UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN SISTEM PENGUKUR EFISIENSI SEL PELTIER BERBASIS MIKROKONTROLER SKRIPSI SHEPTA DH 1006806702 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA EKSTENSI DEPOK DESEMBER 2012 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 UNIVERSITAS INDONESIA RANCANG BANGUN SISTEM PENGUKUR EFISIENSI SEL PELTIER BERBASIS MIKROKONTROLER SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana sains SHEPTA DH 1006806702 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA EKSTENSI DEPOK DESEMBER 2012 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun diruju telah saya nyatakan dengan bener. Nama : Shepta Dh NPM : 1006806702 Tanda Tangan : Tanggal : Desember 2012 ii Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Skripsi : : : : : Shepta Dh 1006806702 Fisika Instrumentasi Rancang Bangun Sistem Pengukur Efisiensi Sel Peltier Berbasis Mikrokontroler Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar untuk memeperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Fisika Instrumentasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Pembimbing I : Dr.Prawito ( ) Pembimbing II : Drs. Arief Sudarmaji, M.T ( ) Penguji I : Dr. Cuk Imawan ( ) Penguji II : Prof. Dr. BEF da Silva, M.Sc ( ) Ditetapkan di Tanggal : Ruang Seminar, Gedung Fisika, FMIPA UI, Depok. : Desember 2012 iii Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, berkah dan karunia-NYA. Dan Tak lupa juga penulis panjatkan salam dan shalawat bagi junjungan kita nabi besar Muhammad SAW beserta segenap kelurga dan para sahabatnya. Serta Do’a restu dan dorongan dari berbagai pihak dan akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Rancang bangun Sistem Pengukur Efisiensi Sel Peltier Berbasis Mikrokontroler”. Penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains, Departemen Fisika, Program studi Fisika Instrumentasi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Dalam menyelesaikan tugas akhir ini, berbagai pihak telah memberikan bantuan, bimbingan, doa yang tulus dan masukan baik secara langsug maupun tidak langsung. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarny kepada: 1. Dr. Prawito dan Drs. Arief Sudarmaji, MT selaku pembimbing yang telah memberikan kemudahan dalam berpikir, petunjuk, nasehat-nasehat dalam perancangan hardware dan software serta menyediakan waktu untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Dr. Sastra Kusuma Wijaya selaku Ketua Program Peminatan Instrumentasi Elektronika. 3. Dosen Penguji dan Dosen yang telah mengajar selama perkuliahan berlangsung. 4. Kepada kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan Do’a dari seberang pulau agar proses penyusunan skrispi ini berjalan lancar dan selalu memberikan dukungan mental dan materi dari awal kuliah sampai skripsi selesai. 5. Kepada saudara-saudara saya ayuk sinta, ayuk silfia, adek sindika dan adek sintia, bang evan dan adex rafa yang selalu memberikan do’a, dukungan dan selalu mensupport saya hingga selesai. iv Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 6. Kepada Pak Parno yang telah membantu dalam menyelesaikan mekanik alat, Pak Budi (kumis) yang selalu sabar di lab.interface dan elektronika, serta pegawai sekret Ibu Eri, Mbak Ratna, Pak Mardi, Pak Budi, Mas Rizky dan seluruh civitas akademik FMIPA Universitas Indonesia. 7. Kepada semua senior-senior saya yang telah memberikan saran dan support dalam menyelesaikan skripsi saya. 8. Temen-temen seperjuangan S1 Ekstensi Fisika Instrumentasi 2010, dan teman-teman lasmiar yang telah memberikan supportnya dan doa’nya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam menyelesaikan laporan tugas akhir ini, maka ada pribahasa “Tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena itu,ada baiknya pembaca memberikan kritik dan saran yang sangat membantu dalam menulis karya ilmiah selanjutnya. Besar harapan penulis, semoga penulisan ilmiah ini memberikan kontribusi positif dan bermanfaat untuk senantiasa berguna bagi masyarakat umum agar terus memperoleh wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang teknologi dan memajukan teknologi yang ada serta bisa dimanfaatkan kembali. Depok, 19 November 2012 Penulis v Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 ABSTRAK Nama Program Studi Judul : Shepta Dh : Fisika Instrumentasi : Rancang Bangun Sistem Pengukur Efisiensi Sel Peltier Berbasis Mikrokontroler Sistem pengukur efisiensi sel Peltier berbasis mikrokontroler telah selesai dibuat. Sistem ini menggunakan prinsip kerja dari efek Seebeck dan efek Peltier. Dalam hal ini diterapkan teknologi termoelektrik dengan menggunakan bahan semikonduktor yaitu Sel Peltier. Sel Peltier akan bekerja ketika terjadi perbedaan temperatur di antara ujung sel dan menghasilkan arus listrik. Sistem ini menggunakan Heater 120 watt yang berfungsi sebagai sistem pemanas pada sistem, daya pada heater diatur dengan menggunakan PWM. Sistem ini juga menggunakan sistem pendingin yang dijaga konstan. Adanya perbedaan suhu pada sistem akan dibaca oleh sensor temperatur DS1820. Seluruh sistem dihubungkan pada komputer oleh mikrokontroler memalui kabel serial RS232. Semua hasil pengukuran ditampilkan pada LCD text dan monitoring komputer dengan menggunakan software LabVIEW. Berdasarkan hasil penelitian bahwa nilai efisiensi yang terukur merupakan hasil perbandingan antara daya output sel Peltier dan daya input heater. Kata kunci: Efisiensi, Sel Peltier, Heater, ACS712, DS1820, Efek Seebeck, Efek Peltier, vii Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia ABSTRACT Name Study Program Title : Shepta Dh : Physics Instrumentation : Design of Microcontroller-based Peltier Cell Efficiency Measurement System The Efficiency Measurement System of Peltier Cell Based on Microcontroller has been designed. The system uses Seebeck effect and Peltier effect principles that is implemented by semiconductor-based thermoelectric technology. Peltier cell will work, that is generating electrical current, when the end plates of Peltier cell have a temperature difference. This sistem uses controllable 120W electrical heater that can be set by PWM method. Moreover, this sistem has also uses a cooling system to keep in a fixed temperature. The temperature difference will be read the DS1820 temperature sensor. The entire system is connected to a computer using RS232 communication cable. All measurement results acquaired by the system will be displayed on LCD text and monitoring computer using LabVIEW program. According to the conducted experiment,the measured efficiency which is the ratio of Peltier cell output power and heater input power, depends on the Peltier cell temperature difference. Keywords: Efficiency, Peltier Cell, Heater, DS 1820, Seebeck effect and Peltier effect. viii Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................vii ABSTRAK ............................................................................................................vii DAFTAR ISI......................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xii DAFTAR TABEL.............................................................................................. xiv DAFTAR PERSAMAAN .....................................................................................xv DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xxiv BAB 1 : PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................ 4 1.3 Deskripsi Singkat ............................................................................ 4 1.4 Batasan Masalah ............................................................................. 6 1.5 Metode Penelitian ........................................................................... 6 1.6 Sistematika Penelitian ..................................................................... 7 BAB 2 : TEORI DASAR ...................................................................................... 9 2.1 Efek Seebeck................................................................................... 9 2.2 Efek Peltier....................................................................................10 2.3 Sel Peltier ......................................................................................11 2.4 Perpindahan Panas ........................................................................14 2.4.1 Konduksi ..............................................................................15 2.3.1.1 Konduktivitas Termal ......................................................16 2.4.2 Konveksi ..............................................................................16 2.4.3 Radiasi .................................................................................17 2.5 Daya Listrik ..................................................................................18 2.6 Efisiensi.........................................................................................20 2.6.1 Actual Efficiency .................................................................20 2.6.2 Carnot Efficiency.................................................................21 2.6.3 Adjusted Efficiency .............................................................22 2.7 Sensor Temperatur ........................................................................23 2.8 Pulse Width Modulation ...............................................................24 2.9 Relay .............................................................................................29 BAB 3 : PERANCANGAN DAN CARA KERJA SISTEM............................31 3.1 Sistem Mekanik ............................................................................31 3.2 Perancangan Mekanik ...................................................................32 3.2.1 Blok sistem ..........................................................................32 3.2.2 Sistem Pendingin .................................................................34 3.2.3 Sistem Pemanas ...................................................................35 3.3 Rangkaian Elektronika..................................................................35 3.3.1 Rangkaian Pengendali Nilai Hambatan Pada Sel Peltier ....35 ix Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 3.4 3.3.2 Rangkaian Sensor Temperatur.............................................37 3.3.3 Rangkaian Power Supply.....................................................37 3.3.5.1 Rangkaian Power Supply 5V ...................................38 3.3.5.2 Rangkaian Power Supply 12V .................................38 3.3.5.3 Rangkaian Power Supply 15V .................................39 3.3.4 Rangkaian Penguat AD620..................................................40 3.3.5 Rangkaian PWM untuk Variabel Tegangan Pada Heater....40 3.3.6 Rangkaian Mikrokontroler AT Mega 16 .............................44 Perancangan Software Sistem.......................................................46 BAB 4 : HASIL EKSPERIMEN DAN ANALISA DATA...............................51 4.1 Data ADC Heater ......................................................................................51 4.2 Data Pengujian Nilai Pwm terhadap Tegangan (V)..................................54 4.3 Data Nilai Hambatan Pada Heater ............................................................56 4.4 Data Sensor Temperatur Ds1820 terhadap Termometer...........................57 4.5 Pengambilan Data Efisiensi Sel Peltier.....................................................58 4.5.1 PengujianDaya Sel Peltier dengan Variabel nilai Hambatan ..........58 4.5.1.1 Pengujian Sistem Pengukur Daya pada Nilai R (1.7Ω dan 6.3Ω) 58 4.5.2 Perhitungan Efisiensi Sel Peltier Dengan Beberapa Metode ...........60 BAB 5 : KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................64 5.1 Kesimpulan ...............................................................................................64 5.2 Saran .........................................................................................................65 DAFTAR REFERENSI ..................................................................................66 LAMPIRAN.................................................................................................... x Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1 Blok Diagram Sistem Instrumentasi .................................................. 5 Gambar 2.1 Thomas Johan Seebeck dan Eksperimen efek Seebeck...................... 9 Gambar 2.2 Eksperimen Rangkaian dari Efek Seebeck......................................... 9 Gambar 2.3 Jean Charles Athanese Peltier dan Eksperimen efek Peltier ..........10 Gambar 2.4 Eksperimen Rangkaian dari Efek Peltier.........................................10 Gambar 2.5 Skematik Sel Peltier .........................................................................11 Gambar 2.6 Sel Peltier .........................................................................................11 Gambar 2.7 Ikatan Kovalen .................................................................................13 Gambar 2.8 Struktur Pita energi Semikonduktor tipe-N dan tipe-P ....................13 Gambar 2.9 Ukuran Sel Peltier ............................................................................14 Gambar 2.10 Sistem Kerja Mesin Panas..............................................................20 Gambar 2.11 Pin Konfigurasi DS1820 ................................................................23 Gambar 2.12 Parameter PWM High Time...........................................................25 Gambar 2.13 Duty Cycle PWM ...........................................................................25 Gambar 2.14 Pengaturan PWM pada ATMEGA.................................................26 Gambar 2.15 Compare Duty Cycle ......................................................................27 Gambar 2.16 Duty Cycle Pada Tegangan ............................................................28 Gambar 2.17 Perhitungan Pengontrolan Tegangan .............................................28 Gambar 2.18 Relay Posisi Normally Close dan Normally Open..........................29 Gambar 2.19 Relay kaki 8 ....................................................................................30 Gambar 3.1 Blok Diagram Sistem ......................................................................31 Gambar 3.2 Blok Perancangan Mekanik Sistem .................................................33 Gambar 3.3 Perancangan Tampak Depan Perancangan Sistem ..........................33 Gambar 3.4 Sistem Pendingin..............................................................................34 Gambar 3.5 Mekanik Sistem Pada Sistem Pendingin..........................................34 Gambar 3.6 Perancangan Mekanik Sistem Pemanas ...........................................35 Gambar 3.7 Rangkaian Pengendali Nilai Hambatan Pada Sel Peltier .................36 Gambar 3.8 Rangkaian 1-wire Ds1820................................................................37 Gambar 3.9 Rangkaian Power Supply 5V ...........................................................38 Gambar 3.10 Rangkaian Power Supply 12V .......................................................38 Gambar 3.11 Rangkaian Powerv Supply ±15V ..................................................39 xi Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia Gambar 3.12 Rangkaian Penguat AD620 ............................................................40 Gambar 3.13 Rangkaian PWM Untuk Variabel Tegangan Pada Heater .............41 Gambar 3.15 Input Signal PWM .........................................................................42 Gambar 3.16 Rangkaian Mikrokontroler ATMEGA16.......................................44 Gambar 3.17 Flowchart Monitoring pada Software Bascom ..............................47 Gambar 3.18 Flowchart Monitoring pada Software LabView ............................48 Gambar 3.19 Front Panel Monitor pada Software LabView ...............................50 Gambar 3.20 Blok Diagram Monitor pada Software Labview ............................50 Gambar 4.1 Grafik Nilai ADC (1) Terhadap Tegangan (V)................................53 Gambar 4.2 Grafik Nilai ADC (2) Terhadap Tegangan (V)................................53 Gambar 4.3 Grafik Nilai PWM Terhadap Tegangan (V1) ...................................55 Gambar 4.4 Grafik Nilai PWM Terhadap Tegangan (V1) ..................................55 Gambar 4.5 Nilai Hambatan Pada Heater Terhadap Suhu...................................57 Gambar 4.6 Grafik Ds1820 terhadap Termometer ..............................................58 Gambar 4.7 Pengujian Efisiensi Metode Carnot..................................................61 Gambar 4.8 Pengujian Efisiensi Metode Actual ..................................................61 Gambar 4.9 Pengujian Efisiensi Metode Adjusted ..............................................62 xii Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Halaman Periodik Untuk Elemen Semikonduktor ..............................................12 Spesifikasi Sel Peltier ..........................................................................14 Data ADC Heater.................................................................................51 Nilai PWM Terhadap Tegangan Heater ..............................................54 Data Nilai Hambatan Pada Heater .......................................................56 Data sistem Pengukur Daya (R=1,7Ω) ................................................59 Data sistem Pengukur Daya (R=6.3Ω) ................................................59 Data sistem Pengukur Daya (R=0 Ω) ..................................................59 Data Hasil Efisiensi Sel Peltier (R=1,7Ω) ...........................................60 Data Hasil Efisiensi Sel Peltier (R=6.3Ω) ...........................................60 Data Hasil Efisiensi Arus dan r dalam Sel Peltier ..............................63 xiii Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia DAFTAR PERSAMAAN Halaman Persamaan 2.1 .......................................................................................................10 Persamaan 2.2 .......................................................................................................10 Persamaan 2.3 .......................................................................................................11 Persamaan 2.4 .......................................................................................................15 Persamaan 2.5 .......................................................................................................16 Persamaan 2.6 .......................................................................................................17 Persamaan 2.7 .......................................................................................................17 Persamaan 2.8 .......................................................................................................18 Persamaan 2.9 .......................................................................................................19 Persamaan 2.10 .....................................................................................................19 Persamaan 2.11 .....................................................................................................19 Persamaan 2.12 .....................................................................................................20 Persamaan 2.13 .....................................................................................................21 Persamaan 2.14 .....................................................................................................21 Persamaan 2.15 .....................................................................................................22 Persamaan 2.16 .....................................................................................................22 Persamaan 2.17 .....................................................................................................22 Persamaan 2.18 .....................................................................................................27 Persamaan 2.19 .....................................................................................................27 Persamaan 2.20 .....................................................................................................28 Persamaan 4.1 .......................................................................................................52 Persamaan 4.2 .......................................................................................................52 Persamaan 4.3 .......................................................................................................52 Persamaan 4.4 .......................................................................................................52 Persamaan 4.5 .......................................................................................................54 Persamaan 4.6 .......................................................................................................54 xiv Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Program Bascom Data sistem DataSheet Sel Peltier DataSheet AD620 xv Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN Bagian bab ini merupakan bagian pendahuluan yang menjelaskan latar belakang, tujuan penelitian, deskripsi singkat dari penelitian, batasan-batasan masalah yang akan diteliti, kemudian metode yang digunakan selama penelitian dan sistematika penulisan dari pembuatan sistem pengukur efisiensi sel Peltier berbasis mikrokontroler. 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi dunia semakin lama semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan pusat-pusat industri. Menurut data yang berhasil dihimpun (berbagai sumber), dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia merupakan negara dengan tingkat kebutuhan energi nomor 5 dunia setelah Amerika, China, dan India. Sebagian besar kebutuhan energi itu dialokasikan pada sektor kebutuhan rumah tangga, transportasi, dan industri. Cadangan energi di Indonesia diperkirakan akan mampu mencukupi kebutuhan energi dalam negeri selama kurun waktu lebih dari 100 tahun mendatang. Namun demikian, bukan berarti para pengguna sumber energi tersebut bisa semena-mena sehingga tidak memikirkan generasi mendatang. Berbagai upaya telah ditempuh sebagai antisipasi penyediaan sumber energi alternatif. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki sumber energi alamiah yang sangat besar. Mulai dari minyak bumi, batubara, gas alam, dan lain sebagainya. Letak geografis Indonesia juga cukup menguntungkan karena memperoleh paparan cahaya matahari sepanjang tahun. Oleh karena itulah, selain memanfaatkan bahan bakar fosil para ilmuwan Indonesia juga berusaha memanfaatkan energi surya dengan membuat sel surya atau sel photovoltaic (Energi_Indonesia,artikel). Tersedianya sumber energi belum menjamin bahwa energi tersebut dapat digunakan secara efisien dan efektif. Hal ini sangat bergantung pada alat yang digunakan. Saat ini, system kerja mesin masih berbasis pada teknologi yang pertama kali dicetuskan oleh James Watt yang mengawali revolusi industri di Inggris awal abad ke–19. Penemuan tersebut tentu saja tidak lepas dari peran 1 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 2 ilmuwan eksperimentalis terbesar sepanjang masa, Michael Faraday, yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar teori dan eksperimen bagaimana cara mengubah energi yang tersedia di alam untuk digunakan sebagai pendukung kehidupan sehari-hari. Maka terciptalah berbagai macam mesin dan alat-alat penunjang kehidupan lainnya yang memanfaatkan, terutama, bahan bakar minyak. Seiring dengan perkembangan teknologi, alat-alat tersebut semakin lama semakin berkembang. Tidak hanya terbatas pada fungsi namun juga portabilitas dan kemudahan manusia dalam mengoperasikannya. Namun, ada satu masalah yang hingga saat ini belum ditemukan jalan keluar yang memuaskan yaitu efisiensi. Menurut Sadi Carnot, efisiensi sebuah mesin tidak mungkin mencapai 100%. Hal ini berarti setiap penggunaan sejumlah bahan bakar tertentu, tidak seluruhnya dimanfaatkan untuk melakukan kerja. Dengan kata lain, sebagian energi tersebut terbuang menjadi energi lain yang tentu saja, tidak bisa dimanfaatkan. Energi buang tersebut yang paling dominan adalah berupa energi panas. Setiap mesin selalu menghasilkan panas di mana panas ini dibuang begitu saja ke lingkungan yang menurut beberapa ahli turut andil dalam bencana ekologi global warming. Selain itu, panas yang terbuang ini juga menyebabkan mesin cepat rusak atau aus pada bagian-bagian tertentu. Teknologi yang sekarang banyak dikembangkan selalu mengusahakan agar panas yang dihasilkan sebuah mesin tidak berlebihan. Misalnya pada laptop. Sebagian besar laptop menggunakan kipas internal dan sistem manajemen panas lainnya untuk membuang panas yang dihasilkan mesin demi menjaga keawetan mesin. Hal ini menunjukkan bahwa panas yang dihasilkan laptop belum bias dimanfaatkan. Buktinya, panas yang dihasilkan tersebut dibuang begitu saja. Masih banyak lagi fenomena sejenis yang intinya residu kerja mesin berupa panas itu belum bisa dimanfaatkan. Pada tahun 1821, Thomas Johann Seebeck melakukan sebuah eksperimen dengan menggunakan tembaga dan besi. Kedua logam itu dirangkai menjadi sebuah sambungan di mana salah satu sisi logam dipanaskan sedangkan satu sisi logam yang lainnya tetap dijaga pada suhu konstan. Jarum kompas yang sebelumnya telah diletakkan di antara dua plat tersebut ternyata mengalami penyimpangan/bergerak. Menurut Ampere, terdefleksinya jarum kompas tersebut Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 3 tentu disebabkan karena adanya medan magnet yang dihasilkan oleh plat logam yang dipanaskan. Dalam kondisi tersebut, medan magnet hanya bisa dihasilkan dari proses induksi elektromagnetik yaitu medan magnet yang ditimbul karena adanya arus listrik pada logam. Namun demikian, pada saat itu Seebeck belum mengetahui secara menyeluruh hasil eksperimen yang ia peroleh. Baru pada periode berikutnya, penemuan Seebeck ini dikaji lebih lanjut oleh Jean Charles Peltier. Terdorong dari rasa ingin tahunya yang sangat tinggi, Peltier mencoba merancang sebuah eksperimen yang diharapkan dapat memberikan hasil yang berkebalikan dengan apa yang diperoleh Seebeck. Peltier mengalirkan listrik pada dua buah logam yang direkatkan dalam sebuah rangkaian. Ketika arus listrik mengalir, terjadi penyerapan panas pada sambungan kedua logam tersebut dan pelepasan panas pada sambungan yang lainnya. Pelepasan dan penyerapan panas ini bersesuaian dengan arah aliran arus listrik yang diberikan pada logam. Penemuan yang terjadi pada tahun 1934 ini kemudian dikenal dengan efek Peltier. Penemuan Seebeck dan Peltier inilah yang kemudian menjadi dasar pengembangan teknologi yang dapat mengubah panas menjadi energi listrik yang lazim disebut sebagai generator termoelektrik. Penemuan Seebeck dan Peltier merupakan dasar pengembangan teknologi yang dapat mengubah panas menjadi energi listrik yang lazim disebut sebagai generator termoelektrik. Teknologi termoelektrik inilah yang akan diterapkan untuk memanfaatkan energi panas yang dibuang oleh mesin. Tentu saja, hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan efisiensi mesin. Dengan teknologi termoelektrik ini, panas yang terbuang dapat dimanfaatkan kembali menjadi energi yang bisa dikonsumsi mesin. Teknologi termoelektrik merupakan teknologi yang relatif lebih efisien, ramah lingkungan, tahan lama, dan mampu menghasilkan energi dalam skala kecil hingga skala besar. Prinsip dasar dari teknologi termoelektrik adalah mengubah energi panas menjadi energi listrik secara langsung (generator termoelektrik) atau penyerap panas (pendingin termoelektrik). Untuk menghasilkan arus dan tegangan listrik, sebuah material termoelektrik (biasanya semikonduktor) cukup diletakkan pada dua daerah yang Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 4 memiliki beda temperatur (bagian yang suhunya lebih tinggi disebut sumber panas). Dalam hal ini pengembangan teknologi termoelektrik sebagai pengembangan energi alternatif seperti energi angin, sel matahari (Solar Cell), OTEC (Ocean Thermal Energi Conversion), panas bumi dan lain sebagainya perlu diperhatikan baik dari pemerintah, industri, perguruan tinggi, dan masyarakat. Teknologi termoelektrik ini diterapkan pada pembangkit listrik pada sumber panas, akan tetapi sampai pada saat ini pembangkit listrik dari sumber panas yang sekarang ini banyak digunakan melalui beberapa proses. Contoh penerapan dalam kehidupan sehari-hari bahan bakar fosil yang menghasilkan putaran turbin ketika dibakar dengan tekanan yang sangat tinggi. Kemudian hasil putaran turbin akan digunakan untuk memproses tenaga listrik. Efisiensi energi pembangkit ini masih rendah akibat beberapa kali proses yang berubah-ubah [15]. Dengan memanfaatkan teknologi termoelekrik, maka difokuskan untuk meneliti berapa besar efisiensi yang dihasilkan dari penelitian yang berjudul “ Rancang Bangun Sistem Pengukur Efisiensi sel Peltier Berbasis Mikrokontroler”. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah membuat alat ukur yang dapat mengetahui nilai efisiensi sel Peltier dari adanya perubahan beda temperatur berbasis mikrokontroller. 1.3 Deskripsi singkat Dalam sistem ini sel Peltier dimanfaatkan sebagai penghasil energi listrik, dimana sel Peltier akan mengubah energi panas menjadi energi listrik. Sel Peltier mempunyai dua sisi yang berbeda yaitu sisi panas dan sisi dingin. Sisi panas sel Peltier akan dihubungkan dengan sumber energi panas yang berasal dari sebuah sistem pemanas, dalam hal ini sistem pemanas yang digunakan yaitu resistor keramik yang terhubung dengan daya listrik. Sedangkan sisi dingin pada sel Peltier dihubungkan dengan sistem pendingin dalam hal ini menggunakan aliran air di dalam plat alumanium sehingga sistem pendingin akan dijaga konstan temperaturnya. Sistem pemanas mengalirkan panas menuju sel Peltier sehingga sel Peltier akan menghasilkan arus dan suhu pada sistem pemanas akan Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 5 mengalami kenaikan suhu. Arus yang dihasilkan oleh sel Peltier akan melewati resistor (R) sehingga didapatkan nilai tegangannya dan energi listrik (E) dapat terukur. Gambar 1.1 Blok Diagram Sistem Blok diagram diatas merupakan perancangan pengukur efisiensi sel Peltier. Dimana mikrokontroler akan membaca besarnya energi yang dihasilkan oleh sel Peltier. Dalam hal ini sistem pemanas yang terhubung dengan sel Peltier akan dihubungkan dengan sumber daya listrik yang tegangannya dapat divariasikan. Pengukur tegangan yang dihubungkan dengan mikrokontroler akan mengukur daya listrik yang dihasilkan. Sistem ini menggunakan dua sensor suhu yaitu sensor suhu (DS1820). Sensor suhu ini akan dihubungkan dengan sistem pendingin dan sistem pemanas sehingga sensor suhu akan menghasilkan beda temperatur yang akan dibaca oleh mikrokontroler. Hasil data yang diperoleh dari alat ini adalah data energi (E) yang terukur dari sel Peltier dan hasil perubahan panas ( ) sehingga dapat menghasilkan efisiensi sel Peltier = ∆ . Semua data yang diperoleh akan dibaca oleh mikrokontroler dan akan ditampilkan oleh LCD dan PC. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 6 1.4 Batasan Masalah Tugas akhir ini bertujuan untuk mendapatkan hasil akhir yang baik, sesuai apa yang diinginkan dan tidak terjadi penyimpangan terhadap permasalahan yang akan ditinjau, maka batasan masalah yang adalah sebagai berikut: 1. Membuat sistem yang dapat mengukur daya listrik dan membuat sistem kendali untuk pemanas. 2. Membuat sistem mekanik untuk temperatur dingin dalam hal ini menggunakan air es. 3. Mengukur tegangan yang dihasilkan sel Peltier untuk memperoleh besarnya energi listrik dengan menggunakan mikrokontroler. 4. Membandingkan hasil energi listrik (E) yang dihasilkan sel Peltier terhadap perubahan panas (Δ ), sehingga dapat mengukur efisiensi dari sel Peltier =∆ . 1.5 Metode Penelitian Metoda penelitian yang akan dilakukan terdiri dari beberapa tahap diantaranya adalah sebagai berikut : 1.5.1 Studi Literatur Metode ini digunakam untuk memperoleh informasi tentang teori-teori dasar sebagai sumber penulisan skripsi. Informasi dan pustaka yang berkaitan dengan masalah ini diperoleh dari literatur, penjelasan yang diberikan dosen pembimbing, rekan-rekan kerja mahasiswa, informasi dari internet, data sheet, dan buku-buku yang berhubungan dengan skripsi penulis. 1.5.2 Perancangan dan Pembuatan Alat Perancang alat merupakan awal penulis untuk mencoba memahami, menerapkan, dan menggabungkan semua literatur yang diperoleh maupun yang telah dipelajari untuk melengkapi sistem serupa yang pernah dikembangkan, dan selanjutnya penulis dapat merealisasikan sistem sesuia dengan tujuan. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 7 1.5.3 Uji Sistem Uji sistem ini berkaitan dengan pengujian alatserta pengambilan data dari alat yang telah dibuat. 1.5.4 Metoda Analisis Metode ini merupakan pengamatan terhadap data yang diperoleh dari pengujian alat serta pengambilan data. Pengambilan data meliputi kecepatan memberikan perintah sampai tanggapan sistem berupa ketepatan pengeksekusian perintah. Setelah itu dilakukan penganalisisan sehingga dapat ditarik kesimpulan dan saran-saran untuk pengembangan lebih lanjut. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari bab-bab yang memuat beberapa sub-bab. Untuk memudahkan pembacaan dan pemahaman maka skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab yaitu: BAB 1 Pendahuluan Pendahuluan berisi latar belakang, permasalahan, batasan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan dari skripsi ini. BAB 2 Teori Dasar Teori dasar berisi landasan-landasan teori sebagai hasil dari studi literatur yang berhubungan dalam perancang bangunan dan elektronik. BAB 3 Perancangan Sistem Pada bab ini akan dijelaskan secara keseluruhan sistem kerja dari semua elektronika yang terlibat. BAB 4 Pengujian Sistem dan Pengambilan Data Bab ini berisi tentang unjuk kerja alat sebagai hasil dari perancangan sistem. Pengujian akhir dilakukan dengan menyatukan seluruh bagian-bagian kecil dari sistem untuk memastikan bahwa sistem dapat berfungsi sesuai dengan tujuan awal. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 8 BAB 5 Kesimpulan dan Saran Kesimpulan berisi simpulan yang diperoleh dari pengujian sistem dan pengambilan data selama penelitian berlangsung, selain itu juga Kesimpulan memuat saran untuk pengembangan lebih lanjut dari penelitian ini. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia BAB 2 TEORI DASAR Bab ini akan menguraikan teori dan konsep dasar yang akan menjadi landasan dalam perancangan sistem dan pembuatan alat sehingga bab dua ini akan menjadi acuan untuk bab selanjutnya. 2.1 Efek Seebeck Penemuan pertama kali terkait dengan termelektrik terjadi pada tahun 1821, seorang fisikawan jerman yang bernama Thomas Johan Seebeck melakukan eksperimen dengan menggunakan dua material logam yang berbeda yaitu tembaga dan besi. Kedua logam itu dirangkai menjadi sebuah sambungan dimana salah satu sisi logam dipanaskan dan sedangkan satu sisi logam yang lainnya teteap dijaga pada suhu konstan sehingga arus akan mengalir pada rangkaian tersebut. Arus listrik yang mengalir akan mengindikasikan adanya beda potensial antara ujung-ujung kedua sambungan. Jarum kompas yang sebelumnya telah diletakkan diantara dua plat tersebut ternyata mengalami penyimpangan atau bergerak hal ini disebabkan adanya medan magnet yang dihasilkan dari proses induksi elektromagnetik yaitu medan magnet yang timbul karena adanya arus listrik pada logam [20] .Dibawah ini adalah simulasi dari rangkaian kedua logam A dan logam B. Gambar 2.1 Thomas Johan Seebeck dan eksperimen efek Seebeck Gambar 2.2 Eksperimen Rangkaian dari efek Seebeck 9 [13] [14] . . Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 10 Hubungan ( anatara tegangan (V) ) antara kedua ujung logam ( dan dan persamaan berikut. =∫ ( =( Keterangan : − ( )− )∙( dan perbedaaan ) dapat dinyatakan dengan (2.1) ( )) − (2.2) ) V : Tegangan pada logam A dan logam B (Volt) T dan T : Temperatur 1 (K) dan Temperatur 2 (K) S dan S temperatur : Koefisien Seebeck dari logam A dan logam B 2.2 Efek Peltier Pada tahun 1834 seorang fisikawan bernama Jean Charle Athanase Peltier, menyelidiki kembali eksperimen dari efek Seebeck. Peltier menemukan kebalikan dari fenomena Seebeck yaitu ketika arus listrik mengalir pada suatu rangkaian dari material logam yang berbeda terjadi penyerapan panas pada sambungan kedua logam tersebut dan pelepasan panas pada sambungan yang lainnya. Pelepasan dan penyerapan panas bersesuaian dengan arah arus listrik pada logam. Hal ini dikenal dengan efek Peltier[21]. Gambar 2.3 Jean Charles Athanese Peltier dan Eksperimen efek Peltier Gambar 2.4 Eksperimen Rangkaian dari efek Peltier [14] . [13] Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 11 = (Π Keterangan : ) = (Π − Π ) × (2.3) Q atau Q ∶ aliran panas (J) Π dan Π I ∶ koefisien Peltier ∶ arus yang mengalir (A) 2.3 Sel Peltier Pada abad ke 19 tahun 1834 Jeans Charles Athanase Peltier menemukan efek pendingin. Dimana ketika arus listrik mengalir pada dua bahan konduktor yang berbeda yang menyebabkan adanya penyerapan dan pelepasan panas. Namun Peltier gagal karena penjelasan fenomena fisika lemah hal ini tidak mematuhi hukum Ohm. Tahun 1909 dan 1911 ilmuwan lainnya yaitu Altenkirch menunjukkan bahwa bahan termoelektrik pendingin membutuhkan koefisien Seebeck yang tinggi [22]. Gambar 2.5 Skematik Sel Peltier [22] Konsep dasar dari sel peltier yaitu efek Seebeck dan efek Peltier, dimana sel Peltier ini merupakan bahan semikonduktor yang bertipe-p dan tipe-n. Semikonduktor merupakan bahan setengah penghantar listrik yang disebabkan perbedaan gaya ikat diantara atom-atom, ion-ion, atau molekul-molekul. Gambar 2.6 Sel Peltier [21] . Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 12 Semua ikatan zat padat atau bahan padat yang lainnya disebabkan adanya gaya listrik dan tergantung pada jumlah elektron terluar pada struktur atom. Bahan padat yang dimaksud adalah bahan padat seperti konduktor, isolator, semikonduktor atau pun superkonduktor). Untuk penyusun dari bahan padat terbagi menjadi dua bagian yaitu bahan padat krisal dan bahan padat amorf. Bahan padat kristal merupakan suatu bahan padat dengan struktur partikelnya disusun secara keteraturan yang panjang dan berulang secara periodik, contohnya Silicon, Germanium, Gallium, Arsenid, dsb. Sedangkan bahan padat amorf struktur partikelnya disusun dengan keteraturan yang pendek dan tidak berulang secara periodik, contohnya Amorphous Silicon [19]. Tabel 2.1 Tabel Periodik Untuk Elemen Semikonduktor KOLOM III 5 KOLOM IV B 6 [19] KOLOM V C 7 N BORON CARBON NITROGEN 10,82 12,01 14,008 13 AL 14 Si 15 P ALUMINIUM SILICON PHOSPHORUS 26,97 28,09 31,02 31 Ga 32 Ge 33 As GALLIUM GERMANIUM ARSENIC 69,72 72,60 74,91 49 In 5 Sn 5 Sb INDIUM TIN ANTIMONY 112,8 118,7 121,8 Semikonduktor terbagi menjadi dua yaitu semikonduktor Intrinsik (murni) dan semikonduktor Ekstrinsik (tidak murni). Semikonduktor instrinsik merupakan jenis semikonduktor yang murni dengan elektron valensi empat, misalnya silicon dan germanium, keduanya terletak pada kolom empat dan table periodik. Silicon dan germanium dibentuk oleh tetrahedral dimana setiap atom akan menggunakan bersama atom elektron valensi dengan atom-atom tetangganya. Gambar dibawah ini menunjukkan adanya ikatan valensi dan elektron valensi. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 13 Gambar 2.7 Ikatan Kovalen [Piranti_Semikonduktor.Pdf] Semikonduktor ektrinsik merupakan semikonduktor tidak murni dimana terjadi penambahan elektron. Proses penambahan disebut Doping untuk mendapatkan elektron valensi bebas dalam jumlah lebih banyak dan permanen, yang diharapkan agar dapat mengahantarkan listrik. Doping dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe-N dan tipe-P, dimana semikonduktor tipe-N yang menghasilkan muatan negatif dan merupakan donor untuk melepaskan elektron sedangkan semikonduktor tipe-P menghasilkan muatan positif. Gambar 2.8 Struktur Pita Energi Semikonduktor tipe-N dan tipe-P [21] Dalam penjelasan semikonduktor maka dapat disimpulkan bahwa didalam sel Peltier (thermoelectric cooler peltier) terdapat bahan semikonduktor dengan tipe-N dan tipe-P yang apabila kedua tipe tersebut diberi arus lisrtik akan menimbulkan beda potensial. Dibawah ini adalah gambar sel Peltier yang digunakan dalam pembuatan system ini yaitu sel Peltier yang mempunyai 12V dan 14,5 W. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 14 Gambar 2.9 Ukuran Sel Peltier [9] Agar bisa mengetahui karakteristik dari sel Peltier maka tabel dibawah ini menjelaskan panas maksimum dan suhu maksimum. Kemudian input dari tegangan maksimum dan arus maksimum serta resistansi dari elemen atau sel Peltier tersebut. Tabel 2.2 Spesifikasi Sel Peltier [9] No Keterangan Simbol ukuran 1 Temperatur Maksimum T 200℃ 2 Dingin Maksimum 33 Kondisi Temperatur Ruang Th = 30℃ 3 Perubahan temperatur maksimum 4 68 ∆ Temperatur Ruang Th = 30℃ Input tegangan maksimum 15,4 Temperatur Ruang Th = 30℃ 5 Arus maksimum 3,0 Temperatur Ruang Th = 30℃ 6 Resistansi R 3,2-3,5 Temperatur Batas Th = 25℃ 7 Parallel ≤ 0,05mm 2.4 Perpindahan Panas Perpindahan kalor merupakan ilmu yang meramalkan perpindahan energi karena perbedaan suhu diantara benda atau material. Ilmu perpindahan kalor tidak hanya mencoba menjelaskna bagaimana energi kalor itu berpindah dari satu benda Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 15 ke benda lain, tetapi juga meramalkan laju perpindahan yang terjadi pada kondisikondisi tertentu. Ilmu perpindahan kalor melengkapi hukum pertama dan hukum kedua termodinamika [3] . Perkembangan ilmu fisika dari ilmuan Count Rumford (1753-1814), Massa Chusetts, dan Sir James Prescolt Joule (1818-1819) melakukan percobaan bahwa aliran panas merupakan perpindahan energi dari sistem dan lingkungan. Apabila perpindahan energi terjadi pada perbedaaan suhu [7] maka hal ini disebut pengaliran panas . Perpindahan kalor terjadi pada 3 proses yaitu konduksi, konveksi, dan Radiasi. 2.4.1 Konduksi Konduksi (hantaran) merupakan perpindahan panas pada benda padat yang terjadi apabila benda tersebut berada pada suhu tinggi ke suhu yang lebih rendah. Suhu tinggi akan melepaskan kalor sehingga suhu rendah akan menerima kalor dan terjadi kesetimbangan termal [9] . Perpindahan panas yang diusulkan oleh ilmuan Perancis J.B.J.Fourier, tahun 1882 yaitu laju aliran panas dengan cara konduksi dalam suatu bahan sama dengan hasil kali dari tiga buah besaran berikut. k, konduksi termal A, luas penampang melalui panas yang mengalir dengan cara konduksi, yang harus diukur tegak dT/dx, gradient suhu pada penampang yaitu perubahan suhu T terhadap jarak dalam arah aliran panas x [4]. Untuk menuliskan persamaan matematika maka harus melihat tanda (positif dan negative). Arah x ditetapkan merupakan arah aliran positif. Menurut hokum termodinamika panas akan mengalir secara otomatis dari suhu tinggi ke suhu yang lebih rendah, maka aliran panas akan menjadi positif bila gradiennya negative [4] . Maka dari persamaan diatas maka hubungan konduktivitas dapat ditulis sebagai berikut. Dimana : =− (2.4) q = laju perpindahan kalor (J atau J/detik) Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 16 k = konduktivitas atau kehantaran termal (watt/meter) A = luas penampang (m ) = perubahan suhu terhadap perubahan posisi (ºC/m atau K/m) 2.4.1.1 Konduktivitas Termal Konduktivitas termal (daya hantar panas) terjadi pada fungsi suhu, dan akan bertambah sedikit saat suhu naik namun variasi kenaikannya kecil dan sering diabaikan. Konduktivitas termal didefinisiskan sebagai arus (negatif) per satuan luas yang tegak lurus pada aliran dan per satuan gradient suhu [7] . Dapat ditulis dengan persamaan matematika sebagai berikut. = − Dimana: ( ⁄ ) (2.5) K : konduktivitas termal (watt/meter) A = luas penampang (m ) H : panas yang mengalir dari kiri ke kanan = perubahan suhu terhadap perubahan posisi (ºC/m atau K/m) Dari persamaan 2.5 makin besar konduktivitas termal k, makin besar pula arus panas namun factor-faktor lain tetap sama. Oleh karena itu bahan yang nilai k-nya besar adalah penghantar panas yang baik sedangkan bila k-nya kecil bukan penghantar panas yang baik [7]. 2.4.2 Konveksi Istilah konveksi merupakan perpindahan panas dari satu tempat ketempat lain akibat perpindahan bahannya sendiri. Proses konveksi adalah ketika bahan yang dipanaskan mengalir akibat perbedaan rapat massa. Konveksi yang dipaksa ketika bahan yang dipanaskan dipaksa bergerak dengan menggunakan alat peniup atau pompa [7] . Konveksi juga dinyatakan laju perpindahan panas antara suatau permukaan dan suatu fluida sehingga menurut ilmuan Inggris, Isaac Newton pada tahun 1701 perpindahan panas secara konveksi dapat menggunakan persamaan berikut ini [3]. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 17 Dimana: = ∆ = ( − (2.6) ) ∶ Laju perubahan panas dengan cara konveksi (J/s) ∶ Luas perpindahan panas ( ) ∆ ∶ Beda antara suhu permukaan dan suhu fluida ( ). ∶ Permukaan perpindahan panas atau koefisien perpindahan panas ( ) Dari persamaan 2.6 koefisien konveksi ( ) bergantung pada viskositas fluida, kecepatan, kapasitas kalor, gradien suhu, rapat massa fluida, bentuk permukaan [3]. 2.4.3 Radiasi Pancaran (emisi) energi terus-menerus dari permukaan semua benda. Energi ini dinamakan energi radian dan dalam bentuk gelombang elektromagnet. Gelombang ini bergerak secepat cahaya dan dapat melewati ruang hampa serta melalui udara. Energi radian yang dipancarkan oleh suatu permukaan, per satuan waktu dan per satuan luas, bergantung pada sifat permukaan serta suhu. Pada suhu rendah banyaknya radiasi kecil dan panjang gelombangnya relative panjang, sedangkan jika suhu naik banyaknya radiasi akan meningkat dengan cepat dan sebanding dengan suhu multak pangkat empat [7]. Fisikawan yang berasal dari Austria pada tahun 1884, J Stefan dan L.Boltzmann menyatakan bahwa suatu benda hitam mana pun diatas suhu nol mutlak meradiasikan energi dengan laju yang sebanding dengan suhu multak pangkat empat. Walaupun laju pancaran (rate of emission) tidak tergantung pada kondisi sekitar, perpindahan bersih (netto) panas radiasi memerlukan adanya perbedaan suhu permukaan antara dua benda diantara pertukaran panas berlangsung [4]. Untuk persamaan matematika dapat dilihat berikut ini. Dimana: = ( − ) (2.7) q : Laju perpindahan panas secara radiasi (Joule/sekon) σ : konstanta Stefen-Boltzmann (5,67x10 ) K Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 18 A : Luas Permukaan (m ) T dan T : Perubahan suhu dari suhu 1 dan suhu 2 (K) Dari persamaan 2.7 disebut hukum Stefen-Boltzmann tentang radiasi termal, dan berlaku hanya untuk benda hitam. Untuk radiasi elektromagnetik persamaannya tidak sesederhana ini. Fenomena aliran radiasi disebut dengan fenomena yang rumit hal ini dikarenakan perhitungannya jangan menggunakan persamaan yang sederhana. Namun untuk sementara ini bahwa dalam teori ini hanya menekankan adanya perbedaan mekanisme fisik antara perpindahan kalor radiasi dengan sistem perpindahan kalor secara konduksi dan konveksi [3]. 2.5 Daya Listrik Energi listrik merupakan bentuk energi yang dihasilkan dari adanya beda potensial antara dua titik, sehingga membentuk sebuah arus listrik dan mendapatkan kerja listrik. Energi listrik dinyatakan sebagai arus listrik yang bermuatan listrik negatif atau elektron karena adanya perbedaan beda potensial. Pada tahun (1787-1854) Georg Simon Ohm menentukan dan melakukan eksperimen bahwa arus I pada logam sebanding dengan beda potensial V. kemudian jika pada logam atau kawat diberikan hambatan R terhadap arus maka elektron-elektron diperlambat karena adanya interaksi dengan atom-atom. Sehingga makin tinggi hambatan, makin kecil arus I pada suatu tegangan V. Hal ini dikenal dengan hukum Ohm, akan tetapi banyak fisikawan menyatakan ini bukan merupakan hukum melainkan definisi hambatan. Pernyataan hukum Ohm apabila arus yang melalui konduktor logam sebanding dengan tegangan, akan tetapi R konstan [2] . Hubungan antara arus, tegangan dan hambatan dapat dinyatakan sebagai berikut. = Dimana: (2.8) R : hambatan (Ω) V : Tegangan (Volt) I : Arus Listrik (A) Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 19 Energi listrik yang diubah menjadi energi panas atau cahaya akan terjadi banyak tumbukan elektron yang bergerak dan atom pada kawat sehingga menyebabkan arus menjadi besar. Pada kawat setiap tumbukan, sebagian energi elektron ditransfer ke atom yang ditumbuknya akibatnya energi kinetik atom bertambah dengan demikian temperatur elemen kawat bertambah. Energi panas yang bertambah dapat ditransfer sebagai kalor dengan perpindahan panas secara konduksi dan konveksi [2]. Daya merupakan suatu besaran yang penting dalam rangkaian listrik. Daya merupakan kecepatan perubahan Energi. Untuk mencari daya yang diubah ke listrik maka energi yang diubah merupakan muatan Q yang bergerak melintasi beda potensial sebesar V sehingga perubahan tersebut ditulis Q. Jadi persamaan matematika dalam menghitung daya (P). muatan yang mengalir per detik Ρ= (2.9) yang merupakan I. jika suatu tegangan v dikenakan pada unsur dimana di dalamnya mengalir arus (A) ,sehingga daya (P) dapat ditulis dengan persamaan berikut. = Dimana : (2.10) P : Daya Listrik (Watt atau J/det) I : Arus Listrik (A) V : Beda Potensial (Volt) Untuk menghitung daya pada hambatan hambatan (R) dapat ditulis dengan hukum ohm pada persamaan (2.9), sehingga daya listrik juga dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini. = Dimana : (2.11) P : Daya Listrik (Watt atau J/det) I : Arus Listrik (A) R : hambatan (Ω) Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 20 2.6 Efisiensi Pada mesin diperlukan beberapa perhitungan efisiensi yang berguna untuk mengetahui seberapa besar efisiensi dari mesin yang mengeluarkan panas dan kerja dari mesin itu sendiri. Efisiensi didefinisikan sebagai fraksi antara kerja yang dihasilkan dengan energi panas yang masuk ke mesin. = Dimana : × 100% (2.12) : Efisiensi W : Kerja (J) : Energi Panas (J) Jika diinterpretasikan sebagai = 100% artinya seluruh energi panas seluruhnya diubah menjadi W. nilai besar adalah antara 0 sampai 1. Semakin maka semakin bagus mesin tersebut akan tetapi pada kenyataannya tidak ada mesin yang mengubah panas menjadi kerja seluruhnya. Oleh karena itu perlu diadakan perbandingan untuk beberapa metode dari efisiensi, maka efisiensi yang akan dikaitkan dengan sistem ini adalah efisiensi Actual, efisiensi Carnot dan efisiensi Adjusted [16]. 2.6.1 Actual Efficiency Metode yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah metode actual efficiency yaitu mencari efisiensi yang sebenarnya. Mesin yang bekerja akan mengeluarkan panas sehingga panas yang dikeluarkan oleh mesin akan diolah lagi menjadi energi listrik, sehingga efisiensi didefinisikan sebagai kerja yang dilakukan mesin yang dibagi dengan input panas yang diterima oleh mesin [16]. Gambar 2.10 Sistem Kerja Mesin Panas [16] . Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 21 = Dimana : η : Efisiensi W : Kerja (J) Q : Energi Panas (J) (2.13) Sehingga efisiensi sebenarnya dilakukan untuk menghitung daya yang dihasilkan oleh kerja mesin dengan daya masukan dari mesin panas. Dimana daya kerja ( ) yang dikeluarkan oleh mesin bisa dihitung dengan persamaan (2.11) sedangkan daya panas dari inputan mesin dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2.10) oleh karena itu, efisiensi yang sebenarnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut [16]. = Dimana : (2.14) η : Efisiensi P : Daya Kerja Mesin (W) P : Daya Mesin Panas (W) 2.6.2 Carnot Efficiency Fisikawan Prancis (1824) Sadi Carnot menunjukkan bahwa efisiensi maksimum dari mesin panas hanya bergantung pada suhu antara mesin yang beroperasi bukan pada jenis mesin. Berdasarkan dalil dari Carnot, mesin yang bekerja antara suhu yang tinggi menuju suhu yang rendah dimana satuan dari suhu tersebut dalam satuan Kelvin. Kelvin mengemukakan pada dua suhu yang tertentu tidak adanya bergantung pada sifat zat kerja akan tetapi hanya merupakan fungsi suhu. Efisiensi mesin Carnot dipengaruhi oleh suhu panas dan suhu dingin, sehingga semakin besar beda temperatur maka semakin efisien kerja dari mesin Carnot. Agar mencapai efisiensi mesin 100% maka suhu dingin haruslah 0 Kelvin. Pada saat ini belum ada eksperimen yang dapat meraih suhu hingga benar-benar 0 mutlak, maka dari itu tidak mungkin efisiensi mesin mempunyai Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 22 efisien 0 hal ini sama saja mesin tidak dapat melakukan kerja apapun. Sehingga dapat menyimpulkan bahwa efisiensi Carnot berkisar antara 0 sampai 1 [16] . Dengan persamaan dibawah ini maka efisiensi Carnot dapat dihitung sebagai berikut. = Dimana: (2.15) : Efisiensi Carnot. : suhu panas (K) : suhu dingin (K) 2.6.3 Adjusted Efficiency Metode selanjutnya adalah menghitung efisiensi suhu disekitar atau lingkungan. Metode ini dilakukan berguna untuk menghitung perubahan suhu yang terjadi ketika panas yang dikeluarkan oleh mesin lebih besar atau tidak. Perhitungan dari kerugian energi dan menambahkannya kembali pada . Hal ini menunjukkan bahwa, kerugian atau kehilangan energi yang terbuang akan dicatat dan efisiensi yang dihasilkan mendekati efisiensi Carnot yang menunjukkan efisiensi maksimum tidak mungkin mencapai 100% [16] . Sehingga efisiensi lingkungan dapat diukur dengan menggunakan persamaan dibawah ini : Untuk mencari resistansi ( r ) : Dimana : = = = ( ) (2.16) (2.17) : Efisiensi Adjusted : Daya Kerja Sel Peltier ke Dua (W) P ′ : Daya heater ke Dua (W) P ′ : Arus Sel Peltier (A) : Hambatan di Dalam Sel Peltier (Ω) P P : Daya Heater ada hambatan (W) ( ) : Daya Heater Tanpa hambatan (W) Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 23 V V : Output Tegangan Sel Peltier Ada Hambatan (V) : Output Tegangan Sel Peltier tanpa hambatan (V) : Hambatan Luar Sel Peltier (Ω) 2.7 Sensor Temperatur Sensor temperatur merupakan alat yang dapat mendeteksi adanya perubahan suhu menjadi keluaran signal listrik sehingga keluaran suhu yang dikeluarkan oleh sistem atau lingkungan dalam zat (padat, gas, cair) bisa terukur. Dalam pembuatan alat ukur suhu terdapat banyak sensor temperatur yang digunakan dalam hal pembuatan sistem ini digunakan sensor temperatur yaitu DS1820. Sensor suhu Ds 1820 ini dikeluarkan oles Dallas Semiconductor yang bisa membaca dengan menggunakan protokol komunikasi satu wire. Ds1820 memiliki tiga pin yang terdiri dari +5, DQ (Data input/output) dan Ground. Gambar 2.11 Pin Konfigurasi DS1820 [Datasheet DS1820.Pdf] DS1820 mempunyai keunggulan yaitu data yang dikeluarkan berupa data digital dengan ketelitian 0.5ºC yang bisa dibaca oleh mikrokontroler. Pin yang dihubungkan hanya menggunakan satu port untuk komunikasi serial, dengan kemampuan dari DS1820 adalah memiliki 64-bit, tidak memerlukan komponen eksternal, power supply berkisar 3V sampai 5.5V, suhu yang akan diukur bisa mencapai -55ºC sampai 125ºC dengan keakuratan data dari -10ºC sampai 85ºC, resolusi dari ds 1820 ini adalah 9-bit dengan kecepatan mengukur suhu 750ms sampai 800ms [8]. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 24 2.8 Pulse Width Modulation (PWM) PWM atau Pulse Width Modulation merupakan suatu teknik yang digunakan unuk mengontrol kerja suatu alat yang memerlukan arus pull in yang besar untuk menghindari disipasi daya yang berlebihan dari alat yang dikontrol, atau untuk menghasilkan variabel output tegangan DC. Signal PWM dapat menggunakan dua metode yaitu menggunakan rangkaian Op-amp dan menggunakan metode digital. Metode analog yaitu umumnya digunakan langsung pada power supply, setiap perubahan PWM nya dipengaruhi oleh besarnya power supply dan menggunakan resolusi pwm dari 5.000 atau lebih. Kemudian keluarannya harus disaring dengan low-pass filter. Sedangkan metode digital yaitu setiap perubahan PWM nya dipengaruhi oleh resolusi dari PWM itu sendiri. Misalnya PWM digital 8bit berarti PWM tersebut memiliki resolusi 2 =256, sehingga nilai keluaran PWM ini memiliki 256 variasi yaitu mulai dari 0-255 yang menunjukkan duty cycle nya 0-100% dari keluaran PWM tersebut [18] . Pada perancangan sistem ini, mengunakan signal PWM dengan metode digital yang dibangkitkan oleh mikrokontroler ATMEGA 16. Signal ditentukan dengan menentukan frekuensi dan waktu dari variabel ON dan OFF. Parameter PWM dimana mempunyai tiga bagian periode, frekuensi dan waktu. Periode (T) merupakan durasi waktu dari satu siklus PWM. Sedangkan frekuensi merupakan pengulangan siklus ouput PWM, dimana F=1/T dengan satuan Hertz. Lebar pulsa adalah waktu selama satu siklus PWM adalah ”ON”, dan apabila tidak ON maka logika tinggi atau logika rendah tergantung pada aplikasi yang digunakan. Gambar 2.13 merupakan logika tinggi yang diasumsikan keadaan ON dan durasi waktu interval ditandai dengan ” Duty Cycle adalah rasio waktu ON untuk periode ( ”. Sedang kan /T). Hal ini sering diberikan simbol D yang dapat divariasi dari 0 hingga 1, 0 menunjukkan bahwa t=0 atau t ada wktu untuk ON sementara 1 menunjukkan t=T atau selalu ON [12]. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 25 Gambar 2.12 Parameter PWM High Time Gambar 2.13 merupakan [12] . pemodulasian sinyal yang beragam untuk menentukan duty cycle yang diinginkan sesuai dengan kegunaan dari sistem [17]. Gambar 2.13 Duty Cycle PWM [17] . Proses pembangkitan signal PWM pada mikrokontroler ATMEGA 16 ada 2 cara yaitu pertama signal PWM di trigger dari port input atau output yang berfungsi sebagai output. Sedangkan kedua signal PWM ditrigger pada program dari timer atau counter sehingga proses pengaturan high atau low untuk signal digital dapat dikendalikan dengan menentukan periode ON dan Off pada register gelombang PWM [6] Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 26 Gambar 2.14 Pengaturan PWM pada ATMEGA [18] Resolusi adalah jumlah variasi perubahan nilai dalam PWM tersebut. Misalkan suatu PWM memiliki resolusi 8 bit berarti PWM ini memiliki variasi perubahan nilai sebanyak 2 pangkat 8 = 256 variasi mulai dari 0 – 255 perubahan nilai. Compare adalah nilai pembanding. Nilai ini merupakan nilai referensi duty cycle dari PWM tersebut. Nilai compare bervariasi sesuai dengan resolusi dari PWM. pada gambar nilai compare ditandai dengan garis warna merah, dimana posisinya diantara dasar segitiga dan ujung segitiga. Clear digunakan untuk penentuan jenis komparator apakah komparator inverting atau non-inverting. Mikrokontroler akan membandingkan posisi keduanya, misalkan bila PWM diset pada kondisi clear down, berarti apabila garis segitiga berada dibawah garis merah (compare) maka PWM akan mengeluarkan logika 0. Begitu pula sebaliknya apabila garis segitiga berada diatas garis merah (compare) maka PWM akan mengeluarkan logika 1. Lebar sempitnya logika 1 ditentukan oleh posisi compare, lebar sempitnya logika 1 itulah yang menjadi nilai keluaran PWM,dan kejadian ini terjadi secara harmonik terus-menerus. Maka dari itu nilai compare inilah yang dijadikan nilai duty cycle PWM. Clear Up adalah kebalikan (invers) dari Clear Down pada keluaran logikanya [18]. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 27 Gambar 2.15 Compare Duty Cycle [18] Prescale digunakan untuk menentukan waktu perioda dari pada PWM. Nilai prescale bervariasi yaitu 1, 8, 64, 128, 256, 1024. Misalkan jika prescale diset 64 berarti timer/PWM akan menghitung 1 kali bila clock di CPU sudah 64 kali, Clock CPU adalah clok mikrokontroler itu sendiri. Perioda dari PWM dapat dihitung menggunakan rumus: = × × (2.18) Setting prescale disini digunakan untuk mendapatkan frekuensi dan periode kerja PWM sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Untuk perhitungan duty cycle dengan cara mengatur lebar pulsa “on” dan “off” dalam satu periode gelombang melalui pemberian besar sinyal referensi output dari suatu PWM akan didapat duty cycle yang diinginkan. Duty cycle dari PWM dapat dinyatakan sebagai: = × 100% (2.19) Duty cycle 100% berarti sinyal tegangan pengatur sistem dilewatkan seluruhnya. Jika tegangan catu 100V, maka keluaran dari sistem akan mendapat tegangan 100V. pada duty cycle 50%, tegangan pada sistem hanya akan diberikan 50% dari total tegangan yang ada, begitu seterusnya. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 28 Gambar 2.16 Duty Cycle pada Tegangan [18] Perhitungan Pengontrolan tegangan output sistem dengan metode PWM cukup sederhana. Gambar 2.17 Perhitungan Pengontolan Tegangan [18] Dengan menghitung duty cycle yang diberikan, akan didapat tegangan output yang dihasilkan. Sesuai dengan rumus yang telah dijelaskan pada gambar yaitu. = × (2.20) Verage voltage merupakan tegangan output pada motor yang dikontrol oleh sinyal PWM. a adalah nilai duty cycle saat kondisi sinyal “on”. b adalah nilai duty cycle saat kondisi sinyal “off”. Vfull adalah tegangan maximum pada motor. Dengan menggunakan rumus diatas, maka akan didapatkan tegangan output sesuai dengan sinyal kontrol PWM yang dibangkitkan [18]. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 29 2.9 Relay Relay adalah saklar mekanik yang dikendalikan atau dikontrol secara elektronik (elektromagnetik). Saklar pada relay akan terjadi perubahan posisi OFF ke ON pada saat diberikan energi elektromagnetik pada relay tersebut. Relay pada dasarnya terdiri dari 2 bagian utama yaitu saklar mekanik dan sistem pembangkit elektromagnetik (induktor inti besi). saklar atau kontaktor relay dikendalikan menggunakan tegangan listrik yang diberikan ke induktor pembangkit magnet untuk menarik armatur tuas saklar atau kontaktor relay. Relay yang ada dipasaran terdapat berbagai bentuk dan ukuran dengan tegangan kerja dan jumlah saklar yang bervariasi [23]. Relay dibutuhkan dalam rangkaian elektronika sebagai eksekutor sekaligus interface antara beban dan sistem kendali elektronik yang berbeda sistem power supply nya. Secara fisik antara saklar atau kontaktor dengan elektromagnetik relay terpisah sehingga antara beban dan sistem control terpisah. Bagain utama relay elektromagnetik adalah kumparan elektromagnetik, saklar atau kontaktor, swing armature, dan spring pegas [23]. Dari konstruksi relay elektromekanik diatas dapat diuraikan sistem kerja atau proses relay bekerja. Pada saat elektromagnet tidak diberikan sumber tegangan maka tidak ada medan magnet yang menarik armature, sehingga saklar relay tetap terhubung ke terminal NC (Normally Close) seperti terlihat pada gambar konstruksi dibawah. Kemudian pada saat elektromagnet diberikan sumber tegangan maka terdapat medan magnet yang menarik armature, sehingga saklar relay terhubung ke terminal NO (Normally Open) seperti terlihat pada gambar dibawah [23] Gambar 2.18 Relay Posisi Normally Open dan Normally Close [23] Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 30 Relay elektromekanik memiliki kondisi saklar atau kontaktor dalam 3 posisi. Ketiga posisi saklar atau kontaktor relay ini akan berubah pada saat relay mendapat tegangan sumber pada elektromagnetnya[23]. 1. Posisi Normally Open (NO), yaitu posisi saklar relay yang terhubung ke terminal NO (Normally Open). Kondisi ini akan terjadi pada saat relay mendapat tegangan sumber pada elektromagnetnya. 2. Posisi Normally Colse (NC), yaitu posisi saklar relay yang terhubung ke terminal NC (Normally Close). Kondisi ini terjadi pada saat relay tidak mendapat tegangan sumber pada elektromagnetnya. 3. Posisi Change Over (CO), yaitu kondisi perubahan armatur saklar relay yang berubah dari posisi NC ke NO atau sebaliknya dari NO ke NC. Kondisi ini terjadi saat sumber tegangan diberikan ke elektromagnet atau saat sumber tegangan diputus dari elektromagnet relay. Relay dapat digunakan untuk mengontrol motor AC dengan rangkaian kontrol DC atau beban lain dengan sumber tegangan yang berbeda antara tegangan rangkaian kontrol dan tegangan beban. Diantara aplikasi relay yang dapat ditemui diantaranya adalah. Relay sebagai kontrol ON/OF beban dengan sumber tegang berbeda. Relay sebagai selektor atau pemilih hubungan. Relay sebagai eksekutor rangkaian delay (tunda). Relay sebagai protektor atau pemutus arus pada kondisi tertentu Berikut ini adalah gambar relay yang digunakan dalam sistem ini yang mempunyai tipe HRS2H dengan tegangan 12V [10]. Gambar 2.19 Relay kaki 8 [10] Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia BAB 3 PERANCANGAN DAN CARA KERJA SISTEM Bab 3 menjelaskan tentang perancangan dan cara kerja sistem yang menjabarkan prosedur dari perangkat hardware (mekanik dan rangkaian) serta software (program) pada “Rancang Bangun Sistem Efisiensi Sel Peltier Berbasis Mikrokontroler” 3.1 Sistem Mekanik Sistem ini dirancang dengan menggunakan teknologi termoelektrik. Dimana Teknologi ini diterapkan untuk memanfaatkan energi listrik yang terbuang oleh mesin. Sistem ini menggunakan sel Peltier yang akan dimanfaatkan sebagai penghasil energi listrik. Sel Peltier bekerja ketika terjadi perbedaan temperatur diantara ujung-ujung sel dan menghasilkan arus listrik.. Sistem mekanik dapat dilihat pada blok diagram dibawah ini. Gambar 3.1 Blok Diagram sistem 31 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 32 Penjelasan diatas sudah diketahui bahwa sistem ini menggunakan sel Peltier, dengan tujuan berapa besar nilai efisiensi yang dihasil kan oleh sel Peltier. Dengan kata lain nilai efisiensi dari sel Peltier =∆ yaitu perbandingan antara nilai energi listrik (E) keluaran dari sel Peltier dengan nilai input dari Sistem pemanas atau perubahan panas dari sistem pemanas (Δ ). Berikut ini merupakan penjelasan dan fungsi dari masing-masing gambar 3.1. Sel Peltier mempunyai dua sisi yang berbeda yaitu sisi panas dan sisi dingin. Ketika sistem pemanas dinyalakan arus akan melewati beberapa resistor (R) sehingga suhu dari permukaan sel Peltier akan berubah, perubahan suhu pada sistem pemanas akan dibaca oleh sensor suhu DS1820 yang dihubungkan pada mikrokontroler. Kemudian daya (P) sistem pemanas akan diukur dengan menggunakan R total dari Heater dan variabel tegangan dengan menggunakan ADC. Sedangkan sistem pendingin dihubungkan dengan sisi dingin sel Peltier, suhu pada sistem pendingin akan dijaga konstan yang dibaca oleh sensor suhu DS1820. Sel Peltier bekerja ketika terjadi beda temperatur sehingga menghasilkan arus listrik. Semua data yang terukur akan dibaca oleh mikrokontroler melalui RS232 pada PC yang ditampilkan pada LCD dan program monitoring LabVIEW. 3.2 Perancangan Mekanik Dalam Perancangan mekanik meliputi tiga perancangan mekanik yaitu perancangan sistem, perancangan mekanik sistem pemanas, perancangan mekanik sistem pendingin. 3.2.1 Blok Sistem Pada gambar 3.2 merupakan gambar keseluruhan mekanik sistem. Desain pertama yang dilakukan membuat kotak dengan bahan dasar yang terbuat dari kaca dengan ketebalan 5 milimeter, panjang 50cm, tinggi 15cm dan lebar 15cm sehingga sistem ini berbentuk persegi panjang. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 33 Gambar 3.2 Blok Perancangan mekanik sistem Gambar 3.3 Perancangan tampak depan perancangan sistem Pada gambar 3.2 terlihat sistem mempunyai dua bagian. Bagian sistem pertama merupakan tempat sirkulasi air es yang berisikan selang dan pompa air sedangkan bagian sistem kedua tempat meletakkan sistem pemanas, sistem pendingin, dan sel Peltier. Perancangan sistem ini disertai dengan tiga sensor suhu (Ds1820) yang diletakkan pada sistem pemanas, sistem pendingin dan suhu pada sistem (lingkungan). Dimana perancangan sistem ini akan dihubungkan dengan rangkaian elektronika, power supply dan variabel tegangan yang akan dikendalikan oleh mikrokontroler. Sedangkan pada gambar 3.3 merupakan perancangan mekanik 3 dimensi yang didalamnya terdapat sistem pemanas dan sistem pendingin serta sel Peltier. sistem ini akan dikendalikan oleh rangkaian elektronika dan mikrokontroler. Dimana nantinya output dari sistem ini akan dimonitoring monitoring komputer dengan menggunakan software LabVIEW dan ditampilkan pada teks LCD. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 34 3.2.2 Sistem Pendingin. Mekanik sistem pendingin didesain dengan menggunakan bahan dasar plat. Plat ini mempunyai ukuran dengan ketebalan 2 cm, lebar 12,1cm dan panjang 10,3 cm. Ketebelan plat ini berfungsi sebagai aliran air yang terhubung dengan pipa didalam plat tersebut. Ukuran pipa untuk mekanik sistem pendingin yaitu 6,5 cm dengan diameter 0,2 cm. Pipa tersebut dihubungkan dengan selang air, dimana pompa air sebagai pengendali air. Terjadinya aliran air didalam plat bertujuan agar suhu pada sistem pendingin dijaga konstan. Gambar 3.4 Sistem pendingin Pada gambar 3.4 mekanik sistem pendingin dihubungkan pada sisi dingin sel Peltier. Dibawah ini merupakan gambar perancangan mekanik sistem pendingin dengan dua buah pipa yang sudah didesain dan siap digunakan dalam penelitian ini. Gambar 3.5 Mekanik pada sistem pendingin Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 35 3.2.3 Sistem Pemanas Untuk sistem pemanas di desain sama seperti sistem pendingin dengan ukuran plat alumanium panjang 10,3cm dan lebar 12,1 cm. namun perbedaan perancangan sistem pemanas yaitu pada ketebalan platnya 0,5cm. Pemanas (Heater) diletakkan ditengah-tengah plat alumanium sehingga panas yang dihasilkan heater akan menyebar kepermukaan plat alumanium. Gambar 3.6 Perancangan mekanik sistem pemanas Heater yang digunakan adalah enam resistor keramik yang dipasang secara parallel dihubungkan dengan daya listrik. Dimana fungsi dari sistem pemanas adalah untuk mengalirkan aliran arus pada sisi panas sel Peltier sehingga sel Peltier akan menghasilkan output berupa tegangan. 3.3 Rangkaian Elektronika Pada sistem ini diperlukan perangkat hardware rangkaian elektronika dimana rangkaian elektronika ini nantinya akan menjalankan sistem dari perancangan mekanik sistem. Rangkaian elektronika merupakan gabungan komponen-komponen listrik dan komponen elektronik lainnya. Dibawah ini akan dijelaskan fungsi dari masing-masing rangkaian elektronika yang digunakan dalam pembuatan sistem ini. 3.3.1 Rangkaian Pengendali Nilai Hambatan Pada Sel Peltier Untuk mengetahui nilai Efisiensi sel Peltier maka ada baiknya mengetahui nilai hambatan yang digunakan. Dalam hal ini nilai hambatan yang digunakan Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 36 adalah 4 buah resistor 0 Ω, 1Ω, 2Ω, dan 4Ω. Variasi nilai hambatan bertujuan agar mendapatkan perbandingan nilai efisiensi sel Peltier. R21 0 R22 1 R23 2 R24 +V +V T9 D3 T10 BC547 S2 BC547 GND 4007 4007 2K7 D2 J7 S4 R29 2K7 S1 S3 2K7 2K7 R27 BC547 4007 R26 4007 T8 GND S2 R28 S1 D1 4 S3 1 2 D4 CELL T11 BC547 GND S4 Gambar 3.7 Rangkaian pengendali nilai hambatan pada sel Peltier Empat buah resistor dihubungkan dengan on off relay. Dimana Relay dihubungkan dengan diode 4007 yang berfungsi sebagai penyearah (rectifier) dan tegangan positif +V dari mikrokontroler. Diode terhubung pada transistor ke kaki kolektor, kaki basis dihubungkan dengan resistor dan emitter langsung ke GND. Transistor berfungsi untuk menguatkan arus yang masuk sehingga dapat menggerakkan relay dan resistor sebagai pembagi tegangan yang terhubung langsung ke mikrokontroler. Pada penelitian ini hambatan pada sel Peltier akan dikendalikan oleh mikrokontroler dengan menggunakan prinsip kerja dari relay. Hambatan yang diubah-ubah pada sel Peltier bertujuan membandingkan hasil efisiensi dari ouput Sel Peltier seberapa besar efisiensi dari perbedaan hambatan tersebut. Ketika relay diberikan logika 0001 maka mikrokontroler akan memberi perintah pada input S1 dengan hambatan 0,5 yang merupakan relay akan mati (off). Sedangkan Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 37 untuk perintah relay on ketika relay diberikan logika 0010 yang berarti 2 sehingga mikrokontroler akan memerintahkan input S2 aktif dengan demikian nilai hambatan akan terukur yang nantinya akan menjadi fungsi pembagi tegangan sel Peltier. Dalam hal ini relay akan aktif ketika diberikan logika dengan nilai genap sedangkan ketika diberi logika nilai ganjil maka relay akan mati (off). Selanjutnya untuk mengaktifkan input S3 dan S4 nilai hambatan pada sel Peltier akan diberi perintah dari mikrokontroler sesuai dengan nilai logika genap. 3.3.2 Rangkaian Sensor Temperatur Sensor suhu yang digunakan adalah sensor suhu DS1820. Sensor suhu Ds 1820 ini dikeluarkan oles Dallas Semiconductor yang bisa membaca dengan menggunakan protokol komunikasi satu wire. DS1820 memiliki tiga pin yang terdiri dari +5, DQ (Data input/output) dan Ground. Perangcangan rangkaian sensor suhu dapat dilihat dari gambar berikut. Gambar 3.8 Rangkaian 1-wire DS1820 Untuk mengukur suhu pada sistem diperlukan tiga buah sensor suhu, yang diletakkan pada sistem pemanas, sistem pendingin dan keseluruhan sistem. Sensor suhu ini langsung dihubungkan ke mikrokontroler dengan 3 pin yaitu VCC, Data dan GND. Fungsi dari sensor DS1 untuk mengukur suhu pada sistem pemanas yang akan diukur ketika sistem pemanas bekerja sehingga sensor akan mendeteksi suhu pada sistem pemanas, sedangkan DS2 dihubungkan dengan sistem pendingin yang nantinya suhu akan dijaga konstan dan DS3 berfungsi sebagai mengukur suhu ruangan atau pada sistem. 3.3.3 Rangkaian Power Supply Rangkaian elektronika membutuhkan power supply, dimana power supply yang dibutuhkan mempunyai fungsi masing-masing. Power supply yang digunakan dalam pembuatan sistem ini adalah 5 Volt, 12 Volt dan 15 Volt. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 38 3.3.3.1 Rangkaian Power Supply 5V Rangkaian 3.9 ini digunakan sebagai sumber tegangan mikrokontroler dengan sumber tegangan 5V AC. Rangkaian ini menggunakan dioda bridge 1 3 sebagai penyearah tegangan dari2 input Ac trafo menjadi tegangan DC. 4 TIP2955 T1 D D Vin IC1 7805 + C3 330nF +6V J2 3 2 1 GND V- + 1 C4 100uF 2 V+ 4700uF AC D1 5A 47 C2 0V AC 4700uF V 2 1 C1 J1 R1 + Gambar 3.9 Rangkaian power supply (5V) C C Dari input terminal blok J1 Arus akan mengalir dan melewati kapasitor. Fungsi kapasitor disini sebagai filter kemudian Resistor berfungsi untuk mengurangi arus. Semakin besar tegangan, maka arus yang keluar tidak terlalu 2 3 besar (kecil) dan resistor yang digunakan harus lebih besar, jadi semakin besar B B resistor maka semakin kecil nilai arus yang diberikan sehingga transistor aktif. Transistor berfungsi sebagai penguat dan IC 7812 berfungsi sebagai regulator sehingga tegangan berubah menjadi 5VDC yang terhubung pada ouput J2, kemudian J2 akan dihubungkan dengan mikrokontroler. 3.3.3.2 Rangkaian Power Supply 12V A A Rangkaian power supply 12V digunakan sebagai sumber tegangan yang terhubung dengan sistem pemanas. Sumber tegangan ini mempunyai4 daya 120 1 2 3 Watt dengan arus 10 Ampere. TIP2955 T1 4700uF + 4700uF + C1 C2 47 1 R1 330nF C3 IC 7812 Vin GND + D1 BRIDGE Vout 3 + 100uF C4 1 12V 2 GND J3 1 12V 2 GND 2 2 1 - J1 AC2 AC1 J2 Gambar 3.10 Rangkaian power supply 12V Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 4 39 Perancangan rangkaian power supply 12 Volt menggunakan dioda bridge sebagai penyearah tegangan dari input Ac trafo menjadi tegangan DC. Pada rangkaian terdapat beberapa kapasitor yang berfungsi sebagai filter sehingga 1 2 4 3 ouput tegangannya akan menjadi stabil. Transistor sebagai penguat arus yang TIP2955 terhubung dengan IC 7812 yang berfungsi sebagai regulator penghasil tegangan T1 yang terhubung langsung ke GND. 2 AC D1 V+ R1 47 D 1 6A Power Supply 15V 3.3.3.3 Rangkaian 1 AC V- + Vin IC1 7812 + +6V J2 3 2 1 GND 9V 4700uF J1 4700uF D 12VDC C2 C1 + 0V Rangkaian ini merupakan sumber tegangan pada rangkaianC4pengkondisian C3 330nF 100uF 2 signal yaitu instrumentasi amplifier dengan keluaran tegangan 15Volt. TIP2955 T2 + C7 330nF + J4 V+ V- C8 330nF + R3 A 3 C9 100uF 47 2 C10 100uF 1 AC D2 6A +15V IC3 7915 1 2 3 + Vin -15V 3 A T3 TIP3055 1 B GND AC 4700uF 1 2 3 Vin IC2 7815 C6 B 1 C5 J3 47 2 4700uF R2 C GND C Gambar23.11 Rangkaian power supply 15V 3 4 Rangkaian ini menggunakan dioda bridge sebagai penyearah tegangan dari input Ac trafo menjadi tegangan DC. J3 merupakan input dari power supply dengan 3kaki, kaki 1 dan 3 terhubung dengan trafo yang menyebabkan tegangan AC berubah menjadi tegangan DC. Sedangkan kaki 2 langsung terhubung dengan J4 ouput. Kapasitor pada rangkaian berfungsi sebagai filter sehingga tegangan yang melewati kapasitor akan ditampung terlebih dahulu kemudian resistor pada rangkaian berfungsi untuk mengurangi arus yang masuk atau sebagai hambatan. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 40 Sehingga transitor akan aktif dan menjadi saturasi dari fungsinya kapasitor sebagai penguat yang dihubungkan dengan IC 7815 sebagai regulator +15VDC sedangkan IC 7915 berfungsi sebagai regulator tegangan -15VDC. Kemudian ouput J4 dihubungkan dengan instrumentasi amplifier. 3.3.4 Rangkaian Penguat AD620 2 1 10K10K 8 3 IC7 AD620 Vref +VS 104 C11 GND 4 -Vs 5 7 +Vs C10 R25 2K7 24.7K 6 104 -VS 106 24.7K + J2 2 1 C12 50K 1 2 10K10K VR4 J1 GND Gambar 3.12 Rangkaian penguat (AD620) Pada Sel Peltier, keluaran differensial sensor ini, diinputkan ke tahap penguatan, dalam hal ini dikarenakan keluaran tegangan dari sel peltier sangat kecil yaitu sekitar 0.99mV sampai 1.79mV. AD620 akan dihubungkan dengan mikrokontroler, mikrokontroler hanya dapat membaca tegangan antara 0V sampai 5V sehingga dibutuhkan penguatan 100x. Keluaran dari penguataan AD620 ini difilter terlebih dahulu sebelum diberi input ke pin adc dari mikrokontroler. 3.3.5 Rangkaian PWM untuk Variabel Tegangan pada Heater PWM atau Pulse Width Modulation merupakan suatu teknik yang digunakan unuk mengontrol kerja suatu alat yang memerlukan arus pull in yang besar untuk menghindari disipasi daya yang berlebihan dari alat byang dikontrol, atau untuk menghasilkan variabel output tegangan DC. Pada penelitian ini PWM Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 41 digunakan untuk mengatur sumber daya pada Heater sehingga dapat mendeteksi tingkat panasnya heater yang diatur oleh signal PWM dengan persentase duty cycle yang diberikan. T5 TL082 C3 -15V R6 100K + C1 T2 BC547 T1 BC547 R2 220 R1 10K R9 100K 0V VCC GND GND OUT 2 GND 0V J4 J3 3 2 1 1 2 3 0V -15V R10 100K IC2B PWM 104 I1 1K VCC 3 +15V R5 100K B C E 107 IC1 4N28 IN+ IN- R7 1 4 10K IC2A VCC 0V TL082 4 R3 104 R11 1K J2 1 2 T6 GND 2 GND I2 3 OUT 1 VCC VCC R12 470/2W IC4 5 TIP122 Io 1K C2 IC3 Iin R4 VR1 +12V +15V 5K BC547 T3 R8 470/2W Iin T4 Io TIP122 5 TIP142 TIP142 T7 Gambar 3.13 Rangkaian PWM untuk variabel tegangan pada heater Rangkaian diatas merupakan rangkaian perancangan pwm untuk mengendali tegangan pada heater. Rangkaian ini dihubungkan dengan heater dengan tujuan untuk memberikan signal input berupa PWM sehingga signal pwm akan masuk pada input rangkaian pengendali tegangan pada heater. Supply heater yang digunakan pada sistem ini mempunyai daya 120 watt yang berfungsi sebagai aktuator yang memberikan daya panas pada sel Peltier. Ketiga signal PWM masuk kerangkaian signal tersebut akan dideteksi oleh osiloskop, apakah keluaran signal tersebut berbentuk gelombang kotak atau tidak. Ternyata input signal PWM terdeteksi dengan keluaran berupa gelombang kotak sehingga signal tersebut masuk kekaki basis pada transistor BC547 yang berfungsi untuk menguatkan arus Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 42 input kemudian dibaca oleh colektor pada kaki BC547 dan langsung terhubung dengan IC optocoupler dengan tipe 4N28. Gambar 3.14 Input Signal PWM IC tersebut berfungsi sebagai pemisah antara rangkaian digital dengan power arus kecil dan rangkaian analog dengan power arus besar. Pada rangkaian diatas terdapat R sebagai nilai impedansi atau pembagi hambatan saja. Sedangkan transistor BC547 berfungsi untuk menguatkan arusdari input, VR1 pada potensiometer dengan nilainya sebesar 5K berfungsi untuk mengatur besarnya nilai input dari signal PWM yang nantinya dapat mengendalikan tegangan heater. kapasitor pada rangkaian diatas berfungsi digunakan untuk menstabilkan tegangan keluaran pada rangkaian sebelum masuk ke adc. Untuk supplay heater dihubungkan pada input J2 sebesar 0V-12V. Rangkaian op-amp diatas pada gambar 3.13 memiliki dua masukan dan satu keluaran serta memiliki penguatan DC yang tinggi. Untuk dapat bekerja dengan baik rangkaian op-amp diatas memerlukan tegangan catu yang simetris yaitu tegangan +15V dan tegangan -15V terhadap ground. Untuk rangkaian opamp diatas menggunakan IC TL082 yang berfungsi sebagai schmitt tgigger yang merupakan komparator regeneratif yang berfungsi sebagai pembanding dengan umpan balik positif. Pada dasarnya schmit trigger adalah komparator dengan 2 nilai pembanding (upper trip point/UTP dan lower trip point/LTP). Sistem kerja dari rangkaian diatas adalah signal masukan dari PWM masukke schmitt trigger, pada saat logika 1 maka ouput schmitt trigger juga 1 dan apabila signal mendapat gangguan noise sehingga level menjadi turun maka selama levelnya masih diatas Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 43 LTP, output akan tetap. Akan tetapi bila signal dalam logika rendah, pada saat signal mendapat noise dan level jadi naik, selama level tidak melebihi UTP maka ouput akan tetap. Jadi schimitt trigger akan menghilangkan pengaruh dari noise. Dalam suatu rangkaian penguatan ada hambatan yang masuk yaitu pada R5, R6, R9, dan R10 hal ini bertujuan akan signal masukan tidak terbebani terlalu besar. Semakin besar hambatan masukan pada suatu penguatan maka semakin baik juga penguatan tersebut dalam menguatkan signal masukan yang amplitudonya nanti sangat kecil. Untuk hambatan keluaran (output resistance) dari rangkaian pada gambar 3.14 diatas berfungsi sebagai pembangkit signal, dalam hal ini keluaran akan 0 bila tidak ada beban yang masuk pada rankaian opamp diatas, akan tetapi rangkaian op-amp diatas dihubungkan dengan sensor arus dan beban berupa heater, sehingga ouput akan terhubung pada J4. Ouput yang dihasilkan pada heater berupa tegangan semakin besar signal masukan pada input PWM maka semakin besar pula output yang keluar pada tegangan heater sehingga heater akan menjadi panas. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 44 3.3.6 Rangkaian Mikrokontroler ATmega16 1 6 4 2 1 C1+ 3 4 C7 105 C2- TXD 11 TX1in TX1out TXD 10 TX2in TX2out RX1out RX1in RX2out RX2in RXD1 12 RXD2 C 9 S1 S2 S3 S4 MOSI MISO SCK RST VCC L1 B 10uH C3 104 C4 104 C1 C2 30 30 C9 105 6 VS- 14 RX1 7 RX2 13 TX 8 TX 1 2 3 4 5 6 7 8 PB.0/(XCK/T0) PB.1/(T1) PB.2/(INT2/AIN0) PB.3/(OC0/AIN1) PB.4/(SS) PB.5/(MOSI) PB.6/(MISO) PB.7/(SCK) (ADC0)/PA.0 (ADC1)/PA.1 (ADC2)/PA.2 (ADC3)/PA.3 (ADC4)/PA.4 (ADC5)/PA.5 (ADC6)/PA.6 (ADC7)/PA.7 9 RST 10 VCC 30 AVCC 32 AREF 31 AGND (SCL)/PC.0 (SDA)/PC.1 (TCK)/PC.2 (TMS)/PC.3 (TDO)/PC.4 (TDI)/PC.5 (TOSC1)/PC.6 (TOSC2)/PC.7 11 GND 12 XTAL2 X1 11MHz 13 XTAL1 IC1 ATMEGA16 GND +12V +12V RS E DB4 DB5 DB6 DB7 14 15 16 17 18 19 20 21 I1 V1 I2 V2 SEL T1 VCC T2 3 2 1 J6 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 VO GND T3 PWM PUMP S1 S2 S3 S4 +12V RXD TXD PWMA PWMB PUMP + + VCC GND GND GND GND 2 4 6 8 10 106 GND Vin ISP AVR MOSI LED RST SCK MISO TIP2955 J1 T1 1 3 5 7 9 +5V VCC GND 22 23 24 25 26 27 28 29 C11 VCC A I1 V1 I2 V2 SEL T1 T2 T3 GND J5 R3 220 4K7 RST RST SCK MISO 40 39 38 37 36 35 34 33 PWMB PWM PWMA VCC 2 1 AL R1 106 MOSI DB4 DB5 DB6 DB7 AL GND (RXD)/PD.0 (TXD)/PD.1 (INT0)/PD.2 (INT1)/PD.3 (OC1B)/PD.4 (OC1A)/PD.5 (ICP)/PD.6 (OC2)/PD.7 GND C5 GND VCC VO RS GND E 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 C8 105 IC2 MAX232 C2+ 5 2 VS+ C1- LCD +12V GND 7805 C6 105 TX RX GND 3 2 1 IC3 D RXD2 RXD RXD1 5 3 1 2 J4 5K RX2 RX RX1 J3 VR1 J2 GND C10 R2 334 47 1 Gambar 3.15 Rangkaian mikrokontroler ATMEGA16 2 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 45 Mikrokontroler merupakan sistem keseluruhan computer yang didalamnya sudah terdapat mikroprosesor, I/O, memori ADC akan tetapi mikroprosesor berfungsi sebagai yang memproses data. Mikrokontroler AVR (Alf and Vegard’s Risc processor) mempunyai arsitektur 8bit untuk instruksi dikemas dalam kode 16-bit dan 1 clock atau disebut RISC (Reduced Instruction Set Computing) merupakan instruksi yang dieksekusi. Dalam hal ini mikrokontroler dikelompokkan pada beberapa kelas, yaitu keluarga AT90Sxx, keluarga ATMega dan AT86RFxx, akan tetapi yang membedakan setiap jenis mikrokontrolernya adalah kapasitas memori, fungsi masing-masing tipe dan peripheral. Sedangkan untuk instruksi dan arsitektur masing-masing tipe hampir sama. Dalam penelitian ini menggunakan rangkaian minimum system (minsys) dengan tipe IC ATMEGA16 yang berfungsi mengubah signal analog menjadi signal digital. Rangkaian ini akan memproses data dari PC sehingga dapat melakukan perhitungan untuk rangkaian pengendali hambatan pada sel Peltier, pengendali suhu, pengendali heater, dan penghasil pulsa (PWM). IC mikrokontroler juga mempunyai 40 pin dengan 32 pin I/O, 16 kbyte flash memori sehingga mikrokontroler mampu menyimpan instruksi dengan kapasitas yang cukup besar. Dalam mikrokontroler memiliki 1 cycle yang dapat mencapai 16 MHz sehingga mikrokontroler dapat melakukan instruksi dalam waktu cepat. Didalam rangkaian minimum sistem ini terdapat frekuensi osilator crystal (x-tal) 11 MHz yang berfungsi untuk membangkitkan frekuensi tinggi, maksud dari frekuensi tinggi adalah kecepatan operasi ada mikrokontroler terdeteksi oleh adanya pulsa sehingga kristal dapat mendeteksi adanya pulsa yang dibentuk oleh rangkaian pembangkit pulsa yaitu osilator kristal. pada gambar 3.15 terdapat supply mirokontroler sebesar 5Volt yang terdapat IC regulator 7805 yang berfungsi sebagai menstabilkan tegangan. Supply tersebut masuk apabila diberi tegangan dari computer atau dari power supply 5Volt pada gambar 3.15. Dalam Rangkaian ini terdapat ISP AVR yang berfungsi untuk mengdownload program dari PC. Dan rangkaian ini memiliki IC Max232 yang berfungsi sebagai mengubah level keluaran tegangan. Rangkaian pada gambar diatas memiliki J2, J3, J4, J5 dan J6 yang memiliki masing-masing fungsi. J2 sebagai jumper untuk Rx, Rx1, Rx2 dan RxD, Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 46 RxD1, RxD3 yang dihubungkan secara seri dengan masing-masing tipe, misalnya Rx dengan Rx1 atau RxD dengan Rx2. Selanjutnya untuk J3 berfungsi sebagai penghubung kaki kabel serial ke PC, sedangkan J4 sebagai Power supply 12volt akan tetapi yang terbaca oleh mikrokontroler hanya 5volt saja. Kemudian untuk J5 sebagai output dari keluaran PWM sedangkan J6 sebagai komunikasi antara mikrokontroler dengan rangkaian penendali heater, pengendali hambatan sel Peltier dan pengendali suhu. Pada rangkaian diatas terdapat Port di kaki Atmega16 yang memilikimasing-masing fungsi. PortA berfungsi sebagai data ADC pada sel Peltier dan Suhu, yang didalam portnya terbagi lagi menjadi 7 bagian yaitu PA.0, PA.1, PA.2, PA.3 dan PA.4 berfungsi sebagai data ADC dari tegangan dan arus sel Peltier. Sedangkan PA.5, PA.6 dan PA.7 berfungsi sebagai data ADC dari 3 suhu input dari DS. Kemudian pada portC berfungsi sebagai input untuk LCD sedangkan PD.4 berfungsi sebagai input dari pengendali PWM. Untuk port B berfungsi sebagai input (relay), PB.0 sampai PB.3 yaitu fungsi dari input s1, s2, s3 dan s4. Sedangkan PB.5 adalah MOSI, PB.6 adalah MISO, PB.7 adalah SCK yang berfungsi sebagai input dari downloader. 3.4 Perancangan Software Sistem Pada Gambar 3.16 merupakan flowchart monitoring program Bascom. Langkah awal menjalankan program ketika program distart atau mulai maka program akan terlebih dahulu menginisalisasi sistem sehingga program menjalankan program stars timer 1 dan start ADC tidak ada data yang dikirim program akan langsung menjalankan perintah pilih sensor temperatur kemudian LCD akan menampilkan jumlah sensor suhu yang digunakan. Kemudian perintah memasukkan data data power dan menunggu nilai Resistor pada Port B selanjutnya program akan mengubah power dalam perhitungan, bila ya program akan menjalankan perintah selanjutnya akan tetapi bila tidak (No) program akan kembali memasukkan data. Kemudian ketika ya maka perintah memasukkan nilai resistor dan tunggu, bila ya akan menjalankan perintah selanjutnya bila no perintah akan kembali meminta masukkan nilai resistor. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 47 Data resistor masuk maka sensor suhu akan mereset dan meng input ke 1wire dengan waktu 900 ms, selanjutnya temperatur 1 hingga 3 akan menampilkan data suhu yang terukur. Start Inisialisasi Sistem Start Timer1 Start ADC Power_flag = 0 Get_data_flag = 0 Reset 1wire Masukkan Input ke 1wire Tunggu 900 ms Perhitungan Nilai Temperatur 1 Reset 1wire Masukkan Input ke 1wire Pilih Sensor Input Data seri = “*” Data Power = Nilai input Pilih Nilai Resistor Port B = Nilai Resistor Konversi Data Power + Perhitungan Pwm1a = Data Power Pwm1b = Data Power N Tunggu “:” Y Data Resistor = Nilai Input N Tunggu “#” Perhitungan Nilai Temperatur 2 Reset 1wire Masukkan Input ke 1wire Perhitungan Nilai Temperatur 3 Konversi Data Power Heater + Perhitungan Konversi Data Tegangan Peltier + Perhitungan Kirim Data Temperatur1-3 Kirim Data Power Heater Kirim Data Power Peltier Kirim Data Tegangan Peltier Y Nilai Resistor = Nilai Input END Input Data Seri = “G” Gambar 3.16 flowchart monitoring pada software Bascom Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 48 Kemudian data power heater dan data sel peltier danlangsung di hitung , sehingga perintah selanjutnya data akan dikirim ke mikrokontroler melalui kabel serial Rs232 yang akan dimonitoring oleh komputer pada software LabVIEW. Setelah data terkirim, perintah akan kembali bila yam aka perintah selanjutnya adalah meminta memasukkan nilai resistor, jika tidak perintah akan berhenti. Pada gambar 3.17 merupakan flowchart monitoring komputer pada software LabView. Perintah pertama pada start atau memulai program, kemudian program meginisialisasi kemudian mengatur metode apa yang digunakan pada komputer yang akan memonitoring program. Setelah metode dipilih lalu mengatur nilai resistansi dan power heater yang diberikan. Perintah selanjutnya program akan memulai mengambil data (start) bila ya akan tetapi bila tidak program tidak akan menjalankan perintah selanjutnya. Kemudian perintah selanjutnya dijalankan maka akan mengirim data dan dibaca, selanjutnya data dikonversi. Data efisiensi akan ditampilkan dan grafiknya pun terlihat pada monitoring program pada software LabView. Kemudian program distop dan disimpan kedalam bentuk excel atau dalam format .xls. Setelah menyimpan data program monitoring selesai. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 49 START INISIALISASI SET EFFICIENCY METHODE SET RESISTANCE SET POWER HEATER NO START NO YES BACA TH, TC, TE, KONVERSI DISPLAY EFISIENSI SEL PELTIER DISPLAY GRAFIK STOP NO YES SIMPAN DATA END Gambar 3.17 Flowchart monitoring pada software LabView Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 50 Gambar 3.18 Front Panel monitor pada software LabView Gambar 3.19 Blok Diagram monitor pada software LabView Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia BAB 4 HASIL EKSPERIMEN DAN ANALISA DATA Bab ini akan membahas tentang hasil eksperimen dari penelitian dengan membandingkan teori dan konsep pada sel Peltier. Hasil penelitian ini diperoleh dari rangkaian sistem yang sudah dijelaskan pada bab 3 serta pengujian dan penganalisaan rangkaian alat untuk keseluruhan sistem, hal ini bertujuan agar rangkaian dari sistem bekerja dengan baik. Sehingga dapat memperoleh data dengan benar. 4.1 Data ADC Heater ADC merupakan suatu piranti yang dirancang untuk mengubah sinyal – sinyal analog menjadi bentuk sinyal digital atau dapat pula disimpulkan ADC ini dapat merubah nilai suatu masukan yang berupa tegangan listrik dalam voltase atau sinyal analog lainnya menjadi keluaran berupa nilai digital. Untuk menghasilkan pengkonversian tegangan yang baik ada kalanya sistem ini harus dikalibrasi, yaitu mencari hubungan antara tegangan analog dengan nilai ADC nya. Referensi tegangan yang digunakan pada program ADC internal yaitu dengan maksimal nilai tegangan 255. Tabel 4.1 data ADC (Heater) Nilai Nilai Input V1 Input V2 No ADC 1 ADC 3 (Volt) (Volt) 1 164 173 0.37 0.42 2 185 232 0.74 0.95 3 312 472 1.16 1.38 4 473 584 1.51 1.68 5 594 754 1.79 1.88 6 774 823 1.94 2.02 7 889 896 2.04 2.12 8 911 910 2.14 2.2 9 979 942 2.26 2.28 10 1006 967 2.34 2.38 11 1016 1005 2.36 2.4 51 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 52 Pada pengambilan data ADC diperoleh hasil seperti tabel diatas. Tabel tersebut perbandingan antara tegangan (V) dan ADC. Deri data diatas menunjukkan bahwa nilai adc akan semakin meningkat ketika tegangan diaturatur, dari nilai terendah sampai nilai maksimum. Hal ini menunjukkan data nila ADC bila dibandingkan secara teori sesuai. Dapat dilihat dari persamaan konversi nilai ADC . (4.1) Menurut teori ADC memerlukan daya sebesar 5 Volt pada pin Vcc (Vref) dan GND dihubungkan dengan ground, dengan Vref = ½ Vcc. Biasanya Vref bernilai 2.56 V, dari beberapa indikasi yang dimiliki oleh ADC kita dapat mengetahui berapa tegangan (V) yang dibutuhkan oleh ADC untuk menaikan 1 byte. Persamaan untuk mengetahui resolusi pada ADC sebagai berikut. (4.2) Selanjutnya data diatas diplot grafik yang bertujuan untuk kalibrasi nilai ADC terhadap tegangan. Sehingga dapat disimpulkan semakin tinggi tegangan dari maka nilai ADC yang terukur akan semakin meningkat hingga mencapai nilai maksimum ADC yaitu 1023. Kemudian dari grafik tersebut diperoleh suatu fungsi transfers dari grafik. (4.3) y = 0.0021x + 0.3043 (4.4) Dimana : y = Fungsi Tegangan (Volt) x = Nilai Konversi ADC Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 53 Hasil kalibrasi nilai ADC ini nantinya akan digunakan untuk mengkonversi nilai ADC dari perhitungan daya sistem pemanas yang akan diukur tegangan serta tegangan sel Peltier pada sistem akusisi data dari Labview. Gambar 4.1 Grafik ADC (1) terhadap tegangan (V) Gambar 4.2 Grafik ADC(2) terhadap tegangan (V) Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 54 4.2 Data Pengujian Nilai PWM Terhadap Tegangan (Volt) Dalam hal ini PWM berperan penting dalam sistem ini hal ini dikarena PWM merupakan input dari sistem pemanas, yang nantinya berfungsi sebagai pengendali tegangan pada heater. Pengambilan data pada PWM dimulai dengan mengkalibrasi nilai PWM yang masuk ke mikrikontroler yang bertujuan agar signal PWM masuk ke rangkaian pengendali tegangan sehingga heater akan panas. Dari kalibrasi tersebut diperoleh data Nilai PWM terhadap tegangan (Volt) sebagai berikut. Tabel 4.2 Nilai PWM terhadap tegangan heater Nilai V1(V) V2(V) No PWM Heater Heater 1 100 1.7 1.51 2 200 3.76 3.36 3 300 5.05 4.76 4 400 5.95 5.76 5 500 6.57 6.47 6 600 7.05 6.96 7 700 7.46 7.39 8 800 7.87 7.81 9 900 8.27 8.31 10 1000 8.87 8.93 11 1023 9 9.04 Data diatas merupakan hasil perbandingan antara nilai PWM terhadap tegangan heater (V). Tegangan yang terukur dari keluaran heater disesuaikan dengan tegangan input dari heater yaitu 12V. Sehingga ketika nilai PWM diatur hingga maksimal 1023 maka nilai tegangan akan maksimal dari tegangan input. Kemudian dari data tersebut dibuat grafik untuk mendapatkan fungsi transfersnya, kemudian fungsi transfer ini sebagai pengkalibrasian dari pwm terhadap tegangan yang sebenarnya (Realnya). y = 0.0067x + 2.5022 (4.5) y = 0.0072x + 2.1492 (4.6) Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 55 Dimana: y = Tegangan Heater V1 (Volt) dan V2 (Volt) X = Nilai PWM Gambar 4.3 Grafik nilai PWM terhadap tegangan (V) heater Gambar 4.4 Grafik nilai PWM terhadap tegangan (V) Heater Dari grafik diatas maka dapat disimpulkan mendekati linier hal ini disebabkan adanya gangguan noise dari luar. Akan tetapi dilihat dari data cukup linier. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 56 4.3 Data Nilai Hambatan pada Heater Heater berfungsi sebagai sistem pemanas yang dihubungkan pada sisi panas sel Peltier. Pada heater dibutuhkan nilai hambatan yang terukur sehingga heater akan dikalibrasi dengan menggunakan suhu yang terukur. Nilai suhu maksimal yang digunakan 90˚C, kemudian nilai hambatan yang terukur akan diukur setiap penurunan suhu tiap 10˚C. Sehingga dapat diperoleh nilai hambatan heater dengan menghitung nilai rata-rata dari keluaran hambatannya. Tabel 4.3 Data nilai hambatan pada heater No T˚C R (Ω) 1 90 2.6 2 80 2.4 3 70 2.2 4 60 2.1 5 50 2.1 6 40 2.1 7 30 2.1 Rata-rata 2.228571 2.2(Ω) Dari data diatas diperoleh hasil perbandingan antara nilai hambatan pada heater dan suhu dari 30 ˚C sampai 90 ˚C setiap penurunan 10 ˚C, dengan nilai hambatan rata-rata yaitu 2.2 Ω. Menurut teori nilai hambatan yan terukur tidak akan jauh dengan nilai hambatan yang digunakan nilainya tidak akan jauh dengan nilai hambatan yang terukur. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 57 Grafik 4.5 Nilai Hambatan Pada Heater Terhadap Suhu Grafik diatas merupakan grafik nilai hambatan yang terukur, sehingga niai tersebut mendekati garis linier. 4.4 Data Sensor Temperatur Ds1820 Terhadap Thermometer Untuk menggunakan sensor temperatur diperlukan adanya kalibrasi sensor dimana sensor tersebut akan mendeteksi adanya perubahan suhu yang terjadi pada sistem. Data sensor suhu ini diambil pada saat sensor tersebut dihubungkan dengan sistem pendingin dan sistem pemanas. Suhu pada sistem pendingin dijaga konstan sedangkan suhu pada sistem pemanas (Heater) akan meningkat. Suhu panas akan meningkat tergantung output dari tegangan heater yang dikendalikan oleh input signal PWM. Sehingga semakin tinggi tegangan pada heater akan semakin tinggi pula suhu yang akan dideteksi oleh sensor DS1820. Dibawah ini merupakan hasil kalibrasi Ds1820 yang dibandingkan dengan setiap kenaikan suhu pada alat ukur (termometer). Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 58 Gambar 4.6 Grafik DS1820 terhadap termometer 4.5 Pengambilan Data Efisiensi Sel Peltier Pengkuran sistem pengukur efisiensi sel Peltier berbasis mikrokontroler dilakukan dengan menggunakan perbedaan suhu sehingga sel Peltier menghasilkan tegangan. Pengujian sistem ini dilakukan dengan beberapa metode pengukuran. Metode-metode tersebut dapat dilihat pada subbab berikut ini. 4.5.1 Pengujian Daya Sel Peltier Dengan Variabel nilai Hambatan Untuk mengetahui nilai tegangan yang terukur pada sel Peltier maka dibutuhkan nilai resistance yang dipasang pada rangkaian pengendali nilai resistan yang bertujuan untuk menghitung daya yang keluar pada sel Peltier. Data dibawah ini merupakan hasil pengukuran nilai daya heater dan daya Peltier yang terukur serta suhu dan tegangan Peltier. 4.5.1.1 Pengujian Sistem Pengukur Daya pada nilai R (1,7 Ω) dan R(6.3Ω) Pengujian alat ini dilakukan ketika sistem pemanas dan sistem pendingin sudah terdeteksi suhu sehingga Pengambilan data dilakukan dengan mengatur tegangan pada heater atau pwm dalam % kemudian suhu panas (TH) akan bertambah ketika nilai tegangan pada heater sudah diatur dari 5V sampai 10V. suhu dingin diatur konstan (TC) dan suhu lingkungan (TE) berfungsi sebagai suhu pendeteksi perubahan didalam sistem. Tegangan sel Peltier yang terukur mV Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 59 sehingga satuan daya Peltier yang terukur (µW). Untuk melakukan perhitungan daya pada sel Peltier dan Daya Heater maka digunakan persamaan (2.11). Berikut ini adalah hasil dari pengujian sistem pengukur daya pada Sel Peltier. R=1.7 Ω Tabel 4.4 Data Sistem Pengukur Daya (R=1,7Ω) (mV) V(V) TC (˚K) TE (˚K) TH (˚K) Ph (W) Pp (µW) 5 4.4 14 8.5 3 11.36 5.3 6 4.5 15 15 6 16.36 2.2 7 4.5 15 20.5 1,2 22.27 8.5 8 4.5 17 31.5 1,6 29.09 1.5 9 4.5 18 40 2,2 36.81 2.5 10 4.5 20.5 54.5 3 45.45 2.8 R= 6.3 Ω Tabel 4.5 Data Sistem Pengukur Daya (R=6,3Ω) (mV) V(V) TC (˚K) TE (˚K) TH (˚K) 5 8.5 20.5 22.5 3 11.36 1.4 6 8.5 20.5 24 4 16.36 2.5 7 8.5 21 28.5 5 22.27 3.9 8 8.5 21 30.5 7 29.09 7.8 9 8.5 21.5 42 1,4 36.82 3.1 10 8.5 22 56 4,8 45.45 3.7 Ph (W) Pp (µW) R =0, W=0 Tabel 4.6 Data Sistem Pengukur Daya (R=0 Ω) (V) (mV) TC(˚K) TE(˚K) TH(˚K) 5 4.5 21.5 33.5 0.09 6 4.5 21.5 40 0.11 7 5 22.5 49 0.18 8 4.5 23 54 0.21 9 5.5 24 62.5 0.25 10 8.5 27 71.5 0.31 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 60 4.5.2 Perhitungan Efisiensi Sel Peltier Dengan Beberapa Metode Perhitungan efisiensi sel Peltier menggunakan metode Carnot, Metode Actual dan metode Adjusted. Perhitungan metode Carnot dan Actual diperoleh dari hasil pengukuran daya sel Peltier dan langsung dicari efisiensinya sedangkan metode adjusted dilakukan dengan mengukur tegangan Peltier yang tidak menggunakan r (no load). Sehingga untuk data efisiensi sel Peltier dapat dilihat pada table dibawah ini. Tabel 4.7 Data Sistem Pengukur Efisiensi Sel Peltier R=1,7 Ω R=1,7 Ω R=1,7 Ω dan R=0 Ω Efisiensi Carnot Efisiensi Actual Efisiensi Adjusted 0,48 4.65 8,7 0,7 1,29 6,4 0,78 3,8 8,2 0,85 5,17 7,2 0,88 6,39 7 0,9 6,26 6,8 Tabel 4.8 Data Sistem Pengukur Efisiensi Sel Peltier R=6,3 Ω R=6,3 Ω R=6.3 Ω dan R=0 Ω Efisiensi Carnot Efisiensi Actual Efisiensi Adjusted 0.62 1,25 x 8,75 0.64 1,55 6,44 0.7 1,78 x 8,18 0.72 2,67 7,2 0.79 8,44 7 0.84 8 6,8 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 61 Gambar 4.7 Pengujian efisiensi metode Carnot Gambar 4.8 Pengujian efisiensi pada metode actual Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 62 Gambar 4.9 Pengujian efisiensi pada metode adjusted Dari data pengujian sistem pengukur efisiensi sel Peltier dilakukan dengan mengatur tegangan dari heater, mengatur metode apa yang diberikan dan mengatur nilai resistansinya. Sehingga semakin besar daya heater yang diberikan maka akan semakin cepat juga suhu mendeteksi. Akan tetapi perubahan suhu perlu dilakukan dengan waktu yang agak lama sehingga tegangan pada sel Peltier akan meningkat. Dari data suhu dingin diatur dengan pengaliran air es didalam plat aluminium secara terus menerus, akan tetapi ketika aliran air tidak stabil maka suhu pada sistem pendingin berubah 0.5˚C. Sedangkan Tegangan Peltier yang keluar selalu mengikuti perubahan suhu. Pengukuran dan pengambilan data dilakukan pada suhu yang tidak berubah, kemudian pada daya heater mengikuti tegangan yang diberikan oleh variabel tegagan dan langsung dibagi dengan nilai Rtotal dari nilai hambatan heater. Sedangkan daya Peltier diperoleh dari perhitungan antara Tegangan yang keluar dari sel Peltier dibagi dengan nilai R pada variabel nilai resistansi. Berikut ini adalah data nilai r sel Peltier , arus I (A) yang terukur pada sel Pelteir dan Heater, dengan menggunakan variabel R=1,7Ω dan R=6,3 Ω. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 63 Tabel 4.9 Data Sistem Pengukur r di dalam Sel Peltier R=1.7 Ω (mV) (mA) Ω (A) 0.09948 5635.5 1.76 x 2.272727 0.10539 2984.35 3.53 x 2.727273 0.18213 2578.475 7.06 x 3.181818 0.20962 2225.5125 9.4 x 3.636364 0.25806 1992.4 0.000129412 4.090909 0.31079 1759.443333 0.000176471 4.545455 R=6.3Ω (mV) Ω (mA) (A) 0.09948 20884.5 4.76 x 2.272727 0.10539 16592.63 6.35 x 2.727273 0.18213 22942.08 7.94 x 3.181818 0.20962 18859.5 1.11 x 3.636364 0.25806 11606.4 2.22 x 4.090909 0.31079 4072.819 7.62 x 4.545455 Dari beberapa data diperoleh nilai efisiensi dengan beberapa metode yang sudah terukur, dimana hasil tersebut sudah sesuai dengan teori efek Seebeck yaitu ketika terjadi beda temperatur maka terjadi beda potensial listrik dan sesuai dengan teori dari efek Peltier yatu kebalikan dari efek Seebeck dimana ketika terjadi beda temperatur akan mengakibatkan terjadinya arus listik. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi termoelektrik bisa dijadikan sebagai alternatif untuk energi cadangan dimasa mendatang, akan keluaran tetapi energi listrik atau daya dari sel Peltier masih sangat kecil sehingga efisiensi yang diperoleh juga kecil. Hal yang dapat dilakukan nantinya untuk Pengukuran sel Peltier yang lebih besar digunakan cara untuk menghasilkan energi yang lebih besar. Jadi teknologi termoelektrik ini akan berguna untuk memanfaatkan panas yang terbuang dari mesin yang bisa diubah menjadi energi listrik. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan kesimpulan dari hasil yang diperoleh dalam pengujian sistem dan pengambilan data. Selain kesimpulan, bab ini juga memuat kritik dan saran dengan tujuan adanya pengembangan lebih lanjut dari penelitian ini dan nantinya akan berguna bagi orang-orang yang membacanya. 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil pengujian sistem dan data hasil penelitian sistem efisiensi sel Peltier, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa : 1. Semakin besar input variabel tegangan (PWM) yang diberikan pada sistem pemanas maka suhu sistem pemanas akan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai variabel tegangan yang diberikan. 2. Nilai tegangan sel Peltier akan terukur ketika suhu temperatur sisi panas dan sisi dingin berbeda. 3. Sistem pendingin dijaga konstan dengan mengalirkan siklus air es kedalam plat yang dibaca oleh sensor suhu. 4. Daya yang dihasilkan sel Peltier meningkat ketika perbedaan temperatur sisi panas dan sisi dingin sel Peltier sel Peltier meningkat. 5. Untuk hasil pengukuran Efisiensi, terdapat perbandingan antara metode Carnot, metode actual dan metode adjusted. Dilihat dari data hasil metode Carnot nilai nya 0.7 hingga mendekati 0.9, sedangkan hasil efisiensi metode actual lebih kecil nilainya hampir mendekati 1 x10 . Bila dibandingkan dengan metode Adjusted maka nilai efisiensi 8,7 x 10 . 64 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 65 5.2 Saran Dalam perancangan mekanik dan pengujian sistem, masih ada kekurangan yang perlu diperhatikan, agar nantinya perancangan ini menjadi lebih sempurna dan lebih baik maka terdapat beberapa saran sebagai berikut. 1. Memperhatikan rangkaian dan data sheet untuk setiap komponen agar tidak short dan tidak terjadi kerusakan pada komponen lainnya. 2. Agar tidak terjadi banyak noise yang menggangu maka sel Peltier harus terisolasi dengan bener. 3. Sistem pendingin yang digunakan belum efisien, hal ini dikarenakan saat air es tidak ada batu es nya lagi data mulai turun ataupun naik. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia DAFTAR REFERENSI [1] Francis W. Sears and Gerhard L. Salinger. 1995. Thermodynamics, Kinetic Theory, and Statistical Thermodynamics, Massachusetts: Addison-Wesley Pubishing Company. 111-115. [2] Giancoli, Douglas C. (1998). PHYSICS, Fifth Edition. Diterjemahkan oleh Dra.Yuhilza Hanum, M.Eng dan Ir.Irwan Arifin, M.Eng. Jakarta: Erlangga. 65-77 [3] Holman J.P. (1984). Heat Transfer, Fifth Edition. Diterjemahkan oleh Ir E.Jasfi M.Sc. Jakarta : Erlangga. 1-20. [4] Kreith Frank. (1985). Principles of Heat Transfer, Third EditionUniversity of Colorado, USA. Diterjemahkan oleh Arko Prijono M.Sc. Jakarta: Erlangga. 1-22. [5] Malvino, A.P. (1999). Prinsip-prinsip Elektronika, edisi ke dua. Jakarta: Erlangga. [6] Seborg, Dale E. (1989). Process Dynamics And Control. John Wiley & Sons Inc. [7] Zemansky dan Sears. (1999). University Physics. The City College of the City of New York. Jakarta: Trimitra Madiri. 391-458. [8] Data Sheet. DS1820. Diakses 06 maret 2012 (11.54 WIB) http://www.alldatasheet.com, [9] Data Sheet. Thermoelectric Cooler Peltier 12V_45,6W. Diakses 23 Februari 2012 (12.59 WIB) http://www.alldatasheet.com [10] Data Sheet.Relay. HRS2H-12V. Diakses 12 Oktober 2012 (14.16 WIB) http://www.alldatasheet.com, [11] Energi diakses pada 5-april-2012, (19:58 WIB). http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1125749769 [12] Filtering PWM Signals.pdf . Diakses Selasa, 09 Oktober 2012 (15.50 WIB) http://www.proaxis.com/~wagnerj/PWMfil/PWM%20Filters.pdf [13] Ma_clemson_0050M_10835.pdf. Diakses Rabu, 18 April 2012(12.56 WIB)http://etd.lib.clemson.edu/documents/1285787113/Ma_clemson_0050M _10835.pdf 66 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia 67 [14] MIT2_997F09_lec02.pdf. Diakses Selasa, 01 mei 2012(12.56 WIB) http://ocw.mit.edu/courses/mechanical-engineering/2-997-direct-solarthermal-to-electrical-energy-conversion-technologies-fall-2009/audiolectures/MIT2_997F09_lec02.pdf [15] Nandy Putra.2009. Potensi Pembangkit Termoelektrik Untuk Kendaraan Hibrid.pdf. Depok : Universitas Indonesia, 2009. 21-April-2012. (15.15 WIB) http://journal.ui.ac.id/technology/article/view/466/462 [16] Pasco Scientific.1991. Thermal Efficiency Apparatus, Instruction Manual and Experiment Guide for The Pasco Scientific Model TD-8564, 1991. 23febuari-2012.(11.59) http://faculty.rcc.edu/bhattacharya/phy4c/thermal_efficiency.pdf [17] PWM in AVR v1.0.pdf. Diakses Senin, 15 Oktober 2012(11.47 WIB) http://robotika.yweb.sk/skola/AVR/visionrobo%20com/PWM%20in%20AVR %20v1.0.pdf [18] PWM (Pulse Width Modulation) . diakses 15 oktober 2012 (21.40 WIB) http://digilib.ittelkom.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id =820:pwm-pulse-width-modulation&catid=15:pemrosesan-sinyal&Itemid=14 [19] Semikonduktor, Piranti_Semikonduktor.pdf. diakses Kamis, 5-April-2012 (20.58WIB).http://datapendidik.blogspot.com/2012/03/kumpulan-materipelajaran-elektro-pdf.html. [20] Tellurex Corporation. 2010. Seebeck-faq.pdf.1462 Inernational Drive Traverse city, MI 49686. Diakses jum’at 15-maret-2012 (21.49 WIB). http://www.tellurex.com/technology/peltier-faq.php [21] Tellurex Corporation. 2010. Peltier-faq.pdf.1462 Inernational Drive Traverse city,MI49686.Diakses jum’at15-maret-2012(21.49WIB). http://www.tellurex.com/technology/Seebeck-faq.php [22] Thermoelectric-Cooling-basics .pdf. Diakses Selasa 01 mei 2012 (01.07 WIB) http://www.enertron-inc.com/enertron-resources/pdf/thermoelectriccooling-basics.pdf [23] Teori Relay Elektro Mekanik _ Elektronika Dasar. Diakses 16 oktober 2012 (08.11WIB) http://elektronika-dasar.com/teori-elektronika/teori-relay-elektromekanik/ Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Universitas Indonesia LAMPIRAN Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 $regfile = "m16DEF.dat" $crystal = 11059200 $baud = 9600 On Urxc Seri_in Enable Interrupts Enable Urxc Config Adc = Single , Prescaler = Auto , Reference = Internal Config Timer1 = Pwm , Pwm = 10 , Compare A Pwm = Clear Down , Compare B Pwm = Clear Down , Prescale = 64 Config Portb = Output Config Porta = Input Config 1wire = Porta.5 Config Lcdpin = Pin , Db4 = Portc.4 , Db5 = Portc.5 , Db6 = Portc.6 , Db7 = Portc.7 , E = Portc.3 , Rs = Portc.2 Config Lcd = 20 * 4 Cursor Off Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Dim Ulang As Bit Get_data_flag As Bit Power_flag As Bit Data_resistor_byte As Byte Resistor As Single Data_resistor_str As String * 2 Data_resistor_int As Integer Data_power_single As Single Data_power_str As String * 3 Data_power_int As Integer Adc_val As Word Vh1 As Single Vh2 As Single Ph1 As Single Ph2 As Single Ph As Single Ph_int As Integer Vp As Single Vp_int As Integer Pp As Single Pp_int As Integer T1_chr As String * 5 T1 As Integer T2 As Integer T3 As Integer T2_chr As String * 5 T3_chr As String * 5 Data_seri As String * 1 'KONFIGURASI SUHU *********************************************************' Dim Rom(8) As Byte Dim Temp As Single Dim Id1(8) As Byte Dim Id2(8) As Byte Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Dim Id3(8) As Byte ID sensor Dim Jum_sensor As Byte Dim I As Byte Main_program: Cls Locate 1 , 1 Lcd "EFISIENSI SELPELTIER" Locate 2 , 1 Lcd "T DS1820 (1) = " ; T1_chr Locate 3 , 1 Lcd "T DS1820 (2) = " ; T2_chr Locate 4 , 1 Lcd "T DS1820 (3) = " ; T3_chr Power_flag = 0 Start Adc Start Timer1 Power_flag = 0 Get_data_flag = 0 Jum_sensor = 1wirecount() For I = 1 To Jum_sensor Select Case I Case 1 : Id1(1) = 1wsearchfirst() 'Mencari sensor pertama Case 2 : Id2(1) = 1wsearchnext() sensor selanjutnya Case 3 : Id3(1) = 1wsearchnext() sensor selanjutnya End Select Next I Do If Power_flag = 1 Then Power_flag = 0 Data_resistor_int = Val(data_resistor_str) Select Case Data_resistor_int Case 2 Resistor = 1.6 Case 4 Resistor = 3.5 Case 6 Resistor = 5.1 Case 8 Resistor = 4.7 Case 10 Resistor = 6.3 Case 12 Resistor = 8.2 Case 14 Resistor = 9.8 End Select Portb = Data_resistor_int Data_power_single = Val(data_power_str) Data_power_single = Data_power_single / 100 Data_power_single = Data_power_single * 1023 Data_power_single = Round(data_power_single) Data_power_int = Data_power_single Pwm1a = Data_power_int Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 'Buat ' 'Cari 'Cari Pwm1b = Data_power_int End If If Get_data_flag = 1 Then Get_data_flag = 0 1wreset 1wwrite &HCC 1wwrite &H44 Waitms 900 1wreset 1wwrite &H55 For I = 1 To 8 1wwrite Id1(i) Next I 1wwrite &HBE Rom(1) = 1wread(1) Temp = Rom(1) / 2 T1_chr = Fusing(temp , "#.#") Temp = Temp * 10 Temp = Round(temp) T1 = Temp Locate 2 , 16 Lcd " " Locate 2 , 16 Lcd T1_chr Waitms 100 1wreset 1wwrite &H55 For I = 1 To 8 1wwrite Id2(i) Next I 1wwrite &HBE Rom(1) = 1wread(1) Temp = Rom(1) / 2 T2_chr = Fusing(temp , "#.#") Temp = Temp * 10 Temp = Round(temp) T2 = Temp Locate 3 , 16 Lcd " " Locate 3 , 16 Lcd T2_chr Waitms 100 1wreset 1wwrite &H55 For I = 1 To 8 1wwrite Id3(i) Next I 1wwrite &HBE Rom(1) = 1wread(1) Temp = Rom(1) / 2 T3_chr = Fusing(temp , "#.#") Temp = Temp * 10 Temp = Round(temp) T3 = Temp Locate 4 , 16 Lcd " " Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Locate 4 , 16 Lcd T3_chr Adc_val = Getadc(1) Vh1 = Adc_val * 0.002 Vh1 = Vh1 + 0.3874 Ph1 = Vh1 * Vh1 Ph1 = Ph1 / 2.2 Adc_val = Getadc(3) Vh2 = Adc_val * 0.0021 Vh2 = Vh2 + 0.03043 Ph2 = Vh2 * Vh2 Ph2 = Ph2 / 2.2 Ph = Ph2 + Ph1 Ph = Ph * 10 Ph = Round(ph) Ph_int = Ph Adc_val = Getadc(4) Vp = Adc_val Vp = Adc_val * 0.2784 Vp = Vp + 2.3189 Pp = Vp * Vp Pp = Pp / Resistor Pp = Round(pp) Pp_int = Pp Vp = Round(vp) Vp_int = Vp Print T1 ; ":" ; T2 ; ":" ; T3 ; ":" ; Ph_int ; ":" ; Pp_int ; ":" ; Vp_int ; "#" End If Loop Seri_in: Disable Interrupts Data_seri = Inkey() If Data_seri = "*" Then Power_flag = 1 Data_power_str = "" Ulang = 1 Do Data_seri = Waitkey() If Data_seri = ":" Then Ulang = 0 Else Data_power_str = Data_power_str + Data_seri End If Loop Until Ulang = 0 Data_resistor_str = "" Ulang = 1 Do Data_seri = Waitkey() If Data_seri = "#" Then Ulang = 0 Else Data_resistor_str = Data_resistor_str + Data_seri End If Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Loop Until Ulang = 0 End If If Data_seri = "G" Then Get_data_flag = 1 Enable Interrupts Return Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Tabel 4.3 Data Sensor Temperatur (DS1820) vs Termometer No T (˚C) DS1820 T (˚C) Termometer 1 26.5 26.5 2 27.5 27.5 3 28.5 28.5 4 29.5 29.5 5 30.5 30.5 6 31.5 31.5 7 32.5 32.5 8 33.5 33.5 9 34.5 34.5 10 35.5 35.5 11 36.5 36.5 12 37.5 37.5 13 38.5 38.5 14 39.5 39.5 15 40.5 40.5 16 41.5 41.5 17 42.5 42.5 18 43.5 43.5 19 44.5 44.5 20 45.5 45.5 21 46.5 46.5 22 47.5 47.5 23 48.5 48.5 24 49.5 49.5 25 50.5 50.5 26 51.5 51.5 27 52.5 52.5 28 53.5 53.5 29 54.5 54.5 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 30 55.5 55.5 31 56.5 56.5 32 57.5 57.5 33 58.5 58.5 34 59.5 59.5 35 60.5 60.5 36 61.5 61.5 37 62.5 62.5 38 63.5 63.5 39 64.5 64.5 40 65.5 65.5 41 66.5 66.5 42 67.5 67.5 43 68.5 68.5 44 69.5 69.5 45 70.5 70.5 46 71.5 71.5 47 72.5 72.5 48 73.5 73.5 49 74.5 74.5 50 75.5 75.5 51 76.5 76.5 52 77.5 77.5 53 78.5 78.5 54 79.5 79.5 55 80.5 80.5 56 81.5 81.5 57 82.5 82.5 58 83.5 83.5 59 84.5 84.5 60 85.5 85.5 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Thermoelectric Cooler Peltier 12V, 45.6W Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 a Low Cost, Low Power Instrumentation Amplifier AD620 CONNECTION DIAGRAM FEATURES EASY TO USE Gain Set with One External Resistor (Gain Range 1 to 1000) Wide Power Supply Range (62.3 V to 618 V) Higher Performance than Three Op Amp IA Designs Available in 8-Lead DIP and SOIC Packaging Low Power, 1.3 mA max Supply Current EXCELLENT DC PERFORMANCE (“B GRADE”) 50 mV max, Input Offset Voltage 0.6 mV/8C max, Input Offset Drift 1.0 nA max, Input Bias Current 100 dB min Common-Mode Rejection Ratio (G = 10) LOW NOISE 9 nV/√Hz, @ 1 kHz, Input Voltage Noise 0.28 mV p-p Noise (0.1 Hz to 10 Hz) RG 1 8 –IN 2 7 +VS +IN 3 6 OUTPUT –VS 4 AD620 RG 5 REF TOP VIEW 1000. Furthermore, the AD620 features 8-lead SOIC and DIP packaging that is smaller than discrete designs, and offers lower power (only 1.3 mA max supply current), making it a good fit for battery powered, portable (or remote) applications. The AD620, with its high accuracy of 40 ppm maximum nonlinearity, low offset voltage of 50 µV max and offset drift of 0.6 µV/°C max, is ideal for use in precision data acquisition systems, such as weigh scales and transducer interfaces. Furthermore, the low noise, low input bias current, and low power of the AD620 make it well suited for medical applications such as ECG and noninvasive blood pressure monitors. EXCELLENT AC SPECIFICATIONS 120 kHz Bandwidth (G = 100) 15 ms Settling Time to 0.01% APPLICATIONS Weigh Scales ECG and Medical Instrumentation Transducer Interface Data Acquisition Systems Industrial Process Controls Battery Powered and Portable Equipment PRODUCT DESCRIPTION The AD620 is a low cost, high accuracy instrumentation amplifier that requires only one external resistor to set gains of 1 to 30,000 The low input bias current of 1.0 nA max is made possible with the use of Superβeta processing in the input stage. The AD620 works well as a preamplifier due to its low input voltage noise of 9 nV/√Hz at 1 kHz, 0.28 µV p-p in the 0.1 Hz to 10 Hz band, 0.1 pA/√Hz input current noise. Also, the AD620 is well suited for multiplexed applications with its settling time of 15 µs to 0.01% and its cost is low enough to enable designs with one inamp per channel. 10,000 25,000 3 OP-AMP IN-AMP (3 OP-07s) 1,000 RTI VOLTAGE NOISE (0.1 – 10Hz) – mV p-p TOTAL ERROR, PPM OF FULL SCALE 8-Lead Plastic Mini-DIP (N), Cerdip (Q) and SOIC (R) Packages 20,000 15,000 AD620A 10,000 RG TYPICAL STANDARD BIPOLAR INPUT IN-AMP 100 G = 100 10 AD620 SUPERbETA BIPOLAR INPUT IN-AMP 1 5,000 0 0 5 10 SUPPLY CURRENT – mA 15 20 Figure 1. Three Op Amp IA Designs vs. AD620 0.1 1k 10k 100k 1M SOURCE RESISTANCE – V 10M 100M Figure 2. Total Voltage Noise vs. Source Resistance REV. E Information furnished by Analog Devices is believed to be accurate and reliable. However, no responsibility is assumed by Analog Devices for its use, nor for any infringements of patents or other rights of third parties which may result from its use. No license is granted by implication or otherwise under any patent or patent rights of Analog Devices. One Technology Way, P.O. Box 9106, Norwood, MA 02062-9106, U.S.A. Tel: 781/329-4700 World Wide Web Site: http://www.analog.com Fax: 781/326-8703 © Analog Devices, Inc., 1999 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 AD620–SPECIFICATIONS Model Conditions GAIN Gain Range Gain Error2 G=1 G = 10 G = 100 G = 1000 Nonlinearity, G = 1–1000 G = 1–100 Gain vs. Temperature G = 1 + (49.4 k/R G) (Typical @ +258C, VS = 615 V, and RL = 2 kV, unless otherwise noted) Min AD620A Typ Max 1 VOUT = ± 10 V VOUT = –10 V to +10 V, RL = 10 kΩ RL = 2 kΩ 10,000 Over Temperature Average TC Offset Referred to the Input vs. Supply (PSR) G=1 G = 10 G = 100 G = 1000 Over Temperature Common-Mode Rejection Ratio DC to 60 Hz with I kΩ Source Imbalance G=1 G = 10 G = 100 G = 1000 OUTPUT Output Swing Over Temperature Over Temperature Short Current Circuit 1 10,000 (Total RTI Error = V OSI + VOSO/G) VS = ± 5 V to ± 15 V VS = ± 5 V to ± 15 V VS = ± 5 V to ± 15 V VS = ± 15 V VS = ± 5 V VS = ± 5 V to ± 15 V VS = ± 5 V to ± 15 V Min AD620S1 Typ Max 1 Units 10,000 0.10 0.30 0.30 0.70 0.01 0.10 0.10 0.35 0.02 0.15 0.15 0.50 0.03 0.15 0.15 0.40 0.10 0.30 0.30 0.70 % % % % 10 10 40 95 10 10 40 95 10 10 40 95 ppm ppm 10 –50 ppm/°C ppm/°C 125 225 1.0 1000 1500 2000 15 µV µV µV/°C µV µV µV µV/°C 10 –50 30 0.3 400 5.0 10 –50 125 185 1.0 1000 1500 2000 15 15 0.1 200 2.5 50 85 0.6 500 750 1000 7.0 30 0.3 400 5.0 VS = ± 2.3 V to ± 18 V 80 95 110 110 INPUT CURRENT Input Bias Current Over Temperature Average TC Input Offset Current Over Temperature Average TC INPUT Input Impedance Differential Common-Mode Input Voltage Range 3 Over Temperature AD620B Typ Max 0.03 0.15 0.15 0.40 G =1 Gain >1 2 VOLTAGE OFFSET Input Offset, VOSI Over Temperature Average TC Output Offset, V OSO Min 100 120 140 140 0.5 3.0 0.3 VS = ± 2.3 V to ± 5 V VS = ± 5 V to ± 18 V 80 100 120 120 2.0 2.5 100 120 140 140 0.5 3.0 0.3 1.0 1.5 80 95 110 110 1.0 1.5 100 120 140 140 0.5 8.0 0.3 0.5 0.75 1.5 1.5 8.0 10i2 10i2 10i2 10i2 10i2 10i2 –VS + 1.9 –VS + 2.1 –VS + 1.9 –VS + 2.1 +VS – 1.2 +VS – 1.3 +VS – 1.4 +VS – 1.4 –VS + 1.9 –VS + 2.1 –VS + 1.9 –VS + 2.1 +VS – 1.2 +VS – 1.3 +VS – 1.4 +VS – 1.4 –VS + 1.9 –VS + 2.1 –VS + 1.9 –VS + 2.3 dB dB dB dB 2 4 1.0 2.0 +VS – 1.2 +VS – 1.3 +VS – 1.4 +VS – 1.4 nA nA pA/°C nA nA pA/°C GΩipF GΩipF V V V V VCM = 0 V to ± 10 V 73 93 110 110 RL = 10 kΩ, VS = ± 2.3 V to ± 5 V VS = ± 5 V to ± 18 V –VS + 1.1 –VS + 1.4 –VS + 1.2 –VS + 1.6 90 110 130 130 ± 18 80 100 120 120 +VS – 1.2 +VS – 1.3 +VS – 1.4 +VS – 1.5 –VS + 1.1 –VS + 1.4 –VS + 1.2 –VS + 1.6 90 110 130 130 ± 18 73 93 110 110 +VS – 1.2 +VS – 1.3 +VS – 1.4 +VS – 1.5 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –2– –VS + 1.1 –VS + 1.6 –VS + 1.2 –VS + 2.3 90 110 130 130 ± 18 dB dB dB dB +VS – 1.2 +VS – 1.3 +VS – 1.4 +VS – 1.5 V V V V mA REV. E AD620 Model Conditions DYNAMIC RESPONSE Small Signal –3 dB Bandwidth G=1 G = 10 G = 100 G = 1000 Slew Rate Settling Time to 0.01% 10 V Step G = 1–100 G = 1000 Min AD620A Typ Max 1000 800 120 12 1.2 0.75 Min 0.75 15 150 AD620B Typ Max 1000 800 120 12 1.2 Min 0.75 15 150 AD620S1 Typ Max Units 1000 800 120 12 1.2 kHz kHz kHz kHz V/µs 15 150 µs µs NOISE Voltage Noise, 1 kHz Input, Voltage Noise, e ni Output, Voltage Noise, e no RTI, 0.1 Hz to 10 Hz G=1 G = 10 G = 100–1000 Current Noise 0.1 Hz to 10 Hz REFERENCE INPUT RIN IIN Voltage Range Gain to Output POWER SUPPLY Operating Range 4 Quiescent Current Over Temperature Total RTI Noise = (e2 ni ) + (eno / G)2 9 72 f = 1 kHz VIN+ , VREF = 0 VS = ± 2.3 V to ± 18 V 13 100 9 72 13 100 13 100 nV/√Hz nV/√Hz 3.0 0.55 0.28 100 10 3.0 6.0 0.55 0.8 0.28 0.4 100 10 3.0 6.0 0.55 0.8 0.28 0.4 100 10 µV p-p µV p-p µV p-p fA/√Hz pA p-p 20 +50 20 +50 20 +50 kΩ µA V +60 –VS + 1.6 +VS – 1.6 1 ± 0.0001 +60 –VS + 1.6 +VS – 1.6 1 ± 0.0001 +60 –VS + 1.6 +VS – 1.6 1 ± 0.0001 ± 2.3 ± 2.3 ± 2.3 TEMPERATURE RANGE For Specified Performance ± 18 1.3 1.6 0.9 1.1 –40 to +85 0.9 1.1 ± 18 1.3 1.6 –40 to +85 NOTES 1 See Analog Devices military data sheet for 883B tested specifications. 2 Does not include effects of external resistor R G. 3 One input grounded. G = 1. 4 This is defined as the same supply range which is used to specify PSR. Specifications subject to change without notice. REV. E 9 72 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –3– 0.9 1.1 ± 18 1.3 1.6 –55 to +125 V mA mA °C AD620 ABSOLUTE MAXIMUM RATINGS 1 ORDERING GUIDE Supply Voltage . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ± 18 V Internal Power Dissipation2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 650 mW Input Voltage (Common Mode) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ± VS Differential Input Voltage . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .± 25 V Output Short Circuit Duration . . . . . . . . . . . . . . . . . Indefinite Storage Temperature Range (Q) . . . . . . . . . . –65°C to +150°C Storage Temperature Range (N, R) . . . . . . . . –65°C to +125°C Operating Temperature Range AD620 (A, B) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . –40°C to +85°C AD620 (S) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . –55°C to +125°C Lead Temperature Range (Soldering 10 seconds) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . +300°C NOTES 1 Stresses above those listed under Absolute Maximum Ratings may cause permanent damage to the device. This is a stress rating only; functional operation of the device at these or any other conditions above those indicated in the operational section of this specification is not implied. Exposure to absolute maximum rating conditions for extended periods may affect device reliability. 2 Specification is for device in free air: 8-Lead Plastic Package: θJA = 95°C/W 8-Lead Cerdip Package: θJA = 110°C/W 8-Lead SOIC Package: θJA = 155°C/W Model Temperature Ranges Package Options* AD620AN AD620BN AD620AR AD620AR-REEL AD620AR-REEL7 AD620BR AD620BR-REEL AD620BR-REEL7 AD620ACHIPS AD620SQ/883B –40°C to +85°C –40°C to +85°C –40°C to +85°C –40°C to +85°C –40°C to +85°C –40°C to +85°C –40°C to +85°C –40°C to +85°C –40°C to +85°C –55°C to +125°C N-8 N-8 SO-8 13" REEL 7" REEL SO-8 13" REEL 7" REEL Die Form Q-8 *N = Plastic DIP; Q = Cerdip; SO = Small Outline. METALIZATION PHOTOGRAPH Dimensions shown in inches and (mm). Contact factory for latest dimensions. RG* 8 +VS OUTPUT 7 6 5 REFERENCE 8 0.0708 (1.799) 1 1 RG* 3 2 –IN 0.125 (3.180) 4 –VS +IN *FOR CHIP APPLICATIONS: THE PADS 1RG AND 8RG MUST BE CONNECTED IN PARALLEL TO THE EXTERNAL GAIN REGISTER RG. DO NOT CONNECT THEM IN SERIES TO RG. FOR UNITY GAIN APPLICATIONS WHERE RG IS NOT REQUIRED, THE PADS 1RG MAY SIMPLY BE BONDED TOGETHER, AS WELL AS THE PADS 8RG. CAUTION ESD (electrostatic discharge) sensitive device. Electrostatic charges as high as 4000 V readily accumulate on the human body and test equipment and can discharge without detection. Although the AD620 features proprietary ESD protection circuitry, permanent damage may occur on devices subjected to high energy electrostatic discharges. Therefore, proper ESD precautions are recommended to avoid performance degradation or loss of functionality. Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –4– WARNING! ESD SENSITIVE DEVICE REV. E AD620 Typical Characteristics (@ +258C, V = 615 V, R = 2 kV, unless otherwise noted) S L 50 2.0 SAMPLE SIZE = 360 1.5 INPUT BIAS CURRENT – nA PERCENTAGE OF UNITS 40 30 20 10 1.0 +IB –I B 0.5 0 –0.5 –1.0 –1.5 0 –80 –40 0 +40 –2.0 +80 –75 INPUT OFFSET VOLTAGE – mV Figure 3. Typical Distribution of Input Offset Voltage –25 25 75 TEMPERATURE – 8C 125 175 Figure 6. Input Bias Current vs. Temperature 2 50 CHANGE IN OFFSET VOLTAGE – mV SAMPLE SIZE = 850 PERCENTAGE OF UNITS 40 30 20 10 0 –1200 –600 0 +600 1.5 1 0.5 0 +1200 0 1 INPUT BIAS CURRENT – pA Figure 4. Typical Distribution of Input Bias Current 2 3 WARM-UP TIME – Minutes 4 5 Figure 7. Change in Input Offset Voltage vs. Warm-Up Time 50 1000 SAMPLE SIZE = 850 GAIN = 1 VOLTAGE NOISE – nV/!Hz PERCENTAGE OF UNITS 40 30 20 10 100 GAIN = 10 10 GAIN = 100, 1,000 GAIN = 1000 BW LIMIT 0 –400 –200 0 +200 1 +400 1 10 INPUT OFFSET CURRENT – pA Figure 5. Typical Distribution of Input Offset Current REV. E 100 1k FREQUENCY – Hz 10k 100k Figure 8. Voltage Noise Spectral Density vs. Frequency, (G = 1–1000) Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –5– AD620–Typical Characteristics CURRENT NOISE – fA/!Hz 1000 100 10 1 10 100 FREQUENCY – Hz 1000 Figure 9. Current Noise Spectral Density vs. Frequency Figure 11. 0.1 Hz to 10 Hz Current Noise, 5 pA/Div RTI NOISE – 2.0 mV/DIV TOTAL DRIFT FROM 258C TO 858C, RTI – mV 100,000 10,000 FET INPUT IN-AMP 1000 AD620A 100 10 TIME – 1 SEC/DIV 1k 10k 100k 1M SOURCE RESISTANCE – V 10M Figure 12. Total Drift vs. Source Resistance Figure 10a. 0.1 Hz to 10 Hz RTI Voltage Noise (G = 1) +160 +140 RTI NOISE – 0.1mV/DIV +120 G = 1000 G = 100 G = 10 CMR – dB +100 G=1 +80 +60 +40 +20 0 0.1 TIME – 1 SEC/DIV 1 10 100 1k FREQUENCY – Hz 10k 100k 1M Figure 13. CMR vs. Frequency, RTI, Zero to 1 kΩ Source Imbalance Figure 10b. 0.1 Hz to 10 Hz RTI Voltage Noise (G = 1000) Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –6– REV. E AD620 180 35 G = 10, 100, 1000 160 140 G = 1000 PSR – dB 120 100 G = 100 80 G = 10 60 G=1 40 20 0.1 G=1 20 15 10 5 G = 1000 G = 100 0 1 10 100 1k FREQUENCY – Hz 10k 100k 1k 1M 10k 100k FREQUENCY – Hz 1M Figure 17. Large Signal Frequency Response Figure 14. Positive PSR vs. Frequency, RTI (G = 1–1000) +VS –0.0 160 –0.5 INPUT VOLTAGE LIMIT – Volts (REFERRED TO SUPPLY VOLTAGES) 180 140 120 PSR – dB 25 BW LIMIT OUTPUT VOLTAGE – Volts p-p 30 100 G = 1000 80 G = 100 60 G = 10 40 –1.0 –1.5 +1.5 +1.0 +0.5 G=1 20 0.1 –VS +0.0 1 10 100 1k FREQUENCY – Hz 10k 100k 1M Figure 15. Negative PSR vs. Frequency, RTI (G = 1–1000) OUTPUT VOLTAGE SWING – Volts (REFERRED TO SUPPLY VOLTAGES) GAIN – V/V 10 15 SUPPLY VOLTAGE 6 Volts 20 +VS –0.0 100 10 1 1k 10k 100k FREQUENCY – Hz 1M –0.5 RL = 10kV –1.0 RL = 2kV –1.5 +1.5 RL = 2kV +1.0 RL = 10kV +0.5 –VS +0.0 10M 0 Figure 16. Gain vs. Frequency REV. E 5 Figure 18. Input Voltage Range vs. Supply Voltage, G = 1 1000 0.1 100 0 5 10 15 SUPPLY VOLTAGE 6 Volts 20 Figure 19. Output Voltage Swing vs. Supply Voltage, G = 10 Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –7– AD620 OUTPUT VOLTAGE SWING – Volts p-p 30 .... .... .... ........ ........ .... ........ VS = 615V G = 10 20 10 .... .... .... ........ ........ .... ........ 0 0 100 1k LOAD RESISTANCE – V 10k Figure 20. Output Voltage Swing vs. Load Resistance Figure 23. Large Signal Response and Settling Time, G = 10 (0.5 mV = 001%) .... .... .... ........ ........ .... ........ .... .... ........ .... ........ .... ........ .... .... .... ........ ........ .... ........ .... .... ........ .... ........ .... ........ Figure 21. Large Signal Pulse Response and Settling Time G = 1 (0.5 mV = 0.01%) Figure 24. Small Signal Response, G = 10, RL = 2 kΩ, CL = 100 pF .... .... .... ........ ........ .... ........ .... .... .... ........ ........ .... ........ .... .... .... ........ ........ .... ........ .... .... .... ........ ........ .... ........ Figure 22. Small Signal Response, G = 1, RL = 2 kΩ, CL = 100 pF Figure 25. Large Signal Response and Settling Time, G = 100 (0.5 mV = 0.01%) Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –8– REV. E AD620 20 .... .... .... ........ ........ .... ........ SETTLING TIME – ms 15 TO 0.01% TO 0.1% 10 5 .... .... .... ........ ........ .... ........ 0 Figure 26. Small Signal Pulse Response, G = 100, RL = 2 kΩ, CL = 100 pF 0 5 10 15 OUTPUT STEP SIZE – Volts 20 Figure 29. Settling Time vs. Step Size (G = 1) 1000 SETTLING TIME – ms .... .... ........ ........ .... .... ........ 100 10 .... .... ........ ........ .... .... ........ 1 1 10 100 1000 GAIN Figure 27. Large Signal Response and Settling Time, G = 1000 (0.5 mV = 0.01%) Figure 30. Settling Time to 0.01% vs. Gain, for a 10 V Step .... .... .... ........ ........ .... ........ .... .... ........ ........ .... .... ........ .... .... .... ........ ........ .... ........ .... .... ........ ........ .... .... ........ Figure 31a. Gain Nonlinearity, G = 1, RL = 10 kΩ (10 µ V = 1 ppm) Figure 28. Small Signal Pulse Response, G = 1000, RL = 2 kΩ, CL = 100 pF REV. E Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –9– AD620 I1 20mA VB I2 20mA .... .... .... ........ .... .... .... ........ A1 A2 10kV C2 C1 10kV A3 – IN R3 400V R1 10kV R2 Q1 Q2 R4 400V RG .... .... .... ........ .... .... .... ........ GAIN SENSE OUTPUT 10kV REF +IN GAIN SENSE –VS Figure 33. Simplified Schematic of AD620 Figure 31b. Gain Nonlinearity, G = 100, RL = 10 kΩ (100 µ V = 10 ppm) THEORY OF OPERATION The AD620 is a monolithic instrumentation amplifier based on a modification of the classic three op amp approach. Absolute value trimming allows the user to program gain accurately (to 0.15% at G = 100) with only one resistor. Monolithic construction and laser wafer trimming allow the tight matching and tracking of circuit components, thus ensuring the high level of performance inherent in this circuit. .... .... ........ ........ .... .... ........ The input transistors Q1 and Q2 provide a single differentialpair bipolar input for high precision (Figure 33), yet offer 10× lower Input Bias Current thanks to Superβeta processing. Feedback through the Q1-A1-R1 loop and the Q2-A2-R2 loop maintains constant collector current of the input devices Q1, Q2 thereby impressing the input voltage across the external gain setting resistor RG. This creates a differential gain from the inputs to the A1/A2 outputs given by G = (R1 + R2)/RG + 1. The unity-gain subtracter A3 removes any common-mode signal, yielding a single-ended output referred to the REF pin potential. .... .... ........ ........ .... .... ........ Figure 31c. Gain Nonlinearity, G = 1000, RL = 10 kΩ (1 mV = 100 ppm) 10kV* INPUT 10V p-p 1kV 10T 10kV 100kV VOUT +VS 11kV 1kV 2 100V 7 1 G=1000 G=1 AD620 G=100 G=10 49.9V 499V 5.49kV 6 5 8 The value of RG also determines the transconductance of the preamp stage. As RG is reduced for larger gains, the transconductance increases asymptotically to that of the input transistors. This has three important advantages: (a) Open-loop gain is boosted for increasing programmed gain, thus reducing gainrelated errors. (b) The gain-bandwidth product (determined by C1, C2 and the preamp transconductance) increases with programmed gain, thus optimizing frequency response. (c) The input voltage noise is reduced to a value of 9 nV/√Hz, determined mainly by the collector current and base resistance of the input devices. The internal gain resistors, R1 and R2, are trimmed to an absolute value of 24.7 kΩ, allowing the gain to be programmed accurately with a single external resistor. 4 The gain equation is then 3 –VS G= *ALL RESISTORS 1% TOLERANCE Figure 32. Settling Time Test Circuit 49.4 kΩ +1 RG so that RG = Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –10– 49.4 kΩ G −1 REV. E AD620 Make vs. Buy: A Typical Bridge Application Error Budget The AD620 offers improved performance over “homebrew” three op amp IA designs, along with smaller size, fewer components and 10× lower supply current. In the typical application, shown in Figure 34, a gain of 100 is required to amplify a bridge output of 20 mV full scale over the industrial temperature range of –40°C to +85°C. The error budget table below shows how to calculate the effect various error sources have on circuit accuracy. Regardless of the system in which it is being used, the AD620 provides greater accuracy, and at low power and price. In simple systems, absolute accuracy and drift errors are by far the most significant contributors to error. In more complex systems with an intelligent processor, an autogain/autozero cycle will remove all absolute accuracy and drift errors leaving only the resolution errors of gain nonlinearity and noise, thus allowing full 14-bit accuracy. Note that for the homebrew circuit, the OP07 specifications for input voltage offset and noise have been multiplied by √2. This is because a three op amp type in-amp has two op amps at its inputs, both contributing to the overall input error. +10V 10kV* 10kV* OP07D R = 350V R = 350V 10kV** RG 499V R = 350V AD620A 100V** OP07D 10kV** R = 350V REFERENCE OP07D 10kV* AD620A MONOLITHIC INSTRUMENTATION AMPLIFIER, G = 100 PRECISION BRIDGE TRANSDUCER 10kV* “HOMEBREW” IN-AMP, G = 100 *0.02% RESISTOR MATCH, 3PPM/8C TRACKING **DISCRETE 1% RESISTOR, 100PPM/8C TRACKING SUPPLY CURRENT = 15mA MAX SUPPLY CURRENT = 1.3mA MAX Figure 34. Make vs. Buy Table I. Make vs. Buy Error Budget Error Source AD620 Circuit Calculation “Homebrew” Circuit Calculation Error, ppm of Full Scale AD620 Homebrew ABSOLUTE ACCURACY at TA = +25°C Input Offset Voltage, µV Output Offset Voltage, µV Input Offset Current, nA CMR, dB 125 µV/20 mV 1000 µV/100/20 mV 2 nA × 350 Ω/20 mV 110 dB→3.16 ppm, × 5 V/20 mV (150 µV × √2)/20 mV ((150 µV × 2)/100)/20 mV (6 nA × 350 Ω)/20 mV (0.02% Match × 5 V)/20 mV/100 16,250 14,500 14,118 14,791 10,607 10,150 14,153 10,500 Total Absolute Error 17,558 11,310 100 ppm/°C Track × 60°C (2.5 µV/°C × √2 × 60°C)/20 mV (2.5 µV/°C × 2 × 60°C)/100/20 mV 13,600 13,000 14,450 16,000 10,607 10,150 Total Drift Error 17,050 16,757 40 ppm (0.38 µV p-p × √2)/20 mV 14,140 141,14 10,140 13,127 Total Resolution Error 14,154 101,67 Grand Total Error 14,662 28,134 DRIFT TO +85°C Gain Drift, ppm/°C Input Offset Voltage Drift, µV/°C Output Offset Voltage Drift, µV/°C (50 ppm + 10 ppm) × 60°C 1 µV/°C × 60°C/20 mV 15 µV/°C × 60°C/100/20 mV RESOLUTION Gain Nonlinearity, ppm of Full Scale 40 ppm Typ 0.1 Hz–10 Hz Voltage Noise, µV p-p 0.28 µV p-p/20 mV G = 100, VS = ± 15 V. (All errors are min/max and referred to input.) REV. E Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –11– AD620 +5V 3kV 3kV 3kV 3kV 20kV 7 3 REF 8 AD620B G=100 499V 6 IN 5 1 ADC 10kV DIGITAL DATA OUTPUT 4 2 AD705 AGND 20kV 1.7mA 0.6mA MAX 0.10mA 1.3mA MAX Figure 35. A Pressure Monitor Circuit which Operates on a +5 V Single Supply Pressure Measurement Medical ECG Although useful in many bridge applications such as weigh scales, the AD620 is especially suitable for higher resistance pressure sensors powered at lower voltages where small size and low power become more significant. The low current noise of the AD620 allows its use in ECG monitors (Figure 36) where high source resistances of 1 MΩ or higher are not uncommon. The AD620’s low power, low supply voltage requirements, and space-saving 8-lead mini-DIP and SOIC package offerings make it an excellent choice for battery powered data recorders. Figure 35 shows a 3 kΩ pressure transducer bridge powered from +5 V. In such a circuit, the bridge consumes only 1.7 mA. Adding the AD620 and a buffered voltage divider allows the signal to be conditioned for only 3.8 mA of total supply current. Small size and low cost make the AD620 especially attractive for voltage output pressure transducers. Since it delivers low noise and drift, it will also serve applications such as diagnostic noninvasive blood pressure measurement. Furthermore, the low bias currents and low current noise coupled with the low voltage noise of the AD620 improve the dynamic range for better performance. The value of capacitor C1 is chosen to maintain stability of the right leg drive loop. Proper safeguards, such as isolation, must be added to this circuit to protect the patient from possible harm. +3V PATIENT/CIRCUIT PROTECTION/ISOLATION C1 R1 10kV R3 24.9kV R2 24.9kV R4 1MV RG 8.25kV AD620A G=7 0.03Hz HIGH PASS FILTER G = 143 OUTPUT 1V/mV OUTPUT AMPLIFIER AD705J –3V Figure 36. A Medical ECG Monitor Circuit Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –12– REV. E AD620 Precision V-I Converter INPUT AND OUTPUT OFFSET VOLTAGE The AD620, along with another op amp and two resistors, makes a precision current source (Figure 37). The op amp buffers the reference terminal to maintain good CMR. The output voltage VX of the AD620 appears across R1, which converts it to a current. This current less only, the input bias current of the op amp, then flows out to the load. The low errors of the AD620 are attributed to two sources, input and output errors. The output error is divided by G when referred to the input. In practice, the input errors dominate at high gains and the output errors dominate at low gains. The total VOS for a given gain is calculated as: Total Error RTI = input error + (output error/G) Total Error RTO = (input error × G) + output error +VS VIN+ REFERENCE TERMINAL 7 3 8 The reference terminal potential defines the zero output voltage, and is especially useful when the load does not share a precise ground with the rest of the system. It provides a direct means of injecting a precise offset to the output, with an allowable range of 2 V within the supply voltages. Parasitic resistance should be kept to a minimum for optimum CMR. + VX – AD620 RG 6 R1 1 VIN– 5 2 4 I –VS I L= Vx R1 = L AD705 INPUT PROTECTION [(V IN+) – (V IN– )] G R1 LOAD Figure 37. Precision Voltage-to-Current Converter (Operates on 1.8 mA, ± 3 V) GAIN SELECTION The AD620’s gain is resistor programmed by RG, or more precisely, by whatever impedance appears between Pins 1 and 8. The AD620 is designed to offer accurate gains using 0.1%–1% resistors. Table II shows required values of RG for various gains. Note that for G = 1, the RG pins are unconnected (RG = ∞). For any arbitrary gain RG can be calculated by using the formula: RG = 49.4 kΩ G −1 To minimize gain error, avoid high parasitic resistance in series with RG; to minimize gain drift, RG should have a low TC—less than 10 ppm/°C—for the best performance. The AD620 features 400 Ω of series thin film resistance at its inputs, and will safely withstand input overloads of up to ± 15 V or ±60 mA for several hours. This is true for all gains, and power on and off, which is particularly important since the signal source and amplifier may be powered separately. For longer time periods, the current should not exceed 6 mA (IIN ≤ VIN/400 Ω). For input overloads beyond the supplies, clamping the inputs to the supplies (using a low leakage diode such as an FD333) will reduce the required resistance, yielding lower noise. RF INTERFERENCE All instrumentation amplifiers can rectify out of band signals, and when amplifying small signals, these rectified voltages act as small dc offset errors. The AD620 allows direct access to the input transistor bases and emitters enabling the user to apply some first order filtering to unwanted RF signals (Figure 38), where RC < 1/(2 πf) and where f ≥ the bandwidth of the AD620; C ≤ 150 pF. Matching the extraneous capacitance at Pins 1 and 8 and Pins 2 and 3 helps to maintain high CMR. Table II. Required Values of Gain Resistors 1% Std Table Value of RG, V Calculated Gain 0.1% Std Table Value of RG, V Calculated Gain 49.9 k 12.4 k 5.49 k 1.990 4.984 9.998 49.3 k 12.4 k 5.49 k 2.002 4.984 9.998 2.61 k 1.00 k 499 19.93 50.40 100.0 2.61 k 1.01 k 499 19.93 49.91 100.0 249 100 49.9 199.4 495.0 991.0 249 98.8 49.3 199.4 501.0 1,003 RG 1 8 2 7 3 6 4 5 C R –IN R +IN C Figure 38. Circuit to Attenuate RF Interference REV. E Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –13– AD620 COMMON-MODE REJECTION GROUNDING Instrumentation amplifiers like the AD620 offer high CMR, which is a measure of the change in output voltage when both inputs are changed by equal amounts. These specifications are usually given for a full-range input voltage change and a specified source imbalance. Since the AD620 output voltage is developed with respect to the potential on the reference terminal, it can solve many grounding problems by simply tying the REF pin to the appropriate “local ground.” For optimal CMR the reference terminal should be tied to a low impedance point, and differences in capacitance and resistance should be kept to a minimum between the two inputs. In many applications shielded cables are used to minimize noise, and for best CMR over frequency the shield should be properly driven. Figures 39 and 40 show active data guards that are configured to improve ac common-mode rejections by “bootstrapping” the capacitances of input cable shields, thus minimizing the capacitance mismatch between the inputs. In order to isolate low level analog signals from a noisy digital environment, many data-acquisition components have separate analog and digital ground pins (Figure 41). It would be convenient to use a single ground line; however, current through ground wires and PC runs of the circuit card can cause hundreds of millivolts of error. Therefore, separate ground returns should be provided to minimize the current flow from the sensitive points to the system ground. These ground returns must be tied together at some point, usually best at the ADC package as shown. +VS ANALOG P.S. +15V C –15V – INPUT DIGITAL P.S. C +5V AD648 100V 0.1mF RG 100V AD620 0.1mF 1mF 1mF 1mF VOUT + –VS AD620 REFERENCE AD585 AD574A S/H ADC DIGITAL DATA OUTPUT + INPUT –VS Figure 41. Basic Grounding Practice Figure 39. Differential Shield Driver +VS – INPUT 100V RG 2 AD548 RG 2 AD620 VOUT REFERENCE + INPUT –VS Figure 40. Common-Mode Shield Driver Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –14– REV. E AD620 GROUND RETURNS FOR INPUT BIAS CURRENTS Input bias currents are those currents necessary to bias the input transistors of an amplifier. There must be a direct return path for these currents; therefore, when amplifying “floating” input sources such as transformers, or ac-coupled sources, there must be a dc path from each input to ground as shown in Figure 42. Refer to the Instrumentation Amplifier Application Guide (free from Analog Devices) for more information regarding in amp applications. +VS +VS – INPUT – INPUT RG AD620 AD620 RG VOUT VOUT LOAD LOAD + INPUT REFERENCE REFERENCE + INPUT –VS –VS TO POWER SUPPLY GROUND TO POWER SUPPLY GROUND Figure 42b. Ground Returns for Bias Currents with Thermocouple Inputs Figure 42a. Ground Returns for Bias Currents with Transformer Coupled Inputs +VS – INPUT RG AD620 VOUT LOAD + INPUT 100kV 100kV REFERENCE –VS TO POWER SUPPLY GROUND Figure 42c. Ground Returns for Bias Currents with AC Coupled Inputs REV. E Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –15– AD620 OUTLINE DIMENSIONS Dimensions shown in inches and (mm). Plastic DIP (N-8) Package 8 C1599c–0–7/99 0.430 (10.92) 0.348 (8.84) 5 1 0.280 (7.11) 0.240 (6.10) 4 0.060 (1.52) 0.015 (0.38) PIN 1 0.210 (5.33) MAX 0.325 (8.25) 0.300 (7.62) 0.195 (4.95) 0.115 (2.93) 0.130 (3.30) 0.160 (4.06) MIN 0.115 (2.93) 0.022 (0.558) 0.100 0.070 (1.77) SEATING PLANE 0.014 (0.356) (2.54) 0.045 (1.15) BSC 0.015 (0.381) 0.008 (0.204) Cerdip (Q-8) Package 0.005 (0.13) MIN 0.055 (1.4) MAX 8 5 0.310 (7.87) 0.220 (5.59) 1 4 PIN 1 0.200 (5.08) MAX 0.320 (8.13) 0.290 (7.37) 0.405 (10.29) 0.060 (1.52) MAX 0.015 (0.38) 0.150 (3.81) 0.200 (5.08) MIN 0.125 (3.18) 0.023 (0.58) 0.100 0.070 (1.78) SEATING PLANE 0.014 (0.36) (2.54) 0.030 (0.76) BSC 15° 0° 0.015 (0.38) 0.008 (0.20) SOIC (SO-8) Package 0.1968 (5.00) 0.1890 (4.80) PIN 1 0.0098 (0.25) 0.0040 (0.10) 8 5 1 4 0.2440 (6.20) 0.2284 (5.80) 0.0688 (1.75) 0.0532 (1.35) 0.0500 0.0192 (0.49) SEATING (1.27) 0.0098 (0.25) PLANE BSC 0.0138 (0.35) 0.0075 (0.19) 0.0196 (0.50) x 45° 0.0099 (0.25) 8° 0° 0.0500 (1.27) 0.0160 (0.41) Rancang bangun..., Shepta Dh, FMIPA UI, 2012 –16– PRINTED IN U.S.A. 0.1574 (4.00) 0.1497 (3.80) REV. E