1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagian besar masyarakat Indonesia telah lama menggunakan obat herbal
yang berasal dari bahan alam. Tanaman merupakan salah satu sumber obat-obatan
herbal, pemakaian obat herbal sebagai upaya penanganan masalah kesehatan telah
banyak diterapkan masyarakat di tengah-tengah kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan saat ini. Penggunaan bahan alam sebagai obat herbal juga
merupakan salah satu alternatif dari obat-obat sintetik yang relatif lebih mahal,
selain itu penggunaan bahan alam dirasa lebih aman untuk penggunaan jangka
panjang karena mempunyai efek samping yang lebih kecil dibanding obat-obat
sintetik. Salah satu bahan alam yang sering digunakan oleh masyarakat ialah
Daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.).
Bagian tanaman salam yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
adalah bagian daunnya. Daun salam
secara empiris berkhasiat sebagai obat
kolestrol tinggi, diabetes melitus, hipertensi, gastritis, diare dan asam urat
(Wijayakusuma, 1995). Selain itu, daun salam juga memiliki kelebihan lain
seperti efek diuretik dan analgesik (Utami, 2005). Daun salam diketahui
mengandung beberapa senyawa kimia antara lain yakni alkaloid, saponin, steroid,
fenolik dan flavonoid (Liliwirianis et al., 2011). Menurut Putri et al., (2014).
Penelitian terkait penggunaan dalun salam sebgai antidiabetes antara lain
pemberian infusum daun salam sebesar 825mg/150gram pada tikus yang
diinduksi dengan aloksan dapat menurunkan kadar glukosa darah mulai hari ke 7
1
2
dan pada hari ke 14 kadar glukosa darah telah menjadi normal, sedangkan
pemberian infusum daun salam sebesar 1237,5 mg/150gram dapat menurunkan
kadar glukosa darah hingga kembali normal pada hari ke 7 dan pada hari ke 14
kadar glukosa darah dibawah normal (hipoglikemia). Meskipun ekstrak etanol dan
infusum daun salam diketahui telah mampu menurunkan kadar glukosa darah
pada mencit dan tikus, namun penelitian tersebut masih terbatas pada sediaan obat
bentuk ekstrak.
Ekstrak tumbuhan umumnya memiliki kelarutan yang rendah dan berefek
pada tingkat bioavailabilitas yang kurang maksimal sehingga memerlukan dosis
yang cukup besar dalam penggunaannya untuk mencapai efektivitas terapi
(Bansal dkk., 2010). Untuk mengatasi hal tersebut, dalam penelitian ini ekstrak
daun salam diformulasikan dalam bentuk nanoemulsi yang diharapkan dapat
meningkatkan kelarutan, bioavailabilitas serta meminimalkan jumlah dosis yang
dikonsumsi dari ekstrak daun salam. Dalam formulasinya, nanoemulsi dapat
diformulasikan melalui Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS).
Secara substansial SNEDDS terbukti meningkatkan bioavailabilitas obat lipofilik
melalui pemberian oral. Perkembangan teknologi memungkinkan SNEDDS
memecahkan masalah terkait penghantaran obat dengan kelarutan dalam air yang
buruk (Makadia dkk., 2013).
Nanoemulsi adalah campuran isotropik dari minyak, air, surfaktan dan
kosurfaktan yang stabil dan jernih (Thakur et al., 2013). Nanoemulsi telah
diterapkan dalam berbagai industri farmasi, diantaranya untuk sistem penghantar
transdermal, bahan atau unsur yang potensial dalam beberapa produk perawatan
3
tubuh, dan pembawa yang baik pada obat sehingga dapat meningkatkan
bioavailabilitas obat dalam tubuh (Gutierrez et al., 2008).
Self-nanoemulsifyig Drug Delivery System (SNEDDS) adalah metode
penghantaran obat dengan pembuatan campuran isotropik minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan obat yang mampu membentuk nanoemulsi secara spontan di dalam
saluran cerna dan menghasilkan ukuran tetesan yang berukuran nanometer. (Patel
dkk., 2011; Han dkk., 2011 ; Makadia dkk., 2013). Salah satu komponen penting
dalam formulasi SNEDDS adalah minyak, dalam penelitian ini digunakan Palm
Kernel Oil (PKO) sebagai komponen minyak karena PKO termasuk dalam
trigliserida rantai menengah yang didominasi oleh asam laurat. Asam lemak rantai
medium bersifat lebih polar (lebih cepat melepas ion-ion H) dibandingkan dengan
asam lemak rantai panjang. Asam lemak rantai medium lebih mudah masuk
secara langsung tanpa enzim lipase pankreatik ke dalam hati melalui vena portal
setelah diabsorbsi oleh usus dan dengan cepat dimetabolisme menjadi energi.
Asam lemak rantai medium tidak masuk dalam siklus kolesterol dan tidak
mengakumulasi jumlah lemak dalam jaringan (Dayrit, 2003). Penggunaan Palm
Kernel Oil (PKO) dalam SNEDDS diharapkan dapat menghasilkan emulsi
berukuran nanometer sehingga meningkatkan bioavailabilitas oral ekstrak daun
salam serta dapat digunakan dengan dosis yang rendah dalam sediaan nanoemulsi
SNEDDS.
Pada penelitian ini, dilakukan optimasi formulasi SNEDDS ekstrak daun
salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) menggunakan minyak Palm Kernel
Oil (PKO). Hasil optimasi tersebut dianalisis untuk mengetahui emulsification
4
time, ukuran distribusi ukuran, nilai potensial zeta, dan morfologi partikel
nanoemulsi. Keberhasilan penelitian ini diharapkan dapat menjadi inovasi terbaru
bagi sediaan nanoemulsi ekstrak daun salam, meningkatkan profil stabilitas fisik
dan atau kimia ekstrak, serta menjadi produk yang dapat digunakan sebagai
alternatif obat baru dalam dunia medis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Apakah SNEDDS ekstrak kloroform daun salam (Syzygium polyanthum
(Wight) Walp.) menggunakan minyak pembawa Palm Kernel Oil (PKO) dapat
menghasilkan sistem yang homogen?
2. Bagaimanakah hasil optimasi formula SNEDDS ekstrak kloroform daun salam
(Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) menggunakan minyak pembawa Palm
Kernel Oil (PKO)?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai berdasarkan rumusan masalah tersebut
yaitu :
1. Mengetahui apakah SNEDDS ekstrak kloroform daun salam (Syzygium
polyanthum (Wight) Walp.) menggunakan minyak pembawa Palm Kernel Oil
(PKO) mampu menghasilkan sistem yang homogen.
2. Mengetahui hasil formula yang optimal dari SNEDDS ekstrak kloroform
daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) menggunakan minyak
pembawa Palm Kernel Oil (PKO).
5
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini diantaranya yaitu:
1. Memberikan informasi ilmiah mengenai potensi ekstrak kloroform daun salam
(Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) menggunakan minyak pembawa Palm
Kernel Oil (PKO) mampu menghasilkan sistem SNEDDS yang homogen.
2. Memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
masyarakat mengenai formulasi yang optimal dari SNEDDS ekstrak kloroform
daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.)
menggunakan minyak
pembawa Palm Kernel Oil (PKO).
3. Memberikan informasi kepada industri farmasi mengenai efektivitas ekstrak
kloroform daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) dapat
difomulasikan dengan sistem SNEDDS sehingga dapat dikembangkan dalam
skala industri.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.)
a. Klasifikasi dan deskripsi salam
Klasifikasi tanaman salam menurut Van Steenis (2003) adalah sebagai
berikut:
Kingdom
: Plantae
Superdivisi : Spermatophyta
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Myrtales
Family
: Myrtaceae
Genus
: Syzygium
Spesies
: Syzygium polyanthum (Wight) Walp.
Menurut Dalimartha (2000), salam merupakan pohon bertajuk rimbun
dengan tinggi mencapai 25 m, batang bulat dengan permukaan licin, dan akar
tunggang. Daun salam berbentuk lonjong dan elips. Selain itu, daun salam
mempunyai sistem pertulangan yang menyirip, letaknya berhadapan, dan
tunggal. Bunga salam majemuk bersusun, berwarna putih, dan baunya harum.
Buahnya merupakan buah dengan bentuk bulat, rasanya sepat, berwarna hijau
(saat muda), dan merah gelap (saat masak). Biji salam berwarna cokelat dan
bentuknya bulat.
6
7
Gambar 1. Daun Salam
(Dokumentasi Pribadi, 2015)
b. Kandungan kimia daun salam
Kandungan senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman salam ini
antara lain yakni saponin, triterpenoid, flavonoid, polifenol, alkaloid, tanin dan
minyak atsiri yang terdiri dari sesquiterpen, lakton dan fenol (Sudarsono et al.,
2002).
Daun salam yang mengandung alkaloid dilaporkan memiliki aktivitas
antidiabetes, di antaranya kriptolepin yaitu sejenis alkaloid indolkuinolin yang
menurunkan kadar gula darah pada mencit diabetes (Bnouham et al., 2006),
dan alkaloid berberina yang dapat menurunkan aktivitas transaminase, dan
produksi kreatinin pada mencit diabetes (Punitha et al., 2006).
Kandungan daun salam lainnya berupa flavonoid, kumarin dan asam ferulat
(termasuk senyawa fenolik) yang memiliki aktivitas antidiabetes dengan cara
meningkatkan proliferasi dan sekresi insulin pada sel β pankreas (Tanko et al.,
2007). Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol, beberapa saponin
dilaporkan memiliki aktivitas antidiabetes di antaranya saponin yang diisolasi
8
dari akar Aralia elata Seem (elastosida E) dan saponin yang diisolasi dari daun
Acanthopanax senticocus yang menurunkan kadar gula darah pasca makan
pada mencit diabetes tanpa menurunkan kadar gula darah pada mencit normal
(Bnouham et al., 2006).
c. Manfaat daun salam
Daun salam memiliki manfaat farmakologis untuk mengobati beberapa
macam penyakit. Ekstrak akar dan buahnya memiliki kemampuan untuk
menetralisir konsumsi alkohol, sedangkan ekstrak daun salam biasanya
digunakan untuk menghentikan diare, gastritis, diabetes melitus, gatal, dan
scabies (Wijayakusuma, 1995). Daun salam mempunyai kemampuan sebagai
astringen yaitu dapat mempresipitasikan protein selaput lendir dan membentuk
suatu lapisan yang melindungi usus, sehingga menghambat asupan glukosa
yang mengakibatkan laju penurunan glukosa darah (Widowati, 2008).
Ekstrak daun salam memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan
dengan obat sintetik. Dilaporkan bahwa infus daun salam dengan dosis 175
mg/kg BB kelinci dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci (Limawan,
1998). Penelitian baru menjelaskan bahwa infus daun salam sebanyak 0,5 mg
dapat meningkatkan ekskresi asam urat dalam urin tikus wistar jantan
(Apriono, 2008).
2. Metode Penyarian
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut diuapkan hingga
diperoleh ekstrak kering. Metode penyarian yang akan digunakan tergantung dari
9
wujud dan kandungan dari bahan yang akan disari (Harborne, 1987). Beberapa
metode penyarian antara lain: maserasi, perkolasi, refluks, infudasi dan sokhletasi.
Pemilihan terhadap ketiga metode tersebut disesuaikan dengan kepentingan dalam
memperoleh sari yang baik (Anonim, 1986).
Maserasi merupakan proses penyarian yang paling sederhana dan banyak
digunakan untuk menyari bahan obat yang berupa serbuk simplisia halus. Prinsip
metode maserasi adalah dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut
yang sesuai selama beberapa hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya,
pelarut akan masuk ke dalam sel tanaman melewati dinding sel. Kemudian isi sel
akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan
di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar diganti oleh
pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut akan
berlangsung sampai terjadi kesetimbangan antara larutan di dalam sel dan di luar
sel. Keuntungan metode maserasi adalah cara pengerjaannya mudah dan peralatan
yang digunakan sederhana sedangkan kerugiannya adalah proses penyariannya
membutuhkan waktu yang lama dan kurang sempurna, perlu proses pengadukan
dan terjadinya kejenuhan sehingga kandungan kimia yang tersari terbatas
(Harborne, 1987).
3. Nanoemulsi
Emulsi merupakan sediaan yang mengandung dua fase yang tidak tercampur,
biasanya air dan minyak, dimana cairan yang satu terdispersi menjadi tetesantetesan
kecil (droplet) dalam cairan lainnya yang distabilkan dengan zat
pengemulsi atau surfaktan yang cocok (Anief, 2000). Sistem emulsi umumnya
10
mudah rusak dengan penambahan energi serta seiring berjalannya waktu. Masalah
ini dapat diatasi dengan memperkecil ukuran droplet serta penggunaan stabilizer.
Memperkecil ukuran droplet dapat dilakukan dengan pembuatan nanoemulsi
(Haryono, 2009).
Nanoemulsi adalah sistem emulsi yang transparant, tembus cahaya dan
merupakan dispersi minyak air yang distabilkan oleh lapisan film dari surfaktan
atau molekul surfaktan, yang memiliki ukuran droplet 50 nm – 500 nm (Shakeel,
et al.,2008). Dalam literartur lain nanoemulsi didefinisikan sebagai suatu dispersi
air atau minyak dalam minyak atau air yang distabilkan oleh molekul surfaktan
dengan ukuran droplet emulsi pada
rentang 20-600 nm (Gupta dkk., 2010).
Ukuran droplet nanoemulsi yang sangat kecil menyebabkan gaya gravitasi
menjadi lebih kecil, sehingga gerak Brown
dapat mengatasi pengaruh gaya
gravitasi. Akibatnya, creaming, flokulasi, dan pengendapan tidak terjadi selama
penyimpanan nanoemulsi (Tadros dkk., 2005). Nanoemulsi disebut juga sebagai
ultrafine emulsion atau miniemulsion, perbedaan nano emulsi dan mikroemulsi
terletak pada ukuran partikel atau
tetsannya dan juga terletak pada jenis
stabilitasnya (Koroleva dan Yurtov, 2012).
Keuntungan utama dari nanoemulsi sebagai sistem pembawa obat meliputi
peningkatan loading obat, peningkatan kelarutan dan bioavailabilitas obat,
berkurangnya variabilitas obat terhadap pasien, mengendalikan pelepasan obat
dan perlindungan dari degradasi enzimatik (Kotta et al., 2012). Keunggulan lain
yakni partikel berukuran nano lebih mudah terpenetrasi melalui kapiler sehingga
ketersediaan obat pada sel target lebih maksimal. Nanopartikel dapat
11
menghantarkan obat dengan lebih baik ke unit yang lebih kecil dalam tubuh,
mengatasi resistensi akibat barrier fisiologi tubuh, dapat ditargetkan sehingga
mengurangi toksisitas dan meningkatkan efisiensi distribusi obat, peningkatan
ketersediaan hayati obat yang absorbsinya rendah, mengurangi risiko efek
samping akibat penggunaan obat yang mengiritasi saluran cerna, percepatan
waktu disolusi obat, dan meningkatkan dispersi obat (Pinto Reis dkk., 2006;
Rawat dkk., 2006).
Karakterisasi tetesan nanoemulsi umumnya tidak berbeda dengan nanopartikel
yakni dengan meninjau ukuran partikel dan sifat permukaan partikel. Diameter
partikel diukur berdasarkan gerak Brown dan sifat penghamburan cahaya
(Swarbrick dan Boylan, 2002). Penentuan ukuran dan distribusi partikel biasanya
menggunakan spektrofotometer korelasi foton atau particle size analyzer (PSA),
dan dilanjutkan dengan konfirmasi ukuran partikel menggunakan scanning atau
transmission electron microscope (SEM atau TEM) (Mohanraj dan Chen, 2006).
Kriteria mendasar yang harus dipenuhi sistem penghantaran nanopartikel adalah
stabilitas, keamanan (tidak toksik), reproduksibilitas hasil pembuatan, kemudahan
pembuatan dan biaya yang terjangkau untuk pembuatan skala besar (Tiyaboonchai
dkk., 2003).
4. Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS)
Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) adalah sistem yang
terdiri dari campuran minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan yang dapat membentuk
nanoemulsi secara spontan ketika bertemu fase air melalui agitasi yang ringan
dalam lambung dengan ukuran tetesan emulsi berkisar nanometer (Mahmoud et
12
al., 2013). SNEDDS merupakan metode penghantaran obat yang memiliki
komponen berupa minyak sebagai pembawa obat, surfaktan sebagai emulgator
minyak ke dalam air melalui pembentukan dan penjaga stabilitas lapisan film
antar muka, ko-surfaktan untuk membantu kerja dari surfaktan sebagai emulgator,
dan obat yang secara spontan membentuk nanoemulsi ketika bercampur dengan
air dengan adanya pengadukan ringan motilitas saluran cerna (Date dkk., 2010;
Dewan dkk., 2012; Patel dkk., 2011). SNEDDS menghasilkan ukuran tetesan
partikel yang berukuran kecil antara 50-500nm dan dapat meningkatkan kelarutan
obat yang tidak larut dalam air sehingga dapat membantu absorpsi obat pada
saluran cerna (Shakeel et al., 2008; Makadia et al., 2013).
Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System SNEDDS memiliki keunggulan
yang lebih stabil dibandingkan dengan emulsi, dapat terjadi peningkatan profil
stabilitas fisik dan atau kimia pada penyimpanan jangka panjang, meningkatkan
kelangsungan hidup komersial dan kepatuhan pasien, dapat meningkatkan jumlah
obat terdisolusi untuk obat yang absorbsinya dipengaruhi oleh kecepatan
disolusinya serta meningkatkan permeasi antar membran saluran pencernaan
(Rane dan Anderson, 2008; Wasan dkk., 2009; Wang dkk., 2010). Selain itu
SNEDDS mempunyai keuntungan dapat memproteksi zat obat yang sensitif,
penargetan selektif obat dalam penyerapan spesifik di gastrointestinal,
peningkatan bioavailabilitas oral memungkinkan pengurangan dosis. Muatan obat
tinggi sehingga mudah disimpan karena memiliki sistem termodinamika yang
stabil. Tetesan minyak menjadi cepat melewati gastrointestinal dan distribusi yang
luas dari obat ke seluruh gastrointestinal untuk meminimalkan iritasi yang sering
13
ditemui selama kontak diperpanjang antara zat obat massal dan dinding usus.
Partisi obat antara minyak dan air memiliki luas permukaan yang lebih besar
(Hiral et al., 2013). Selain itu, SNEDDS menyebar mudah dalam saluran
pencernaan, dan motilitas pencernaan lambung dan usus memberikan agitasi yang
diperlukan untuk self-emulsifikasi (Hiral et al., 2013).
Formulasi SNEEDS yang optimal dipengaruhi oleh sifat fisikokimia dan
konsentrasi minyak, surfaktan, ko-surfaktan, rasio masing-masing komponen, pH
dan suhu emulsifikasi terjadi, serta sifat fisikokimia obat (Date dkk., 2010).
Komponen utama dalam SNEDDS antaran lain adalah
a. Minyak
Minyak merupakan eksipien penting dalam formulasi SNEDDS karena
dapat membawa obat lipofilik melalui sistem limfatik usus (Gupta dkk.,
2010). Fase minyak juga berperan penting dalam menentukan spontanitas
emulsifikasi, kelarutan obat, dan ukuran tetesan emulsi. Selain membantu
self-emulsification dari SNEDDS juga mampu meningkatkan fraksi obat
hidrofobik yang tertransport melalui sistem intestinal limfatik sehingga
meningkatkan absorbsi pada saluran gastrointestinal (Gursoy dan Benita,
2004).
Minyak yang dapat digunakan dalam formulasi SNEDDS adalah minyak
yang dapat melarutkan obat dengan maksimal serta mampu menghasilkan
ukuran tetesan yang kecil sehingga dapat terbentuk nanoemulsi. Minyak yang
banyak mengandung komponen rantai hidrokarbon seperti minyak nabati atau
trigliserida rantai panjang susah teremulsi dibandingkan dengan trigliserida
14
rantai menengah, monogliserida rantai menengah atau ester asam lemak.
(Anton dan Vandamme, 2009; Sadurni dkk., 2005). Trigliserida rantai
menengah merupakan salah satu jenis minyak yang telah digunakan dalam
berbagai formulasi farmasi meliputi sediaan oral, parenteral, dan topikal. Pada
formulasi sediaan oral, trigliserida rantai menengah digunakan sebagai basis
sediaan emulsi, mikroemulsi, selfemulsifying systems, larutan, atau suspensi
obat yang tidak stabil atau tidak larut dalam media air.
Gambar 2. Struktur Trigliserida Rantai Menengah
Fase minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Palm Kernel Oil
(PKO). PKO merupakan trigliserida rantai menengah yang dapat digunakan
dalam pembuatan SNEDDS. PKO juga dikenal dengan nama Minyak Inti
Sawit. Kandungan asam lemak yang paling dominan terkandung dalam PKO
adalah lauric acid (48%), miristat acid (16%) dan oleic acid (15%)
(Murhadi,2010). PKO memiliki rantai asam yang pendek dan asam lemak
jenuh yang tinggi. Asam lemak mayor pada PKO adalah C12 (asam laurat)
sekitar 48%, C14 (asam miritat) sekitar 16% dan 18:1 (asam oleat) sekitar 15%
(Codex, 1999).
Palm Kernel Oil (PKO) sebagai komponen minyak dikarenakan PKO
termasuk dalam trigliserida rantai menengah yang didominasi oleh asam
15
laurat. Asam lemak rantai medium bersifat lebih polar (lebih cepat melepas
ion-ion H) dibandingkan dengan asam lemak rantai panjang. Asam lemak
rantai medium lebih mudah masuk secara langsung tanpa enzim lipase
pankreatik ke dalam hati melalui vena portal setelah diabsorbsi oleh usus dan
dengan cepat dimetabolisme menjadi energi. Asam lemak rantai medium tidak
masuk dalam siklus kolesterol dan tidak mengakumulasi jumlah lemak dalam
jaringan (Dayrit, 2003)
Gambar 3. Struktur Asam Laurat
b. Surfaktan
Surfaktan merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan
SNEDDS. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan antarmuka dan
berpengaruh besar terhadap proses pembentukan nanoemulsi, serta ukuran
tetesan nanoemulsi. Kemampuan SNEDDS terdispersi secara cepat dalam
kondisi pengadukan ringan ditentukan oleh kemampuan emulsifikasi surfaktan
(Patel dkk., 2011a).
Emulsifikasi surfaktan dipengaruhi oleh HLB dan struktur surfaktan.
Tween atau polysorbate (polyoxyethylene sorbitan fatty acid esters)
merupakan surfaktan dengan struktur rantai alkil yang memiliki efek penetrasi
minyak ke lapisan surfaktan sehingga memungkinkan terbentuknya
nanoemulsi. Surfaktan dengan nilai HLB <10 bersifat hidrofobik (seperti
monoester sorbitan) cenderung membentuk nanoemulsi A/M, sedangkan
surfaktan dengan nilai HLB tinggi >10 bersifat hidrofilik (seperti polisorbat
16
80) cenderung membentuk nanoemulsi M/A. Dalam beberapa kasus,
campuran surfaktan lipofilik dan hidrofilik mungkin diperlukan untuk
memperoleh nanoemulsi (Debnath dkk., 2011). Surfaktan nonionik lebih
sering digunakan dibandingkan dengan surfaktan ionik karena tidak terlalu
dipengaruhi oleh pH media, aman, dan biokompatibel untuk penggunaan
secara oral (Azeem dkk., 2009; Patel dkk., 2011)
Surfaktan yang sering digunakan dalam pembuatan SNEDDS yakni tween
80 dan tween 20 yang termasuk dalam jenis surfaktan nonionik. Tween 80
memiliki HLB sebesar 15 yang dikategorikan sebagai generally regarded as
nontoxic and nonirritant (Rowe dkk., 2009). Tween 20 memiliki HLB sebesar
sekitar 16,7 (Bouchemal dkk., 2004; Singh dkk., 2009). Tween 80 lebih baik
dari tween 20 dalam membentuk partikel yang lebih kecil, yang meningkatkan
kecepatan absorpsi in vivo dengan meningkatkan luas permukaan yang
tersedia untuk disolusi obat tetapi memiliki sedikit pengaruh terhadap
bioavailabilitas oral karena luas microemulsificationnya lebih rendah (Lin
dkk., 2011).
Gambar 4. Struktur Tween 80 dan Tween 20
17
c. Ko – surfaktan
Penggunaan ko-surfaktan pada SNEDDS bertujuan untuk meningkatkan
drug loading, mempercepat self-emulsification, dan mengatur ukuran droplet
nanoemulsi (Date dkk., 2010). Senyawa ampifilik ko-surfaktan memiliki
afinitas terhadap air dan minyak. Secara umum, ko-surfaktan yang dipilih
berupa alkohol rantai pendek karena mampu mengurangi tegangan antarmuka,
meningkatkan fluiditas antarmuka, dan mampu meningkatkan pencampuran
air dan minyak karena partisinya diantara dua fase tersebut (Azeem dkk.,
2009).
Ko-surfaktan yang umum digunakan dalam formulasi SNEDDS adalah
PEG 400 dan propilen glikol, keduanya berupa cairan kental, tidak berwarna
dan transparan. PEG 400 termasuk dalam kategori generally regarded as
nontoxic and nonirritant material, sedangkan propilen glikol termasuk dalam
kategori generally regarded as a relatively nontoxic material (Rowe dkk.,
2009). Pelarut organik seperti etanol, gliserol, propilen glikol (PG), polietilen
glikol (PEG) cocok untuk pemberian oral dan memungkinkan disolusi dalam
jumlah besar, baik ko-surfaktan dengan surfaktan hidrofilik maupun dengan
obat dalam basis lipid dengan dan membuat lingkungan lebih hidrofobik
dengan mengurangi konstanta dielektrik air (Debnath dkk., 2011).
18
Gambar 5. Struktur Propylene glycol dan Polyethylene glycol 400
B. Kerangka Pemikiran
Tumbuhan salam (Syzygium polyantum Wigth.) merupakan salah satu
tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Secara empiris tanaman ini berkhasiat
sebagai obat kolestrol tinggi, diabetes mellitus, hipertensi, sakit maag (grastitis),
diare, dan mengobati asam urat (Wijayakusuma, 1995). Senyawa kimia yang
terkandung dalam tanaman ini antara lain yakni alkaloid, saponin, steroid, fenolik
dan flavonoid (liliwirianis et al, 2011).
Ekstrak tanaman umumnya memiliki kelarutan yang rendah yang dapat
berefek pada tingkat bioavailabilitas obat yang kurang maksimal sehingga
memerlukan dosis yang cukup besar untuk mencapai efektivitas terapi (Bansal
dkk,. 2010). Oleh karena itu, formulasi dalam bentuk nanoemulsi menjadi pilihan
yang diharapkan dapat meningkatkan kelarutan dan bioavailabilitas oral, serta
meminimalkan jumlah dosis yang dikonsumsi dari ekstrak klorofrom daun salam.
Nanoemulsi dapat diformulasikan melalui Self-Nanoemulsifying Drug
Delivery System (SNEDDS). Secara substansial SNEDDS terbukti meningkatkan
bioavailabilitas obat lipofilik melalui pemberian oral. Perkembangan teknologi
memungkinkan SNEDDS memecahkan masalah terkait penghantaran obat dengan
kelarutan dalam air yang buruk (Makadia dkk., 2013). Dalam formulasi sistem
19
SNEDDS minyak merupakan salah satu komponen penting yang harus
diperhatikan. Komponen minyak yang digunakan dalam penelitian ini yakni Palm
Kernel Oil (PKO), penggunaan PKO dalam sistem SNEDDS diharapkan dapat
meningkatkan bioavailabilitas oral ekstrak kloroform daun salam yang rendah
serta dapat dikonsumsi dalam dosis yang rendah. Palm Kernel Oil (PKO)
merupakan minyak dalam kategeori tligiserida menengah yang dapat digunakan
pada sediaan nanoemulsi SNEDDS. Komponen lain yang digunakan dalam
formulasi SNEDDS yakni surfaktan (tween 80 dan tween 20) dan ko-surfaktan
(PEG dan Propilen glikol). Penggunaan perbandingan komponen minyak Palm
Kernel Oil (PKO), surfaktan dan ko-surfaktan dalam formula SNEDDS yang tepat
diharapkan dapat diperoleh formula paling optimal sehingga dapat meningkatkan
nilai bioavailabilitas oral ekstrak daun salam, minimalkan dosis yang cukup besar
dalam penggunaannya untuk mencapai efektivitas terapi yang maksimal.
C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir tersebut maka dapat dibuat beberapa hipotesa,
sebagai berikut :
1. Optimasi komposisi surfaktan dan ko-surfakta dari SNEDDS ekstrak
kloroform daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) mampu
menghasilkan sistem yang homogen.
2. SNEDDS ekstrak kloroform daun salam (Syzygium polyanthum (Wight)
Walp.) dengan minyak pembawa Palm Kernel Oil (PKO) mampu
menghasilkan sistem yang homogen ditandai dengan campuran yang
jernih tanpa endapan.
20
3. SNEDDS ekstrak kloroform daun salam (Syzygium polyanthum (Wight)
Walp.) dengan minyak pembawa Palm Kernel Oil (PKO) mampu
menghasilkan formulasi yang optimal dengan beberapa keriteria meliputi
emulsification time kurang dari 5 menit, karakteristik nanoemulsi dengan
ukuran tetesan 50-500 nm, nilai polydispersity index kurang dari 1, nilai
potensial zeta dalam batas rentang ± 30 mV, mempunyai bentuk partikel
yang sferis dan stabil dalam media dengan pH berbeda.
Download