5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di pantaipantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindungi. Karakteristik habitat hutan mangrove menurut Bengen (2000) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari ataupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Untuk mempertahankan hidupnya, pohon mangrove beradaptasi dengan lingkungannya. Pertama adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, pohon mangrove mempunyai sistem perakaran yang khas yang pertama bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara, misalnya pada Avicennia spp. dan Sonneratia spp. Jenis yang kedua bertipe penyangga yang mempunyai lentisel, misalnya Rhizopora spp. Kedua, adaptasi terhadap kadar garam tinggi, daun-daun mangrove memiliki struktur stomata yang khusus untuk mengurangi penguapan, juga sel-sel khusus untuk menyimpan garam. Selain itu, daunnya yang tebal dan kuat banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. Ketiga, adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut. Mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Disamping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. Selain itu mangrove memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Kedua, fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik, seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Ketiga, fungsi ekonomis 6 mangrove, yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan. Terdapat proses perpindahan energi dalam ekosistem mangrove. Dimulai dari mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting, kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi, seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Keberadaan mangrove sangat penting peranannya dalam tambak sehingga pemanfaatan mangrove untuk budidaya perikanan harus rasional. Ahmad dan Mangampa (2000) in Gunarto (2004) menyarankan konversi lahan mangrove menjadi areal tambak sebesar 20%. 2.2. Bandeng Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Malacopterigii Famili : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanos chanos (Gambar 2) Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis yang mencari makan di permukaan dan sering dijumpai di daerah pantai. Secara geografis ikan ini hidup di daerah tropis maupun subtropis pada batas 30°-40° lintang selatan (Martosudarmo et al. 1984). 7 Gambar 2. Ikan bandeng (Chanos chanos) Salah satu sifat yang mencolok dari ikan ini adalah sifat euryhaline (tahan terhadap kisaran perubahan salinitas air), yang memungkinkannya untuk dipelihara di air payau. Ikan bandeng juga dapat dipelihara di air tawar karena sifat euryhaline mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas, meskipun untuk memijahkan induk dan larva masih membutuhkan air asin. Bandeng akan memijah di tengah laut yang salinitasnya tinggi. Nener (benih bandeng) bisa ditangkap di daerah pantai menggunakan rumpon berupa daun kelapa, dan nener tersebut diambil dengan cara diseser (Susanto 2005). Ikan bandeng memiliki keunggulan komparatif dibanding spesies lainnya antara lain bersifat herbivor dan respon terhadap pakan buatan. Dalam pemeliharaannya, ikan bandeng dapat memanfaatkan pakan alami yang tersedia di tambak dan juga dapat memakan pakan buatan sehingga dapat dibudidayakan secara ekstensif dan intensif (Direktorat Jendral Perikanan 1996). 2.3. Belanak Klasifikasi ikan belanak menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Domain : Eukaryota Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Osteichthyes Order : Perciformes Family : Mugilidae Genus : Mugil Spesies : Mugil cephalus (Gambar 3) 8 Gambar 3. Ikan Belanak (Mugil cephalus) Belanak adalah sejenis ikan laut tropis dan subtropis yang merupakan penghuni dari pesisir pantai dan muara serta sungai-sungai. Ikan ini termasuk ikan yang bersifat non predator (bukan pemangsa), jadi penyebarannya merata baik di perairan subtropis ataupun tropis. Makanan dari ikan belanak adalah organismeorganisme kecil yang terdapat di dasar, di dalam lumpur serta ganggang-ganggang yang terapung. 2.4. Udang Klasifikasi udang menurut Suwigyo et al. (1997) adalah sebagai berikut: Phylum : Crustacea Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Penaeidae Sub Famili : Penaeinae Genus : Penaeus Spesies : Penaeus monodon (Udang windu) (Gambar 4) 9 Gambar 4. Udang windu (Penaeus monodon) Udang termasuk omnivora dan lebih menyukai organisme yang sedang dalam proses pembusukan. Udang memakan detritus, organisme demersal kecil, dan bagian dari tumbuhan air yang melekat pada substrat (Munro 1975 in Puslitbang Perikanan 1992). Makanan udang bervariasi menurut fase hidupnya. Pada fase zoea makanan terdiri dari plankton nabati, seperti diatom dan dinoflagellata. Pada tingkat mysis makanannya adalah plankton hewani, seperti protozoa dan rotifer. Pada tingkat post larvae dan udang muda makanannya adalah diatom, bentos, anak tiram, krustasea lain, cacing, dan detritus. Udang dewasa suka makan daging binatang lunak atau moluska, cacing, udang, dan anak serangga. 2.5. Kondisi Lingkungan 2.5.1. Suhu Suhu merupakan faktor penting dalam pengaturan proses kehidupan dan penyebaran organisme. Kehadiran spesies tertentu dalam suatu wilayah memerlukan kondisi suhu tertentu pula. Suhu tidak hanya berpengaruh pada kegiatan metabolisme organisme saja, melainkan juga terhadap aktifitas senyawa-senyawa kimia terlarut (Riley dan Skirrow 1975). Suhu bersama tekanan sangat berpengaruh pada fungsi dinamika dan proses percampuran massa air. Untuk logam berat sendiri, Hutagalung (2001) mengatakan bahwa suhu berkorelasi positif dengan toksisitas logam berat, dimana peningkatan suhu akan menyebabkan toksisitas dari suatu logam berat meningkat. 10 Perubahan suhu lingkungan yang disebabkan oleh polusi panas akan memberikan suatu dampak terhadap keberhasilan ekosistem untuk terus hidup. Ekosistem tropis adalah yang paling rentan terhadap pengaruh buruk yang dihasilkan oleh penambahan panas (bahang) dan kenaikan suhu (Johanes et al. 1975 in Connel & Miller 1995). Suhu musiman di daerah tropis cenderung stabil, dengan demikian ekosistem tropis beradaptasi pada toleransi suhu yang sempit. Peningkatan suhu dapat menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air. Peningkatan suhu sebesar 10ºC menyebabkan konsumsi oksigen meningkat sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah sebesar 20ºC-30ºC (Effendi 2003). Menurut Poernomo (1988) in Wahab (2003) kisaran suhu yang diperbolehkan dalam pemeliharaan udang windu adalah 26ºC-32ºC sedangkan untuk pemeliharaan benih bandeng di tambak temperatur air bervariasi antara 24ºC-38,5ºC (Bardach et al. 1973 in Wahab 2003). 2.5.2. Derajat keasaman (pH) Variasi nilai derajat keasaman (pH) pada perairan terbuka relatif stabil pada kisaran 7,5-8,4. Nilai pH di estuari banyak dipengaruhi oleh masukan senyawa peubah suasana asam-basa dari luar misalnya sungai. Umumnya senyawa dari luar yang masuk ke daerah estuaria memiliki kisaran pH <6,7 atau >8,5 (National Technical Advisory Committe-NTAC 1980). Dan kisaran pH di perairan estuari tropis umumnya 6-9. Nilai pH dipengaruhi oleh suhu, proses metabolisme, ion-ion dalam air dan kandungan oksigen terlarut (Pescod 1973). Nilai pH juga mempengaruhi reaksi kimia, sehingga sifat kimia senyawa tersebut berubah. Biasanya perubahan nilai pH tertentu pada suatu senyawa dapat menjadi bersifat toksik atau racun bagi biota perairan. Secara umum logam berat akan meningkat toksisitasnya pada pH rendah, sedangkan pada pH tinggi logam berat akan mengalami pengendapan (Kadang 2005). Derajat keasaman (pH) perairan sangat menentukan dalam usaha budidaya ikan. Perairan dengan pH rendah akan berakibat fatal bagi kehidupan ikan, yaitu akan memperlambat laju pertumbuhan. Sebagian besar biota akuatik sensitif 11 terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Perubahan keasaman pada air buangan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH menurun), akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air di sekitarnya. 2.5.3. Salinitas Salinitas permukaan dari hasil observasi ditentukan oleh meningkat dan menurunnya evaporasi dan presipitasi, dan salinitas maksimum terjadi pada lintasan angin dimana evaporasi tahunan lebih besar daripada presipitasi (Pickard 1970). Secara alamiah fluktuasi salinitas di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal, yaitu hujan yang lebat dan penguapan yang besar. Berbagai aktifitas manusia juga mempengaruhi salinitas perairan laut, terutama di daerah pesisir dekat muara sungai, misalnya bendungan sungai atau kanal. Keadaan salinitas di daerah estuari tidak stabil, berubah dengan keadaan pasang surut. Selain hal itu ada faktor lain yang mempengaruhi variasi salinitas, seperti topografi estuari serta muatan dan jumlah air tawar. Sebagian besar petambak membudidayakan udang dalam air payau (15-30 ppt). Menurut Khordi dan Gufran (1997), ikan bandeng akan memiliki pertumbuhan optimum pada kisaran salinitas 10-35‰. Sedangkan udang windu (Penaeus monodon), udang peci (P. merguensis) akan tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas 15-22‰. 2.5.4. Oksigen terlarut Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut di perairan dapat berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing), pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi 2003). Kebutuhan organisme akuatik terhadap oksigen terlarut sangat tinggi, sehingga kandungan oksigen terlarut yang cukup sangat berarti bagi kehidupan organisme akuatik. Proses dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik oleh dekomposer dapat mengurangi kadar oksigen terlarut sehingga mencapai nol atau anaerob. Konsentrasi oksigen yang aman bagi kehidupan harus berada diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun (Pescod 1973). Proses metabolisme dalam tubuh juga membutuhkan oksigen dalam jumlah banyak dengan 12 meningkatnya suhu perairan. Terdapat suatu hubungan antara kadar oksigen dengan suhu, dimana semakin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen semakin berkurang. Peningkatan suhu sebesar 1ºC akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%. Hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen > 5 mg/liter (Effendi 2003). 2.6. Karakteristik Logam Berat Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni, organik, dan anorganik. Air sering tercemar oleh berbagai komponen anorganik, diantaranya berbagai jenis logam berat yang berbahaya, yang beberapa diantaranya banyak digunakan dalam berbagai keperluan sehingga diproduksi secara kontinyu dalam skala industri. Industri-industri tersebut harus mendapatkan pengawasan yang ketat agar tidak mencemari dan membahayakan lingkungan sekitar. Pencemaran logam berat sangat merugikan ikan secara fisik dan fisiologik, seperti kerusakan vertebral, kerusakan lamella sekunder pada insang (Irianto 2005). Logam juga dapat masuk kedalam tubuh dan dapat mengumpul di dalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai racun yang terakumulasi (Kristanto 2004). Logam berat adalah unsur-unsur dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah pada sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 hingga 7. Berdasarkan sifat kimia dan fisiknya, maka tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air pada LC-50 selama 48 jam, akibat pengaruh sinergik antar logam, efek sublethal, bioakumulasi, dan bahayanya terhadap orang yang mengkonsumsi ikan, maka dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut, Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), Emas (Au), Nikel (Ni), Timah Hitam (Pb), Arsen (Ar), Selenium (Sn), dan Seng (Zn) (Darmono 1995). Namun Kristanto (2004) menyebutkan bahwa logam berat yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan, yang utama adalah Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Arsenik (Ar), Kadmium (Cd), Kromium (Cr), dan Nikel (Ni). Sedangkan Irianto (2005) mengatakan bahwa ada empat logam berat yang paling intensif dipelajari sifat toksisitasnya, yaitu Cu, Hg, Cd, dan Zn. 13 Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik tinggi terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Untuk logam berat yang termasuk kedalam golongan toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co. Sedangkan logam berat yang termasuk ke dalam golongan toksik rendah yaitu unsur Mn dan Fe. Sifat-sifat logam berat menurut Moore dan Ramamoorthy (1984) yaitu diantaranya sulit didegradasi secara alami, dapat terakumulasi dalam organisme, memiliki EC10 dan LC50-96 jam yang rendah, memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut, dan faktor konsentrasi (rasio antara kadar polutan dalam tubuh dan kadar polutan di lingkungan) yang besar dalam tubuh biota laut. 2.6.1. Timbal (Pb) Logam Pb secara alami tersebar luas pada batu-batuan dan lapisan kerak bumi (Clark 1986). Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A dengan nomor atom 82 dan bobot 207,2. Penyebaran Pb di bumi sangat sedikit yaitu 0,0002% dari seluruh lapisan bumi. Logam Pb terdapat di perairan, baik secara alamiah ataupun sebagai dampak dari aktifitas manusia. Logam ini masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Disamping itu, proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin, juga merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan masuk ke dalam perairan (Palar 2004). Timbal dan persenyawaannya digunakan dalam industri baterai sebagai bahan yang aktif dalam pengaliran arus elektron. Kemampuan timbal dalam membentuk alloy dengan logam lain telah dimanfaatkan untuk meningkatkan sifat metalurgi ini dalam penerapan yang sangat luas, contohnya digunakan untuk kabel listrik, konstruksi pabrik-pabrik kimia, kontainer dan memiliki kemampuan tinggi untuk tidak mengalami korosi (Palar 2004). Selain itu, Pb dapat digunakan sebagai zat tambahan bahan bakar dan pigmen timbal dalam cat yang merupakan penyebab utama peningkatan kadar Pb di lingkungan (Darmono 1995). Hampir 10% dari total produksi tambang logam timbal digunakan untuk pembuatan tetraethyl lead atau TEL yang dibutuhkan sebagai bahan penolong dalam proses produksi bahan bakar bensin karena dapat mendongkrak (boosting) nilai oktan bahan bakar sekaligus 14 berfungsi sebagai antiknocking untuk mencegah terjadinya ledakan saat berlangsungnya pembakaran dalam mesin. Ikan yang hidup dalam air yang mengandung logam berat Pb, pada hatinya akan ditemukan akumulasi logam berat. Besarnya kandungan logam berat dalam air juga mempengaruhi besarnya akumulasi logam berat dalam hati ikan. Semakin tinggi kandungan logam berat dalam air, akumulasi logam berat dalam hati ikan akan semakin tinggi pula. Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/L, dapat membunuh ikan. Sedangkan krustase setelah 245 jam akan mengalami kematian, apabila pada badan air konsentrasi Pb adalah 2,75-49 mg/L (Palar 2004). Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No. 03725/B/SK/VII/89 membatasi kandungan logam berat Pb maksimum pada sumberdaya ikan dan olahannya adalah adalah 2,0 ppm. 2.6.2. Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang sangat luas di alam, logam ini bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik cair 321oC dan titik didih 765oC. Di alam Cd bersenyawa dengan belerang (S) sebagai greennocckite (CdS) yang ditemui bersamaan dengan senyawa spalerite (ZnS). Kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan mudah teroksidasi oleh udara bebas dan gas amonia (NH3) (Palar 2004). Di perairan, Cd akan mengendap karena senyawa sulfitnya sukar larut (Bryan 1976). Menurut Clark (1986) sumber kadmium yang masuk ke perairan berasal dari: 1. Uap, debu, dan limbah dari pertambangan timah dan seng. 2. Air bilasan dari electroplating. 3. Besi, tembaga, dan industri logam non ferrous yang menghasilkan abu dan uap serta air limbah dan endapan yang mengandung kadmium. 4. Seng yang digunakan untuk melapisi logam mengandung kira-kira 0, 2% Cd sebagai bahan ikutan (impurity); semua Cd ini akan masuk ke perairan melalui proses korosi dalam kurun waktu 4-12 tahun. 5. Pupuk phosfat dan endapan sampah. Penggunaan Cd yang paling utama adalah sebagai stabilizer (penyeimbang) dan pewarna pada plastik dan electroplating (penyepuh/pelapisan logam). Selain itu 15 digunakan pula pada penyolderan dan pencampuran logam serta industri baterai. Akumulasinya dalam air tanah antara lain diakibatkan oleh kegiatan electroplating (pelapisan emas dan perak), pengerjaan bahan-bahan dengan menggunakan pigmen/zat warna lainnya, tekstil dan industri kimia (Darmono 1995). Logam kadmium atau Cd akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Dalam biota perairan, jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan (biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan mengalami akumulasi Cd yang lebih banyak. Keracunan kadmium bisa menimbulkan rasa sakit, panas pada bagian dada, penyakit paru-paru akut, dan menimbulkan kematian. Salah satu contoh kasus keracunan akibat pencemaran Cd adalah timbulnya penyakit itai-itai di Jepang (Palar 1994). 2.3.1. Tembaga (Cu) Tembaga (Cu) memiliki berat atom 63,5 densitas 8,90 dan titik cair 10840C. Dalam keadaan normal logam Cu merupakan logam esensial bagi hewan air. Tembaga merupakan salah satu logam yang bermanfaat dalam pembentukan haemosianin sistem darah dan enzimatik hewan air. Penyerapan Cu dilakukan melalui insang dan saluran pencernaan (Darmono 1995). Tembaga banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik, gelas dan zat warna yang biasanya bercampur dengan logam lain, seperti Ag, Cd, Sn, dan Zn. Garam tembaga banyak digunakan dalam bidang pertanian, misalnya larutan bordeaux yang mengandung 1-3% CuSO4. Larutan ini digunakan untuk membasmi siput sebagai inang dari parasit cacing, juga untuk mengobati penyakit kuku pada domba (Darmono 1995). Gejala yang timbul pada keracunan Cu akut adalah mual, muntah-muntah, sakit perut, hemolisis, nefrosis, kejang, dan akhirnya kematian. Pada keracunan kronis, Cu tertimbun dalam hati dan menyebabkan hemolisis. Hemolisis terjadi karena tertimbunnya H2O2 dalam sel darah merah sehingga terjadi oksidasi dari lapisan sel yang mengakibatkan sel jadi pecah. Defisiensi Cu dapat menyebabkan anemia dan pertumbuhan terhambat (Darmono 1995). 16 2.7. Cara Penyerapan Logam Berat oleh Organisme Badan air merupakan tempat buangan limbah industri yang diperkirakan mengandung logam berat yang dapat mengganggu kehidupan di dalamnya. Logam berat secara langsung atau tidak langsung akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Cara penyerapan logam berat oleh ikan umumnya mengambil logam berat melalui insang, kemudian ditransfer melalui darah ke ginjal. Bentuk logam berat anorganik disimpan dalam jaringan, kemudian ditransfer ke ginjal dan dieksresikan. Sedangkan logam organik tidak dieksresikan, tetapi terakumulasi dalam jaringan otot. Selain itu, masuknya logam berat dalam tubuh ikan juga dapat melalui rantai makanan. Menurut Darmono (1995), ada tiga teori mengenai mekanisme penyerapan logam berat dalam jaringan organisme, yaitu : 1. Penyerapan logam melalui mekanisme pengangkutan yang berhubungan dengan mekanisme osmoregulasi, yaitu pengaturan tekanan osmosis oleh organisme terhadap air di sekitarnya. 2. Pengikatan ion-ion logam menyentuh bagian tertentu dari permukaan jaringan dan masuk ke dalam sitoplasma. 3. Logam dalam bentuk kristal kecil atau larutan yang segera ditangkap oleh sel epitel dan secara endositosis logam tersebut dibawa masuk dan dilepas ke sitoplasma. Melalui proses biologis (biotransformasi), logam berat yang terakumulasi dalam tubuh organisme hidup akan terjadi perpindahan, kemudian terjadi peningkatan kadar logam berat pada tingkat pemangsa yang lebih tinggi yang disebut magnifikasi biologis (biomagnifikasi). Secara tidak langsung proses perikanan atau pertanian dapat tercemar oleh logam berat. Akumulasi biologis dapat terjadi melalui absorbsi langsung terhadap logam berat yang terdapat dalam badan air, sehingga organisme yang hidup pada perairan tercemar berat oleh logam berat, jaringan tubuhnya akan mengandung kadar logam berat yang tinggi pula. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh ikan dan udang, sebagian akan dieksresikan dan sebagian lagi akan mengalami proses bioakumulasi pada jaringan organ-organ tertentu. Besarnya kadar logam berat dalam air juga mempengaruhi besarnya akumulasi logam berat dalam hati ikan. Semakin tinggi kadar logam berat 17 dalam air, semakin tinggi pula akumulasi logam berat di dalam hati ikan. Waktu pemaparan logam berat tidak selalu menambah akumulasi logam berat di dalam hati ikan. Logam berat yang masuk ke dalam hati ikan dan udang menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari proses detoksifikasi. Salah satu mekanisme detoksifikasi adalah mengubah zat menjadi bentuk senyawa yang mudah dikeluarkan dari dalam tubuh. 2.8. Pengaruh Logam Berat Terhadap Biota Perairan Keberadaan logam berat dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota. Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme akan mempengaruhi aktivitas dari organisme tersebut. Bagi ikan, udang, dan moluska zat pencemar akan mempengaruhi saraf, sifat genetis atau fisiologis serta perilaku seperti food habit migration. Pengaruh logam berat terhadap biota umumnya terjadi dalam periode telur, larva atau juwana, sehingga menghambat pertumbuhan. Menurut Jones (1964), ikan yang mengakumulasi logam Pb, Zn, dan Cu pada insangnya akan terbentuk lapisan mukus (lendir), sehingga ikan mengalami keadaan kekurangan oksigen yang disebut Coagulation film anoxia. Pembentukan lapisan mukus tersebut disebabkan terjadinya reaksi penolakan dalam insang ikan terhadap logam berat yang diabsorpsi. Organ hati yang mengakumulasi logam Pb akan mengalami kerusakan jaringan hati ikan, yaitu degenerasi lemak, hiperemi (pembengkakan), dan nekrosa. Makin tinggi kadar logam berat makin tinggi kerusakannya. 2.9. Batas Aman Konsumsi atau Acceptable Daily Intake Asupan harian dapat diterima atau ADI adalah ukuran jumlah suatu zat tertentu (awalnya diterapkan untuk aditif makanan, kemudian juga untuk residu obat hewan atau pestisida) dalam air minum atau makanan yang dapat dicerna pada satuan hari tanpa resiko kesehatan yang berbahaya. Menurut WHO, batas aman konsumsi dapat dirumuskan sebagai berikut: 18 Keterangan: Baku mutu Pb = 25 g/ kg berat tubuh/minggu Baku mutu Cd = 7 g/ kg berat tubuh/minggu Baku mutu Cu = 87,5 g/ kg berat tubuh/minggu