BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker payudara merupakan penyebab kematian kedua pada wanita akibat dari kanker setelah kanker serviks (Rasjidi, 2009). Di Indonesia dan negara lain peningkatan jumlah penderita kanker payudara dari tahun 1980 sampai 2010 mengalami peningkatan sebesar 3,1% (Forouzanfar, 2011). Menurut American Cancer Society, ada sekitar 465.000 wanita didunia meninggal tiap tahunnya karena kanker payudara (Rasjidi, 2009) dan satu dari sebelas wanita mengalami kanker payudara (Price & Wilson, 1995). Faktor risiko penyebab kanker payudara di negara maju seperti Jepang dan Amerika adalah faktor reproduktif yang dipengaruhi oleh kadar estrogen endogen, hormon eksogen (hormon post menopausal, kontrasepsi oral), faktor gizi dan aktivitas fisik, faktor antropometri, faktor genetik dan keluarga (Saika & Sobue, 2009). Cara pengobatan kanker menurut Tagliaferri (2007), yaitu pembedahan, radiasi, kemoterapi, modulasi hormon, pengobatan alternatif, meningkatkan sistem imun tubuh. Namun, ada efek samping dari pengobatan modern seperti mual, muntah, rambut rontok, inflamasi, abnormalitas genetik. Untuk mengurangi efek tersebut perlu adanya kombinasi dengan pengobatan alternatif, cara yang bisa dilakukan seperti menggunakan akupuntur dan obat herbal. Pengobatan herbal menjadi pilihan terapeutik karena aman dan banyak instansi fitomedis yang telah membuktikan keefektifannya secara klinis (Heinrich, 2009). Untuk menangani penyakit kanker payudara pada wanita harus diketahui sifat dari sel kanker, karena setiap individu memiliki gen yang berbeda (Soemitro, 2012). Salah satu karakteristik sel kanker yaitu tidak sensitif terhadap induksi apoptosis, penyebabnya adalah mutasi p53. Apoptosis berfungsi untuk penghambatan sel kanker sehingga meningkatkan sensitivitas dari sel kanker 1 2 untuk memacu induksi apoptosis menjadi target dalam penemuan antikanker baru (Brown & Attardi, 2005). Menurut Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), ada 940 spesies tanaman di Indonesia yang telah digunakan sebagai tanaman obat, salah satunya adalah tanaman jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.). Menurut BPOM (2008), tilirosida adalah isolat atau senyawa murni yang dapat diperoleh dari jati belanda, selain itu senyawa ini merupakan senyawa identitas jati belanda. Senyawa identitas bermanfaat untuk pengembangan obat baru, sehingga dapat bermanfaat untuk kehidupan dimasa yang akan datang. Tilirosida merupakan flavonoid polifenol yang mempunyai aktivitas antikanker (Tsimplouli et al., 2011) dan antioksidan (Tomczyk et al., 2008). Antioksidan dari flavonoid dan polifenol berperan dalam melindungi sel dari dampak oksidatif. Biasanya aktivitas antioksidan berperan pada antikanker termasuk pro-apoptosis, kerusakan DNA, antiangiogenik dan efek imunostimulator (Leong et al., 2001). Senyawa ini telah diteliti aktivitas antikankernya terhadap sel CCRFCEM, NAMALWA (leukemia) (Dimas et al., 2000), Ehrlich (Esteves-Souza et al., 2002), HepG2 (hepatoma), Colon 205 (kolon), Jurkat (limfositik) (Rao et al., 2007), MCF-7 (Tomczyk et al., 2008), dan L292 (Matsuda et al., 2002). Nilai IC50 dari beberapa sel menunjukkan bahwa tilirosida terbukti aktif menghambat sel dibuktikan dengan nilai IC50 < 20 µg/mL atau < 33,7 µM (Matsuda et al., 2002; Dimas et al.,2000; Tomczyk et al., 2008; Rao et al., 2007; Saifudin, 2014). Tilirosida mampu menginduksi apoptosis pada sel MCF-7 (Tomczyk et al., 2008) dan tilirosida yang dimodifikasi dengan asetilasi mampu meningkatkan aktivitas sitotoksik dan mampu menginduksi apoptosis pada sel SF268 (Tsimplouli et al., 2012). Penelitian-penelitian di atas menunjukan bahwa tilirosida mempunyai aktivitas antikanker pada beberapa sel kanker. Masih sedikitnya pengetahuan aktivitas induksi apoptosis pada sel kanker payudara T47D menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Metode kuantitatif dengan metode flow cytometry memiliki banyak kelebihan dibandingkan metode yang lain seperti pengecatan DNA, degradasi PARP dengan western blot, dan assay of cleavage of caspase. Penelitian ini dilakukan sebagai 3 salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang khasiat dan manfaat, dan sebagai dasar utama pembuatan bahan obat dari senyawa tilirosida yang berguna di masa mendatang. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu apakah senyawa tilirosida dari daun jati belanda mampu menginduksi apoptosis terhadap sel T47D ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui persentase induksi apoptosis tilirosida dari daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) terhadap sel T47D. D. Tinjauan Pustaka 1. Tumbuhan jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) a. Klasifikasi Klasifikasi tumbuhan jati belanda berdasarkan sistematika tanaman jati belanda sebagai berikut: Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivision : Spermatophyta Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Subclass : Dilleniidae Order : Malvales Family : Sterculiaceae Genus : Guazuma Spesies : Guazuma ulmifolia Lamk. (NRCS, 2009) 4 b. Tilirosida Tilirosida (Gambar 1) merupakan senyawa identitas dalam jati belanda. Tilirosida (kaempferol-3-O-β-(6’’-O-(E)p-coumaryl)glucoside) merupakan glikosida flavonoid, yang mengikat satu atau lebih gugus gula. Tilirosida memiliki rumus molekul C30H26O13, dengan berat molekul sebesar 594 Da. Tilirosida mempunyai gugus –OH (hidroksil) pada cincin A dan B pada, senyawa ini merupakan senyawa polifenol (BPOM, 2008). Gambar 1. Struktur tilirosida (BPOM, 2008). c. Khasiat Jati belanda mempunyai banyak khasiat yaitu antibakteri, antimikroba, antifungi, antioksidan, antiulser, astringensia, depuratif, diaforetik, emolien, hepatoprotektif, obat batuk, sudorifika, stomakika, obat perdarahan, antiinflamasi, sitotoksik, dan obat diare (Taylor, 2005). Di Indonesia daun jati belanda sering dimanfaatkan untuk melangsingkan (Andriani, 2005) karena memiliki aktivitas antihiperkolesterol (Sukandar et al., 2012). Penelitian Tsukamoto (2004), jati belanda memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi, antiproliferasi, antikanker, antioksidan, hepatoprotektif. Menurut Kusumowati et al. (2012), ekstrak etanol daun jati belanda memiliki aktivitas antiradikal. Tilirosida merupakan senyawa identitas dari tanaman jati belanda (BPOM, 2008), senyawa ini mempunyai khasiat sebagai antihiperglikemik (Sousa et al., 2004), antikanker (Tomczyk et al., 2008; Dimas et al.,2000; Esteves-Souza et al., 2002; Rao et al., 2007), antiproliferatif (Savietto et al., 2013), hepatoprotektif (Matsuda et al., 2002), dan menghambat 5 topoisomerase I dan II (Tomczyk et al., 2008). Tilirosida yang dimodifikasi strukturnya menjadi trans-tilirosida memiliki aktivitas antioksidan (Tomczyk et al., 2010), tyrosinase inhibitory (Lu et al., 2009), acetylcholinesterase inhibitory (Jung & Park, 2007), penurun berat badan (Kiyofumi et al., 2007). 2. Kanker Payudara Kanker payudara merupakan tumor ganas yang berada di sel payudara. Sel ini akan tumbuh secara tidak terkendali dan dapat menyerang jaringan-jaringan lain atau mengalami metastasis. Payudara wanita terdiri dari lobulus (kelenjar penghasil susu), saluran (tabung kecil yang mengangkut susu dari lobulus ke puting), dan stroma (jaringan ikat dan jaringan lemak yang berada disekitar lobulus, pembuluh darah dan limfatik) (American Cancer Society, 2010). Menurut Tagliaferri (2007), sebagian besar kanker payudara tumbuh di saluran kelenjar susu (garis duktus susu), karena adanya peningkatan jumlah sel didalam garis duktus susu yang biasa disebut hiperplasia, kemudian sel tersebut menjadi hiperplasia atipikal. Lambat laun sel tersebut akan menyerupai sel kanker payudara, namun hanya terbatas pada bagian duktus, yang disebut dengan karsinoma duktus in situ (ductal carcinoma in situ/DCIS). Sel-sel kanker tersebut mengalami invasi ke tempat lain dan masuk ke jaringan lemak menjadi kanker duktus yang invasif, ini merupakan kanker payudara. Kanker ini dapat membentuk pembuluh darah baru untuk memberi makan selsel tumor dan menyebar ke seluruh tubuh. Sel kanker yang mempunyai ukuran lebih dari 2 mm (milimeter), mampu menyerang pembuluh getah bening. Sel-sel kanker akan terus tumbuh di tempat yang baru dan menimbulkan bengkak di kelenjar getah bening di ketiak. Ketika sel-sel kanker payudara mengalami mutasi di kelenjar getah bening aksila, sel kanker akan menyebar ke organ tubuh lainnya dan menyebabkan penyakit sistematik (Subramaniam et al., 2006). Sel tersebut 6 dapat mengganggu fungsi vital dan dapat mengancam jiwa seseorang (Tagliaferri, 2007). Ketidaknormalan sel-sel tersebut bisa diakibatkan oleh adanya pemicu oleh zat karsinogen, baik karsinogen radiasi, kimiawi dan mikroba. Karsinogen radiasi dan kimiawi merupakan faktor pemicu yang banyak dijumpai (Kumar et al., 2013). Menurut Underwood (1999), p53 mempunyai fungsi untuk memperbaiki DNA (deoxyribonucleic acid) yang telah rusak sebelum menuju fase S (sintesis) dengan menurunkan siklus sel pada fase G1 (gap 1) sampai perbaikannya selesai serta membunuh sel secara apoptosis. Kadar p53 akan mengalami kenaikan saat sel DNA mengalami kerusakan, sehingga p53 sering disebut “pengawal gen”. 3. Sel T47D Sel T47D diperoleh dari wanita berusia 54 tahun bernama I. Keydar yang mengalami kasinoma duktal payudara. Sel ini tidak berasal dari tumor payudara primer, tetapi dari metastasis tumor yaitu efusi pleura. Sel T47D berasal dari tumor yang lebih agresif dan mengalami metastasis (Burdall, 2003; AATC, 2015). Morfologi sel T47D (Gambar 2) seperti sel epitel dan termasuk dalam golongan ER+ (estrogen receptor)/PR+ (progesterone receptor) (Neve et al., 2006). Gambar 2. Sel T47D. Sel T47D mengalami mutasi protein p53 (Al-Khalaf & El-Mowafy, 2003). Sel T47D mengekspresikan estrogen-endogen reseptor alfa dan beta untuk membuat garis sel yang mudah ditumbuhkan di laboratorium. Sel T47D 7 mengekspresikan ER endogen sebesar 67,6±6,2 fmol/mg protein sitosol (Watanabe et al., 1990). Sel-sel ini sensitif terhadap estrogen kuat (17βestradiol, etinilestradiol, dan dietilstilbestrol) dan estrogen lemah (genistein, HPTE (metabolit pestisida estrogenik), dan 4-nonilfenol) (Wilson et al., 2004). 4. Apoptosis Sel Apoptosis atau kematian sel secara terprogram, merupakan proses fisiologis yang normal untuk menghilangkan sel-sel yang tidak diinginkan. Program kematian sel dikodekan secara genetik, baik morfologis, biokimia dan molekuler. Proses kematian sel terjadi melalui dua mekanisme yaitu apoptosis dan nekrosis, keduanya memiliki mekanisme yang berbeda, secara morfologi (Gambar 3), biokimia dan fisiologi keduanya juga berbeda. Nekrosis merupakan hasil pasif dari sel yang mengalami cedera akibat peningkatan volume sel dan hilangnya tekanan membran akibat dari lepasnya enzim lisis lisosomal, lalu diikuti reaksi inflamasi (Wyllie et al., 2000). Apoptosis merupakan peristiwa normal dari fisiologis sel. Apoptosis menggambarkan keadaan sel aktif berupaya menuju proses kematian setelah menerima rangsangan tertentu. Apoptosis memastikan keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel. Apoptosis juga berperan dalam regulasi kontrol ukuran sel dan jaringan. Sinyal oleh hormon pertumbuhan, sitokinin, dan sel matriks sangat dibutuhkan oleh sel dalam pertahanan diri selama apoptosis berlangsung yang menjaga sel tetap hidup. Sel yang paling sensitif untuk bertahan hidup akan mampu bertahan hidup, sedangkan sel tidak mampu bersaing dengan sel-sel yang mengalami pembelahan, akan mengalami apoptosis karena faktor kemampuan hidup. Kematian sel melalui apoptosis tidak akan timbul inflamasi (bengkak) dan akan mengurangi efek inflamasi yang terjadi oleh pasien. Apoptosis yang terlalu sedikit akan menyebabkan keganasan sel, limfoproliferatif, resistensi antikanker, leukemia, infeksi virus atau penyakit autoimun. Jika proses apoptosis terlalu banyak, akan menyebabkan penurunan kekebalan tubuh, dan penyakit degeneratif. Maka, pengetahuan tentang apoptosis dan nekrosis itu penting guna pemakaian obat 8 antikanker. Sel yang mengalami apoptosis atau nekrosis dapat diukur dengan flow cytometer (Kerr & Harmon, 1991; Vermes et al., 2000; Hingorani et al., 2011; Wong, 2011). Gambar 3. Perbedaan mekanisme sel nekrosis dan apoptosis (Huether & McCance, 2012). Mekanisme apoptosis melalui jalur ekstrinsik (kematian reseptor) dan intrinsik (mitokodria) (Gambar 4) (Mossalam, 2012). p53 berfungsi sebagai pengatur proses apoptosis yang dapat memodulasi titik kontrol kunci pada jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik. Jalur intrinsik diaktifkan sebagai respon dari sinyal yang dihasilkan dari kerusakan DNA, hilangnya faktor sel hidup, stress yang parah atau jenis lain. Protein pro-apoptosis dilepaskan dari mitokondria untuk mengaktifkan protease caspase sehingga memacu apoptosis (Lessene et al., 2008). Jalur intrinsik merupakan hasil dari peningkatan permeabilitas mitokondria dan pelepasan molekul pro-apoptosis seperti sitokrom c kedalam sitoplasma. Ketika sinyal pro-apoptosis tidak dilepaskan, maka sel tidak akan mati. Jalur intrinsik tergantung dari keseimbangan aktivitas antara sinyal prodan anti-apoptosis dari keluarga Bcl-2. Keluarga Bcl-2 mengatur permeabilitas membran mitokondria dan menentukan pelepasan sinyal pro- atau antiapoptosis dalam sel (Vogler et al., 2009; Mayer & Oberbauer, 2003). Kelompok utama dari keluarga Bcl-2 yaitu pro-apoptosis seperti Bax, Bak, 9 Bad, Bcl-Xs, Bid, Bik, Bim and Hrk dan anti-apoptosis seperti Bcl-2, BclXL,Bcl-W,Bfl-1, dan Mcl-1 (Wong, 2011). Faktor apoptosis lainnya yang dilepaskan dari mitokondria intermembran kedalam sitoplasma termasuk AIF (apoptosis inducing factor), Smac (second mitochondria-derived activator of caspase), DIABLO (direct IAP Binding protein with Low pI) dan HtrA2 (high temperature requirement protein A) (Kroemer et al., 2007). Sitokrom-c dilepaskan oleh adanya sinyal apoptosis sel dari mitokondria ke sitosol untuk berikatan dengan pro-caspase 9 dan Apaf-1 untuk membentuk apoptosom yang akan menginduksi caspase 3, 7 dan 9 lalu akan terjadi apoptosis (Boedina, 2011). Jalur ekstrinsik, ligan kematian akan berikatan dengan reseptor kematian. Reseptor yang paling dikenal yaitu reseptor TNF tipe 1 (TNFR1) dan protein Fas (CD95) dan masing-masing ligannya adalah TNF dan FasL. Reseptor kematian memiliki domain intraseluler kematian mendapatkan protein adaptor seperti TRADD (TNF receptor-associated death domain) dan FADD (Fas-associated death domain) serta protease sistein seperti caspase-8 (Wong, 2011). Pengikatan ligan kematian dan reseptor kematian menghasilkan pembentukan tempat pengikatan untuk adaptor protein dan kompleks protein semua ligan-reseptor-adaptor yang dikenal sebagai DISC (death-inducing signalling complex). DISC kemudian memulai aktivasi pro-caspase 8. Bentuk aktif dari enzim, caspase-8 adalah inisiator caspase yang menginisiasi apoptosis melalui pembelahan caspase downstream atau executioner (Karp, 2008). 10 Gambar 4. Jalur apoptosis melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik (Tait & Green, 2010). 5. Flow cytometry Flow cytometry adalah teknik untuk menganalisis dan menghitung partikel secara mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Ningrum, 2010). Alat yang digunakan untuk metode ini dinamakan flow cytometer. Flow cytometer adalah instrumen untuk menghitung jumlah sel dalam sekali analisis, instrumen ini dilakukan secara otomatis, waktunya relatif singkat yaitu kurang dari satu menit. Instrumen ini mampu mengukur ukuran sel, jumlah komponen seperti jumlah total DNA, DNA yang baru disintesis, ekspresi gen pada jumlah mRNA (messenger Ribonucleic acid), jumlah reseptor spesifik, dan jumlah protein intraseluler (Martz, 2003). Menurut Rowley (2013), flow cytometer digunakan untuk aplikasi dalam analisis ekspresi green fluorescent protein (GFP), analisis DNA, diagnosis kanker, penemuan obat, dan mikrobiologi. Secara umum, flow cytometer adalah mikroskop fluoresensi yang digunakan untuk analisis perpindahan partikel dalam suspensi, dilihat dengan 11 sinar UV atau laser dan pada saatnya akan memancarkan epi-fluoresensi melalui cermin dichroic. Epi-fluoresensi terhadap jumlah sel yang dipancarkan akan dikonversikan menjadi sebuah grafik dengan suatu program yang ada pada flow cytometer. Flow cytometer terdiri dari fluidik, optik dan elektronik (Robinson, 2006). Flow cytometry bersifat preparatif, yaitu sel-sel yang hidup diurutkan ke dalam tempat yang terpisah berdasarkan sifat dari masing-masing sel (Martz, 2003). Dasar dari penggunaan flow cytometer dapat digambarkan seperti pada gambar 5. Gambar 5. Skema flow cytometer (Semrock, 2010). Keuntungan dari metode flow cytometry yaitu waktu yang dibutuhkan untuk analisis sangat singkat, hasil yang didapat juga cepat, dapat memroses hingga 100.000 partikel per detik, dapat memisahkan partikel tunggal dari campuran populasi, dan adanya komputer yang modern dapat melakukan analisis multiparameter. Sedangkan kekurangan dari metode ini lebih mahal daripada radioimunoassay, lebih lambat dibandingkan dengan sistem otomatis imageprocessing (Robinson, 2004). 12 6. Analisis apoptosis dengan annexin V-PI Analisis induksi apoptosis dengan metode flow cytometry, dilakukan dengan pewarnaan menggunakan zat warna, seperti propdium iodida (PI), etidium bromida (EB), dan Hoechst-3342 (HO33342), pewarna tersebut mampu membedakan sel hidup, apoptosis, dan nekrosis. Sehingga flow cytometry dapat dimanfaatkan secara kuantitatif untuk menghitung jumlah sel hidup, apoptosis dan nekrosis (Vermes et al., 2000). Annexin-V dapat digunakan untuk mendeteksi apoptosis dengan flow cytometry. Pada apoptosis awal, membran fosfolipid fosfatidilserin/phosphatidylserine (PS) yang berada di dalam membran plasma akan keluar ke bagian eksternal sel dan akan berinterkasi dengan Annexin V (Gambar 6). Annexin-V mempunyai energi 3536 kDa mengandung protein fosfolipid yang berikatan dengan Ca2+, afinitas tinggi dengan PS dan berikatan dengan sel melalui PS. Annexin V akan menembus membran yang telah kehilangan integritas atau yang telah rusak pada sel nekrosis atau apoptosis (Hingorani et al., 2011). Mekanisme dari reaksi annexin V-PI dapat dilihat di gambar 6. Gambar 6. Mekanisme reaksi dari reagen Annexin V-PI dan sel (Hingorani et al., 2011). 13 E. Landasan Teori Penelitian di Brazil pada tahun 1990 menjelaskan bahwa ekstrak daun jati belanda dapat digunakan sebagai agen sitotoksik pada sel kanker secara in vitro, hasilnya 97,3% mampu menghambat pertumbuhan sel (Nascimeto et al., 1990). Percobaan Syaefudin et al. (2014), tanaman jati belanda memiliki aktivitas antioksidan, sifat antioksidan berhubungan dengan modulasi apoptosis. Uji apoptosis dilakukan pada sel ragi, Saccharomyces cerevisiae dengan mengamati penyusutan sel dan membran blebbing, dari uji tersebut menunjukkan adanya penurunan jumlah koloni sebesar > 30%. Menurut BPOM (2008), tanaman jati belanda mengandung senyawa identitas yaitu tilirosida. Aktivitas antikanker dari tilirosida terhadap berbagai sel kanker, sudah banyak diteliti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Nilai IC50 dari beberapa sel menunjukkan bahwa tilirosida terbukti aktif menghambat sel dibuktikan dengan nilai IC50 < 20 µg/mL atau < 33,7 µM (Matsuda et al., 2002; Dimas et al.,2000; Tomczyk et al., 2008; Rao et al., 2007; Saifudin, 2014). Tomczyk et al. (2008), menyatakan bahwa tilirosida mampu menginduksi apoptosis dengan cara pengecatan DNA dengan ethidium bromida dan acrydine orange pada sel MCF-7. Menurut Melannisa (2004), pengecatan DNA kurang memberikan hasil yang jelas karena diuji secara kualitatif. Sel NAMALWA CCRF-CEM Ehrlich MCF-7 L929 Jurkat HepG2 Colon205 Tabel 1. Hasil penelitian antikanker tilirosida secara in vitro Sumber Nilai IC50 16,1 µg/mL Dimas et al., 2000 17,1 µg/mL 69,50 ± 14,90 µM Esteves-Souza et al., 2002 21,60 ± 2 µM Tomczyk et al., 2008 44 ± 2 µM Matsuda et al., 2002 11,6 ± 2,6 µM 14,3 ± 3,1 µM Rao et al., 2007 55,4 ± 5,7 µM Menurut Tsimplouli et al. (2012), tilirosida yang dimodifikasi dengan asetilasi yang diuji pada sel SF268 mampu meningkatkan aktivitas sitotoksik sebesar 3,7 µg/mL dan mampu menginduksi apoptosis. Induksi apoptosis pada sel SF268 sebesar 18% - 20% dengan kadar 10 µM dan 30 µM. Velagapudi et 14 al. (2014) menyatakan bahwa tilirosida mampu menghambat jalur NF-κB dan TNF-α, serta menurunkan respon COX-2. F. Hipotesis Tilirosida dari ekstrak daun jati belanda memiliki aktivitas induksi apoptosis terhadap sel T47D yang ditandai dengan besarnya persentase apoptosis awal dan apoptosis akhir yang dibandingkan dengan kontrol sel dan kontrol doksorubisin.