I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa kemanusiaan, maka berpengaruh pada prilaku yang negatif. Munculnya tindak pidana baru pada bidang ilmu pengetahuan yang berkembang tersebut menimbulkan gangguan ketentraman, ketenangan bahkan kerugian materil maupun immateril bagi masyarakat. Salah satu kejahatan yang sering terjadi pada saat ini adalah kejahatan dibidang farmasi, yaitu obat-obatan. Mengingat pentingnya Obat dalam memenuhi kebutuhan penyembuhan kesehatan masyarakat, maka sebaiknya konsumen lebih teliti dalam memilih obat. Dan memahami bahwa tidak semua obat dapat di konsumsi secara bebas, karena ada beberapa obat yang memang memerlukan resep dokter untuk bisa mengkonsumsinya, yaitu obat keras. Pengertian Obat dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Obat keras adalah obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep dokter, dimana pada bungkus luarnya diberi tanda bulatan dengan lingkaran hitam dengan dasar merah yang didalamnya terdapat huruf "K" yang menyentuh lingkaran hitam tersebut. Termasuk juga semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang digunakan secara parenteral baik dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain dengan jalan merobek jaringan. Meskipun pengaturan mengenai pendistribusian obat-obatan sudah dipertegas dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Namun kejahatan di bidang farmasi ini terus terjadi. Di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM mengawasi distribusi peredaran obat-obatan, menemukan banyak kasus penjualan obat keras di toko-toko obat yang dalam hal ini penjualan obat keras tanpa keahlian dan kewenangan. Obat-obatan yang dijual di apotik biasanya berasal dari distributor obat yang memang menyediakan obat hasil produksi perusahaan farmasi (Pharmaceutical company). Apotik mempunyai izin resmi dari dinas kesehatan setempat dan dibawah pengawasan seorang apoteker, sehingga obat yang didapatkan dari apotik bisa kita jamin kualitas dan keasliannya. Selain di apotik, obat juga bisa didapatkan melalui toko obat. Toko obat yang banyak kita temui sekarang ini, menjual bermacam-macam produk kesehatan. seperti obat sakit kepala, obat demam, dan obat-obat lainnya yang seharusnya menyembuhkan penyakit yang diderita konsumen. Namun, sering ditemukan obat-obat keras yang memang dapat di konsumsi masyarakat harus melalui resep dokter. Karena di takutkan terjadi pemakaian obat yang dapat mengancam keselamatan konsumen. Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yaitu: “Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ketentuan pidana di atur dalam Pasal 198 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, yaitu: “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Contoh kasus mengenai pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan atas nama Liani binti Djon Naga Nata telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan nomor putusan 445/PID B/2011/PN.TK yaitu mengedarkan atau mendistribusikan obat keras tanpa keahlian dan kewenangan di toko nya berupa Ponstan FCT 500, Mexon Tab, Antalgin 500 mg Corosa, Ciprofloxacin 500 mg tab. (Pra riset di Pengadilan Negeri kelas 1A Tanjung Karang). Suatu perbuatan yang dapat mengancam keselamatan konsumen atau menimbulkan kematian merupakan kejahatan dalam Undang-undang. Perbuatan jahat merupakan suatu perbuatan yang harus dipidana. Dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah pihak yang ditunjuk Undangundang yang bertugas mengedarkan obat dan memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Kebutuhan masyarakat atas perlindungan kesehatan merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi, karena langsung menyerang kebutuhan masyarakat yang primer. Kewenangan mengawasi dan bertindak dalam penerapan hukum yang berlaku oleh aparat pemerintah, sangat perlu bagi perlindungan konsumen. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu: 1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. 3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. 4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. 6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hak-hak konsumen yang di atur dalam ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Namun, Konsumen masih belum sepenuhnya menyadari hak-hak mereka, sedangkan pelaku usaha juga belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya sesuai pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Upaya penegakan hukum di masyarakat dapat mengurangi kejahatan-kejahatan yang sedang terjadi, dengan memberikan sanksi pidana kepada para pelaku dan meningkatkan upaya penanggulangan kejahatan pendistribusian Obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan. Kebijakan Hukum pidana menurut Marc Ancel adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada si pembuat Undang-Undang tetapi juga kepada pengadilan dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan Undang-Undang (Barda Nawawi Arief, 2002). Kewajiban pemerintah untuk menegakan aturan perundang-undangan yang ada untuk menanggulangi permasalahan kesehatan ini. Hukum sebagai sarana bagi penyelesaian problematika ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Upaya penegakan hukum berkaitan dengan beberapa faktor yang mempengaruhi maksimalisasi dan efektivitas hukum. Faktor-faktor tersebut adalah faktor perundang-undangan, faktor penegak hukum dan faktor kesadaran hukum (Soerjono Soekanto, 1983). Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menulis tentang “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Pendistribusian ObatObatan tanpa keahlian dan Kewenangan”. B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan sebelumnya, ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan? 2. Faktor apakah yang menjadi penghambat dalam penanggulangan distributor obat tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan masyarakat? 2. Ruang Lingkup Permasalahan dalam penelitian ini memiliki ruang lingkup yang meliputi dua hal, yaitu: 1. Ruang lingkup bidang ilmu Bidang ilmu yang digunakan adalah hukum pidana, yaitu analisis kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat tanpa keahlian dan kewenangan. 2. Ruang lingkup bidang bahasan Ruang lingkup kajian bahasan tersebut meliputi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perundang-undang mengenai kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan di wilayah Lampung tahun 2010-2011. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan. 2. Untuk mengetahui faktor yang menjadi penghambat dari penegakan hukum pidana terhadap distributor obat tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan masyarakat. 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis Secara teoritis penulisan skripsi ini diharapkan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan tentang hukum dan pengembangan daya pikir yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dimiliki guna memecahkan setiap permasalahan dan memberikan sumbangan bagi perkembangan Hukum Pidana mengenai peranan hukum pidana terhadap pendistribusian obat tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam keselamatan konsumen. b. Kegunaan Praktis Penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada praktisi hukum khususnya, serta kepada masyarakat umumnya untuk mengetahui dan turut serta berpartisipasi dalam penanggulangan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasar nya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensidimensi sosial yang relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1981: 116). Pengertian kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah ini sering dikenal dengan beberapa istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek” Pengertian kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana menurut Sudarto dikutip oleh Barda Nawawi Arief (2002: 24) adalah: 1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 2. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturanperaturan yang dikehendaki yang diperkirakan bias digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pengertian kebijakan hukum pidana atau “penal policy” menurut Marc Ancel secara singkat dapat dinyatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Kebijakan hukum pidana atau “Strafrechtspolitiek” menurut A. Mulder adalah garis kebijakan untuk menentukan: 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Definisi Mulder bertolak dari pengertian system hukum pidana menurut Marc Ancel yang menyatakan bahwa yang terorganisir memiliki system hukum pidana yang terdiri dari: 1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; 2. Suatu prosedur hukum pidana; 3. Suatu mekanisme pelaksanaan (pidana). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Penegakan hukum pidana dilakukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Penegakan hukum pidana menurut teori yang dikemukakan oleh G.P Hoefnagel yaitu penanggulangan kejahatan pendistribusian obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan masyarakat melalui jalur “non-penal” yang menitik beratkan sifat “preventif” (pencegahan) sebelum kejahatan terjadi dan melalui jalur “penal” (hukum pidana) yang menitik beratkan sifat “represif” (pemberantasan) setelah kejahatan terjadi (Barda Nawawi Arif, 2002: 42) Hukum merupakan alat yang sangat ampuh dalam mengatasi masalah-masalah kejahatan ditengah masyarakat. Tujuan penegakan hukum pidana adalah untuk mengamankan agar hukum dapat diselenggarakan dengan baik untuk mengayomi serta bertugas melindungi tertib Negara Pancasila, dimana keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan perorangan dengan menanggulangi perbuatan yang merintangi tujuan hukum dengan memberikan sanksi-sanksi pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan melihat pada ketentuan dalam Undang-Undang 7 tahun 1963 tentang Farmasi. Serta akan membahas mengenai BPOM yang mengawasi penjualan obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan yang saat ini banyak beredar di masyarakat dan para aparat penegak hukum yang berperan dalam penegakan hukum dalam upaya penanggulangan kejahatan yang terjadi ditengah masyarakat. Untuk menjawab permasalahan faktor penghambat penanggulangan peredaran obat-obatan tanpa keahlian dan kewenangan yang mengancam kesehatan konsumen mendasarkan pada pendapat paradigma hukum Ferdinan, bahwa penegakan hukum terhadap pendistribusian obat tanpa keahlian dan kewenangan terdiri dari tiga faktor: a. Faktor perundang-undangan, substansi hukum Bahwa semakin memungkinkan penegakannya, sebaliknya semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sulit menegakkannya. Secara umum bahwa peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofi. b. Faktor Penegak Hukum Bahwa faktor penegak hukum ini menentukan proses penegakan hukum yaitu pihak-pihak yang menerapkan hukum tersebut. Adapun pihak-pihak ini yang langsung berkaitan dengan proses penegakan hukum pidana terhadap pendistribusian obat-obat keras tanpa keahlian dan kewenangan yang dapat mengancam kesehatan konsumen. c. Faktor kesadaran hukum Bahwa ini merupakan bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum dan kesadaran hukum merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu, sedangkan kesadaran masyarakat yang memungkinkan untuk dilaksanakannya penegakan hukum itu (Soerjono Soekanto, 1983: 5) Pembagian ketiga faktor ini dapat di kaitkan dengan masalah penegakan hukum pidana dan kebijakan kriminal dengan melihat dari teori yang dikemukakan oleh G.P Hoefnagel sebenarnya terletak pada faktor yang mempengaruhinya (Soerjono Soekanto, 1983: 5) yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri. 2. Faktor penegak, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun penerapan hukum. 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yaitu faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, karena merupakan esensi dari penegakan hukum guna menanggulangi kejahatan pendistribusian obat-obat tanpa keahlian dan kewenangan. 2. Konseptual Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep khususnya yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1981: 124) Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Analisis adalah penyidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya sebab-musabab, duduk perkaranya dan sebagainya (Poerwadarminta, 1995: 37). b. Kebijakan Hukum pidana menurut Marc Ancel adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada si pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang (Barda Nawawi Arief, 2002). b. Penanggulangan tindak pidana adalah pelaksanaan kebijakan kriminal yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan oleh aparat penegak hukum, dengan menggunakan sarana pidana secara penal maupun secara diluar hukum pidana/secara nonpenal, dalam rangka penegakan hukum dan tercapainya kepastian hukum (Andi Hamzah, 1986: 18). c. Distributor adalah setiap orang perseroan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi (Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999). d. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Pasal 1 Ayat (8) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). e. Kewenangan adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang, yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat (Soerjono Soekanto, 2003: 92). E. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka perlu disusun sistematika penulisan sebagai berikut: I. PENDAHULUAN Bab ini berisikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian, Penentuan Populasi dan Sampel, Pengumpulan dan Pengolahan Data, Analisis Data dan Sistematika Penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan tentang pemahaman terhadap pengertian yang berhubungan dengan pembahasan yaitu obat-obatan, dasar hukum dalam mekanisme peredaran obat-obatan berdasarkan peraturan dalam bidang Kesehatan, Farmasi, Perlindungan Konsumen, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, kebijakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan kejahatan. III. METODE PENELITIAN Bab ini berisikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkahlangkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang terdiri dari pendekatan masalah, Sumber dan Jenis Data, Populasi dan Sampel, Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data, serta Analisis Data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisikan hasil dari permasalahan yang telah dirumuskan dan memuat tentang analisis kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pendistribusian obat tanpa keahlian dan kewenangan. V. PENUTUP Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan, serta saran-saran penulis yang berkaitan dengan pokok permasalahan.