PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA

advertisement
PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA
ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis
Oleh :
Teguh Muhamad Akbar
C34102006
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA
ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Teguh Muhamad Akbar
C34102006
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul
: PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA
ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis
Nama Mahasiswa : Teguh Muhamad Akbar
Nomor Pokok
: C34102006
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Ir. Iriani Setyaningsih, MS
NIP. 131 578 853
Desniar, S.Pi, M.Si
NIP. 132 159 705
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M. Sc.
NIP. 130 215 031
Tanggal Lulus :
RINGKASAN
TEGUH MUHAMAD AKBAR. C34102006. Pengaruh Cahaya terhadap
Senyawa Antibakteri dari Chaetoceros gracilis. Dibimbing oleh IRIANI
SETYANINGSIH dan DESNIAR
Salah satu mikroalga laut yang umum dijumpai di perairan lepas pantai
Indonesia adalah Chaetoceros gracilis. Chaetoseros gracilis merupakan
salah satu diatom yang dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa senyawa
antibakteri.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh metode pemecahan
sel dan metode kultivasi terhadap ekstrak antibakteri Chaetoceros gracilis dan
daya hambatnya terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyi.
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi kultivasi C. gracilis (10 L) ke
dalam media Guillard pada suhu ruang dengan penyinaran dan aerasi selama
24 jam, ekstraksi senyawa antibakteri C. gracilis dengan waktu pemecahan sel
yang berbeda (5, 10 dan 15 menit) dan uji aktivitas senyawa antibakteri tersebut
menggunakan metode difusi agar. Penelitian utama meliputi kultivasi C. gracilis
(6 L) dengan jarak pencahayaan yang berbeda (3, 9 dan 15 cm), ekstraksi senyawa
antibakteri C. gracilis dengan waktu pemecahan sel terpilih dan uji aktivitas
menggunakan teknik tabung pengenceran. Analisis yang dilakukan berupa
penghitungan jumlah sel dan pembuatan kurva pertumbuhan dari kultur dengan
jarak pencahayaan berbeda serta pengujian aktivitas senyawa antibakteri dari
ekstrak yang dihasilkan.
Berdasarkan penelitian pendahuluan didapatkan data rendemen ekstrak
dari ekstraksi dengan waktu pemecahan sel 5, 10 dan 15 menit berturut–turut
adalah 30,12 %, 33,32 % dan 37,56 %. Rata-rata diameter zona hambat dari
ketiga ekstrak adalah sama yaitu untuk V. harveyi sebesar 8 mm dan untuk
S. aureus yaitu 3 mm. Metode ekstraksi dengan waktu pemecahan sel 15 menit
digunakan sebagai metode terpilih untuk esktraksi senyawa antibakteri pada tahap
penelitian utama.
Pada penelitian utama diketahui bahwa kultur dengan jarak pencahayaan
3 cm memiliki konstanta laju tumbuh (k) yang paling besar dibandingkan kultur
dengan jarak pencahayaan 9 cm dan 15 cm. Kultur C. gracilis dengan jarak
pencahayaan 15 cm memiliki fase logaritmik dan stasioner yang lebih lama
dibandingkan dengan yang lain. Rendemen ekstrak yang diperoleh untuk kultur
dengan jarak pencahayaan 3, 9 dan 15 cm berturut-turut adalah 33,17 %, 34,75 %
dan 35,77 %. Uji aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan V. harveyi yang
dilakukan dengan teknik tabung pengenceran menunjukkan bahwa senyawa
antibakteri yang berasal dari biomassa kultur dengan pencahayaan 15 cm
memiliki persentase reduksi OD kontrol negatif (kultur bakteri tanpa senyawa
antibakteri) yang paling besar, kemudian diikuti dengan kultur pencahayaan 9 cm
dan kultur dengan pencahayaan 3 cm memiliki persentase reduksi yang paling
kecil. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa ekstrak dari kultur dengan jarak
pencahayaan 15 cm memiliki aktivitas antibakteri yang paling tinggi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis sejak penelitian sampai dengan penyelesaian skripsi
yang berjudul “Pengaruh Cahaya terhadap Senyawa Antibakteri dari
Chaetoceros gracilis”. Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ir. Iriani Setyaningsih, MS, dan Desniar. S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing
yang telah banyak memberikan bantuan materil dan moril, kritik serta saran
dalam penelitian dan penulisan skripsi ini
2. Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Dra. Pipih Suptijah, M.Si selaku dosen penguji
yang telah memberikan berbagai masukan terhadap penulisan skripsi ini.
4. Ayah dan Ibu, serta adikku atas kasih sayang, do’a, perhatian, nasehat dan
dukungannya selama ini.
5. Dosen-dosen, staf administrasi, staf laboratorium atas segala bantuannya.
6. Teman-teman THP 38, 39, 40 atas kebersamaan, bantuan dan dukungannya.
7. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan kemajuan Teknologi Hasil Perairan.
Bogor, Agustus 2008
Teguh M. Akbar
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 17 Februari
1985 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan
Bapak
Drs. Betih Mulyana dan Ibu Dedeh Juariah, S.Pd.
Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD
Sukasirna 2 Sumedang Selatan kemudian melanjutkan ke Sekolah
Menengah Pertama di SLTP Negeri 2 Sumedang.
Pada tahun 1999 penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMUN 1
Sumedang. Tahun 2002 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI
(Undangan Saringan Masuk IPB).
Selama kuliah, penulis aktif sebagai pengurus di Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) Lingkung Seni Sunda Mahasiswa Gentra Kaheman (2002-2007). Penulis juga
pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Avertebrata Perairan (2004/2005) dan
Mikrobiologi Hasil Perairan (2005/2006).
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan, pada
akhir studi penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul
”Pengaruh Cahaya terhadap Senyawa Antibakteri dari Chaetoceros gracilis”, di
bawah bimbingan Ibu Ir. Iriani Setyaningsih, MS, dan ibu Desniar, S.Pi, M.Si.
v
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... viii
1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1. Chaetoceros gracilis ....................................................................... 3
2.2. Senyawa Antimikroba .................................................................... 5
2.3. Ekstraksi Senyawa Antimikroba ..................................................... 6
2.4. Kultivasi Mikroalga ........................................................................ 9
2.5. Kurva Pertumbuhan Mikroalga....................................................... 10
2.6. Bakteri ............................................................................................. 12
2.6.1. Staphylococcus aureus. ...................................................... 14
2.6.2. Vibrio harveyi ..................................................................... 15
3. METODOLOGI .................................................................................... 17
3.1. Waktu dan Tempat............................................................................17
3.2. Bahan dan Alat................................................................................ 17
3.3. Metode Penelitian ........................................................................... 18
3.3.1. Penelitian pendahuluan ........................................................ 18
1) Kultivasi C. gracilis tahap I............................................. 18
2) Ekstraksi senyawa antibakteri dengan waktu
pemecahan sel yang berbeda........................................... 19
3.3.2. Penelitian utama ................................................................... 19
1) Kultivasi C. gracilis tahap II .......................................... 20
2) Ekstraksi senyawa antibakteri dengan waktu
pemecahan sel terpilih ................................................... 20
3.4. Prosedur Analisis ............................................................................ 21
3.4.1. Perhitungan jumlah sel......................................................... 21
3.4.2. Perhitungan laju tumbuh ...................................................... 22
3.4.3. Uji aktivitas senyawa antibakteri dengan metode
difusi agar............................................................................ 22
vi
3.4.4. Uji aktivitas senyawa antibakteri dengan teknik
tabung pengenceran............................................................. 24
3.4.5. Perhitungan aktivitas reduksi OD (Optical Density)
senyawa antibakteri...............................................................25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 26
4.1. Pengaruh Waktu Pemecahan Sel (Cell Disruption) terhadap
Rendemen dan Aktivitas Senyawa Antibakteri ............................... 26
4.2. Kurva Pertumbuhan Mikroalga C. gracilis dengan
Intensitas Cahaya Berbeda ............................................................. 30
4.3. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Yield Ekstrak dan
Aktivitas Antibakteri Ekstrak C. gracilis ....................................... 34
5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 38
5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 38
5.2. Saran ................................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 40
LAMPIRAN................................................................................................. 44
vii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Pengaruh waktu cell disrupting terhadap berat ekstrak dari kultur
dengan jarak pencahayaan 9 cm ( + 2500 lux) dan uji aktivitasnya
terhadap bakteri V. harveyi dan S. aureus ...................................................28
2. Pengaruh intensitas cahaya terhadap kepadatan biomassa, rendemen
ekstrak dan aktivitas antibakteri C. gracilis..............................................35
viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Sel Chaetoceros gracilis (Utex 2007)…………..................................4
2. Kurva pertumbuhan mikroalga....………………................................10
3. Morfologi sel S. aureus (Todar 2002)…………….............................14
4. Morfologi sel Vibrio harveyi (Se-ed 2007).........................................16
5. Ekstrak kasar C. gracilis dalam bentuk pasta…..................................27
6. Zona hambat dari ekstrak C. gracilis dengan waktu pemecahan
sel yang berbeda terhadap V. harveyi..................................................29
7. Zona hambat dari ekstrak C. gracilis dengan waktu pemecahan
sel yang berbeda terhadap S. aureus....................................................29
8. Kurva pertumbuhan C. gracilis dengan jarak pencahayaan 3, 9
dan 15 cm.............................................................................................31
9. Perubahan warna selama kultivasi C. gracilis.....................................33
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Tabel medium Guillard yang telah dimodifikasi...............................45
2. Data laju pertumbuhan……………………….……...........................46
3. Perhitungan nilai rendemen dan kepadatan biomassa.........................47
4. Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas antibakteri...............................48
5. Data OD bakteri S. aureus .........................……….............................50
6. Data OD bakteri V. harveyi..….......................…….............................51
x
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penemuan senyawa antibiotik atau antibakteri yang pertama yaitu penisilin
telah berhasil mengobati berbagai penyakit bakterial yang pada awalnya tidak bisa
disembuhkan atau sukar untuk diobati. Sejak penemuan antibiotik, kematian
manusia akibat infeksi bakteri menjadi berkurang. Pada awalnya, antibiotik tidak
diketahui efek sampingnya, namun dalam perkembangan selanjutnya ditemukan
fakta bahwa antibiotik dapat menyebabkan resistensi bakteri. Selain itu
penggunaan antibiotik tertentu misalnya kloramfenikol dapat menyebabkan
penyakit seperti anemia aplastik, yaitu kehilangan kemampuan untuk membentuk
sel-sel darah putih dan sel darah merah serta sering mengakibatkan kematian
karena infeksi atau leukimia (Schunack et al. 1990).
Setelah ditemukannya berbagai fakta tersebut, banyak penelitian yang
mengarah pada penemuan senyawa antibakteri baru yang berasal dari alam, aman
bagi tubuh serta bakteri belum resisten terhadapnya. Dalam hal ini, berbagai
organisme laut, diantaranya mikroalga merupakan salah satu objek penelitian
penemuan senyawa antibakteri baru bagi para peneliti. Contoh mikroalga yang
telah diketahui menghasilkan senyawa antibakteri adalah Chlorella vulgaris dan
Chlamydomonas
pyrenoidos.
Ekstrak
intra
dan
ekstraselulernya
dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif maupun positif (Borowitzka dan
Borowitzka 1988). Indonesia sebagai negara dengan wilayah laut yang luas dan
memiliki keanekaragaman biota yang tinggi dapat menjadi sumber penemuan
berbagai senyawa antibakteri baru dari mikroalga.
Diatom yang merupakan salah satu kelompok dari mikroalga juga
mempunyai potensi untuk menghasilkan antimikroba. Chaetoceros gracilis adalah
contoh diatom yang telah diketahui dapat menghasilkan senyawa antibakteri.
Menurut Pribadi (1998), Chaetoceros gracilis menghasilkan senyawa antibakteri
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Penemuan ini juga diperkuat
dengan hasil penelitian Wang (1999) yang berhasil mengidentifikasi senyawa
antibakteri dari Chaetoceros dan menggunakan senyawa antibakteri tersebut
untuk depurasi bakteri Vibrio patogen dari oyster dan udang.
2
Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyi merupakan contoh bakteri
yang dapat merugikan manusia. Kontaminasi S. aureus pada makanan dapat
menyebabkan keracunan yang bisa menimbulkan diare (Madigan et al. 2003),
sedangkan V. harveyi menyebabkan penyakit vibriosis atau penyakit kunangkunang pada budidaya udang windu
(Rukyani 1992). Fenomena resistensi
bakteri patogen S. aureus dan V. harveyi terhadap antimikroba yang biasa
digunakan selama ini, telah menyulitkan pengobatan terhadap penyakit-penyakit
akibat bakteri tersebut . Penemuan dan optimalisasi aktivitas senyawa antibakteri
baru dari alam merupakan hal yang harus dilakukan untuk menanggulangi
masalah tersebut.
Data-data mengenai kultivasi C. gracilis sebagai produsen zat antibakteri
masih banyak yang belum diketahui, diantaranya mengenai metode ekstraksi
senyawa antibakterinya serta respon kultur terhadap intensitas cahaya. Oleh
karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana
pengaruh intensitas cahaya dan metode ekstraksi senyawa antibakteri terhadap
produksi biomassa kultur C. gracilis dan senyawa antibakteri yang dihasilkannya.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1)
Mempelajari
pengaruh
intensitas
cahaya
terhadap
pertumbuhan
Chaetoceros gracilis dengan menentukan kurva pertumbuhan.
2)
Mempelajari pengaruh waktu pemecahan sel (cell disruption) terhadap
ekstrak yang dihasilkan dan daya hambatnya terhadap bakteri patogen
3)
Mempelajari pengaruh intensitas cahaya terhadap biomasa sel yang
dihasilkan
4)
Mempelajari pengaruh intensitas cahaya terhadap jumlah ekstrak antibakteri
C. gracilis dan daya hambatnya terhadap bakteri patogen.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Chaetoceros gracilis
Chaetoceros termasuk diatom yang sering disebut golden-brownalgae
karena kandungan pigmen kuning lebih banyak dari pigmen hijau sehingga bila
padat populasinya, perairan akan terlihat coklat muda. Chaetoceros sp .,
Rhizolenia sp., Thallasiothrix sp., dan Bacteriastrum sp., merupakan jenis yang
umum dijumpai di perairan lepas pantai Indonesia. Chaetoceros ada yang
berbentuk bulat dengan diameter 4-6 mikron dan ada yang berbentuk segi empat
dengan ukuran 8-12 x 7-18 mikron. Dinding sel phytoplankton ini dibentuk dari
silika. Karotenoid dan diatomin merupakan pigmen yang dominan. Sama halnya
dengan di alam, Chaetoceros akan berwarna kuning-keemasan hingga coklat pada
kultur buatan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Klasifikasi Chaetoceros gracilis ( Bold dan Wynne 1985) adalah sebagai
berikut :
Phylum
: Chrysophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Ordo : Centricae
Subordo : Biddulphioideae
Famili : Chaetoceraceae
Genus : Chaetoceros
Spesies : Chaetoceros gracilis
Chaetoceros gracilis merupakan spesies dari Chaetoceros yang
berbentuk sel tunggal tidak berantai, dan bercangkang cembung. Setae mula-mula
muncul pada sudut-sudutnya, membentuk kurva dan kemudian menjadi paralel
bentuknya. Spora terdapat di tengah-tengah sel induk dan bercangkang kasar.
Panjang apikal axisnya 6-10 μm (Lebour diacu dalam Pribadi 1998).
Struktur sel diatom memiliki kerangka silika yang disebut frustul yang
terdiri dari dua valva setangkup bagaikan cawan petri atau bagaikan kotak obat.
Valva bagian atas disebut epiteka yang menutupi valva bagian bawah yang
disebut hipoteka.
Seluruh permukaan valva penuh dengan ornamentasi yang
simetris dan pori-pori yang menghubungkan sitoplasma dalam sel dengan
4
lingkungan di luarnya (Nontji 2006).
Di dalam frustul terdapat sitoplasma,
nukleus, mitokondria dan kromatofor (Round 1996).
Chaetoceros gracilis merupakan spesies sentrik dari diatom yang non
motil, bercangkang simetris, dan memproduksi hanya satu auksospora
(Schuett 1880 diacu dalam McConnaghey 1974).
sejumlah kecil kromatofora.
Sitoplasmanya memiliki
Bentuk sel Chaetoceros gracilis dilihat dari
mikroskop pada perbesaran 400 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Sel Chaetoceros gracilis (Utex 2007)
Chaetoceros gracilis merupakan jenis Chaetoceros yang banyak dikultur
untuk pakan larva udang. Selain itu Chaetoceros gracilis juga dapat diberikan
langsung sebagai pakan larva teripang atau digunakan untuk pakan dalam
budidaya biomassa Artemia (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Hasil penelitian Sutomo (2005) menunjukkan bahwa C. gracilis memiliki
daya adaptasi yang cepat terhadap lingkungan kultur yang baru. Hal ini dapat
dilihat dari besarnya nilai k (laju pertumbuhan relatif) pada hari ke-1 yang cukup
tinggi (k = 4,31). Hal ini menunjukkan bahwa alga tersebut mengalami masa
adaptasi yang cukup singkat dan langsung tumbuh dengan cepat. Keadaan ini
diduga disebabkan oleh benih alga dan media air yang digunakan berasal dari
lingkungan laboratorium yang sama.
Chaetoceros toleran terhadap suhu air yang tinggi. Pada suhu air 60 0C
fitoplankton ini masih dapat bertahan hidup, akan tetapi tidak berkembang. Alga
ini akan hidup optimal pada suhu 37 0C dan masih dapat
tumbuh pada
suhu 50 0C. Toleransi terhadap kisaran salinitas sangat lebar, yaitu 6-50 o/oo,
sedangkan kisaran salinitas 17-25
o
/oo merupakan salinitas optimal untuk
5
pertumbuhannya. Salinitas minimum untuk pertumbuhan alga ini adalah 6 o/oo.
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Liang et al. (2001) melaporkan bahwa jumlah total lipid pada Chaetoceros
gracilis, Cylindrotheca fusiformis dan Phaeodactylum tricornutum (B114) yang
ditumbuhkan pada intensitas 5000 lux lebih sedikit dibanding yang ditumbuhkan
pada intensitas cahaya 1500 lux. Kemudian, total asam lemak tidak jenuh
(polyunsaturated fatty acid) pada diatom tersebut menurun seiring dengan
bertambahnya intensitas cahaya pada kultur.
2.2. Senyawa Antimikroba
Zat antimikroba khusus untuk menghambat pertumbuhan atau aktivitas
bakteri disebut zat antibakteri. Zat ini dapat bersifat bakterisidal (membunuh
bakteri) dan bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri).
Cara kerja
antibiotik dalam menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri adalah
merusak dinding sel, merubah permeabilitas sel, merubah molekul protein dan
asam
nukleat,
menghambat
sintesis
asam
nukleat
dan
protein
(Pelczar dan Chan 2005b).
Senyawa - senyawa antibakteri, antivirus, dan anti jamur telah ditemukan
di ribuan spesies mikroalga. Hellebust (1879) yang diacu Stewart (1974)
menyatakan bahwa mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah di
dalam selnya, yang disebut dengan metabolit intraseluler dan menghasilkan
metabolit ekstraseluler yang disekresikan dari sel ke medium pertumbuhannya.
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa komponen algasidal
allelopatik yang dihasilkan oleh mikroalga mempunyai fungsi sebagai
autoinhibitor.
Pembentukan autoinhibitor terjadi karena perubahan kondisi
lingkungan (kultur) seperti pH dan kondisi nutrien yang menyebabkan
pembentukan senyawa allelopatik (Metting and Pyne 1986).
Allelopatik
merupakan gejala kemampuan tumbuhan mengeluarkan zat untuk mematikan
tumbuhan atau tanaman pesaing disekitarnya dalam mengamankan kelangsungan
hidupnya (Sadjad 1993).
Perubahan kondisi lingkungan (kultur) pada mikroalga seperti penurunan
intensitas cahaya dan konsentrasi CO2 menyebabkan sel menghasilkan senyawa
autoinhibitor.
Pembentukan
senyawa
autoinhibitor
dapat
mempersingkat
6
pertumbuhan sel dalam kultur karena pertumbuhan sel menjadi menurun
(Fogg 1975).
Aktivitas antimikrobial tergantung pada spesies mikroalga dan metode
ekstraksi senyawa aktifnya. Metabolit sekunder yang berupa karbon organik lebih
banyak dihasilkan pada fase lag dan fase stasioner dibanding fase log. Akan
tetapi, tidak pada setiap kondisi suatu metabolit dapat dihasilkan, tergantung pada
pH, salinitas, kondisi aerob/anaerob, cahaya dan nutrient (Hellebust 1879 diacu
dalam Stewart 1974).
Sintesa dan akumulasi metabolit sekunder pada mikroalga dipengaruhi
oleh kondisi kultur, seperti siklus pencahayaan (gelap-terang), suhu, salinitas dan
konsentrasi nutrien (nitrogen pada beberapa mikroalga dan silikon pada diatom)
( Metting dan Pyne 1986).
Suhu 350C, pH 8 dan inkubasi selama 15 hari merupakan kondisi yang
bagus untuk pertumbuhan dan produksi senyawa antibakteri dari mikroalga.
Selain itu, aktivitas antimikrobial tergantung pada spesies mikroalga dan metode
ekstraksi senyawa aktifnya (Noaman et al. 2004). Hashimoto (1979) menyatakan
bahwa turunan asam akrilat (acrylic acid) pada alga umumnya menyebabkan
aktivitas antibakteri. Asam lemak yang mempunyai berat molekul rendah ini
tersebar luas pada alga coklat dan alga hijau serta sejumlah phytoplankton. Asam
akrilat dibentuk dari β-dimetilpropiothetin yang diubah menjadi dimetil sulfida
dan asam akrilat.
2.3. Ekstraksi Senyawa Antimikroba
Proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari campuran dengan
bantuan pelarut disebut sebagai ekstraksi.
Teknik ekstraksi didasarkan pada
kenyataan bahwa jika suatu zat dapat terlarut dalam dua lapisan yang tak campur,
maka zat itu dapat dialihkan dari suatu lapisan ke lapisan lain dengan
mengocoknya. Zat terlarut yang diekstraksi dapat berada dalam medium padat
atau cair, serta pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi dapat berupa pelarut
yang bersifat larut dalam air seperti alkohol, atau tidak larut dalam air seperti
heksana dan kloroform.
Pemilihan pelarut yang digunakan tergantung antara lain pada sifat
kelarutan zat terlarut itu (Achmadi 1992). Ekstraksi dapat dilakukan dalam dua
7
cara, yaitu aqueous phase dan organic phase. Cara ekstraksi aqueous phase
menggunakan pelarut air sedangkan cara ekstraksi organic phase menggunakan
pelarut organik (Winarno et al. 1973)
Untuk mendapatkan hasil yang sempurna, pelarut yang digunakan dalam
proses ekstraksi harus sesuai dengan bahan yang diekstraksi, karena suatu zat
memiliki kemampuan melarut yang berbeda dalam pelarut yang berbeda.
Senyawa-senyawa polar akan terpisah dengan baik jika digunakan pelarut polar
dan senyawa-senyawa non polar akan terpisah dengan baik bila digunakan pelarut
non polar (Nur dan Adijuwana 1988).
Beberapa zat terutama bahan alami dapat dipisahkan dari padatannya
dengan ekstraksi sederhana. Teknik paling sederhana untuk ekstraksi padatan
adalah dengan cara mencampurkannya dalam larutan ekstraksi, dibantu dengan
penghancuran padatan, lalu dipisahkan dengan penyaringan biasa atau vakum
(Achmadi 1992).
Untuk mengeluarkan atau mengekstrak komponen intraseluler dipengaruhi
oleh beberapa faktor (Butterworth-Heineman 1992) yaitu :
a) Jenis dan komposisi dinding sel mikroorganisme
b) Ukuran mikroorganisme
c) Lokasi komponen intraseluler
d) Jenis alat dan metode ekstraksi
e) Konsentrasi sel
f) Waktu ekstraksi
g) Temperatur
Agar hasil ekstraksi lebih sempurna sering dilakukan pemecahan membran
atau dinding sel. Dengan pemecahan membran atau dinding sel ini senyawa yang
ada di dalam sel akan keluar seluruhnya sehingga lebih mudah terekstraksi. Salah
satu metode pemecahan membran atau dinding sel, yaitu dengan menggunakan
glass beads. Dalam metode pemecahan membran atau dinding sel dengan glass
beads, sejumlah butiran gelas dimasukan ke dalam larutan yang berisi biomassa,
kemudian dilakukan pengocokan (shaking) atau pengadukan (stirring) sehingga
butiran gelas kaca bertabrakan dengan sel, dan merusak membran atau dinding
selnya. Jumlah butiran gelas kaca yang ditambahkan minimal 50% dari larutan
8
biomassa, penambahan butiran gelas kaca ini bisa mencapai 90% dari larutan dan
masih bisa berfungsi. Secara umum, semakin besar perbandingan butiran gelas
kaca dengan larutan biomassa, maka kecepatan pemecahan selnya semakin cepat.
Proses ini bisa dilakukan secara manual dengan alat vortex pada kecepatan
maksimal (Biospec 2007).
Keuntungan
dari
metode penghancuran sel menggunakan glass atau
ceramic bead ini adalah biaya tidak mahal, mudah dilakukan dan bermacammacam sampel dapat dilakukan dengan metode ini. Sedangkan kelemahannya
adalah kemampuan terbatas pada skala kecil saja,
dihasilkan bervariasi,
produk dan kemurnian yang
kadang-kadang menghasilkan busa dan panas yang
berlebihan terutama pada skala besar (GFDL 2006).
Glass bead mampu memecah sel seperti cyanobacteria, yeast, spora, dan
mikroalga. Efektivitas glass bead sebagai pemecah sel tergantung dari ukuran
glass bead dan lama pemecahan sel. Sel bakteri akan pecah dengan lebih efektif
menggunakan glass bead berukuran 0,1 mm sedangkan glass bead 0,5 mm
efektif untuk sel mikroalga. Jumlah glass bead minimal 50% dari total volume
larutan biomasa yang digunakan (Grima et al. 2004). Pada saat proses pemecahan
sel timbul panas yang berasal dari gesekan butiran gelas dengan sel
(Biospec 2007).
Metanol merupakan pelarut yang baik untuk semua tujuan ekstraksi awal
(Harborne 1987). Metanol termasuk ke dalam golongan alkohol yang mempunyai
berat molekul rendah. Kondisi ini mempermudah pembentukan ikatan hidrogen
dengan molekul air dalam jaringan bahan yang diekstraksi sehingga senyawasenyawa dalam jaringan bahan akan lebih mudah terekstrak (Hart 1987).
Berdasarkan temuan dari beberapa peneliti, kandungan senyawa
antibakteri dari mikroalga berupa asam lemak, sehingga pelarut yang bisa
digunakan dalam tahap ekstraksi adalah pelarut
non-polar seperti metanol.
Menurut Cowan (1999), pada tumbuhan tingkat tinggi metanol dapat
mengekstraksi senyawa antibakteri berupa anthocyanin, terpenoid, saponin,
xanthoxylline, tannin, totarol, lactone, quassinoid, flavone, phenone, polyphenol.
9
2.4. Kultivasi Mikroalga
Pertumbuhan organisme uniseluler adalah pertambahan jumlah sel yang
berarti juga pertambahan jumlah organisme. Parameter pertumbuhan mikroalga
dapat ditinjau dari kekeruhan, berat kering atau yield, volume sel dan kandungan
klorofil (Becker 1994). Proses kultivasi mikroalga membutuhkan faktor-faktor
utama yang dapat mempengaruhi pertumbuhannya, yaitu cahaya, suhu, pH,
nutrien dan agitasi (Becker dan Venkataraman, 1982 diacu dalam De La Noue dan
De Paw 1988).
Cahaya merupakan faktor utama yang mempunyai peranan penting untuk
pertumbuhan mikroalga sebagai sumber energi dalam fotosintesis.
Intensitas
cahaya yang baik bagi mikroalga untuk melakukan fotosintesis berkisar antara
2-3 kilo lux. Cahaya matahari yang diperlukan oleh mikroalga dapat diganti
dengan lampu TL atau tungsten (Myers 1962). Suhu juga merupakan faktor yang
penting dalam pertumbuhan mikroalga.
Suhu optimal untuk pertumbuhan
mikroalga berkisar antara 15oC dan 30oC (De la Noue dan De Pauw 1988).
Nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroalga terdiri dari
makronutrein dan mikronutrien. Makronutrein adalah nutrien yang diperlukan
dalam jumlah yang besar yang terdiri dari karbon, nitrogen, fosfor,sulfat dan
potassium. Sedangkan mikronutrien adalah nutrien yang diperlukan dalam jumlah
yang kecil meliputi Co, Mo, Mn, Vitamin B12 dan Thiamin (Borowitzka dan
Borowitzka 1988).
Pertumbuhan
mikroalga akan optimal jika jumlah nutrien yang
dibutuhkan cukup tersedia. Di samping itu, perbandingan komposisi antar unsur
hara seperti N dengan P dan N dengan Si juga harus seimbang (De la Noue dan
De Paw 1988).
Agitasi juga merupakan variabel yang penting dalam pertumbuhan
mikroalga. Fungsi agitasi antara lain untuk menghindari sedimentasi dan
photoinhibisi, untuk penyebaran atau sirkulasi nutrien, penyebaran panas, dan
meningkatkan efesiensi penyebaran cahaya pada sel-sel mikroalga ( Markl 1980;
Persoone et al. 1980; Richmond 1986 diacu dalam De La Naue dan De Pauw
1988).
10
Tingkat keasaman cenderung merupakan faktor substansial yang dapat
mengatur persediaan nutrien dalam kultur. Sebagai contoh pH yang terlalu tinggi
dapat membuat CO2 bebas tidak dapat digunakan oleh mikroalga dalam proses
fotosintesis,
dan
fosfor
akan
membentuk
endapan
(De
la
Noue
dan De Pauw 1988).
Pada volume kultur yang lebih besar akan menghasilkan kepadatan
maksimum yang lebih rendah. Hal ini disebabkan pada volume air pemeliharaan
yang lebih besar terjadi penurunan penetrasi dan intensitas cahaya oleh adanya
self shading atau terhalangnya cahaya oleh bayangannya sendiri. Disamping itu
pada volume yang lebih besar, perjalanan sel melalui sirkulasi air relatif lebih
panjang sehingga kesempatan mencapai permukaan air akan relatif lebih lama
(Sutomo 2005).
2.5. Kurva Pertumbuhan Mikroalga
Pengukuran jumlah sel mikroalga secara kuantitatif pada kultur bervolume
terbatas untuk menentukan kurva pertumbuhan dapat dilakukan dengan beberapa
cara, diantaranya adalah dengan perhitungan langsung jumlah sel dengan
menggunakan haemositometer, penghitungan berat kering, penghitungan dengan
cara pengukuran volume sel dan penghitungan kepadatan dengan pancaran cahaya
(Myers 1962). Kurva pertumbuhan mikroalga disajikan pada Gambar 2 (Fogg
1975).
Ket : 1. Fase Lag
2. Fase Logaritmik
3. Fase Penurunan Laju
Pertumbuhan
4. Fase Stasioner
5. Fase Kematian
Gambar 2. Kurva pertumbuhan mikroalga
11
Kurva pertumbuhan mikroalga memiliki bentuk yang sama dengan kurva
pertumbuhan
bakteri.
Berdasarkan
kurva
mikroalga
dapat
diketahui
laju pertumbuhan sel sebagai respon dari parameter lingkungan yang ada,
misalnya nutrien, temperatur dan cahaya. Pertumbuhan mikroorganisme
dibedakan menjadi beberapa tahapan/fase (Fogg 1975) yang meliputi :
1) Fase lag atau fase adpatasi. Pada fase ini tidak terjadi kenaikan jumlah sel
karena sel mikroalga sedang beradaptasi dengan media tumbuhnya. Lamanya
fase adaptasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah :
a. Medium dan lingkungan pertumbuhan.
Sel yang ditempatkan dalam
medium dan lingkungan pertumbuhan sama seperti medium dan
lingkungan sebelumnya, mungkin tidak diperlukan waktu adaptasi.
Tetapi jika nutrien yang tersedia dan kondisi lingkungan yang baru sangat
berbeda dengan yang sebelumnya, diperlukan waktu penyesuaian untuk
mensintesis enzim-enzim yang dibutuhkan untuk metabolisme.
b. Jumlah inokulum. Jumlah awal sel yang semakin tinggi akan mempercepat
fase adaptasi. Fase adaptasi mungkin berjalan lambat karena beberapa
sebab, misalnya: (1) kultur dipindahkan dari medium yang kaya nutrien ke
medium yang kandungan nutriennya rendah, (2) mutan yang baru
terbentuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, (3) kultur yang
dipindahkan dari fase statis ke medium baru dengan komposisi sama
seperti sebelumnya.
2) Fase log (fase eksponensial). Pada fase ini jumlah peningkatan sel
berlangsung secara cepat. Peningkatan jumlah sel tersebut mengikuti kurva
logaritmik. Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh
medium tempat tumbuhnya seperti pH dan kandungan nutrien, juga kondisi
lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara.
Pada fase ini sel
membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan dengan fase lainnya, selain
itu sel paling sensitif terhadap keadaan lingkungan.
3) Fase penurunan laju pertumbuhan. Pada fase ini pertumbuhan sel relatif
lambat dan terjadi penurunan dalam pertambahan populasi per satuan waktu
bila dibandingkan dengan fase log. Pada fase ini pertumbuhan populasi jasad
renik menjadi lambat karena : (1) zat nutrisi di dalam medium sudah sangat
12
berkurang, (2) adanya hasil-hasil metabolisme yang mungkin beracun atau
dapat menghambat pertumbuhan jasad renik. Pada fase ini pertumbuhan sel
tidak stabil, tetapi jumlah populasi masih naik karena jumlah sel yang tumbuh
masih lebih banyak daripada jumlah yang mati.
4) Fase stasioner. Pada fase ini jumlah sel tidak berubah/tetap karena
pertambahan kepadatan populasi seimbang dengan pengurangan kepadatan
populasi akibat kematian. Ukuran sel pada fase ini menjadi lebih kecil karena
sel tetapi membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis.
Karena
kekurangan zat nutrisi, sel kemungkinan mempunyai komposisi berbeda
dengan sel yang tumbuh pada fase logaritmik. Pada fase ini sel menjadi lebih
tahan terhadap keadaan ekstrem seperti panas, dingin, radiasi dan bahan
kimia.
5) Fase kematian, pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel karena sel
mengalami kematian. Pada fase ini sel–sel mikroalga mengalami kematian
karena beberapa sebab yaitu : (1) nutrien di dalam medium sudah habis, (2)
energi cadangan di dalam sel sudah habis. Kecepatan kematian dipengaruhi
oleh kondisi nutrien, lingkungan dan jenis jasad renik (mikroalga).
2.6. Bakteri
Bakteri adalah sel prokariot yang khas dan bersifat uniseluler. Sel bakteri
ada yang berbentuk seperti bola, batang atau spiral. Umumnya bakteri berdiameter
antara 0,5 sampai 1,0 µm, dengan panjang antara 1,5 sampai 2,5 µm (Pelczar
dan Chan 2005a).
Sel bakteri dikelilingi oleh membran sitoplasma yang bagian luarnya
diselubungi oleh dinding sel yang mengandung peptidoglikan.
Membran
sitoplasma memegang peranan penting dalam kesinambungan fungsi sel, yaitu
mengendalikan laju perpindahan bahan dari dalam dan dari luar sel yang bersifat
permeabel.
Peptidoglikan memberikan bentuk dan menyebabkan kakunya
dinding sel. Susunan kimiawi dan struktur peptidoglikan khas untuk masingmasing bakteri (Madigan et al. 2003).
Bakteri Gram positif akan berwarna ungu atau biru pada uji pewarnaan
Gram. Bakteri ini mempunyai struktur dinding sel yang tebal, yaitu 15-80 nm dan
berlapis tunggal.
Komposisi dinding sel terdiri dari lipid dengan kandungan
13
rendah, peptidoglikan sebagai lapisan tunggal memiliki jumlah sekitar 90% dari
berat dinding sel dan mengandung asam tekoat (Madigan et al. 2003). Pori-pori
peptidoglikan bakteri Gram positif lebih rapat dari bakteri Gram negatif
(Pelczar dan Chan 2005a).
Bakteri Gram negatif mempunyai struktur dinding sel yang tipis yaitu
10-15 nm dan berlapis tiga (multi).
dengan kandungan tinggi.
Komposisi dinding sel terdiri dari lipid
Peptidoglikan berada dalam lapisan kaku sebelah
dalam dan jumlahnya sedikit sekitar 10% dari berat dinding sel serta tidak
mengandung asam tekoat (Madigan et al. 2003).
mengandung
lipopolisakarida
yang
menyebabkan
Bakteri Gram negatif
bakteri
ini
terlihat
berwarna pink atau merah muda pada uji pewarnaan Gram. Lipopolisakarida ini
juga berkaitan dengan infeksi dari endotoksin yang dihasilkan ketika selnya mati
(Itech 2006).
Berdasarkan suhu lingkungan hidupnya bakteri dapat bersifat mesophil
(hidup dengan baik pada suhu 20-500C), termophil (hidup dengan baik pada suhu
lebih dari 450C), dan psikrophil (hidup dengan baik pada suhu 0-150C). Ada
beberapa
bakteri
thermophil
yang
dapat
tumbuh
dengan
baik
pada
suhu 100-1200C atau disebut dengan bakteri extremophil dan beberapa dapat
tumbuh dengan baik pada suhu 80-1000C atau disebut bakteri hiperthermophil
(Thiel 1999).
Umumnya bakteri dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 6-8.
Selain itu ada bakteri yang bersifat toleran terhadap asam atau terhadap basa.
Sedikit sekali bakteri yang tahan terhadap asam dibandingkan dengan bakteri
yang tahan terhadap lingkungan basa (Thiel 1999).
Berdasarkan kebutuhan oksigen bakteri dapat digolongkan menjadi
empat kelompok: (1) bakteri yang hidupnya membutuhkan oksigen atau disebut
dengan bakteri aerob, (2) bakteri
aerob fakultatif yaitu bakteri yang
hidup
dengan cepat pada kondisi aerob dan masih dapat hidup tanpa oksigen, (3) bakteri
anaerob aerotoleran yaitu bakteri yang dapat hidup dengan cepat pada kondisi
tanpa oksigen dan masih dapat hidup pada lingkungan yang mengandung oksigen,
(4) bakteri anaerob yaitu bakteri yang hanya hidup pada suasana tanpa oksigen
14
(Thiel 1999). Bakteri yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri pada
penelitian ini adalah Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyi.
2.6.1. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan organisme yang biasanya terdapat
pada bagian tubuh manusia, termasuk hidung, tenggorokan, dan kulit.
Kontaminasi S. aureus dapat menyebabkan keracunan (staphylococcal food
poisoning) karena enterotoksin yang dihasilkan mikroorganisme tersebut pada
makanan (Frazier dan Westhof 1985). Gejala keracunan yang ditimbulkannya
antara lain mual, pusing, muntah, dan diare . Hal ini terjadi setelah mengkonsumsi
makanan terkontaminasi 1-6 jam (Madigan et al. 2003).
Staphylococcus aureus termasuk bakteri Gram positif dan berbentuk
kokus tunggal, berpasangan dan bergerombol. Diameternya 0,5-1,5 μm, tidak
berkapsul dan tidak berspora, non motil, dan tidak ditemukan adanya fase istirahat
(Todar 2002). Morfologi sel Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Morfologi sel S. aureus (Todar 2002).
Pertumbuhan dan produksi toksin bersifat anaerob fakultatif, yaitu
tumbuh lebih cepat pada kondisi aerobik. Pertumbuhan optimum terjadi pada
suhu 37 oC dengan pH 7,0-7,5 dan pada aw 0,99 serta kadar NaCl sebesar 7-10%.
Meskipun demikian, bakteri ini masih dapat tumbuh dan berkembang biak pada
suhu 6-48 oC dan pH 4,2-9,3 serta kadar NaCl lebih dari 25%. Bakteri ini dapat
memproduksi toksin pada suhu 10-45 oC dengan pH 4,8-9,0 dengan suhu
optimum 35-45 oC dan pH optimum 5,3-7,0 serta pada aw optimum 0,86-0,99
(ESR 2001).Koloni S. aureus yang bersifat patogen berwarna putih atau kuning
15
oranye. Pigmen ini akan jelas terlihat bila biakan mengandung bahan pati atau
asam lemak dan pada media yang agak kering seperti serum darah. Bakteri ini
bersifat
memfermentasikan
manitol
dan
uji
koagulase
positif
(Lay dan Hastowo 1992).
Bakteri S. aureus memiliki berbagai faktor virulensi yang potensial
menyebabkan infeksi, yaitu (1) protein permukaan yang menyebabkan kolonisasi
pada jaringan induk semang, (2) enzim (leukosidin, kinase, hyaluronidase) yang
dapat merusak jaringan, (3) permukaan penghambat fagositik (protein A dan
kapsul),
(4)
produk
bahan
(karotenoid,
produk
katalase)
yang
dapat
mempertahankan diri dari sistem fagosit, (5) sistem imunologi (protein A dan
koagulase), (6) produksi toksin (hemolysin, leukotoksin, leukosidin), (7) faktor
virulensi (Todar 2002).
Berdasarkan Tortora et al. (1989) bahwa dahulu bakteri ini sensitif
terhadap penisilin, akan tetapi sekarang hanya 10% strain S. aureus yang sensitif
terhadap penisilin.
dengan
Daya kerja antibiotik penisilin terhadap S. aureus yaitu
menghambat
pembentukan
dinding
sel
bakteri
(Lay dan Hastowo 1992).
Saat ini beberapa strain S. aureus umumnya resisten terhadap antibiotik
seperti β-lactam, kloramfenikol, ciprofloxacin, clindamycin, eritromisin, rifampin,
tetrasiklin, trimetropim, dan
vankomisin.
Mekanisme resistensi bakteri ini
bermacam-macam tergantung pada jenis antimikrobanya, seperti terbentuknya
enzim β- lactamase yaitu enzim yang dapat menguraikan penisilin dan mekanisme
efflux pada kloramfenikol (Madigan et al. 2003; Lohner dan Austria 2001).
2.6.2. Vibrio harveyi
Bakteri ini termasuk bakteri Gram negatif dan bersifat fermentatif. Sifat
fisiknya antara lain bersel tunggal, berbentuk batang pendek, berukuran panjang
1,4-5,0 µm dan lebar 0,3-1,3 µm, motil serta mempunyai flagella untuk bergerak.
Sifat biokimia dari Vibrio adalah memproduksi oksidase-katalase, tidak
membentuk gas pada produksi asam dari glukosa, dapat menggunakan komponen
organik sebagai sumber energi (kemoorganotropik) (Lavilla-Pitogo et al. 1995).
Vibriosis merupakan jenis penyakit yang sering ditemukan pada budidaya windu
sebagai akibat infeksi bakteri Vibrio. Namun jenis bakteri yang umum dilaporkan
16
sebagai penyebab penyakit kunang-kunang adalah Vibrio harveyi (Rukyani
1992).
Umumnya bakteri Vibrio sp tumbuh secara optimal pada suhu 30 oC dan
pada salinitas 20-30 ppt (Holt dan Krieg 1984). V. harveyi tumbuh baik pada
medium dengan kadar garam 0,5% NaCl, dan seperti halnya bakteri Vibrio
berpendar lain, V. harveyi tumbuh dan berpendar pada medium TiosulphateCitrate-Bile-Salt (TCBS).
Pendaran ini terjadi karena bakteri ini mempunyai
enzim lusiferase yang dapat mengkatalis reaksi yang memancarkan cahaya
dengan menggunakan substrat berupa senyawa aldehid yang disebut lusiferin
(Meighen 1991). Sel V. harveyi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Morfologi sel Vibrio harveyi (Se-ed 2007).
Senyawa antibakteri kloramfenikol dapat bersifat bakterisidal pada
V. harveyi. Kloramfenikol bekerja sebagai bakterisidal dengan cara membuat
ikatan dengan subunit ribosom bakteri (50S) sehingga dapat menghambat sintesis
protein bakteri (Tufts 2007). Menurut Moriarty (1999), ketika antibiotik
digunakan untuk membunuh bakteri, beberapa bakteri akan bertahan hidup baik
galur patogen maupun bukan karena mempunyai gen resisten. Bakteri ini akan
tumbuh cepat karena tidak ada saingan. Ketika bakteri patogen masuk kembali ke
lingkungan budidaya udang terjadi pertukaran gen dengan bakteri resisten yang
bertahan hidup di lingkungan. Dengan demikian terjadi resistensi antibiotik pada
galur patogen yang akan berkembang secara cepat.
Hal inilah yang terjadi
sehingga V. harveyi memiliki sifat resisten terhadap berbagai jenis antibiotik
antara lain: kloramfenikol, enteromisin, furazolidon, oksitetrasiklin, neomisin,
prefuran, streptomisin, sulfadiazin dan trimetoprim (Abraham 2004).
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian
ini
dilaksanakan
sejak
bulan
Agustus
2007
sampai
Februari 2008 bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2 dan
Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Terpadu, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor .
3.2. Bahan dan Alat
Bahan atau sampel utama yang digunakan pada penelitian ini adalah kultur
Chaetoceros gracilis. Kultur mikroalga tersebut diperoleh dari koleksi mikroalga
Laboratorium Marikultur Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Ancol, Jakarta Utara
yang dikultur lagi di Laboratorium Bioteknlogi Hasil Perairan 2 Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Untuk
kultur Chaetoceros gracilis dalam skala laboratorium digunakan air laut dan
media Guillard yang komposisinya dapat dilihat pada Lampiran 1.
Bahan-bahan
yang digunakan untuk ekstraksi senyawa antimikroba
adalah pelarut organik metanol. Untuk uji aktivitas bakteri digunakan media
Mueller Hinton Agar (MHA) dan Mueller Hinton Broth (MHB), Triptose Soy
Agar (TSA) dan Nutrient Broth (NB). Bahan-bahan penunjang lainnya yaitu
kertas saring Whatman No. 42 dan akuades steril.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk kultivasi
dan penentuan kurva pertumbuhan C. gracilis, alat untuk mengekstrak senyawa
antibakteri dari C. gracilis dan alat untuk menguji aktivitas antibakteri senyawa
ekstrak C. gracilis.
a. Peralatan yang digunakan untuk kultur mikroalga C. gracilis dan penentuan
kurva pertumbuhan antara lain: erlenmeyer berukuran 500 ml, 1000 ml dan
2000 ml, galon air minum, selang, aerator (blower), lampu neon, pipet,
hemasitometer,
tabung
reaksi,
mikrosokop,
autoklaf,
dan
alat
mechanic counter.
b. Peralatan yang digunakan untuk panen dan ekstraksi senyawa antibakteri
mikroalga C. gracilis antara lain : mesin filter dengan tipe filter keramik,
18
erlenmeyer berukuran 100 ml dan 250 ml, magnetic stirrer, hot plate, freezer,
freeze dryer (Yamato FD 30), tabung freeze drying, rotavapor vakum
(Yamato RE 50).
c. Peralatan yang digunakan untuk uji aktivitas senyawa antimikroba mikroalga
C. gracilis antara lain : cawan petri, tabung reaksi, autoklaf, bunsen, jarum
ose, clean bench, dan labu erlenmeyer.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan
dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan yaitu penentuan waktu pemecahan
sel (cell disruption) terbaik dalam proses ekstraksi senyawa antibakteri
C. gracilis. Penelitian utama yaitu penentuan intensitas cahaya terbaik yang
menghasilkan senyawa antibakteri dengan rendemen dan zona hambat yang paling
besar.
3.3.1. Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan waktu pemecahan sel
(cell disruption) terbaik. Penelitian pendahuluan ini meliputi kultivasi C. gracilis
dan uji aktivitas antibakteri dari ekstrak C. gracilis dengan waktu pemecahan sel
yang berbeda, yaitu 5, 10, dan 15 menit.
1) Kultivasi C. gracilis tahap I
Tahap ini dimulai dengan membuat kultur awal C. gracilis sebanyak
200 ml. Sebanyak 20 ml inokulum C. gracilis yang didapatkan dari Laboratorium
Marikultur Pusat Penelitian Osenaografi LIPI-Ancol, dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer yang berisi 200 ml medium kultur (medium Guillard). Setelah 1
minggu, stok kultur awal dimasukkan ke dalam stoples berkapasitas 2500 ml yang
berisi 2000 ml medium. Air laut yang digunakan sebelumnya telah disterilkan
dengan cara direbus pada suhu 100oC selama 15 menit.
Setelah kultur berumur 7 hari dilakukan perbesaran skala kultur dengan
memindahkan sebanyak 1000 ml kultur C. gracilis ke dalam galon yang
berisi 10 L medium. Kultur diberi aerasi secara terus menerus dan diberi
pencahayaan selama 24 jam dengan jarak lampu 9 cm (+ 2500 lux). Selanjutnya,
kultur dipanen pada fase stasioner yaitu hari ke – 14.
19
2) Ekstraksi senyawa antibakteri dengan waktu pemecahan sel yang
berbeda
Pada saat kultur C. gracilis mencapai fase stasioner atau kultur
berumur 14 hari, dilakukan panen biomassa menggunakan filter keramik untuk
memisahkan filtrat dan biomassanya. Biomassanya dibekukan dalam freezer
sampai membeku.
Setelah membeku, biomassa
dikeringkan dengan
menggunakan freeze dryer (Yamato FD 30) hingga diperoleh biomassa dalam
bentuk bubuk. Biomasa yang sudah didapat kemudian diambil sebanyak 0,9 gram
dan dibagi menjadi 0,3 gram untuk masing-masing perlakuan yaitu pemecahan sel
selama 5, 10 dan 15 menit. Setelah itu, biomassa dimasukkan ke dalam tabung
dan ditambah metanol sebanyak 5 ml dan dilakukan pemecahan sel menggunakan
glass beads dengan perbandingan 1 : 2 ( glass beads (g) : larutan (ml) ). Larutan
tersebut selanjutnya diaduk menggunakan vortex selama selang waktu perlakuan
yaitu 5, 10 dan 15 menit.
Selanjutnya biomasa tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan
ditambahkan metanol (98 %) sehingga perbandingan biomassa dengan metanol
sebanyak 1 : 25. Larutan biomassa yang telah melalui proses disruption
(pemecahan sel) dengan glass beads kemudian dimaserasi. Maserasi dilakukan
dengan menggunakan pengaduk magnet pada suhu kamar selama + 3 x 24 jam
dengan kecepatan 50 rpm.
Setelah proses ekstraksi berlangsung dilakukan penyaringan dengan kertas
saring (Whatman no. 42). Selanjutnya
pelarut metanol diuapkan dengan
menggunakan rotavapor vakum (Yamato RE 50) pada suhu 35-37oC dengan
kecepatan 100 rpm selama + 15 menit hingga diperoleh ekstrak filtrat yang
berbentuk pasta.
Setelah mendapatkan ekstrak dalam bentuk pasta selanjutnya dilakukan
pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar. Waktu pemecahan sel
yang memiliki yield paling banyak dan zona hambat yang paling besar digunakan
untuk tahap penelitian selanjutnya.
3.3.2. Penelitian utama
Penelitian utama bertujuan untuk menentukan intensitas cahaya terbaik
yang menghasilkan senyawa antibakteri dengan yield dan zona hambat
20
yang paling besar. Penelitian utama meliputi kultivasi C. gracilis, ekstraksi
senyawa antibakteri C. gracilis dengan jarak pencahayaan kultur yang berbeda
yaitu 3, 9 dan 15 cm.
1) Kultivasi Chaetoceros gracilis tahap II
Tahap ini dimulai dengan pembuatan kultur mikroalga C. gracilis.
Kultivasi C. gracilis dibuat dalam erlenmeyer 1 liter sebanyak 3 buah yang berisi
larutan medium sebanyak 900 ml. Medium kultur yang digunakan adalah Medium
Guillard yang telah dimodifikasi (Lampiran 1). Air laut yang digunakan,
sebelumnya telah disterilkan dengan proses perebusan pada suhu 1000C
selama 15 menit.
Kultivasi dilakukan pada suhu ruang (29-30 oC) dengan penyinaran
memakai lampu 20 watt dan
pemberian aerasi selama 24 jam.
Kultivasi
dilakukan dengan 3 perlakuan sebagai berikut:
A. Kultur ke-1 , yaitu kultivasi dengan jarak penyinaran 3 cm (± 3500 lux)
B. Kultur ke-2 , yaitu kultivasi dengan jarak penyinaran 9 cm (± 2500 lux)
C. Kultur ke-3 , yaitu kultivasi dengan jarak penyinaran 15 cm (± 1500 lux)
Pertumbuhan C. gracilis diamati dengan cara mengambil sampel setiap
hari, kemudian dihitung jumlah selnya secara langsung yang selanjutnya nilainya
dikonversikan ke dalam nilai logaritmik. Setelah itu dibuat kurva pertumbuhan
dengan jumlah sel (logaritmik) sebagai sumbu y dan waktu (hari) sebagai
sumbu x.
2) Ekstraksi antibakteri dengan waktu pemecahan sel terpilih
Tahap ini dimulai dengan membuat kultur C. gracilis sebanyak
6 liter
untuk masing-masing perlakuan jarak pencahayaan. Pada saat masing–masing
kultur mencapai fase pertengahan stasioner, kultur dipanen dengan menggunakan
filter keramik. Selanjutnya filtrat dibuang sedangkan biomassanya dibekukan
dalam freezer sampai membeku. Setelah membeku, biomassa dikeringkan dengan
menggunakan freeze dryer hingga diperoleh biomassa dalam bentuk bubuk.
Selanjutnya dilakukan proses pemecahan sel dengan cara biomassa dilarutkan
dalam metanol sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan glass beads dengan perbandingan
1 : 2 (glass beads (g) : larutan (ml) ), kemudian larutan diaduk dengan vortex
dengan waktu pemecahan sel yang terbaik.
21
Larutan biomassa yang telah melalui proses disruption (pemecahan sel)
dengan glass beads kemudian
dimaserasi. Maserasi dilakukan dengan
menggunakan pengaduk magnet pada suhu kamar selama + 3 x 24 jam dengan
kecepatan 50 rpm. Setelah proses ekstraksi berlangsung dilakukan penyaringan
dengan kertas saring (Whatman no. 42). Selanjutnya pelarut metanol diuapkan
dengan menggunakan rotavapor vakum suhu 35-37oC dengan kecepatan 100 rpm
selama + 15 menit hingga diperoleh ekstrak.
Setelah mendapatkan ekstrak antibakteri dalam bentuk pasta maka
dilakukan pengujian aktivitas antibakteri dengan teknik tabung pengenceran.
Sebelum uji aktivitas, dipersiapkan dahulu kultur bakteri yang berada pada
fase log dan memiliki OD antara 0,5 – 0,9.
3.4. Prosedur Analisis
3.4.1 Penghitungan jumlah sel
Perhitungan jumlah sel dilakukan dengan metode hitungan langsung
sebagai berikut (Hadioetomo 1993) :
a. Permukaan hitung hemasitometer dan kaca penutup dibersihkan dari sisa-sisa
minyak.
b. Tutup kaca hemasitometer diletakkan pada permukaan hemasitometer.
Suspensi biakan C. gracilis hasil pengambilan contoh dikocok, kemudian
diambil dengan mikropipet sebanyak 20 µl. Suspensi tersebut diteteskan pada
tempat menaruh sampel yang terdapat pada hemasitometer hingga suspensi
C. gracilis menyebar pada ruang hitung.
c. Hemasitometer ditaruh di atas pentas mikroskop. Jumlah sel yang terdapat
dalam 80 kotak kecil yang terletak dalam kotak bagian tengah yang berukuran
0,2 mm2 (5 x 16 x 0,0025mm2) dihitung dengan mikroskop pada pembesaran
40X. Perhitungan jumlah sel dilakukan sebanyak 2 kali ulangan.
d. Formulasi yang dipakai dalam menghitung kepadatan sel adalah sebagai
berikut:
N=
Keterangan:
(∑ N1 + ∑ N 2 ) × 5.104
2
N
= kepadatan sel (sel/ml)
ΣN1
= jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-1)
22
ΣN2
= jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-2)
5.104
= konstanta haemacytometer neubauer untuk pengamatan
pada 80 kotak kecil
e. Hasil perhitungan diplotkan pada grafik hingga diperoleh kurva pertumbuhan
dengan umur kultur (hari) sebagai sumbu x dan log kepadatan sel (sel/ml)
sebagai sumbu y.
3.4.2. Penghitungan konstanta laju pertumbuhan
Konstanta laju pertumbuhan suatu mikroalga adalah suatu ukuran
pertambahan biomassa dalam rentang waktu tertentu dan ditentukan dari
fase eksponensial. Besarnya konstanta laju pertumbuhan menggambarkan tingkat
kesuksesan relatif suatu mikroalga dalam beradaptasi terhadap lingkungan
alaminya atau media kultur buatan. Lamanya fase eksponensial dalam suatu kultur
tergantung pada ukuran inokulum, konstanta laju pertumbuhan, dan kemampuan
media serta kondisi kultur dalam mendukung pertumbuhan alga. Rumus laju
pertumbuhan mikroalga adalah sebagai berikut (Prescott et al. 2002) :
k=
ln (xt/xo)
ln2 x t
Keterangan :
k = konstanta laju tumbuh mikroalga (pembelahan sel/hari)
xt = kepadatan sel pada hari t (sel/ml)
xo = kepadatan awal hari (sel/ml)
t = waktu (hari)
3.4.3. Uji aktivitas senyawa antibakteri (metode difusi agar)
Sebelum melakukan pengujian aktivitas senyawa antibakteri, terlebih
dahulu dilakukan beberapa persiapan, yaitu pembuatan media tumbuh bakteri.
Media tumbuh yang digunakan untuk mengkultur bakteri yaitu NB (Nutrient
Broth), Mueller-Hinton Agar (MHA) dan media TSA (Tryptone Soya Agar).
Media TSA digunakan untuk menyimpan stok bakteri dalam bentuk agar miring.
NB digunakan untuk mengkultur bakteri sebelum dilakukan pengujian, sedangkan
medium Mueller-Hinton Agar digunakan untuk menumbuhkan bakteri yang
dicobakan pada pengujian senyawa antibakteri.
23
Penyegaran bakteri dilakukan sehari sebelum pengujian senyawa
antibakteri, yaitu dengan cara memasukan 1 lup biakan bakteri dari stok
agar miring ke dalam 9 ml medium NB steril. Setelah itu inokulum diinkubasi
dalam inkubator selama 18 jam pada suhu 37 oC untuk bakteri S. aureus dan suhu
ruang untuk bakteri V. harveyi.
Sebelum dilakukan pengujian antibakteri, terlebih dahulu diukur OD
(Optical Density) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang
600 nm.
Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas senyawa antibakteri dari
ekstrak kasar intraseluler C. gracilis yang sudah didapatkan. Tahapan pengujian
aktivitas antibakteri ( Bell, 1984) adalah sebagai berikut:
1) Biakan bakteri pada media NB dipipet sebanyak 20 µl dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi yang berisi 15 ml Mueller-Hinton Agar (MHA) cair steril.
Medium MHA yang telah mengandung bakteri selanjutnya dihomogenkan
menggunakan vortex dan dituang ke dalam cawan petri kemudian dibiarkan
sampai padat pada suhu kamar.
2) Masing-masing ekstrak senyawa antibakteri C. gracilis dan kloramfenikol
(kontrol positif) sebesar 0,015 g dilarutkan ke dalam metanol sebanyak 0,5 ml.
Kemudian sebanyak 10 µl ekstrak diteteskan pada paper disc steril
(konsentrasi 300 µg/disc) dan didiamkan beberapa saat hingga menjadi agak
kering.
3) Paper disc yang sudah kering diletakkan secara teratur di atas medium agar
yang telah membeku. Pada permukaan cawan diberi label untuk masingmasing jenis perlakuan.
4) Cawan petri yang berisi kultur bakteri dan ekstrak senyawa antibakteri
dimasukkan dalam inkubator dengan posisi terbalik selama 18 jam pada suhu
30 oC untuk bakteri V. harveyi dan suhu 37 oC untuk bakteri S. aureus.
Suatu zat aktif dikatakan memiliki potensi yang tinggi sebagai antibakteri,
jika pada konsentrasi rendah mempunyai daya hambat yang besar. Ketentuan
kekuatan antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti
sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan
5-10 mm
(sedang), daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah) (Davis dan Stout diacu
dalam Rachdiati 2003).
24
Secara umum, konsentrasi standar yang digunakan oleh NCI (National
Cancer Institute) USA, ekstrak kasar dikatakan aktif jika dapat menghambat
pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 20 µg/ml sedangkan ekstrak murni
sebesar 4 µg/ml (Jamaludin 2005). Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas senyawa
antibakteri dapat dilihat pada Lampiran 4.
3.4.4. Uji aktivitas senyawa antibakteri (teknik tabung pengenceran)
Uji aktivitas senyawa antibakteri ini merupakan modifiksi dari cara
penentuan MIC (Minimum Inhibtory Concentration) dengan teknik tabung
pengenceran (Lennete et al. 1974). Sama seperti metode difusi agar, sebelum
dilakukan pengujian antibakteri pertama-tama diukur OD (Optical Density)
menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. Selanjutnya
dilakukan pengujian aktivitas senyawa antibakteri dari ekstrak kasar intraseluler
C. gracilis. Tahapan pengujian aktivitas antibakteri adalah sebagai berikut:
1) Biakan bakteri pada media NB dipipet sebanyak 20 µl dan dimasukkan ke
dalam 5 tabung reaksi yang berisi 15 ml Mueller-Hinton Broth steril. Medium
MHB
yang
telah
mengandung
bakteri
selanjutnya
dihomogenkan
menggunakan vortex
2) Masing-masing ekstrak dan kloramfenikol sebesar 0,015 g dilarutkan ke
dalam pelarutnya sebanyak 1 ml. Kemudian sebanyak 20 µl ekstrak maupun
kloramfenikol (konsentrasi 20 µg/ml) dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi di
atas, dan 1 tabung reaksi tidak ditambah senyawa antimikroba yang berfungsi
sebagai kontrol negatif. Selanjutnya kultur bakteri yang berada dalam tabung
reaksi tersebut diukur OD-nya dengan panjang gelombang 600 mm. Hasil
pengukuran ini selanjutnya disebut OD awal.
3) Kultur bakteri yang telah diukur OD-nya, dimasukkan ke dalam inkubator
selama 12 jam pada suhu 30oC untuk bakteri V. harveyi dan suhu 37oC untuk
bakteri S. aureus.
4) Setelah 12 jam, kultur-kultur bakteri tersebut diukur kembali OD-nya dan
selanjutnya hasil pengukuran OD ini disebut OD akhir
Perbandingan nilai selisih OD (awal dan akhir) dari kultur kontrol positif
dan kultur dengan senyawa ekstrak akan dibandingkan dengan nilai selisih OD
25
kontrol negatif untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari kontrol positif dan
senyawa ekstrak. Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas senayawa antibakteri
dapat dilihat pada Lampiran 4.
3.4.5. Penghitungan aktivitas reduksi OD senyawa antibakteri
Besarnya aktivitas suatu senyawa antibakteri dapat dilihat dari
kemampuan senyawa tersebut untuk mereduksi nilai OD (Optical Density) kultur
bakteri yang diinkubasi tanpa penambahan senyawa antibakteri (kontrol negatif).
Rumus untuk menghitung besarnya kemampuan mereduksi OD dari suatu
senyawa antibakteri adalah sebagai berikut.
% reduksi = (rata-rata OD kontrol ) – (rata-rata OD Perlakuan) X 100 %
rata-rata OD kontrol
Keterangan : rata-rata OD kontrol
= rata - rata OD kultur tanpa penambahan
senyawa antibakteri
rata-rata OD perlakuan = rata-rata OD kultur dengan penambahan
senyawa antibakteri
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Waktu Pemecahan Sel (Cell disruption) terhadap Ekstrak
Antibakteri Chaetoceros gracilis
Untuk mendapatkan senyawa antibakteri dari C. gracilis harus dilakukan
ekstraksi. Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan satu atau lebih komponen
dari suatu bahan dengan pelarut tertentu. Sebelum dilakukan ekstraksi, sering
dilakukan pemecahan membran atau dinding sel, agar senyawa yang ada di dalam
sel keluar seluruhnya sehingga hasilnya lebih banyak. Metode pemecahan sel
yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode bead milling.
Metode bead milling, yaitu penghancuran sel menggunakan glass atau
ceramic bead. Keuntungan dari metode ini adalah biaya tidak mahal, mudah
dilakukan dan bermacam–macam sampel dapat dilakukan dengan metode ini.
Sedangkan kelemahannya adalah kemampuan terbatas pada skala kecil saja,
produk dan kemurnian yang dihasilkan bervariasi, kadang menghasilkan busa dan
panas yang berlebihan terutama pada skala yang lebih besar (GFDL 2006).
Pada penelitian ini ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi
dengan pelarut metanol. Metanol merupakan pelarut yang baik untuk semua
tujuan ekstraksi awal (Harborne 1987). Metanol termasuk ke dalam golongan
alkohol yang mempunyai berat molekul rendah.
Kondisi ini mempermudah
pembentukan ikatan hidrogen dengan molekul air dalam jaringan bahan yang
diekstraksi sehingga senyawa-senyawa dalam jaringan bahan akan lebih mudah
terekstrak (Hart 1987).
Sebelum proses ekstraksi, terlebih dahulu dilakukan panen kultur
C. gracilis sebanyak 10 liter yang ditumbuhkan pada suhu ruang (26oC-30oC)
dengan jarak pencahayaan 9 cm atau dengan intensitas cahaya ± 2500 lux. Kultur
ini dipanen dengan alat filter keramik dan didapatkan biomassa basah sebanyak
5 gram dari 10 liter kultur. Biomassa yang telah didapatkan dari hasil panen lalu
dikeringkan menggunakan freeze dryer sehingga didapatkan biomassa kering.
Selanjutnya, biomassa diambil sebanyak 0,9 gram dan dibagi tiga menjadi
0,3 gram untuk masing-masing perlakuan waktu pemecahan sel yaitu waktu
pemecahan sel 5, 10 dan 15 menit. Proses pemecahan sel menggunakan
27
glass beads yang merupakan butiran–butiran gelas berukuran kecil dan berbentuk
bulat.
Setelah proses pemecahan sel selanjutnya dilakukan proses maserasi
menggunakan metanol selama 3x24 jam sehingga didapatkan filtrat C. gracilis
dengan pelarut metanol. Proses maserasi ini dilakukan sebanyak 3 kali karena
ekstraksi beberapa kali dengan pelarut bervolume lebih sedikit akan lebih efektif
dibanding ekstraksi dengan pelarut bervolume banyak sekaligus (Nur dan
Adijuwana 1989). Filtrat yang didapat dari proses maserasi selanjutnya diuapkan
untuk memperoleh senyawa hasil ekstraksi berupa ekstrak kasar berbentuk pasta.
Evaporasi
dilakukan
menggunakan
rotavapor
vakum
dengan
suhu 35–36oC, untuk menghindari kerusakan komponen senyawa antibakteri.
Bentuk ekstrak kasar antibakteri C. gracilis dapat dilihat pada Gambar 5.
A
B
C
Ket : A = pemecahan sel 5 menit
B = pemecahan sel 10 menit
C = pemecahan sel 15 menit
Gambar 5. Ekstrak kasar C. gracilis dalam bentuk pasta
Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap bakteri Gram negatif Vibrio
harveyi dan Gram positif Staphylococcus aureus dengan optical density (OD600)
sebesar 0,7 dan 0,8. Bakteri uji yang digunakan pada uji aktivitas antibakteri ini
sebanyak 20 µl pada 15 ml media Mueller Hinton Agar. Ekstrak yang ditetesi
pada setiap paper disc sebesar 300 µg/disc. Pengaruh cell disrupting terhadap
berat ekstrak dan uji aktivitasnya terhadap bakteri V. harveyi dan S. aureus
disajikan pada Tabel 1.
28
Tabel 1. Pengaruh waktu cell disrupting terhadap berat ekstrak dari kultur
dengan jarak pencahayaan 9 cm ( + 2500 lux) dan uji aktivitasnya
terhadap bakteri V. harveyi dan S. aureus
Waktu
cell
disrupting
Berat
biomassa
kering
Berat
ekstrak
Rendemen
ekstrak
Rata – rata diameter
zona hambat (mm)
V. harveyi
S. aureus
5 menit
0,3 g
0,03 g
30,12 %
8
3
10 menit
0,3 g
0,07 g
33,32 %
8
3
15 menit
0,3 g
0,09 g
37,56 %
8
3
Berdasarkan Tabel 1 dapat dikatakan bahwa penambahan waktu
pemecahan sel dari 5 menit menjadi 15 menit menghasilkan jumlah rendemen
ekstrak yang semakin banyak. Proses pemecahan sel yang semakin lama akan
menyebabkan lebih banyak sel yang pecah, sehingga senyawa yang ada di dalam
sel lebih mudah diekstraksi.
Pada saat proses pemecahan sel (cell disrupting) dengan glass beads
timbul panas yang berasal dari gesekan butiran gelas dengan sel (Biospec 2006).
Oleh karena itu, untuk menghindari rusaknya senyawa antibakteri C. gracilis,
biomassa didinginkan terlebih dahulu dalam freezer lemari es sampai suhunya
mencapai 10oC.
Rata-rata diameter zona hambat dari ketiga ekstrak dengan waktu
pemecahan sel 5, 10 dan 15 menit adalah sama, yaitu untuk Vibrio harveyi
masing-masing sebesar 8 mm, serta untuk S. aureus yaitu masing-masing sebesar
3 mm. Setelah proses pemecahan sel, suhu larutan biomassa diukur dan suhunya
tidak lebih dari 24oC.
Zona hambat dari esktrak C. gracilis terhadap bakteri V. harveyi dengan
waktu proses pemecahan sel yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6,
sedangkan zona hambat dari esktrak C. gracilis terhadap bakteri S. aureus dengan
waktu pemecahan sel yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 7.
29
Ket : A = ekstrak 5’
B = ekstrak 10’
C = ekstrak 15’
D = ekstrak 5’ (1 bulan)
E = metanol
F = kloramfenikol
Gambar 6. Zona hambat dari ekstrak C. gracilis dengan waktu
pemecahan sel yang berbeda terhadap V. harveyi
Ket : A = ekstrak 5’
B = ekstrak 10’
C = ekstrak 15’
D = ekstrak 5’ (1 bulan)
E = metanol
F = kloramfenikol
Gambar 7. Zona hambat dari ekstrak C. gracilis dengan waktu
pemecahan sel yang berbeda terhadap S. aureus
Zona hambat pada S. aureus ternyata lebih kecil dari V. harveyi
meskipun OD yang digunakan tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa
S. aureus lebih tahan daripada V. harveyi dalam menerima senyawa antibakteri
C. gracilis.
Bakteri Gram positif seperti S. aureus memiliki membran plasma
(efflux pump) yang dapat mengeluarkan zat antibiotik yang telah masuk ke dalam
selnya (Prescott et al. 2002), sehingga bakteri gram positif lebih resisten terhadap
gangguan fisik yang ditimbulkan oleh senyawa antibakteri.
Selain itu, hal
tersebut diduga disebabkan oleh pori-pori peptidoglikan bakteri Gram positif lebih
rapat dari bakteri Gram negatif (Pelczar dan Chan 2005a), sehingga senyawa
antibakteri akan sulit menembus ke dalam selnya.
30
Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa kloramfenikol menghasilkan
zona hambat yang sangat besar dibandingkan dengan zona hambat yang terbentuk
pada
masing–masing ekstrak pada konsentrasi yang sama (300 µg/disc).
Perbedaan zona hambat antara kontrol positif dan ekstrak yang begitu besar
disebabkan oleh esktrak yamg dihasilkan dari C. gracilis berupa ekstrak kasar,
sedangkan kloramfenikol merupakan ekstrak yang lebih murni.
Ekstrak perlu dimurnikan untuk mendapatkan aktivitas antibakteri yang
lebih baik. Hal ini perlu dilakukan karena keberadaan bahan organik asing dapat
menurunkan efektivitas antibakteri dengan cara menginaktivasi bahan–bahan
tersebut atau melindungi bakteri dari zat antibakteri tersebut (Pelczar
dan Chan 2005b)
Zona hambat esktrak C. gracilis yang ditandai dengan huruf D pada
masing-masing cawan petri adalah esktrak C. gracilis dengan lama pemecahan sel
5 menit, yang disimpan pada suhu di bawah 00C selama 1 bulan. Suhu dingin
pada penyimpanan ekstrak diduga mempertahankan daya antibakterial dari
ekstrak.
4.2 Kurva Pertumbuhan Mikroalga C. gracilis dengan Intensitas Cahaya
Berbeda
Pertumbuhan pada organisme uniseluler adalah pertambahan jumlah sel
yang berarti juga pertambahan jumlah organisme. Parameter pertumbuhan
mikroalga dapat ditinjau dari kekeruhan, berat kering atau yield, volume sel dan
kandungan klorofil (Becker 1994).
Jumlah sel yang sudah didapatkan dari hasil pengamatan selanjutnya
diplotkan ke dalam suatu grafik sehingga didapatkan kurva pertumbuhan. Kultur
mikroalga secara umum memiliki lima fase pertumbuhan, yaitu fase lag,
fase logaritmik, fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner dan fase
kematian (Fogg 1975).
Pengukuran jumlah sel mikroalga secara kuantitatif
pada kultur
bervolume terbatas untuk menentukan kurva pertumbuhan dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan perhitungan langsung jumlah
sel dengan menggunakan haemositometer, perhitungan berat kering, perhitungan
dengan cara pengukuran volume sel dan perhitungan kepadatan dengan pancaran
31
cahaya (Myers 1962). Kurva pertumbuhan C. gracilis pada jarak pencahayaan
log jumlah sel
3 cm, 9 cm dan 15 cm dapat dilihat pada Gambar 8.
7
6.8
6.6
6.4
6.2
6
5.8
5.6
5.4
5.2
5
A
B
C
1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
hari
Keterangan :
A = Kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm (± 3500 lux)
B = Kultur dengan jarak pencahayaan 9 cm (± 2500 lux)
C = Kultur dengan jarakpencahayaan 15 cm (± 1500 lux)
Gambar 8. Kurva pertumbuhan C. gracilis dengan jarak pencahayaan 3, 9 dan
15 cm pada suhu ruang (29oC).
Berdasarkan Gambar 8 dapat dikatakan bahwa ketiga kultur tersebut
tidak mengalami fase adaptasi karena medium pada inokulum yang digunakan
sama dengan medium pada kultur baru dan inokulum yang digunakan berada pada
fase log (umur inokulum 6 hari). Sel yang ditempatkan dalam medium dan
lingkungan pertumbuhan yang sama seperti medium dan lingkungan sebelumnya,
tidak memerlukan waktu adaptasi (Fogg 1975).
Fase log kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 3 cm dan 9 cm
setelah hari ke-0 sampai hari ke-8. Sedangkan kultur C. gracilis dengan jarak
pencahayaan 15 cm memiliki fase log setelah hari ke-0 sampai hari ke-11.
Berdasarkan Gambar 8 dapat dikatakan bahwa fase log yang paling lama terjadi
pada kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm yaitu 11 hari.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai laju pertumbuhaan (k)
C. gracilis. Konstanta aju tumbuh (k) C. gracilis pada kultur dengan jarak
pencahayaan 3, 9 dan 15 cm masing-masing adalah 0,55 pembelahan sel/hari,
0,54 pembelahan sel/hari dan 0,43 pembelahan sel/hari. Perbedaan konstanta laju
tumbuh sel C. gracilis pada fase logaritmik ini disebabkan oleh perbedaan
intensitas cahaya yang diterima oleh masing-masing kultur. Berdasarkan hasil
32
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penurunan jarak pencahayaan dari 15 cm
menjadi 3 cm atau peningkatan intensitas cahaya kultur dari 2500 lux menjadi
3500 lux dapat menaikkan laju pertumbuhan mikroalga C. gracilis. Hal ini
didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa laju pertumbuhan
mikroalga A. convultus meningkat dari 0,47 pembelahan sel/hari pada intensitas
cahaya 500 lux menjadi 0,60 pembelahan sel/hari pada intensitas cahaya 2500 lux.
Begitu pula μ pada mikroalga Chlorella sp. yang meningkat dari 0,39 pada
intensitas cahaya 500 lux menjadi, 0,49 pembelahan sel/hari pada 2500 lux dan
0,73 pada 5000 lux (Chrismadha et al 1997). Perhitungan konstanta laju tumbuh
dapat dilihat pada Lampiran 2.
Perbedaan laju tumbuh pada C. gracilis mengakibatkan terjadinya
perbedaan pada lamanya fase logaritmik. Berdasarkan hasil penelitian ini, kultur
dengan laju pertumbuhan.yang paling rendah akan memiliki fase logaritimik yang
paling lama. Hal ini disebabkan oleh kultur dengan laju tumbuh sel yang paling
rendah akan mencapai titik jenuh populasi mikroalga yang lebih lambat dibanding
kultur lainnya. Perhitungan laju pertumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Bentuk kurva fase logaritmik pada kurva pertumbuhan C. gracilis dengan
jarak pencahayaan 3 cm dan 9 cm tidak berbeda jauh. Hal ini disebabkan oleh
adanya titik jenuh (Is), yaitu nilai intensitas cahaya maksimum yang dapat
digunakan oleh alga untuk keperluan fotosintesis (Chrismadha et al. 1997).
Meskipun intensitas cahayanya ditingkatkan, kecepatan pertumbuhannya tidak
naik tajam bahkan bisa konstan. Goldman yang diacu Chrismadha et al. (1997)
menekankan pentingnya karakter titik jenuh tinggi bagi alga yang dibudidayakan
dengan cahaya matahari sebagai sumber cahayanya.
Selama fase logaritmik ini warna kultur berubah dari warna kuning
menjadi coklat tua yang disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah sel dan
pigmen C. gracilis pada kultur. Warna coklat tersebut merupakan warna dari sel
C. gracilis yang didominasi oleh pigmen karotenoid dan diatomin yang
merupakan pigmen dominan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
Setelah kultur mikroalga mencapai puncak populasi, maka mikroalga
tersebut secara perlahan akan mengalami fase stasioner, yaitu fase dimana laju
pertumbuhan mikroalga sama dengan laju kematiannya. Fase ini terjadi karena
33
terbatasnya nutrisi, sehingga tidak semua sel bisa melakukan pembelahan, dan
akhirnya mengalami kematian (Fardiaz, 1992). Kultur C. gracilis dengan jarak
pencahayaan 3 cm, memiliki fase stasioner yang berlangsung setelah hari ke-8
sampai hari ke-11. Kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 9 cm memiliki
fase stasioner setelah hari ke-8 sampai hari ke-15. Kultur C. gracilis dengan jarak
pencahayaan 15 cm memiliki fase stasioner setelah hari ke-11 sampai hari ke-19.
Setelah kultur menjalani fase stasioner maka kultur akan mengalami
fase kematian. Fase kematian Kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 3 cm
setelah hari ke-11, fase kematian kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan
9 cm setelah hari ke-15, sedangkan fase kematian Kultur C. gracilis dengan jarak
pencahayaan 15 cm setelah hari ke-19.
Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa selama kultivasi terjadi
perubahan warna kultur. Perubahan warna yang terjadi dari awal sampai akhir
kultivasi, yaitu dari warna coklat bening, coklat agak keruh, coklat keruh lalu
kembali lagi menjadi coklat agak keruh dan terakhir menjadi coklat bening
dengan banyak endapan warna coklat. Perubahan warna tersebut merupakan
indikator terjadinya peningkatan kepadatan sel dari kepadatan sel rendah menjadi
tinggi kemudian turun menjadi rendah kembali secara bertahap. Perubahan warna
kultur dalam tiap fase pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 9.
A
Keterangan :
B
C
A = 0 hari;
B = kultur pada hari ke-7 (fase log)
C = kultur pada hari ke-14 (fase stasioner)
Gambar 9. Perubahan warna selama kultivasi C. gracilis
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa intensitas cahaya yang
berbeda yang diterima oleh masing–masing kultur setiap harinya menyebabkan
terjadinya perbedaan laju pertumbuhan di antara kultur tersebut. Kultur dengan
34
intensitas cahaya yang lebih besar memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat
dan memiliki fase pertumbuhan yang lebih singkat juga, dan pada akhirnya kultur
akan mencapai fase kematian yang lebih awal. Hal ini juga sesuai dengan hasil
penelitian Lailati (2007), yang melaporkan bahwa kultur C. gracilis dengan
pencahayaan 24 jam memiliki fase logaritmik dan stasioner yang lebih singkat
dibanding kultur dengan pencahayaan 12 jam.
Kultur yang diberi intensitas cahaya yang lebih besar atau jarak
pencahayaan yang lebih dekat memungkinkan C. gracilis untuk mendapatkan
energi cahaya yang lebih banyak setiap harinya dibanding kultur dengan jarak
pencahayaan yang lebih jauh, sama halnya jika kultur diberi pencahayaan terus
menerus selama 24 jam akan mendapatkan akumulasi energi yang lebih banyak
setiap harinya dibanding kultur yang diberi pencahayaan selama 12 jam.
4.3. Pengaruh Intensitas Cahaya Kultur C. gracilis terhadap Kepadatan
Biomassa, Rendemen Ektrak dan Aktivitas Antibakterinya
Cahaya merupakan faktor utama yang mempunyai peranan penting untuk
pertumbuhan
mikroalga
sebagai
sumber
energi
dalam
fotosintesis.
Intensitas cahaya yang baik bagi mikroalga untuk melakukan fotosentesis berkisar
antara 2-3 kilo lux. Cahaya matahari yang diperlukan oleh mikroalga dapat
diganti dengan lampu TL atau tungsten (Myers 1962).
Selama masa pertumbuhan, jumlah sel terus bertambah dan berat
biomassa pun akan terus naik. Akan tetapi ketika mencapai fase stasioner, jumlah
sel tidak mengalami kenaikan dan cenderung konstan. Hal ini antara lain karena
berkurangnya nutrisi. Perubahan kondisi lingkungan
(kultur) pada mikroalga
menyebabkan sel menghasilkan senyawa autoinhibitor. Pembentukan senyawa
autoinhibitor dapat mempersingkat pertumbuhan sel dalam kultur karena
pertumbuhan sel menjadi menurun (Fogg 1975).
Panen biomassa kultur biasanya dilakukan pada saat fase stasioner
agar jumlah biomassanya mencapai maksimal. Kemudian, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Pribadi (1998) bahwa ekstrak C. gracilis pada fase stasioner
memiliki aktivitas antibakteri terbesar dibandingkan pada fase lain. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini kultur dipanen pada pertengahan fase stasioner yaitu
35
hari ke-10, 12 dan 15 masing – masing untuk kultur dengan jarak pencahayaan
3 cm, 9 dan 15 cm.
Pengaruh jarak pencahayaan pada kultur selama kultivasi terhadap
kepadatan biomassa kultur yang dipanen pada fase stasioner, berat ekstrak dan
uji aktivitasnya terhadap bakteri S. aureus dan V. harveyi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh intensitas cahaya terhadap kepadatan biomassa,
rendemen ekstrak dan aktivitas antibakteri C. gracilis
Jarak
cahaya
Umur
Panen
(hari)
Berat
Biomassa
Kering
Kepadatan
Biomassa
Berat
ekstrak
Rendemen
esktrak
(%)
3 cm
10
9 cm
% reduksi terhadap
kontrol positif
S.aureus
V. harveyi
1,15g
0,19 g/L
0,38 g
33,17
22,1
30,1
12
1,21g
0,20 g/L
0,42 g
34,75
23,1
32,3
15 cm 16
1,45g
0,24 g/L
0,52 g
35,77
25
34,4
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa pada fase stasioner,
kepadatan biomassa yang paling besar berasal dari kultur dengan jarak
pencahayaan 15 cm yaitu sebesar 0,24 g/L. Kemudian diikuti oleh kultur dengan
jarak pencahayaan 9 cm yaitu sebesar 0,20 g/L dan terakhir kultur dengan jarak
pencahayaan 3 cm yaitu sebesar 0,19 g/L. Kultur dengan jarak pencahayaan
15 cm memiliki kepadatan biomassa yang paling besar karena dipanen pada umur
yang lebih tua yaitu 15 hari. Selain itu, kultur ini juga memiliki fase logaritmik
yang lebih panjang sehingga menghasilkan biomassa yang lebih banyak.
Rendemen esktrak yang paling banyak diperoleh dari kultur dengan jarak
pencahayaan 15 cm yaitu sebesar 35,77%. Kemudian diikuti oleh kultur dengan
jarak pencahayaan 9 cm, yaitu sebesar 34,75% dan kultur dengan jarak
pencahayaan 3 cm memiliki rendemen esktrak yang paling sedikit yaitu 33,17%.
Hashimoto (1979) menyatakan bahwa turunan asam akrilat (acrylic acid) pada
alga umumnya menyebabkan aktivitas antibakteri. Asam lemak yang mempunyai
berat molekul rendah ini tersebar luas pada alga coklat dan alga hijau serta
sejumlah phytoplankton. Hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan
Wang (1999), hasilnya menunjukkan bahwa senyawa aktif yang bersifat
antibakteri dari genus Chaetoceros merupakan golongan asam lemak.
36
Esktrak kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki
rendemen ekstrak antibakteri yang paling besar diduga karena fase stasionernya
lebih lama sehingga dapat mengakumulasi senyawa antibakteri lebih banyak.
Selain itu, intensitas cahaya yang lebih rendah pada kultur dengan jarak
pencahayaan 15 cm diduga memacu produksi senyawa antibakteri berupa asam
lemak yang lebih banyak. Liang et al. (2001) melaporkan bahwa jumlah total lipid
pada Chaetoceros gracilis, Cylindrotheca fusiformis dan Phaeodactylum
tricornutum (B114) yang ditumbuhkan pada intensitas 5000 lux lebih sedikit
dibanding yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya 1500 lux. Kemudian, total
asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated fatty acid) pada diatom tersebut
menurun seiring dengan bertambahnya intensitas cahaya pada kultur. Perhitungan
nilai kepadatan biomassa dan rendemen esktrak dapat dilihat pada Lampiran 3.
Besarnya aktivitas suatu senyawa antibakteri dapat dilihat dari
kemampuan senyawa tersebut untuk mereduksi nilai OD (Optical Density) kultur
bakteri yang diinkubasi tanpa penambahan senyawa antibakteri (kultur kontrol
negatif). Uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus yang dilakukan
dengan pengukuran optical density (OD) menunjukkan bahwa senyawa
antibakteri kultur yang memiliki persentase reduksi paling besar terhadap kontrol
negatif adalah senyawa antibakteri yang berasal dari biomassa kultur dengan
pencahayaan 15 cm yaitu sebanyak 25 %, kemudian diikuti kultur pencahayaan 9
cm yaitu sebesar 23,1 % dan kultur dengan pencahayaan 3 cm memiliki
persentase reduksi yang paling kecil yaitu sebesar 22,1 %.
Hal yang sama juga terjadi pada bakteri uji V. harveyi. Persentase reduksi
paling besar terhadap kontrol negatif yaitu 34,4 % berasal dari biomassa kultur
dengan jarak pencahayaan 15 cm, kemudian diikuti oleh kultur dengan jarak
pencahayaan 9 cm yaitu sebesar 32,3 % dan persentase reduksi yang paling kecil
diperoleh dari biomassa kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm yaitu sebesar
30,1 %. Data persentase reduksi OD kultur S.aureus dan V. harveyi dapat dilihat
secara lengkap pada Lampiran 5 dan 6.
Berdasarkan hasil pengamatan, kloramfenikol memiliki nilai presentase
reduksi OD kontrol negatif yang lebih besar dari seluruh senyawa ekstrak
C. gracilis yaitu 84,6 % pada bakteri S. aureus dan 88,2 % untuk bakteri Vibrio
37
harveyi. Hal ini terjadi karena kloramfenikol memiliki tingkat kemurnian yang
lebih tinggi.
Senyawa esktrak dari kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm
memiliki persentase reduksi yang paling besar dan ini berarti bahwa ekstrak
tersebut memiliki aktivitas antibakteri yang lebih kuat. Perbedaan kekuatan
aktivitas antibakteri bisa disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa kimia
didalamnya. Mendiola et al. (2006) melaporkan bahwa komposisi kimia senyawa
ekstrak Chaetoceros muelleri (gracilis) menentukan aktivitas antibakterinya.
Total trigliserida dan kandungan DPA (Deicosapentaenoic acid) merupakan
parameter yang menetukan aktivitas antimikroba dari ekstrak. Selain itu,
berdasarkan penelitian Liang et al. (2001), komposisi asam lemak pada mikroalga
Cylindrotheca fusiformis, Phaeodactylum tricornutum, Nitzschia closterium dan
Chaetoceros gracilis berubah pada intensitas cahaya kultur yang berbeda.
Kultur C. gracilis dengan jarak penyinaran 15 cm dipanen pada hari
ke-16 dan menurut Noaman et al (2004) bahwa suhu 350C, pH 8 dan inkubasi
selama 15 hari merupakan kondisi yang bagus untuk pertumbuhan dan produksi
senyawa antibakteri dari mikroalga.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Rendemen ekstrak C. gracilis yang dihasilkan dari ekstraksi dengan
waktu pemecahan sel 5, 10 dan 15 menit masing-masing adalah 30,12%, 33,32%
dan 37,56%. Rata-rata diameter zona hambat dari ketiga ekstrak dengan waktu
pemecahan sel 5, 10 dan 15 menit adalah sama yaitu untuk Vibrio harveyi sebesar
8 mm serta untuk Staphylococcus aureus yaitu 3 mm.
Kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm memiliki konstanta laju tumbuh
yang paling cepat yaitu sebesar 0,55 pembelahan sel/hari, kemudian kultur dengan
jarak
pencahayaan
9
cm
memiliki
konstanta
laju
tumbuh
sebesar
0,54 pembelahan sel/hari dan kultur dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki
konstanta laju tumbuh paling kecil yaitu 0,43 pembelahan sel/hari. Kultur
C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki fase logaritmik dan
stasioner yang lebih lama dibandingkan dengan yang lain.
Pada pemanenan di fase stasioner, berat biomassa dan persentase
rendemen ekstrak yang paling besar berasal dari kultur dengan jarak pencahayaan
15 cm (1,45 gram dan 35,77 %.) Kemudian diikuti oleh kultur dengan
jarak pencahayaan 9 cm (1,21 gram dan 24,75 %) dan terakhir kultur dengan
jarak pencahayaan 3 cm yaitu (1,15 gram dan 33,17 %).
Persentase reduksi yang paling besar terhadap OD kultur S. aureus dan
V. harveyi (kultur tanpa penambahan antibakteri / kultur negatif) adalah 25 % dan
34,4 % yang berasal dari ekstrak senyawa antibakteri kultur dengan pencahayaan
15 cm, kemudian diikuti kultur dengan pencahayaan 9 cm yaitu sebesar 23,1 %
dan 32,3 %. Kultur dengan pencahayaan 3 cm memiliki persentase reduksi yang
paling kecil yaitu sebesar 22,1 % dan 30,1 %.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, disarankan:
1) Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan laju fotosintesis mikroalga
C. gracilis tehadap produksi senyawa antibakterinya
2) Perlu pengujian aktivitas antibakteri C. gracilis terhadap bakteri lain yang
merugikan bagi manusia.
39
3) Perlu proses pemurnian dan identifikasi senyawa aktif dari C. gracilis yang
bersifat antibakteri.
4) Perlu penelitian tentang aplikasi senyawa antibakteri tersebut terhadap produk
pangan dan nonpangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham TJ. 2004. Antibacterial marine bacterium deterluminous vibriosis in
shrimp larvae. NAGA, Worldfish Center Quarterly 27 (3&4): 28-31
Achmadi SS. 1992. Teknik Kimia Organik. Bogor: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. IPB.
Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. US: Cambridge
University Press.
Bell SM. 1984. Antibiotic sensitivity testing by the CDS methods. Dalam :
Hartwig N. Editor. Clinical Microbiology Up Date Programme. New
South Wales: The Prince of Wales Hospital, Randwick.
Biospec. 2007. Cell disrupters. http://www.biospec.com/Lab%20Cell%20Disrup
ters%20Review.htm. [15 Maret 2007].
Bold CH, Wynne JM. 1985. Introduction to Algae Structur And Reproduction.
Englewood Cliffs: Prentice-hall,Inc.
Borowitzka MA, Borowitzka LJ .1988. Micro-algal Biotechnology.
Britain: Cambridge University Press.
Great
Butterworth, Heineman.
1992.
Product Recovery in Bioprocess Tech.
Nederland: Valkenburgerwey 167.
Chrismadha T, Nasution SH, Mardiati Y, Rosidah, Kurniasih A. 1997. Respon
tumbuh alga Ankistrodesmus convulutus dan Chlorella sp. terhadap
intensitas cahaya. LIMNOTEK . Vol. 4. ( 1 ): 15 -22.
Cowan MM. 1999. Plant product as antimicrobial agents. American Society for
Microbiology. Clinical Microbiology Reviews. Vol 12: 564-582.
De La Noue J, De Pauw N 1988. The potential of microalgal biotechnology : a
review of production and uses of microalgae. Journal of Biotechnology
Advances. Vol 6 : 152-167. Britain: Pergamon Press.
ESR Ltd. 2001. Staphylococcus aureus. http://www.nzfsa.govt.nz/science/data
sheets/staphylococcus-aureus.pdf. [30 Juni 2006].
Fogg, GE. 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology.
University of Winsconsin Press .
London: The
Frazier WC, Westhoff DC. 1988. Food Microbiology. Ed ke-4. New York:
Mc.Graw-Hill Book Co.
[GFDL] GNU Free Documentation Lisence.
2006.
Cell disruption.
http://en.wikipedia.org/wiki/Cell_disruption#Laboratory-scale_methods
[19 Juli 2006].
Grima EM, Fernandez FGA, Medina AR. 2004. Downstream processing of cell
mass and products. Di dalam: Richmond A. Editor. Handbook of
Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. Australia:
Blackwell Science Ltd.
41
Harborne JB. 1987. Metode Fotokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung.
Hart H. 1987. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat. Achmadi S, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : Organic Chemistry.
Hashimoto Y. 1979. Marine Toxic and Other Bioactive marine Metabolites.
Konosu S, Hashimoto K, Onove Y, Fusetani N, penerjemah. Tokyo:
Japan Scientific Soc. Press.
Holt JG, Krieg HR, Sneath PHA, Staley JT, Williams ST. 1994. Bergey’s
Manual of Determinative Bacteriology. Ed ke-9. Maryland: Williams and
Wilkins.
Itech. 2006. Stain. http://itech.pjc.edu/fduncan/mcb1000/stain.pdf. [12 Juli2006].
Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.
Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius.
Jamaludin D. 2005. Studi awal kandungan steroid dan uji aktivitas antibakteri
ikan laut dalam (Satyrichthys welchi) di perairan selatan Jawa. [skripsi].
Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. IPB.
Lailati N. 2007. Metode ekstraksi dan uji antibakteri dari ekstrak Chaetoceros
gracilis. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Departemen Teknologi Hasil Perikanan. IPB.
Lavilla-Pitogo CR. 1995. Bacterial disease of penaeid shrimps: An Asian New.
Journal of Disease in Asian Aquaculture. Vol 11: 107-116.
Lay BW, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Press.
Lennete, HE, Spaulding EH, Truant JP. 1974. Manual Clinical Microbiology.
United States : The National Microbiology Institute.
Liang Y, Mai KS, Sun SC. 2001. Effect of light intensity on the total lipid and
fatty acid composition of six strains of marine diatoms. Journal of
Chinese Oceanology and Limnology. Vol 19 : 249-254. Science Press.
Lohner K, Austria G. 2001. Development of Novel Antimicrobial Agents:
Emerging Strategies. England: Horizon Scientific Press.
Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2003. Brock’s Biology of Microorganisms.
Ed ke-10. New York: Prentice Hall.
McConnaghey BH. 1974. Introduction to Marine Biology. Ed ke-2. Saint
Louis: The Mosby Company.
Meighen E.
1991.
Molecular biology of bacterial bioluminescence.
Microbiology Rev. Vol. 55: 123–142.
Mendiola JA, Torres CF, Tore A, Martin PJ, Alvarez, Santoyo S, Arredondo BO,
Senorans FJ, Cifuentes A, Ibanez E. 2006. Use of supercritical CO2 to
obtain extracts with antimicrobial activity from Chaetoceros muelleri
microalga. A correlation with their lipidic content. Journal of Europen
42
Food Research and Technology. Vol 224 : 505-510. Berlin : Springerverlag
Heidelberg.
Metting B, Pyne JW. 1986. Biologically active compounds from microalga.
Journal of Enzyme Microb. Technology . Vol.8 : 386-394. Butterworth
and Co. Published.
Moriarty DJW. 1999. Microbial biosystem; new frontiers. Dalam: Bell CR,
Bryhnsky M, Johnson GP. Editors. Proceeding of the 8th International
Symposium on Microbial Ecology. Canada.
Myers. 1962. Laboratory cultures. Dalam: Lewin, R A. Editor. Physiology and
Biochemistry of Algae. New York: Academic Press .
Noaman NH, Fattah A, Khaleafa M, Zaky SH, 2004. Factors affecting
antimicrobial activity of Synechococcus leopoliensis. Microbiological
Research,Vol. 2 159, 395-402.
Nur M, Adijuwana H. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis.
Bogor : PAU Ilmu Hayati . IPB.
Nontji A. 1996. Indonesian potential in developing marine biotechnology.
dalam: Proceedings on the First Indonesian Seminar on Marine
Biotechnology.
Pelczar MJ, Chan GCS. 2005a. Dasar-dasar Mikrobiologi I. Hadioetomo RS,
Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: UI Press.
Terjemahan dari : Microbiology I.
. 2005b. Dasar-dasar Mikrobiologi II. Hadioetomo RS,
Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: UI Press.
Terjemahan dari : Microbiology II.
Presscott LM, Harley JP, Klein DA. 2002. Microbiology. Ed ke-5. New York:
McGraw-hill Inc.
Pribadi TDK. 1998. Ekstraksi senyawa antibakteri dari mikroalga laut jenis
Chaetoseros gracilis dan uji aktivitasnya terhadap beberapa bakteri.
[skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Jurusan
Teknologi Hasil Perikanan. IPB.
Rachdiati H. 2003. Menanam rumput laut, memanen antibiotik. http://www.
Kehati.or.id/news/view.php?q=166&categ=kliping%20Berita. [12 April
2007].
Round FE, Crawford RM, Mann DG. 1996. The Diatom Biology and
Morphology of The Genera. Great Britain: Cambridge University Pres
Rukyani A. 1992. Penyakit kunang-kunang: dampak terhadap produksi benur
udang windu dan upaya penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian.
Vol. 9 (4): 32-36.
Sadjad S. 1993. Kamus Pertanian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
(Grasindo).
Schunack W, Mayer K, Haake M. 1990. Senyawa Obat. Buku Pelajaran Kimia
Farmasi. Ed ke-2. Yogyakarta: UGM Press.
43
Se-ed. 2007. Vibrio harveyi. http://www. Se-ed.net/…/research/foto2_vibrio.gif.
[6 April 2007]
Stewart. WDP. 1974. Algal Physiology and Biochemistry. London: Blackwell
Scientific Publ.
Sutomo. 2005. Kultur tiga jenis mikroalga (Tetraselmis sp., Chlorella sp. dan
Chaetoceros gracilis) dan pengaruh kepadatan awal terhadap pertumbuhan
C. gracilis. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2005. Vol. 37 :
43 – 58
Thiel T. 1999. Introduction to bacteria. www.umsl.edu/~microbes/pdf/introducti
ontobacteria.pdf. [12 Juli 2006].
Todar. 2002. The normal flora of humans. USA: Departemen of Biotechnology.
University of Wisconsin-Madison. http://www..bact.wisc.edu/…. [06
April 2007].
Tufts.
2007.
How Antibiotics Work-The Mechanism of Action.
http://www.tufts.edu/med/apua/Miscellaneous/mechanisms.html [1 Mei
2007]
Wang JK. 1999. Antibacterially active extracts from the marine algae
Chaetoceros and methods of use. US Patent. 5.866.150
Winarno. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN
45
Lampiran 1. Tabel medium Guillard yang telah dimodifikasi
1. NaNO3 dan NaH2PO4.H2O**
NaNO3
8,451 g
NaH2PO4. H2O
1g
Aquadest
100 ml
2. Na2SiO3.H2O**
Na2SiO3.H2O
1,2 g
Aquadest
100 ml
3. FeCl3.H2O**
FeCl3.H2O
0,145 g
Aquadest
100 ml
4. NaEDTA**
NaEDTA
1g
Aquadest
100 ml
5. Vitamin Stock**
Vitamin B1
20 µl
Biotin
1 ml atau 0,01 g/100 ml
Vitamin B12
1 ml atau 0,01 g/100 ml
Aquadest
100 ml
6. Trace Elements**
Trace Metal A*
CuSO4.5H2O
1,95 g
ZnSO4.7H2O
4,4 g
Aquadest
100 ml
Trace Metal B*
NaMoO4.2H2O
1, 26 g
(NH4).Mo7O24.4H2O
6,43 g
Aquadest
100 ml
Trace Metal C*
MnCl2.4H2O
3,6 g
Aquadest
100 ml
Trace Metal D*
CoCl2.6H2O
2g
Aquadest
100 ml
* masing – masing 0,1 ml/ml aquadset
**masing – masing 1 ml/1000 ml air laut
Ket : Na2SiO3.H2O dan Vitamin Stock yang digunakan berupa
Na2SiO3.H2O dan Vitamin Stock teknis
Sumber : Puslitbang Oseanologi LIPI-Ancol Dalam Pribadi, 1998)
46
Lampiran 2. Data Laju Pertumbuhan
Perhitungan konstanta laju pertumbuhan mikroalga C. gracilis
k = ln (xt/xo)
ln2xt
k = laju tumbuh
xt = kepadatan sel pada hari t (sel/ml)
xo = kepadatan awal sel (sel/ml)
t = waktu (hari)
A. Nilai kepadatan sel dan kurva C. gracilis pada suhu ruang (29-30oC) dan
penyinaran 24 jam dengan jarak pencahayaan 3 cm
o
Hari ke0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
k=
Suhu ruang (29-30 C) dan penyinaran 12 jam
jumlah sel
log jumlah sel
Hari kejumlah sel
300000
5,477121
10
6000000
1775000
6,249198
11
5950000
2250000
6,352183
12
5000000
3200000
6,50515
13
4200000
4200000
6,623249
14
3500000
5000000
6,69897
15
3250000
5600000
6,748188
16
2500000
5950000
6,774517
17
1700000
6250000
6,79588
18
1000000
6050000
6,781755
19
725000
ln (xt /xo)
ln2 x t
= ln (6250000/300000)
0,693 x 8
= 0,55 pembelahan sel/hari
log jumlah sel
6,778151
6,774517
6,69897
6,623249
6,544068
6,511883
6,39794
6,230449
6,000000
5,860338
47
B. Nilai kepadatan sel dan kurva C. gracilis pada suhu ruang (29-30oC) dan
penyinaran 24 jam dengan jarak pencahayaan 9 cm
Hari ke0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Suhu ruang (29-30 oC) dan penyinaran 12 jam
jumlah sel
log jumlah sel
Hari kejumlah sel
325000
5,511883
10
5650000
1425000
6,153815
11
5900000
1750000
6,243038
12
5700000
2800000
6,447158
13
5450000
3225000
6,50853
14
5550000
4050000
6,607455
15
5750000
4700000
6,672098
16
4500000
4800000
6,681241
17
2950000
6625000
6,821186
18
1925000
6000000
6,778151
19
1150000
log jumlah sel
6,752048
6,770852
6,755875
6,736397
6,744293
6,759668
6,653213
6,469822
6,284431
6,060698
k = ln (xt/xo)
ln2 x t
= ln (6625000/325000)
0,693 x 8
= 0,54 pembelahan sel/hari
C. Nilai kepadatan sel dan kurva C. gracilis pada suhu ruang (29-30oC) dan
penyinaran 24 jam dengan jarak pencahayaan 15 cm
Hari ke0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
jumlah sel
250000
750000
1000000
1300000
1500000
2100000
2500000
3000000
4000000
5000000
6250000
6500000
6000000
log jumlah sel
5,39794
5,875061
6,000000
6,113943
6,176091
6,322219
6,39794
6,477121
6,60206
6,69897
6,79588
6,812913
6,778151
Hari ke13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
jumlah sel
5800000
5500000
5450000
5600000
5200000
5300000
5000000
4500000
3750000
3000000
2500000
1500000
1000000
k = ln (xt /xo)
ln2 x t
= ln (6500000/250000) = 0,43 pembelahan sel/hari
0,693 x 11
log jumlah sel
6,763428
6,740363
6,736397
6,748188
6,716003
6,724276
6,69897
6,653213
6,574031
6,477121
6,39794
6,176091
6,000000
48
Lampiran 3. Perhitungan nilai rendemen dan kepadatan biomassa
1. Perhitungan nilai rendemen eksrak
A
Rendemen = × 100%
B
Keterangan:
A = Berat ekstrak intraseluler (gram)
B = Berat biomassa (gram)
Berat biomassa (kering) : 0,3 g
Berat ekstrak: 0.03 gram
Rendemen =
0.03 / 0.3 × 100% = 30,12%
3. Perhitungan Yield dari biomasa kering
yield =
Berat biomasa ker ing ( gram)
Volume panen ( L)
Berat biomasa kering : 1,15 g
Volume panen : 6 L
Yield =
1,15 gram
= 0,19 gram / L
6L
49
Lampiran 4. Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas antibakteri
1. Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas antibakteri (Metode Agar Tuang )
Ve
×m
Vp
[ekstrak] =
Va
Keterangan: [ekstrak] = Konsentrasi ekstrak (µg/ml)
Ve = Volume ekstrak yang diambil (µl)
Vp = Volume pelarut (µl)
Va = Volume media agar yang digunakan (ml)
m = Massa ekstrak (µg)
Volume agar yang digunakan (Va): 15 ml
Volume ekstrak yang diambil (Ve): 10 µl
Massa ekstrak yang digunakan (m): 0.015 gram = 15000 µg
Volume pelarut (Vp): 0,5 ml = 500 µl
10
× 15000
500
Jadi [ekstrak] =
= 20 μg ml
15
[ekstrak] =
10 µl
× 15000 µg = 300 µg / disc
500 µl
2. Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas antibakteri (Teknik Tabung
Pengenceran)
Ve
×m
Vp
[ekstrak] =
Va
Keterangan: [ekstrak] = Konsentrasi ekstrak (µg/ml)
Ve = Volume ekstrak yang diambil / diteteskan (µl)
Vp = Volume pelarut (µl)
Va = Volume media yang digunakan (ml)
m = Massa ekstrak (µg)
Volume MHB yang digunakan (Va): 15 ml
Volume ekstrak yang diambil (Ve): 20 µl
Massa ekstrak yang digunakan (m): 0.015 gram = 15000 µg
Volume pelarut (Vp): 1 ml = 1000 µl
20
× 15000
= 20 μg ml
Jadi [ekstrak] = 1000
15
Lampiran 5. Data OD S. aureus dan V. harveyi
Data OD S. aureus
kontrol
3 cm
9 cm
15 cm
kloramfenikol
Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
1
Ulangan
2
ODmedia+seny..esktrak+bakteri
OD media + seny.
(awal)
esktrak+bakteri (akhir)
selisih OD awal dan akhir
0,01
0,48
0,47
0,03
0,6
0,57
0,02
0,37
0,35
0,04
0,5
0,46
0,05
0,35
0,3
0,04
0,54
0,5
0,07
0,5
0,43
0,06
0,41
0,35
0,03
0,08
0,05
0,04
0,15
0,11
rata – rata
OD
Selisih OD
% reduksi
0,52
0,405
0,115
22,1
0,4
0,12
23,1
0,39
0,13
25
0,08
0,44
84,6
Contoh perhitungan : % reduksi 3 cm = (rata-rata OD kontrol) - (rata-rata OD Perlakuan) X 100% = 0,52 – 0,405 X 100 % = 22,1%
rata-rata OD kontrol
0,52
Data OD V. harveyi
ODmedia+seny..esktrak+bakteri
selisih OD awal dan akhir
0,01
0,5
0.49
0,02
0,46
0.44
0,03
0,35
0.32
0,04
0,37
0.33
0,06
0,28
0.33
0,07
0,37
0.3
0,08
0,3
0.22
0,06
0,45
0.39
0,03
0,08
0.05
0,04
0,1
0.06
(awal)
kontrol
3 cm
9 cm
15 cm
kloramfenikol
Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
1
Ulangan
2
Ulangan
1
Ulangan
2
% reduksi
OD media + seny. esktrak+bakteri (akhir)
rata - rata OD
Selisih OD
0,465
0,325
0,14
30,1
0,315
0,15
32,3
0,305
0,16
34,4
0,055
0,41
88,2
Contoh perhitungan : % reduksi 3 cm = (rata-rata OD kontrol) – (rata-rata OD Perlakuan) X 100% = 0.465-0.325 X 100% = 30,1 %
Rata-rata OD kontrol
0.52
Download