Beta blocker

advertisement
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
1. Hal-hal yang dapat menyebabkan penyakit paru obstruktif adalah, kecuali :
a. Asma
b. Filtrasi dinding bronkus c. Emfisema
d. Benda asing yang menyumbat
2. Mekanisme kerja dari turunan xantin pada penghambat enzim fosfodiesterase, kecuali :
A. menghambat pelepasan ca-intrasel c. menurunkan permebilitas vaskuler
B. mencegah udema
d. menguatkan kontraksi diafragma
3. Reaksi yang tidak diinginkan pada pemberian glukokortikoid sistemik yang kronik adalah, kecuali :. . . .
a. anuria
b. osteoporosis fraktur
c. glaukoma
d. pankreatitis
4. Obat Bronkodilator yang digunakan untuk menghambat alergan adalah :
a.furosenad inhaler
b. prostagandin E
c. heparin inhaler
d.gamma globulin (i.v)
5. Obat simpatomimetik yang bekerja selektif terhadap beta-2 adrenoreseptor adalah, kecuali :
a. alendrin
b. bricasma
c. ventolin
d. alupent
6. Sedangkan yang bekerja terhadap adrenoreseptor beta-1 dan beta-2 adalah :
a. alupent
b. inolin
c. isuprel
d. ipradol
7. Tanda-tanda klinik dari udema paru adalah, kecuali :
a.batuk
b. brakhikardia
c. dispnea
d. takipnea
8. Obat yang jarang menginduksi udema paru kardionik adalah :
a. kortikosteroid
b. propoksifen c. heroin
d. fenilbutason
9. Obat yang sering menyebabkan paru kemasukan eosinofil adalah, kecuali :
a. nitrofuran b. tetrasiklin
c. klorpropamid
d. sulfonamid
10. Efek samping akibat penggunaan epinefrin adalah, kecuali :
a. ansietas
b. palpitasi
c. brakhikardia
d. diaforesis
11. Indikasi dari isoproteronal (isuprel) adalah :. . . . . a. mengatasi pendarahan dikulit
b. mengatasi blokade jantung
c. serangan asma akut
d. nasal kongestan
12. Isi zat berkhasiat dari alupent adalah . . . . a.befedrin b. metaproterenal c. Albuterol d. iso-etarin
13. Efek samping teofilin yang digunakan peroral adalah, kecuali :
a. sakit kepala
b. mual dan muntah
c. pusing
d. hipotensi
14. Obat asma yang mempunyai kontra indikasi terhadap hipertiroidisme adalah :
a. terbutalin
b. metaproterenal
c. efedrin
d. iso-etarin
15. Preparat yang indikasinya memperpanjang kerja anestesi infiltrasi adalah :
a. terbutalin
b. metaproterenal
c. isoproterenal
d. Epinefrin
PERTEMUAN II.
SOAL ANTITUSIF
1. Antitusif narkotik yang digunakan sebagai obat standar adalah :
a. morfin
b. dihidromorfin
c. metil morfin
d. dihidrokodeinon
2. Efek samping penggunaan codein dosis lebih tinggi (60 – 80 mg) adalah, kecuali :
a. gelisah
b. vertigo
c. hipotensi ortostik
d. adiksi
3. Derivat benzilisoklorolin yang diperoleh dari alkaloid opium yang mempunyai efek antitusif saja adalah :
a. noskapin
b. levopropoksifen
c. dekstromeforfan
d. klafedanol
4. Zat-zat yang termasuk demulcent adalah, kecuali :. . . . a. madu
b. kayu manis
c. gliserin
d. ipekak
5. Untuk penekanan batuk kering dan berdarah harus digunakan, kecuali :
a. kodein
b. metadon
c. falkodin
d. bromheksin
6. Batuk yang berasal dari daerah diatas laring dapat digunakan :
a. mukolitik
b. demulcent
c. ekspektoran
d. emetin
7. Obat batuk putih selain sirupus simpleks juga mengandung :
a. minyak pipermin
b. kayu manis
c. amonium klorida
d. amonium sitrat
8. Antitusif yang bekerja perifer adalah, kecuali :…. a. lidokain
b. demulcent
c. lignokain
d. noskapin
9. Efek penggunaan utama dari pholcodine adalah :. . . . a. eforia
b. analgesik
c. antitusif
d. adiksi
10. Dosis berlebihan pada penggunaan DMP adalah, kecuali : …..
a. diplopia
b. depresi pernafasan
c. sakit kepala
d. Muntah
Uraian.
1. Jelaskan sebab-sebab terjadinya batuk
2. Jelaskan penggolongan obat batuk dan contoh masing-masing?
LATIHAN SSO
A. PILIHAN GANDA
1. Adrenergik endogen yg dapat diproduksi oleh medula adrenal dan batang otak adalah . .
A. Dopamin
B. Epinefrin
C. Norepinefrin D. Dobutamin.
2. Secara farmakologis efek yang ditimbulkan dopamin antara lain…,KECUALI . . .
A. Stimulansia SSP
B. Menghambat pelepasan prolaktin
C. Antagonis beta-1
D. Memodifikasi tonus otot.
3. Dosis dopamin utk meningkatkan aliran darah ke ginjal dan kontraksi otot jantung adalah …
A. 1-4 ug/kg/menit
B. 4-8 ug/kg/menit C. 4-12 ug/kg/menit D. 12 ug/kg/menit.
4. Pemeberian dosis epinefrin yg berlebihan akan menyebabkan ….,KECUALI. . . .
A. Tek. darah rendah
B. Kontraksi prematur pd ventrikel
C. Takhikardia ventrikel
D. Vibrilasi ventrikel
5. Kerja epinefrin pada reseptor beta-2, sehingga sulit mixi dan retensi urin karena terjadi . . . .
A. Kontraksi otot detrusor
B. Kontraksi sfinter
C. Kontraksi kandungan kemih
D. Relaksasi kandungan kemih.
6. Efek samping dari penggunaan epinefrin adalah . . .
A. MualB. Muntah
C. Angina D. Ketegangan
7. Dalam terapi epinefrin tdk boleh diberikan pada pasien…,KECUALI. . .
A. Aritmia
B. Hipotiroidi C. Angina pectoris D. Hipertensi.
8. Obat-obat adrenergik yg mempunyai efek yang paling kuat terhadap reseptor beta-1 dan beta-2
adalah,KECUALI. . . A. Isoprenalin
B. Isopreterenol
C. Isopropilnorepinefrin
D. Isopropilepinefrin
9. Obat yg digunakan utk kelemahan jantung kongestif pada periode pasca-insufisiensi mitral adalah . . . .
A. Dobutamin
B. Isopreterenol
C. Dopamin
D. Epinefrin.
10. Zat-zat termasuk adrenergik dan bukan katekolamin adalah ..,KECUALI . . . .
A. Fenilefrin
B. Metamfetamin
C. Efedrin
D. Isoprenalin.
11. Toksisitas dari pasien yg menggunakan MAO inhibitor dimana kadar tiramin dalam serum tinggi
adalah . . A. Hipotensi
B. Hipertensi essensial
C. Hipertensi krisis
D. Hipotensi krisis
12. Efek toksis berupa konvulsi, delirium, paranoia, psikosis, dan nyeri perut disebabkan oleh . . .
A. Efedrin
B. Metaraminol C.Metoksisamin
D. Amfetamin.
13. Agonis beta-2 selektif yg kerjanya paling kuat adalah . . . .
A. Metaproterenol
B. Albuterol C. Terbutalin
D. Fenoterenol
14. Obat antiadrenergik yg bekerja sebagai alfa blocker adalah, KECUALI. . . .
A. Fenoksibenzamin
B. Fentolamin C. Prazozin
D. Guanetidin
15. Alfa-blocker yg masih digunakan utk krisis hipertensi yang disebabkan oleh Feokomasitoma
adalah…..A. Fentolamin
B. Prazozin
C. Fenoksibenzamin D. Tolazolin.
16. Penggunaan Yohimbin secara parentral dapat menimbulkan gejala sebagai berikut,KECUALI . . .
A. Diare
B. Mual C. Muntah
D. Keringat.
17. Obat-obat kelompok beta-blocker cukup banyak, namun sebagai prototipnya adalah ….
A. Atenolol
B.Metaprolol
C. Propranolol
D. Timolo
18. Beta-blocker tidak boleh diberikan pada pasien..,KECUALI. . .
A. Hipertensi
B. Asma
C. Blok AV
D.Hipotensi.
19. Penghambat saraf adrenergik yang bekerja sebagai adrenolitik sentral adalah . . . .
A. Guanetidin
B. Reserpin
C. Metil-dopa
D. Dopamin
20. Reserpin tidak boleh diberikan kepada pasien dgn riwayat. . . .
A. Kegagalan jantung bendungan
B. Asma C. Depresi mental D. Sedasi
B. OBAT PARA SIMPATIK
1. Obat Muskarinik yang berasal dari alkaloid adalah;KECUALI. . .A. Muskarin, B. Arekolin
C. Metakolin D.Pilokarpin
2. Obat kolinomimetik yang bekerja sebagai penghambat kolinesterase sementara adalah,KECUALI. . .
A. Neostigmin
B. Karbaril
C. Karbakol
D. Fisostigmin.
3. Zat antimuskarinik yang bekerja khusus pada GIT adalah. . .A. Benztropin
B. Glikopirolat
C. Ipratropium
D. Disiklomin
4. Indikasi klinik dari obat kolinomimetik terutama pada gangguan...KECUALI. . .
A. Saluran cerna B. Irama jantung
C. Neuromusculer junction
D. Saluran nafas
5. Ikatan neostigmin pada penghambatan Ach-ase adalah ikatan. . .
A. Molekul
B. Ion
C. Covalen
D. Kompleks enzim
6. Efek yang paling penting dari obat penghambat Ach-ase adalah,KECUALI. . .
A. Respirasi
B. GIT
C. Kardiovaskuler D. Mata
7. Dalam terapi dosis peroral untuk Pyridostigmin adalah . . .A. 20 mg
B. 40 mg
C. 60 mg
D. 80 mg.
8. Secara farmakoginamik, maka organ yang paling peka terhadap atropin adalah . . .
A. Jantung
B. Saliva C. Bronkhus
D. Keringat
9. Preparat antikolinergik yang bekerja sebagai antimikotinik adalah . . .
A. Heksmetonium B. Mekamilamin
C. Skopolomin
D. Tetra etilamonium
10. Sedangkan dekametonium termasuk antikolinergik kelompok. .
A. Blokade ganglion
B. Kuartener (asma)
C. Tersier (perifer)
D. Blokade neuromusculer
11. Jika keracunan arganofosfat maka dosis atropinisasi tiap 5 – 15 menit adalah...
A. 1-2 mg
B. 3-5 mg C. 5-8 mg D. 5-10 mg
12. Efek samping antikolinergik berupa hipertermia pada anak-anak dapat diatasi dengan pemberian. . .
A. Fisostigmin B.Neostigmin
C. Pyridostigmin D. Isoflurophate
13. Dosis atropin sulfat untuk tetes mata adalah . . .A. 0,1 – 0,5 %
B. 0,5 – 1%
C. 1 – 2 % D. 2,5 %
14. Secara farmakokinetika, maka antinikotinik yang dapat diserap peroral adalah . .
A. Trimethaphan B. Hexamethonium C. Decamethonium D. Mecamylamine
15. Penggunaan antinikotinik dapat mengganggu daya ereksi dan ejakulasi pada dosis . . .
A. Kecil
B. Sedang C. Besar D. Toksis
16. Untuk mengurangi tekanan pembuluh darah paru-paru pada udema paru akut diberikan . .
A. Mecamylamin B. Tetraetylammonium
C.Decamethonium D. Trimethaphan.
B.URAIAN.
1. Tuliskan indikasi klinik dari beta-blocker?
2. Tuliskan toksisitas dopamin pada pemberian perinfus ?
3. Jelaskan masalah klinik penting yang perlu diperhatikan dalam gangguan obat kolinergik dan antikolinergik?
4. Tuliskan intikasi klinik dari antikolinergik
5. Jelaskan meklanisme pengaktifan sistem parasimpatikuntuk memodifikasi fungsi organ tubuh?
6. Jelaskan efek farmakolosis dari dopamin?
7. Jelaskan indikasi klinik dari epinefrin?
8. Jelaskan efek samping dan toksik dari Amfetamin?
9. Jelaskan indikasi klinik dari Amfetamin
10. Jelaskan indikasi klinik dari Fenoksibenzamin?
11. Jelaskan efek farmakologis dari amfetamin terhadap SSP dan Kardiovaskuler?
OBAT OTONOM
Fungsi organ-organ tubuh dikontrol dan diintergrasikan oleh sistem saraf dan sistem endokrin.
Secara umum kedua sistem ini mempunyai sifat yang hampir sama, juga fungsi integrasi tingkat tinggi
dalam otak. Kedua sistem ini mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi proses-proses dibagian
tubuh yang letaknya jauh, dan mekanisme umpan balik negatifnya juga mempunyai arti penting. Pusat
integrasi tertinggi untuk sistem saraf dan sistem endokrin adalah hipotelamus. Perbedaan utama antara
sistem saraf dengan sistem endokrin adalah dalam hal metode hantaran informasinya. Pada sistem
endokrin, sebagian besar hantaran adalah bersifat kimiawi mwlalui hormon-hormon yang dibawa
aliran darah. Pada sistem saraf hantaran informasinya adalah “hantaran cepat” melalui serabut-serabut
saraf, yang dilanjutkan dengan hantaran kimia (yang disebut neurotransmitter) di antara sel-sel saraf
dan diantara sel saraf denagn sel efektornya. Kedua sistem ini bekerja sendiri (involuntary), tidak
dipengaruhi secara langsung oleh kesadarn atau kehendak.
Secara umum sistem saraf dapat dibedakan atas 2 golongan fungsional utama yaitu sistem
saraf somatik dan sistem saraf otonom (SSO). Sistem saraf somatik kerjanya berhubungan dengan
fungsi yang sadar dan dipengaruhi oleh kehendak seperti gerak badan, sikap tubuh dan gerakan
pernapasan. SSO dapat bekerja sendiri, tidak dipengaruhi secara langsung oleh kendali kesadaran; dan
kerja utamanya berhubungan dengan pengontrolan fungsi organ-organ dalam tubuh seperti jantung,
aliran darah, pencernaan, eskresi, seks, dan lain-lain proses yang penting untuk kehidupan.
Pengantar Farmakologi Otonom
Anatomi dan Fisiologi Sistem saraf Otonom
Sistem saraf otonom (SSO) disebut juga sebagai sistem saraf vegetatif atau sistem sraf viseral,
terdiri dari bagian sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf perifer yang mempersarafi otot-otot polos,
otot jantung, dan kelenjar-kelenjar.
Transmisi impuils-impuls motorik dari SSP ke sistem organ dalam tubuh diteruskan oleh 2 rangkaian
saraf. Saraf pertama adalah saraf praganglion yang berlokasi di batang otak atau di medula spialis.
Saraf kedua disebut saraf pasca ganglionik yang meneruskan transmisi ke efektor viseral (otot polos,
otot jantung, dan kelenjar- kelenjar) dan saraf ini tidak bermielin. Hal ini berbeda dengan persarafan
oto skelet yang diteruskan oleh hanya satu akson dari satu saraf SSP.
Saraf eferen otonom dibagi atas sistem simpatis dan parasimpatis. Impuls dalam sistem
parasimpatis atau sistem kraniosakral dialirkan dari batang otak melalui nervus III, VII, IX,X dan
nervieringentes ke sel intermediolateral bagian saktal medula spinalis segmen II dan IV. Impuls dalam
sisitem simpatis atau sistem torakolumbal berasal dari sel intermediolaretal medula spinalis pada
semua segmen torakal dan segmen lumbal nI, II,dan III.
Hantaran kimia pada sistem saraf terjadi dengan penjalaran impuls dan pembebasan (release)
sejumlah kecil neurotransmitter dari ujung saraf ke celah sinaps. Neurotransmitter ini akan berdifusi
dan berikatan dengan molekul reseptor khusus pada sel pasca sinaps, yang akan mengaktifkan atau
menghambat aktivitas sel efektor.
Neurotrnsmitter yang memperantarai transmisi sinaps di antara serabut saraf praganglionik dan pasca
ganglionik pada sistem parasimpatik adalah asetilkolin (acethyl choline =ACh). Sebaliknya
neurotransmitter yang dibebaskan oleh pascaganglionik simpatis yang panjang dan yang
memperantarai end organ memberikan respon pada sambungan neurofektor adalah norefinefrin.
Rangkaian serabut saraf yang menggunakan asetilkolin sebagai neurotransmitter dinamakan
“kolinergik”, sedangkan yang menggunakan norepinefrin dinamakn “adrenergik”. (lihat Gbr.24-1)
Medula adrenal berisi sel-sel kromatin, yang secara embriologi homolog dengan ganglion
simpatis diturunkan dari neural crest. Tidak seperti ujung saraf pascaganglionik simpatis, medula
adrenal membebaskan epinefrin sebagai katekolamin primer. Sel=sel kromatin pada medula adrenal
dipersarafi oleh ujung saraf praganglionik simpatis khusus dengan neurotransmitternya adalah
asetilkolin. Terdapat bukti bahwa dopamin juga dibebaskan oleh sejumlah serat simpatis perifer.
Obat-obat kolinergik bekerja pada : (1) reseptor muskarinik, menimbulkan efek kontraksi otot
polos non-vaskuler dan kelenjar eksokrin, dan merelaksasi otot polos pembuluh darah perifer; (2)
reseptor nikotinik yang terletak pada sinaps-sinaps ganglion yang juga berikatan dengan ACh sebagai
neurotransmitternya; (3) reseptor nikotinik pada sambungan saraf otot yang menimbulkan kontraksi
otot rangka.
Perangsangan pascaganglion simpatis menyebabkan kontraksi otot polos vaskuler dan
merangsang jantung. Sel-sel medula adrenal yang secara embriologis analog dengan saraf simpatis
pascaganglion membebaskan campuran adrenalin dan nor-adrenalin.
Saraf otonom membentuk pleksus yang terletak di luar SSP. Serat otonom pasca ganglion tidak
bermielin. Sel-sel efektor yang dipersarafi serat otonom dapat bersifat otonom, dimana organ yang
dipersarafinya masih dapat bekerja tanpa dialiri impuls atau bila serabut sarafnya diputus.
Kebanyakan organ tubuh dipersarafi oleh sistem simpatis dan sistem parasimpatis; dan efek
yang terlihat merupakan hasil keseimbangan antara kedua sistem tersebut. Pemghambatan salah satu
sistem (miaslnya dengan otot) atau bila terjadi denervasi akan mengakibatkan aktivitas alat didominasi
oleh sistem yang berlawanan. Sekresi kelenjar ludah dapat dirangsang oleh aktivitas simpatis maupun
oleh parasimpatis, tetapi sekret yang dihasilkan berbeda kualitasnya, yaitu pada stimulasi simpatis air
ludahnya lebih kental, sedangkan perangsangan parasimpatis air ludahnya lebih encer. Sistem simpatis
dan parasimpatis juga dapat bekerja bergantian di mana sistem simpatis menimbulkan ereksi dan
parasimpatik mengakhirinya dengan ejekulasi.
Gbr 24-1
Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem parasimpatis bersifat konservasi dan reservasi
tubuh atau disebut juga fungsi untuk rest and digest. Sistem parasimpatis mengtur fungsi vital dalam
tubuh. Sedangkan sistem simpatis berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap gangguan dari luar
tubuh dengan reaksi berupa perlawanan atau pertahanan diri yang dikenal sebagai reaksi flight or
flight.
Penting diingat bahwa istilah parasimptis dan simpatis adalah anatomis dan tidak tergantung
pada jenis transmitter kimia yang dibebaskan oleh ujung sarafnya.
Respon berbagai jaringan terhadap rangsangan sistem adrenergik dan sistem kolinergik dapat
dilihat pada tabel.24-1
Tabel 24-1. Respons berbagai jaringan pada perangsangan sistem adrenergik dan sistem
kolinergik.
Respons
EFEKTOR ORGAN
Respons adrenergik
Respons kolinergik dominan
A/K#
ARTERIOL
Koroner, visera abd. Konstriksi + (α1),
Sedikit dilatasi
A
Paru, ginjal.
Dilatasi ++ (β2)
Otot rangka
Konstriksi ++(α1),
Dilatasi ++
A
Dilatasi++ (β2)
Dilatasi
Serebral, kulit,
Konstriksi (α)
(hanya kel.ludah)
Kel ludah.
VENA JANTUNG
Nodus SA
Atria
Konstriksi (α2),dll. (β2)
Frekw jantung↑(β1)
Konduksi dan kontraksi
meningkat (β1)
Konduksi dan otomatilitas
↑(β1)
Kontraktilitas, otomatilitas
dan konduksi ↑
-------Frek denyut ↓
Kontrakstilitas ↓
A
K
K
Konduksi ↓
K
Kontraktilitas ↓
K
Relaksasi (β)
------Kontr. (midriasis) (α)
Kontr. (akomodasi)
Kontraksi (miosis)
--------
K
K
A
Lakrimalis
Inhibisi
Di tapak tangan ↑(α1)
Sekresi air dan Ion K (α1)↑
Sekresi amilase (β)
-------
Stimulasi
Secara menyeluruh↑
Sekresi air dan
ion K +++
Stimulasi
OTOT
BRONKHIAL
Relaksasi (β2)
↑(α1), ↓ (β2)
Konstriksi ++
Stimulasi +++
Nodus A-V
ventrikel
MATA
Muskulus siliaris
Musk. Pupilaris
Musk radialis iris
SEKRESI
KELENJAR
Saluran cerna
Keringat
Saliva
K
K
K
K
K
Sekresi kelenjar
LAMBUNG/USUS
Tonus dan motilitas
Tonus sfingter
↓ +(α1, β2)
↑(α1)
↑ +++
↓
K
KULIT
Otot pilomotor
Kontraksi ++ (α1)
-
A
VESIKA
URINARIA
M. detrusor
Sfinkter (internal)
Relaksasi +(β2)
Kontraksi ++(α1)
Kontraksi +++
Relaksasi ++
UTERUS
Hamil: kontraksi (α1),
Relaksasi (β2)
Tidak hamil: relaksasi (β2)
Variabel
FUNGSI
KELAMIN
Ejakulasi +++ (α)
Ereksi +++
HATI
Glikogenolisisdan
glukogenesis +++
(α1, β2)
SinTesis glikogen +
Sekresi ↓ + (α)
Sekresi ↓ + ++(α2)
Sekresi ↓ + (β2)
Sekresi ↑ ++
PANKREAS
Asini
Sel beta
K
A,K
A
A
ADENOHIPOFISE Sekresi ADH (β1)
Serat-serat kolinergik pascaganglionik
↑ = meningkat
A = adrenergik
K = kolinergik
↓ = menurun
TRANSMITTER DAN RESEPTOR
Semua ujung saraf otonom praganglion adalah kolinergik karena membebaskan ACh. ACh
bekerja pada reseptor ACh (reseptor asetlkolin – muskarinik = kolinoseptor) pada sel-sel
pascasinaptik demikian juga semua ujung saraf pascaganglion parasimpatis adalah kolinergik yang
juga membebaskan ACh. ACh bekerja pada reseptor Ach di sel-sel efektor (otot polos, otot jantung,
dan kelenjar).
Neuron simpatis pascaganglion melepaskan norepinefrin (NE). NE bekerja pada reseptor NE
(resptor noradrenali/adrenoseptor) pada sel-sel efektor pascasinapsis.
Beberapa reseptor yang bereaksi terhadap obat-obat otonom tidak dipersarafi. Yang paling
penting adalah kolinoseptor dari pembuluh darah. Suatu kolinoseptor khusus yang dipersarafi oleh
serat simpatis di pembuluh darah otot rangka sudah dibicarakan di atas. Kolinoseptor yang tidak
dipersarafi banyak tersebar di sistem pembuluh darah., dan bila diaktifkan oleh obat-obat
kokinomimetik dengan efek langsung akan menimbulkan vasodilatasi umum pembuluh darah perifer.
ASPEK BIOKIMIA NEUROTRANSMITTER
Sintesis ACh dengan rate
Sintesis ini dihambat oleh
sintesis norepinefrin dan
membentuk dopa. Proses
limiting step memungkinkan transpor kolin ke dalam ujung-ujung saraf.
suatu analog ACh yang disebut hemikolinium. Rate limiting step dalam
dopamin adalah hidroksilasi tirosin oleh enzim tirosin hidroksilase
ini dihambat oleh metrosin. Zat-zat yang menghambat sintesis ACh
merugikan pengobatan, tetapi obat-obat yang menghambat sintesis katekolamin berguna dalam
beberapa penyakit.
Proses metabolisme neurotransmitter merupakan target intervensi farmakologi yang potensial.
Kerja ACh biasanya berakhir dengan metabolismenya dimana kolinesterase (AChE) menguraikan Ach
menjadi asetat dan kolin. Kolin tidak aktif terhadap reseptor kolinergik. Pada transmisi adrenergik,
metabolismenya tidak mengakhiri kerja transmitter adrenergik. Kerja transmitter adrenergik berakhir
karena terjadinya difusi dan ambilan kembali (reuptake), mengurangi konsentrasi NE dan dopamin
dicelah sinapsis dan menghentikan kerjanya. Namun zat ini dimetabolisasikan oleh monoamine
oxidase (MAO) dan Cathecol-O-metyltransferase (COMT) dan produk dari enzim-enzim ini
diekskresikan . penentuan ekskresi metanefrin, nor-metanefrin, 3-metoksi-4-asam hidroksimandelat
dan metabolit lain selama 24 jam, memungkinkan pengukuran jumlah produksi transmitter dalam
tubuh, dan ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis beberapa keadaan klinik tertentu.
INTEGRASI FUNGSI OTONOM
Integrasi fungsional terjadi melalui mekanisme umpan balik negatif (negative feed-back).
Proses ini mempergunakan reseptor prasinapsis pada tingkat lokal dan refleks homeostatik pada tingkat
sistemik. Pada farmakologi otonom, sistem refleks yang paling penting ialah yang mengatur tekanan
darah. Hal ini harus diingat dan dipertimbangkan bila menganalisis efek obat yang bekerja pada
jantung dan pembuluh darah sistem ini mengintegrasi refleks saraf beroreseptor dan refleks hormonal
renin-angiotensis-aldosteron. Hal ini dinamakan umpan balik negatif.
Umpan balik lain ditemukan pada ujung saraf di beberapa sistem. Yang paling dikenal ialah
umpan balik negatif dari NE terhadap pelepasannya sendiri dari terminal pascasinapsis adrenergik.
Efek ini dimungkinkan oleh reseptor alfa-2. reseptor alfa-2 yang terletak pada ujung saraf prasinaps,
diaktifkan oleh NE dan molekul serupa; aktivasi menghambat pembebasan NE lebih lanjut dari ujung
saraf. Sebaliknya, suatu reseptor beta prasinaps dapat mempermudah pelepasan NE. Aktivasi selektif
reseptor alfa-2 oleh suatu obat dapat diharapkan menurunkan efek simpatis dengan mengurangi
pembebasan NE endogen. Obat antihipertensi tertentu (klonidin, alfa-metilnorepinefrin) dapat bekerja
dengan cara ini. Kontrol penghambatan pembebasan transmitter tidak terbatas pada penghambatan
transmiter sendiri. Terdapat bukti-bukti yang kuat yang menunjukkan terlibatnya prostaglandin dan
polipeptida dalam regulasi pembebasan NER. Regulasi prasinaps oleh berbagai zat kimia endogen
dapat terjadi pada semua serabut saraf.
ORGAN-ORGAN YANG DIPERSARAFI OLEH DUA JENIS SARAF.
Sebagai contoh organ yang dipersarafi oleh 2 jenis saraf ialah iris dan nodus sinoatrial. Iris dan
nodus sinoatrial ini menerima persarafan simpatis maupun parasimpatis. Blokade ganglion (kolinergik)
secara farmakologis menyebabkan hilangnya tonus simpatis maupun tonus parasimpatis. Jaringan ini
bereaksi ke arah sistem mana yang lebih dominan, dan hasil akhir mirip dengan aktivasi dari sistem
yang dominan. Sebagai contoh, yaitu pupil dan nodus sinoatrial pada orang muda didominasi oleh
sistem parasimpatis.
Oleh karena itu blokade terhadap kedua sistem akan menyebabkan efek simpatomimetik
(midriasis dan takikardi). Respons adrenergik dan respons kokinergik dan respons yang dominan pada
perangsangan sistem simpatis dan parasimpatis dapat dilihat dalam tabel 24-1.
EFEK-EFEK DARI AKTIVASI OTONOM
Pengetahuan mengenai efek-efek aktivasi dari tiap bagian SSO memberikan dasar untuk
meramalkan efek dari sebagian besar obat otonom. Termasuk juga pengetahuan mengenai persarafan
dari berbagai sel efektor seperti jantung, otot polos, dan kelenjar-kelenjar. Dalam Tabel 24-1 juga
disajikan daftar organ-organ dan jaringan yang harus diperhatikan dalam mempertimbangkan
penggunaan obat-obat otonom.
Farmakologi Obat Otonom
Terdapat banyak tempat atau bagian dimana obat-obat otonom dapat bekerja. Tempat-tempat
yang berfungsi seperti SSP yang merupakan pusat vasomotor, ganglia, terminal saraf pra- dan
pascaganglion (misal: sintesis, penyimpanan dan pelepasan transmiter), reseptor pada sel efektor dan
mekanisme yag melibatkan terminasi kerja transmiter (misal: metabolisme atau ambilan kembali).
Obat-obat otonom bekerja dengan :
1) Menghambat sintesis dan pembebasan neurotransmiter;
2) Mempermudah pembebasan neurotransmiter;
3) Berikatan dengan merangsang atau memblok reseptor; dan
4) Menghambat destruksi neurotrnsmiter.
Cara kerja berbagai obat otonom disimpulkan dalam tabel 24-2.
Tabel 24-2. Cara kerja obat otonom dengan contoh-contoh obatnya pada masing-masing cara
kerja
Cara kerja
Adrenergik
Kolinergik
Hemikolinium
Alfa-metil-paratirosin
1. menghambat
sintesis
transmiter
2.
menghambat pembebasan
transmiter
Toksin botulinus
Bretilium,
Guanetidin
3.
mempermudah
pembebasan transmiter
Karbakol (bukan efek utama),
racun laba-laba black widow
Tiramin, Efedrin,
Amfetamin
-
4.
mengosongkan transmiter
di terminal saraf
5.
merangsang reseptor
6.
memblok reseptor
Reserpin,
Guanetidin.
Muskarinik:
- Ach, metakolin,
- Alk.tanaman ; Muskarin,
Pilokarpin, Arekolin.
Nikotinik:
- Ach, Nikotin
Muskarinik:Atropin
Nikotinik:
Di otot rangka:
Tubokurarin
Di ganglion otonom:
Heksametonium
Umum : epinefrin
α1 : fenilefrin
α2 : klonidin
β1, β2: Isoproterenol
β1 : Dobutamin
β2 : Terbutalin, Salbutamol
α, β : Labetalol
α1, α2 : Fenoksibenzamin
Fentolamin
α2 : Prazosin
β : Propanolol
β1 : Asebutolol
Tabel 24-3. Penggolongan obat-obat susunan saraf otonom (SSO)
Golongan/subgol
A. ADRENERGIK
Prototip
Analog utama
Obat lain
Agonis umum
Langsung
Tak langsung
Agonis selektif
α1, α2, β1
α2> α1
α2> α1
β1 β2
β1 > β2
β1 < β2
Epinefrin
Tiramin
-
Efedrin
Hidroksiametamin
Norepinefrin (NE)
Klonidin
Fenilefrin
Isoproterenol
Dobutamin
Terbutalin
α -metil NE
Metoksamin
Prenaterol
Ritoridin
Guanabenz
Metaraminol
-
inhibisi ambilan
stim, reseptor Dopamin
Amfetamin
Kokain
Dopamin
Prenaterol
-
Prototip
Analog utama
Obat lain
Fenoksibenzamin
Propranolol
Fentolamin
Metoprolol
Nadolol
Tinolol
Atenolol
Pindolol
Butoksamin
Labetalol
Tolazolin
Agonis muskarinik
Asetilkolin
Karbomoiloikolin
Metakolin
Agonis nikotinik
Asetilkolin
Penghambat
kolinesterase
Neostrigmin
Muskarin
Betanekol
Pilokarpin
Nikotin, kolin
Suksinilkolin
Edroponium
Fisostigmin
Paration
Golongan/subgol
Albuterol
Metaproterenol
B. PENGHAMBAT
ADRENERGIK
Penghambat α
Penghambat β
C. KOLINERGIK
Neostigmin
Piridostigmin
Karbaril
Ekotiopat
Malation
Isofluorofosfat
Diklorvos
Atropin
Skopolamin
Propantelin
Siklopentolat
Ipratropium
Trimetafan
Suksinilkolin
Pankuranium
Metskopolamin
Homatropin
Tropikamin
D. PENGHAMBAT
KOLINERGIK
Antagonis muskarinik
Antagonis nikotinik
Regenerator kolinesterase
Heksametonium
(Nikotin)
Kurare
Mekamilamin
Atrokurium
Pralidoksim
Penggolongan Obat Otonom
Obat-obat yang dapat mempengaruhi fungsi SSO dapat digolongkan menurut jenis efek
utamanya (Tabel 24-3), yaitu golongan :
1) ADRENERGIK (simpatomimetik) yang mempengaruhi efek mirip dengan perangsangan
aktivitas susunan saraf simpatik.
2) PENGHAMBAT ADRENERGIK (simpatolitik) yang mempunyai efek penghambatan aktivitas
susunan saraf simpatik.
3) KOLINERGIK (parasimpatomimetik) yang mempunyai efek mirip dengan peningkatan
aktivitas susunan saraf parasimpatik.
4) PENGHAMBAT KOLINERGIK (parasimpatolitik) yang mempunyai efek penghambatan
aktivitas susunan saraf parasimpatik.
5) OBAT GANGLION dengan efek merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion.
Obat kolinergik
Pendahuluan
Obat kolinergik dan antikolinergik bekerja dengan memodifikasi sifat neurotransmisi suatu
neuron baik sentral maupun perifer. Rangkaian neuron yang mempunyai ciri dan sifat yang sama
membentuk suatu sistem. Oabt kolinergik dan antikolinergik bekerja pada sistem kolinergik. Sebagai
akibatnya maka sistem kolinergik yang dimodifikasi akan meningkat fungsinya atau dihambat
fungsinya oleh obat-obat antikolinergik.
Tabel 25-1. contoh beberapa sistem dalam susunan saraf pusat.
Sistem
Kolinergik
Adrenergik
Serotonergik
Dopaminergik
GABAergik
dll
Neurotransmitter
Asetilkolin
Noradrenalin
Serotonin
Dopamin
GABA
Reseptor
Muskarinik (M)
Nikotinik (N)
Alfa dan beta
Serotonin (5-HT)
Dopamin (DA)
GABA-A
NEUROTRANSMITTER
Neurotransmitter yang terlibat dalam sistem kolinergik ini adalah asetilkolin (Ach) yang
merupakan substansi biokimia endogen, bekerja menghubungkan transmisi impulas neuron prasinaptik
dan neuropascasinatik pada suatu ganglion, atau neuron pascasinaptik dengan sel efektor seperti pada
sambungan saraf otot. Ach disintesa oleh serabut saraf kolinergik dengan menggunakan kolin sebagai
prekusor yang diambil dari cairan ekstracelluler dengan acetyl-CoA melalui bantuan enzim Choline
Acetyl Transferase (ChAT). Sebelum digunakan, Ach akan tertumpah ke dalam celah sinaps untuk
berikatan dengan reseptor muskarinik atau nikotinik. Setelah mengaktifkan reseptor tadi, dengan reaksi
enzimatik. Ach akan dihidrolisa oleh enzim Acetyl Choline esterase (Ach-ase) menjadi kolin dan asam
asetat. Kolin akan diambil kembali oleh ujung serabut saraf dengan mekanisme High affinity Neuronal
choline Uptake (HANCU).
SUSUNAN SARAF PUSAT
SINAPS
EFEKTOR
Pusat kraniosakral--------------------------------------------ACh------------------------ACh
(parasimpatis)
Reseptor M
Otot polos,
kelenjar
Pusat Torakolumbal-------------------------ACh----------------------------------------ADr
Reseptor N
Reseptor Alfa/Beta
-------------------------------------------------------ACh.supraadrenal
E & NE
Pusat Motorik---------------------------------------------------------------------------ACh
NMJ
Reseptor N
Gbr.25-1 Sistemasi pada susunan saraf otonom.
ELEKTROFISIOLOGI
Pada umunya suatu neuron akan mengalami perubahan permeabilitas membran terhadap
elektrolit tertentu akibat suatu rangsangan mekanik, kimiawi atau listrik pada neuron tersebut.
Demikian pula neuron kolinergik akan mengalami perubahan polarisasi akibat perubahaan
permeabilitas membran terhadap ion Na+, k +, atau Cl. Potensial istirahat suatu neuron = -70 mV. Pada
suatu perangsangan yang menyebabkan depolarisasi, maka potensial membran naik menjadi + 20m V.
Depolarisasi ini merambatn dari badan sel ke tepi sepanjang akson (propagasi) dengan kecepatan
tertentu, dan setelah tiba diujung akson akan merangsang pembebasan Ach. Ach yang bebas di celah
sinaps, lalu berikatan dengaan reseptor kolinergik pada prinsipnya juga melanjutkan aliran listrik ke
arah distal. Pengaktifan reseptor juga akan merubah permeabilitas membran terhadap ion Ca ++ di
samping mengaktifkan beberapa second messenger dari neuron pasca sinaps atau sel efektor, seperti
diaktifkannya sistem actin – miosin pada sel otot oleh sambungan saraf otot sehingga otot
berkontraksi.
MEKANISME KERJA
Secara sederhana obat kolinergik dan antikolinergik dapat dibagi secara sistematik sesuai
dengan tempat kerjanya (site of action) pada sistem kolinergik sentral maupun perifer.
1. AGONIS ASETILKOLIN
Yaitu obat obat yang kerjanya mirip dengan Ach endogen dan dapat mengaktifkan reseptor
kolinergik, sehingga memberi efek seperti rangsangan Ach.
Kolin Ester : obat sintetik yang inti strukturnya mengandung kolin.
Alkaloid : diekstraksi dari tumbuhan yang mengandung bahan aktif mirip Ach.
2. PENGHAMBAT ASETILKOLINESTERASE
Obat ini bekerja menghambat kerja enzim asetilkolinesterase, sehingga Ach dalam celah sinaps
tidak terhidrolisa dan aktif lebih lama.
Reversibel : memblock enzim Achase yang bersifat sementara.
Ireversibel : memblock enzim Achase secara komplit dan menetap, sehingga akan menimbulkan
gejala keracunan kolinergik.
3. ANTAGONIS ASETILKOLIN
Yaitu obat – obat yang kerjanya berkaitan dengan reseptor muskarinik lebih awal, sehingga
seolah memblock ikatan Ach dengan reseptornya yang lepas kemudian.sebagai akibat adalah Ach
seolah tidak berefek lagi atau tidak merangsang sistem kolinergik.
ANTIKOLINERGIK : obat ini bekerja memblock reseptor muskarinik. Resultante kerja obat
ini melumpuhkan sistem kolinergik baik sentral maupun perifer, terutama sistem parasimpatis,
sehingga disebut juga parasimpatolitik.
ANTIGANGLIONIK : berikatan dengan reseptor nikotinik pada ganglion, sehingga bekerja
menghambat transmisi neuronal ganglion.
PENGHAMBAT NEUROMUSKULER ; obat ini hanya mengikat reseptor nikotinik pada
neuromuscular junction.
Agonis asetilkolin dan penghambat asetilkolinesterase sering disebut obat kolinomimetik.
Secara skematis, obat-obat perangsang atau penghambat reseptor kolinergik adalah seperti pada
tabel 25-2.
Tabel 25-2. oabat – obat merangsang dan yang menghambat reseptor kolinergik dengan masingmasing reseptornya.
Reseptor
Muskarinik
Nikotinik
Subtipe
M-1
Agonis
Acetylcholine
Muscarine
Carbamylcholine
Antagonis
Atropine
Pirenzepine
M-2
Acetylcholine
Muscarine
Carbamylcholine
Atropine
N-1
(ganglionik)
N-2
(otot skelet)
Acetylcholine
Nicotine
Acetylcholine
Nicotine
Hexamethonium
Mecamylamine
d-tubocurarine
Decamethonium
PENGGOLONGAN
Obat – obat kolinergik dan antikolinergik dapat digolong-golongkan sbb :
A. KOLINOMIMETIK
RESEPTOR AGONIS
MUSKARINIK
Kolinester
Termasuk : asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol.
Alkaloid
Termasuk : muskarin, pilokarpin, okstremorin, arekolin.
NIKOTINIK
Ganglionik
Neuromuskuler
Termasuk ; nikotin, lobelin, koniin, dimetilfenilpiperazin (DMPP).
PENGHAMBAT KOLIN ESTERASE
REVERSIBEL (SEMENTARA)
Termasuk : neostigmin, fisostigmin, ambenonium, karbaril.
IREVERSIBEL (MENETAP)
Organofosfat ; isoflurat, soman, ekotiofat, paration, malation, paraokson, malaokson,
tetraetilpirofosfat.
B. ANTIKOLINERGIK
ANTIMUSKARINIK
Alkaloid :
Contoh ; atropin (atropa belladona), skopolamin (hyoscyamus niger).
Penggunaan khusus :
Kuartener (gastrointestinal): propantelin, glikopirolat.
Kuartener (asthma): ipratropium
Tersier (perifer): pirenzepin, tropikamid, disiklomin
Tersier (parkinson): benztropin
ANTINIKOTINIK
Blokade ganglion
Termasuk: heksametonium (HC-3), mekamilamin, tetraetilammonium
Blokade otot-saraf
Termasuk : d-tubo kurare, dekametonium.
OBAT KOLINERGIK (KOLINOMIMETIK)
Obat – obat kolinomimetik adalah obat yang dapat mengaktifkan sistem kolinergik. Ada 2 jenis
kolinomimetik yang dikenal; obat yang beraksi langsung dan berefek mirip dengan asetilkolin
endogen dan dapat merangsang/berikatan dengan reseptor kolinergik, muskarinik dan nikotinik,
dan berefek secara tidak langsung dengan menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga
memungkinkan asetilkolin endogen bekerja/berikatan lebih lama dengan reseptornya. Jadi secara
umum efek obat-obat ini bersifat parasimpatis (=parasimpatomimetik) karena merangsang reseptor
nikotinik pada ganglion serabut saraf parasimpatis, atau dapat pulaberefek simpatis
(simpatomimetik) karena merangsang reseptor nikotinik pada ganglion serabut saraf simpatis. Oleh
karena itu efek obat kolinomimetik bersifat ganda. Namun adanya obat golongan ini yang berefek
selektif, jelas akan memebrikan efek yang selektif pula; parasimpatomimetik atau simpatomimetik
saja.
Obat – obat Reseptor Agonis
(efek langsung pada reseptor kolinergik)
FARMAKOKINETIK
Sesuai dengan struktur kimianya (lihat gbr.2-25), keempat obat ini mengandungammonium
kuatener, yang bersifat relatif tidak stabil dalam lipid dan berpolarisasi, dan dapat berikatan dengan
reseptor kolinergik. Ikatan dengan muskarinik reseptor bersifat stereoselektif: (S)-bethanecol 1000
kali lebih poten dari (R)-bethanecol.
Sifat absorpsi dan distribusinya hampir sama, ditentukan oleh sifat kelarutannya yang kurang
baik dalam lipid. Oleh karena itu obat ini sulit masuk ke dalam SSP. Dihidrolisa sejak dalam
saluran cerna oleh cholinesterase sehingga kurang aktif peroral. Juga sangat cepat dihidrolisa
secara sistemis, sehingga pemberian subkutan hanya memberikan efek lokal. Methacoline 3 kali
lebih tahan terhadap hidrolisa, sehingga pemberian lokal dapat pula memberi efek sistemik.
Sedangkan carbachol dan bethanechol bersifat long acting. Methanechol dan bethanechol kurang
peka terhadap reseptor nikotinik.
GBR 25-2
Tabel 25-3. sifat beberapa kolin ester
Obat
Acetylcholine-HCl
Methacoline-HCl
Carbachol-HCl
Bethanechol-HCl
Anti muskarinik
+++
++++
++
++
Anti nikotinik
+++
+
++
Tidak ada
Kepekaan AChase
++++
+
Tidak peka
Tidak ada
Alkaloid kolinomimetik tersier seperti pilocarpine, nicotine, dan lobeline dapat diserap dengan
baik. Nicotine berupa suatu cairan yang dapat diserap oleh kulit karena larut dalam lipid.
Muscarine adalah suatu amin kuartener yang kurang diserap oleh usus, tetapi bila tertelan (seperti
jamur mushrooms) dalam jumlah besar dapat menimbulkan gejala keracunan kolinomimetik yang
serius. Dieksresikan oleh urin. Klirens (pembersihan dari darah) amin tersier dipercepat dengan
urin yang asam.
Oxotremorine, lobeline dan DMPP (suatu stimulan nikotinik yang sangat poten) hanya
digunakan untuk percobaan di laboratorium saja.
FARMAKODINAMIK
Ada 2 mekanisme utama pengaktifan sistem parasimpatis untuk memodifikasi fungsi organ
tubuh yaitu:
1. Secara langsung asetilkolin yang dilepas oleh ujung saraf parasimpatis mengaktifkan reseptor
muskarinik pada organ yang dipersarafi.
2. Secara tidak langsung asetilkolin yang dilepas oleh sistem parasimpatis memacu reseptor
muskarinik (M2) pada ujung saraf simpatis untuk menghambat pelepasan norepinefrin (NE).
Sehingga efek simpatis terlambat dan yang muncul hanya perangsangan parasimpatis saja.
Aktivasi reseptor muskarinik oleh kolin ester akan meningkatkan kadar cGMP (siklik
guanosin monofosfat) dalam sitoplasma sebagai second messenger, memacu pengeluaran ion K +
darai dalam sel, meningkatkan hidrolisa inositol fosfolipid yang berperan memacu masuknya ion
Ca++ ke dalam sel dan penting dalam proses kontraksi pada otot polos atau otot rangka, dan
melemahkan kerja enzim adenilat siklase sehingga meningkatkan kadar siklik AMP sitoplasma,
yang keadaan ini penting untuk proses sekresi oleh kelenjar. Sedangkan aktivasi reseptor nikotinik
akan mengubah konformasi reseptor nikotinik yang memungkinkan diffusi ion Na+ dan K+ secara
cepat sehingga terjadi depolarisasi neuron pasca sinaptik atau sel otot pada neuromuscular junction
dan dipacunya fungsi dari otot tersebut. Resptor nikotinik ini hanya dapat dipacu satu kali, karena
ada mekanisme depolarizing blokade, setelah itu harus ada masa refrakternya yang memungkinkan
otot untuk berelaksasi.
Efek obat kolinomimetik ini pada berbagai organ mudah diduga, yang sesuai dengan efek
perangsangan saraf parasimpatis karena diperantarai oleh reseptor muskarinik. Sedangkan obat
kolinomimetik yang merangsang reseptor nikotinik jelas dapat dilihat efeknya pada organ yang
dipersarafi oleh ganglion otonom atau motor end-plate otot rangka.
Tabel 25-4. Efek obat kolinomimetik pada berbagai organ tubuh.
Organ
Mata
Jantung
Otot sfingter iris
Otot siliaris
Nodus SA
Atrium
Nodus AV
Pembuluh
darah
Paru-paru
ventrikel
Atreri dan vena
Otot bronkus
Kelenjar bronchial
Saluran cerna Motilitas
Sfingter
Sekresi
Kantong
Otot Detrusor
kemih
Trigonium dan sfingter
Kelenjar
Keringat, ludah, air mata
Efek yang timbul
Kontraksi (miosis)
Kontraksi untuk melihat dekat (akomodasi)
Kronotropik negative (menurunkan frekwensi).
Inotropik negative (melemahkan kontraksi), dan
mempersingkat masa refrakter.
Dromotropik negative (memperlamabat
kecepatan konduksi, dan memperpanjang masa
refrakter.
Sedikit melemahkan daya kontraksi.
Dilatasi, tetapi konstriksi pada dosis tinggi
Bronkokonstriksi.
Stimulasi.
Meningkat.
Relaksasi
Stimulasi.
Kontraksi
Relaksasi
Sekresi.
1. Mata
Penetesan langsung obat kolinomimetik pada saccus conjuctiva menyebabkan kontraksi
otot polos sfingter iris dan siliaris, dengan menimbulkan efek miosis dan akomodasi untuk
melihat dekat.
Keuntungan dari kondisi ini, adalah terbukanya schelm canal yang memudahkan
pengaliran keluar humor aqueous dari kamar depan mata dan menurunkan tekanan bolamata.
2. Sistem kardiovaskuler
efek utama obat kolinomimetik pada sistem ini adalah menurunkan tahan perifer dan
memperlambat denyut jantung. Efek langsung pada jantung ini dimodifikasi pula oleh refleks
homeostasis. Sebagai contoh; pemberian dosis kecil dari infus asetilkolin menyebabkan
vasodilatasi yang disertai dengan takikardia, sedangkan pada dosis besar barulah tibul efek
bradikardia dan penghambatan kecepatan konduksi nodus AV sehingga terjadi hipotensi.
Secara molekuler, kolinomimetik ini meningkatkan permeabilitas ion K+ dan
menghambat masuknya Ca++ ke dalam otot atrium, sel nodus SA dan AV sehingga terjadi
hiperpolarisasi, menurunnya daya kontraksi otot tersebut. Keadaan ini sebenarnya dilawan oleh
refleks saraf simpatik karena adanya penurunan tekanan darah. Resultante kedua efek
parasimpatis (kolinomimetik) dan simpatis ini sangat kompleks, tergantung dari kadar obat
secara lokal yang mengikat reseptor muskarinik. Efek pada ventrikel kurang bermakna, namun
pada dosis besar, efek perangsangan resptor muskarinik pada ventrikel inipun menimbulkan
refleks seperti diatas. Efek vasodilatasi kolinomimetik hanya terjadi dengan bantuan substansi
endothelium-derived relaxing factor (EDRF) yang terdapat pada pembuluh yang utuh.
Perkecualian : pilocarpine yang diberikan i.v akan menimbulkan hipertensi setelah fase
hipotensi yang sangat singkat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya slow Exicitatory Postsynaptic
potentials pada gangguan ototnom yang dapat diblok dengan pemberian atropin.
3. Sistem pernapasan
otot polos dan kelenjar mukosa pada bronkus akan dirangsang oleh kolinomimetik
untuk berkontraksi dan sekresi sehingga menimbulkan gejala seperti asthma, atau dapat
memperberat penderita yang memang asthmatik.
4. Saluran pencernaan
pemberian obat agonis muskarinik akan merangsang sekresi kelenjar utama kelenjar
ludah dan lambung, serta meningkatkan aktifitas motorik saluran cerna dan merelaksasi
sfinkter. Keadaan ini disebabkan oleh depolarisasi dan Ca++ pada otot polos saluran cerna.
5. Saluran kemih
merangsang otot detrusor dan merelaksasi trigonum serta sfingter yangberarti
meningkatkan pengosongan kantong kemih. Otot uterus tidak begitu peka terhadap obat ini.
6. Kelenjar keringat, air mata dan nasofaring dirangsang aktifitas sekresinya oleh agonis
muskarinik.
7. Susunan saraf pusat
otak didominasi oleh resptor muskarinik. Perangsangan kolinomimetik terhadap subtipe
reseptor M1 menimbulkan perangsangan lambat, sedangkan terhadap subtipe reseptor M2
menyebabkan penghambatan lambat.
Reseptor muskarinik ini banyak ditemukan pada neostriatum, nukleus septal medial dan
formatioretikularis serta hippokampus yang membentuk sistem kolinergik sentral dan berperan
dalam fungsi kognisis. Sedangkan resptor nikotinik banyak ditemukan pada medulla spinalis
dan serebelum serta sel Renshaw. Nikotin rokok peka sekali untuk merangsang reseptor
nikotinik ini dan menimbulkan gejala perangangan pada reseptor tersebut, seperti tremor,
emesis dan perangsangan pusat pernapasan. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan kejangkejang dan koma.
8. Susunan saraf tepi
perangsangan ganglion otonom yang kaya dengan reseptor nikotinik dengan gejala baik
parasimpatis atau simpatis. Efeknya pada jantung yang menonjol adalah perangsangan simpatis
dengan timbulnya hipertensi yang dramatis. Efek demikian sebenarnya dapat dilawan oleh aksi
vagal, sehingga timbul bradikardia. Sedangkan untuk ganglion yang mempersarafi saluran
cerna dapat menyebabkan gejala mual muntah dan diare serta pengosongan kantong kemih.
9. Sambungan saraf otot.
Perangsangan rreseptor nikotinik pada neuromuscular junction menimbulkan
depolarisasi karena perubahan permeabilitas terhadap ion Na +. Sinkronisasi depolarisasi inilah
yang menimbulkan gejala klinis seperti dari fasikulasi tak terkontrol sampai kontraksi
maksimal. Perangsangan reseptor nikotinik yang terus menerus karena lambatnya hidrolisa obat
kolinergik justru menimbulkan depolarization blockade dengan gejala Flaccid Paralysis.
INDIKASI KLINIK
Obat kolinomimetik ini digunakan:
1. Penyakit mata: glaukoma, accomodative estropia.
2. Gangguan saluran cerna dan kemih: atonia pasca operasi, neurogenic bladder.
3. Gangguan neuromuscular junction: myasthenia gravis, paralisa oleh curare.
4. Gangguan irama jantung: aritmia atrium tertentu.
Contoh penggunaan klinis:
1. Carbachol; dosis oral 1-4 mg, atau s.c. 0,2-0,5 mg untuk merangsang pengosongan saluran
cerna dan kandung kemih setelah operasi. Juga untuk tetes mata dengan dosis 0,75-3%.
2. Bethanechol; dosis 2-5 mg s.c. atau 5-30 mg peroral diindikasikan seperti carbachol, namun
kerjanya lebih selektif pada kedua organ tadi.
3. Pilocarpine; dosis 0,25 – 10% dalam solution untuk tetes mat pada pengobatan glaukoma.
Penghambat Asetilkolineterase (Kolinomimetik kerja tidak langsung)
FARMAKOKINETIK
Fisostigmin dan golongan organofosfat melarut dengan baik dalam lipid, sehingga mudah
sekali diserap tubuh dan cepat masuk kedalam otak. Carbamate kurang baik diserap melalui kulit.
Penyerapan organofosfat dapat melalui kulit, paru, saluran cerna dan conjuctiva, oleh karena
walaupun untuk insektisida namun tetap berbahay pada manusia. Echothiophate sangat polar dan
sangat stabil dibanding organofosfat lainnya, karena dapat digunakan untuk tetes mata dengan
aktivitas berminggu-minggu. Insektisida thiophosphate (parathion, malathion) sanagt mudah larut
dalam lipid, tetapi malathion mudah pula dimetabolisir pada burung dan mamalia, kecuali insekta
dan ikan, oleh karena itu cukup aman bagi manusia. Hanya parathion yang kurang baik
didetoksifikasi sehingga tetap berbahaya untuk manusia. Semua organofosfat kecuali
echothiophate mudah didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk otak dengan menimbulkan gejala
keracunan yang serius.
FARMAKODINAMIK
Asetilkolinesterase (ACh-ase) merupakan suatu enzim yang sangat aktif. Pada tahap pertama
ACh dihidrolisa menjadi kolin bebas dan enzim Achase yang terasetilasi. Pada tahap berikutnya
asetilasi enzim ini terpecah dengan penambahan molekul air dan aktif kembali. Kedua tahapan ini
memakan waktu sekitar 150 mikrodetik. Penghambat enzim ini mengakibatkan ACh yang dilepas
oleh ujung saraf kolinergik tetap aktif mengikat reseptornya dan memberi efek yang lama terhadap
perangsangan/pengaktifan reseptor yang bersangkutan.
Interaksi penghambat AChase ini tergantung dengan struktur kimia molekulnya.
1. Molekul yang mengandung alkohol kuartener (edrophonium) hanya menghambat 2 – 10 menit
dan reversibel, karena ikatan molekulnya lemah sekali.
2. Molekul yang mengandung ester carbamate (neostigmin dan fisostigmin) menghambat lebih
lama (0,5 – 6 jam), karena ikatan covalen dari enzim yang terkabamilasi.
3. Molekul yang mengandung organofosfat menyebabkan penghambatan yang cukup stabil
dengan ikatan kompleks enzim yang terfosfolirasi. Ikatan ini baru terlepas sesuai dengan
hidrolisa/ pemecahan ikatan O-P yang sangat lambat (aging). Hanya nukleofil yang sangat kuat
saja seperti pralidoxime yang dapat memecah ikatan ini, lalu disebut sebagai cholinesterase
regeneratos yang sangat berguna untuk mengatasi keracunan organofosfat.
Efek yang paling penting dari obat penghambat ACh-ase ini adalah pada: sistem
kardiovaskuler, saluran cerna, mata dan neuromuscular junction. Efek yang ditimbulkan hampir
sama dengan perangsangan obat agonis reseptor kolinergik.
1. SSP
Mengaktifkan semua sistem kolinergik sentral, tetapi pada dosis tinggi malah menimbulkan
kejang-kejang, koma dan berhentinya pusat pernapasan.
2. Mata
Saluran cerna, saluran pernapasan dan saluran kemih: menimbulkan gejala seperti
perangsangan parasimpatis.
3. Sistem Kardiovaskuler
Mengaktifkan parasimpatis dan simpatis. Pada jantung efek parasimpatis (aksi vagal)
meninjol sekali. Bahkan efek parasimpatis ini diperberat karena refleks simpatis juga
terlambat akibat pengaktifan reseptor M2 yang malah menekan pelepasan norepinefrin.
Efeknya pada pembuluh darah dan penurunan tekanan darah tidak nyata seperti pada obat
agonis reseptor. Pada pembuluh yang dipersarafi oleh saraf kolinergik, menimbulkan
vasodilatasi yang dapat dilawan oleh perangsangan ganglion simpatis sehingga tidak terjadi
hipotensi. Jadi pada dosis sedang menyebabkan bradikardia, penurunan cardiac output,
tetapi pada dosis besar bradikardia makin jelas disertai dengan hipotensi.
4. Sambungan saraf otot
Pada dosis terapi memeprpanjang dan memperkuat aksi fisiologi ACh endogen. Efek ini
bermanfaat sekali pada keracunan curare atau myasthenia gravis. Tetapi pada dosis tinggi
justru menimbulkan fibrillasi. Aksi antidromik dari motor neuron menyebabkan fasikulasi.
Neostigmin berefek agonis reseptor nikotinik pula yang sangat efektif untuk terapi
myasthenia gravis.
Contoh obat yang digunakan untuk manusia.
1. Ambenonium; diberikan p.o. dengan dosis 10 mg.
2. Demecarium; sebagai tetes mata 0,125-0,25%
3. Echothiophate; untuk tetes mata 0,125-0,25%
4. Edrophonium (tensilon) untuk parenteral 10 mg/mL
5. Isoflurophate; dalam salep mata 0,025%
6. Neostigmin (prostigmin); dosis 15 mg p.o. atau 0,25-1 mg/mL p.e.
7. Fisostigmin (Eserine): untuk tetes mata 0,25-0,5% dan 1 mg/mL untuk
i.m.
8. Pyridostigmin (Mestinon); dosis 60 mg p.o. atau 5 mg/mL par.
Obat Antikolinergik
Sesuai dengan reseptor kolinergik yang dihambat, maka dikenal 2 jenis obat antikolinergik:
antimuskarinik dan antinikotinik. Istilah parasimpatolitik atau simpatolitik sebenarnya kurang
tepat, karena serabut sarafnya sendiri (parasimpatis dan simpatis) tidak mengalami kelumpuhan,
hanya reseptornya masing-masing yang terdapat pada membran neuron pascasinaptik atau pada
membran sel otot pada sambungan saraf otot yang diblok kerjanya.
Berdasarkan jenis reseptornya obat antikolinergik dibedakan atas obat antimuskarinik dan obat
antinikotinik seperti terlihat dalam tabel 26-1.
Antimuskarinik
FARMAKOKINETIK
Atropin dan senyawa segolongan skopolamin merupakan ammonium tersier. Bentuk isomer 1
(-) dari kedua senyawa ini 100 kali lebih poten dari d (+) nya. Diekstraksi dari tumbuhan Atropa
belladona dan Hyoscyamus niger. Mudah diserap dari saluran cerna atau conjuctiva.
Tetapi senyawa kuartenernya kurang larut dalam lipid dan sulit diserap. Distribusi merata ke
seluruh tubuh, termasuk ke SSP dalam waktu 0,5-1 jam setelah diserap dari saluran cerna dengan
menimbulkan gejala penghambatan sistem kolinergik, kecuali senyawa kuartener gejala
penghambatan sistem kolinergik, kecuali senyawa kuartenernya tidak sampai ke SSP. Eksresinya
juga cepat melalui urin, dengan waktu paruh sekitar 2 jam, sehingga efek penghambatan fungsi
parasimpatis ini cepat menghilang kecuali mata, yang baru menghilang setelah 48 – 72 jam
kemudian.
Kelinci mempunyai enzim atropin esterase yang cepat menginaktifkan atropin.
FARMAKODINAMIK
Atropin mencegah ikatan reseptor muskarinik dengan ACh dengan mengikat reseptor lebih
dulu (competitive antagonist). Tetapi dosis besar agonis muskarinik mampu mencegah kerja
atropin. Akibat pencegahan agonis reseptor ini, maka reaksi perangsangan reseptor kolinergik tidak
terjadi. Efktivitas antimuskarinik ini bervariasi pada setiap jaringan tubuh. Jaringa yang sangat
peka terhadap atropin adalah: kelenjar-kelenjar saliva, bronkus dan keringat. Otot polos dan
jantung sedang saja kepekaannya, sedangkan sel parietal yang mensekresi HCl lambung sangat
kurang peka. Pada semua jaringan tubuh, blokade atropin sangat nyata pada obat agonis
muskarinik dibanding ACh endogen. Kerja atropin juga sangat selektif hanya pada reseptor
muskarinik, sedangkan nikotinik kurang peka. Atropin ternyata kurang selektif terhadap reseptor
M1 dan M2, tetapi pirenzepin ternyata sangat selektif terhadap reseptor M1, galamin yang
merupakan antagonis reseptor.
Tabel 26-1. penggolongan antikolinergik dengan contoh-contoh preparatnya.
Golongan
Contoh preparat
1 ANTIMUSKARINIK
Alkaloid
Atropin (atropa belladona)
Skopolamin (hyioscyamus niger)
Penggunaan khusus
Kuarteneri (saluran cerna)
2
Kuarteneri (asma)
Tersieri (perifer)
Tersieri (Parkinson)
ANTINIKOTINIK
Blokade ganglion
Blokade neuromuskuler
Propantelin
Glikopirolat
Ipratropium
Pirenzepin, Tropikamid, Disiklomin
Benztropium
Heksametonium (HC-3)
Mekamilamin
Tetraetilamonium
d-Tubokurarin, dekametonium.
Nikotinik sangat selektif terhadap reseptor M2. senyawa kuartener lebih bersifat antinikotinik.
1. SSP
Pada dosis terapi, atropin memberi efek stimulansia ringan pada nukleus vagus yang menyebabkan
bradikardia, dan efek sedasi lambat yang lama. Skopolamin memberi efek sedasi yang nyata dan
amnesia. Pada dosis toksik justru timbul perangsangan, agitasi, halusinasi, dan koma.gejala tremor
pada parkinson yang merupakan akibat dari aktifitas kolinergik yang berlebihan dan defisiensi sistem
dopaminergik pada sistem ganglia basalis-striatum, dapat dihilangkan oleh atropin. Bahkan kombinasi
atropin dengan obat dopaminomimetik (l-dopa) sangat baik sekali untuk penyakit tadi. Gangguan
vestibuler yang menyertai transmisi kolinergik dapat dicegah dengan pemberian skopolamin.
2. MATA
Penetesan atropin mencegah efek perangsangan kolinomimetik, sehingga justru timbul pelebaran
pupil (midriasis), dan paralisis otot siliaris mata (cikloplegia) dengan gejala hilangnya daya akomodasi
untuk melihat dekat. Efek ini penting untuk funduskopi, tetapi berbahaya pada glaukoma sudut sempit.
Juga keringnya kelenjar air mata.
3. SISTEM KARDIOVASKULER
Atrium dan nodus SA sangat kaya dengan persarafan parasimpatis, sehingga efek atropin sangat
nyata karena penghambatan reseptor muskarinik di sini. Pada dosis sedang dan tinggi menimbulkan
takikardia yang konsisten. Namun pada dosis kecil efek perangsangan pusat vagus memberi
bradikardia. Demikian pula terhadap nodus AV, nampak adanya pengurangan interval PR pada ACG
yang nyata. Otot atrium dan ventrikel kurang dipengaruhi oleh atropin. Pada dosis toksik, atropin dapat
membelok konduksi AV yang meknismenya tidak diketahui. Vasodilatasi karena perangsangan
simpatis kolinergik pada otot rangka dapat dilawan oleh atropin. Sedangkan efeknya langsung pada
pembuluh darah tidak ada karena pembuluh darah tidak diinervasi oleh parasimpatis. Pada dosis
toksik, beberapa individu menimbulakn efek vasodilatasi di kulit muka yang mekanismenya tidak
diketahui. Efek pada hemodinamik tidak nyata, hanya takikardia ringan dan sedikit naiknya tekanan
darah.
4. SISTEM PERNAPASAN
Penghambatan atropin terhadap reseptor muskarinik pada bronkus dan kelenjarnya menyebabkan
bronkodilatasi dan pengurangan sekresi yang nyata. Efek demikian bermanfaat sekali pada penyakit
yang menyerang jalan napas, walaupun efektifitasnya lebih rendah dari efek perangsangan Badrenoreseptor. Keuntungan lain untuk pengurangan sekresi dan pencegahan spasme laring akibat
penggunaan anestesi inhalasi.
5. SALURAN CERNA
Efek antimuskarinik pada organ ini nampak jelas berupa pelemahan motilitas usus dan
pengurangan sekresi kelenjar. Tetapi pengaturan motilitas dan sekresi kelenjar ini juga dimodulasi oleh
hormon lokal, maka efek antimuskariniknya tidak total. Efek pada kelenjar saliva nampak jelas berupa
mulut kering. Efek penghambatan sekresi asam lambung kurang efektif. Pada dosis besar barulah jelas
adanya pengurangan volume asam lambung, pepsin dan musin. Sekresi basal agaknya dicegah cukup
efektif setelah dirangsang oleh makanan, nikotin rokok, atau alkohol. Pirenzepin lebih selektif daripada
atropin dalam mengurangi asam lambung. Sekresi pankreas dan usus hanya sedikit saja dipengaruhi
atropin. Penghambatan motilitas lebih nyata dengan penurunan tonus dan gerakan propulsi usus, oleh
karena waktu pengosongan lambung memanjang dan mengurangi diare. Efek paralisis ini bersifat
sementara. Beberapa senyawa golongan ini menunjukkan efek spasmelotik cukup baik.
6. SALURAN KEMIH
Merelaksasi dinding kandung kemih yang perlu pada kasus infeksi kandung kemih. Tetapi pada
orang tua harus hati-hati dengan timbulnya retensi urin. Pada uterus tidak berefek sama sekali.
7. KELENJAR KERINGAT
Reseptor muskarinik pada kelenjar keringat yang berasal dari persarafan simpatis sangat peka
dengan atropin. Pada bayi dan anak-anak justru mengakibatkan naiknya suhu tubuh karena berkeringat
’’atropine fever“ , sedang pada orang dewasa baru terjadi pada dosis besar saja.
INDIKASI KLINIS
Indikasi klinis obat-obat antikolinergik adalah untuk:
1. Penyakit parkinson
2. Motion sckness
3. Funduskopi, hati-hati karena efeknya cukup lama
4. Ulkus peptikum dan diare.
5. Sinkop akibat aktivitas vagus yang berlebihan
6. Pramedikasi anestesi
7. Asma bronkial (inhalasi ipratropium)
8. Terapi simptomatis pada sistitis dan hiperhidrosis
9. Keracunan kolinergik oleh organofosfat.
Pada keracunan organofosfat diberikan terapi atropin sulfat 1-2 mg tiap 5-15 menit
(atropinisasi) sampai timbul gejala mulut kering dan midriasis. Lalu boleh diulangi, karena efek
organofosfat baru berakhir sekitar 24-48 jam. Jika tersedia, berikan juga senyawa oxime seperti
piridoxime (PAM), diacetylmonoxime (DAM), atau obidoxime untuk meregenerasi enzim ACh-ase.
Pada keracunan mushroom terdapat 2 tipe:
a) tipe cepat : setelah 15-30 menit memakan jamur Amanita muscaria timbul gejala perangsangan
kolinergik seperti mual, muntah, diare, vasodilatasi, takikardi, berkeringat, salivasi, kandung
bronkokonstriksi. Tindakan: cepat berikan atropinisasi.
b) Tipe lambat : gejala baru timbul setelah 6-12 jam makan jamur Amanita phalloides seperti
diatas, tetapi disertai kerusakan ginjal. Atropin tidak bermanfaat pada kasus ini.
EFEK SAMPING
Nilai terapi suatu organ mungkin menimbulkan efek nonterapi pada organ lain. Seperti efek
antidiare penggunaan atropin disertai dengan efek midriasis dan sikloplegia dan sebaliknya. Efek
hipertemia sering timbul pada anak-anak, yang dapat diatasi dengan pemberian fisostogmin 0,5-1 mg
i.v pelan-pelan.
KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi ini tidak mutlak, seperti pada galukoma, hipertrofi prostat dan ulkus peptikum.
Contoh preparat Antikolinergik:
1. Anisotropin : dosis 50 mg p.o
2. Atropin: dosis 0,4 – 0,6 mg p.o, 0,005-12 mg/mL p.e?, 0,5-3% tetes mata atau 0,5-1% salep mata.
3. Alkaloid (extract) belladona, 15 mg/tablet yang mengandung 0,187 mg alkaloid.
4. Clinidium: dosis 2,5-5 mg kapsul oral
5. Cyclopentolate: 0,5-2% tetes mata.
6. Dicylomine: 10-20mg kapsul oral, 10 mg/mL,p.e ?
7. Glycopyrrolate: 1,2 mg p.o, 0,2 mg/mL p.e
8. Hexocycllium: 25 mg p.o
9. Homatropin: 2-5% tetes mata
10. Isopropamide : 5 mg p.o
11. L-hyoscyamine: 0,123 – 0,15 mg p.o, 0,5 mg/mL p.e
12. Mepenzole : 25 mg p.o
13. Methantheline: 50 mg p.o
14. Methscopolamine: 2,5 mg p.o
15. Oxyphenonium: 5 mg p.o
16. Oxyphencyclimine: 10 mg p.o
17. Propantheline: 7,5 – 15 mg p.o
18. Scopolamine: 0,25 mg p.o, 0,3-1 mg/mL p.e, dan 0,25% tetes mata
19. Tridihexethyl: 25 mg p.o
20. Tropicamide: 0,5 – 1 % tetes mata.
Antinikotinik (Ganglion-blocking drugs)
Obat golongan ini memblok reseptor nikotinik pada ganglion otonom baik parasimpatis
maupun simpatis. Oleh karena efeknya yang tidak selektif ini, kebanyakan obat ini hanya digunakan
dalam percobaan laboratorium saja. Secara klinis efek terapinya hanya untuk mengontrol tekanan
darah jangka pendek.
FARMAKOKINETIK
Semua senyawa golongan ini merupakan sintetik amin. Yang pertama dikenal adalah
tetraethylammonium (TEA), kemudian dikembangakan hexametonium (C6) dan decamethonium (C10)
yang dapat memblok depolarisasi neuromuskuler. Karena merupakan senyawa ammonium kuartener,
maka penyerapan dan distribunya jelek. Hanya mecamylamine yang dapat diserap peroral.
Trimethaphan hanya diberikan perinfus saja.
FARMAKODINAMIK
Obat penghambat ganglion ini bereaksi sebagai nondepolarizing competitive antagonist. C6
bekerja memblok pada kanal reseptor nikotinik, sedangkan trimethaphan memblok langsung reseptor
nikotinik yang sifatnya dapat digeser oleh kadar agonis Ach yang tinggi.
1. SSP
Hanya Mecamylamine yang masuk SSP karena mengandung ammonium tersier dengan
menimbulkan gejala sedasi, gerakan choreiform dan penyimpangan mental.
2. MATA
Timbulnya sikloplegia dan hilangnya daya akomodasi, efek pada pupil sulit diduga karena
mendapat persarafan parasimpatis dan simpatis, tetapi karena parasimpatis dominan pada saat
istirahat, maka efek penghambat ganglion berupa dilatsi sedikit.
3. KARDIOVASKULER
Karena persarafan utama pembuluh darah diatur oleh simpatis, maka obat penghambat ganglion
berefek menurunkan darah tonus arteri dan vena, dan turunya tekanan darah (“orthostatis
hypotension”) karena terlambatnya refleks postural. Pada jantung berupa menurunnya daya
kontraksi dan sedikit takikardia.
4. SALURAN CERNA
Mengurangi sekresi, tetapi kurang efisien pda ulkus peptikum, dan terlambatnya motilitas sampai
timbul konstipasi.
5. SISTEM LAIN
Sulit buang air kecil dan mungkin timbul retensi urine pada penderita yang hipertripi prostat. Dosis
sedang juga mengganggu daya ereksi dan ejakulasi.
Jarang terjadi hipertermia karena penghambat kelenjar keringat dapat dilawan efeknya dengan
vasodilatasi pembuluh darah kulit yang mengembalikan suhu normal tubuh. Karena reseptor
muskarinik, dan adrenergik tidak terlambat, maka efeknya menjadi dominan.
INDIKASI DAN KERACUNAN
1. Hipertensi dalam keadaan gawat: dengan pemberian infus trimethaphan.
2. Mengontrol perdarahan pada operasi neurologi.
3. Edema paru akut: trimethaphan berfungsi mengurangi tekanan pembuluh darah paru.
TIP
Beberapa masalah klinik penting yang perlu diperhatikan dalam gangguan obat kolinergik dan
antikolinergik adalah:
1. Kolinergik:
 Aktifitas parasimpatis yang berlebihan; hipotensi; bronkokonstriksi, berkeringat dan rasa
tidak enak saluran cerna.
 Aktifitas ganglion yang berlebihan pada dosis besar.
 Keracunan mushroom dan organofosfat.
2. Antimuskarinik berkurangnya sekresi, retensio urinae, midriasi, takikardia, dan hipertensi.
3. Antinikotiik/penghambat ganglion: hati-hati karena efeknya tidak selektif.
27.Obat adrenergik
Neuron adrenergik dan Katekolamin
Neuron adrenergik ialah neuron/ saraf sistem saraf
simpatis yang pada terminal sarafnya membebaskan noradrenalin (= nor-epinefrin (NE= noradrenalin) dan
epinefrin (=epi= adrenalin) sebagai neurotransmitter.
Konsep dari serat saraf adrenergik adalah bahwa impulsimpulas saraf menyebabkan depolarisasi dan peningkatan
permeabilitas terhadap ion kalsium yang masuk ke dalam
serat pascasinaptik dan menyebabkan pembebasan NE dan
sedikit epinefrin dari terminal saraf.
NE, Epi dan dopamin secara kimia termasuk golongan
senyawa katekolamin (katekol adalah dihidroksibenzen).
Senyawa-senyawa inididistribuasikan ke semua substansi
dalam sel yang disebut sel-sel kromafin. Besarnya
persentase berbagai katekolamin di dalam sel kromafin
tergantung pada lokasi dan spesiaesnya. Dalam usus
dopamin terutama banyak ditemukan dalam sel-sel non
saraf. Dalam medulla adrenal ditemukan sedikit sekali
dopamin, tetapi banyak sekali adrenalin. Pada organ-organ
lain yang mungkin juga ada hubungannya dengan serat
saraf, terdapat dopamin sebanyak 50% dari jumlah total
ketekolamin dan selebihnya adalah NE dan Epi.
Dalam otak dopamin terdapat terutama dalam nukleus
kaudatus dan berfungsi sebagai transmitter ditempat ini.
Pada penderita parkinsonisme, dalam nukleus kaudatusnya
terdapat kadar dopamin yang rendah sekali.
Katekolamin dibentuk dari asam amino fenilalanin seperti terlihat dalam Tabel 27-1.
Tabel 27-1. proses pembentukan katekolamin
Substrat
FENILALANIN
Reaksi enzim
Inhibitor
Fenilalanin hidroksilase
TIROSIN
Tirosin hidroksilase
Α metal tirosin
3 iodotirosin
Dopa dekarboksilase
Metildopa
Dopamine ß hidroksilase
Disulfiram
guanoklor
DOPA
DOPAMIN
NORADRENALIN
Feniletanolamin-N-metil
transferase.
ADRENALIN
Umumnya katekolaminditemukan dalam partikel-partikel
subseluler yang disebut “granul kromafin” atau storage
granule, diperkirakan terdapat sebanyak 20-40% yang bebas
dalam sitoplasma. Granul mempunyai ATP yang banyak,
yang dalam kombinasi dengan katekolamin terdapat dalam
rasio 1:4. juga mengandung suatu protein khusus yang larut
(chromogranin) dan enzim dopamine-beta-oksidase.
Katekolamin disimpan dalam partikel subseluler yang
disebut storage granule. Storage granule berfungsi: (1)
mengambil dopamine dari sitoplasma,(2) mengoksidasinya
menjadi NE,(3) emngikat dan menyimpanNE untuk
mencegah difusi ke luar sel dan destruksi oleh enzim-enzim,
dan (4) membebaskan NE setelah rangsangan fisiologik.
Medulla adrenal. Disamping epinefrin, medulla adrenal
juga mengandung NE dan disekresi kedalam sirkulasi. Pada
manusia dalam medula adrenal terdapat NE sebanyak 20%
dari seluruh katekolamin yang ada didalamnya, dan
persentasenya lebih tinggi lagi pada bayi baru lahir dan pada
tumor medula adrenal. NE dan Epi mempengaruhi fungsi
fisiologis berbagai target organ, termasuk otot polos
pembuluh darah, jantung, hepar, jaringan lemak, dan otot
polos uterus. Fungsi utama dari NE adalah untuk
mempertahankan tonus simpatis yang normal dan pengaturan
sirkulasi darah.
Pembebasan katekolamin . action potential yang
sampai diterminal akson akan membebaskan katekolamin.
Katekolamin disimpan dalam vesikel-vesikel dan dibebaskan
oleh proses eksositosis.
Terminasi kerja dan metabolisme katekolamin. Efek
katekolamin akan diakhiri dengan beberapa cara. Sebagian
besar dari katekolamin dikembalikan ke granular pool
dengan cara ambilan kembali (re-uptake) dan sebagian lagi
didegradasi secara enzimatik. Cara-cara lain ialah termasuk
redistribusi dan refleks-refleks kompensasi. Ambilan kembali
secara aktif mempunyai peranan penting dalam terminasi
kerja katekolamin (kecuali untuk katekolamin yang
dibebaskan oleh medulla adrenal).
Degradasi metabolit katekolamin berlangsung dengan
cara o-metilasi yang dikatalisir oleh enzim Catechol-Omethyltransferase (COMT-suatu enzim mitokondria)
merupakan cara degradasi utama yang penting, disamping
cara lain yaitu dengan oksidatif-deaminasi oleh mono amine
oksidase (MAO-suatu enzim sitoplamik) atau dengan
konjugasi. Kedua enzim ini terdapat dalam konsentrasi tinggi
di dalam hepar dan ginjal. Metabolit katekolamin yang utama
adalah normetanefrin, metanefrin dan asam 4-hidroksi-3metoksimandelat (asam fanililmandelat atau FMA).
Reseptor Adrenergik
Setelah dibebaskan dari terminal saraf, katekolamin
bekerja pada reseptor-reseptor adrenergik di sel efektor.
Ahluquist pada tahun 1948 membagi reseptor adrenergik
menjadi reseptor alfa (α) dan beta (β) berdasarkan responnya
terhadap beberapa agonis dan antagonis selektif untuk
masing-masing reseptor.
Efek yang ditimbulkan melalui reseptor α pada otot polos
umumnya adalah stimulasi seperti pada otot vaskuler di kulit
dan mukosa; dan pada reseptor β adalah inhibisi seperti
terlihat pada otot polos usus, bronkus dan pembuluh darah
otot rangka (tabel 24-1). Terdapat pengecualian, yaitu; (1)
pada otot polos usus yang mempunyai reseptor α dan β, dan
aktivasi kedua reseptor tersebut menimbulkan efek inhibisi.
Hal ini terlihat dalam efek epinefrin pada usus yang bekerja
pada reseptor α dan reseptor β menimbulkan relaksasi usus.
Untuk dapat menghambat efeknya secara total diperlukan
penghambatan reseptor α dan β. (2) pada jantung, yang
mempunyai reseptor β, dengan aktivasinya menimbulkan
perangsangan denyut jantung dan kontraksi otot jantung.
NOREPINEFRIN (LEVARTERENOL)
FISIOLOGIS DAN FARMAKOLOGI. Norepinefrin (NE)
yang disebut juga sebagai noradrenalin atau levarterenol
adalah sebagai berikut: (1) disintesa oleh serat simpatis
pascaganglion dan sel di”locus cereleus” dan pons. (2) tidak
dapat melewati sawar darah otak; (3) reseptor alfa
memberikan efek fisiologis (lihat Tabel 24.1): (a) alfa-1 –
terutama pada membran pascasinaptik, sensitivitas terhadap
epi= NE, isoproterenol; (b)alfa-2 terutama pada membran
prasinaptik: sensitivitas Epi=NE isoproterenol (tidak ada
aktivitas); (3) reseptor beta untuk efek fisiologis, lihat tabel
24.1; NE lebih poten pada reseptor beta-1 daripada beta-2.
beta-1 bekerja terutama pada jaringan jantung; sensitivitas
terhadap isoproterenol > epi =NE; beta-2 terutama terdapat
pada otot polos dan kelenjar-kelenjar; sensitivitas terhadap
isoproterenol > Epi > NE.
ISOPROTERENOL
Isoproterenol (= isopropilnorepinefrin = isoprenalin =
isopropilarterenol) mempunyai efek yang paling kuat
terhadap reseptor beta-1 dan beta-2, umumnya tidak
mempunyai efek pada reseptor alfa (efeknya relatif murni
terhadap reseptor beta).
Aktivasi reseptor beta-2 oleh isoproterenol merelaksasi
hampir semua jenis otot polos. Efek ini terutama jelas bila
tonus otot polos sebelumnya tinggi, dan paling jelas terlihat
pada otot polos bronkus dan saluran cerna.
Otot polos pembuluh darah. Pemberian isoproterenol
per infus pada manusia menurunkan tekanan darah diastolik,
karena relaksasi otot polos pembuluh darah terutama otot
rangka, dan juga mesenterium dan ginjal. Efek inotropik dan
kronotropik positif menyebabkan curah jantung bertambah.
Otot polos bronkus. Isoproterenol bekerja sebagai
antagonis fisiologik terhadap obat-obat atau terhadap
penyebab asma yang menyebabkan bronkokonstriksi.
Toleransi dapat timbul bila obat ini digunakan secara
berlebihan. Pada asma isoproterenol juga menghambat
pembebasan histamin pada reaksi antigen-antibodi. Efek ini
juga dimiliki oleh antagonis beta-2 yang selektif.
Otot polos saluran cerna dan uterus. Isoproterenol
menurunkan tonus dan motilitas usus juga motilitas uterus.
Susunan saraf pusat. Isoproterenol menstimulasi SSP.
Efek ini tidak jelas pada dosis terapi.
INDIKASI KLINIK. Isopreternol diindikasikan untuk ;(1)
mengatasi bronkospasme, diberikan secara inhalasi;(2)
perangsang jantung, diberikan IV untuk pengobatan shok
(jarang digunakan); (3) mengatasi bradikardi yang disertai
hipotensi dan/atau angina.
DOBUTAMIN
EFEK FARMAKOLOGI
Secara kimia ada kaitannya dengan dopamin. Merupakan
stimulator beta-1 yang selektif. Efeknya lebih sedikit pada
reseptor-reseptor beta-2, alfa atau dopamin.
Kardiovaskuler. Dobutamin mempunyai efek inotropik
positif sama seperti dopamin, tetapi efek kronotropik kurang
kuat, lebih sedikit menyebabkan aritmia dan iskemia kardiak
daripada dopamin; tidak menghasilkan vasodilatsi pada dosis
rendah (dopamin menimbulkan vasodilatasi pada dosis
rendah); efek vasokonstriksi minimal.
INDIKASI KLINIK
Dobutamin digunakan untuk kelemahan jantung
kongestif pada periode pasca insufisiensi mitral, dengan
miokarditis atau kardiomiografi dan setelah open heart
surgery. Meningkatkan curah jantung dengan sedikit
perubahan pada O2 miokard.
EFEK SAMPING
Efek samping dapat berupa: mual, muntah, sakit kepala,
palpitasi, angina dan aritmia.
Adrenergik non katekolamin
Termasuk obat obat golongan adrenergik non
katekolamin adalah: efedrin, fenilefrin, amfetamin,
metamfetamin,
mefentermin,
hidroksiamfetamin,
metaraminol, metoksamin, agonis beta-2 (orsiprenalin,
salbutamol, terbutalin, fenoterol, ritodrin, isoetarin,
kuinterenol, soterenol), dan lain-lain.
Aktivitas agonis simpatetik dapat dihasilkan dari
pembebasan simpanan NE atau stimulasi langsung reseptor
adrenergik. Kebanyakan obat adrenergik nonkatekolamin
dapat diberikan peroral, dan banyak diantaranya mempunyai
masa kerja yang lama, karena resistensi obat-obat ini
terhadap COMT dan MAO dan dosisnya relatif besar. Efek
sentral relatif kuat karena dapat melewati sawar darah otak.
TIRAMIN
Tiramin banyak ditemukan dalam anggur merah, bir,
keju, coklat, dan banyak makanan lain. Diambil oleh neuronneuron simpatis dan bekerja sebagai transmiter palsu untuk
membebaskan katekol-katekol. Dalam kedaan normal
senyawa ini didegradasi oleh MAO. Tidak digunakan dalam
terapi.
TOKSISITAS. Bila tiramin dimakan oleh orang yang
sedang menggunakan MAO inhibitor akan terjadi penurunan
metabolisme MAO inhibitor, dan kadar tiramin dalam serum
yang tinggi akan menimbulkan pembebasan katekolamin
secara mendadak yang akan menginduksi terjadinya
hipertensi krisis dan aritmia berat.
AMFETAMIN
EFEK FARMAKOLOGIK
(1) Amfetamin menimbulkan pembebasan NE (efek-efek
alfa dan beta yang kuat) dan dopamin. Eksresinya adalah
melalui urin, umumnya dalam bentuk tidak berobah.
(2) SSP: stimulasi SSP menimbulkan irritabilitas, takipne,
euforia, penekanan nafsu makan, peningkatan aktivitas
motorik, dan dosis tinggi dapat menimbulkan psikosis
yang dapat diobati dengan obat-obat blokade dopamin.
(3) Kardiovaskuler:
meningkatkan
tekanan
darah,
menurunkan refleks denyut jantung (bervariasi); dan
merupakan aritmogenik pada dosis tinggi.
INDIKASI KLINIK
Amfetamin diinikasikan untuk; (1) penyakit kurang
perhatian pada anak-anak (disfungsi otak yang minimal,
hiperaktivitas); (2) sebagai narkolepsi; (3) penekan nafsu
makan, hanya digunakan untuk jangka pendek (beberapa
minggu) karena efek adiksinya. Adanya rebound weight gain
menghilngkan manfaat obat ini.
EFEK SAMPING.dapat berupa (1) kelemahan, pusing,
insomnia, disforia, tremor, sakit kepala, reaksi psikotik
(jarang); (2) palpitasi, takikardi, hipertensi; (3)diare atau
konstipasi; (4) impoten.
EFEK TOKSIK. Dosis berlebih dapat menimbulkan
konfusi, delirium, paranoia, psikosis, aritmia jantung,
hipertensi atau hipotensi, nyeri abdomen (pengasaman urin
mempercepat ekskresi obat ini).
Penyalahgunaan dapat menimbulkan ketergantungan
obat.
METARAMINOL
EFEK FARMAKOLOGI
Metaraminol mempunyai efek-efek farmakologi sebagai
berikut: (1) bekerja sebagai false neurotransmitter dan
sebagai agonis adrenergik; (2) stimulasi reseptor alfa dan
beta-1 (efek langsung dan tidak langsung); (3) meningkatkan
tekanan darah sistolik dan diastolik dan sering menimbulkan
refleks bradikardi.
INDIKASI KLINIK. Metaraminol digunakan untuk
mengatasi hipotensi. Efek samping: sama dengan NE.
EFEDRIN
FARMAKODINAMIK. Efedrin adalah alkaloid yang
diperoleh dari tumbuhan Efedra. Farmakodinamik efedrin
sama seperti amfetamin( tetapi efek sentralnya lebih lemah)
atau mirip epinefrin. Dibandingkan dengan epinefrin, maka
epinefrin dapat diberikan per oral, masa kerjanya jauh lebih
lama, efek sentralnya kuat, dan untuk terapi diperlukan dosis
yang jauh lebih besar dari dosis epinefrin. Bekerja
merangsang reseptor α,β-1 dan β-2. efek perifer, bekerja
langsung dan tidak langsung (melalui pembebasan NE
endogen) pada efektor sel.
Seperti epinefrin, efedrin menimbulkan bronkodilatasi,
tetapi efeknya lebih lemah dan berlangsung lama. Hal ini
digunakan untuk terapi asma bronkial. Penetesan lokal pada
mata menimbulkan midriasis. Pada uterus dapat mengurangi
aktivitas uterus, dan efek ini dapat dimanfaatkan untuk
dismenore.
INDIKASI KLINIK. Dalam klinik efedrin dapat
digunakan untuk: (1) sebagai dekongestan diberikan peroral
atau intranasal. Penggunaan yang terus menerus
menimbulakn toleran. (2) pencegahan enuresis, karena
efeknya meningkatkan tonus sfingter vesica urinaria. (3)
sebagai midriatika untuk pemeriksaan mata. (4) pengobatan
bronkospame (asma bronkial).
EFEK SAMPING: sama seperti pada amfetamin, tetapi
efek samping pada SSP lebih ringan.
METOKSAMIN
Metoksamin adalah suatu agonis α-1 relatif murni,
bekerja langsung pada efektor sel. Efek sentral hampir tidak
ada. Efek vasokonstriksi cukup kuat, menimbulkan kenaikan
tekanan darah sistolik dan diastolik, disertai dengan efek
bradikardi yang kuat dan perlmabatan konduksi AV.
Toksisitasnya sama dengan fenilefrin. Penggunaan untuk
hipotensi.
Agonis Beta-2 Selektif.
Termasuk
golongan
ini
ialah:
orsiprenalin
(metaproterenol- inhalasi), salbutamol (albuterol- agonis
beta-2 paling kuat, pemberian inhalasi atau per oral),
terbutalin (inhalasi, subkutan atau per oral), fenoterol,
ritodrin, isoetarin (dibanding obat-obat lain: mula kerjanya
cepat, masa kerja pendek, pemberian hanya perinhalasi),
kuinoterenol, soterenol, dan lain-lain. Dalam dosis kecilnya
efeknya pada reseptor beta-2 jauh lebih kuat dari pada beta-1.
bila dosis dinaikkan selektivitas ini dapat hilang. Efek
perangsangan beta-2 pada paru menimbulkan bronkodilatasi,
pada uterus dan pembuluh darah otot rangka menimbulkan
vasodilatasi. Masing-masing obat agonis beta-2 mempunyai
selektivitas yang berbeda-beda. Lihat juga seksi 43.
EFEK SAMPING. Dapat berupa; (1) mual dan muntah,
(2) takikardi, palpitasi,hipertensi, dan disritmia, dan (3) sakit
kepala dan tremor.
INDIKASI KLINIK.agonis beta-2 selektif terutama
digunakan untuk terapi simtomatis brokospasme (asma
bronkial). Untuk serangan akut asma bronkial dapat
digunakan epinefrin subkutan 0,2-0,5 mg atau secara inhalasi
(metered aerosol).
Obat
Antiadrenergik
Kamis
Obat-obat antiadrenergik (penghambat adrenergik=
antagonis adrenergik) ialah obat-obat yang bekerja
menghambat perangsangan adrenergik. Berdasarkan tempat
kerjanya obat-obat ini dibagi atas 3 golongan, yaitu; (1)
penghambat adrenoreseptor (penyekat adrenoreseptor), (2)
penghambat saraf adrenergik, dan (3) penghambat adrenergik
sentral.
Penghambat Adrenoreseptor
(Adrenoreceptor Blocker)
Penghambat adrenoreseptor (adrenoreceptor blocker)
adalah obat yang bekerja menempati reseptor adrenergik
sehingga
menghambat
interaksi
obat
adrenergik,
neurotransmitter NE dan reseptornya, dengan akibat
dihambatnya kerja adrenergik pada sel efektornya. Dengan
demikian obat ini menghambat respons sel efektor adrenergik
terhadap perangsangan saraf simpatik dan terhadap obat
adrenergik eksogen.
Sesuai dengan jenis reseptornya, penghambat
adrenoreseptor dibedakan atas 2 jenis, yaitu: (1) penghambat
adrenoreseptor-α (penyekat alfa) dan
(2) penghambat adrenoreseptor β (penyekat beta).
ALPHA-BLOCKER
Yang termasuk alfa blocker atau penghambat reseptor
alfa diantaranya adalah: derivat haloalkilamin, derivat
imidazolin, prazosin, derivat alkaloid ergot, yohimbin. Obat
ini bekerja dengan penghambatan kompetitif NE pada
reseptor-α. Pemakaian yang lama dapat menginduksi
desensitasi reseptor.
Derivat haloalkilamin
Termasuk golongan ini ialah fenoksibenzamin dan
dibenamin. Fenoksibenzamin mempunyai potensi 6-10 kali
dibenamin, dan diabsorpsi lebih baik pada pemberian oral.
FARMAKODINAMIK
Mekanisme kerja. Dalam darah senyawa ini terurai jadi
etilenimonium yang mempunyai efek inhibisi kompetitif yang
reversibel. Selanjutnya etilenamonium akan terurai
membentuk ion karbonium yang sangat reaktif yang
membentuk ikatan kovlen yang stabil dengan adreno-septor
alfa, yang mempunyai hambatan non kompetitif dan
ireversibel. Dengan mekanisme kerja ini golongan obat ini
mempunyai mula kerja yang lambat (walaupun pada
pemberian IV) dan masa kerja yang lama (berhari-hari
sampai berminggu-minggu). Karena itu golongan obat ini
disebut alpha blocker non kompetitif dengan masa kerja
lama. Fenoksibenzamin merupakan alpha-blocker dengan
selektivitas sedang.
Efek pada organ-organ. (1) pada SSP menimbulkan
efek sedasi atau stimulasi, mual dan muntah.
(2) pada mata menimbulkan efek miosis (inhibisi otot
dilator).
(3) pada sistem kardiovaskuler terjadi sedikit penurunan
tekanan darah diastolik, tetapi pada waktu berdiri atau pada
penderita hipovolemi penurunan tekanan darah sistolik dan
diastolik lebih hebat sebagai akibat blokade refleks
vasokonstriksi, blokade pressor respons NE dan Epi.
(4) pada saluran cerna terjadi peningkatan motilitas dan
sekresi kelenjar.
(5) pada saluran kemih kelamin terjadi gangguan ejakulasi,
dan penurunan tonus sfingter.
(6) efek metabolik, terjadi peningkatan pembebasan insulin.
FARMAKOKINETIK
Derivat haloalkilamin diabsorpsi dengan baik dari semua
cara pemberian, tetapi karena efek iritasi lokalnya hanya
diberikan secara oral atau IV. Fenoksibenzamin per oral
diabsorpsi dalam bentuk aktif sebanyak 20-30% saja.
Fenoksibenzamin mudah larut dalam lemak dan pada
pemberian dosis besar dapat terjadi penumpukan dalam
lemak. Pada pemberian IV mulai kerjanya 1 – 2 jam. Waktu
paruh hambatan sekitar 24 jam dan masih terlihat efek
hambatannya setelah 3-4 hari. Pemberian tiap hari dapat
menimbulkan efek kumulatif.
INDIKASI KLINIK
Fenoksibenzamin diindikasikan untuk:
(1) Hipertensi
sekunder akibat dosis berlebihan dari
adrenergik agonis atau MAO inhibitor.
(2) Fenokromositoma. Pada waktu praoperatif diberikan per
oral untuk mengatasi hipertensi dan pada waktu operasi
diberikan I.V
(3) Hiperefleksi otonomik akibat trauma pada medula
spinalis.
(4) Profilaksis pada penyakit raynaud.
EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI
Efek samping karena Alpha blocker berupa: takikardi,
hipotensi ortostatik, miosis, hidung tersumbat dan hambatan
ejakulasi. Pada penderita hipovolemi dapat terjadi penurunan
tekanan darah yang hebat.
Efek samping yang bukan karena efek blokade reseptor
alfa dapat berupa: iritasi lokal (mual dan muntah pada
pemberian oral), sedasi, perasaan lemah, dan kelelahan.
Derivat Imidazolin
Derivat imidazolin yang digunakan sebagai alfa bloker
adalah fentolamin (alfa-1 dan alfa-2 blocker non selektif) dan
tolazolin (alfa-2 blocker selektif).
FARMAKODINAMIK
Masa kerja penghambatan kompetitif lebih pendek dari
fenoksibenzamin. Respon terhadap serotonin juga dihambat.
Toksisitasnya lebih besar dari fenoksibenzamin. Dosis rendah
menimbulkan vasodilatasi karena kerja langsung pada otot
polos pembuluh darah.
INDIKASI KLINIK
Fentolamin (IV atau IM) dan tolazolin (IV,IM atau SK)
digunakan untuk krisis hipertensi yang disebabkan oleh
feokromositoma. Tolazolin jarang digunakan lagi.
EFEK SAMPING
Efek samping fentolamin dan tolazolin ialah:
(1) gejala stimulasi pada jantung berupa takikardi,
aritmia, dan angina;
(2) gejala stimulasi saluran cerna berupa nausea,
muntah, nyeri abdomen, diare dan kambuhnya ulkus
peptikum.
Prazosin
Prazosin menghambat reseptor alfa-1 yang memberikan
efek vasodilatasi. Pemberian prazosin menyebabkan efek
presor epinefrin berubah menjadi efek depresor dan
menghambat efek presor NE. prazosin merupakan alpha-1blocker yang sangat selektif. Prazosin mengurangi tonus
pembuluh darah arteri maupun vena, sehingga mengurangi
alir balik vena dan curah jantung. Efek hemodinamiknya
yaitu penurunan tekanan arteri; penurunan tonus arteri dan
vena; curah jantung dan tekanan atrium knan yang hampir
tidak berubah, seperti halnya dengan efek hemodinamik
vasodilator langsung misalnya Na-nitroprusid.
Penggunaan utama ialah untuk pengobatan hipertensi.
Selain itu juga digunakan untuk kelemahan jantung kongestif
(sering ditemukan takifilaksis) dan penyakit Raynaud.
Lain-lain penghambat adrenoseptor
1. ALKALIOD ERGOT: alkaloid ergot secara klinik tidak
dapat digunakan sebagai alpha blocker karena efek ini
baru timbul pada dosis besar yang tidak dapat ditolerir
oleh manusia.
2. YOHIMBIN : adalah alkaloid tumbuhan yohimbehe.
Merupakan alpha blocker kompetitif yang cukup selektif
untuk reseptor alfa-2. obat ini dapat meningkatkan
pembebasan NE endogen pada dosis yang lebih rendah
daripada yang diperlukan untuk memblok reseptor alfa-1
di perifir. Obat ini dengan mudah melewati sawar darah
otak dan dalam dosis kecil (kecil dari dosis yang
diperlukan untuk memblok alfa-1-perifer) memblok
reseptor alfa-2-sentral. Efek sentral berupa perangsangan
yang menimbulkan kenaikan tekanan darah dan denyut
jantung, hipermotorik dan tremor, dan antidiuretik akibat
pembebasan vasopresin. Obat ini juga menghambat
reseptor serotonin diperifir dan efek langsung pada
pembuluh darah yang lemah. Pemberian yohimbin secara
parenteral menimbulkan pengeluaran keringat disertai
mual dan muntah.
Penggunaan sebagai aprodisiak tidak dapat dibenarkan
karena dari segi pertimbangan manfaat resiko obat ini
tidak menguntungkan.
BETA-BLOCKER
Termasuk dalam golongan ini ialah asebutolol, atenolol,
metoprolol, propanolol, timolol, nadolol, dan lain-lain (lihat
Tabel 28-1. dan Tabel 28-2). Prototip golongan ini ialah
propranolol. Semua golongan beta-blocker mempunyai
struktur kimia mirip dengan isoproterenol. Afinitas terhadap
adrenoseptor beta dari beberapa preparat beta-blocker dapat
dilihat pada Tabel 28-1.
FARMAKODINAMIK
Beta-Blocker menghambat secara kompetitif efek NE
dan Epi endogen dan obat adrenergik eksogen pada reseptor
beta. Potensi penghambatan efek takikardi isoproterenol
digunakan sebagai ukuran dalam penentuan sesuatu obat beta
blocker. Efek beta blocker dapat dilawan dengan pemberian
obat adrenergik. Farmakodinamik utama pada beberapa betablocker dapat dilihat dalam Tabel 28-2. asebutolol, atenolol,
dan metoprolol disebut beta-blocker kardioselektif karena
dapat menghambat reseptor beta-1 pada jantung dengan dosis
50-100 x lebih kecil dari dosis yang diperlukan untuk
menghambat adrenoseptor beta-2 pada pembuluh darah dan
otot polos bronkus.
Tabel 28-1. selektivitas/afinitas beberapa beta blocker (terhadap adrenoseptor β) yang sering
digunakan dalam klinik.
1. propranolol
Β1 + β2
2. oksprenolol
Β1 + β2
3. sotalol
Β1 + β2
4. timolol
Β1 + β2
5. metoprolol
Β1 > β2
6. pindolol
Β1 > β2
7. asebutolol
Β1 > β2
8. atenolol
Β1 > β2
9. praktolol
Β1 > β2
Tabel 28-2, jenis-jenis beta blocker dengan efek-efek farmakodinamiknya.
Nama preparat
Kardioselektivitas
Aktivitas
Aktivitas stabilisasi
simpatomimetik
membran (MSA)
intrinsik (ISA)
Asebutolol
+
+
+
Atenolol
+
Metoprolol
++
+/Propranolol
++
Timolol
+/Nadolol
Sotalol
Pindolol
+++
+/Karteolol
+++
+/Oksprenolol
++
+
Alprenolol
++
+
Labetalol*)
+**)
+
*) juga merupakan alpha blocker
**) terbatas pada adrenoseptor β2.
Beta blocker lainnya disebut beta blocker non
selektif karena mempunyai afinitas yang sama terhadap
reseptor beta-1 dan reseptor beta-2 (Tabel 28-1). Beta
blocker kardioselektif ini tidaklah mutlak karena pada
dosis yang cukup tinggi beta-2 juga dihambat.
Interaksi Beta-blocker dengan adrenoseptor beta
tanpa disertai obat adrenergik (seperti epinefrin atau
isoproterenol) akan menimbulkan efek adrenergik yang
nyata, walaupun lemah; dan aktivitas ini disebut
aktivitas agonis parsial (partial agonist activity=PAA)
atau disebut juga intrinsic symphatomimetic activity =
ISA. Obat-obat bet bloker yang mempunyai PAA atau
ISA ini adalah: pindolol, karteolol, oksprenolol,
alprenolol dan asebutolol. Beta bloker lainnya tidak
mempunyai aktivitas PAA/ISA ini..
Beberapa beta-blocker mempunyai membrane
stabilizing activity (MSA), atau efek seperti kinidin.
Termasuk beta blocker yang mempunyai aktivitas MSA
ini ialah: propranolol, oksprenolol, alprenolol,
asebutolol, metoprolol, pindolol, karteolol, dan
labetalol. Potensi MSA propranolol lebih kurang sama
dengan lidokain; oksprenolol, 1/2nya; sedangkan
atenolol, timolol, nadolol, dan sotalol tidak mempunyai
aktivitas ini.
Labetalol, selain merupakan beta blocker
nonselektif, juga adalah alfa-1 blocker yang cukup
selektif. Keempat isomer labetalol mempunyai afinitas
yang berbeda-beda terhadap adrenoseptor alfa dan beta.
Rasio penghambatan adrenoseptor alfa; beta oleh
labetalol diperkirakan sekitar 1:7 setelah pemberian IV,
dan 1:3 setelah pemberian oral. Labetalol juga
mempunyai ISA, tetapi terbatas pada adrenosptor beta2.
Blokade reseptor beta-1 memberikan efek:
(1) pada
jantung menimbulkan penurunan efek
inotropik dan kronotropik, penurunan otomatisitas
dan kecepatan konduksi; dan penurunan curah
jantung. Dengan demikian kerja jantung diturunkan
dan kebutuhan akan O2 juga menurun. Penurunan
kebutuhan akan oksigen miokardial dapat
memperbaiki angina.
(2) Efek metabolik: memblok respons hiperglikemik
terhadap Epi.
Blokade reseptor beta-2 memberikan efek:
(1) Pada saluran nafas berupa: bronkokonstriksi, dapat
memperberat
atau
pencetus
timbulnya
bronkospasme.
(2) Vaskuler, berupa: pencegahan dilatasi vena dan
arteriol-arteriol organ-organ dalam abdomen, ginjal,
paru-paru dan otot skelet yang diperantarai oleh
reseptor-reseptor beta-2.
Efek-efek blokade-beta pada SSP adalah: depresi,
mimpi-mimpi, insomnia. Bagaimana mekanismenya
ini belum diketahui dengan jelas.
FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik propranolol dan lain-lain beta
blocker diperlihatkan dalam tabel 28-3.
INDIKASI KLINIK
Indikasi klinik propranolol dan lain-lain betablocker adalah untuk:
(1) penyakit
jantung iskemik: angina pektoris
(kurangnya miokard mendapat O2) dapat mencegah
perluasan daerah yang infark, bila diberikan segera
setelah terjadinya suatu kelemahan katup mitral
(MI) akut; menurunkan mortalitas jangka panjang
pada setelah MI.
(2) hipertensi.
Propranolol dapat bekerja dengan
mengurangi pembebasan renin atau NE, atau
dengan menurunkan curah jantung. Penggunaan
beta blocker untuk hipertensi ini dibicarakan khusus
dalam seksi obat hipertensi.
Aritmia supraventrikuler atau aritmia ventrikuler.
Beta bloker digunakan untuk mengurangi efek
katekolamin pada reseptor beta di jantung.
Pengobatan hipertensi selanjutnya dapat dilihat
dalam seksi obat hipertensi.
(4) Kardiomiopati obstruktif hipertonik. Penyakit ini
terjadi akibat aktivitas simpatik meningkat pada
kegiatan fisik, dimana kontraksi miokard yang
bertambah akan mempersempit aliran darah ke
koroner yang dapat menimbulkan serangan angina.
Beta blocker dapat dimanfaatkan untuk mengurangi
kontraksi miokard pada kegiatan fisik pada penyakit
jantung diatas.
(5) Profilaksis pada migren. Propranolol dan beta
blocker tanpa ISA lain dapat digunakan untuk
mencegah serangan migren, tetapi tidak bermanfaat
untuk mengatasi serangan migren. Mekanisme kerja
pencegahan migren ini belum diketahui dengan
jelas.
(6) Hipertiroidi (tirotoksisitas). Beta blocker dapat
digunakan untuk mengatasi gejala adrenergik
(seperti peningkatan frekwensi denyut jantung,
curah jantung yang besar dan tremor) pada
hipertiroidi. Untuk ini lebih baik digunakan sotalol
dan nadolol yang tidak banyak dimetabolisme dan
waktu paruhnya lebih panjang.
(7) Tremor
esensial,
yang
belum
diketahui
penyebabnya.
(8) Pencegahan perdarahan dalam perut pada pasien
sirosis.
(9) Ansietas. Semua jenis beta blocker dapat digunakan
untuk mengatasi gejala-gejala somatik seperti
palpitasi dan tremor pada waktu stres. Untuk ini
efektivitasnya sama dengan benzodiazepin. Dalam
hal ini beta blocker harus digunakan dengan dosis
(3)
efektif sekecil mungkin. Untuk stres dengan gejala
psikis yang lebih dominan, maka benzodiazepin
lebih efektif. Beta blocker tidak efektif untuk
ansietas kronik dan ansietas dengan gejala somatik
yang tidak jelas.
(10)
Glaukoma. Untuk ini dapat digunakan timolol
yang juga tersedia dalam bentuk tetes mata.
EFEK SAMPING
Efek samping beta blocker dapat berupa
(1) kegagalan jantung kongestif;
(2) bradikardi, blok jantung;
(3) gejala putus obat: penghentian obat secara
mendadak dapat menimbulkan hipertensi, serangan
angina atau insufisiensi mitral;
(4) bronkospasme pada penderita asma dan PPOM
(penyakit paru obstruktif menahun);
(5) pada penderita diabetes melitus beta blocker akan
memblok tanda-tanda hipoglikemia (berkeringat,
takikardi) dan respon-respon yang diperantarai oleh
katekolamin;
(6) SSP: depresi, mimpi-mimpi buruk, dan insomnia;
(7) impotensi;
(8) bertambahnya gejala klaudikasio pada tungkai.
Tabel 28-3. FARMAKOKINETIK ALPHA BLOCKER DAN BETA BLOCKER
Nama obat
Cara
Waktu paruh
Disposisi
Keterangan
pakai
ALPHA
BLOCKER
IV,O
24 jam oral
25% diabsorpsi
Fenoksibenzamin
IV,IM
19 menit
R(13%)
Fentolamin
IV
3-10 jam
Tolazolin
(neonatus)
O
2-5 jam
M (utama),B
>50% ipp
Prazosin
BETA-BLOCKER
Propranolol
O
4 jam
M
Nadolol
O
22 jam
R(90%)
Timolol
O
4 jam
M(50%)
10% ipp
First pass R
Pindolol
O
3-5 jam
M(60%)
40% ipp
No first pass
OLU 7 jam
R(40%)
Asebutolol
O
3-5 jam
M(main),AM,R,B
Atenolol
O
6,5 jam
.
50% diabsorpsi
R(90%)
10% ipp
Metoprolol
IV,O,
In
5 jam
50% first pass
R(50%)
9 menit
12% ipp
M(90%)
Esmolol
IV
Labetalol
IV,O
5,5 jam
SIMPATOLITIK
LAIN
Alfa-metil tirosin
(metiyrosin)
Reserpin
O
3-5 jam
O
33 jam
Bretilium
Guanetidin
IV
O
Granadrel
O
7-8 jam
1,5 hari
4-8 hari$
10 jam
R(90%)
R
M
R(85%)
ADRENOLITIK
SENTRAL
Klonidin
Metildopa
Guanabenz
Guanfacine
O
O
O
O
105 menit
6 jam
17 jam
M,R
M(90%)
M(50%)
R(50%)
M(98%),
metabolit lemah
M(65%)
First pass
50% ipp
R(85%)
96% ipp
50% bioav
70% pb.
Carbidopa
O
M = metabolisme; AM = active metabolite;R= renal; dalam bentuk tidak berubah; first pass = liver
first pass effect; In = inhalasi sebagai aerosol; ipp = ikatan dengan protein plasma; bioav =
bioavailabilitas; O = oral. Hari$ = fase eliminasi akhir
Efek samping yang sering terjadi adalah: (1) kambuhnya kelemahan jantung, (2)
bronkospasme. Efek samping lain jarang terjadi. Penggunaan jangka lama dari praktolol dapat
menimbulkan ruam kulit, kerusakan kornea dan fibrosis intra-abdominal.
KONTRAINDIKASI
Beta blocker dikontaindikasikan pada penderita dengan:
(1) “kegagalan jantung bendungan”,
(2) Hipotensi
(3) Asma, dan
(4) Blok AV.
Propranolol
Propranolol merupakan beta blocker nonselektif, ikatan dengan protein tinggi, 90-95%
dimetabolisme di hepar (efek lintas pertama yang nyata) pada pemakaian per oral; metabolit-metabolit
yang tidak aktif dieksresi kedalam urin.
Nadolol
Efek farmakologi, indikasi klinik, dan efek samping nadolol ini sama dengan propranolol,
kecuali: metabolismenya tidak nyata, tetapi diekskresi dalam bentuk tidak berubah, dan mempunyai
waktu paruh yang lebih panjang.
Timolol
Merupakan beta blocker nonselektif, mempunyai potensi 5 kali lebih kuat dari propranolol.
Indikasi klinik ialah untuk pengobatan; (1) penyakit jantung iskemik, (2) dalam bentuk obat tetes mata
untuk pengobatan glaukoma. Toksisitas sama dengan propranolol; obat tetes mata diabsorpsi dan dapat
menyebabkan keracunan sistemik.
Pindolol
Merupakan beta blocker nonselektif, mempunyai efek agonis adrenergik lemah dengan
beberapa aktivitas simpatomimetik, dan efek inotropok dan kronotropik negatifnya lebih lemah dari
propranolol.
Penggunaan klinis terutama ialah untuk (1) hipertensi, (2) pangobatan angina, dan (3)
takiaritmia supraventrikuler. Toksisitas sama seperti propranolol.
Metoprolol
Merupakan beta blocker kardioselektif (beta-1) relatif; pada pemberian dosis tinggi dapat
terjadi efek blokade β2. indikasi utama ialah: (1) hipertensi, (2) penyakit jantung iskemik dengan
penyakit bronkospastik.
Toksisitas sama dengan propranolol, tetapi efek bronkokonstriksinya lebih lemah.
Atenolol
Sama dengan propranolol, tetapi waktu paruhnya lebih panjang (4-6 jam) dan kurang
berpenetrasi ke SSP (toksisitas pada SSP lebih ringan, dibanding dengan propranolol).
Penghambat Saraf Adrenergik
Obat penghambat saraf adrenergik bekerja menghambat aktivitas saraf adrenergik dengan
mengganggu sintesis, penyimpanan, dan pembebasan NE dan Epi di terminal saraf adrenergik.
Termasuk golongan ini ialah; (1) guanetidin dan derivatnya 9betanidin, debrisokuin, guanadrel,
bretelium) dan (2) reserpin. Prototype golongan ini ialah guanetidin.
GUANETIDIN DAN BRETELIUM
Guanetidin bekerja dengan efek anestesi lokalnya yang menstabilkan membran ujung saraf
presinaptik (tanpa mengganggu konduksi akson) sehingga ujung saraf ini tidak memberikan respon
terhadap perangsangan saraf adrenergik. Hambatan ini dapat total dan berlangsung dengan cepat
sekali. Pemberian kronis akan mendeplesi NE dengan lambat dan bertahan berhari-hari setelah obat
dihentikan. Penghambatan terhadap reseptor alfa dan beta sama kuat yang menyebabkan penurunan
tekanan darah dengan cepat dan berkurangnya kerja jantung.
Obat ini tidak digunakan lagi sebagai antihipertensi karena efek samping kumulatif dan dapat
terjadi hipotensi ortostatik yang berat dan sudah digantikan oleh banyak obat antihipertensi lain.
Betanidin, debrisokuin merupakan obat antihipertensi dengan cara kerjasama seperti
guanetidin, tetapi masa kerjanya lebih pendek.
Bretilium cara kerjanya hampir sama dengan guanetidin. Obat ini hanya dapat digunakan
secara parenteral untuk pengobatan takiaritmia ventrikuler atau untuk mengatasi fibrilasi ventrikuler
yang berat yang tidak responsif dengan obat lain.
RESERPIN
Reserpin adalah alkaloid yang diperoleh dari Rauwolfia serpentina. Penggunaan utama ialah
sebagai antihipertensi.
FARMAKODINAMIK
Cara kerja reserpin ialah;(1) menghambat secara reversibel mekanisme transpor aktif NE dan
amin lain pada membran vesikel adrenergik;(2) menghambat ambilan NE dari sitoplasma; (3)
menghambat sintesis NE melalui penghambatan ambilan dopamin dari vesikel. Dopamin dan NE yang
tidak diambil ini dirusak oleh MAO.
Karena kerja reserpin yang ireversibel, untuk pengembalian kadar katekolamin memerlukan
waktu yang lama. Karena itu pemberian berulang akan menyebabkan efek kumulatif, walaupun
pemberiannya hanya 1 kali seminggu. Selain itu reserpin juga mengosongkan katekolamin dan 5-HT
dimedula adrenal, otak dan organ-organ lain.
Efek antihipertensi: efek penghambatan aktivitas adrenergik menyebabkan penurunan tekanan
darah berlangsung lambat disertai takikardi serta penurunan resistensi perifer (terutama pada waktu
berbaring).
Efek sentral: menimbulkan sedasi dan sikap tidak acuh terhadap sekitarnya. Efek sentral ini
diduga karena deplesi katekolamin dan 5-HT di SSP. Penggunaan dosis tinggi dalam jangka lama dapat
menimbulkan gejala ekstrapiramidal.
EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI
Efek samping yang utama ialah terhadap SSP dan saluran cerna. Efek samping dapat berupa:
(1) sedasi; (2) depresi emntal yang berat dan mimpi-mimpi buruk sudah dapat terjadi pada dosis 0,25
mg; (3) gangguan ekstrapiramidal (jarang terjadi pada dosis untuk antihipertensi); (4) peningkatan
tonus dan motilitas saluran cerna, yang disertai spasme dan diare, dan sekresi asam lambung
meningkat; (5) peningkatan berat badan; (6) kemerahan dan kongesti nasal (dapat menimbulkan
gangguan nafas yang berat pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mendapat reserpin).
Download