Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menggunakan Self Reporting Questionnaire (SRQ), menunjukkan bahwa rata-rata 11,6% penduduk dari semua provinsi di Indonesia, usia 15 tahun keatas, mengalami gangguan mental emosional. SRQ ini diberikan ke 33 provinsi di Indonesia, yang terdiri dari 438 kabupaten atau kota (Idaiani, Suhardi, & Kristanto, 2009). Menurut Direktur Bina Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan, Irmansyah, angka tersebut menyebabkan kerugian ekonomi Indonesia hingga 20 triliun. Kerugian berasal dari hilangnya produktivitas seseorang, serta beban ekonomi dan biaya kesehatan yang harus ditanggung keluarga dan negara (Kompas, 2012). Dari hasil survey di atas, diketahui juga bahwa angka orang dengan gangguan mental emosional di Sleman, tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 12% (Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2008). Upaya untuk menangani permasalahan gangguan mental di Indonesia telah mulai dilakukan dengan menurunkan Psikolog ke layanan kesehatan primer atau Puskemas (Retnowati, 2011). Jumlah Puskesmas yang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah RS, serta rata-rata penduduk Indonesia yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, mendorong pemerintah untuk mulai mengoptimalkan Puskesmas sebagai layanan kesehatan mental. Pemerintah juga berupaya mengatasi kekurangan psikolog dan psikiater dengan melatih dokter umum dan perawat agar mampu membantu pelayanan dasar kesehatan mental, seperti promosi dan deteksi (Kementrian Kesehatan, 2002). Meskipun demikian, data dari WHO (2010) menunjukkan bahwa masih terdapat treatment gap dalam layanan kesehatan mental di negara dengan tingkat pendapatan rendah dan 2 menengah, yaitu sebesar 75%. Oktarina & Praseyawati (2009) juga mengatakan bahwa 28% pengunjung Puskesmas yang menunjukkan gejala gangguan kesehatan mental, 90% tidak dapat dideteksi dan memperoleh penanganan yang sesuai. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi terhadap upaya-upaya yang dilakukan pemerintah. Menurut Hidayat, Ingkiriwang, Andri, Asnawi, Widya, & Susanto (2010), alat deteksi dini gangguan mental dapat menjadi salah satu upaya membantu mengatasi permasalahan kesehatan mental di Indonesia. Selama ini, kebanyakan pasien yang mengalami gangguan mental, terlebih dahulu datang ke Puskesmas dengan berbagai keluhan yang tidak jelas dan terkait dengan kondisi fisik (Retnowati, 2011). Dalam hal ini, sensitivitas dokter dan perawat dalam mengidentifikasi keluhan pasien menjadi faktor yang sangat penting. Akan tetapi, jumlah pasien yang sangat banyak, serta terbatasnya tenaga medis, seringkali membuat dokter dan perawat di Puskesmas terbatas dalam melakukan asesmen. Oleh karena itu, seringkali pasien yang sebenarnya mengalami gangguan mental, mendapatkan diagnosis yang kurang tepat dan menghabiskan biaya untuk pemeriksaan laboratorium dan pengobatan yang tidak tepat (Oktarina & Praseyawati, 2009). Salah satu gangguan yang memiliki prevalensi tinggi adalah Gangguan Obsesif Kompulsif. Dalam sejumlah penelitian epidemiologis di Eropa, Asia, dan Afrika, Gangguan Obsesif Kompulsif termasuk dalam 4 besar gangguan yang paling sering ditemukan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Menurut National Institute of Mental Health (2004), sekitar 2,2 juta orang dewasa di Amerika (usia 3 18 tahun atau lebih) memiliki OCD. Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh National Comorbidity Survey, ditemukan bahwa dari 2073 responden, lebih dari seperempatnya menunjukkan simtom-simtom OCD (Ruscio, 2008). Selain itu, setidaknya 1 dari 200 anak-anak dan remaja mengalami OCD (Bell, 2012). Berdasarkan DSM IV-TR, Gangguan Obsesif-Kompulsif dapat ditegakkan apabila memenuhi kriteria: (A) memiliki obsesi atau kompulsi, atau keduanya; (B) pada beberapa titik selama gangguan, pasien mengakui bahwa obsesi atau kompulsi mereka tidak masuk akal; (C) obsesi atau kompulsi tersebut menyebabkan penderitaan, menyita waktu, dan secara signifikan mengganggu rutinitas atau kehidupan sosial pasien, pekerjaan (atau akademik), atau fungsi hidupnya; (D) jika pasien memiliki gangguan lain pada Axis I, isi obsesi atau kompulsi tidak dibatasi oleh itu; dan (E) gejala yang muncul tidak disebabkan oleh efek dari suatu zat atau kondisi medis umum (American Psychiatric Association, 2000). Obsesi dalam Gangguan Obsesif Kompulsif didefinisikan sebagai (1) pikiran dan impuls yang berulang dan terus-menerus, yang menyebabkan distres dan kecemasan; (2) pikiran dan impuls tidak hanya kekhawatiran berlebihan tentang masalah sehari-hari; (3) pasien mencoba untuk mengabaikan atau menekan pikiran dan impuls, atau mencoba untuk menetralisir dengan beberapa pemikiran atau tindakan lain; dan (4) pasien mengakui bahwa pikiran atau impuls tersebut adalah hasil dari pikirannya sendiri. Sedangkan kompulsif memiliki gejala berikut: (1) pasien merasa harus mengulang beberapa perilaku fisik (misalnya, mencuci tangan, memeriksa pintu) atau perilaku mental (misalnya, 4 berdoa, menghitung sesuatu, mengulangi kata-kata); (2) perilaku-perilaku tersebut dilakukan untuk menanggapi obsesi, atau harus dilakukan dengan mengikuti aturan yang keras; (3) perilaku-perilaku tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi distres atau mencegah peristiwa yang ditakuti; dan (4) perilakuperilaku tersebut secara realistis tidak terhubung dengan peristiwa yang dirancang untuk menetralisir atau mencegah distres (American Psychiatric Association, 2000). Gangguan Obsesif Kompulsif memiliki beragam dimensi, antara lain obsesi untuk menjaga diri dari kemungkinan mengalami bahaya dengan perilaku kompulsi mengecek dan terus bersembunyi; obsesi bentuk simetris dengan ritual mengurutkan dan menghitung; obsesi tentang kontaminasi, perilaku kompulsi mencuci tangan dan membersihkan; obsesi disertai rasa jijik terhadap seks, kekerasan, dan ritual keagamaan; dan obsesi untuk mendapatkan atau mempertahankan barang-barang, dengan perilaku kompulsi mengumpulkan dan menimbun. Beragamnya dimensi dalam Gangguan Obsesif Kompulsif sering membuat perbedaan yang cukup besar antara simtom yang dimunculkan penderita Gangguan Obsesif Kompulsif yang satu dengan penderita Gangguan Obsesif Kompulsif yang lain (Abramowitz, Taylor, & McKay, 2009). Menurut Kaplan, Sadock, & Grebb (2010), pada orang dewasa, laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang sama untuk mengalami Gangguan Obsesif Kompulsif. Pada remaja, laki-laki lebih sering mengalami Gangguan Obsesif Kompulsif dibandingkan perempuan. Usia rata-rata pertama kali seseorang mengalami Gangguan Obsesif Kompulsif adalah 20 tahun. Laki-laki 5 cenderung mengalami Gangguan Obsesif Kompulsif di usia yang lebih awal, yaitu sekitar 19 tahun, sedangkan perempuan di usia 22 tahun. Pasien dengan Gangguan Obsesif Kompulsif umumnya dipengaruhi oleh gangguan mental lain. Diagnosis psikiatrik komorbid untuk Gangguan Obsesif Kompulsif adalah depresi berat, fobia sosial, penggunaan alkohol, fobia spesifik, gangguan panik, dan gangguan makan. Berdasarkan data Sistem Informasi Kesehatan Mental (SIKM), yang dibuat oleh Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, terdapat 4 pasien dengan Gangguan Obsesif Kompulsif pada tahun 2011. Jumlah tersebut berarti, dari 7846 pasien yang terdiagnosis gangguan mental, 0,05% di antaranya adalah pasien dengan Gangguan Obsesif Kompulsif (CPMH, 2011). Prevalensi Gangguan Obsesif Kompulsif yang cenderung kecil di Sleman, bukan berati kondisi tersebut dapat diabaikan. Orang dengan Gangguan Obsesif Kompulsif tidak dapat merasakan kenyamanan dan ketenangan dalam keseharian hidupnya (Suryaningrum, 2013). Selain itu, Gangguan Obsesif Kompulsif yang tidak ditangani sejak dini, kemungkinan besar akan menjadi kronis. Tidak jarang, muncul periode dimana seseorang kehilangan insight dan mulai timbul ide paranoid sehingga menunjukkan adanya gejala psikotik (Rodowski, Cagande, & Riddle, 2008). Prevalensi yang kecil juga bukan berati bahwa orang dengan Gangguan Obsesif Kompulsif memang sedikit di Indonesia. Stigma di masyarakat Indonesia yang masih sangat kuat terhadap orang dengan gangguan mental, menghalangi mereka untuk memeriksakan diri (Syaharia, 2008). Orang dengan Gangguan 6 Obsesif Kompulsif juga sering merasa malu dengan perilakunya yang aneh sehingga cenderung merahasiakan gangguannya. Hal ini membuat Gangguan Obsesif Kompulsif sering disebut sebagai hidden disease atau gangguan tersembunyi (Torres, Prince, Bebbington, Bhugra, Brugha, Farrell, dkk., 2006). Ketidakpahaman masyarakat mengenai Gangguan Obsesif Kompulsif juga menjadi salah satu penyebab sedikitnya laporan mengenai gangguan tersebut. Melihat besarnya resiko Gangguan Obsesif Kompulsif dan keterbatasan dalam mendeteksi gangguan mental umum, termasuk Gangguan Obsesif Kompulsif, perlu adanya alat skrining untuk mendeteksi gangguan mental dengan cepat. Sayangnya, saat ini puskesmas belum memiliki alat skrining yang valid dan diakui secara luas sebagai alat deteksi dini masalah kesehatan mental umum, termasuk Gangguan Obsesif Kompulsif. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian untuk mencari alat skrining yang valid dan mudah digunakan di Puskesmas. Dengan adanya alat skrining tersebut, diharapkan Gangguan Obsesif Kompulsif dapat segera terdeteksi. Adanya alat skrining juga dapat menunjang upaya pemerintah untuk meningkatkan kesehatan mental dan mempersempit treatment gap di Indonesia. Salah satu instrumen skrining yang sering digunakan untuk mendeteksi gangguan mental umum di layanan kesehatan primer adalah General Health Questionnaire-12 atau GHQ-12 (Schmitz, Kruse, & Tress, 2001). GHQ-12 sering digunakan sebagai alat skrining gangguan mental umum karena ringkas, yaitu berisi 12 aitem, mudah diadministrasikan sehingga dapat diisi sendiri, serta memiliki reliabilitas, validitas, sensitivitas, dan spesivisitas yang memuaskan (Kawada, 7 Otsuka, Inagaki, Wakayama, Katsumata, Li, dkk., 2011; Lee, Yip, Chen, Meng, & Kleinman, 2006; Navarro, Ascaso, Esteve, Aguado, Torres, & Santos, 2007). Beberapa penelitian mununjukkan bahwa GHQ-12 dapat digunakan di kalangan remaja, dewasa, dan lansia (Kawada, Otsuka, Inagaki, Wakayama, Katsumata, Li, dkk., 2011; Padron, Galan, Durban, Gandarillas, & Artalejo, 2012). Respon dari pernyataan dalam GHQ-12 dipilih dengan membandingkan kondisi individu saat ini dengan keadaan normal. Respon terdiri dari 4 pilihan, yang berisi kalimat “kurang dari biasanya” hingga “sangat lebih dari biasanya”. Dalam penskoringannya, GHQ-12 memiliki 3 metode skoring, yaitu metode bimodal atau metode GHQ, metode Likert, dan metode Chronic GHQ atau CGHQ. Goldberg sebagai penyusun GHQ menyarankan metode GHQ atau bimodal sebagai standar skoring GHQ-12. Metode ini memiliki skor 0 untuk kolom respon 1, 2 dan skor 1 untuk kolom respon 3, 4. Metode lain yang dapat digunakan menurut Goldberg adalah metode Likert dengan skor 0, 1, 2, dan 3. Metode terakhir, Chronic GHQ atau CGHQ, diciptakan oleh Goodchild dan Jones untuk mengantisipasi hilangnya data dari pasien dengan gangguan kronis karena menjawab “sama seperti biasanya” pada simtom yang sudah lama diderita. Metode CGHQ memiliki skor 0, 0, 1, 1 untuk aitem positif dan 0, 1, 1, 1 untuk aitem negatif . Aitem positif adalah aitem yang merujuk pada keadaan sehat dan aitem negatif adalah aitem yang merujuk pada keadaan mengalami gangguan (Goldberg & Williams, 2006). GHQ sendiri memiliki berbagai versi yang telah diterjemahkan dalam 38 bahasa, serta telah teruji validitas dan reliabiltasnya sehingga dapat digunakan di 8 lebih dari 50 negara (Bell, Watson, Sharp, Lyons & Lewis, 2005). Versi pertama dan terlengkap adalah GHQ-60, dengan total 60 item. Versi kedua, yaitu GHQ-30, menghilangkan aspek berkaitan dengan gangguan fisik, sehingga menjadi 30 item dan lebih singkat (Jackson, 2007). Versi ketiga adalah GHQ-28, terdiri dari 28 item dan memiliki 4 subskala, yaitu depresi, simtom somatik, kecemasan, dan disfungsi sosial (Boyd, Le, & Somberg, 2005). GHQ sering digunakan untuk memprediksi prevalensi gangguan dalam populasi, serta mendeteksi adanya potensi permasalahan psikiatrik (Richard, Lussier, Gagnon, & Lamarche, 2004). Beberapa penelitian mengatakan bahwa GHQ memiliki reliabilitas antara 0,78 sampai 0,95 (Yusoff, Rahim, & Yacoob, 2009). GHQ-12 didesain sebagai alat skrining yang unidimensional, dengan tujuan untuk mendeteksi ketidak mampuan seseorang dalam menjalankan fungsinya secara normal, serta mendeteksi adanya distres baru (Goldberg & Williams, 2006). Seiring berjalannya waktu, bermunculan penelitian-penelitian yang berusaha melihat dimensi lain dalam GHQ-12. Emeldah (2012) menemukan bahwa GHQ-12 terdiri dari 3 komponen, yaitu depresi dan kecemasan (aitem 2, 5, 6, 9.10, 11, 12.), positive self regard (aitem 3, 4, 7, 8), dan well-being (aitem 1,7). Gangguan Obsesif Kompulsif sendiri merupakan bagian dari Gangguan Kecemasan (American Psychiatric Association, 1994). Ciri utama Gangguan Kecemasan adalah adanya kekhawatiran berlebihan, yang cenderung tidak realistis, dan menyebabkan ketidaknyamanan dalam hidup seseorang. Saat akan menegakkan diagnosis, ciri kecemasan di atas juga menjadi salah satu kriteria apakah Obsesif Kompulsif dianggap sebagai normal atau abnormal (Nevid, Rathus, & Green, 2005). 9 Aitem-aitem dalam GHQ-12 tampak dominan berkaitan dengan pikiran dan perasaan pada diri individu. Aitem-aitem tersebut berkaitan dengan perasaan tertekan, merasa bersalah, merasa tidak percaya diri, merasa tidak bahagia, dll. Hal ini sangat berkaitan dengan Gangguan Obsesif Kompulsif. Menurut Abramowitz & Houts (2005), aspek kognitif sangat mempengaruhi Gangguan Obsesif Kompulsif pada seseorang dan sering digunakan dalam menjelaskan bagaimana obsesi dan kompulsi yang berkembang pada orang dengan Gangguan Obsesif Kompulsif. Kaplan, Sadock, & Grebb (2010) juga menjelaskan bahwa Gangguan Obsesif Kompulsif berkaitan dengan pikiran mengenai pembalasan dendam, perasaan kehilangan, perasaan bersalah, cinta, yang memunculkan ambivalensi emosional pada seseorang sehingga muncul obsesi atau kompulsi. Dalam sebuah penelitian, GHQ-12 pernah digunakan untuk menskrining Gangguan Obsesif Kompulsif, dengan Composite International Diagnostic Interview (CIDI) sebagai standar emas. Dari 241 subjek yang terdeteksi positif mengalami gangguan mental umum oleh GHQ-12, 33 di antaranya terdiagnosis Gangguan Obsesif Kompulsif menggunakan CIDI. Dalam penelitian tersebut, GHQ-12 diskoring dengan metode bimodal dan menghasilkan titik potong 12. Korelasi reliabilitas yang diperoleh sebesar 0,78, sensitivitas sebesar 0,74, dan spesifisitas sebesar 0,84 (Yoldascan, Ozenli, Kutlu, Topal, & Bozkurt, 2009). GHQ-12 versi Bahasa Inggris sudah pernah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Idaiani & Suhardi (2006). Agar lebih sesuai digunakan di seting layanan kesehatan primer, GHQ-12 mengalami adaptasi kembali dari versi Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh Emeldah, Nurwanti, & Primasari (2012). 10 Proses adaptasi yang dilakukan menggunakan metode forward translation, yaitu dengan menerjemahkan GHQ-12 Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh 2 ahli bahasa non-psikologi yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris. Selanjutnya, hasil terjemahan oleh Ahli Bahasa Inggris dievaluasi oleh 3 Ahli Psikologi, yang sudah bertahun-tahun mendalami Psikologi Klinis dan Psikologi Lintas Budaya. GHQ-12 Bahasa Indonesia tersebut kemudian diuji coba kepada 16 pasien Balai Pengobatan Umum (BPU) di 2 Puskesmas Kabupaten Sleman. GHQ-12 versi adaptasi oleh Emeldah, Nurwanti, dan Primasari inilah yang kemudian digunakan dalam penelitian ini. Pengujian validitas klinik GHQ-12 dalam penelitian ini terkait dengan pengembangan alat ukur yang dapat membantu penegakan diagnosis Gangguan Obsesif Kompulsif di Puskesmas. Menurut Azwar (2003), salah satu metode pengujian validitas adalah dengan membandingkan hasil dari alat yang akan diuji dengan hasil alat lain yang telah terbukti memiliki validitas yang baik. Dalam penelitian ini, hasil GHQ-12 dibandingkan dengan diagnosis Structured Clinical Interview for DSM-IV Axis I Disorders (SCID-I), untuk mengetahui kemampuannya dalam mendeteksi Gangguan Obsesif Kompulsif. SCID-I adalah panduan wawancara klinis yang telah terstruktur berdasarkan DSM IV. SCID-I dikenal memiliki keakuratan tinggi dan sering digunakan sebagai standar emas dalam berbagai penelitian validasi klinik alat ukur (Rumpf, Meyer, Hapke, & John, 2001). Reliabilitas SCID-I diuji melalui inter-rater reliability (dalam koefisien Kappa) yang melibatkan psikiater atau psikolog profesional sebagai rater (Lobbestael, Leurgans, & Arntz, 2010). 11 Hal penting yang harus dilakukan dalam pengujian validitas klinik adalah melihat kaitan antara hasil tes dengan diagnosis yang sesungguhnya. Hal tersebut dapat dilihat melalui uji diagnostik yang menunjukkan sensitivitas, spesifitas, titik potong, serta nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif dari alat yang diuji, yaitu GHQ-12. Sensitivitas adalah kemampuan alat tes mendeteksi orang yang menderita suatu gangguan dan menunjukkan hasil tes positif terhadap gangguan tersebut. Sedangkan spesifisitas adalah kemampuan alat tes mendeteksi orang yang tidak menderita suatu gangguan dan menunjukkan hasil tes negatif terhadap gangguan tersebut. Hubungan antara sensitivitas dan spesifisitas dilihat dengan membuat Receiver Operating Curve (ROC). Wilayah di bawah kurva memperlihatkan ketepatan hasil tes atau nilai Area Under Curve (AUC). Berdasarkan analisis ROC, ditetapkan titik potong yang paling sesuai dengan tujuan pengujian alat tes (Fletcher, Fletcher, & Wagner, 1991). Langkah terakhir dari penelitian validasi klinik adalah melihat rasio kemungkinan atau nilai prediktif atau Likelihood Ratio dari alat tersebut. Likelihood Ratio terdiri dari Likelihood Ratio Positive dan Likelihood Ratio Negative. Likelihood Ratio Positive adalah peningkatan kemungkinan seorang pasien mengalami gangguan, saat hasil tesnya yang positif. Sedangkan Likelihood Ratio Negative adalah peningkatan kemungkinan pasien tidak mengalami gangguan, saat hasil tesnya negatif. Ketika hasil Likelihood Ratio pasien positif (atau negatif), berapa besar kemungkinan pasien tersebut menderita (atau tidak menderita) gangguan (Fletcher, Fletcher, & Wagner, 1991). 12 Sebelum GHQ-12 digunakan sebagai alat skrining gangguan mental umum di Puskesmas, perlu dilakukan penelitian validitas klinik GHQ-12 sebagai alat skrining gangguan dengan prevalensi tinggi di Puskesmas. Penelitian yang menguji validitas klinik GHQ-12 sudah dilakukan oleh Primasari (2012) untuk Gangguan Penyesuaian, Emeldah (2012) untuk Gangguan Kecemasan Menyeluruh, Nurwanti (2012) untuk Gangguan Depresi, dan Salma (2013) untuk Gangguan Somatoform. Hasil dari seluruh penelitian menunjukkan bahwa GHQ12 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik, dengan titik potong tertentu untuk masing-masing gangguan. Penelitian ini berperan menguji validitas klinik GHQ-12 sebagai alat skrining Gangguan Obsesif Kompulsif. Pertanyaan yang ingin dijawab berdasarkan latar belakang di atas adalah: 1. Bagaimana validitas klinik GHQ-12 sebagai instrumen skrining Gangguan Obsesif Kompulsif? 2. Metode skoring GHQ-12 manakah yang paling tepat digunakan sebagai skrining Gangguan Obsesif Kompulsif di Puskesmas? Hasil penelitian ini, secara teoritis, diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya ilmu psikologi. Selain itu, secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi alat skrining yang dapat meningkatkan layanan kesehatan mental, terutama sensitivitas paramedis dalam mendeteksi Gangguan Obsesif Kompulsif di Puskesmas. 13