PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis Oleh : Teguh Muhamad Akbar C34102006 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh : Teguh Muhamad Akbar C34102006 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Judul : PENGARUH CAHAYA TERHADAP SENYAWA ANTIBAKTERI DARI Chaetoceros gracilis Nama Mahasiswa : Teguh Muhamad Akbar Nomor Pokok : C34102006 Menyetujui, Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II, Ir. Iriani Setyaningsih, MS NIP. 131 578 853 Desniar, S.Pi, M.Si NIP. 132 159 705 Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M. Sc. NIP. 130 215 031 Tanggal Lulus : RINGKASAN TEGUH MUHAMAD AKBAR. C34102006. Pengaruh Cahaya terhadap Senyawa Antibakteri dari Chaetoceros gracilis. Dibimbing oleh IRIANI SETYANINGSIH dan DESNIAR Salah satu mikroalga laut yang umum dijumpai di perairan lepas pantai Indonesia adalah Chaetoceros gracilis. Chaetoseros gracilis merupakan salah satu diatom yang dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa senyawa antibakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh metode pemecahan sel dan metode kultivasi terhadap ekstrak antibakteri Chaetoceros gracilis dan daya hambatnya terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyi. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi kultivasi C. gracilis (10 L) ke dalam media Guillard pada suhu ruang dengan penyinaran dan aerasi selama 24 jam, ekstraksi senyawa antibakteri C. gracilis dengan waktu pemecahan sel yang berbeda (5, 10 dan 15 menit) dan uji aktivitas senyawa antibakteri tersebut menggunakan metode difusi agar. Penelitian utama meliputi kultivasi C. gracilis (6 L) dengan jarak pencahayaan yang berbeda (3, 9 dan 15 cm), ekstraksi senyawa antibakteri C. gracilis dengan waktu pemecahan sel terpilih dan uji aktivitas menggunakan teknik tabung pengenceran. Analisis yang dilakukan berupa penghitungan jumlah sel dan pembuatan kurva pertumbuhan dari kultur dengan jarak pencahayaan berbeda serta pengujian aktivitas senyawa antibakteri dari ekstrak yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian pendahuluan didapatkan data rendemen ekstrak dari ekstraksi dengan waktu pemecahan sel 5, 10 dan 15 menit berturut–turut adalah 30,12 %, 33,32 % dan 37,56 %. Rata-rata diameter zona hambat dari ketiga ekstrak adalah sama yaitu untuk V. harveyi sebesar 8 mm dan untuk S. aureus yaitu 3 mm. Metode ekstraksi dengan waktu pemecahan sel 15 menit digunakan sebagai metode terpilih untuk esktraksi senyawa antibakteri pada tahap penelitian utama. Pada penelitian utama diketahui bahwa kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm memiliki konstanta laju tumbuh (k) yang paling besar dibandingkan kultur dengan jarak pencahayaan 9 cm dan 15 cm. Kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki fase logaritmik dan stasioner yang lebih lama dibandingkan dengan yang lain. Rendemen ekstrak yang diperoleh untuk kultur dengan jarak pencahayaan 3, 9 dan 15 cm berturut-turut adalah 33,17 %, 34,75 % dan 35,77 %. Uji aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan V. harveyi yang dilakukan dengan teknik tabung pengenceran menunjukkan bahwa senyawa antibakteri yang berasal dari biomassa kultur dengan pencahayaan 15 cm memiliki persentase reduksi OD kontrol negatif (kultur bakteri tanpa senyawa antibakteri) yang paling besar, kemudian diikuti dengan kultur pencahayaan 9 cm dan kultur dengan pencahayaan 3 cm memiliki persentase reduksi yang paling kecil. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa ekstrak dari kultur dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki aktivitas antibakteri yang paling tinggi. KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sejak penelitian sampai dengan penyelesaian skripsi yang berjudul “Pengaruh Cahaya terhadap Senyawa Antibakteri dari Chaetoceros gracilis”. Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ir. Iriani Setyaningsih, MS, dan Desniar. S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan materil dan moril, kritik serta saran dalam penelitian dan penulisan skripsi ini 2. Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Dra. Pipih Suptijah, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan berbagai masukan terhadap penulisan skripsi ini. 4. Ayah dan Ibu, serta adikku atas kasih sayang, do’a, perhatian, nasehat dan dukungannya selama ini. 5. Dosen-dosen, staf administrasi, staf laboratorium atas segala bantuannya. 6. Teman-teman THP 38, 39, 40 atas kebersamaan, bantuan dan dukungannya. 7. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kemajuan Teknologi Hasil Perairan. Bogor, Agustus 2008 Teguh M. Akbar iv RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 17 Februari 1985 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Betih Mulyana dan Ibu Dedeh Juariah, S.Pd. Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Sukasirna 2 Sumedang Selatan kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SLTP Negeri 2 Sumedang. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMUN 1 Sumedang. Tahun 2002 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB). Selama kuliah, penulis aktif sebagai pengurus di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lingkung Seni Sunda Mahasiswa Gentra Kaheman (2002-2007). Penulis juga pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Avertebrata Perairan (2004/2005) dan Mikrobiologi Hasil Perairan (2005/2006). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan, pada akhir studi penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul ”Pengaruh Cahaya terhadap Senyawa Antibakteri dari Chaetoceros gracilis”, di bawah bimbingan Ibu Ir. Iriani Setyaningsih, MS, dan ibu Desniar, S.Pi, M.Si. v DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... viii 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2. Tujuan Penelitian ........................................................................... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3 2.1. Chaetoceros gracilis ....................................................................... 3 2.2. Senyawa Antimikroba .................................................................... 5 2.3. Ekstraksi Senyawa Antimikroba ..................................................... 6 2.4. Kultivasi Mikroalga ........................................................................ 9 2.5. Kurva Pertumbuhan Mikroalga....................................................... 10 2.6. Bakteri ............................................................................................. 12 2.6.1. Staphylococcus aureus. ...................................................... 14 2.6.2. Vibrio harveyi ..................................................................... 15 3. METODOLOGI .................................................................................... 17 3.1. Waktu dan Tempat............................................................................17 3.2. Bahan dan Alat................................................................................ 17 3.3. Metode Penelitian ........................................................................... 18 3.3.1. Penelitian pendahuluan ........................................................ 18 1) Kultivasi C. gracilis tahap I............................................. 18 2) Ekstraksi senyawa antibakteri dengan waktu pemecahan sel yang berbeda........................................... 19 3.3.2. Penelitian utama ................................................................... 19 1) Kultivasi C. gracilis tahap II .......................................... 20 2) Ekstraksi senyawa antibakteri dengan waktu pemecahan sel terpilih ................................................... 20 3.4. Prosedur Analisis ............................................................................ 21 3.4.1. Perhitungan jumlah sel......................................................... 21 3.4.2. Perhitungan laju tumbuh ...................................................... 22 3.4.3. Uji aktivitas senyawa antibakteri dengan metode difusi agar............................................................................ 22 vi 3.4.4. Uji aktivitas senyawa antibakteri dengan teknik tabung pengenceran............................................................. 24 3.4.5. Perhitungan aktivitas reduksi OD (Optical Density) senyawa antibakteri...............................................................25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 26 4.1. Pengaruh Waktu Pemecahan Sel (Cell Disruption) terhadap Rendemen dan Aktivitas Senyawa Antibakteri ............................... 26 4.2. Kurva Pertumbuhan Mikroalga C. gracilis dengan Intensitas Cahaya Berbeda ............................................................. 30 4.3. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Yield Ekstrak dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak C. gracilis ....................................... 34 5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 38 5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 38 5.2. Saran ................................................................................................ 38 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 40 LAMPIRAN................................................................................................. 44 vii DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Pengaruh waktu cell disrupting terhadap berat ekstrak dari kultur dengan jarak pencahayaan 9 cm ( + 2500 lux) dan uji aktivitasnya terhadap bakteri V. harveyi dan S. aureus ...................................................28 2. Pengaruh intensitas cahaya terhadap kepadatan biomassa, rendemen ekstrak dan aktivitas antibakteri C. gracilis..............................................35 viii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Sel Chaetoceros gracilis (Utex 2007)…………..................................4 2. Kurva pertumbuhan mikroalga....………………................................10 3. Morfologi sel S. aureus (Todar 2002)…………….............................14 4. Morfologi sel Vibrio harveyi (Se-ed 2007).........................................16 5. Ekstrak kasar C. gracilis dalam bentuk pasta…..................................27 6. Zona hambat dari ekstrak C. gracilis dengan waktu pemecahan sel yang berbeda terhadap V. harveyi..................................................29 7. Zona hambat dari ekstrak C. gracilis dengan waktu pemecahan sel yang berbeda terhadap S. aureus....................................................29 8. Kurva pertumbuhan C. gracilis dengan jarak pencahayaan 3, 9 dan 15 cm.............................................................................................31 9. Perubahan warna selama kultivasi C. gracilis.....................................33 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Tabel medium Guillard yang telah dimodifikasi...............................45 2. Data laju pertumbuhan……………………….……...........................46 3. Perhitungan nilai rendemen dan kepadatan biomassa.........................47 4. Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas antibakteri...............................48 5. Data OD bakteri S. aureus .........................……….............................50 6. Data OD bakteri V. harveyi..….......................…….............................51 x 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penemuan senyawa antibiotik atau antibakteri yang pertama yaitu penisilin telah berhasil mengobati berbagai penyakit bakterial yang pada awalnya tidak bisa disembuhkan atau sukar untuk diobati. Sejak penemuan antibiotik, kematian manusia akibat infeksi bakteri menjadi berkurang. Pada awalnya, antibiotik tidak diketahui efek sampingnya, namun dalam perkembangan selanjutnya ditemukan fakta bahwa antibiotik dapat menyebabkan resistensi bakteri. Selain itu penggunaan antibiotik tertentu misalnya kloramfenikol dapat menyebabkan penyakit seperti anemia aplastik, yaitu kehilangan kemampuan untuk membentuk sel-sel darah putih dan sel darah merah serta sering mengakibatkan kematian karena infeksi atau leukimia (Schunack et al. 1990). Setelah ditemukannya berbagai fakta tersebut, banyak penelitian yang mengarah pada penemuan senyawa antibakteri baru yang berasal dari alam, aman bagi tubuh serta bakteri belum resisten terhadapnya. Dalam hal ini, berbagai organisme laut, diantaranya mikroalga merupakan salah satu objek penelitian penemuan senyawa antibakteri baru bagi para peneliti. Contoh mikroalga yang telah diketahui menghasilkan senyawa antibakteri adalah Chlorella vulgaris dan Chlamydomonas pyrenoidos. Ekstrak intra dan ekstraselulernya dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif maupun positif (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Indonesia sebagai negara dengan wilayah laut yang luas dan memiliki keanekaragaman biota yang tinggi dapat menjadi sumber penemuan berbagai senyawa antibakteri baru dari mikroalga. Diatom yang merupakan salah satu kelompok dari mikroalga juga mempunyai potensi untuk menghasilkan antimikroba. Chaetoceros gracilis adalah contoh diatom yang telah diketahui dapat menghasilkan senyawa antibakteri. Menurut Pribadi (1998), Chaetoceros gracilis menghasilkan senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Penemuan ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Wang (1999) yang berhasil mengidentifikasi senyawa antibakteri dari Chaetoceros dan menggunakan senyawa antibakteri tersebut untuk depurasi bakteri Vibrio patogen dari oyster dan udang. 2 Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyi merupakan contoh bakteri yang dapat merugikan manusia. Kontaminasi S. aureus pada makanan dapat menyebabkan keracunan yang bisa menimbulkan diare (Madigan et al. 2003), sedangkan V. harveyi menyebabkan penyakit vibriosis atau penyakit kunangkunang pada budidaya udang windu (Rukyani 1992). Fenomena resistensi bakteri patogen S. aureus dan V. harveyi terhadap antimikroba yang biasa digunakan selama ini, telah menyulitkan pengobatan terhadap penyakit-penyakit akibat bakteri tersebut . Penemuan dan optimalisasi aktivitas senyawa antibakteri baru dari alam merupakan hal yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut. Data-data mengenai kultivasi C. gracilis sebagai produsen zat antibakteri masih banyak yang belum diketahui, diantaranya mengenai metode ekstraksi senyawa antibakterinya serta respon kultur terhadap intensitas cahaya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana pengaruh intensitas cahaya dan metode ekstraksi senyawa antibakteri terhadap produksi biomassa kultur C. gracilis dan senyawa antibakteri yang dihasilkannya. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mempelajari pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan Chaetoceros gracilis dengan menentukan kurva pertumbuhan. 2) Mempelajari pengaruh waktu pemecahan sel (cell disruption) terhadap ekstrak yang dihasilkan dan daya hambatnya terhadap bakteri patogen 3) Mempelajari pengaruh intensitas cahaya terhadap biomasa sel yang dihasilkan 4) Mempelajari pengaruh intensitas cahaya terhadap jumlah ekstrak antibakteri C. gracilis dan daya hambatnya terhadap bakteri patogen. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chaetoceros gracilis Chaetoceros termasuk diatom yang sering disebut golden-brownalgae karena kandungan pigmen kuning lebih banyak dari pigmen hijau sehingga bila padat populasinya, perairan akan terlihat coklat muda. Chaetoceros sp ., Rhizolenia sp., Thallasiothrix sp., dan Bacteriastrum sp., merupakan jenis yang umum dijumpai di perairan lepas pantai Indonesia. Chaetoceros ada yang berbentuk bulat dengan diameter 4-6 mikron dan ada yang berbentuk segi empat dengan ukuran 8-12 x 7-18 mikron. Dinding sel phytoplankton ini dibentuk dari silika. Karotenoid dan diatomin merupakan pigmen yang dominan. Sama halnya dengan di alam, Chaetoceros akan berwarna kuning-keemasan hingga coklat pada kultur buatan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Klasifikasi Chaetoceros gracilis ( Bold dan Wynne 1985) adalah sebagai berikut : Phylum : Chrysophyta Kelas : Bacillariophyceae Ordo : Centricae Subordo : Biddulphioideae Famili : Chaetoceraceae Genus : Chaetoceros Spesies : Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis merupakan spesies dari Chaetoceros yang berbentuk sel tunggal tidak berantai, dan bercangkang cembung. Setae mula-mula muncul pada sudut-sudutnya, membentuk kurva dan kemudian menjadi paralel bentuknya. Spora terdapat di tengah-tengah sel induk dan bercangkang kasar. Panjang apikal axisnya 6-10 μm (Lebour diacu dalam Pribadi 1998). Struktur sel diatom memiliki kerangka silika yang disebut frustul yang terdiri dari dua valva setangkup bagaikan cawan petri atau bagaikan kotak obat. Valva bagian atas disebut epiteka yang menutupi valva bagian bawah yang disebut hipoteka. Seluruh permukaan valva penuh dengan ornamentasi yang simetris dan pori-pori yang menghubungkan sitoplasma dalam sel dengan 4 lingkungan di luarnya (Nontji 2006). Di dalam frustul terdapat sitoplasma, nukleus, mitokondria dan kromatofor (Round 1996). Chaetoceros gracilis merupakan spesies sentrik dari diatom yang non motil, bercangkang simetris, dan memproduksi hanya satu auksospora (Schuett 1880 diacu dalam McConnaghey 1974). sejumlah kecil kromatofora. Sitoplasmanya memiliki Bentuk sel Chaetoceros gracilis dilihat dari mikroskop pada perbesaran 400 dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Sel Chaetoceros gracilis (Utex 2007) Chaetoceros gracilis merupakan jenis Chaetoceros yang banyak dikultur untuk pakan larva udang. Selain itu Chaetoceros gracilis juga dapat diberikan langsung sebagai pakan larva teripang atau digunakan untuk pakan dalam budidaya biomassa Artemia (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Hasil penelitian Sutomo (2005) menunjukkan bahwa C. gracilis memiliki daya adaptasi yang cepat terhadap lingkungan kultur yang baru. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai k (laju pertumbuhan relatif) pada hari ke-1 yang cukup tinggi (k = 4,31). Hal ini menunjukkan bahwa alga tersebut mengalami masa adaptasi yang cukup singkat dan langsung tumbuh dengan cepat. Keadaan ini diduga disebabkan oleh benih alga dan media air yang digunakan berasal dari lingkungan laboratorium yang sama. Chaetoceros toleran terhadap suhu air yang tinggi. Pada suhu air 60 0C fitoplankton ini masih dapat bertahan hidup, akan tetapi tidak berkembang. Alga ini akan hidup optimal pada suhu 37 0C dan masih dapat tumbuh pada suhu 50 0C. Toleransi terhadap kisaran salinitas sangat lebar, yaitu 6-50 o/oo, sedangkan kisaran salinitas 17-25 o /oo merupakan salinitas optimal untuk 5 pertumbuhannya. Salinitas minimum untuk pertumbuhan alga ini adalah 6 o/oo. (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Liang et al. (2001) melaporkan bahwa jumlah total lipid pada Chaetoceros gracilis, Cylindrotheca fusiformis dan Phaeodactylum tricornutum (B114) yang ditumbuhkan pada intensitas 5000 lux lebih sedikit dibanding yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya 1500 lux. Kemudian, total asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated fatty acid) pada diatom tersebut menurun seiring dengan bertambahnya intensitas cahaya pada kultur. 2.2. Senyawa Antimikroba Zat antimikroba khusus untuk menghambat pertumbuhan atau aktivitas bakteri disebut zat antibakteri. Zat ini dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Cara kerja antibiotik dalam menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri adalah merusak dinding sel, merubah permeabilitas sel, merubah molekul protein dan asam nukleat, menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Pelczar dan Chan 2005b). Senyawa - senyawa antibakteri, antivirus, dan anti jamur telah ditemukan di ribuan spesies mikroalga. Hellebust (1879) yang diacu Stewart (1974) menyatakan bahwa mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah di dalam selnya, yang disebut dengan metabolit intraseluler dan menghasilkan metabolit ekstraseluler yang disekresikan dari sel ke medium pertumbuhannya. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa komponen algasidal allelopatik yang dihasilkan oleh mikroalga mempunyai fungsi sebagai autoinhibitor. Pembentukan autoinhibitor terjadi karena perubahan kondisi lingkungan (kultur) seperti pH dan kondisi nutrien yang menyebabkan pembentukan senyawa allelopatik (Metting and Pyne 1986). Allelopatik merupakan gejala kemampuan tumbuhan mengeluarkan zat untuk mematikan tumbuhan atau tanaman pesaing disekitarnya dalam mengamankan kelangsungan hidupnya (Sadjad 1993). Perubahan kondisi lingkungan (kultur) pada mikroalga seperti penurunan intensitas cahaya dan konsentrasi CO2 menyebabkan sel menghasilkan senyawa autoinhibitor. Pembentukan senyawa autoinhibitor dapat mempersingkat 6 pertumbuhan sel dalam kultur karena pertumbuhan sel menjadi menurun (Fogg 1975). Aktivitas antimikrobial tergantung pada spesies mikroalga dan metode ekstraksi senyawa aktifnya. Metabolit sekunder yang berupa karbon organik lebih banyak dihasilkan pada fase lag dan fase stasioner dibanding fase log. Akan tetapi, tidak pada setiap kondisi suatu metabolit dapat dihasilkan, tergantung pada pH, salinitas, kondisi aerob/anaerob, cahaya dan nutrient (Hellebust 1879 diacu dalam Stewart 1974). Sintesa dan akumulasi metabolit sekunder pada mikroalga dipengaruhi oleh kondisi kultur, seperti siklus pencahayaan (gelap-terang), suhu, salinitas dan konsentrasi nutrien (nitrogen pada beberapa mikroalga dan silikon pada diatom) ( Metting dan Pyne 1986). Suhu 350C, pH 8 dan inkubasi selama 15 hari merupakan kondisi yang bagus untuk pertumbuhan dan produksi senyawa antibakteri dari mikroalga. Selain itu, aktivitas antimikrobial tergantung pada spesies mikroalga dan metode ekstraksi senyawa aktifnya (Noaman et al. 2004). Hashimoto (1979) menyatakan bahwa turunan asam akrilat (acrylic acid) pada alga umumnya menyebabkan aktivitas antibakteri. Asam lemak yang mempunyai berat molekul rendah ini tersebar luas pada alga coklat dan alga hijau serta sejumlah phytoplankton. Asam akrilat dibentuk dari β-dimetilpropiothetin yang diubah menjadi dimetil sulfida dan asam akrilat. 2.3. Ekstraksi Senyawa Antimikroba Proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut disebut sebagai ekstraksi. Teknik ekstraksi didasarkan pada kenyataan bahwa jika suatu zat dapat terlarut dalam dua lapisan yang tak campur, maka zat itu dapat dialihkan dari suatu lapisan ke lapisan lain dengan mengocoknya. Zat terlarut yang diekstraksi dapat berada dalam medium padat atau cair, serta pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi dapat berupa pelarut yang bersifat larut dalam air seperti alkohol, atau tidak larut dalam air seperti heksana dan kloroform. Pemilihan pelarut yang digunakan tergantung antara lain pada sifat kelarutan zat terlarut itu (Achmadi 1992). Ekstraksi dapat dilakukan dalam dua 7 cara, yaitu aqueous phase dan organic phase. Cara ekstraksi aqueous phase menggunakan pelarut air sedangkan cara ekstraksi organic phase menggunakan pelarut organik (Winarno et al. 1973) Untuk mendapatkan hasil yang sempurna, pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus sesuai dengan bahan yang diekstraksi, karena suatu zat memiliki kemampuan melarut yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Senyawa-senyawa polar akan terpisah dengan baik jika digunakan pelarut polar dan senyawa-senyawa non polar akan terpisah dengan baik bila digunakan pelarut non polar (Nur dan Adijuwana 1988). Beberapa zat terutama bahan alami dapat dipisahkan dari padatannya dengan ekstraksi sederhana. Teknik paling sederhana untuk ekstraksi padatan adalah dengan cara mencampurkannya dalam larutan ekstraksi, dibantu dengan penghancuran padatan, lalu dipisahkan dengan penyaringan biasa atau vakum (Achmadi 1992). Untuk mengeluarkan atau mengekstrak komponen intraseluler dipengaruhi oleh beberapa faktor (Butterworth-Heineman 1992) yaitu : a) Jenis dan komposisi dinding sel mikroorganisme b) Ukuran mikroorganisme c) Lokasi komponen intraseluler d) Jenis alat dan metode ekstraksi e) Konsentrasi sel f) Waktu ekstraksi g) Temperatur Agar hasil ekstraksi lebih sempurna sering dilakukan pemecahan membran atau dinding sel. Dengan pemecahan membran atau dinding sel ini senyawa yang ada di dalam sel akan keluar seluruhnya sehingga lebih mudah terekstraksi. Salah satu metode pemecahan membran atau dinding sel, yaitu dengan menggunakan glass beads. Dalam metode pemecahan membran atau dinding sel dengan glass beads, sejumlah butiran gelas dimasukan ke dalam larutan yang berisi biomassa, kemudian dilakukan pengocokan (shaking) atau pengadukan (stirring) sehingga butiran gelas kaca bertabrakan dengan sel, dan merusak membran atau dinding selnya. Jumlah butiran gelas kaca yang ditambahkan minimal 50% dari larutan 8 biomassa, penambahan butiran gelas kaca ini bisa mencapai 90% dari larutan dan masih bisa berfungsi. Secara umum, semakin besar perbandingan butiran gelas kaca dengan larutan biomassa, maka kecepatan pemecahan selnya semakin cepat. Proses ini bisa dilakukan secara manual dengan alat vortex pada kecepatan maksimal (Biospec 2007). Keuntungan dari metode penghancuran sel menggunakan glass atau ceramic bead ini adalah biaya tidak mahal, mudah dilakukan dan bermacammacam sampel dapat dilakukan dengan metode ini. Sedangkan kelemahannya adalah kemampuan terbatas pada skala kecil saja, dihasilkan bervariasi, produk dan kemurnian yang kadang-kadang menghasilkan busa dan panas yang berlebihan terutama pada skala besar (GFDL 2006). Glass bead mampu memecah sel seperti cyanobacteria, yeast, spora, dan mikroalga. Efektivitas glass bead sebagai pemecah sel tergantung dari ukuran glass bead dan lama pemecahan sel. Sel bakteri akan pecah dengan lebih efektif menggunakan glass bead berukuran 0,1 mm sedangkan glass bead 0,5 mm efektif untuk sel mikroalga. Jumlah glass bead minimal 50% dari total volume larutan biomasa yang digunakan (Grima et al. 2004). Pada saat proses pemecahan sel timbul panas yang berasal dari gesekan butiran gelas dengan sel (Biospec 2007). Metanol merupakan pelarut yang baik untuk semua tujuan ekstraksi awal (Harborne 1987). Metanol termasuk ke dalam golongan alkohol yang mempunyai berat molekul rendah. Kondisi ini mempermudah pembentukan ikatan hidrogen dengan molekul air dalam jaringan bahan yang diekstraksi sehingga senyawasenyawa dalam jaringan bahan akan lebih mudah terekstrak (Hart 1987). Berdasarkan temuan dari beberapa peneliti, kandungan senyawa antibakteri dari mikroalga berupa asam lemak, sehingga pelarut yang bisa digunakan dalam tahap ekstraksi adalah pelarut non-polar seperti metanol. Menurut Cowan (1999), pada tumbuhan tingkat tinggi metanol dapat mengekstraksi senyawa antibakteri berupa anthocyanin, terpenoid, saponin, xanthoxylline, tannin, totarol, lactone, quassinoid, flavone, phenone, polyphenol. 9 2.4. Kultivasi Mikroalga Pertumbuhan organisme uniseluler adalah pertambahan jumlah sel yang berarti juga pertambahan jumlah organisme. Parameter pertumbuhan mikroalga dapat ditinjau dari kekeruhan, berat kering atau yield, volume sel dan kandungan klorofil (Becker 1994). Proses kultivasi mikroalga membutuhkan faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi pertumbuhannya, yaitu cahaya, suhu, pH, nutrien dan agitasi (Becker dan Venkataraman, 1982 diacu dalam De La Noue dan De Paw 1988). Cahaya merupakan faktor utama yang mempunyai peranan penting untuk pertumbuhan mikroalga sebagai sumber energi dalam fotosintesis. Intensitas cahaya yang baik bagi mikroalga untuk melakukan fotosintesis berkisar antara 2-3 kilo lux. Cahaya matahari yang diperlukan oleh mikroalga dapat diganti dengan lampu TL atau tungsten (Myers 1962). Suhu juga merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan mikroalga. Suhu optimal untuk pertumbuhan mikroalga berkisar antara 15oC dan 30oC (De la Noue dan De Pauw 1988). Nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroalga terdiri dari makronutrein dan mikronutrien. Makronutrein adalah nutrien yang diperlukan dalam jumlah yang besar yang terdiri dari karbon, nitrogen, fosfor,sulfat dan potassium. Sedangkan mikronutrien adalah nutrien yang diperlukan dalam jumlah yang kecil meliputi Co, Mo, Mn, Vitamin B12 dan Thiamin (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Pertumbuhan mikroalga akan optimal jika jumlah nutrien yang dibutuhkan cukup tersedia. Di samping itu, perbandingan komposisi antar unsur hara seperti N dengan P dan N dengan Si juga harus seimbang (De la Noue dan De Paw 1988). Agitasi juga merupakan variabel yang penting dalam pertumbuhan mikroalga. Fungsi agitasi antara lain untuk menghindari sedimentasi dan photoinhibisi, untuk penyebaran atau sirkulasi nutrien, penyebaran panas, dan meningkatkan efesiensi penyebaran cahaya pada sel-sel mikroalga ( Markl 1980; Persoone et al. 1980; Richmond 1986 diacu dalam De La Naue dan De Pauw 1988). 10 Tingkat keasaman cenderung merupakan faktor substansial yang dapat mengatur persediaan nutrien dalam kultur. Sebagai contoh pH yang terlalu tinggi dapat membuat CO2 bebas tidak dapat digunakan oleh mikroalga dalam proses fotosintesis, dan fosfor akan membentuk endapan (De la Noue dan De Pauw 1988). Pada volume kultur yang lebih besar akan menghasilkan kepadatan maksimum yang lebih rendah. Hal ini disebabkan pada volume air pemeliharaan yang lebih besar terjadi penurunan penetrasi dan intensitas cahaya oleh adanya self shading atau terhalangnya cahaya oleh bayangannya sendiri. Disamping itu pada volume yang lebih besar, perjalanan sel melalui sirkulasi air relatif lebih panjang sehingga kesempatan mencapai permukaan air akan relatif lebih lama (Sutomo 2005). 2.5. Kurva Pertumbuhan Mikroalga Pengukuran jumlah sel mikroalga secara kuantitatif pada kultur bervolume terbatas untuk menentukan kurva pertumbuhan dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan perhitungan langsung jumlah sel dengan menggunakan haemositometer, penghitungan berat kering, penghitungan dengan cara pengukuran volume sel dan penghitungan kepadatan dengan pancaran cahaya (Myers 1962). Kurva pertumbuhan mikroalga disajikan pada Gambar 2 (Fogg 1975). Ket : 1. Fase Lag 2. Fase Logaritmik 3. Fase Penurunan Laju Pertumbuhan 4. Fase Stasioner 5. Fase Kematian Gambar 2. Kurva pertumbuhan mikroalga 11 Kurva pertumbuhan mikroalga memiliki bentuk yang sama dengan kurva pertumbuhan bakteri. Berdasarkan kurva mikroalga dapat diketahui laju pertumbuhan sel sebagai respon dari parameter lingkungan yang ada, misalnya nutrien, temperatur dan cahaya. Pertumbuhan mikroorganisme dibedakan menjadi beberapa tahapan/fase (Fogg 1975) yang meliputi : 1) Fase lag atau fase adpatasi. Pada fase ini tidak terjadi kenaikan jumlah sel karena sel mikroalga sedang beradaptasi dengan media tumbuhnya. Lamanya fase adaptasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah : a. Medium dan lingkungan pertumbuhan. Sel yang ditempatkan dalam medium dan lingkungan pertumbuhan sama seperti medium dan lingkungan sebelumnya, mungkin tidak diperlukan waktu adaptasi. Tetapi jika nutrien yang tersedia dan kondisi lingkungan yang baru sangat berbeda dengan yang sebelumnya, diperlukan waktu penyesuaian untuk mensintesis enzim-enzim yang dibutuhkan untuk metabolisme. b. Jumlah inokulum. Jumlah awal sel yang semakin tinggi akan mempercepat fase adaptasi. Fase adaptasi mungkin berjalan lambat karena beberapa sebab, misalnya: (1) kultur dipindahkan dari medium yang kaya nutrien ke medium yang kandungan nutriennya rendah, (2) mutan yang baru terbentuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, (3) kultur yang dipindahkan dari fase statis ke medium baru dengan komposisi sama seperti sebelumnya. 2) Fase log (fase eksponensial). Pada fase ini jumlah peningkatan sel berlangsung secara cepat. Peningkatan jumlah sel tersebut mengikuti kurva logaritmik. Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti pH dan kandungan nutrien, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara. Pada fase ini sel membutuhkan energi lebih banyak dibandingkan dengan fase lainnya, selain itu sel paling sensitif terhadap keadaan lingkungan. 3) Fase penurunan laju pertumbuhan. Pada fase ini pertumbuhan sel relatif lambat dan terjadi penurunan dalam pertambahan populasi per satuan waktu bila dibandingkan dengan fase log. Pada fase ini pertumbuhan populasi jasad renik menjadi lambat karena : (1) zat nutrisi di dalam medium sudah sangat 12 berkurang, (2) adanya hasil-hasil metabolisme yang mungkin beracun atau dapat menghambat pertumbuhan jasad renik. Pada fase ini pertumbuhan sel tidak stabil, tetapi jumlah populasi masih naik karena jumlah sel yang tumbuh masih lebih banyak daripada jumlah yang mati. 4) Fase stasioner. Pada fase ini jumlah sel tidak berubah/tetap karena pertambahan kepadatan populasi seimbang dengan pengurangan kepadatan populasi akibat kematian. Ukuran sel pada fase ini menjadi lebih kecil karena sel tetapi membelah meskipun zat nutrisi sudah mulai habis. Karena kekurangan zat nutrisi, sel kemungkinan mempunyai komposisi berbeda dengan sel yang tumbuh pada fase logaritmik. Pada fase ini sel menjadi lebih tahan terhadap keadaan ekstrem seperti panas, dingin, radiasi dan bahan kimia. 5) Fase kematian, pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel karena sel mengalami kematian. Pada fase ini sel–sel mikroalga mengalami kematian karena beberapa sebab yaitu : (1) nutrien di dalam medium sudah habis, (2) energi cadangan di dalam sel sudah habis. Kecepatan kematian dipengaruhi oleh kondisi nutrien, lingkungan dan jenis jasad renik (mikroalga). 2.6. Bakteri Bakteri adalah sel prokariot yang khas dan bersifat uniseluler. Sel bakteri ada yang berbentuk seperti bola, batang atau spiral. Umumnya bakteri berdiameter antara 0,5 sampai 1,0 µm, dengan panjang antara 1,5 sampai 2,5 µm (Pelczar dan Chan 2005a). Sel bakteri dikelilingi oleh membran sitoplasma yang bagian luarnya diselubungi oleh dinding sel yang mengandung peptidoglikan. Membran sitoplasma memegang peranan penting dalam kesinambungan fungsi sel, yaitu mengendalikan laju perpindahan bahan dari dalam dan dari luar sel yang bersifat permeabel. Peptidoglikan memberikan bentuk dan menyebabkan kakunya dinding sel. Susunan kimiawi dan struktur peptidoglikan khas untuk masingmasing bakteri (Madigan et al. 2003). Bakteri Gram positif akan berwarna ungu atau biru pada uji pewarnaan Gram. Bakteri ini mempunyai struktur dinding sel yang tebal, yaitu 15-80 nm dan berlapis tunggal. Komposisi dinding sel terdiri dari lipid dengan kandungan 13 rendah, peptidoglikan sebagai lapisan tunggal memiliki jumlah sekitar 90% dari berat dinding sel dan mengandung asam tekoat (Madigan et al. 2003). Pori-pori peptidoglikan bakteri Gram positif lebih rapat dari bakteri Gram negatif (Pelczar dan Chan 2005a). Bakteri Gram negatif mempunyai struktur dinding sel yang tipis yaitu 10-15 nm dan berlapis tiga (multi). dengan kandungan tinggi. Komposisi dinding sel terdiri dari lipid Peptidoglikan berada dalam lapisan kaku sebelah dalam dan jumlahnya sedikit sekitar 10% dari berat dinding sel serta tidak mengandung asam tekoat (Madigan et al. 2003). mengandung lipopolisakarida yang menyebabkan Bakteri Gram negatif bakteri ini terlihat berwarna pink atau merah muda pada uji pewarnaan Gram. Lipopolisakarida ini juga berkaitan dengan infeksi dari endotoksin yang dihasilkan ketika selnya mati (Itech 2006). Berdasarkan suhu lingkungan hidupnya bakteri dapat bersifat mesophil (hidup dengan baik pada suhu 20-500C), termophil (hidup dengan baik pada suhu lebih dari 450C), dan psikrophil (hidup dengan baik pada suhu 0-150C). Ada beberapa bakteri thermophil yang dapat tumbuh dengan baik pada suhu 100-1200C atau disebut dengan bakteri extremophil dan beberapa dapat tumbuh dengan baik pada suhu 80-1000C atau disebut bakteri hiperthermophil (Thiel 1999). Umumnya bakteri dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 6-8. Selain itu ada bakteri yang bersifat toleran terhadap asam atau terhadap basa. Sedikit sekali bakteri yang tahan terhadap asam dibandingkan dengan bakteri yang tahan terhadap lingkungan basa (Thiel 1999). Berdasarkan kebutuhan oksigen bakteri dapat digolongkan menjadi empat kelompok: (1) bakteri yang hidupnya membutuhkan oksigen atau disebut dengan bakteri aerob, (2) bakteri aerob fakultatif yaitu bakteri yang hidup dengan cepat pada kondisi aerob dan masih dapat hidup tanpa oksigen, (3) bakteri anaerob aerotoleran yaitu bakteri yang dapat hidup dengan cepat pada kondisi tanpa oksigen dan masih dapat hidup pada lingkungan yang mengandung oksigen, (4) bakteri anaerob yaitu bakteri yang hanya hidup pada suasana tanpa oksigen 14 (Thiel 1999). Bakteri yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri pada penelitian ini adalah Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyi. 2.6.1. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan organisme yang biasanya terdapat pada bagian tubuh manusia, termasuk hidung, tenggorokan, dan kulit. Kontaminasi S. aureus dapat menyebabkan keracunan (staphylococcal food poisoning) karena enterotoksin yang dihasilkan mikroorganisme tersebut pada makanan (Frazier dan Westhof 1985). Gejala keracunan yang ditimbulkannya antara lain mual, pusing, muntah, dan diare . Hal ini terjadi setelah mengkonsumsi makanan terkontaminasi 1-6 jam (Madigan et al. 2003). Staphylococcus aureus termasuk bakteri Gram positif dan berbentuk kokus tunggal, berpasangan dan bergerombol. Diameternya 0,5-1,5 μm, tidak berkapsul dan tidak berspora, non motil, dan tidak ditemukan adanya fase istirahat (Todar 2002). Morfologi sel Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Morfologi sel S. aureus (Todar 2002). Pertumbuhan dan produksi toksin bersifat anaerob fakultatif, yaitu tumbuh lebih cepat pada kondisi aerobik. Pertumbuhan optimum terjadi pada suhu 37 oC dengan pH 7,0-7,5 dan pada aw 0,99 serta kadar NaCl sebesar 7-10%. Meskipun demikian, bakteri ini masih dapat tumbuh dan berkembang biak pada suhu 6-48 oC dan pH 4,2-9,3 serta kadar NaCl lebih dari 25%. Bakteri ini dapat memproduksi toksin pada suhu 10-45 oC dengan pH 4,8-9,0 dengan suhu optimum 35-45 oC dan pH optimum 5,3-7,0 serta pada aw optimum 0,86-0,99 (ESR 2001).Koloni S. aureus yang bersifat patogen berwarna putih atau kuning 15 oranye. Pigmen ini akan jelas terlihat bila biakan mengandung bahan pati atau asam lemak dan pada media yang agak kering seperti serum darah. Bakteri ini bersifat memfermentasikan manitol dan uji koagulase positif (Lay dan Hastowo 1992). Bakteri S. aureus memiliki berbagai faktor virulensi yang potensial menyebabkan infeksi, yaitu (1) protein permukaan yang menyebabkan kolonisasi pada jaringan induk semang, (2) enzim (leukosidin, kinase, hyaluronidase) yang dapat merusak jaringan, (3) permukaan penghambat fagositik (protein A dan kapsul), (4) produk bahan (karotenoid, produk katalase) yang dapat mempertahankan diri dari sistem fagosit, (5) sistem imunologi (protein A dan koagulase), (6) produksi toksin (hemolysin, leukotoksin, leukosidin), (7) faktor virulensi (Todar 2002). Berdasarkan Tortora et al. (1989) bahwa dahulu bakteri ini sensitif terhadap penisilin, akan tetapi sekarang hanya 10% strain S. aureus yang sensitif terhadap penisilin. dengan Daya kerja antibiotik penisilin terhadap S. aureus yaitu menghambat pembentukan dinding sel bakteri (Lay dan Hastowo 1992). Saat ini beberapa strain S. aureus umumnya resisten terhadap antibiotik seperti β-lactam, kloramfenikol, ciprofloxacin, clindamycin, eritromisin, rifampin, tetrasiklin, trimetropim, dan vankomisin. Mekanisme resistensi bakteri ini bermacam-macam tergantung pada jenis antimikrobanya, seperti terbentuknya enzim β- lactamase yaitu enzim yang dapat menguraikan penisilin dan mekanisme efflux pada kloramfenikol (Madigan et al. 2003; Lohner dan Austria 2001). 2.6.2. Vibrio harveyi Bakteri ini termasuk bakteri Gram negatif dan bersifat fermentatif. Sifat fisiknya antara lain bersel tunggal, berbentuk batang pendek, berukuran panjang 1,4-5,0 µm dan lebar 0,3-1,3 µm, motil serta mempunyai flagella untuk bergerak. Sifat biokimia dari Vibrio adalah memproduksi oksidase-katalase, tidak membentuk gas pada produksi asam dari glukosa, dapat menggunakan komponen organik sebagai sumber energi (kemoorganotropik) (Lavilla-Pitogo et al. 1995). Vibriosis merupakan jenis penyakit yang sering ditemukan pada budidaya windu sebagai akibat infeksi bakteri Vibrio. Namun jenis bakteri yang umum dilaporkan 16 sebagai penyebab penyakit kunang-kunang adalah Vibrio harveyi (Rukyani 1992). Umumnya bakteri Vibrio sp tumbuh secara optimal pada suhu 30 oC dan pada salinitas 20-30 ppt (Holt dan Krieg 1984). V. harveyi tumbuh baik pada medium dengan kadar garam 0,5% NaCl, dan seperti halnya bakteri Vibrio berpendar lain, V. harveyi tumbuh dan berpendar pada medium TiosulphateCitrate-Bile-Salt (TCBS). Pendaran ini terjadi karena bakteri ini mempunyai enzim lusiferase yang dapat mengkatalis reaksi yang memancarkan cahaya dengan menggunakan substrat berupa senyawa aldehid yang disebut lusiferin (Meighen 1991). Sel V. harveyi dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Morfologi sel Vibrio harveyi (Se-ed 2007). Senyawa antibakteri kloramfenikol dapat bersifat bakterisidal pada V. harveyi. Kloramfenikol bekerja sebagai bakterisidal dengan cara membuat ikatan dengan subunit ribosom bakteri (50S) sehingga dapat menghambat sintesis protein bakteri (Tufts 2007). Menurut Moriarty (1999), ketika antibiotik digunakan untuk membunuh bakteri, beberapa bakteri akan bertahan hidup baik galur patogen maupun bukan karena mempunyai gen resisten. Bakteri ini akan tumbuh cepat karena tidak ada saingan. Ketika bakteri patogen masuk kembali ke lingkungan budidaya udang terjadi pertukaran gen dengan bakteri resisten yang bertahan hidup di lingkungan. Dengan demikian terjadi resistensi antibiotik pada galur patogen yang akan berkembang secara cepat. Hal inilah yang terjadi sehingga V. harveyi memiliki sifat resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: kloramfenikol, enteromisin, furazolidon, oksitetrasiklin, neomisin, prefuran, streptomisin, sulfadiazin dan trimetoprim (Abraham 2004). 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus 2007 sampai Februari 2008 bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2 dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor . 3.2. Bahan dan Alat Bahan atau sampel utama yang digunakan pada penelitian ini adalah kultur Chaetoceros gracilis. Kultur mikroalga tersebut diperoleh dari koleksi mikroalga Laboratorium Marikultur Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Ancol, Jakarta Utara yang dikultur lagi di Laboratorium Bioteknlogi Hasil Perairan 2 Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Untuk kultur Chaetoceros gracilis dalam skala laboratorium digunakan air laut dan media Guillard yang komposisinya dapat dilihat pada Lampiran 1. Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi senyawa antimikroba adalah pelarut organik metanol. Untuk uji aktivitas bakteri digunakan media Mueller Hinton Agar (MHA) dan Mueller Hinton Broth (MHB), Triptose Soy Agar (TSA) dan Nutrient Broth (NB). Bahan-bahan penunjang lainnya yaitu kertas saring Whatman No. 42 dan akuades steril. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk kultivasi dan penentuan kurva pertumbuhan C. gracilis, alat untuk mengekstrak senyawa antibakteri dari C. gracilis dan alat untuk menguji aktivitas antibakteri senyawa ekstrak C. gracilis. a. Peralatan yang digunakan untuk kultur mikroalga C. gracilis dan penentuan kurva pertumbuhan antara lain: erlenmeyer berukuran 500 ml, 1000 ml dan 2000 ml, galon air minum, selang, aerator (blower), lampu neon, pipet, hemasitometer, tabung reaksi, mikrosokop, autoklaf, dan alat mechanic counter. b. Peralatan yang digunakan untuk panen dan ekstraksi senyawa antibakteri mikroalga C. gracilis antara lain : mesin filter dengan tipe filter keramik, 18 erlenmeyer berukuran 100 ml dan 250 ml, magnetic stirrer, hot plate, freezer, freeze dryer (Yamato FD 30), tabung freeze drying, rotavapor vakum (Yamato RE 50). c. Peralatan yang digunakan untuk uji aktivitas senyawa antimikroba mikroalga C. gracilis antara lain : cawan petri, tabung reaksi, autoklaf, bunsen, jarum ose, clean bench, dan labu erlenmeyer. 3.3. Metode Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan yaitu penentuan waktu pemecahan sel (cell disruption) terbaik dalam proses ekstraksi senyawa antibakteri C. gracilis. Penelitian utama yaitu penentuan intensitas cahaya terbaik yang menghasilkan senyawa antibakteri dengan rendemen dan zona hambat yang paling besar. 3.3.1. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan waktu pemecahan sel (cell disruption) terbaik. Penelitian pendahuluan ini meliputi kultivasi C. gracilis dan uji aktivitas antibakteri dari ekstrak C. gracilis dengan waktu pemecahan sel yang berbeda, yaitu 5, 10, dan 15 menit. 1) Kultivasi C. gracilis tahap I Tahap ini dimulai dengan membuat kultur awal C. gracilis sebanyak 200 ml. Sebanyak 20 ml inokulum C. gracilis yang didapatkan dari Laboratorium Marikultur Pusat Penelitian Osenaografi LIPI-Ancol, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang berisi 200 ml medium kultur (medium Guillard). Setelah 1 minggu, stok kultur awal dimasukkan ke dalam stoples berkapasitas 2500 ml yang berisi 2000 ml medium. Air laut yang digunakan sebelumnya telah disterilkan dengan cara direbus pada suhu 100oC selama 15 menit. Setelah kultur berumur 7 hari dilakukan perbesaran skala kultur dengan memindahkan sebanyak 1000 ml kultur C. gracilis ke dalam galon yang berisi 10 L medium. Kultur diberi aerasi secara terus menerus dan diberi pencahayaan selama 24 jam dengan jarak lampu 9 cm (+ 2500 lux). Selanjutnya, kultur dipanen pada fase stasioner yaitu hari ke – 14. 19 2) Ekstraksi senyawa antibakteri dengan waktu pemecahan sel yang berbeda Pada saat kultur C. gracilis mencapai fase stasioner atau kultur berumur 14 hari, dilakukan panen biomassa menggunakan filter keramik untuk memisahkan filtrat dan biomassanya. Biomassanya dibekukan dalam freezer sampai membeku. Setelah membeku, biomassa dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer (Yamato FD 30) hingga diperoleh biomassa dalam bentuk bubuk. Biomasa yang sudah didapat kemudian diambil sebanyak 0,9 gram dan dibagi menjadi 0,3 gram untuk masing-masing perlakuan yaitu pemecahan sel selama 5, 10 dan 15 menit. Setelah itu, biomassa dimasukkan ke dalam tabung dan ditambah metanol sebanyak 5 ml dan dilakukan pemecahan sel menggunakan glass beads dengan perbandingan 1 : 2 ( glass beads (g) : larutan (ml) ). Larutan tersebut selanjutnya diaduk menggunakan vortex selama selang waktu perlakuan yaitu 5, 10 dan 15 menit. Selanjutnya biomasa tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan metanol (98 %) sehingga perbandingan biomassa dengan metanol sebanyak 1 : 25. Larutan biomassa yang telah melalui proses disruption (pemecahan sel) dengan glass beads kemudian dimaserasi. Maserasi dilakukan dengan menggunakan pengaduk magnet pada suhu kamar selama + 3 x 24 jam dengan kecepatan 50 rpm. Setelah proses ekstraksi berlangsung dilakukan penyaringan dengan kertas saring (Whatman no. 42). Selanjutnya pelarut metanol diuapkan dengan menggunakan rotavapor vakum (Yamato RE 50) pada suhu 35-37oC dengan kecepatan 100 rpm selama + 15 menit hingga diperoleh ekstrak filtrat yang berbentuk pasta. Setelah mendapatkan ekstrak dalam bentuk pasta selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar. Waktu pemecahan sel yang memiliki yield paling banyak dan zona hambat yang paling besar digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya. 3.3.2. Penelitian utama Penelitian utama bertujuan untuk menentukan intensitas cahaya terbaik yang menghasilkan senyawa antibakteri dengan yield dan zona hambat 20 yang paling besar. Penelitian utama meliputi kultivasi C. gracilis, ekstraksi senyawa antibakteri C. gracilis dengan jarak pencahayaan kultur yang berbeda yaitu 3, 9 dan 15 cm. 1) Kultivasi Chaetoceros gracilis tahap II Tahap ini dimulai dengan pembuatan kultur mikroalga C. gracilis. Kultivasi C. gracilis dibuat dalam erlenmeyer 1 liter sebanyak 3 buah yang berisi larutan medium sebanyak 900 ml. Medium kultur yang digunakan adalah Medium Guillard yang telah dimodifikasi (Lampiran 1). Air laut yang digunakan, sebelumnya telah disterilkan dengan proses perebusan pada suhu 1000C selama 15 menit. Kultivasi dilakukan pada suhu ruang (29-30 oC) dengan penyinaran memakai lampu 20 watt dan pemberian aerasi selama 24 jam. Kultivasi dilakukan dengan 3 perlakuan sebagai berikut: A. Kultur ke-1 , yaitu kultivasi dengan jarak penyinaran 3 cm (± 3500 lux) B. Kultur ke-2 , yaitu kultivasi dengan jarak penyinaran 9 cm (± 2500 lux) C. Kultur ke-3 , yaitu kultivasi dengan jarak penyinaran 15 cm (± 1500 lux) Pertumbuhan C. gracilis diamati dengan cara mengambil sampel setiap hari, kemudian dihitung jumlah selnya secara langsung yang selanjutnya nilainya dikonversikan ke dalam nilai logaritmik. Setelah itu dibuat kurva pertumbuhan dengan jumlah sel (logaritmik) sebagai sumbu y dan waktu (hari) sebagai sumbu x. 2) Ekstraksi antibakteri dengan waktu pemecahan sel terpilih Tahap ini dimulai dengan membuat kultur C. gracilis sebanyak 6 liter untuk masing-masing perlakuan jarak pencahayaan. Pada saat masing–masing kultur mencapai fase pertengahan stasioner, kultur dipanen dengan menggunakan filter keramik. Selanjutnya filtrat dibuang sedangkan biomassanya dibekukan dalam freezer sampai membeku. Setelah membeku, biomassa dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer hingga diperoleh biomassa dalam bentuk bubuk. Selanjutnya dilakukan proses pemecahan sel dengan cara biomassa dilarutkan dalam metanol sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan glass beads dengan perbandingan 1 : 2 (glass beads (g) : larutan (ml) ), kemudian larutan diaduk dengan vortex dengan waktu pemecahan sel yang terbaik. 21 Larutan biomassa yang telah melalui proses disruption (pemecahan sel) dengan glass beads kemudian dimaserasi. Maserasi dilakukan dengan menggunakan pengaduk magnet pada suhu kamar selama + 3 x 24 jam dengan kecepatan 50 rpm. Setelah proses ekstraksi berlangsung dilakukan penyaringan dengan kertas saring (Whatman no. 42). Selanjutnya pelarut metanol diuapkan dengan menggunakan rotavapor vakum suhu 35-37oC dengan kecepatan 100 rpm selama + 15 menit hingga diperoleh ekstrak. Setelah mendapatkan ekstrak antibakteri dalam bentuk pasta maka dilakukan pengujian aktivitas antibakteri dengan teknik tabung pengenceran. Sebelum uji aktivitas, dipersiapkan dahulu kultur bakteri yang berada pada fase log dan memiliki OD antara 0,5 – 0,9. 3.4. Prosedur Analisis 3.4.1 Penghitungan jumlah sel Perhitungan jumlah sel dilakukan dengan metode hitungan langsung sebagai berikut (Hadioetomo 1993) : a. Permukaan hitung hemasitometer dan kaca penutup dibersihkan dari sisa-sisa minyak. b. Tutup kaca hemasitometer diletakkan pada permukaan hemasitometer. Suspensi biakan C. gracilis hasil pengambilan contoh dikocok, kemudian diambil dengan mikropipet sebanyak 20 µl. Suspensi tersebut diteteskan pada tempat menaruh sampel yang terdapat pada hemasitometer hingga suspensi C. gracilis menyebar pada ruang hitung. c. Hemasitometer ditaruh di atas pentas mikroskop. Jumlah sel yang terdapat dalam 80 kotak kecil yang terletak dalam kotak bagian tengah yang berukuran 0,2 mm2 (5 x 16 x 0,0025mm2) dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 40X. Perhitungan jumlah sel dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. d. Formulasi yang dipakai dalam menghitung kepadatan sel adalah sebagai berikut: N= Keterangan: (∑ N1 + ∑ N 2 ) × 5.104 2 N = kepadatan sel (sel/ml) ΣN1 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-1) 22 ΣN2 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-2) 5.104 = konstanta haemacytometer neubauer untuk pengamatan pada 80 kotak kecil e. Hasil perhitungan diplotkan pada grafik hingga diperoleh kurva pertumbuhan dengan umur kultur (hari) sebagai sumbu x dan log kepadatan sel (sel/ml) sebagai sumbu y. 3.4.2. Penghitungan konstanta laju pertumbuhan Konstanta laju pertumbuhan suatu mikroalga adalah suatu ukuran pertambahan biomassa dalam rentang waktu tertentu dan ditentukan dari fase eksponensial. Besarnya konstanta laju pertumbuhan menggambarkan tingkat kesuksesan relatif suatu mikroalga dalam beradaptasi terhadap lingkungan alaminya atau media kultur buatan. Lamanya fase eksponensial dalam suatu kultur tergantung pada ukuran inokulum, konstanta laju pertumbuhan, dan kemampuan media serta kondisi kultur dalam mendukung pertumbuhan alga. Rumus laju pertumbuhan mikroalga adalah sebagai berikut (Prescott et al. 2002) : k= ln (xt/xo) ln2 x t Keterangan : k = konstanta laju tumbuh mikroalga (pembelahan sel/hari) xt = kepadatan sel pada hari t (sel/ml) xo = kepadatan awal hari (sel/ml) t = waktu (hari) 3.4.3. Uji aktivitas senyawa antibakteri (metode difusi agar) Sebelum melakukan pengujian aktivitas senyawa antibakteri, terlebih dahulu dilakukan beberapa persiapan, yaitu pembuatan media tumbuh bakteri. Media tumbuh yang digunakan untuk mengkultur bakteri yaitu NB (Nutrient Broth), Mueller-Hinton Agar (MHA) dan media TSA (Tryptone Soya Agar). Media TSA digunakan untuk menyimpan stok bakteri dalam bentuk agar miring. NB digunakan untuk mengkultur bakteri sebelum dilakukan pengujian, sedangkan medium Mueller-Hinton Agar digunakan untuk menumbuhkan bakteri yang dicobakan pada pengujian senyawa antibakteri. 23 Penyegaran bakteri dilakukan sehari sebelum pengujian senyawa antibakteri, yaitu dengan cara memasukan 1 lup biakan bakteri dari stok agar miring ke dalam 9 ml medium NB steril. Setelah itu inokulum diinkubasi dalam inkubator selama 18 jam pada suhu 37 oC untuk bakteri S. aureus dan suhu ruang untuk bakteri V. harveyi. Sebelum dilakukan pengujian antibakteri, terlebih dahulu diukur OD (Optical Density) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas senyawa antibakteri dari ekstrak kasar intraseluler C. gracilis yang sudah didapatkan. Tahapan pengujian aktivitas antibakteri ( Bell, 1984) adalah sebagai berikut: 1) Biakan bakteri pada media NB dipipet sebanyak 20 µl dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 15 ml Mueller-Hinton Agar (MHA) cair steril. Medium MHA yang telah mengandung bakteri selanjutnya dihomogenkan menggunakan vortex dan dituang ke dalam cawan petri kemudian dibiarkan sampai padat pada suhu kamar. 2) Masing-masing ekstrak senyawa antibakteri C. gracilis dan kloramfenikol (kontrol positif) sebesar 0,015 g dilarutkan ke dalam metanol sebanyak 0,5 ml. Kemudian sebanyak 10 µl ekstrak diteteskan pada paper disc steril (konsentrasi 300 µg/disc) dan didiamkan beberapa saat hingga menjadi agak kering. 3) Paper disc yang sudah kering diletakkan secara teratur di atas medium agar yang telah membeku. Pada permukaan cawan diberi label untuk masingmasing jenis perlakuan. 4) Cawan petri yang berisi kultur bakteri dan ekstrak senyawa antibakteri dimasukkan dalam inkubator dengan posisi terbalik selama 18 jam pada suhu 30 oC untuk bakteri V. harveyi dan suhu 37 oC untuk bakteri S. aureus. Suatu zat aktif dikatakan memiliki potensi yang tinggi sebagai antibakteri, jika pada konsentrasi rendah mempunyai daya hambat yang besar. Ketentuan kekuatan antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm (sedang), daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah) (Davis dan Stout diacu dalam Rachdiati 2003). 24 Secara umum, konsentrasi standar yang digunakan oleh NCI (National Cancer Institute) USA, ekstrak kasar dikatakan aktif jika dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 20 µg/ml sedangkan ekstrak murni sebesar 4 µg/ml (Jamaludin 2005). Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas senyawa antibakteri dapat dilihat pada Lampiran 4. 3.4.4. Uji aktivitas senyawa antibakteri (teknik tabung pengenceran) Uji aktivitas senyawa antibakteri ini merupakan modifiksi dari cara penentuan MIC (Minimum Inhibtory Concentration) dengan teknik tabung pengenceran (Lennete et al. 1974). Sama seperti metode difusi agar, sebelum dilakukan pengujian antibakteri pertama-tama diukur OD (Optical Density) menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas senyawa antibakteri dari ekstrak kasar intraseluler C. gracilis. Tahapan pengujian aktivitas antibakteri adalah sebagai berikut: 1) Biakan bakteri pada media NB dipipet sebanyak 20 µl dan dimasukkan ke dalam 5 tabung reaksi yang berisi 15 ml Mueller-Hinton Broth steril. Medium MHB yang telah mengandung bakteri selanjutnya dihomogenkan menggunakan vortex 2) Masing-masing ekstrak dan kloramfenikol sebesar 0,015 g dilarutkan ke dalam pelarutnya sebanyak 1 ml. Kemudian sebanyak 20 µl ekstrak maupun kloramfenikol (konsentrasi 20 µg/ml) dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi di atas, dan 1 tabung reaksi tidak ditambah senyawa antimikroba yang berfungsi sebagai kontrol negatif. Selanjutnya kultur bakteri yang berada dalam tabung reaksi tersebut diukur OD-nya dengan panjang gelombang 600 mm. Hasil pengukuran ini selanjutnya disebut OD awal. 3) Kultur bakteri yang telah diukur OD-nya, dimasukkan ke dalam inkubator selama 12 jam pada suhu 30oC untuk bakteri V. harveyi dan suhu 37oC untuk bakteri S. aureus. 4) Setelah 12 jam, kultur-kultur bakteri tersebut diukur kembali OD-nya dan selanjutnya hasil pengukuran OD ini disebut OD akhir Perbandingan nilai selisih OD (awal dan akhir) dari kultur kontrol positif dan kultur dengan senyawa ekstrak akan dibandingkan dengan nilai selisih OD 25 kontrol negatif untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari kontrol positif dan senyawa ekstrak. Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas senayawa antibakteri dapat dilihat pada Lampiran 4. 3.4.5. Penghitungan aktivitas reduksi OD senyawa antibakteri Besarnya aktivitas suatu senyawa antibakteri dapat dilihat dari kemampuan senyawa tersebut untuk mereduksi nilai OD (Optical Density) kultur bakteri yang diinkubasi tanpa penambahan senyawa antibakteri (kontrol negatif). Rumus untuk menghitung besarnya kemampuan mereduksi OD dari suatu senyawa antibakteri adalah sebagai berikut. % reduksi = (rata-rata OD kontrol ) – (rata-rata OD Perlakuan) X 100 % rata-rata OD kontrol Keterangan : rata-rata OD kontrol = rata - rata OD kultur tanpa penambahan senyawa antibakteri rata-rata OD perlakuan = rata-rata OD kultur dengan penambahan senyawa antibakteri 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Waktu Pemecahan Sel (Cell disruption) terhadap Ekstrak Antibakteri Chaetoceros gracilis Untuk mendapatkan senyawa antibakteri dari C. gracilis harus dilakukan ekstraksi. Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan dengan pelarut tertentu. Sebelum dilakukan ekstraksi, sering dilakukan pemecahan membran atau dinding sel, agar senyawa yang ada di dalam sel keluar seluruhnya sehingga hasilnya lebih banyak. Metode pemecahan sel yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode bead milling. Metode bead milling, yaitu penghancuran sel menggunakan glass atau ceramic bead. Keuntungan dari metode ini adalah biaya tidak mahal, mudah dilakukan dan bermacam–macam sampel dapat dilakukan dengan metode ini. Sedangkan kelemahannya adalah kemampuan terbatas pada skala kecil saja, produk dan kemurnian yang dihasilkan bervariasi, kadang menghasilkan busa dan panas yang berlebihan terutama pada skala yang lebih besar (GFDL 2006). Pada penelitian ini ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi dengan pelarut metanol. Metanol merupakan pelarut yang baik untuk semua tujuan ekstraksi awal (Harborne 1987). Metanol termasuk ke dalam golongan alkohol yang mempunyai berat molekul rendah. Kondisi ini mempermudah pembentukan ikatan hidrogen dengan molekul air dalam jaringan bahan yang diekstraksi sehingga senyawa-senyawa dalam jaringan bahan akan lebih mudah terekstrak (Hart 1987). Sebelum proses ekstraksi, terlebih dahulu dilakukan panen kultur C. gracilis sebanyak 10 liter yang ditumbuhkan pada suhu ruang (26oC-30oC) dengan jarak pencahayaan 9 cm atau dengan intensitas cahaya ± 2500 lux. Kultur ini dipanen dengan alat filter keramik dan didapatkan biomassa basah sebanyak 5 gram dari 10 liter kultur. Biomassa yang telah didapatkan dari hasil panen lalu dikeringkan menggunakan freeze dryer sehingga didapatkan biomassa kering. Selanjutnya, biomassa diambil sebanyak 0,9 gram dan dibagi tiga menjadi 0,3 gram untuk masing-masing perlakuan waktu pemecahan sel yaitu waktu pemecahan sel 5, 10 dan 15 menit. Proses pemecahan sel menggunakan 27 glass beads yang merupakan butiran–butiran gelas berukuran kecil dan berbentuk bulat. Setelah proses pemecahan sel selanjutnya dilakukan proses maserasi menggunakan metanol selama 3x24 jam sehingga didapatkan filtrat C. gracilis dengan pelarut metanol. Proses maserasi ini dilakukan sebanyak 3 kali karena ekstraksi beberapa kali dengan pelarut bervolume lebih sedikit akan lebih efektif dibanding ekstraksi dengan pelarut bervolume banyak sekaligus (Nur dan Adijuwana 1989). Filtrat yang didapat dari proses maserasi selanjutnya diuapkan untuk memperoleh senyawa hasil ekstraksi berupa ekstrak kasar berbentuk pasta. Evaporasi dilakukan menggunakan rotavapor vakum dengan suhu 35–36oC, untuk menghindari kerusakan komponen senyawa antibakteri. Bentuk ekstrak kasar antibakteri C. gracilis dapat dilihat pada Gambar 5. A B C Ket : A = pemecahan sel 5 menit B = pemecahan sel 10 menit C = pemecahan sel 15 menit Gambar 5. Ekstrak kasar C. gracilis dalam bentuk pasta Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap bakteri Gram negatif Vibrio harveyi dan Gram positif Staphylococcus aureus dengan optical density (OD600) sebesar 0,7 dan 0,8. Bakteri uji yang digunakan pada uji aktivitas antibakteri ini sebanyak 20 µl pada 15 ml media Mueller Hinton Agar. Ekstrak yang ditetesi pada setiap paper disc sebesar 300 µg/disc. Pengaruh cell disrupting terhadap berat ekstrak dan uji aktivitasnya terhadap bakteri V. harveyi dan S. aureus disajikan pada Tabel 1. 28 Tabel 1. Pengaruh waktu cell disrupting terhadap berat ekstrak dari kultur dengan jarak pencahayaan 9 cm ( + 2500 lux) dan uji aktivitasnya terhadap bakteri V. harveyi dan S. aureus Waktu cell disrupting Berat biomassa kering Berat ekstrak Rendemen ekstrak Rata – rata diameter zona hambat (mm) V. harveyi S. aureus 5 menit 0,3 g 0,03 g 30,12 % 8 3 10 menit 0,3 g 0,07 g 33,32 % 8 3 15 menit 0,3 g 0,09 g 37,56 % 8 3 Berdasarkan Tabel 1 dapat dikatakan bahwa penambahan waktu pemecahan sel dari 5 menit menjadi 15 menit menghasilkan jumlah rendemen ekstrak yang semakin banyak. Proses pemecahan sel yang semakin lama akan menyebabkan lebih banyak sel yang pecah, sehingga senyawa yang ada di dalam sel lebih mudah diekstraksi. Pada saat proses pemecahan sel (cell disrupting) dengan glass beads timbul panas yang berasal dari gesekan butiran gelas dengan sel (Biospec 2006). Oleh karena itu, untuk menghindari rusaknya senyawa antibakteri C. gracilis, biomassa didinginkan terlebih dahulu dalam freezer lemari es sampai suhunya mencapai 10oC. Rata-rata diameter zona hambat dari ketiga ekstrak dengan waktu pemecahan sel 5, 10 dan 15 menit adalah sama, yaitu untuk Vibrio harveyi masing-masing sebesar 8 mm, serta untuk S. aureus yaitu masing-masing sebesar 3 mm. Setelah proses pemecahan sel, suhu larutan biomassa diukur dan suhunya tidak lebih dari 24oC. Zona hambat dari esktrak C. gracilis terhadap bakteri V. harveyi dengan waktu proses pemecahan sel yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6, sedangkan zona hambat dari esktrak C. gracilis terhadap bakteri S. aureus dengan waktu pemecahan sel yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 7. 29 Ket : A = ekstrak 5’ B = ekstrak 10’ C = ekstrak 15’ D = ekstrak 5’ (1 bulan) E = metanol F = kloramfenikol Gambar 6. Zona hambat dari ekstrak C. gracilis dengan waktu pemecahan sel yang berbeda terhadap V. harveyi Ket : A = ekstrak 5’ B = ekstrak 10’ C = ekstrak 15’ D = ekstrak 5’ (1 bulan) E = metanol F = kloramfenikol Gambar 7. Zona hambat dari ekstrak C. gracilis dengan waktu pemecahan sel yang berbeda terhadap S. aureus Zona hambat pada S. aureus ternyata lebih kecil dari V. harveyi meskipun OD yang digunakan tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa S. aureus lebih tahan daripada V. harveyi dalam menerima senyawa antibakteri C. gracilis. Bakteri Gram positif seperti S. aureus memiliki membran plasma (efflux pump) yang dapat mengeluarkan zat antibiotik yang telah masuk ke dalam selnya (Prescott et al. 2002), sehingga bakteri gram positif lebih resisten terhadap gangguan fisik yang ditimbulkan oleh senyawa antibakteri. Selain itu, hal tersebut diduga disebabkan oleh pori-pori peptidoglikan bakteri Gram positif lebih rapat dari bakteri Gram negatif (Pelczar dan Chan 2005a), sehingga senyawa antibakteri akan sulit menembus ke dalam selnya. 30 Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa kloramfenikol menghasilkan zona hambat yang sangat besar dibandingkan dengan zona hambat yang terbentuk pada masing–masing ekstrak pada konsentrasi yang sama (300 µg/disc). Perbedaan zona hambat antara kontrol positif dan ekstrak yang begitu besar disebabkan oleh esktrak yamg dihasilkan dari C. gracilis berupa ekstrak kasar, sedangkan kloramfenikol merupakan ekstrak yang lebih murni. Ekstrak perlu dimurnikan untuk mendapatkan aktivitas antibakteri yang lebih baik. Hal ini perlu dilakukan karena keberadaan bahan organik asing dapat menurunkan efektivitas antibakteri dengan cara menginaktivasi bahan–bahan tersebut atau melindungi bakteri dari zat antibakteri tersebut (Pelczar dan Chan 2005b) Zona hambat esktrak C. gracilis yang ditandai dengan huruf D pada masing-masing cawan petri adalah esktrak C. gracilis dengan lama pemecahan sel 5 menit, yang disimpan pada suhu di bawah 00C selama 1 bulan. Suhu dingin pada penyimpanan ekstrak diduga mempertahankan daya antibakterial dari ekstrak. 4.2 Kurva Pertumbuhan Mikroalga C. gracilis dengan Intensitas Cahaya Berbeda Pertumbuhan pada organisme uniseluler adalah pertambahan jumlah sel yang berarti juga pertambahan jumlah organisme. Parameter pertumbuhan mikroalga dapat ditinjau dari kekeruhan, berat kering atau yield, volume sel dan kandungan klorofil (Becker 1994). Jumlah sel yang sudah didapatkan dari hasil pengamatan selanjutnya diplotkan ke dalam suatu grafik sehingga didapatkan kurva pertumbuhan. Kultur mikroalga secara umum memiliki lima fase pertumbuhan, yaitu fase lag, fase logaritmik, fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner dan fase kematian (Fogg 1975). Pengukuran jumlah sel mikroalga secara kuantitatif pada kultur bervolume terbatas untuk menentukan kurva pertumbuhan dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah dengan perhitungan langsung jumlah sel dengan menggunakan haemositometer, perhitungan berat kering, perhitungan dengan cara pengukuran volume sel dan perhitungan kepadatan dengan pancaran 31 cahaya (Myers 1962). Kurva pertumbuhan C. gracilis pada jarak pencahayaan log jumlah sel 3 cm, 9 cm dan 15 cm dapat dilihat pada Gambar 8. 7 6.8 6.6 6.4 6.2 6 5.8 5.6 5.4 5.2 5 A B C 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 hari Keterangan : A = Kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm (± 3500 lux) B = Kultur dengan jarak pencahayaan 9 cm (± 2500 lux) C = Kultur dengan jarakpencahayaan 15 cm (± 1500 lux) Gambar 8. Kurva pertumbuhan C. gracilis dengan jarak pencahayaan 3, 9 dan 15 cm pada suhu ruang (29oC). Berdasarkan Gambar 8 dapat dikatakan bahwa ketiga kultur tersebut tidak mengalami fase adaptasi karena medium pada inokulum yang digunakan sama dengan medium pada kultur baru dan inokulum yang digunakan berada pada fase log (umur inokulum 6 hari). Sel yang ditempatkan dalam medium dan lingkungan pertumbuhan yang sama seperti medium dan lingkungan sebelumnya, tidak memerlukan waktu adaptasi (Fogg 1975). Fase log kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 3 cm dan 9 cm setelah hari ke-0 sampai hari ke-8. Sedangkan kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki fase log setelah hari ke-0 sampai hari ke-11. Berdasarkan Gambar 8 dapat dikatakan bahwa fase log yang paling lama terjadi pada kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm yaitu 11 hari. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai laju pertumbuhaan (k) C. gracilis. Konstanta aju tumbuh (k) C. gracilis pada kultur dengan jarak pencahayaan 3, 9 dan 15 cm masing-masing adalah 0,55 pembelahan sel/hari, 0,54 pembelahan sel/hari dan 0,43 pembelahan sel/hari. Perbedaan konstanta laju tumbuh sel C. gracilis pada fase logaritmik ini disebabkan oleh perbedaan intensitas cahaya yang diterima oleh masing-masing kultur. Berdasarkan hasil 32 penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penurunan jarak pencahayaan dari 15 cm menjadi 3 cm atau peningkatan intensitas cahaya kultur dari 2500 lux menjadi 3500 lux dapat menaikkan laju pertumbuhan mikroalga C. gracilis. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa laju pertumbuhan mikroalga A. convultus meningkat dari 0,47 pembelahan sel/hari pada intensitas cahaya 500 lux menjadi 0,60 pembelahan sel/hari pada intensitas cahaya 2500 lux. Begitu pula μ pada mikroalga Chlorella sp. yang meningkat dari 0,39 pada intensitas cahaya 500 lux menjadi, 0,49 pembelahan sel/hari pada 2500 lux dan 0,73 pada 5000 lux (Chrismadha et al 1997). Perhitungan konstanta laju tumbuh dapat dilihat pada Lampiran 2. Perbedaan laju tumbuh pada C. gracilis mengakibatkan terjadinya perbedaan pada lamanya fase logaritmik. Berdasarkan hasil penelitian ini, kultur dengan laju pertumbuhan.yang paling rendah akan memiliki fase logaritimik yang paling lama. Hal ini disebabkan oleh kultur dengan laju tumbuh sel yang paling rendah akan mencapai titik jenuh populasi mikroalga yang lebih lambat dibanding kultur lainnya. Perhitungan laju pertumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 2. Bentuk kurva fase logaritmik pada kurva pertumbuhan C. gracilis dengan jarak pencahayaan 3 cm dan 9 cm tidak berbeda jauh. Hal ini disebabkan oleh adanya titik jenuh (Is), yaitu nilai intensitas cahaya maksimum yang dapat digunakan oleh alga untuk keperluan fotosintesis (Chrismadha et al. 1997). Meskipun intensitas cahayanya ditingkatkan, kecepatan pertumbuhannya tidak naik tajam bahkan bisa konstan. Goldman yang diacu Chrismadha et al. (1997) menekankan pentingnya karakter titik jenuh tinggi bagi alga yang dibudidayakan dengan cahaya matahari sebagai sumber cahayanya. Selama fase logaritmik ini warna kultur berubah dari warna kuning menjadi coklat tua yang disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah sel dan pigmen C. gracilis pada kultur. Warna coklat tersebut merupakan warna dari sel C. gracilis yang didominasi oleh pigmen karotenoid dan diatomin yang merupakan pigmen dominan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Setelah kultur mikroalga mencapai puncak populasi, maka mikroalga tersebut secara perlahan akan mengalami fase stasioner, yaitu fase dimana laju pertumbuhan mikroalga sama dengan laju kematiannya. Fase ini terjadi karena 33 terbatasnya nutrisi, sehingga tidak semua sel bisa melakukan pembelahan, dan akhirnya mengalami kematian (Fardiaz, 1992). Kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 3 cm, memiliki fase stasioner yang berlangsung setelah hari ke-8 sampai hari ke-11. Kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 9 cm memiliki fase stasioner setelah hari ke-8 sampai hari ke-15. Kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki fase stasioner setelah hari ke-11 sampai hari ke-19. Setelah kultur menjalani fase stasioner maka kultur akan mengalami fase kematian. Fase kematian Kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 3 cm setelah hari ke-11, fase kematian kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 9 cm setelah hari ke-15, sedangkan fase kematian Kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm setelah hari ke-19. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa selama kultivasi terjadi perubahan warna kultur. Perubahan warna yang terjadi dari awal sampai akhir kultivasi, yaitu dari warna coklat bening, coklat agak keruh, coklat keruh lalu kembali lagi menjadi coklat agak keruh dan terakhir menjadi coklat bening dengan banyak endapan warna coklat. Perubahan warna tersebut merupakan indikator terjadinya peningkatan kepadatan sel dari kepadatan sel rendah menjadi tinggi kemudian turun menjadi rendah kembali secara bertahap. Perubahan warna kultur dalam tiap fase pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 9. A Keterangan : B C A = 0 hari; B = kultur pada hari ke-7 (fase log) C = kultur pada hari ke-14 (fase stasioner) Gambar 9. Perubahan warna selama kultivasi C. gracilis Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa intensitas cahaya yang berbeda yang diterima oleh masing–masing kultur setiap harinya menyebabkan terjadinya perbedaan laju pertumbuhan di antara kultur tersebut. Kultur dengan 34 intensitas cahaya yang lebih besar memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dan memiliki fase pertumbuhan yang lebih singkat juga, dan pada akhirnya kultur akan mencapai fase kematian yang lebih awal. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Lailati (2007), yang melaporkan bahwa kultur C. gracilis dengan pencahayaan 24 jam memiliki fase logaritmik dan stasioner yang lebih singkat dibanding kultur dengan pencahayaan 12 jam. Kultur yang diberi intensitas cahaya yang lebih besar atau jarak pencahayaan yang lebih dekat memungkinkan C. gracilis untuk mendapatkan energi cahaya yang lebih banyak setiap harinya dibanding kultur dengan jarak pencahayaan yang lebih jauh, sama halnya jika kultur diberi pencahayaan terus menerus selama 24 jam akan mendapatkan akumulasi energi yang lebih banyak setiap harinya dibanding kultur yang diberi pencahayaan selama 12 jam. 4.3. Pengaruh Intensitas Cahaya Kultur C. gracilis terhadap Kepadatan Biomassa, Rendemen Ektrak dan Aktivitas Antibakterinya Cahaya merupakan faktor utama yang mempunyai peranan penting untuk pertumbuhan mikroalga sebagai sumber energi dalam fotosintesis. Intensitas cahaya yang baik bagi mikroalga untuk melakukan fotosentesis berkisar antara 2-3 kilo lux. Cahaya matahari yang diperlukan oleh mikroalga dapat diganti dengan lampu TL atau tungsten (Myers 1962). Selama masa pertumbuhan, jumlah sel terus bertambah dan berat biomassa pun akan terus naik. Akan tetapi ketika mencapai fase stasioner, jumlah sel tidak mengalami kenaikan dan cenderung konstan. Hal ini antara lain karena berkurangnya nutrisi. Perubahan kondisi lingkungan (kultur) pada mikroalga menyebabkan sel menghasilkan senyawa autoinhibitor. Pembentukan senyawa autoinhibitor dapat mempersingkat pertumbuhan sel dalam kultur karena pertumbuhan sel menjadi menurun (Fogg 1975). Panen biomassa kultur biasanya dilakukan pada saat fase stasioner agar jumlah biomassanya mencapai maksimal. Kemudian, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pribadi (1998) bahwa ekstrak C. gracilis pada fase stasioner memiliki aktivitas antibakteri terbesar dibandingkan pada fase lain. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kultur dipanen pada pertengahan fase stasioner yaitu 35 hari ke-10, 12 dan 15 masing – masing untuk kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm, 9 dan 15 cm. Pengaruh jarak pencahayaan pada kultur selama kultivasi terhadap kepadatan biomassa kultur yang dipanen pada fase stasioner, berat ekstrak dan uji aktivitasnya terhadap bakteri S. aureus dan V. harveyi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh intensitas cahaya terhadap kepadatan biomassa, rendemen ekstrak dan aktivitas antibakteri C. gracilis Jarak cahaya Umur Panen (hari) Berat Biomassa Kering Kepadatan Biomassa Berat ekstrak Rendemen esktrak (%) 3 cm 10 9 cm % reduksi terhadap kontrol positif S.aureus V. harveyi 1,15g 0,19 g/L 0,38 g 33,17 22,1 30,1 12 1,21g 0,20 g/L 0,42 g 34,75 23,1 32,3 15 cm 16 1,45g 0,24 g/L 0,52 g 35,77 25 34,4 Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa pada fase stasioner, kepadatan biomassa yang paling besar berasal dari kultur dengan jarak pencahayaan 15 cm yaitu sebesar 0,24 g/L. Kemudian diikuti oleh kultur dengan jarak pencahayaan 9 cm yaitu sebesar 0,20 g/L dan terakhir kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm yaitu sebesar 0,19 g/L. Kultur dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki kepadatan biomassa yang paling besar karena dipanen pada umur yang lebih tua yaitu 15 hari. Selain itu, kultur ini juga memiliki fase logaritmik yang lebih panjang sehingga menghasilkan biomassa yang lebih banyak. Rendemen esktrak yang paling banyak diperoleh dari kultur dengan jarak pencahayaan 15 cm yaitu sebesar 35,77%. Kemudian diikuti oleh kultur dengan jarak pencahayaan 9 cm, yaitu sebesar 34,75% dan kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm memiliki rendemen esktrak yang paling sedikit yaitu 33,17%. Hashimoto (1979) menyatakan bahwa turunan asam akrilat (acrylic acid) pada alga umumnya menyebabkan aktivitas antibakteri. Asam lemak yang mempunyai berat molekul rendah ini tersebar luas pada alga coklat dan alga hijau serta sejumlah phytoplankton. Hal ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan Wang (1999), hasilnya menunjukkan bahwa senyawa aktif yang bersifat antibakteri dari genus Chaetoceros merupakan golongan asam lemak. 36 Esktrak kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki rendemen ekstrak antibakteri yang paling besar diduga karena fase stasionernya lebih lama sehingga dapat mengakumulasi senyawa antibakteri lebih banyak. Selain itu, intensitas cahaya yang lebih rendah pada kultur dengan jarak pencahayaan 15 cm diduga memacu produksi senyawa antibakteri berupa asam lemak yang lebih banyak. Liang et al. (2001) melaporkan bahwa jumlah total lipid pada Chaetoceros gracilis, Cylindrotheca fusiformis dan Phaeodactylum tricornutum (B114) yang ditumbuhkan pada intensitas 5000 lux lebih sedikit dibanding yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya 1500 lux. Kemudian, total asam lemak tidak jenuh (polyunsaturated fatty acid) pada diatom tersebut menurun seiring dengan bertambahnya intensitas cahaya pada kultur. Perhitungan nilai kepadatan biomassa dan rendemen esktrak dapat dilihat pada Lampiran 3. Besarnya aktivitas suatu senyawa antibakteri dapat dilihat dari kemampuan senyawa tersebut untuk mereduksi nilai OD (Optical Density) kultur bakteri yang diinkubasi tanpa penambahan senyawa antibakteri (kultur kontrol negatif). Uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus yang dilakukan dengan pengukuran optical density (OD) menunjukkan bahwa senyawa antibakteri kultur yang memiliki persentase reduksi paling besar terhadap kontrol negatif adalah senyawa antibakteri yang berasal dari biomassa kultur dengan pencahayaan 15 cm yaitu sebanyak 25 %, kemudian diikuti kultur pencahayaan 9 cm yaitu sebesar 23,1 % dan kultur dengan pencahayaan 3 cm memiliki persentase reduksi yang paling kecil yaitu sebesar 22,1 %. Hal yang sama juga terjadi pada bakteri uji V. harveyi. Persentase reduksi paling besar terhadap kontrol negatif yaitu 34,4 % berasal dari biomassa kultur dengan jarak pencahayaan 15 cm, kemudian diikuti oleh kultur dengan jarak pencahayaan 9 cm yaitu sebesar 32,3 % dan persentase reduksi yang paling kecil diperoleh dari biomassa kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm yaitu sebesar 30,1 %. Data persentase reduksi OD kultur S.aureus dan V. harveyi dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 5 dan 6. Berdasarkan hasil pengamatan, kloramfenikol memiliki nilai presentase reduksi OD kontrol negatif yang lebih besar dari seluruh senyawa ekstrak C. gracilis yaitu 84,6 % pada bakteri S. aureus dan 88,2 % untuk bakteri Vibrio 37 harveyi. Hal ini terjadi karena kloramfenikol memiliki tingkat kemurnian yang lebih tinggi. Senyawa esktrak dari kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki persentase reduksi yang paling besar dan ini berarti bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas antibakteri yang lebih kuat. Perbedaan kekuatan aktivitas antibakteri bisa disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa kimia didalamnya. Mendiola et al. (2006) melaporkan bahwa komposisi kimia senyawa ekstrak Chaetoceros muelleri (gracilis) menentukan aktivitas antibakterinya. Total trigliserida dan kandungan DPA (Deicosapentaenoic acid) merupakan parameter yang menetukan aktivitas antimikroba dari ekstrak. Selain itu, berdasarkan penelitian Liang et al. (2001), komposisi asam lemak pada mikroalga Cylindrotheca fusiformis, Phaeodactylum tricornutum, Nitzschia closterium dan Chaetoceros gracilis berubah pada intensitas cahaya kultur yang berbeda. Kultur C. gracilis dengan jarak penyinaran 15 cm dipanen pada hari ke-16 dan menurut Noaman et al (2004) bahwa suhu 350C, pH 8 dan inkubasi selama 15 hari merupakan kondisi yang bagus untuk pertumbuhan dan produksi senyawa antibakteri dari mikroalga. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Rendemen ekstrak C. gracilis yang dihasilkan dari ekstraksi dengan waktu pemecahan sel 5, 10 dan 15 menit masing-masing adalah 30,12%, 33,32% dan 37,56%. Rata-rata diameter zona hambat dari ketiga ekstrak dengan waktu pemecahan sel 5, 10 dan 15 menit adalah sama yaitu untuk Vibrio harveyi sebesar 8 mm serta untuk Staphylococcus aureus yaitu 3 mm. Kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm memiliki konstanta laju tumbuh yang paling cepat yaitu sebesar 0,55 pembelahan sel/hari, kemudian kultur dengan jarak pencahayaan 9 cm memiliki konstanta laju tumbuh sebesar 0,54 pembelahan sel/hari dan kultur dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki konstanta laju tumbuh paling kecil yaitu 0,43 pembelahan sel/hari. Kultur C. gracilis dengan jarak pencahayaan 15 cm memiliki fase logaritmik dan stasioner yang lebih lama dibandingkan dengan yang lain. Pada pemanenan di fase stasioner, berat biomassa dan persentase rendemen ekstrak yang paling besar berasal dari kultur dengan jarak pencahayaan 15 cm (1,45 gram dan 35,77 %.) Kemudian diikuti oleh kultur dengan jarak pencahayaan 9 cm (1,21 gram dan 24,75 %) dan terakhir kultur dengan jarak pencahayaan 3 cm yaitu (1,15 gram dan 33,17 %). Persentase reduksi yang paling besar terhadap OD kultur S. aureus dan V. harveyi (kultur tanpa penambahan antibakteri / kultur negatif) adalah 25 % dan 34,4 % yang berasal dari ekstrak senyawa antibakteri kultur dengan pencahayaan 15 cm, kemudian diikuti kultur dengan pencahayaan 9 cm yaitu sebesar 23,1 % dan 32,3 %. Kultur dengan pencahayaan 3 cm memiliki persentase reduksi yang paling kecil yaitu sebesar 22,1 % dan 30,1 %. 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, disarankan: 1) Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan laju fotosintesis mikroalga C. gracilis tehadap produksi senyawa antibakterinya 2) Perlu pengujian aktivitas antibakteri C. gracilis terhadap bakteri lain yang merugikan bagi manusia. 39 3) Perlu proses pemurnian dan identifikasi senyawa aktif dari C. gracilis yang bersifat antibakteri. 4) Perlu penelitian tentang aplikasi senyawa antibakteri tersebut terhadap produk pangan dan nonpangan. DAFTAR PUSTAKA Abraham TJ. 2004. Antibacterial marine bacterium deterluminous vibriosis in shrimp larvae. NAGA, Worldfish Center Quarterly 27 (3&4): 28-31 Achmadi SS. 1992. Teknik Kimia Organik. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. US: Cambridge University Press. Bell SM. 1984. Antibiotic sensitivity testing by the CDS methods. Dalam : Hartwig N. Editor. Clinical Microbiology Up Date Programme. New South Wales: The Prince of Wales Hospital, Randwick. Biospec. 2007. Cell disrupters. http://www.biospec.com/Lab%20Cell%20Disrup ters%20Review.htm. [15 Maret 2007]. Bold CH, Wynne JM. 1985. Introduction to Algae Structur And Reproduction. Englewood Cliffs: Prentice-hall,Inc. Borowitzka MA, Borowitzka LJ .1988. Micro-algal Biotechnology. Britain: Cambridge University Press. Great Butterworth, Heineman. 1992. Product Recovery in Bioprocess Tech. Nederland: Valkenburgerwey 167. Chrismadha T, Nasution SH, Mardiati Y, Rosidah, Kurniasih A. 1997. Respon tumbuh alga Ankistrodesmus convulutus dan Chlorella sp. terhadap intensitas cahaya. LIMNOTEK . Vol. 4. ( 1 ): 15 -22. Cowan MM. 1999. Plant product as antimicrobial agents. American Society for Microbiology. Clinical Microbiology Reviews. Vol 12: 564-582. De La Noue J, De Pauw N 1988. The potential of microalgal biotechnology : a review of production and uses of microalgae. Journal of Biotechnology Advances. Vol 6 : 152-167. Britain: Pergamon Press. ESR Ltd. 2001. Staphylococcus aureus. http://www.nzfsa.govt.nz/science/data sheets/staphylococcus-aureus.pdf. [30 Juni 2006]. Fogg, GE. 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology. University of Winsconsin Press . London: The Frazier WC, Westhoff DC. 1988. Food Microbiology. Ed ke-4. New York: Mc.Graw-Hill Book Co. [GFDL] GNU Free Documentation Lisence. 2006. Cell disruption. http://en.wikipedia.org/wiki/Cell_disruption#Laboratory-scale_methods [19 Juli 2006]. Grima EM, Fernandez FGA, Medina AR. 2004. Downstream processing of cell mass and products. Di dalam: Richmond A. Editor. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. Australia: Blackwell Science Ltd. 41 Harborne JB. 1987. Metode Fotokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung. Hart H. 1987. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat. Achmadi S, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : Organic Chemistry. Hashimoto Y. 1979. Marine Toxic and Other Bioactive marine Metabolites. Konosu S, Hashimoto K, Onove Y, Fusetani N, penerjemah. Tokyo: Japan Scientific Soc. Press. Holt JG, Krieg HR, Sneath PHA, Staley JT, Williams ST. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Ed ke-9. Maryland: Williams and Wilkins. Itech. 2006. Stain. http://itech.pjc.edu/fduncan/mcb1000/stain.pdf. [12 Juli2006]. Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius. Jamaludin D. 2005. Studi awal kandungan steroid dan uji aktivitas antibakteri ikan laut dalam (Satyrichthys welchi) di perairan selatan Jawa. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Lailati N. 2007. Metode ekstraksi dan uji antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. IPB. Lavilla-Pitogo CR. 1995. Bacterial disease of penaeid shrimps: An Asian New. Journal of Disease in Asian Aquaculture. Vol 11: 107-116. Lay BW, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi. Jakarta: Rajawali Press. Lennete, HE, Spaulding EH, Truant JP. 1974. Manual Clinical Microbiology. United States : The National Microbiology Institute. Liang Y, Mai KS, Sun SC. 2001. Effect of light intensity on the total lipid and fatty acid composition of six strains of marine diatoms. Journal of Chinese Oceanology and Limnology. Vol 19 : 249-254. Science Press. Lohner K, Austria G. 2001. Development of Novel Antimicrobial Agents: Emerging Strategies. England: Horizon Scientific Press. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2003. Brock’s Biology of Microorganisms. Ed ke-10. New York: Prentice Hall. McConnaghey BH. 1974. Introduction to Marine Biology. Ed ke-2. Saint Louis: The Mosby Company. Meighen E. 1991. Molecular biology of bacterial bioluminescence. Microbiology Rev. Vol. 55: 123–142. Mendiola JA, Torres CF, Tore A, Martin PJ, Alvarez, Santoyo S, Arredondo BO, Senorans FJ, Cifuentes A, Ibanez E. 2006. Use of supercritical CO2 to obtain extracts with antimicrobial activity from Chaetoceros muelleri microalga. A correlation with their lipidic content. Journal of Europen 42 Food Research and Technology. Vol 224 : 505-510. Berlin : Springerverlag Heidelberg. Metting B, Pyne JW. 1986. Biologically active compounds from microalga. Journal of Enzyme Microb. Technology . Vol.8 : 386-394. Butterworth and Co. Published. Moriarty DJW. 1999. Microbial biosystem; new frontiers. Dalam: Bell CR, Bryhnsky M, Johnson GP. Editors. Proceeding of the 8th International Symposium on Microbial Ecology. Canada. Myers. 1962. Laboratory cultures. Dalam: Lewin, R A. Editor. Physiology and Biochemistry of Algae. New York: Academic Press . Noaman NH, Fattah A, Khaleafa M, Zaky SH, 2004. Factors affecting antimicrobial activity of Synechococcus leopoliensis. Microbiological Research,Vol. 2 159, 395-402. Nur M, Adijuwana H. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. Bogor : PAU Ilmu Hayati . IPB. Nontji A. 1996. Indonesian potential in developing marine biotechnology. dalam: Proceedings on the First Indonesian Seminar on Marine Biotechnology. Pelczar MJ, Chan GCS. 2005a. Dasar-dasar Mikrobiologi I. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Microbiology I. . 2005b. Dasar-dasar Mikrobiologi II. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Microbiology II. Presscott LM, Harley JP, Klein DA. 2002. Microbiology. Ed ke-5. New York: McGraw-hill Inc. Pribadi TDK. 1998. Ekstraksi senyawa antibakteri dari mikroalga laut jenis Chaetoseros gracilis dan uji aktivitasnya terhadap beberapa bakteri. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. IPB. Rachdiati H. 2003. Menanam rumput laut, memanen antibiotik. http://www. Kehati.or.id/news/view.php?q=166&categ=kliping%20Berita. [12 April 2007]. Round FE, Crawford RM, Mann DG. 1996. The Diatom Biology and Morphology of The Genera. Great Britain: Cambridge University Pres Rukyani A. 1992. Penyakit kunang-kunang: dampak terhadap produksi benur udang windu dan upaya penanggulangannya. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 9 (4): 32-36. Sadjad S. 1993. Kamus Pertanian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo). Schunack W, Mayer K, Haake M. 1990. Senyawa Obat. Buku Pelajaran Kimia Farmasi. Ed ke-2. Yogyakarta: UGM Press. 43 Se-ed. 2007. Vibrio harveyi. http://www. Se-ed.net/…/research/foto2_vibrio.gif. [6 April 2007] Stewart. WDP. 1974. Algal Physiology and Biochemistry. London: Blackwell Scientific Publ. Sutomo. 2005. Kultur tiga jenis mikroalga (Tetraselmis sp., Chlorella sp. dan Chaetoceros gracilis) dan pengaruh kepadatan awal terhadap pertumbuhan C. gracilis. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2005. Vol. 37 : 43 – 58 Thiel T. 1999. Introduction to bacteria. www.umsl.edu/~microbes/pdf/introducti ontobacteria.pdf. [12 Juli 2006]. Todar. 2002. The normal flora of humans. USA: Departemen of Biotechnology. University of Wisconsin-Madison. http://www..bact.wisc.edu/…. [06 April 2007]. Tufts. 2007. How Antibiotics Work-The Mechanism of Action. http://www.tufts.edu/med/apua/Miscellaneous/mechanisms.html [1 Mei 2007] Wang JK. 1999. Antibacterially active extracts from the marine algae Chaetoceros and methods of use. US Patent. 5.866.150 Winarno. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. LAMPIRAN 45 Lampiran 1. Tabel medium Guillard yang telah dimodifikasi 1. NaNO3 dan NaH2PO4.H2O** NaNO3 8,451 g NaH2PO4. H2O 1g Aquadest 100 ml 2. Na2SiO3.H2O** Na2SiO3.H2O 1,2 g Aquadest 100 ml 3. FeCl3.H2O** FeCl3.H2O 0,145 g Aquadest 100 ml 4. NaEDTA** NaEDTA 1g Aquadest 100 ml 5. Vitamin Stock** Vitamin B1 20 µl Biotin 1 ml atau 0,01 g/100 ml Vitamin B12 1 ml atau 0,01 g/100 ml Aquadest 100 ml 6. Trace Elements** Trace Metal A* CuSO4.5H2O 1,95 g ZnSO4.7H2O 4,4 g Aquadest 100 ml Trace Metal B* NaMoO4.2H2O 1, 26 g (NH4).Mo7O24.4H2O 6,43 g Aquadest 100 ml Trace Metal C* MnCl2.4H2O 3,6 g Aquadest 100 ml Trace Metal D* CoCl2.6H2O 2g Aquadest 100 ml * masing – masing 0,1 ml/ml aquadset **masing – masing 1 ml/1000 ml air laut Ket : Na2SiO3.H2O dan Vitamin Stock yang digunakan berupa Na2SiO3.H2O dan Vitamin Stock teknis Sumber : Puslitbang Oseanologi LIPI-Ancol Dalam Pribadi, 1998) 46 Lampiran 2. Data Laju Pertumbuhan Perhitungan konstanta laju pertumbuhan mikroalga C. gracilis k = ln (xt/xo) ln2xt k = laju tumbuh xt = kepadatan sel pada hari t (sel/ml) xo = kepadatan awal sel (sel/ml) t = waktu (hari) A. Nilai kepadatan sel dan kurva C. gracilis pada suhu ruang (29-30oC) dan penyinaran 24 jam dengan jarak pencahayaan 3 cm o Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 k= Suhu ruang (29-30 C) dan penyinaran 12 jam jumlah sel log jumlah sel Hari kejumlah sel 300000 5,477121 10 6000000 1775000 6,249198 11 5950000 2250000 6,352183 12 5000000 3200000 6,50515 13 4200000 4200000 6,623249 14 3500000 5000000 6,69897 15 3250000 5600000 6,748188 16 2500000 5950000 6,774517 17 1700000 6250000 6,79588 18 1000000 6050000 6,781755 19 725000 ln (xt /xo) ln2 x t = ln (6250000/300000) 0,693 x 8 = 0,55 pembelahan sel/hari log jumlah sel 6,778151 6,774517 6,69897 6,623249 6,544068 6,511883 6,39794 6,230449 6,000000 5,860338 47 B. Nilai kepadatan sel dan kurva C. gracilis pada suhu ruang (29-30oC) dan penyinaran 24 jam dengan jarak pencahayaan 9 cm Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Suhu ruang (29-30 oC) dan penyinaran 12 jam jumlah sel log jumlah sel Hari kejumlah sel 325000 5,511883 10 5650000 1425000 6,153815 11 5900000 1750000 6,243038 12 5700000 2800000 6,447158 13 5450000 3225000 6,50853 14 5550000 4050000 6,607455 15 5750000 4700000 6,672098 16 4500000 4800000 6,681241 17 2950000 6625000 6,821186 18 1925000 6000000 6,778151 19 1150000 log jumlah sel 6,752048 6,770852 6,755875 6,736397 6,744293 6,759668 6,653213 6,469822 6,284431 6,060698 k = ln (xt/xo) ln2 x t = ln (6625000/325000) 0,693 x 8 = 0,54 pembelahan sel/hari C. Nilai kepadatan sel dan kurva C. gracilis pada suhu ruang (29-30oC) dan penyinaran 24 jam dengan jarak pencahayaan 15 cm Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 jumlah sel 250000 750000 1000000 1300000 1500000 2100000 2500000 3000000 4000000 5000000 6250000 6500000 6000000 log jumlah sel 5,39794 5,875061 6,000000 6,113943 6,176091 6,322219 6,39794 6,477121 6,60206 6,69897 6,79588 6,812913 6,778151 Hari ke13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 jumlah sel 5800000 5500000 5450000 5600000 5200000 5300000 5000000 4500000 3750000 3000000 2500000 1500000 1000000 k = ln (xt /xo) ln2 x t = ln (6500000/250000) = 0,43 pembelahan sel/hari 0,693 x 11 log jumlah sel 6,763428 6,740363 6,736397 6,748188 6,716003 6,724276 6,69897 6,653213 6,574031 6,477121 6,39794 6,176091 6,000000 48 Lampiran 3. Perhitungan nilai rendemen dan kepadatan biomassa 1. Perhitungan nilai rendemen eksrak A Rendemen = × 100% B Keterangan: A = Berat ekstrak intraseluler (gram) B = Berat biomassa (gram) Berat biomassa (kering) : 0,3 g Berat ekstrak: 0.03 gram Rendemen = 0.03 / 0.3 × 100% = 30,12% 3. Perhitungan Yield dari biomasa kering yield = Berat biomasa ker ing ( gram) Volume panen ( L) Berat biomasa kering : 1,15 g Volume panen : 6 L Yield = 1,15 gram = 0,19 gram / L 6L 49 Lampiran 4. Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas antibakteri 1. Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas antibakteri (Metode Agar Tuang ) Ve ×m Vp [ekstrak] = Va Keterangan: [ekstrak] = Konsentrasi ekstrak (µg/ml) Ve = Volume ekstrak yang diambil (µl) Vp = Volume pelarut (µl) Va = Volume media agar yang digunakan (ml) m = Massa ekstrak (µg) Volume agar yang digunakan (Va): 15 ml Volume ekstrak yang diambil (Ve): 10 µl Massa ekstrak yang digunakan (m): 0.015 gram = 15000 µg Volume pelarut (Vp): 0,5 ml = 500 µl 10 × 15000 500 Jadi [ekstrak] = = 20 μg ml 15 [ekstrak] = 10 µl × 15000 µg = 300 µg / disc 500 µl 2. Perhitungan ekstrak pada uji aktivitas antibakteri (Teknik Tabung Pengenceran) Ve ×m Vp [ekstrak] = Va Keterangan: [ekstrak] = Konsentrasi ekstrak (µg/ml) Ve = Volume ekstrak yang diambil / diteteskan (µl) Vp = Volume pelarut (µl) Va = Volume media yang digunakan (ml) m = Massa ekstrak (µg) Volume MHB yang digunakan (Va): 15 ml Volume ekstrak yang diambil (Ve): 20 µl Massa ekstrak yang digunakan (m): 0.015 gram = 15000 µg Volume pelarut (Vp): 1 ml = 1000 µl 20 × 15000 = 20 μg ml Jadi [ekstrak] = 1000 15 Lampiran 5. Data OD S. aureus dan V. harveyi Data OD S. aureus kontrol 3 cm 9 cm 15 cm kloramfenikol Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 ODmedia+seny..esktrak+bakteri OD media + seny. (awal) esktrak+bakteri (akhir) selisih OD awal dan akhir 0,01 0,48 0,47 0,03 0,6 0,57 0,02 0,37 0,35 0,04 0,5 0,46 0,05 0,35 0,3 0,04 0,54 0,5 0,07 0,5 0,43 0,06 0,41 0,35 0,03 0,08 0,05 0,04 0,15 0,11 rata – rata OD Selisih OD % reduksi 0,52 0,405 0,115 22,1 0,4 0,12 23,1 0,39 0,13 25 0,08 0,44 84,6 Contoh perhitungan : % reduksi 3 cm = (rata-rata OD kontrol) - (rata-rata OD Perlakuan) X 100% = 0,52 – 0,405 X 100 % = 22,1% rata-rata OD kontrol 0,52 Data OD V. harveyi ODmedia+seny..esktrak+bakteri selisih OD awal dan akhir 0,01 0,5 0.49 0,02 0,46 0.44 0,03 0,35 0.32 0,04 0,37 0.33 0,06 0,28 0.33 0,07 0,37 0.3 0,08 0,3 0.22 0,06 0,45 0.39 0,03 0,08 0.05 0,04 0,1 0.06 (awal) kontrol 3 cm 9 cm 15 cm kloramfenikol Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 % reduksi OD media + seny. esktrak+bakteri (akhir) rata - rata OD Selisih OD 0,465 0,325 0,14 30,1 0,315 0,15 32,3 0,305 0,16 34,4 0,055 0,41 88,2 Contoh perhitungan : % reduksi 3 cm = (rata-rata OD kontrol) – (rata-rata OD Perlakuan) X 100% = 0.465-0.325 X 100% = 30,1 % Rata-rata OD kontrol 0.52