu, juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan
pemberian antibiotika pada kultur invitro tanaman kehutanan sehingga mampu
meningkatkan peluang keberhasilan pada kegiatan tersebut.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga penulisan
skripsi ini mampu memberikan manfaat dan dapat memberikan informasi yang
berguna bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, Nopember 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 13 Februari
1989 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak
Siswoyo dan Ibu Rusmiyati. Penulis memulai pendidikan di TK Al
Hidayah pada tahun 1994, kemudian melanjutkan ke SD Negeri 02
Pasuruhan pada tahun 1995 hingga tahun 2001. Pada tahun 2001
hingga 2004 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Nusawungu dan
selanjutnya di SMA Negeri 1 Kroya pada tahun 2004 hingga tahun 2007. Penulis
melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007 dan diterima
sebagai mahasiswi pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan.
Selama menjadi mahasiswi di IPB penulis aktif di organisasi Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai
anggota kelompok pemerhati kupu-kupu (KPK) dan kelompok pemerhati flora
(KPF) pada tahun 2008-2009. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi DKM
‘Ibaadurahman tahun 2009-2010 sebagai koordiator akhwat divisi kewirausahaan.
Adapun praktek yang pernah diikuti penulis ketika menjadi mahasiswa
antara lain Eksplorasi Flora dan Fauna Indonesia (Rafflessia-HIMAKOVA) di
Cagar Alam Rawa Danau, Banten pada tahun 2009, Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan (P2EH) di Cagar Alam Kamojang - Leuweng Sancang
Kabupaten Garut pada tahun 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan
Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 2010, dan Praktek Kerja Lapang
Profesi (PKLP) di Balai Taman Nasional Meru Betiri (BTNMB) Jawa Timur pada
tahun 2011.
Dalam upaya menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,
penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “ Pengaruh
Pemberian Antibiotika pada Kultur in vitro Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br)”
dibimbing oleh Ir. Edhi Sandra, M.Si dan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.ScF.
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan hidayah, karunia,
cinta dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Ibunda Rusmiyati, Ayahanda Siswoyo, Mba Krida Ningrum Puspitorini
S.E., Adikku Wahyu Wahono Widodo dan Mustikaningrum Dewanti
Putri, Mas Bibit dan Dek Mazaya Fildzah Purwaningrum atas doa,
motivasi, kasih sayangdandukungan yang telahdanselalu diberikan.
2. Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si beserta keluarga dan Bapak Dr. Ir. Agus
Hikmat, M.ScF selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, nasehat dan dukungan selama penulis melakukan penelitian
dan penyusunan skripsi.
3. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku ketua sidang dan Dr. Lina
Karlinasari, S. Hut, M.ScF. Trop selaku dosen penguji dari Departemen
Hasil Hutan yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat
membangun.
4. Kepada seluruh pihak Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) : Mba
Yuli Fitriyani S.Hut, Ka Rohmat, Mba Nita, Neti, Mba Yeni.
5. Sahabat-sahabat terbaikku Muthia SR, Vianti, Neina F, Rakhmi W, Dinar
DTPP, Mettha C, Retno DH, Fela, Asih R, Rafina, Nini S, Rona, Windu,
dan Septian atas segala bantuan moral dan moril.
6. Keluarga besar Wisma Gareulis Rianda, Mia, Viya, Imas, Febri, Maya,
Enen dan Alda atas segala kasih sayang, perhatian dan dukungannya.
7. Saudara seperjuangan diLaboratorium Konservasi Tumbuhan Obat.
8. Keluarga Besar KSHE’44 “KOAK”
9. Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
ii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.4
Latar Belakang .........................................................................
Tujuan......................................................................................
Hipotesis ..................................................................................
Manfaat Penelitian ...................................................................
1
3
3
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
Bioekologi Pulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br) .......................
Manfaat Pulai ..........................................................................
Teknik Kultur in Vitro .............................................................
Kontaminasi ............................................................................
Antibiotika...............................................................................
2.5.1 Plant Preservative Mixture ............................................
2.5.2 Propolis ..........................................................................
4
5
6
9
11
12
14
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................
3.3 Prosedur Kerja .........................................................................
3.3.1 Sterilisasi alat dan media kultur ......................................
3.3.2 Sterilisasi lingkungan kerja .............................................
3.3.3 Sterilisasi bahan tumbuhan (indukan)..............................
3.3.4 Sterilisasi bahan eksplan .................................................
3.3.5 Pembuatan media ............................................................
3.3.6 Penanaman .....................................................................
3.4 Pengamatan ............................................................................
3.5 Rancangan Percobaan.............................................................
3.6 Analisis Data ..........................................................................
17
17
17
17
18
18
18
19
21
21
21
22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
4.2
4.3
4.4
Tingkat Keberhasilan Kultur ..................................................
Perlakuan Penambahan Propolis .............................................
Perlakuan Penambahan Plant Preservative Mixture (PPM).....
Perlakuan Kombinasi Propolis dan Plant Preservative Mixture
(PPM) ...................................................................................
4.5 Hasil Analisis Sidik Ragam ..................................................
4.6 Kontaminasi Jamur ................................................................
4.7 Kontaminasi Bakteri .............................................................
25
26
28
29
31
33
34
4.8 Waktu Terjadinya Kontaminasi ............................................
4.9 Persentase Keberhasilan Tumbuh Eksplan Terkontaminasi ....
4.10 Pencoklatan (Browning) ........................................................
4.11 Jumlah Tunas ........................................................................
4.12 Pertambahan Tinggi Tunas ....................................................
4.13 Jumlah Daun .........................................................................
4.14 Manfaat Penggunaan Antibiotika dalam Kultur in Vitro ........
35
36
36
37
41
43
47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................
5.2 Saran ......................................................................................
48
48
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
49
LAMPIRAN .................................................................................................
53
i
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Penggolongan antibiotika berdasarkan tempat kerjanya .........................
12
2.
Komposisi propolis ...............................................................................
14
3.
Aktivitas biologis komponen propolis ...................................................
15
4.
Interaksi faktor jenis antibiotika dengan konsentrasinya .......................
22
5.
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam tingkat kontaminasi pada
kultur in vitro pulai ..............................................................................
31
6.
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam jumlah tunas .............................
38
7.
Hasil uji Duncan rata-rata jumlah tunas ................................................
39
8.
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertambahan tinggi tunas..........
42
9.
Hasil uji Duncan rata-rata pertambahan tinggi tunas .............................
42
10. Rekapitulasi hasil analisi sidik ragam jumlah daun ...............................
44
11. Hasil uji Duncan rata-rata jumlah daun.................................................
44
ii
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Bagian-bagian tumbuhan pulai ................................................................
5
2. Persentase keberhasilan ...........................................................................
26
3. Persentase total kondisi eksplan ..............................................................
32
4.
Kondisi eksplan .....................................................................................
32
a. Eksplan tumbuh..................................................................................
32
b. Eksplan kontam bakteri ......................................................................
32
c. Eksplan kontam jamur ........................................................................
32
d. Eksplan browning ...............................................................................
32
e. Eksplan gugur .....................................................................................
32
5. Eksplan terkontaminasi jamur .................................................................
33
6.
Kontaminasi jamur .................................................................................
34
a. Jamur miselium warna putih ...............................................................
34
b. Jamur miselium warna hitam ..............................................................
34
7. Eksplan terkontaminasi bakeri.................................................................
35
8. Kondisi pertumbuhan eksplan yang terkontaminasi .................................
36
a. Kontaminasi jamur tumbuh ................................................................
36
b. Kontaminasi bakteri tumbuh...............................................................
36
9. Pencoklatan pada eksplan ........................................................................
37
a. Coklat pada tepi ujung ........................................................................
37
b. Coklat pada seluruh ujung permukaan ................................................
37
c. Coklat pada seluruh bagian eksplan ....................................................
37
10. Kondisi tunas .........................................................................................
38
a. Tunas daun kuncup .............................................................................
38
b. Tunas daun membuka.........................................................................
38
11. Rata-rata jumlah tunas per minggu pada perlakuan kontrol (A0B0),
A0B4, dan A1B0 ...................................................................................
40
12. Rata-rata pertambahan tinggi tunas per minggu pada perlakuan kontrol
(A0B0), A1B0, dan A4B3 ......................................................................
41
iii
13. Rata-rata jumlah daun per minggu pada perlakuan kontrol (A0B0),
A1B0, dan A4B3....................................................................................
45
14. Eksplan yang mengalami kerontokan daun ............................................
46
iv
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Kondisi eksplan pada akhir pengamatan .................................................
53
2. Rekapitulasi data pengamatan eksplan pulai (A.scholaris) ......................
54
3. Persentase kondisi eksplan pulai (A. scholaris). ......................................
54
4. Jumlah eksplan pulai kontaminasi ..........................................................
55
5. Rekapitulasi rata-rata jumlah tunas. ........................................................
56
6. Rekapitulasi rata-rata pertambahan tinggi tunas......................................
57
7. Rekapitulasi hasil rata-rata jumlah daun .................................................
58
8. Hasil uji analisis sidik ragam tingkat kontaminasi ..................................
59
9. Hasil uji analisis sidik ragam rata-rata jumlah tunas ...............................
60
10. Hasil uji Duncan rata-rata jumlah tunas ..................................................
61
11. Hasil uji analisis sidik ragam rata-rata pertambahan tinggi tunas ............
62
12. Hasil uji Duncan rata-rata pertambahan tinggi tunas ...............................
63
13. Hasil analisis sidik ragam rata-rata jumlah daun .....................................
64
14. Hasil uji duncan rata-rata jumlah daun ...................................................
65
15. Jumlah eksplan pulai (A. scholaris) yang tumbuh (%) ............................
66
16. Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) browning (%)...................................
67
17. Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) kontaminasi bakteri (%) ...................
68
18. Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) kontaminasi jamur (%).....................
69
19. Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) yang gugur (%) ................................
70
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br) merupakan salah satu tumbuhan yang
termasuk dalam kategori tumbuhan obat langka (LIPI 2001). Pulai
banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tumbuhan yang berkhasiat obat untuk
meluruhkan dahak, peluruh haid, stomakik, antipiretik, pereda kejang,
menurunkan kadar gula darah (hipoglikemik), tonik, antiseptik, mengobati bisul
dan memperlancar ASI (Dalimartha 1999). Kayunya dimanfaatkan untuk
konstruksi ringan di dalam ruangan, pulp dan kertas, bahan-bahan kerajinan
tangan seperti patung, topeng dan papan tulis sekolah karena kayunya tidak awet
(IFSP 2001). Selain itu, kayunya juga digunakan sebagai bahan ukir-ukiran dan
bahan dasar pembuat pensil(Sutomo & Putri 2005).
Semakin meningkatnya pemanfaatan tumbuhan pulai oleh masyarakat
tanpa adanya pengelolaan yang baik dapat menyebabkan semakin menipisnya
pulai di alam dan bukan tidak mungkin pada suatu saat nanti tumbuhan ini akan
musnah. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestariannya di alam dan juga
memenuhi kebutuhan masyarakat akan tumbuhan pulai maka diperlukan suatu
tindakan konservasi melalui kegiatan penangkaran atau budidaya. Salah satu
teknik budidaya yang dapat dilakukan yaitu dengan kultur in vitro.
Melalui kultur in vitromaka dapat diperoleh bibit dalam jumlah besar,
dapat diperbanyak secara kontinyu serta lebih efisien tempat dan waktu. Namun,
dalam kegiatan kultur in vitro sendiri juga terdapat permasalahan yang sangat
umum terjadi dan harus ditemukan solusinya dengan baik dan tepat. Adapun
permasalahan tersebut yaitu kontaminasi. Adanya kontaminasi ini akan sangat
mengganggu jalannya kegiatan kultur in vitro karena dapat menurunkan tingkat
produksi secara drastis. Kontaminasi dapat berasal dari kontaminan eksternal
maupun internal. Salah satu tahap yang perlu mendapat perhatian lebih karena
sering terkait dengan masalah kontaminasi yaitu inisiasi.
Inisiasi merupakan tahap yang penting untuk menentukan tahap
selanjutnya dan merupakan tahap yang paling sulit dilakukan karena memasukan
2
bahan eksplan dari luar untuk dikulturkan di dalam botol sehingga perlu dilakukan
kegiatan sterilisasi eksplan untuk mendapatkan kultur aseptik. Namun, selama ini
sebagian besar para pelaku kultur hanya melakukan sterilisasi eksternal saja untuk
menghilangkan mikroba. Padahal untuk eksplan sendiri juga dapat memberi andil
yang cukup besar sebagai penyebab terjadinya kontaminasi karena di dalam
eksplan sudah terkandung mikroba yang bersifat sistemik sehingga proses
sterilisasi internal juga perlu dilakukan. Oleh karena itu, salah satu upaya
sterilisasi internal yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian antibiotikapada
media kultur.
Antibiotika adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan
oleh organisme hidup, termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik,
yang dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan
satu spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono & Soekardjo 1995). Adapun
jenis antibiotika yang dapat digunakan dalam percobaan yakni Plant Preservative
Mixture (PPM) dan Propolis. Menurut Syatria (2010) PPM adalah preservative
(biosida) spektrum luas yang sangat efektif untuk mencegah atau menurunkan
tingkat kontaminasi mikroba pada kultur jaringan.Penggunaan PPM dengan dosis
yang optimum sangat efektif dan tidak mempengaruhi vitro germination,
proliferasi kalus dan regenerasi kalus. Draper’s Super Bee Apiaries (2007) diacu
dalam Adiprabowo (2008) menyatakan bahwa propolis dapat melawan bakteri
berbahaya dan bersifat antibakteri karena memiliki senyawa-senyawa yang
mampu menghambat pertumbuhan bakteri seperti flavonoid.
Berdasarkan hal tersebut di atas perlakuan pemberian antibiotika
diharapkan mampu untuk menekan atau meminimalisir terjadinya kontaminasi
sehingga diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan kultur in vitro tumbuhan
pulai.
3
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi pengaruh pemberian jenis antibiotika pada kultur in vitro
terhadap tingkat kontaminasi yang terjadi pada kultur in vitropulai.
2. Mengidentifikasi jenis dan konsentrasi antibiotika yang baik dan tepat untuk
meminimalkan terjadinya kontaminasi.
1.3 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah pemberian antibiotika pada kultur
berpengaruh terhadap tingkat kontaminasiyang terjadi pada kultur in vitro pulai
(Alstonia scholaris (L.) R.Br).
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dasar mengenai
pemberian jenis antibiotika dan konsentrasi yang baik untuk meningkatkan
keberhasilan kultur in vitro pulai.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioekologi Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br)
Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br) merupakan salah satu jenis yang
tumbuhan obat yang termasuk dalam kategori langka (LIPI 2001). Berdasarkan
taksonominya tumbuhan pulai tergolong ke dalam :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Contortae
Famili
: Apocynaceae
Genus
: Alstonia
Spesies
: Alstonia scholaris (L.) R. Br
Daerah penyebaran pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br), antara lain
meliputi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara dan
Jawa (Rifai et al 1992). Pada umumnya pulai tumbuh di daerah yang terbuka,
bersemak atau hutan campuran pada ketinggian 50-1500 mdpl (Hendrian &
Hadiah 1999 diacu dalam Sutomo & Putri 2005). Sedangkan menurut Heyne
(1987) di pulau Jawa pulai tumbuh pada ketinggian kurang dari 900 m diatas
permukaan laut. Pulai dapat tumbuh pada tanah liat dan tanah berpasir yang
kering atau digenangi air dan terdapat juga pada lereng bukit berbatu pada
ketinggian 0-1000 m di atas permukaan air laut (Martawijaya et al. 2005)
Pulai umumnya dapat mencapai tinggi 20 hingga 25 m dan diameter 40
hingga 60 cm. Pulai memiliki pertumbuhan yang sangat baik dan dapat dibiakkan
dengan setek dan cabang (Heyne 1987). Adapun ciri morfologinya yakni memiliki
batang lurus dengan kulit batang yang rapuh, rasanya pahit dan bergetah putih.
Daun tunggal warna hijau berbentuk lonjong hingga lanset atau lonjong hingga
bulat telur sungsang dengan permukaan atas licin, permukaan bawah buram, tepi
daun rata, pertulangan daun menyirip dengan panjang 10-23 cm, lebar 3-7,5 cm
dan tersusun melingkar antara 4-9 helai (Yuniarti 2008).
5
Keterangan : (1) Daun; (2) Susunan
bunga; (3) Irisan memanjang bunga;
(4) Kelopak bunga; (5) Buah; (6)
Benih.
Sumber: Plant Reources of South East Asia
5:1 diacu dalam Sutomo dan Putri (2005).
Gambar 1. Bagian-bagian tumbuhan pulai
Pulai termasuk ke dalam jenis yang selalu hijau atau tidak gugur daun
dengan jenis benih ortodoks. Benih pulai yang segar memiliki daya kecambah
yang tinggi yaitu mendekati 100%, akan
tetapi cepat pula kehilangan
viabilitasnya (IFSP 2001). Menurut Martawijaya et al. (2005) biji pulai yang telah
dijemur selama 2 hari dan disimpan dalam kaleng tertutup selama 2 bulan masih
mampu berkecambah hingga 90%.
Dalimartha (1999), Hikmat dan Zuhud (2010) menyatakan bahwa kulit
kayu pulai mengandung alkaloida ditamin, ekitamin (ditamin), ekitanin,
ekitamidin, alstonin, ekiserin, ekitin, porfirin,dan triterpen (α-amyrin dan lupeol),
daun mengandung pikrinin, dan bunga pulai mengandung asam ursolat dan lupeol.
2.2 Manfaat Pulai
Pemanfaatan pulai oleh masyarakat yaitu sebagai obat tradisional untuk
meluruhkan dahak, peluruh haid, stomakik, antipiretik, pereda kejang,
menurunkan kadar gula darah (hipoglikemik), tonik dan antiseptik, mengobati
bisul dan memperlancar ASI (Dalimartha 1999). Kayunya dimanfaatkan untuk
konstruksi ringan di dalam ruangan, pulp dan kertas, bahan-bahan kerajinan
tangan seperti patung, topeng dan papan tulis sekolah karena kayunya tidak awet
(IFSP 2001). Adapun bagian tumbuhan pulai yang biasanya dimanfaatkan oleh
masyarakat yaitu akar dan getah daun sebagai obat tradisional (Setyowati &
Wardah 2007).
6
2.3 Teknik Kultur in Vitro
Kultur in vitro adalah teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tumbuhan
dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas
mikroorganisme (Santoso & Nursandi 2003). Dasar kultur jaringan adalah
totipotensi yaitu kemampuan setiap sel dari mana saja sel tersebut diambil, apabila
diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan
yang sempurna (Suryowinoto 1991 diacu dalam Hendaryono & Wijayani 1994).
Akan tetapi, persentase keberhasilan kultur jaringan akan lebih besar jika
menggunakan jaringan meristem karena jaringan meristem adalah jaringan muda
yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum
mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecilkecil (Hendaryono & Wijayani 1994). Adapun prinsip kerja kultur jaringan
menurut Santoso dan Nursandi (2003) terdiri dari :
1.
kegiatan isolasi bagian tanaman yang akan digunakan sebagai bahan tanam
(eksplan) dari tanaman induknya,
2.
penanaman bahan tanam (eksplan) pada medium yang tepat sehingga terjadi
percepatan induksi totipotensi,
3.
Terpenuhinya kondisi aseptik (bebas dari kontaminan atau mikroorganisme).
Menurut Acquaah (2004) dalam teknik kultur jaringan, secara umum dapat
dibagi menjadi lima tahapan yakni seleksi eksplan dan persiapan, inisiasi dan
pembuatan kondisi yang steril, perkembangbiakkan tunas aksiler (multiplikasi),
pengakaran dan aklimatisasi.
1.
Seleksi eksplan dan persiapan
Eksplan adalah bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan inisiasi
dalam kultur jaringan. Pada dasarnya eksplan dapat diambil dari semua
bagian tumbuhan baik dari jaringan akar, batang dan daun atau berupa sel
merismatik, kambium dan embrio yang belum mengalami perubahan bentuk
dan kekhususan fungsi (Acquaah 2004). Namun, akan lebih baik jika eksplan
diambil dari bagian yang masih muda (Conger 1981 diacu dalam Isnaeni
2008). Ukuran eksplan yang digunakan disesuaikan dengan tujuan dari
pembiakannya. Conger (1981) diacu dalam Isnaeni (2008) menyatakan bahwa
ukuran eksplan yang lebih besar cenderung lebih mudah terkontaminasi,
7
namun eksplan yang kecil memiliki persentase kematian jaringan yang lebih
tinggi.
2.
Inisiasi dan Pembuatan kondisi yang steril
Proses inisiasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam teknik kultur
jaringan untuk menentukan langkah selanjutnya. Oleh karena itu inisiasi
kultur yang terbebas dari kontaminan merupakan hal yang harus dilakukan.
Inisiasi adalah penanaman bagian tumbuhan sebagai eksplan untuk
ditumbuhkan pada media kultur jaringan. Pada tahap ini dilakukan kegiatan
sterilisasi eksplan untuk mendapatkan kultur aseptik. Eksplan yang telah
disterilisisasi kemudian ditanam pada media prekondisi untuk memastikan
eksplan telah terbebas dari kontaminan dan jaringan berinisiasi untuk tumbuh.
3.
Perkembangbiakkan tunas aksiler (multiplikasi)
Multiplikasi merupakan kegiatan memindahkan tunas-tunas dari dalam
wadah kultur secara aseptik yang tumbuh dari hasil induksi dan ditanam lagi
dalam botol kultur lain yang berisi media dan hormon yang mampu
merangsang pertunasan. Tujuan utama dari proses multiplikasi adalah
perbanyakan pucuk atau tunas atau klon tumbuhan dan meningkatkan
terjadinya percabangan aksial dan pembentukan pucuk secara adventif.
4.
Pengakaran
Proses pengakaran dapat dilakukan dengan penggunaan media yang
ditambahkan ZPT jenis auksin. Wattimena (1988) diacu dalam Isnaeni (2008)
menyatakan bahwa pemberian auksin diketahui dapat memicu pertumbuhan
tunas dan akar. Proses ini dilakukan untuk mempersiapkan plantlet agar dapat
ditanam di lapang.
5.
Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan tahap pemindahan plantlet dari kondisi aseptik (in
vitro) ke kondisi lapang (ex vitro) atau dari keadaan heterotrop ke keadaan
autrotop. Proses aklimatisasi merupakan proses yang menentukan apakah
kultur jaringan berhasil atau tidak karena pada tahap ini akan diketahui
apakah tumbuhan yang diaklimatisasi dapat bertahan hidup di lapang atau
tidak. Proses aklimatisasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti
suhu dan kelembaban. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keberhasilan
8
aklimatisasi sebaiknya lingkungan tumbuhnya harus mendekati lingkungan
asalnya pada saat pembiakan. Selain itu, pemberian hara tumbuhan yang
cukup pada media maupun penyemprotan daun akan sangat membantu proses
aklimatisasi (Mattjik 2005 diacu dalam Isnaeni 2008).
Salah satu faktor yang juga berperan penting dalam menentukan
keberhasilan kegiatan kultur jaringan adalah media tanam. Media tanam
merupakan tempat tumbuh untuk tumbuhnya eksplan. Menurut Soerianegara
(1994) diacu dalam Hidayat (2009) media tanam dalam kultur jaringan tumbuhan
dibedakan menjadi dua yaitu media dasar dan media perlakuan. Bentuk media
tanam yang digunakan dalam kultur jaringan ada 3 yaitu media tanam bentuk
padat, semi padat dan cair. Pada umumnya, media dasar yang sering digunakan
adalah media dasar Murashige dan Skoog (MS, 1962). Menurut Acquaah (2004)
media kultur jaringan mengandung komponen yang dapat dikategorikan menjadi
empat kelompok yaitu unsur mineral, senyawa organik, zat pengatur tumbuh dan
sistem penyokong, dengan uraian sebagai berikut :
1.
Unsur mineral terdiri dari unsur makronutrien dan unsur mikronutrien.
Adapun unsur-unsur yang terdapat pada unsur makronutrien terdiri dari
nitrogen-NO3, NH4, fosfor-P, potassium-K. Sedangkan unsur mikronutrien
terdiri dari Ca, Mg, Cl, Fe, S, Na, B, Mn, Zn, Cu, Mo,Co, I.
2.
Senyawa organik menyediakan sumber karbon dan faktor-faktor lain untuk
mendukung pertumbuhan. Pada umumnya, senyawa organik terdiri dari gula,
vitamin, dan myo-inositol.
3.
Zat pengatur tumbuh pada tanaman sama dengan hormon pertumbuhan pada
hewan. Zat pengatur tumbuh ini digunakan atau dicampurkan ke dalam
media. Adapun contoh senyawa zat pengatur tumbuh yang umum digunakan
yaitu auksin, sitokinin, dan giberelin. Auksin berfungsi untuk mendukung
terjadinya pertumbuhan akar. Contoh dari auksin alami yang umum
digunakan yaitu indole-3-acetic-acid (IAA), indole-3-butyric-acid (IBA), dan
contoh auksin sintetik
yaitu
naphtalene acetic
acid (NAA),
2,4-
dichlorophenoxyacetic cid (2,4-D). Sitokinin berfungsi untuk mendukung
terjadinya pertumbuhan tunas, contohnya yaitu zeatin (alami), benzyladenine
9
(BA) dan kinetin (sintetik). Sedangkan giberelin berfungsi untuk mendukung
pertumbuhan batang dan pembungaan, contohnya GA3 dan GA4+7.
4.
Sistem penyokong dalam kultur jaringan yakni media kultur jaringan.
2.4 Kontaminasi
Kontaminasi merupakan salah satu gangguan yang umum terjadi pada
kultur jaringan. Menurut Santoso dan Nursandi (2003) tingkat kontaminasi media
berbanding lurus dengan tingkat kekayaan unsur hara dalam media yaitu semakin
diperkaya suatu media maka tingkat kontaminasinya juga semakin besar,demikian
pula sebaliknya semakin sederhana suatu media maka tingkat kontaminasinya
juga semakin kecil. Pada umumnya, kontaminasi karena jenis media disebabkan
karena kontaminasi mikroorganisme dari lingkungan luar dan yang berasal dari
eksplan. Oleh karena itu, jika mikroorganisme dari lingkungan luar dan eksplan
tidak ada maka tidak akan terjadi kontaminasi media dan eksplan. Adapun
sumber-sumber kontaminan menurut Santoso dan Nursandi (2003) dapat berasal
dari :
1.
Udara : kontaminan yang ada di udara dapat berupa spora bakteri atau
cendawan dan umumnya banyak terdapat pada daerah yang berkelembaban
tinggi.
2.
Bahan tanam (eksplan) : untuk eksplan yang berasal dari tanah umumnya
lebih banyak mengandung bahan kontaminan dibanding eksplan yang ada di
permukaan atau pucuk. Kontaminan yang berada di permukaan eksplan dapat
dibersihkan menggunakan air dan larutan pensteril. Sedangkan untuk
kontaminan yang berasal dari dalam eksplan ditangani dengan penggunaan
antibiotika.
3.
Manusia atau pekerja : kontaminan yang berasal dari manusia dapat terbawa
melalui pakaian yang dikenakan, anggota badan dan pernapasan.
4.
Alat-alat yang digunakan : kontaminan dapat berasal dari peralatan yang
digunakan dalam kegiatan penanaman karena proses sterilisasi yang kurang
sempurna sehingga kontaminan masih melekat dalam peralatan.
5.
Aquades (air steril)
10
Menurut
Gunawan
(2007)
untuk
mengurangi kontaminasi
yang
berhubungan dengan media maka sebaiknya menggunakan media ½ MS.
Kontaminasi sangat beragam mulai dari jenis kontaminannya (bakteri, jamur,
virus, yeast, kapang),waktu terjadinya kontaminasi (cepat, dalam hitungan jam;
sedang, dalam hitungan hari; lambat, dalam hitungan minggu dan bulan), dan apa
yang terkontaminasi (media atau eksplan).
Jenis kontaminasi ada dua yaitu kontaminasi eksternal dan kontaminasi
internal. Kontaminasi eksternal dapat disebabkan oleh jamur dan bakteri,
sedangkan kontaminasi internal umumnya disebabkan oleh bahan eksplan itu
sendiri. Menurut Denish (2007) untuk mengatasi kontaminasi internal dapat
digunakan HgCl2 karena dapat menurunkan laju kontaminasi bakteri internal
tanpa merusak jaringan. Selain itu juga dapat dilakukan dengan penggunaan
fungisida, HgCl2 dan klorin karena dengan penggunaan kombinasi bahan sterilan
tersebut merupakan upaya sterilisasi berlapis untuk mereduksi resiko kontaminasi
baik yang berasal dari cendawan, bakteri maupun kotoran-kotoran lain yang
menempel pada permukaan eksplan.Sedangkan untuk pencegahan kontaminasi
eksternal dapat dilakukan dengan sterilisasi kontak (Gunawan 2007).
Gunawan (1987) diacu dalam Gunawan (2007) menyatakan bahwa setiap
bahan tumbuhan memiliki tingkat kontaminasi permukaan yang berbeda
tergantung dari :
1. Jenis tumbuhannya
2. Bagian tumbuhan yng dipergunakan
3. Morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak)
4. Lingkungan tumbuhnya (Green house atau lapang)
5. Musim waktu pengambilan (musim penghujan atau musim kemarau)
6. Umur tumbuhan (seedling atau tumbuhan dewasa)
7. Kondisi tumbuhannya (sehat atau sakit)
Menurut Gunawan (1995) kontaminasi dapat berasal dari sterilisasi yang
kurang sempurna, lingkungan kerja dan pelaksanaan, eksplan, serangga atau
hewan kecil yang berhasil masuk ke dalam botol kultur setelah diletakkan di
ruang kultur. Sedangkan menurut Sandra (2010) beberapa hal yang dapat
menyebabkan terjadinya kontaminasi yaitu proses sterilisasi yang kurang
11
sempurna, lingkungan kerja dan pelaksanaan atau cara kerja saat penanaman,
eksplan, molekul-molekul atau benda-benda asing berukuran kecil yang jatuh atau
masuk ke dalam botol kultur jaringan setelah penanaman dan ketika diletakkan di
ruang kultur (Sandra 2010). Adapun dari semua jenis sumber kontaminan
Gunawan (1995)berpendapat bahwa kontaminan yang berasal dari eksplanlah
yang paling sulit diatasi karena untuk menanggulanginya diperlukan metode
sterilisasi yang selektif yaitu hanya mengeliminasi organisme mikro yang tidak
diinginkan dengan gangguan seminimal mungkin terhadap bahan tanaman.
2.5 Antibiotika
Antibiotika adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan
oleh organisme hidup, termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik,
yang dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan
satu spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono & Soekardjo 1995). Salah
satu contoh antibiotika alami yaitu propolis dan contoh antibiotika sintetik yaitu
Plant Preservative Mixture (PPM). Menurut Siswandono dan Soekardjo (1995)
antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan tempat kerja, spektrum aktivitas dan
struktur kimianya.
Berdasarkan spektrum aktivitasnya antibiotika dapat digolongkan menjadi
enam yaitu :
1.
Antibiotika dengan spektrum luas, efektif baik terhadap Gram-positif maupun
Gram-negatif.
2.
Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram-positif
3.
Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram-negatif
4.
Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae
(antituberkulosis)
5.
Antibiotika yang aktif terhadap jamur (anti jamur)
6.
Antibiotika yang aktif terhadap neoplasma (antikanker)
Berdasarkan struktur kimianya, Siswandono dan Soekardjo (1995)
mengelompokkan antibiotika menjadi sepuluh yaitu antibiotika β-laktam (turunan
pesisilin, sefalosporin dan β-laktam nonkllasik), turunan amfenikol, turunan
tetrasiklin, aminoglikosida, antibiotika makrolida, antibiotika polipeptida,
12
linkosamida, antibiotika polien, turunan ansamisin dan turunan antrasiklin. Gale
(1963) diacu dalam Gale et al. (1972) menyatakan bahwa berdasarkan reaksi
biokimia umum, antibiotika dikelompokkan menjadi lima kelompok yakni : (1)
reaksi dalam metabolisme energi, (2) reaksi dalam fungsi membran bakteri, (3)
reaksi dalam sintesis protein, (4) reaksi dalam metabolisme asam nukleat, dan (5)
reaksi dalam sintesis peptidoglycan.
Berdasarkan tempat kerjanya antibiotika dapat digolongkan menjadi empat
yaitu sebagai berikut :
Tabel 1. Penggolongan antibiotika berdasarkan tempat kerjanya
Tempat kerja
Proses
yang
dihambat
-Biosintesis
peptidoglikan
Dinding sel
Fungsi
dan
integritas membran
sel
-Biosintesis ADN
-Biosintesis m ARN
-Biosintesis ADN
dan mARN
Membran sel
Asam nukleat
Antibiotika
Tipe aktivitas
-Penisilin
-Sefalosporin
-Basitrasin
-Vankomisin
-Sikloserin
-Nistatin
-Amfoterisin
-Polimiksin B
-Mitomisin C
Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
Fungisid
Fungisid
Bakterisid
Fansidal
(Antikanker)
Bakterisid
Fungisid
-Rifampisin
-Griseofulvin
Ribosom
-Sub
unit
prokariotik
-Sub
unit
prokariotik
-Sub
unit
eukariotik
30
S
50
S
60
S
-Biosintesis protein
-Aminosiklitol
-Tetrasiklin
Bakterisid
Bakteriostatik
-Amfenikol
-Makrolida
-Linkosamida
Bakteriostatik
Bakteriostatik
Bakteriostatik
-Biosintesis protein
-Biosintesis protein
-Glutarimid
-Asam fusidat
Sumber : Doerge RF (1982) diacu dalam Siswandono dan Soekardjo (1995)
Fungisid
Bakterisid
2.5.1 Plant Preservative Mixture
Plant Preservative Mixture (PPM) merupakan preservative atau biosida
spektrum luas yang sangat efektif untuk mencegah atau menurunkan tingkat
kontaminasi mikroba pada kultur jaringan. Penggunaan PPM dengan dosis yang
optimum sangat efektif dan tidak mempengaruhi vitro germination, proliferasi
kalus dan regenerasi kalus. Kandungan zat aktif yang terkandung dalam PPM
13
terdiri dari 5-Chloro-2 methyl-3-(CH)-isothiazolone 0,1350 % dan 2-methyl-3(H)isothiazolone 0,0412% dan komposisi lain 99,82338% (Syatria 2010).
Pada umumnya rentang dosis PPM yang disarankan yaitu 0,05%-0,2%
untuk kontaminasi endogen sedangkan untuk proliferasi kalus, organogenesis dan
embriogenesis yaitu 0,5%-0,75%. Selain itu, penggunaan dosis PPM yang sering
digunakan yaitu 0,5 ml/liter atau menurut rekomendasi dari pabrik dengan dosis 1
ml sampai 2 ml/liter media. Cara pemakaian PPM yaitu dengan menambahkan
langsung pada saat pembuatan media ketika media sudah ditambahkan dengan
agar dan dimasak hingga mendidih lalu ditambahkan hormon yang dikehendaki
selanjutnya ditambahkan dengan PPM lalu diukur pH media dan dimasukan
kedalam botol-botol (Syatria 2010). Dosis penggunaan PPM yang baik yakni 0,5
ml/liter media atau rekomendasi dari pabrik penggunaan PPM yang baik yaitu
antara 1 sampai 2 ml/liter media.
Pembuatan PPM ini dirancang untuk menghambat kontaminasi yang
berasal dari udara, air, dan yang melalui kontak dengan manusia serta kontaminasi
yang berasal dari dalam tumbuhan itu sendiri. Bahan aktif yang ada dalam PPM
inipun dapat menghambat tumbuhnya jamur atau menembus dinding sel bakteri
dan menghambat aktivitas enzim kunci dalam siklus metabolisme sentral seperti
siklus asam sitrat dan transpor elektron. Selain itu juga dapat menghambat proses
pengangkutan monosakarida dan asam amino dari medium ke dalam sel bakteri
atau jamur. Adapun kelebihan penggunaan PPM daripada antibiotika lain yakni :
1.
PPM dapat digunakan secara luas dan efektif untuk menghambat tumbuhnya
jamur
2.
PPM lebih murah dibandingkan dengan antibiotika sehingga lebih terjangkau
jika akan digunakan dalam jumlah yang besar dan rutin
3.
Sasaran PPM yaitu menghambat beberapa jenis enzim, akan tetapi untuk
pembentukan mutan resisten tidak efektif.
4.
PPM memiliki sifat tahan panas yang stabil dan dapat diautoclave dengan
media
14
2.5.2 Propolis
Propolis berasal dari bahasa Yunani yaitu Pro = sebelum dan Polis =
sistem pertahanan kota. Propolis adalah bahan perekat atau dempul yang bersifat
resin yang dikumpulkan oleh lebah pekerja dari kuncup, kulit tumbuhan atau
bagian-bagian lain dari tumbuhan (Gojmerac 1983). Woo (2004) diacu dalam
Saputra (2009) menyatakan bahwa propolis berwarna kuning hingga coklat tua,
ataupun transparan tergantung kandungan flavonoidnya. Umumnya propolis akan
meleleh pada suhu 60-690C dan beberapa sampel mempunyai titik leleh diatas
1000C. Pada suhu dibawah 150C propolis keras dan rapuh, namun akan kembali
lengket pada suhu 25-450C.
Menurut Gojmerac (1983) kandungan senyawa yang terdapat pada
propolis yaitu bahan campuran campuran kompleks malam, resin, balsam, minyak
dan sedikit polen. Sedangkan menurut Khismatullina (2005) diacu dalam Saputra
(2009) propolis mengandung senyawa resin, lilin, minyak esensial, polen,
senyawa organik dan mineral, sebagaimana tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi propolis
Kelas Senyawa
Resin
Lilin
Minyak esensial
Polen
Senyawa organik dan mineral
Golongan Senyawa
Flavonoid, asam aromatik, dan esternya
Asam lemak dan esternya
Volatil
Protein dan asam amino bebas
Mineral, lakton, quinon, steroid, vitamin,
dan gula
Sumber : Khismatullina (2005) diacu dalam Saputra (2009)
Jumlah
50%
30%
10%
5%
5%
Selain itu, unsur aktif yang terkandung dalam propolis antara lain
flavonoid (flavon, flavonol, flavonon), senyawa fenolat, serta senyawa aromatik.
Senyawa flavonoid yang ada yaitu flavonol (galangin, kaemferol, quersetin),
flavonon (pinocembrin dan pinsobrin), serta flavon (chrysin, acacetin, apigenin,
ermanin). Adapun senyawa fenolat yang ada antara lain hidroksisimat, asam
sinamat, vanilin, benzil alkohol, asam benzoat, kafeat, kumarat, serta asam ferulat.
Menurut Winingsih (2004) diacu dalam Suseno (2009) zat aktif yang diketahui
bersifat antibiotika adalah asam ferulat yang efektif terhadap bakteri gram positif
dan negatif. Komposisi kimia propolis sangat kompleks dan tergantung vegetasi
lingkungan tempat pengumpulannya. Untuk aktivitas biologis propolis dapat
dilihat pada Tabel 3.
15
Tabel 3 Aktivitas biologis komponen propolis
No
1
Jenis aktivitas
Antibakteri
Senyawa
Prenylated p-coumaric acids
Lignans
Diterpenic acids
Sitotoksik
Flavonoid
2
Prenylated p-coumaric acids
Lignans
Diterpenics acid
Imunomodulasi
Caffeoulquinic acids
3
Antihepatotoksik
Caffeoulquinic acids
4
Sumber : Bankova et al. (2000) diacu dalam Saputra (2009)
Propolis digunakan untuk mensterilkan sarang lebah dari bakteri, jamur,
dan virus, dimanfaatkan oleh lebah pekerja untuk melapisi bagian dalam rongga
sarang dan mengurangi pintu masuk sarang yang bertujuan untuk menggunakan
sifat antibakteri dan antifungi propolis sehingga dapat melindungi koloninya dari
serangan penyakit (Adiprabowo 2008) digunakan untuk mengisi celah dan retakan
serta menghaluskan permukaan yang kasar pada sarang lebah madu (Gojmerac
1983). Anggraini (2006) menyatakan bahwa beberapa bakteri gram positif yang
mampu dihambat oleh propolis adalah Bacillus subtilis dan Staphylococcus
aureus. Sedangkan untuk bakteri gram
negatif yang efektif dihambat oleh
propolis yakni Escherichia coli dan Pseudomonas aeuriginosa (Anggraini 2006),
Klebsiella sp., Salmonela sp., Campylobacter sp. (Tukan 2008 diacu dalam
Abidin 2010) dan Enterobacter sakazakii (Fitriannur 2009). Abidin (2010) juga
menyatakan bahwa senyawa aktif yang terdapat pada propolis mampu
menghambat pertumbuhan bakteri Lactobacillus bulgaricus.
Propolis yang berasal dari sarang lebah madu (Trigona spp) merupakan
propolis yang sangat berpotensi sebagai antibakteri alami (Adiprabowo 2008)
Kelebihan propolis sebagai antibiotika alami dibandingkan dengan bahan sintetik
yaitu lebih aman serta dengan efek samping yang relatif kecil. Propolis bekerja
melawan bakteri berbahaya tanpa membinasakan bakteri yang dibutuhkan oleh
manusia karena propolis memiliki daya selektivitas yang tinggi sebagai
antibiotika (Winingsih 2004 diacu dalam Saputra 2009). Propolis juga telah
terbukti efektif untuk melawan strain bakteri yang tahan terhadap antibakteri
sintetik (Drapper’s Super Bee Apiaries 2007 diacu dalam Adiprabowo 2008).
Adapun senyawa aktif yang memberikan efek antibakteri di dalam
propolis
adalah pinocembrin, galangin, asam kafeat, dan asam ferulat. Senyawa
16
antifunginya adalah pinocembrin, pinobaksin, asam kafeat. Benzil ester,
sakuranetin dan pterostilbena. Senyawa antiviralnya yakni asam kafeat, lutseolin,
dan quersetin (Winingsih 2004 diacu dalam Suseno 2009).
Menurut Abidin (2010) meskipun propolis memiliki manfaat kesehatan
sebagai antibakteri, namun propolis pada konsentrasi tertentu memiliki peranan
simbiotik terhadap beberapa spesies bakteri probiotik. Berdasarkan hasil
penelitian Abidin (2010) diketahui bahwa pada konsentrasi 0,6% propolis mampu
menstimulasi pertumbuhan bakteri Lactobacillus casei subsp. Rhamnosus dan
aktivitas bakteri Streptococcus thermophillus yaitu dengan menstimulasi produksi
asam laktat.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB) dari bulan
Maret hingga Juli 2011.
3.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam persiapan media yaitu meliputi
timbangan analitik, gelas ukur, pipet, labu erlenmeyer, labu takar, gelas piala,
pengaduk, botol kultur dan autoclave. Sedangkan untuk kegiatan penanaman alatalat yang digunakan antara lain laminar air flowcabinet, handsprayer, lampu
bunsen, pinset, pisau, scalpel, tissue, dan cawan petri.
Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan media antara lain agaragar, gula pasir, air steril, larutan stok media MS, BAP, propolis, dan PPM.
Sedangkan untuk kegiatan sterilisasi dan penanaman bahan-bahan yang digunakan
yaitu deterjen, fungisida dan bakterisida, clorox, HgCl2, betadine, air steril,
alkohol dan eksplan Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br) bagian titik tumbuh.
Bahan eksplan pulai merupakan jenis pulai darat yang berasal dari PT. Xylo
Indah Pratama yang didatangkan dari pulau Sumatra.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Sterilisasi alat dan media Kultur
Alat-alat yang akan digunakan dalam kegiatan kultur jaringan seperti botol
kultur, pinset, scalpel, cawan petri, pipet, pengaduk, gelas piala, labu takar dicuci
bersih menggunakan detergen. Kemudian, alat-alat yang digunakan dalam
penanaman disterilisasi dengan membungkus alat-alat tersebut menggunakan
kertas tebal dan selanjutnya semua alat-alat tersebut diautoclave pada suhu 121⁰C
-126⁰C dan tekanan 1,5 atm selama 60 menit. Sedangkan untuk media yang telah
dimasukan ke dalam botol kultur lalu dimasukan ke dalam autoclave pada suhu
121⁰C -126⁰C dan tekanan 1,5 atm selama 20 menit.
18
3.3.2 Sterilisasi lingkungan kerja
Pembersihan
laboratorium
dilakukan
setiap
hari
terutama
untuk
penyeleksian botol kultur yang terkontaminasi. Pengepelan dan penyemprotan rak
kultur dengan alkohol juga dilakukan secara berkala. Pembersihan tempat kerja
(laminar air flow cabinet) dapat dilakukan dengan mengelap permukaan atau
meja kerja menggunakan kapas atau tisu yang telah disemprot alkohol 70%. Lalu,
sebelum dan selama pemakaian, blower atau peniup udara dalam laminar air flow
cabinet harus dinyalakan untuk menghindari adanya kontaminan yang masuk ke
dalam botol kultur ketika penanaman. Kemudian sebelum melakukan pekerjaan
maka dilakukan penyemprotan dengan alkohol 70% terhadap kedua telapak
tangan, botol kultur, ataupun alat-alat yang akan digunakan dalam penanaman.
3.3.3 Sterilisasi bahan tumbuhan (indukan)
Proses dan tahapan karantina bahan indukan meliputi :
1.
Penyemprotan dengan fungisida dan bakterisida atau antibiotika setiap sore
secara bergiliran.
-
Fungisida (Antracol) 1 g/l dan Bakterisida (Agrept) 1 g/l dicampur dan
dilarutkan
-
Antibiotika (Amoxiciline) 200 ml/l
2.
Penyemprotan dengan hormon tunas atau Hyponex hijau + GA setiap pagi
secara bergiliran
-
Hormon tunas 10 ml/l
-
Hyponex Hijau 2 g/l + GA 100 ml/l
3.
Penggunaan Dekastar (N Tinggi) pada media tanam
4.
Penyemprotan dengan insektisida
3.3.4 Sterilisasi bahan eksplan
Pulai yang sudah dikarantina dan akan diambil sebagai eksplan diberi
perlakuan sterilisasi yang meliputi sterilisasi eksplan di luar laminar air flow
cabinet dan sterilisasi eksplan di dalam laminar air flow cabinet. Adapun tahapan
sterilisasi eksplan di luar lamiar air flow cabinet meliputi :
1.
Pemotongan eksplan dari bahan indukan
19
2.
Pengolesan dengan alkohol 70 %
3.
Pencucian dengan air
4.
Pencucian dengan detergen (10 menit)
5.
Pencucian menggunakan air hingga bersih
Sedangkan tahapan sterilisasi eksplan di dalam laminar air flow cabinet
meliputi :
1.
Pencucian menggunakan air steril selama ± 5 menit
2.
Perendaman dengan HgCl2 0,01 mg/100 ml selama 7-10 menit
3.
Perendaman menggunakan clorox 5 % selama ± 3 menit
4.
Perendaman dengan larutan betadine 0,5 ml/100 ml selama 7-10 menit
5.
Pembilasan dengan air steril sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit.
3.3.5 Pembuatan media
3.3.5.1 Pembuatan larutan stok
Pembuatan larutan stok dilakukan secara terpisah sesuai dengan
pengelompokannya yaitu larutan stok makro, stok mikro, stok Fe-EDTA, stok
vitamin dan stok hormon (BAP).Adapun rincian komposisinya yaitu larutan stok
makro terdiri dari KNO3, NH4NO3, CaCl2. 2H2 O, MgSO4.7H2O dan KH2PO4
(masing-masing dibuat secara terpisah). Larutan Stok mikro terdiri dari campuran
MnSO4.H2O,
ZnSO4.7H2O,
H3BO3,
KI,
Na2MoO4.
2H2O,
CoCl.6H2O,
4CuSO4.5H2O. Larutan Stok Fe-EDTA terdiri dari campuran senyawa
C10H14N2Na2O82H2O (Na-EDTA) dan FeSO4.7H2 O. Larutan stok vitamin terdiri
dari Thiamin HCl, Nicotinic acid, Pyridoxin HCl, dan Glycin. Larutan stok
hormon (BAP). Unsur hara yang telah ditimbang beratnya sesuai dengan yang
telah ditentukan kemudian dilarutkan dengan 1 liter aquades. Setelah larutan stok
selesai dibuat selanjutnya disimpan di lemari es.
3.3.5.2 Pembuatan media Murashige Skoog (MS) dengan larutan BAP
Pembuatan media dimulai dengan pembuatan larutan stock MS dan
hormon BAP yang telah dipersiapkan sebelumnya. Untuk pelaksananaan
pembuatan media yaitu sebagai berikut :
1.
Menyiapkan 200 ml air aquadest dalam gelas piala
20
2.
Memipet dan memasukan larutan A, B, C, D, E, F, myo inositol masingmasing 5 ml, vitamin 2 ml, dan hormon (BAP) sebanyak 1,5 ml.
3.
Memasukan 30 gram gula pasir
4.
Menambahkan air aquadest hingga volume menjadi tepat 1000 ml
5.
Mengukur pH larutan yaitu antara 5-6, jika terlalu asam tambahkan NAOH
dan jika terlalu basa tambahkan HCl
6.
Memasukan 6 gram agar-agar kedalam larutan tersebut
7.
Memasak larutan media dalam panci hingga mendidih
8.
Menuangkan media kedalam botol kultur (±10 ml)
9.
Menutup botol dengan plastik dan karet
10. Mensterilisasikan media didalam autoclave pada suhu 121⁰C-126⁰C dan
tekanan 1,5 atm selama 20 menit.
11. Memasukan media-media yang sudah steril kedalam plastik dan simpan di
lemari
3.3.5.3 Pembuatan media perlakuan
Pembuatan media perlakuan diawali dengan proses yang sama ketika
membuat media kontrol (MS0+BAP1,5). Akan tetapi untuk media perlakuan pada
larutan MS0+BAP1,5 ditambahkan antibiotika berupa PPM dan/atau propolis
sesuai dengan perlakuan yakni sebesar 0 ml/l, 0,5 ml/l, 1ml/l, 1,5 ml/l dan 2 ml/l.
Penambahan antibiotika ini (PPM dan/atau propolis) dilakukan sebelum larutan
MS0+BAP1,5 diencerkan dengan air aquades hingga volume akhir 1 liter terdapat
pada media yang sudah lengkap.
Setelah larutan media perlakuan selesai dibuat, larutan tersebut lalu diukur
dengan menggunakan pH meter. Pada umumnya pH media yang digunakan yakni
5,6-5,8, bila larutan Ph>5,8 maka dilakukan penambahan HCL dan jika pH< 5,6
maka dilakukan penambahan NAOH. Selanjutnya larutan media ditambahkan
dengan agar-agar sebanyak 6 gr/l dan dimasak hingga mendidih. Setelah itu
larutan dituang kedalam botol-botol kultur sebanyak 10 ml. Lalu botol ditutup
dengan rapat dan beri label. Langkah selanjutnya yaitu melakukan sterilisasi
media tersebut dalam autoclave pada suhu 121⁰C-126⁰C dengan 1,5 atm selama
20 menit.
21
3.3.6 Penanaman
Penanaman eksplan pulai dilakukan di dalam laminar air flow cabinet.
Setelah dilakukan sterilisasi pada eksplan kemudian eksplan dimasukan ke dalam
petridish dan potong bagian tumbuhan yang terkena bahan sterilan lalu tanam
dalam media kultur, setelah selesai penanaman botol kultur diletakan dalam ruang
kultur.
3.4 Pengamatan
Pengamatan dilakukan selama kurang lebih 8 minggu setelah tanam dan
pengambilan data dilakukan setiap satu minggu sekali. Hal yang diamati yaitu :
-
Jumlah eksplan yang hidup ditandai dengan jumlah eksplan yang berwarna
kehijauan.
-
Jumlah eksplan yang mati ditandai dengan jumlah eksplan yang mengalami
browning (pencoklatan) atau berwarna merah dan tidak muncul tunas.
-
Jumlah eksplan yang mengalami kontaminasi ditandai dengan adanya jamur
(cendawan) dan bakteri.
Selain itu, untuk mengetahui pengaruh pemberian antibiotika pada
pertumbuhan eksplan pulai maka dilakukan pengamatan terhadap :
-
Jumlah tunas yang tumbuh
-
Pertambahan tinggi tunas
-
Jumlah daun yang tumbuh
3.5 Rancangan Percobaan
Percobaan ini dilakukan pada tahap inisiasi dengan jenis eksplan pucuk.
Adapun rancangan percobaan ini dirancang dengan menggunakan percobaan
faktorial dua faktor dengan dasar rancangan acak lengkap (RAL). Faktor pertama
adalah jenis antibiotika yang terdiri dari : Plant preservative mixture (PPM) dan
Propolis. Faktor yang kedua yakni konsentrasi yang terdiri dari lima taraf yaitu
0ml/l, 0,5 ml/l, 1 ml/l, 1,5 ml/l, dan 2 ml/l. Dengan demikian terdapat 52 = 25
perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari 10 ulangan sehingga seluruhnya
terdapat 250 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari satu botol
22
yang berisi satu eksplan. Berikut merupakan gambaran interaksi antar faktor dari
percobaan yang dilaksanakan :
Tabel 4. Interaksi faktor jenis antibiotika dengan konsentrasinya
Propolis (ml/l) (B)
PPM (ml/l)
(A)
0 (B0)
0,5 (B1)
1 (B2)
1,5 (B3)
2 (B4)
0 (A0)
A0B0
A0B1
A0B2
A0B3
A0B4
0,5 (A1)
A1B0
A1B1
A1B2
A1B3
A1B4
1 (A2)
A2B0
A2B1
A2B2
A2B3
A2B4
1,5 (A3)
A3B0
A3B1
A3B2
A3B3
A3B4
2 (A4)
A4B0
A4B1
A4B2
A4B3
A4B4
Keterangan : A0B0 = Kontrol
3.6 Analisis Data
Perhitungan parameter kualitatif meliputi persentase kontaminasi oleh
jamur dan bakteri, browning (pencoklatan), dan kematian pada eksplan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
%Tingkat kontaminasi
= ∑eksplan yang terkontaminasi x 100%
N
%Tingkat pencoklatan
= ∑eksplan yang mengalami pencoklatan x 100%
N
%Tingkat kematian
= ∑eksplan yang mengalami kematian x 100%
N
%Tingkat keberhasilan
= ∑eksplan yang bertunas x 100%
N
Keterangan
: N adalah jumlah total eksplan yang tersedia pada setiap perlakuan
Adapun model linear rancangan percobaan yang digunakanyaitu sebagai
berikut (Mattjik & Sumertawijaya 2002) :
Yijk=µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Dimana :
i = 1,2
j = 1,2,3,4,5
k = 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10
23
Keterangan :
Yijk
:
Hasil pengamatan terhadap eksplan Alstonia scholaris (L) R.Br
pada pengaruh jenis antibiotika ke-i, konsentrasi ke-j, dan ulangan
ke-r
µ
:
Nilai tengah umum (rata-rata populasi)
αi
:
Pengaruh perlakuan antibiotika ke-i
βj
:
Pengaruh perlakuan konsentrasi antibiotika ke-j
(αβ)ij
:
Pengaruh interaksi perlakuan antibiotika ke-i dan konsentrasi ke-j
εijk
:
Pengaruh acak pada perlakuan antibiotika ke-i, konsentrasi ke-j dan
ulangan ke-r.
Hipotesis
:
H0 : P1 = P2= Pi= 0
H1 : ada satu Pi ≠ 0
Uji Hipotesis :
Terima H0
=
Perbedaan
taraf
pemberian antibiotika pada kultur tidak
berpengaruh nyata terhadap tingkat kontaminasi pada selang kepercayaan
95% (α=0,05)
Terima H1 = Sekurang-kurangnya ada taraf pemberian antibiotika pada kultur
yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kontaminasi pada selang
kepercayaan 95% (α= 0,05)
Untuk mengetahui pengaruh yang diberikan pada percobaan dilakukan ujiF yang diperoleh dari hasil analisis ragam atau analysis of variance (ANOVA).
Kemudian dibandingkan dengan F tabel pada selang kepercayaan 95% (α=0,05)
dengan kaidah :
1.
Jika F hitung < F tabel maka H0 diterima, H1 ditolak sehingga pemberian
antibiotika pada
kultur tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat
kontaminasi.
2.
Jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak H1 diterima sehingga pemberian
antibiotika pada kultur berpengaruh nyata terhadap tingkat kontaminasi.
24
Jika sidik ragam memberikan hasil berpengaruh nyata, selanjutnya
dilakukan uji Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan. Pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0.
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Tingkat Keberhasilan Kultur
Kultur in vitro pulai merupakan salah satu metode perbanyakan yang
dikembangkan
dalam
upaya
konservasi
tumbuhan
pulai.
Pemanfaatan
perbanyakan tumbuhan pulai menggunakan metode tersebut juga tidak terhindar
dari permasalahan umum yang terjadi dalam kultur in vitro. Adapun permasalahan
tersebut yakni kontaminasi baik yang berasal dari bakteri maupun jamur.
Penambahan antibiotika pada media merupakan salah satu upaya yang dilakukan
untuk mengurangi tingkat kontaminasi yang terjadi pada kultur in vitro.
Antibiotika adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan oleh
organisme hidup, termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik, yang
dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu
spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono & Soekardjo 1995). Adapun jenis
antibiotika yang ditambahkan pada media kultur in vitro dalam penelitian ini yaitu
antibiotika alami (propolis), antibiotika sintetik (Plant Preservative Mixture atau
PPM) dan kombinasi dari kedua antibiotika tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan selama 8 minggu
dengan 25 jenis media perlakuan didapatkan hasil sebagai berikut (Gambar 1).
Adapun persentase keberhasilan tiap perlakuan beragam mulai dari yang terkecil
10% hingga yang tertinggi yaitu 70%. Sedangkan untuk rata-rata persentase
keberhasilan totalnya yaitu 50,60% atau berkisar 126 eksplan yang berhasil
tumbuh. Berdasarkan gambar grafik yang disajikan dapat diketahui bahwa jenis
media dengan persentase keberhasilan tertinggi terdapat pada jenis media
perlakuan PPM:0 ml/l + Propolis:1 ml/l (A0B2), PPM:0,5 ml/l + Propolis:0,5 ml/l
(A1B1), PPM:0,5 ml/l + Propolis: 2 ml/l (A1B4), PPM:1 ml/l + Prop:0ml/l
(A2B0), PPM:1 ml/l + Propolis:0,5 ml/l (A2B1), PPM:1 ml/l + Propolis:1 ml/l
(A2B2), PPM:2 ml/l + Prop:0ml/l (A4B0) (Gambar 2 ).
Perlakuan
26
A4B4
A4B3
A4B2
A4B1
A4B0
A3B4
A3B3
A3B2
A3B1
A3B0
A2B4
A2B3
A2B2
A2B1
A2B0
A1B4
A1B3
A1B2
A1B1
A1B0
A0B4
A0B3
A0B2
A0B1
A0B0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Persentase keberhasilan (%)
Gambar 2 Persentase keberhasilan per media perlakuan.
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual terhadap eksplan, perlakuan
penambahan PPM 0,5ml/l dan propolis 0,5 ml/l (A1B1) memperlihatkan
pertumbuhan dan perkembangan yang lebih baik dari pada 6 jenis perlakuan
dengan persentase keberhasilan tumbuh tertinggi yang lain.
4.2 Perlakuan Penambahan Propolis
Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan penambahan propolis dapat
diketahui bahwa perlakuan penambahan propolis 1 ml/l (A0B2) merupakan salah
satu perlakuan yang menghasilkan persentase keberhasilan tumbuh yang tertinggi.
27
Sedangkan penambahan propolis 2 ml/l (A0B4) merupakan perlakuan dengan
persentase keberhasilan tumbuh yang terendah.
Perlakuan penambahanantibiotika propolis 1 ml/l (A0B2) menghasilkan
eksplan dengan tingkat kontaminasi yang cukup rendah karena di dalam propolis
terdapat kandungan zat aktif yang bersifat antibiotika seperti asam ferulat yang
efektif terhadap bakteri gram positif dan negatif (Winingsih 2004 diacu dalam
Suseno 2009). Dari adanya kandungan zat aktif tersebut maka dengan
penambahan propolis pada media dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang
ada. Selain itu, propolis juga memiliki kandungan senyawa aktif antifungi dan
antiviral yang mampu menghambat pertumbuhan jamur dan serangan virus. Hasil
pengamatan visual terhadap eksplan pada perlakuan menunjukkan adanya respon
yang positif terhadap pertumbuhan eksplan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
pertumbuhan tunas, pertambahan tinggi tunas dan jumlah daun yang tumbuh
memiliki kondisi yang baik. Winingsih (2004) diacu dalam Saputra (2009)
menyatakan bahwa kelebihan propolis sebagai antibiotika alami dibandingkan
dengan bahan sintetik yaitu lebih aman serta dengan efek samping yang relatif
kecil. Hal ini karena propolis memiliki daya selektivitas yang tinggi sebagai
antibiotika sehingga cara kerja propolis yaitu melawan bakteri berbahaya tanpa
membinasakan bakteri yang dibutuhkan.
Persentase keberhasilan kultur yang terendah terdapat pada media
perlakuan penambahan propolis 2 ml/l (A0B4). Rendahnya persentase
keberhasilan pada perlakuan yang diberi penambahan ppm 0ml/l dan propolis
2ml/l diduga karena terlalu tingginya konsentrasi propolis yang ditambahkan ke
dalam media. Darmono (2003) menyatakan bahwa pemberian konsentrasi
antibiotika yang terlalu tinggi pada tanaman dapat menyebabkan terjadinya efek
fitotoksik pada tanaman sehingga dapat menyebabkan kematian. Tingginya
tingkat kontaminasi pada perlakuan ini diduga karena propolis merupakan bahan
antibiotika alami yang bersifat tidak membunuh bakteri dan jamur, namun hanya
bersifat pengendalian atau menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur. Abidin
(2010) menyatakan bahwa propolis pada konsentrasi tertentu memiliki peranan
simbiotik terhadap beberapa spesies bakteri probiotik. Berdasarkan hasil
penelitian Abidin (2010) diketahui bahwa pada konsentrasi 0,6% propolis mampu
28
menstimulasi pertumbuhan bakteri Lactobacillus casei subsp. Rhamnosus dan
aktivitas bakteri Streptococcus thermophillus yaitu dengan menstimulasi produksi
asam laktat. Hasil pengamatan visual pada eksplan yang berhasil steril, ditemukan
bahwa eksplan tersebut tidak mengalami pertumbuhan maupun perkembangan
sehingga tunas yang tumbuh dari eksplan tersebut pun tidak mengalami
perubahan. Fenomena tersebut dapat disebut bahwa eksplan yang ditanam
mengalami stagnasi. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan bahwa stagnasi
pertumbuhan dapat disebabkan oleh penggunaan bahan yang tidak merismatik
atau potensial merismatik. Selain itu juga dapat disebabkan oleh tindakan
sterilisasi yang berlebihan, media yang tidak cocok atau llingkungan yang tidak
mendukung.
4.3
Perlakuan Penambahan Plant Preservative Mixture (PPM)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 4 jenis perlakuan penambahan
antibiotika PPM dihasilkan 2 jenis perlakuan yang memperoleh persentase
keberhasilan tumbuh tertinggi yakni penambahan PPM 1ml/l (A1B0) dan 2 ml/l
(A2B0). Perlakuan A1B0dan A2B0mendapatkan hasil yang baik dengan
persentase keberhasilan yang cukup tinggi (70%). Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan antibiotika PPM dengan konsentrasi 1ml/l dan 2 ml/l pada media
mampu memberikan respon yang positif terhadap adanya kontaminasi pada
eksplan dan pertumbuhan eksplan sendiri. Plant Preservative Mixture (PPM)
merupakan biosida dengan spektrum yang luas sehingga mampu mencegah atau
menurunkan tingkat kontaminasi mikroba pada kultur jaringan. Syatria (2010)
menyatakan bahwa bahan aktif yang ada dalam PPM dapat menghambat
tumbuhnya jamur atau menembus dinding sel bakteri dan menghambat aktivitas
enzim kunci dalam siklus metabolisme sentral seperti siklus asam sitrat dan
transpor elektron. Selain itu juga dapat menghambat proses pengangkutan
monosakarida dan asam amino dari medium ke dalam sel bakteri. Adapun
kandungan zat aktif yang terkandung dalam ppm yakni 5-Chloro-2 methyl-3(CH)-isothiazolone 0,1350 % dan 2-methyl-3(H)-isothiazolone 0,0412% dan
komposisi lain 99,82338%. Syatria (2010) mengemukakan bahwa dosis
29
penggunaan PPM yang baik berdasar rekomendasi pabrik yaitu konsentrasi antara
1-2 ml/l media.
4.4
Perlakuan Kombinasi Propolis dan Plant Preservative Mixture (PPM)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 16 jenis kombinasi propolis
dan PPM dengan masing-masing konsentrasinya didapatkan 4 jenis kombinasi
yang menghasilkan tingkat keberhasilan tumbuh tertinggi yakni kombinasi PPM
0,5 ml/l dan propolis 0,5 ml/l (A1B1), kombinasi PPM 0,5 ml/l dan propolis 2
ml/l (A1B4),kombinasi PPM 1 ml/l dan propolis 0,5 ml/l (A2B1),serta kombinasi
PPM dan propolis 1 ml/l (A2B2)
Penambahan PPM
0,5 ml/l dan propolis 0,5 ml/l
(A1B1) mampu
menghasilkan persentase keberhasilan yang cukup tinggi dikarenakan adanya
kandungan zat aktif pada propolis dikombinasikan dengan kandungan zat
antibiotika yang ada pada PPM dapat menghambat pertumbuhan dari bakteri
maupun jamur.Plant Preservative Mixture (PPM) merupakan antibiotika sintetik
yang memiliki spektrum luas sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri
gram positif maupun gram negatif. Sedangkan propolis merupakan antibiotika
alami yang juga memiliki spektrum luas dan mampu menghambat pertumbuhan
bakteri gram negatif dan positif. Selain itu terdapat kandungan zat antibakteri, di
dalam propolis juga terdapat kandungan zat antifungi dan antiviral. Pada
konsentrasi ini antara antibiotika PPM dan propolis mampu bekerja secara efektif
untuk menghambat pertumbuhan bakteri ataupun jamur. Pengamatan secara
visual, memperlihatkan bahwa hasil pertumbuhan eksplan dalam perlakuan ini
memiliki pertumbuhan yang cukup baik dengan adanya pertambahan tinggi tunas
tiap minggu, jumlah tunas yang tumbuh cukup banyak
Adanya kombinasi perlakuan penambahan PPM 0,5 ml/l dan propolis 2
ml/l (A1B4) dilihat dari perhitungan persentase keberhasilan memiliki persentase
yang cukup tinggi. Hal tersebut diduga pada penambahan antibiotika dengan
perbandingan konsentrasi tersebut mampu menghambat terjadinya pertumbuhan
bakteri, namun masih kurang efektif dalam proses menghambat pertumbuhan
jamur karena 3 eksplan dari 10 eksplan yang terkontaminasi disebabkan oleh
tumbuhnya jamur. Untuk pertumbuhan eksplan pada perlakuan ini sebagian besar
30
kurang terlalu baik karena jumlah tunas dan daun serta pertambahan tinggi tunas
pada tiap minggunya tidak terlalu berbeda.
Perlakuan penambahan PPM 1 ml/l dan propolis 0,5 ml/l (A2B1)
berdasarkan
hasil
perhitungan
persentase
keberhasilan
memperlihatkan
persentase yang cukup baik yakni sebesar 70%. Hal ini, selain disebabkan karena
antibiotika PPM dan propolis yang bersifat antibakteri dan antifungi juga karena
perbandingan konsentrasi yang diberikan masih dalam selang pemberian
konsentrasi yang efektif untuk menghambat terjadinya pertumbuhan bakteri dan
jamur. Adanya kombinasi antibiotika pada konsentrasi tersebut memberikan hasil
yang baik pula pada pertumbuhan eksplan. Kontaminasi yang disebabkan oleh
bakteri dan jamur yang terjadi pada perlakuan ini cukup kecil yakni masingmasing hanya 10%.
Berdasarkan
hasil
perhitungan persentase keberhasilan kombinasi
penambahan PPM dan propolis 1 ml/l (A2B2) pada media juga menghasilkan
persentase keberhasilan yang cukup tinggi. PPM dan propolis merupakan
antibiotika yang sama-sama memiliki spektrum luas sehingga
mampu
menghambat terjadinya pertumbuhan bakteri gram positif dan negatif. Diduga
adanya kombinasi dari antibiotika sintetik dan alami mampu memberikan respon
positif terhadap adanya kontaminasi baik berasal dari bakteri maupun jamur yang
terjadi pada kultur jaringan pulai. Adanya konsentrasi 1 ml/l pada masing-masing
antibiotika yang ditambahkan pada media juga merupakan konsentrasi yang
umumnya
efektif
ditambahkan
pada
media
untuk
kontaminasi. Berdasarkan hasil pengamatan visual
menekan
terjadinya
terhadap eksplan pada
perlakuan ini, walaupun persentase keberhasilannya cukup tinggi namun terdapat
3 eksplan dari 7 eksplan yang steril mengalami stagnasi dalam pertumbuhan. Hal
ini diduga terjadi karena adanya penambahan PPM dan propolis dengan
konsentrasi yang cukup tinggi sehingga membuat media menjadi kurang cocok
untuk
pertumbuhan dari eksplan itu sendiri. Santoso dan Nursandi (2003)
menyatakan bahwa adanya stagnasi pertumbuhan dapat disebabkan karena adanya
tindakan sterilisasi yang berlebihan dan media yang tidak cocok.
31
4.5
Hasil Analisis Sidik Ragam
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95%, menunjukkan
bahwa nilai F hitung lebih kecil dari F tabel, sehingga keputusan yang diambil
adalah menerima hipotesis nol. Hal ini berarti pemberian antibiotika pada kultur
tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kontaminasi yang terjadi pada kultur in
vitro pulai (Tabel 5), sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut wilayah Duncan.
Hal ini diduga karena adanya jumlah ulangan yang tidak terlalu banyak sehingga
kurang memberikan hasil yang optimal. Selain itu, waktu pengamatan 8 minggu
diduga masih belum optimal untuk pengamatan kultur pohon dikarenakan jenis
pohon berkayu merupakan jenis yang pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan
dengan tanaman pertanian.
Tabel 5. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam tingkat kontaminasi pada kultur in
vitro pulai
Signifikansi minggu ke-
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8
0.716
0.906
0.972
0.928
0.882
0.805
0.737
0.737
Keterangan : Signifikansi lebih dari 0,05, tidak berpengaruh nyata
Walaupun berdasarkan hasil analisis sidik ragam pemberian antibiotika
tidak memberikan pengaruh yang nyata, namun hasil pengamatan menunjukkan
bahwa dengan pemberian antibiotika pada konsentrasi tertentu menghasilkan
tingkat keberhasilan kultur steril dan tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan
dengan dengan kontrol. Hal ini, berarti pemberian antibiotika pada konsentrasi
tertentu (PPM:0 ml/l + Propolis:1 ml/l (A0B2), PPM:0,5 ml/l + Propolis:0,5 ml/l
(A1B1), PPM:0,5 ml/l + Propolis: 2 ml/l (A1B4), PPM:1 ml/l + Prop:0ml/l
(A2B0), PPM:1 ml/l + Propolis:0,5 ml/l (A2B1), PPM:1 ml/l + Propolis:1 ml/l
(A2B2), PPM:2 ml/l + Prop:0ml/l (A4B0)) memberikan pengaruh yang positif
terhadap tingkat keberhasilan kultur in vitro pulai.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa
dari total 250 eksplan yang ditanam terdapat 126 eksplan yang tumbuh atau
sekitar 50,4%. Kemudian diikuti oleh kondisi eksplan yang terkontaminasi oleh
jamur sebanyak 74 eksplan dan kontaminasi bakteri sebesar 30 eksplan.
Fenomena pencoklatan juga dapat ditemukan pada penelitian ini dengan jumlah
16 eksplan. Presentase terkecil terdapat pada kondisi eksplan yang gugur. Gugur
32
yang terjadi pada eksplan disini 3 dari 4 eksplan gugur pada minggu ke-5 setelah
tanam dan 1 eksplan gugur pada minggu ke-8 setelah tanam. Hal ini diduga
disebabkan karena terjadinya proses metabolisme yang lebih besar daripada
proses fotosintesis sehingga bahan makanan yang diserap lebih sedikit daripada
yang dibutuhkan.Adapun persentase total kondisi eksplan dari hasil pengamatan
yakni dapat dilihat pada gambar 3 dan gambaran dari eksplan pada gambar 4.
6,40% 1,60%
29,60%
Tumbuh
50,40%
Bakteri
Jamur
12,00%
Browning
Gugur
Gambar 3 Persentase total kondisi eksplan.
(a)
(b)
(d)
Gambar 4
(c)
(e)
Kondisi eksplan; (a) eksplan tumbuh, (b) eksplan terkontaminasi
bakteri, (c) eksplan terkontaminasi jamur, (d) eksplan browning,
(e) eksplan gugur.
33
4.6
Kontaminasi Jamur
Kontaminasi merupakansalah satu gangguan yang umum terjadi pada
kultur jaringan (Santoso & Nursandi 2003). Berdasarkan hasil
penelitian
persentase kontaminasi total yang terjadi sebesar 41,6% yang terbagi ke dalam dua
jenis penyebab kontaminasi yaitu jamur sebesar 29,60% dan bakteri 12%. Dari
total 104 eksplan yang mengalami kontaminasi 72,82% diantaranya disebabkan
karena jamur (Gambar 5).Wudianto (2002) diacu dalam Gunawan
(2007)
menyatakan bahwa jamur atau cendawan pada umumnya berbentuk seperti benang
halus yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Akan tetapi, kumpulan dari
benang halus yang disebut miselium ini dapat dilihat dengan jelas.
Gambar 5 Eksplan terkontaminasi jamur
Kematian eksplan akibat kontaminasi jamur umumnya terjadi karena
pertumbuhan cendawan yang lebih cepat daripada pertumbuhan eksplan sendiri.
Hal ini menyebabkan cendawan dapat mendominasi permukaan media dan dapat
menginvasi (menutupi) eksplan. Adanya dominasi cendawan dalam botol kultur
mengakibatkan eksplan yang ditanam tidak memiliki ruang tumbuh yang cukup
sehingga pertumbuhannya menjadi terhambat dan akhirnya berujung pada
kematian eksplan.Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan dari 74
eksplan yang mengalami kontaminasi karena jamur dapat diketahui bahwa
terdapat 2 jenis warna jamur yang berbeda. Menurut Wudianto (2002) diacu dalam
Gunawan (2007) warna miselium bermacam-macam yaitu ada yang berwarna
putih, cokelat, hitam, merah dan lain sebagainya. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa sebagian besar jenis jamur yang menyebabkan kontaminasi pada penelitian
ini memiliki warna miselium putih. Adapun rinciannya yaitu 82,43% jamurdengan
34
miselium berwarna putih, 17,57 jamur dengan miselium berwarna hitam(Gambar
6).
(a)
(b)
Gambar 6 Kontaminasi jamur; (a)jamur miselium warna putih, (b) jamur
miselium warna hitam.
Dari keseluruhan eksplan yang terkontaminasi jamur 95,95% diantaranya
sumber kontaminan berasal dari eksplan dan sisanya 4,05% berasal dari media.
Gunawan (2007) menyatakan bahwa besarnya sumber kontaminasi yang terjadi
pada eksplan dan tidak terjadinya browning menunjukkan bahwa adanya
kegagalan sterilisasi yang terletak pada ketidakmampuan bahan yang dipakai
untuk menghilangkan kontaminan jamur maupun bakteri.
4.7
Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi yang disebabkan karena bakteri memiliki persentase yang
lebih kecil dibandingkan dengan kontaminasi karena jamur. Dari 104 eksplan
yang terkontaminasi 28,85% disebabkan karena bakteri.Hasil pengamatan visual
menunjukkan
bahwa
eksplan
yang
mengalami
kontaminasi
bakteri
memperlihatkan adanya cairan putih yang keluar seperti lendir dari eksplan dan
menyebar pada media yang berada di sekitar eksplan. Darmono (2003)
menyatakan bahwa kontaminasi bakteri yang menyerang eksplan pada umumnya
ditandai dengan keluarnya cairan berwarna putih keruh seperti susu dan berbau
busuk. Sandra (2002) juga mengemukakan hal yang hampir sama yaitu terjadinya
kontaminasi karena bakteri dapat menyebabkan pembusukan yang ditandai dengan
keluarnya lendir dan bau busuk. Adanya kontaminasi yang berasal dari bakteri
sebagian besar menyebabkan kematian maupun pencoklatan (browning) pada
35
eksplan. Gambar 7 menunjukkan kondisi eksplan yang terkontaminasi oleh
bakteri.
Gambar 7 Eksplan terkontaminasi bakteri
4.8
Waktu Teriadinya Kontaminasi
Waktu terjadinya kontaminasi baik karena jamur maupun bakteri
bervariasi mulai dari minggu 1 hingga ada yang baru terkontaminasi pada minggu
ke-7. Perbedaan waktu kontaminasi ini terjadi karena adanya perbedaan sumber
kontaminan penyebabnya. Santoso dan Nursandi (2003) mengemukakan bahwa
kontaminasi yang terjadi secara bertahap tersebut membuktikan adanya sumber
kontaminan yang tidak hanya berada pada bagian permukaan eksplan saja tetapi
juga berada pada bagian dalam eksplan. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa
terjadinya kontaminasi yang paling cepat yakni pada minggu pertama dengan
jumlah 22 eksplan dari 104 eksplan. Sedangkan waktu kontaminasi terlama yakni
terjadi pada minggu ke-7. Sumber kontaminan yang hanya berada pada bagian
permukaan saja memiliki respon kontaminasi yang sangat cepat yakni dalam
waktu antara 1-2 hari sudah dapat terlihat (Darmono 2003). Infeksi eksternal yang
disebabkan oleh mikroorganisme pada umumnya terjadi karena sterilisasi
permukaan bahan tanaman yang tidak steril (Darmono 2003). Sedangkan bila
sumber kontaminan bersifat internal respon yang muncul dapat terlihat setelah
beberapa hari atau bahkan sampai 1 bulan (Gunawan 2007). Menurut Darmono
(2003) respon kontaminasi internal yang agak lama ini disebabkan oleh adanya
mikroorganisme yang terdapat dalam ruang antar sel memerlukan waktu untuk
keluar dari dalam ruang antar sel. Setelah mikroorganisme keluar maka dapat
menginfeksi semua bagian eksplan.
36
4.9
Persentase Keberhasilan Tumbuh Eksplan Terkontaminasi
Dari keseluruhan eksplan yang terkontaminasi baik jamur maupun bakteri
ditemukan 19 eksplan yang masih dapat bertahan hidup. Dari 19 eksplan
terkontaminasi yang masih dapat tumbuh 2 eksplan diantaranya terkontaminasi
bakteri dan 17 eksplan sisanya terkontaminasi jamur.Hal ini berarti pertumbuhan
eksplan lebih cepat daripada jamur sehingga jamur tidak mampu mendominasi
ataupun menginvasi eksplan dan juga karena jenis jamur yang menginfeksi tidak
bersifat toksik sehingga tidak menyebabkan kematian pada eksplan (Gambar 8).
Selain itu, tumbuhnya eksplan yang sudah terkontaminasi diduga karena mikroba
yang menyerang adalah mikroba sistemik.
(a)
(b)
Gambar 8 Kondisi pertumbuhan eksplan yang terkontaminasi; (a) kontaminasi
jamur, (b) kontaminasi bakteri
4.10 Pencoklatan (Browning)
Pencoklatan merupakan peristiwa alamiah yang umum terjadi pada sistem
biologi tanaman sebagai respon tanaman terhadap pengaruh fisik atau biokimia
seperti pengupasan, memar, pemotongan, serangan penyakit dan kondisi yang
tidak normal (Santoso & Nursandi 2003). Berdasarkan hasil pengamatan yang
telah dilakukan persentase total pencoklatan (browning) yang terjadi pada eksplan
yakni 6,4% atau berkisar 16 eksplan dari 250 eksplan.Tingkat pencoklatan yang
tertinggi berada pada perlakuan pemberian antibiotika propolis dengan
konsentrasi 2 ml/l (A0B4). Pemberian antibiotika propolis dengan konsentrasi
yang cukup tinggi ini diduga mampu membuat eksplan mengalami stress. Collin
dan Edward (1998) diacu dalam Denish (2007) menyatakan bahwa terjadinya
stress yang terjadi pada eksplan (tanaman) dapat membuat eksplan memproduksi
37
senyawa fenolik yang akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya pencoklatan
(browning) pada eksplan. Pengamatan secara visual terhadap fenomena
pencoklatan yang terjadi pada eksplan pulai dimulai dari daerah eksplan yang
paling ujung atau daerah yang terluka akibat pemotongan eksplan kemudian baru
meluas ke daerah sekitarnya (Gambar 9).
(a)
(b)
(c)
Gambar 9Pencoklatan pada eksplan; (a) coklat pada tepi ujung, (b) coklat pada
seluruh ujung permukaan, (c) coklat pada seluruh bagian eksplan.
Adanya perluasan pencoklatan pada eksplan pada akhirnya menyebar
keseluruh tubuh eksplan dan menyebabkan kematian eksplan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Collin dan Edward (1998) diacu dalam Denish (2007) yang
menyatakan bahwa browning merupakan terjadinya warna coklat pada jaringan
yang baru disayat atau dipotong. Terjadinya kematian eksplan akibat browning
disebabkan oleh terjadinya peristiwa oksidasi fenol yang menghasilkan
quinon.Adanya senyawa fenol di dalam tumbuhan dapat menyebabkan
terhambatnya proses pembelahan sel, pemanjangan sel, perkembangan jaringan
dan organ (Prawinata et al. 1995 diacu dalam Hidayat 2009). Santoso dan
Nursandi
(2003)
mengemukakan
bahwa
terjadinya
browning
dapat
mengakibatkan eksplan tidak dapat mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
4.11 Jumlah Tunas
Tunas adalah tumbuhan muda yang baru timbul yang berasal dari tunggul,
ketiak daun, buku batang induk, batang yang ditebang dan lain sebagainya.
Pertumbuhan tunas dalam kegiatan budidaya merupakan salah satu parameter
keberhasilan kegiatan budidaya tumbuhan. Sebagian besar tunas yang tumbuh
38
pada penelitian ini adalah tunas lateral. Tunas lateral adalah tunas yang terbentuk
pada ketiak daun (Gardner et al, 1991 diacu dalam Hidayat 2009). Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa tunas lateral yang muncul dimulai dari adanya
tonjolan pada ketiak daun yang pada umumnya berwarna hijau muda dan
selanjutnya tunas muncul dengan daun yang menguncup dan beberapa hari
kemudian daun tersebut mulai membuka (Gambar 10).
(a)
(b)
Gambar 10 Kondisi tunas; (a) tunas daun kuncup, (b) tunas daun membuka
Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa
pada minggu ke-8 nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel sehingga keputusan
yang diambil adalah menerima hipotesis satu. Hal ini berarti pemberian antibiotika
memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas
pada minggu ke-8
(Tabel 6).
Tabel 6 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam jumlah tunas
1
0.484tn
2
0.531tn
Signifikansi minggu ke3
4
5
6
0.575tn 0.794tn 0.633tn 0.358tn
Perlakuan
Keterangan:
Signifikansi lebih dari 0,05, tidak berpengaruh nyata
tn = Tidak berpengaruh nyata
* = Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%
7
0.103tn
8
0.025*
Selanjutnya, untuk melihat beda antar perlakuan maka dilakukan uji lanjut
wilayah Duncan. Adapun hasil analisis uji lanjut wilayah Duncan terhadap jumlah
tunas dapat dilihat pada Tabel 7.
39
Tabel 7 Hasil uji Duncan rata-rata jumlah tunas
Jenis
media
A0B0
1
1.00b
2
1.00a
3
1.00a
Minggu ke4
5
1.00a
1.00a
6
1.00a
7
1.33a
8
1.67ab
A0B4
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
A1B0
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
3.33b
4.67b
5.00b
5.33c
Keterangan : Nilai dalam kelompok pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan adanya pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang
kepercayaan 95%.
Berdasarkan hasil analisis uji lanjut wilayah Duncan dapat diketahui
bahwa pada minggu ke-8 perlakuan penambahan antibiotika PPM 0,5 ml/l (A1B0)
pada media menghasilkan jumlah tunas tertinggi yakni sebesar 5,33 buah. Apabila
dibandingkan dengan perlakuan kontrol (A0B0) yang memiliki jumlah tunas 1,67
buah, penambahan PPM 0,5 ml/l pada media menunjukkan adanya pengaruh yang
nyata terhadap jumlah tunas yang tumbuh. Adanya penambahan PPM 0,5 ml/l
mampu menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dari pada media yang tidak
ditambahkan PPM 0,5 ml/l. Hal ini diduga penambahan PPM 0,5 ml/l pada media
mampu berinteraksi dengan baik dan ataupun tidak mempengaruhi kinerja hormon
BAP yang ditambahkan pada media untuk merangsang terjadinya pertumbuhan
tunas. Syatria (2010) menyatakan bahwa penggunaan PPM dengan dosis yang
optimum sangat efektif dan tidak mempengaruhi vitro germination, proliferasi
kalus dan regenerasi kalus.
Sedangkan jumlah tunas terendah terdapat pada perlakuan penambahan
propolis 2 ml/l (A0B4), dengan jumlah 1 buah tunas. Jika dibandingkan dengan
perlakuan pada kontrol dengan jumlah tunas 1,67 buah, perlakuan A0B4 yang
menghasilkan tunas satu buah tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang besar
namun tetap lebih kecil. Adanya hal tersebut diduga karena jenis antibiotika dan
konsentrasi yang diberikan kurang sesuai dengan sifat dari eksplan dalam
perlakuan sehingga tidak mampu berinteraksi secara baik dengan hormon BAP
yang ditambahkan pada media. Selain itu, adanya jenisantibiotika dengan
konsentrasi yang cukup tinggi kemungkinan mampu mempengaruhi kerja hormon,
pertumbuhan dan perkembangan eksplan.
40
Jumlah tunas (buah)
6
5
4
3
A0B0
2
A0B4
A1B0
1
0
0
2
4
6
8
10
Minggu ke-
Gambar 11 Rata-rata jumlah tunas per minggu pada perlakuan kontrol (A0B0),
A0B4, dan A1B0.
Gambar 11 menunjukkan rata-rata pertambahan jumlah tunas pada tiga
hasil utama yakni perlakuan kontrol (A0B0), perlakuan dengan jumlah tunas
tertinggi (A1B0) dan perlakuan dengan jumlah tunas terkecil (A0B4). Pada
perlakuan kontrol (A0B0) rata-ratajumlah tunas pada minggu ke 1-6 tetap yakni 1
buah. Kemudian mulai bertambah pada minggu ke 6-8 dengan jumlah tunas ratarata pada akhir pengamatan 1,67 buah. Hal ini, menunjukkan bahwa kerja hormon
yang mempengaruhi pertumbuhan tunas mulai bekerja efektif pada minggu ke-6.
Rata-rata jumlah tunas terbesar terdapat pada perlakuan penambahan PPM 0,5
ml/l (A1B0) dengan jumlah 5,33 buah tunas pada akhir pengamatan. Pada minggu
ke 1-4, jumlah tunas pada perlakuan ini tetap yaitu 1 buah, selanjutnya mengalami
peningkatan pada minggu-minggu selanjutnya. Hal ini, diduga karena kerja
hormon pada perlakuan ini mulai bekerja efektif pada minggu ke 4-8 dan
penambahan antibiotika (PPM) pada perlakuan ini tidak mempengaruhi kerja
hormon serta proses pertumbuhan dan perkembangan dari eksplan. Sedangkan
rata-rata jumlah tunas terkecil terdapat pada perlakuan penambahan propolis 2
ml/l (A0B4). Selain itu, pertumbuhan tunasnya pun tidak mengalami perubahan
sehingga dari awal pengamatan hingga akhir pengamatan jumlah, besar dan tinggi
tunasnya tetap. Hal ini, kemungkinan karena adanya penambahan antibiotika
dengan konsentrasi yang tinggi sehingga mampu mempengaruhi kerja hormon,
pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Faktor lain yang mempengaruhi kondisi
41
tersebut yakni sifat dari eksplan itu sendiri, karena setiap eksplan akan
memberikan reaksi yang berbeda untuk setiap pemberian perlakuan.
4.12 Pertambahan Tinggi Tunas
Pertambahan
tinggi
merupakan
salah
satu
parameter
yang
mengindikasikan adanya pertumbuhan. Pertambahan tinggi eksplan yang terlihat
sudah terlihat pada minggu pertama setelah tanam. Pertambahan tinggi tiap
eksplan berbeda-beda.
0,9
Pertambahan tinggi (cm)
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
A0B0
0,3
A1B0
0,2
A4B3
0,1
0
0
2
4
6
8
10
Minggu ke-
Gambar 12
Rata-rata pertambahan tinggi tunas per minggu pada perlakuan
kontrol (A0B0), A1B0, dan A4B3.
Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa pertambahan tinggi tunas
hampir terjadi pada semua perlakuan, namun dengan rata-rata pertambahan tinggi
yang berbeda-beda. Perlakuan kontrol (A0B0) umumnya mengalami pertambahan
tinggi pada tiap minggunya hingga akhir pengamatan dengan rata-rata
pertambahan yang cukup besar. Kemudian, pada perlakuan penambahan PPM 0,5
ml/l juga menunjukkan adanya pertambahan tinggi tunas yang cukup besar pada
tiap minggunya, namun pada minggu ke 5-7 tunas tidak mengalami pertambahan
tinggi. Kemudian kembali tumbuh pada minggu 7 menuju ke minggu 8. Hal ini,
kemungkinan karena kerja hormon pada minggu ke 5-7 tidak efektif sehingga
tidak mampu menyokong proses pertumbuhan tunas pada perlakuan tersebut.
Sedangkan pada perlakuan penambahan PPM 2 ml/l dan propolis 1,5 ml/l, rata-
42
rata pertambahan tinggi tunasnya kecil dan cenderung tidak tumbuh atau
mengalami stagnasi pada minggu ke 3-5 dan minggu ke 6-7. Hal ini, diduga
karena adanya pemberian antibiotika pada media dengan dosis yang cukup tinggi
sehingga mampu mempengaruhi pertumbuhan eksplan.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih besar
dari nilai F tabel sehingga keputusan yang diambil adalah menerima hipotesis
satu. Hal ini berarti pemberian antibiotika berpengaruh nyata terhadap tinggi
tunaspada minggu ke-2. Namun, pada minggu-minggu berikutnya tidak terlihat
adanya pengaruh nyata dari penambahan antibiotika tersebut (Tabel 8).
Tabel 8 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertambahan tinggi tunas
Signifikansi minggu ke1
2
tn
PPM
0.164
3
0.010*
4
tn
0.601
5
tn
0.843
6
tn
7
tn
0.749
8
tn
0.608
0.500
0.442tn
Keterangan :
Signifikansi lebih dari 0,05, tidak berpengaruh nyata
tn = Tidak berpengaruh nyata
(*) = Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%
Kemudian, untuk melihat beda antar perlakuan dilakukan uji lanjut
wilayah Duncan (Tabel 9).
Tabel 9 Hasil uji Duncan rata-rata pertambahan tinggi tunas
Jenis
Minggu ke-
media
1
2
3
4
5
6
7
8
A0B0
0.05ab
0.28de
0.33ab
0.48a
0.68a
0.75a
0.78a
0.78a
A1B0
0.13c
0.35e
0.38ab
0.52a
0.63a
0.63a
0.63a
0.70a
A4B3
0.05ab
0.05a
0.10a
0.10a
0.10a
0.13a
0.13a
0.18a
Keterangan : Nilai dalam kelompok pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan adanya pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang
kepercayaan 95%.
Hasil analisis uji lanjut wilayah Duncan pada minggu ke-2 setelah tanam
menunjukkan bahwa pertambahan tinggi tunas yang tertinggi terdapat pada
perlakuan penambahan ppm 0,5 ml/l yakni sebesar 0,35 cm. Hal ini karena pada
penggunaan PPM dengan dosis yang optimum sangat efektif dan tidak
mempengaruhi vitro germination, proliferasi kalus dan regenerasi kalus (Syatria
2010). Namun, bila dibandingkan dengan perlakuan pada kontrol (A0B0) dengan
pertambahan sebesar 0,28 cm, pertambahan tinggi tunas pada penambahan
43
PPM0,5 ml/l tidak menunjukkan adanya perbedaan yang terlalu besar atau tidak
berpengaruh nyata.
Sedangkan pertambahan tinggi terendah terdapat pada perlakuan
penambahan PPM 2 ml/l + propolis 1,5 ml/l
(A4B3) pada media dengan
pertambahan tinggi sebesar 0,05 cm. Jika dibandingkan dengan perlakuan pada
kontrol (A0B0) yang memiliki pertambahan tinggi sebesar 0,28 cm, pertambahan
tinggi pada perlakuan penambahan ppm 2 ml/l + propolis 1,5 ml/l menunjukkan
adanya perbedaan yang cukup besar sehingga perlakuan A4B3 memberikan
pengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tunas pulai. Adanya penambahan
PPM 2 ml/l + propolis 1,5 ml/l dapat menghambat pertumbuhan tunas dari
eksplan pulai. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhannya yaitu pertambahan tinggi
tunas hanya terjadi pada minggu ke- 3, 6, dan 8 dengan pertambahan sebesar 0,05
cm, 0,03 cm dan 0,05 cm akhir pengamatan.Hal ini diduga karena adanya
penambahan kombinasi antibiotika ppm dan propolis dengan konsentrasi yang
tinggi sehingga mampu mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan
dari eksplan tersebut. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan bahwa stagnasi
pertumbuhan dapat disebabkan oleh tindakan sterilisasi yang berlebihan yaitu
dengan pemberian antibiotika konsentrasi tinggi. Darmono (2003) menyatakan
bahwa pemberian konsentrasi antibiotika yang terlalu tinggi pada tanaman dapat
menyebabkan terjadinya efek
fitotoksik pada tanaman
sehingga dapat
menyebabkan kematian.
4.13 Jumlah Daun
Daun merupakan batang yang telah mengalami modifikasi yang kemudian
berbentuk pipih dan juga terdiri dari sel-sel serta jaringan seperti yang ada pada
batang. Adapun perbedaan antara batang dan daun yaitu batang mempunyai
pertumbuhan yang tidak terbatas, sedangkan daun memiliki pertumbuhan yang
terbatas yakni daun akan segera terhenti tumbuhnya pada umur tertentu
(Tjitrosomo 1984 diacu dalam Hidayat 2009). Berdasarkan hasil penelitian,
pengamatan jumlah daun sudah dapat terlihat pada minggu pertama, namun
sebagian besar daun dari eksplan yang diamati masih dalam bentuk daun yang
menguncup. Kemudian pada minggu-minggu selanjutnya daun yang masih
44
kuncup akan membuka. Banyaknya jumlah daun pada masing-masing tunas
bervariasi yakni mulai dari kelipatan 3 hingga kelipatan 5.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih besar
dari nilai F tabel sehingga keputusan yang diambil adalah menerima hipotesis
satu. Hal ini berarti pemberian antibiotika berpengaruh nyata terhadap rata-rata
jumlah daun pada minggu ke-7 setelah tanam (Tabel 10).
Tabel 10 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam jumlah daun
Signifikansi minggu ke-
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8
0.307tn
0.448tn
0.546tn
0.989tn
0.570tn
0.202tn
0.050*
0.105tn
Keterangan :
Signifikansi lebih dari 0,05, tidak berpengaruh nyata
tn = Tidak berpengaruh nyata
(*) = Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95%
Kemudian untuk melihat beda antar perlakuan selanjutnya dilakuan uji
lanjut wilayah Duncan (Tabel 11).
Tabel 11 Hasil uji duncan rata-rata jumlah daun
Jenis
media
Minggu ke1
2
3
4
5
6
7
8
A0B0
0.00a
3.00ab
4.00a
5.00a
8.00ab
8.00a
8.67a
10.33ab
A1B0
2.00a
3.00ab
5.00a
6.00a
11.67b
19.67b
23.00b
26.00c
A4B3
0.00a
3.33ab
3.33a
3.33a
3.33a
3.33a
3.33a
3.33a
Keterangan : Nilai dalam kelompok pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan adanya pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang
kepercayaan 95%.
Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata jumlah daun tertinggi berada
pada perlakuan penambahan PPM 0,5 ml/l (A1B0) dengan jumlah 23.00 helai
daun. Bila dibandingkan dengan jumlah daun pada perlakuan kontrol (A0B0),
penambahan PPM 0,5 ml/l pada media juga menunjukkan adanya pengaruh yang
nyata karena jumlah daun pada perlakuan kontrol berjumlah 8.67 helai daun. Hal
ini diduga penambahan PPM konsentrasi 0,5 ml/l tidak mempengaruhi kerja
hormon BAP yang diberikan pada media sehingga proses metabolisme,
pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman tidak terganggu dan membuat
tanaman masih dapat membentuk daun dengan baik. Syatria (2010) menyatakan
45
bahwa penggunaan PPM dengan dosis yang optimum sangat efektif dan tidak
mempengaruhi vitro germination, proliferasi kalus dan regenerasi kalus.
Banyaknya jumlah daun yang tumbuh mengindikasikan bahwa semakin banyak
pula jumlah tunas yang akan tumbuh pada masing-masing ketiak daun.
Sedangkan rata-rata jumlah daun terendah terdapat pada perlakuan
kombinasi antara ppm dan propolis dengan konsentrasi PPM 2 ml/l + propolis 1,5
ml/l (A4B3) dengan jumlah 3,33 helai daun. Apabila dibandingkan dengan jumlah
daun pada perlakuan kontrol yang berjumlah 8,67 helai daun, penambahan PPM
2 ml/l + propolis 1,5 ml/l(A4B3) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan namun jumlah daun yang dihasilkan lebih sedikit. Hal ini mungkin
terjadi karena penambahan antibiotika kombinasi yang cukup tinggi sehingga
dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman
sehingga pembentukan daun hanya dalam jumlah yang sedikit.
30
Jumlah daun (buah)
25
20
15
A0B0
10
A1B0
A4B3
5
0
0
2
4
6
8
10
Minggu ke-
Gambar 13 Rata-rata jumlah daun per minggu pada perlakuan kontrol (A0B0),
A1B0, dan A4B3.
Berdasarkan Gambar 13diatas dapat diketahui bahwa pada perlakuan
A0B0 dan A1B0 jumlah daun pada tiap minggunya mengalami peningkatan.
Sedangkan untuk perlakuan A4B3 jumlah daun pada minggu 1-2 mengalami
peningkatan. Namun, pada minggu selanjutnya yakni minggu 2-8 jumlah daun
tidak mengalami pertambahan jumlah atau mengalami stagnasi.Hal ini diduga
terjadi karena adanya penambahan ppm dan propolis dengan konsentrasi yang
46
cukup tinggi sehingga membuat media menjadi kurang cocok untuk pertumbuhan
dari eksplan itu sendiri. Santoso dan Nursandi (2003) menyatakan bahwa adanya
stagnasi pertumbuhan dapat disebabkan karena adanya tindakan sterilisasi yang
berlebihan dan media yang tidak cocok.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada perlakuan penambahan
propolis 1 ml/l (A0B2), PPM 0,5 ml/l + propolis 1,5 ml/l (A1B3), PPM 1,5 ml/l +
propolis 1 ml/l (A3B2), PPM 2 ml/l + propolis 0,5 ml/l (A4B1) dan PPM 2 ml/l +
propolis 2 ml/l (A4B4) di minggu-minggu tertentu mengalami penurunan jumlah
daun. Adanya penurunan daun ini disebabkan oleh terjadinya kerontokan daun.
Fenomena kerontokan daun ini juga terdapat pada perlakuan-perlakuan yang lain.
Daun yang akan rontok mengalami perubahan warna daun yaitu dari hijau
menjadi kuning dan setelah semua bagian daun berwarna kuning daun akan
terlepas dari batang. Rontoknya daun pada eksplan diduga karena umur daun yang
sudah mencapai batasnya (Gambar 10 ). Hal ini sesuai dengan pernyataan
(Tjitrosomo 1984 diacu dalam Hidayat 2009) bahwa daun memiliki pertumbuhan
yang terbatas yakni daun akan segera terhenti tumbuhnya pada umur tertentu.
Andaryani (2010) menyatakan bahwa kerontokan daun disebabkan oleh
penyerapan nutrisi yang tidak optimal karena belum terbentuk akar sehingga
nutrisi yang dibutuhkan tidak tercukupi.
Gambar 14 Eksplan yang mengalami kerontokan daun.
47
4.14 Manfaat Penggunaan Antibiotika dalam Kultur in Vitro
Penggunaan antibiotika dalam kultur in vitro secara umum dapat
digunakan pada saat proses karantina (sterilisasi eksternal) ataupun dimasukan ke
dalam media tanam (sterilisasi internal). Adapun tujuan utama penggunaan
antibiotika yaitu untuk proses sterilisasi sehingga nantinya dapat diperoleh eksplan
yang steril. Penambahan antibiotika propolis dan Plant Preservative Mixture
(PPM) dalam penelitian ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya kontaminasi
pada kultur in vitro pulai. Hal ini, karena propolis dan PPM memiliki sifat
antifungi dan antibakteri sehingga mampu menghambat tumbuhnya bakteri dan
jamur. Adanya tujuan tersebut dapat memberikan manfaat berupa peningkatan
jumlah eksplan yang steril pada tahap inisiasi sehingga mampu meningkatkan
peluang keberhasilan pada tahap selanjutnya (subkultur) pada kegiatan kultur in
vitro pulai. Selain itu, Syatria (2010) juga menyatakan bahwa penggunaan PPM
dengan dosis yang optimum sangat efektif dan tidak mempengaruhi vitro
germination, proliferasi kalus dan regenerasi kalus. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan PPM dalam kultur in vitro relatif aman. Sedangkan, propolis
merupakan antibiotika alami yang bekerja melawan bakteri berbahaya tanpa
membinasakan bakteri yang dibutuhkan karena propolis memiliki daya selektivitas
yang tinggi sebagai antibiotika (Winingsih 2004 diacu dalam Saputra 2009). Oleh
karena itu, propolis juga aman digunakan serta dengan efek samping yang lebih
kecil.
48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemberian antibiotika PPM, propolis beserta kombinasinya dengan
konsentrasi 0 ml/l, 0,5 ml/l, 1ml/l, 1,5 ml/l dan 2 ml/l pada kultur
berdasarkan hasil analisis sidik ragam tidak berpengaruh nyata terhadap
tingkat kontaminasi pada kultur in vitro pulai.
2. Jenis antibiotika beserta konsentrasinya yang paling sesuai pada kultur in
vitro pulai adalah dengan penambahan PPM0,5 ml/l dan propolis 0,5 ml/l
(A1B1).
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai penggunaan perlakuan
PPM: 0 ml/l + Propolis:1 ml/l (A0B2), PPM:0,5 ml/l + Propolis:0,5 ml/l
(A1B1), PPM:0,5 ml/l + Propolis: 2 ml/l (A1B4), PPM:1 ml/l + propolis: 0
ml/l (A2B0), PPM:1 ml/l + Propolis:0,5 ml/l (A2B1), PPM:1 ml/l +
Propolis: 1 ml/l (A2B2) dan PPM: 2 ml/l + propolis 0 ml/l(A4B0) dengan
meningkatkan jumlah ulangan untuk mendapatkan hasil yang lebih
optimal.
2. Perlu dilakukannya penelitian lanjutan dengan penggunaan Plant
Preservative Mixture (PPM) dan propolis pada kisaran 0,5 – 1 ml/l.
49
DAFTAR PUSTAKA
Abidin S. 2010. Peran propolis Trigona spp. asal Pandeglang terhadap tiga
bakteri asam laktat [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Acquaah G. 2004. Understanding Biotecthnology.
Educatin,Inc
New Jersey : Pearson
Adiprabowo H. 2008. Potensi antibakteri campuran propolis Trigona spp. dan
garam kelapa terhadap Streptococcus mutans [skripsi]. Bogor : Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Andaryani S. 2010. Kajian penggunaan berbagai konsentrasi BAP dan 2,4-D
terhadap induksi kalus jarak pagar (Jatropha curcas L.) secara in vitro
[skripsi]. Surakarta : Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Anggraini AD. 2006. Potensi propolis lebah madu Trigona spp. sebagai bahan
antibakteri [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Institut Pertanian Bogor.
Dalimartha S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1. Jakarta : Trubus
Agriwidya.
Darmono DW. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Denish A. 2007. Percobaan perbanyakan vegetatif kemaitan (Lunasia amara
Blanco) melalui kultur jaringan [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor.
Fitriannur. 2009. Aktivitas antibakteri propolis lebah Trigona spp. asal
Pandeglang terhadap Enterobacter sakazakii [skripsi]. Bogor : Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Gale EF, Cundliffe E, Reynolds PE, Richmond MH, Waring MJ. 1972. The
Molecular Basis of Antibiotic Action. Inggris : John Wiley & Sons Ltd.
Gojmerac WL. 1983. Bees, Beekeeping, Honey and Pollination. Amerika : The
Avi Publishing Company, Inc.
50
Gunawan LW. 1995. Teknik Kultur in vitro dalam Hortikultura. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Gunawan I. 2007. Perlakuan sterilisasi eksplan anggrek kuping gajah
(Bulbophyllum beccarii Rehb.f) dalam kultur in vitro [skripsi]. Bogor :
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Hendaryono DPS, Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan : Pengenalan dan
Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif- Modern. Yogyakarta :
Kanisius.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Terjemahan) Jilid III. Jakarta :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Hidayat O. 2009. Kajian penggunaan hormon IBA, BAP, dan Kinetin terhadap
multiplikasi tunas tumbuhan penghasil gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg)
Domke) secara in vitro [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Hikmat A, Zuhud EAM. 2010. Fieldguide Tumbuhan Obat di Kampus Konservasi
Keanekaragaman
Hayati
IPB
Darmaga.
Bagian
Konservasi
Keanekaragaman Tumbuhan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
IFSP. 2001. Informasi Singkat Benih (Alstonia scholaris (L) R.Br. Direktorat
Perbenihan Tumbuhan Hutan No 2, Maret 2001. Departemen Kehutanan
Indonesia.
Isnaeni N. 2008. Pengaruh TDZ terhadap inisiasi dan multiplikasi kultur in vitro
pisang raja bulu (Musa Paradisiaca L. AAB Group) [skripsi]. Bogor :
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI]. 2001. Tumbuhan Langka
Indonesia. Bogor : Puslitbang Biologi LIPI.
Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 2005. Atlas Kayu Indonesia.
Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Mattjik AA, Sumertasijaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab Jilid I. Bogor : IPB Press.
51
Rifai MA, Rugayah, Widjaja EA. 1992. Tiga Puluh Tumbuhan Obat Langka
Indonesia. Floribunda 2:1-28
Sandra E. 2010. Mencegah kontaminasi dalam kultur jaringan.
http://eshaflora.blogspot.com/2010/08/kontaminasi-dalam-pengembangankultur.html [Kamis, 16 September 2010]
Santoso U, Nursandi F. 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan. Malang : UMM Press.
Saputra I. 2009. Aktivitas antibakteri mikrokapsulasi propolis Trigona spp.
Pandeglang setelah terpapar cairan rumen sapi [skripsi]. Bogor : Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Setyowati FM, Wardah. 2007. Keanekaragaman tumbuhan obat masyarakat talang
mamak di sekitar taman nasional bukit tigapuluh, Riau. Biodiversitas 8 (3) :
228-232.
Siswandono, Soekardjo B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya : Airlangga
University Press.
Sutomo, Putri DMS. 2005. Alstonia scholaris (L) R.Br koleksi kebun raya ‘Eka
Karya” Bali. Laporan Teknik Program Perlindungan dan Konservasi
Sumberdaya Alam Kebun Raya “Eka Karya” Bali.
Suseno D. 2009. Aktivitas antibakteri propolis Trigona spp. pada dua konsentrasi
berbeda terhadap cairan rumen sapi [skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Syatria N. 2010. Plant Preservative Mixture (PPM) bahan kimia pengurang
Kontaminasi Mikroba. http://tissuecultureandorchidologi.blogspot.com
/2010/04/plant-preservative-mixtur-ppm.html [Kamis, 16 September 2010].
Yuniarti T. 2008. Ensiklopedia Tanaman Obat Tradisional. Yogyakarta :
MedPress
52
LAMPIRAN
53
Lampiran 1. Kondisi eksplan pada akhir pengamatan
A0B0
A0B1
A0B2
A0B3
A0B4
A1B2
A1B3
A1B4
A1B0
A1B1
A2B0
A2B1
A2B2
A3B0
A3B1
A3B2
A3B3
A4B2
A4B3
A4B0
A4B1
A2B3
A2B4
A3B4
A4B4
54
Lampiran 2 Rekapitulasi data pengamatan eksplan pulai (A.scholaris)
Jenis
media
A0B0
A0B1
A0B2
A0B3
A0B4
A1B0
A1B1
A1B2
A1B3
A1B4
A2B0
A2B1
A2B2
A2B3
A2B4
A3B0
A3B1
A3B2
A3B3
A3B4
A4B0
A4B1
A4B2
A4B3
A4B4
Total
∑ tumbuh
5
4
7
3
1
5
7
4
3
7
7
7
7
5
4
6
5
6
3
3
7
6
4
6
4
126
∑ kontam
bakteri
2
4
1
1
1
0
1
1
3
0
0
1
0
1
3
2
0
1
1
2
2
1
1
0
1
30
∑ kontam
jamur
2
2
2
4
4
4
2
4
4
3
3
1
2
3
3
2
4
3
3
4
1
2
5
3
4
74
∑
browning
0
0
0
2
4
1
0
1
0
0
0
1
1
1
0
0
1
0
2
0
0
1
0
0
1
16
Lampiran 3 Persentase kondisi eksplan pulai (A. scholaris)
Kondisi eksplan
Tumbuh
Kontaminasi bakteri
Kontaminasi jamur
Browning
Gugur
Persentase (%)
50,40
12,00
30,0
6,40
1,60
∑ gugur
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
1
0
4
55
Lampiran 4 Jumlah eksplan pulai kontaminasi
Jenis Media
Bakteri
∑ eksplan terkontaminaasi
Jamur dengan warna miselium
Hitam
Putih
2
0
A0B0
2
A0B1
4
0
2
A0B2
1
0
2
A0B3
1
2
2
A0B4
1
1
3
A1B0
0
1
3
A1B1
1
0
2
A1B2
1
1
3
A1B3
3
0
4
A1B4
0
1
2
A2B0
0
0
3
A2B1
1
0
1
A2B2
0
1
1
A2B3
1
0
3
A2B4
3
1
2
A3B0
2
0
2
A3B1
0
0
4
A3B2
1
0
3
A3B3
1
0
3
A3B4
2
0
4
A4B0
2
0
1
A4B1
1
0
2
A4B2
1
2
3
A4B3
0
0
3
A4B4
1
1
3
Total
30
13
61
56
Lampiran 5 Rekapitulasi rata-rata jumlah tunas
Minggu ke-
Jenis
media
1
2
3
4
5
6
7
8
A0B0
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,33
1,67
A0B1
1,00
1,00
1,00
1,33
1,33
1,33
1,33
1,33
A0B2
1,00
1,00
1,00
1,00
2,00
2,00
2,33
3,00
A0B3
0,67
1,67
1,67
1,67
1,67
1,67
1,67
2,00
A0B4
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
A1B0
1,00
1,00
1,00
1,00
3,33
4,67
5,00
5,33
A1B1
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,00
2,00
2,00
A1B2
1,00
1,00
1,00
2,00
2,33
2,33
2,33
2,33
A1B3
1,00
1,67
1,67
1,67
1,67
1,67
1,67
1,67
A1B4
1,00
1,00
1,00
2,00
2,00
2,00
2,00
2,00
A2B0
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
A2B1
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,33
3,33
4,00
A2B2
1,00
1,00
1,00
2,00
2,00
2,67
3,00
4,00
A2B3
1,00
1,00
1,00
1,00
1,67
2,00
2,00
2,00
A2B4
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,67
A3B0
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,33
1,33
1,67
A3B1
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
A3B2
1,00
1,00
2,00
2,00
2,00
2,00
2,33
2,67
A3B3
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,33
2,33
3,00
A3B4
1,00
1,00
1,00
2,00
2,33
2,33
1,33
1,67
A4B0
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
A4B1
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
A4B2
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
A4B3
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
A4B4
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
1,00
2,00
2,00
57
Lampiran 6 Rekapitulasi rata-rata pertambahan tinggi tunas
Minggu ke-
Jenis
media
1
2
3
4
5
6
7
8
A0B0
0.05
0.28
0.33
0.48
0.68
0.75
0.78
0.78
A0B1
0.10
0.20
0.30
0.33
0.40
0.52
0.65
0.68
A0B2
0.05
0.20
0.23
0.32
0.35
0.37
0.43
0.47
A0B3
0.05
0.13
0.17
0.20
0.20
0.20
0.22
0.27
A0B4
0.04
0.07
0.20
0.25
0.28
0.28
0.28
0.28
A1B0
0.13
0.35
0.38
0.52
0.63
0.63
0.63
0.70
A1B1
0.05
0.08
0.23
0.43
0.55
0.63
0.70
0.80
A1B2
0.05
0.23
0.45
0.50
0.55
0.57
0.58
0.58
A1B3
0.02
0.12
0.32
0.50
0.68
0.73
0.77
0.77
A1B4
0.05
0.12
0.27
0.32
0.35
0.42
0.42
0.42
A2B0
0.07
0.18
0.35
0.57
0.63
0.77
0.80
0.83
A2B1
0.07
0.20
0.32
0.33
0.38
0.47
0.53
0.57
A2B2
0.04
0.18
0.37
0.42
0.38
055
0.58
0.68
A2B3
0.05
0.13
0.18
0.27
0.39
0.30
0.30
0.32
A2B4
0.08
0.12
0.18
0.28
0.33
0.35
0.40
0.42
A3B0
0.08
0.23
0.42
0.43
0.47
0.47
0.47
0.50
A3B1
0.07
0.23
0.33
0.62
0.68
0.68
0.72
0.77
A3B2
0.05
0.13
0.18
0.18
0.18
0.20
0.20
0.23
A3B3
0.05
0.08
0.20
0.27
0.38
0.47
0.57
0.73
A3B4
0.07
0.25
0.30
0.30
0.32
0.33
0.33
0.35
A4B0
0.05
0.15
0.25ab
0.32a
0.38
0.50
0.58
0.68
A4B1
0.07
0.17
0.23ab
0.25a
0.25
0.27
0.28
0.30
A4B2
0.07
0.20
0.22ab
0.23a
0.23
0.23
0.27
0.30
A4B3
0.05
0.05
0.10
0.10
0.10
0.13
0.13
0.18
A4B4
0.05
0.12
0.18ab
0.40a
0.63
0.65
0.67
0.67
58
Lampiran7 Rekapitulasi hasil rata-rata jumlah daun
Minggu ke-
Jenis
media
1
2
3
4
5
6
7
8
A0B0
0.00
3.00
4.00
5.00
8.00
8.00
8.67
10.33
A0B1
1.00
3.00
5.00
7.00
9.00
10.00
12.67
12.33
A0B2
0.00
3.00
3.67
3.00
6.00
8.67
5.67
9.67
A0B3
0.00
4.00
4.00
4.33
6.00
8.00
8.67
9.67
A0B4
0.00
3.00
4.00
5.00
5.00
5.00
5.00
5.00
A1B0
2.00
3.00
5.00
6.00
11.67
19.67
23.00
26.00
A1B1
0.00
3.00
3.00
5.00
6.33
7.00
9.00
10.00
A1B2
0.00
3.33
4.33
4.33
8.67
12.67
13.33
13.33
A1B3
0.00
2.00
5.00
6.00
5.00
4.00
4.00
4.00
A1B4
0.00
3.00
3.00
4.00
6.00
6.00
6.33
7.33
A2B0
1.00
2.00
4.00
5.33
7.00
8.67
10.00
9.00
A2B1
0.00
3.00
5.00
5.00
6.00
10.67
14.00
18.67
A2B2
2.00
3.00
5.00
5.00
8.00
10.33
11.33
15.00
A2B3
0.00
3.00
3.00
3.67
3.00
5.67
6.33
7.67
A2B4
1.00
3.00
3.00
5.00
6.00
6.00
6.00
9.00
A3B0
1.00
3.33
4.00
4.67
6.67
5.67
8.00
10.00
A3B1
1.00
3.00
4.00
7.33
8.33
8.67
9.67
9.67
A3B2
0.00
3.00
5.33
6.00
7.00
7.00
6.67
8.00
A3B3
0.00
2.00
3.33
4.33
6.67
12.67
13.67
15.67
A3B4
1.00
3.00
3.00
5.33
8.00
8.33
8.67
11.00
A4B0
0.00
3.00
3.00
4.00
4.00
5.00
5.00
6.00
A4B1
1.00
3.00
3.00
4.00
3.33
3.00
5.00
5.00
A4B2
0.00
3.00
3.00
4.00
5.00
5.00
5.33
6.33
A4B3
0.00
3.33
3.33
3.33
3.33
3.33
3.33
3.33
A4B4
0.00
3.00
3.00
4.00
4.33
4.00
4.00
4.67
59
Lampiran 8 Hasil analisis sidik ragam tingkat kontaminasi pada kultur in vitro pulai
Sumber variasi
Minggu1
Minggu2
Minggu3
Minggu4
Minggu5
Minggu6
Minggu7
Minggu8
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Jumlah
kuadrat
4.880
12.667
17.547
8.187
28.000
36.187
8.347
36.000
44.347
9.947
36.000
45.947
12.480
40.667
53.147
13.413
38.667
52.080
14.053
37.333
51.387
14.053
37.333
51.387
df
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
Kuadrat
tengah
.203
.253
F
Sig.
.803
.716
.341
.560
.609
.906
.348
.720
.483
.972
.414
.720
.576
.928
.520
.813
.639
.882
.559
.773
.723
.805
.586
.747
.784
.737
.586
.747
.784
.737
60
Lampiran 9 Hasil uji analisis sidik ragam rata-rata jumlah tunas
Sumber variasi
Minggu1
Minggu2
Minggu3
Minggu4
Minggu5
Minggu6
Minggu7
Minggu8
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Jumlah
kuadrat
.320
.667
.987
2.453
5.333
7.787
5.013
11.333
16.347
12.667
36.000
48.667
27.920
66.667
94.587
50.880
94.667
145.547
64.053
87.333
151.387
88.880
96.000
184.880
df
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
Kuadrat
tengah
.013
.013
F
Sig.
1.000
.484
.102
.107
.958
.531
.209
.227
.922
.575
.528
.720
.733
.794
1.163
1.333
.872
.633
2.120
1.893
1.120
.358
2.669
1.747
1.528
.103
3.703
1.920
1.929
.025
61
Lampiran10 Hasil uji Duncan rata-rata jumlah tunas
Minggu ke-
Jenis
media
1
2
3
4
5
6
7
8
A0B0
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.33a
1.67ab
A0B1
1.00b
1.00a
1.00a
1.33a
1.33ab
1.33a
1.33a
1.33ab
A0B2
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
2.00ab
2.00ab
2.33a
3.00abc
A0B3
0.67a
1.67b
1.67ab
1.67a
1.67ab
1.67a
1.67a
2.00ab
A0B4
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
A1B0
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
3.33b
4.67b
5.00b
5.33c
A1B1
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
2.00ab
2.00a
2.00ab
A1B2
1.00b
1.00a
1.00a
2.00a
2.33ab
2.33ab
2.33a
2.33ab
A1B3
1.00b
1.67b
1.67ab
1.67a
1.67ab
1.67a
1.67a
1.67ab
A1B4
1.00b
1.00a
1.00a
2.00a
2.00ab
2.00ab
2.00a
2.00ab
A2B0
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
A2B1
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
2.33ab
3.33ab
4.00bc
A2B2
1.00b
1.00a
1.00a
2.00a
2.00ab
2.67ab
3.00ab
4.00bc
A2B3
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.67ab
2.00ab
2.00a
2.00ab
A2B4
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.67ab
A3B0
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.33a
1.33a
1.67ab
A3B1
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
A3B2
1.00b
1.00a
2.00b
2.00a
2.00ab
2.00ab
2.33a
2.67ab
A3B3
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
2.33ab
2.33a
3.00abc
A3B4
1.00b
1.00a
1.00a
2.00a
2.33ab
2.33ab
1.33a
1.67ab
A4B0
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
A4B1
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
A4B2
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
A4B3
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
A4B4
1.00b
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
1.00a
2.00a
2.00ab
Keterangan : Nilai dalam kelompok pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan adanya
pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
62
Lampiran 11 Hasil uji analisis sidik ragam rata-rata pertambahan tinggi tunas
Minggu1
Minggu2
Minggu3
Minggu4
Minggu5
Minggu6
Minggu7
Minggu8
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Jumlah
kuadrat
.035
.052
.087
.365
.350
.715
.550
1.273
1.823
1.201
3.658
4.859
2.168
5.837
8.004
2.549
5.943
8.492
2.894
6.117
9.010
3.172
6.372
9.544
df
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
Kuadrat
tengah
.001
.001
F
Sig.
1.385
.164
.015
.007
2.171
.010
.023
.025
.900
.601
.050
.073
.684
.843
.090
.117
.774
.749
.106
.119
.893
.608
.121
.122
.986
.500
.132
.127
1.037
.442
63
Lampiran 12 Hasil uji Duncan rata-rata pertambahan tinggi tunas
Jenis
Minggu ke-
media
1
2
3
4
5
6
7
8
A0B0
0.05ab
0.28de
0.33ab
0.48a
0.68a
0.75a
0.78a
0.78a
A0B1
0.10bc
0.20abcde
0.30ab
0.33a
0.40a
0.52a
0.65a
0.68a
A0B2
0.05ab
0.20abcde
0.23ab
0.32a
0.35a
0.37a
0.43a
0.47a
A0B3
0.05ab
0.13abcd
0.17ab
0.20ab
0.20a
0.20a
0.22a
0.27a
A0B4
0.04ab
0.07ab
0.20ab
0.25a
0.28a
0.28a
0.28a
0.28a
A1B0
0.13c
0.35e
0.38ab
0.52a
0.63a
0.63a
0.63a
0.70a
A1B1
0.05ab
0.08abc
0.23ab
0.43a
0.55a
0.63a
0.70a
0.80a
A1B2
0.05ab
0.23bcde
0.45b
0.50a
0.55a
0.57a
0.58a
0.58a
A1B3
0.02a
0.12abcd
0.32ab
0.50a
0.68a
0.73a
0.77a
0.77a
A1B4
0.05ab
0.12abcd
0.27ab
0.32a
0.35a
0.42a
0.42a
0.42a
A2B0
0.07ab
0.18abcd
0.35ab
0.57a
0.63a
0.77a
0.80a
0.83a
A2B1
0.07ab
0.20abcde
0.32ab
0.33a
0.38a
0.47a
0.53a
0.57a
A2B2
0.04ab
0.18abcd
0.37ab
0.42a
0.38a
055a
0.58a
0.68a
A2B3
0.05ab
0.13abcd
0.18ab
0.27a
0.39a
0.30a
0.30a
0.32a
A2B4
0.08abc
0.12abcd
0.18ab
0.28a
0.33a
0.35a
0.40a
0.42a
A3B0
0.08abc
0.23bcde
0.42ab
0.43a
0.47a
0.47a
0.47a
0.50a
A3B1
0.07ab
0.23bcde
0.33ab
0.62a
0.68a
0.68a
0.72a
0.77a
A3B2
0.05ab
0.13abcd
0.18ab
0.18a
0.18a
0.20a
0.20a
0.23a
A3B3
0.05ab
0.08abc
0.2ab
0.27a
0.38a
0.47a
0.57a
0.73a
A3B4
0.07ab
0.25cde
0.30ab
0.30a
0.32a
0.33a
0.33a
0.35a
A4B0
0.05ab
0.15abcd
0.25ab
0.32a
0.38a
0.50a
0.58a
0.68a
A4B1
0.07ab
0.17abcd
0.23ab
0.25a
0.25a
0.27a
0.28a
0.30a
A4B2
0.07ab
0.20abcde
0.22ab
0.23a
0.23a
0.23a
0.27a
0.30a
A4B3
0.05ab
0.05a
0.10a
0.10a
0.10a
0.13a
0.13a
0.18a
A4B4
0.05ab
0.12abcd
0.18ab
0.40a
0.63a
0.65a
0.67a
0.67a
Keterangan : Nilai dalam kelompok pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan adanya
pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang
64
Lampiran 13 Hasil analisis rata-rata jumlah daun
Minggu1
Minggu2
Minggu3
Minggu4
Minggu5
Minggu6
Minggu7
Minggu8
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Model
Galat
Total
Jumlah
kuadrat
30.480
54.000
84.480
12.880
26.000
38.880
48.747
107.333
156.080
80.747
404.000
484.747
296.667
668.000
964.667
967.120
1528.000
2495.120
1383.333
1661.333
3044.667
1838.000
2518.667
4356.667
df
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
24
50
74
Kuadrat
tengah
1.270
1.080
F
Sig.
1.176
.307
.537
.520
1.032
.448
2.031
2.147
.946
.546
3.364
8.080
.416
.989
12.361
13.360
.925
.570
40.297
30.560
1.319
.202
57.639
33.227
1.735
.050
76.583
50.373
1.520
.105
65
Lampiran 14 Hasil uji duncan rata-rata jumlah daun
Minggu ke-
Jenis
1
2
3
4
5
6
7
8
A0B0
0.00a
3.00ab
4.00a
5.00a
8.00ab
8.00a
8.67a
10.33ab
A0B1
1.00a
3.00ab
5.00a
7.00a
9.00ab
10.00ab
12.67ab
12.33ab
A0B2
0.00a
3.00ab
3.67a
3.00a
6.00ab
8.67a
5.67a
9.67ab
A0B3
0.00a
4.00b
4.00a
4.33a
6.00ab
8.00a
8.67a
9.67ab
A0B4
0.00a
3.00ab
3.00a
5.00a
5.00ab
5.00a
5.00a
5.00ab
A1B0
2.00a
3.00ab
5.00a
6.00a
11.67b
19.67b
23.00b
26.00c
A1B1
0.00a
3.00ab
3.00a
5.00a
6.33ab
7.00a
9.00a
10.00ab
A1B2
0.00a
3.33ab
4.33a
4.33a
8.67ab
12.67ab
13.33ab
13.33abc
A1B3
0.00a
2.00a
5.00a
6.00a
5.00ab
4.00a
4.00a
4.00a
A1B4
0.00a
3.00ab
3.00a
4.00a
6.00ab
6.00a
6.33a
7.33ab
A2B0
1.00a
2.00a
4.00a
5.33a
7.00ab
8.67a
10.00a
9.00ab
A2B1
0.00a
3.00ab
5.00a
5.00a
6.00ab
10.67ab
14.00ab
18.67bc
A2B2
2.00a
3.00ab
5.00a
5.00a
8.00ab
10.33ab
11.33a
15.00abc
A2B3
0.00a
3.00ab
3.00a
3.67a
3.00a
5.67a
6.33a
77.67ab
A2B4
1.00a
3.00ab
3.00a
5.00a
6.00ab
6.00a
6.00a
9.00ab
A3B0
1.00a
3.33ab
4.00a
4.67a
6.67ab
5.67a
8.00a
10.00ab
A3B1
1.00a
3.00ab
4.00a
7.33a
8.33ab
8.67a
9.67a
9.67ab
A3B2
0.00a
3.00ab
5.33a
6.00a
7.00ab
7.00a
6.67a
8.00ab
A3B3
0.00a
2.00a
3.33a
4.33a
6.67ab
12.67ab
13.67ab
15.67abc
A3B4
1.00a
3.00ab
3.00a
5.33a
8.00ab
8.33a
8.67a
11.00ab
A4B0
0.00a
3.00ab
3.00a
4.00a
4.00a
5.00a
5.00a
6.00ab
A4B1
1.00a
3.00ab
3.00a
4.00a
3.33a
3.00a
5.00a
5.00ab
A4B2
0.00a
3.00ab
3.00a
4.00a
5.00ab
5.00a
5.33a
6.33ab
A4B3
0.00a
3.33ab
3.33a
3.33a
3.33a
3.33a
3.33a
3.33a
A4B4
0.00a
3.00ab
3.00a
4.00a
4.33a
4.00a
4.00a
4.67ab
media
Keterangan : Nilai dalam kelompok pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan adanya
pengaruh yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
66
Jumlah eksplan pulai (A. scholaris) yang tumbuh (%)
100%
AxBy =
A0B0 =
x 100% = 50%
A2B3 =
x 100% = 50%
A0B1 =
x 100% = 40%
A2B4 =
x 100% = 40%
A0B2 =
x 100% = 70%
A3B0 =
x 100% = 60%
A0B3 =
x 100% = 30%
A3B1 =
x 100% = 50%
A0B4 =
x 100% = 10%
A3B2 =
x 100% = 60%
A1B0 =
x 100% = 50%
A3B3 =
x 100% = 30%
A1B1 =
x 100% = 70%
A3B4 =
x 100% = 30%
A1B2 =
x 100% = 40%
A4B0 =
x 100% = 70%
A1B3 =
x 100% = 30%
A4B1 =
x 100% = 60%
A1B4 =
x 100% = 70%
A4B2 =
x 100% = 40%
A2B0 =
x 100% = 70%
A4B3 =
x 100% = 60%
A2B1 =
x 100% = 70%
A4B4 =
x 100% = 40%
A2B2 =
x 100% = 70 %
% Total =
=
=
,
%
67
Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) browning (%)
100%
AxBy =
A0B0 =
x 100% = 0%
A2B3 =
x 100% = 10%
A0B1 =
x 100% = 0%
A2B4 =
x 100% = 0%
A0B2 =
x 100% = 0%
A3B0 =
x 100% = 0%
A0B3 =
x 100% = 20%
A3B1 =
x 100% = 10%
A0B4 =
x 100% = 40%
A3B2 =
x 100% = 0%
A1B0 =
x 100% = 10%
A3B3 =
x 100% = 20%
A1B1 =
x 100% = 0%
A3B4 =
x 100% = 0%
A1B2 =
x 100% = 10%
A4B0 =
x 100% = 0%
A1B3 =
x 100% = 0%
A4B1 =
x 100% = 10%
A1B4 =
x 100% = 0%
A4B2 =
x 100% = 0%
A2B0 =
x 100% = 0%
A4B3 =
x 100% = 0%
A2B1 =
x 100% = 10%
A4B4 =
x 100% = 10%
A2B2 =
x 100% = 10 %
% Total =
=
= ,
%
68
Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) kontaminasi bakteri (%)
100%
AxBy =
A0B0 =
x 100% = 20%
A2B3 =
x 100% = 10%
A0B1 =
x 100% = 40%
A2B4 =
x 100% = 30%
A0B2 =
x 100% = 10%
A3B0 =
x 100% = 20%
A0B3 =
x 100% = 10%
A3B1 =
x 100% = 0%
A0B4 =
x 100% = 10%
A3B2 =
x 100% = 10%
A1B0 =
x 100% = 0%
A3B3 =
x 100% = 10%
A1B1 =
x 100% = 10%
A3B4 =
x 100% = 20%
A1B2 =
x 100% = 10%
A4B0 =
x 100% = 20%
A1B3 =
x 100% = 30%
A4B1 =
x 100% = 10%
A1B4 =
x 100% = 0%
A4B2 =
x 100% = 10%
A2B0 =
x 100% = 0%
A4B3 =
x 100% = 0%
A2B1 =
x 100% = 10%
A4B4 =
x 100% = 10%
A2B2 =
x 100% = 0 %
% Total =
=
=
,
%
69
Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) kontaminasi jamur (%)
100%
AxBy =
A0B0 =
x 100% = 20%
A2B3 =
x 100% = 30%
A0B1 =
x 100% = 20%
A2B4 =
x 100% = 30%
A0B2 =
x 100% = 20%
A3B0 =
x 100% = 20%
A0B3 =
x 100% = 40%
A3B1 =
x 100% = 40%
A0B4 =
x 100% = 40%
A3B2 =
x 100% = 30%
A1B0 =
x 100% = 40%
A3B3 =
x 100% = 30%
A1B1 =
x 100% = 20%
A3B4 =
x 100% = 40%
A1B2 =
x 100% = 40%
A4B0 =
x 100% = 10%
A1B3 =
x 100% = 40%
A4B1 =
x 100% = 20%
A1B4 =
x 100% = 30%
A4B2 =
x 100% = 50%
A2B0 =
x 100% = 30%
A4B3 =
x 100% = 30%
A2B1 =
x 100% = 10%
A4B4 =
x 100% = 40%
A2B2 =
x 100% = 20 %
% Total =
=
=
,
%
70
Jumlah eksplan pulai (A.scholaris) yang gugur (%)
100%
AxBy =
A0B0 =
x 100% = 10%
A2B3 =
x 100% = 0%
A0B1 =
x 100% = 0%
A2B4 =
x 100% = 0%
A0B2 =
x 100% = 0%
A3B0 =
x 100% = 0%
A0B3 =
x 100% = 0%
A3B1 =
x 100% = 0%
A0B4 =
x 100% = 0%
A3B2 =
x 100% = 0%
A1B0 =
x 100% = 0%
A3B3 =
x 100% = 10%
A1B1 =
x 100% = 0%
A3B4 =
x 100% = 10%
A1B2 =
x 100% = 0%
A4B0 =
x 100% = 0%
A1B3 =
x 100% = 0%
A4B1 =
x 100% = 0%
A1B4 =
x 100% = 0%
A4B2 =
x 100% = 0%
A2B0 =
x 100% = 0%
A4B3 =
x 100% = 10%
A2B1 =
x 100% = 0%
A4B4 =
x 100% = 0%
A2B2 =
x 100% = 0 %
% Total =
=
= ,
%
Download