BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di pantaipantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah pantai yang terlindungi.
Karakteristik habitat hutan mangrove menurut Bengen (2000) umumnya tumbuh
pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.
Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari ataupun hanya
tergenang pada saat pasang purnama.
Untuk mempertahankan hidupnya, pohon mangrove beradaptasi dengan
lingkungannya. Pertama adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, pohon mangrove
mempunyai sistem perakaran yang khas yang pertama bertipe cakar ayam yang
mempunyai pneumatofora untuk mengambil oksigen dari udara, misalnya pada
Avicennia spp. dan Sonneratia spp.
Jenis yang kedua bertipe penyangga yang
mempunyai lentisel, misalnya Rhizopora spp.
Kedua, adaptasi terhadap kadar
garam tinggi, daun-daun mangrove memiliki struktur stomata yang khusus untuk
mengurangi penguapan, juga sel-sel khusus untuk menyimpan garam. Selain itu,
daunnya yang tebal dan kuat banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan
garam. Ketiga, adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut.
Mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horizontal yang lebar. Disamping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Selain itu mangrove memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi fisiknya yaitu
untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing
sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat
pencemar. Kedua, fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan,
udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber
keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik, seperti burung, ular, kera, kelelawar,
dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Ketiga, fungsi ekonomis
6
mangrove, yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok,
papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan.
Terdapat proses perpindahan energi dalam ekosistem mangrove. Dimulai dari
mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi
primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan
perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove yang mati
dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting, kemudian didekomposisi oleh
berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama
membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik
yang mempunyai tingkatan lebih tinggi, seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis
juvenil ikan dan udang, serta kepiting.
Keberadaan mangrove sangat penting
peranannya dalam tambak sehingga pemanfaatan mangrove untuk budidaya
perikanan harus rasional. Ahmad dan Mangampa (2000) in Gunarto (2004)
menyarankan konversi lahan mangrove menjadi areal tambak sebesar 20%.
2.2.
Bandeng
Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterigii
Famili
: Chanidae
Genus
: Chanos
Spesies
: Chanos chanos (Gambar 2)
Ikan bandeng termasuk jenis ikan pelagis yang mencari makan di permukaan
dan sering dijumpai di daerah pantai. Secara geografis ikan ini hidup di daerah
tropis maupun subtropis pada batas 30°-40° lintang selatan (Martosudarmo et al.
1984).
7
Gambar 2. Ikan bandeng (Chanos chanos)
Salah satu sifat yang mencolok dari ikan ini adalah sifat euryhaline (tahan
terhadap kisaran perubahan salinitas air), yang memungkinkannya untuk dipelihara
di air payau. Ikan bandeng juga dapat dipelihara di air tawar karena sifat euryhaline
mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas, meskipun untuk memijahkan induk
dan larva masih membutuhkan air asin. Bandeng akan memijah di tengah laut yang
salinitasnya tinggi. Nener (benih bandeng) bisa ditangkap di daerah pantai
menggunakan rumpon berupa daun kelapa, dan nener tersebut diambil dengan cara
diseser (Susanto 2005).
Ikan bandeng memiliki keunggulan komparatif dibanding spesies lainnya
antara lain bersifat herbivor dan respon terhadap pakan buatan. Dalam
pemeliharaannya, ikan bandeng dapat memanfaatkan pakan alami yang tersedia di
tambak dan juga dapat memakan pakan buatan sehingga dapat dibudidayakan secara
ekstensif dan intensif (Direktorat Jendral Perikanan 1996).
2.3.
Belanak
Klasifikasi ikan belanak menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Osteichthyes
Order
: Perciformes
Family
: Mugilidae
Genus
: Mugil
Spesies
: Mugil cephalus (Gambar 3)
8
Gambar 3. Ikan Belanak (Mugil cephalus)
Belanak adalah sejenis ikan laut tropis dan subtropis yang merupakan
penghuni dari pesisir pantai dan muara serta sungai-sungai. Ikan ini termasuk ikan
yang bersifat non predator (bukan pemangsa), jadi penyebarannya merata baik di
perairan subtropis ataupun tropis. Makanan dari ikan belanak adalah organismeorganisme kecil yang terdapat di dasar, di dalam lumpur serta ganggang-ganggang
yang terapung.
2.4.
Udang
Klasifikasi udang menurut Suwigyo et al. (1997) adalah sebagai berikut:
Phylum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Famili
: Penaeidae
Sub Famili
: Penaeinae
Genus
: Penaeus
Spesies
: Penaeus monodon (Udang windu) (Gambar 4)
9
Gambar 4. Udang windu (Penaeus monodon)
Udang termasuk omnivora dan lebih menyukai organisme yang sedang dalam
proses pembusukan.
Udang memakan detritus, organisme demersal kecil, dan
bagian dari tumbuhan air yang melekat pada substrat (Munro 1975 in Puslitbang
Perikanan 1992). Makanan udang bervariasi menurut fase hidupnya. Pada fase zoea
makanan terdiri dari plankton nabati, seperti diatom dan dinoflagellata. Pada tingkat
mysis makanannya adalah plankton hewani, seperti protozoa dan rotifer.
Pada
tingkat post larvae dan udang muda makanannya adalah diatom, bentos, anak tiram,
krustasea lain, cacing, dan detritus. Udang dewasa suka makan daging binatang
lunak atau moluska, cacing, udang, dan anak serangga.
2.5. Kondisi Lingkungan
2.5.1. Suhu
Suhu merupakan faktor penting dalam pengaturan proses kehidupan dan
penyebaran organisme. Kehadiran spesies tertentu dalam suatu wilayah memerlukan
kondisi suhu tertentu pula. Suhu tidak hanya berpengaruh pada kegiatan
metabolisme organisme saja, melainkan juga terhadap aktifitas senyawa-senyawa
kimia terlarut (Riley dan Skirrow 1975). Suhu bersama tekanan sangat berpengaruh
pada fungsi dinamika dan proses percampuran massa air.
Untuk logam berat
sendiri, Hutagalung (2001) mengatakan bahwa suhu berkorelasi positif dengan
toksisitas logam berat, dimana peningkatan suhu akan menyebabkan toksisitas dari
suatu logam berat meningkat.
10
Perubahan suhu lingkungan yang disebabkan oleh polusi panas akan
memberikan suatu dampak terhadap keberhasilan ekosistem untuk terus hidup.
Ekosistem tropis adalah yang paling rentan terhadap pengaruh buruk yang
dihasilkan oleh penambahan panas (bahang) dan kenaikan suhu (Johanes et al. 1975
in Connel & Miller 1995). Suhu musiman di daerah tropis cenderung stabil, dengan
demikian ekosistem tropis beradaptasi pada toleransi suhu yang sempit.
Peningkatan suhu dapat menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi
organisme air. Peningkatan suhu sebesar 10ºC menyebabkan konsumsi oksigen
meningkat sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan
fitoplankton di perairan adalah sebesar 20ºC-30ºC (Effendi 2003). Menurut
Poernomo (1988) in Wahab (2003)
kisaran suhu yang diperbolehkan
dalam
pemeliharaan udang windu adalah 26ºC-32ºC sedangkan untuk pemeliharaan benih
bandeng di tambak temperatur air bervariasi antara 24ºC-38,5ºC (Bardach et al.
1973 in Wahab 2003).
2.5.2. Derajat keasaman (pH)
Variasi nilai derajat keasaman (pH) pada perairan terbuka relatif stabil pada
kisaran 7,5-8,4. Nilai pH di estuari banyak dipengaruhi oleh masukan senyawa
peubah suasana asam-basa dari luar misalnya sungai. Umumnya senyawa dari luar
yang masuk ke daerah estuaria memiliki kisaran pH <6,7 atau >8,5 (National
Technical Advisory Committe-NTAC 1980). Dan kisaran pH di perairan estuari
tropis umumnya 6-9.
Nilai pH dipengaruhi oleh suhu, proses metabolisme, ion-ion dalam air dan
kandungan oksigen terlarut (Pescod 1973). Nilai pH juga mempengaruhi reaksi
kimia, sehingga sifat kimia senyawa tersebut berubah. Biasanya perubahan nilai pH
tertentu pada suatu senyawa dapat menjadi bersifat toksik atau racun bagi biota
perairan. Secara umum logam berat akan meningkat toksisitasnya pada pH rendah,
sedangkan pada pH tinggi logam berat akan mengalami pengendapan (Kadang
2005).
Derajat keasaman (pH) perairan sangat menentukan dalam usaha budidaya
ikan. Perairan dengan pH rendah akan berakibat fatal bagi kehidupan ikan, yaitu
akan memperlambat laju pertumbuhan.
Sebagian besar biota akuatik sensitif
11
terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Perubahan keasaman
pada air buangan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH menurun),
akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air di sekitarnya.
2.5.3. Salinitas
Salinitas
permukaan dari hasil observasi ditentukan oleh meningkat dan
menurunnya evaporasi dan presipitasi, dan salinitas maksimum terjadi pada lintasan
angin dimana evaporasi tahunan lebih besar daripada presipitasi (Pickard 1970).
Secara alamiah fluktuasi salinitas di daerah pasang surut disebabkan oleh dua hal,
yaitu hujan yang lebat dan penguapan yang besar. Berbagai aktifitas manusia juga
mempengaruhi salinitas perairan laut, terutama di daerah pesisir dekat muara sungai,
misalnya bendungan sungai atau kanal.
Keadaan salinitas di daerah estuari tidak stabil, berubah dengan keadaan
pasang surut. Selain hal itu ada faktor lain yang mempengaruhi variasi salinitas,
seperti topografi estuari serta muatan dan jumlah air tawar. Sebagian besar petambak
membudidayakan udang dalam air payau (15-30 ppt). Menurut Khordi dan Gufran
(1997), ikan bandeng akan memiliki pertumbuhan optimum pada kisaran salinitas
10-35‰. Sedangkan udang windu (Penaeus monodon), udang peci (P. merguensis)
akan tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas 15-22‰.
2.5.4. Oksigen terlarut
Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan.
Kadar
oksigen yang terlarut di perairan dapat berfluktuasi secara harian dan musiman,
tergantung pada percampuran (mixing), pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis,
respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi 2003).
Kebutuhan
organisme akuatik terhadap oksigen terlarut sangat tinggi, sehingga kandungan
oksigen terlarut yang cukup sangat berarti bagi kehidupan organisme akuatik.
Proses dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik oleh dekomposer
dapat mengurangi kadar oksigen terlarut sehingga mencapai nol atau anaerob.
Konsentrasi oksigen yang aman bagi kehidupan harus berada diatas titik kritis dan
tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun (Pescod 1973). Proses metabolisme
dalam tubuh juga membutuhkan oksigen dalam jumlah banyak dengan
12
meningkatnya suhu perairan. Terdapat suatu hubungan antara kadar oksigen dengan
suhu, dimana semakin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen semakin berkurang.
Peningkatan suhu sebesar 1ºC akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%.
Hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen > 5
mg/liter (Effendi 2003).
2.6. Karakteristik Logam Berat
Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni, organik, dan
anorganik. Air sering tercemar oleh berbagai komponen anorganik, diantaranya
berbagai jenis logam berat yang berbahaya, yang beberapa diantaranya banyak
digunakan dalam berbagai keperluan sehingga diproduksi secara kontinyu dalam
skala industri. Industri-industri tersebut harus mendapatkan pengawasan yang ketat
agar tidak mencemari dan membahayakan lingkungan sekitar.
Pencemaran logam berat sangat merugikan ikan secara fisik dan fisiologik,
seperti kerusakan vertebral, kerusakan lamella sekunder pada insang (Irianto 2005).
Logam juga dapat masuk kedalam tubuh dan dapat mengumpul di dalam tubuh suatu
organisme dan tetap tinggal di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai
racun yang terakumulasi (Kristanto 2004).
Logam berat adalah unsur-unsur dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3,
terletak di sudut kanan bawah pada sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 hingga 7.
Berdasarkan sifat kimia dan fisiknya, maka tingkat atau daya racun logam berat
terhadap hewan air pada LC-50 selama 48 jam, akibat pengaruh sinergik antar
logam, efek sublethal, bioakumulasi, dan bahayanya terhadap orang yang
mengkonsumsi ikan, maka dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut,
Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), Emas (Au), Nikel (Ni), Timah Hitam (Pb), Arsen
(Ar), Selenium (Sn), dan Seng (Zn) (Darmono 1995). Namun Kristanto (2004)
menyebutkan bahwa logam berat yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan,
yang utama adalah Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Arsenik (Ar), Kadmium (Cd),
Kromium (Cr), dan Nikel (Ni). Sedangkan Irianto (2005) mengatakan bahwa ada
empat logam berat yang paling intensif dipelajari sifat toksisitasnya, yaitu Cu, Hg,
Cd, dan Zn.
13
Sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok,
yaitu bersifat toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik
tinggi terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Untuk logam berat yang
termasuk kedalam golongan toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co.
Sedangkan logam berat yang termasuk ke dalam golongan toksik rendah yaitu unsur
Mn dan Fe. Sifat-sifat logam berat menurut Moore dan Ramamoorthy (1984) yaitu
diantaranya sulit didegradasi secara alami, dapat terakumulasi dalam organisme,
memiliki EC10 dan LC50-96 jam yang rendah, memiliki waktu paruh yang tinggi
dalam tubuh biota laut, dan faktor konsentrasi (rasio antara kadar polutan dalam
tubuh dan kadar polutan di lingkungan) yang besar dalam tubuh biota laut.
2.6.1. Timbal (Pb)
Logam Pb secara alami tersebar luas pada batu-batuan dan lapisan kerak bumi
(Clark 1986). Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A
dengan nomor atom 82 dan bobot 207,2. Penyebaran Pb di bumi sangat sedikit yaitu
0,0002% dari seluruh lapisan bumi. Logam Pb terdapat di perairan, baik secara
alamiah ataupun sebagai dampak dari aktifitas manusia.
Logam ini masuk ke
perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Disamping itu,
proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin, juga
merupakan salah satu jalur sumber Pb yang akan masuk ke dalam perairan (Palar
2004).
Timbal dan persenyawaannya digunakan dalam industri baterai sebagai bahan
yang aktif dalam pengaliran arus elektron. Kemampuan timbal dalam membentuk
alloy dengan logam lain telah dimanfaatkan untuk meningkatkan sifat metalurgi ini
dalam penerapan yang sangat luas, contohnya digunakan untuk kabel listrik,
konstruksi pabrik-pabrik kimia, kontainer dan memiliki kemampuan tinggi untuk
tidak mengalami korosi (Palar 2004). Selain itu, Pb dapat digunakan sebagai zat
tambahan bahan bakar dan pigmen timbal dalam cat yang merupakan penyebab
utama peningkatan kadar Pb di lingkungan (Darmono 1995). Hampir 10% dari total
produksi tambang logam timbal digunakan untuk pembuatan tetraethyl lead atau
TEL yang dibutuhkan sebagai bahan penolong dalam proses produksi bahan bakar
bensin karena dapat mendongkrak (boosting) nilai oktan bahan bakar sekaligus
14
berfungsi
sebagai
antiknocking
untuk
mencegah
terjadinya
ledakan
saat
berlangsungnya pembakaran dalam mesin.
Ikan yang hidup dalam air yang mengandung logam berat Pb, pada hatinya
akan ditemukan akumulasi logam berat. Besarnya kandungan logam berat dalam air
juga mempengaruhi besarnya akumulasi logam berat dalam hati ikan. Semakin
tinggi kandungan logam berat dalam air, akumulasi logam berat dalam hati ikan
akan semakin tinggi pula.
Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/L, dapat membunuh ikan. Sedangkan
krustase setelah 245 jam akan mengalami kematian, apabila pada badan air
konsentrasi Pb adalah 2,75-49 mg/L (Palar 2004). Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan (POM) No. 03725/B/SK/VII/89 membatasi kandungan logam
berat Pb maksimum pada sumberdaya ikan dan olahannya adalah adalah 2,0 ppm.
2.6.2. Kadmium (Cd)
Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang sangat
luas di alam, logam ini bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik cair
321oC dan titik didih 765oC. Di alam Cd bersenyawa dengan belerang (S) sebagai
greennocckite (CdS) yang ditemui bersamaan dengan senyawa spalerite (ZnS).
Kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan mudah
teroksidasi oleh udara bebas dan gas amonia (NH3) (Palar 2004). Di perairan, Cd
akan mengendap karena senyawa sulfitnya sukar larut (Bryan 1976). Menurut Clark
(1986) sumber kadmium yang masuk ke perairan berasal dari:
1. Uap, debu, dan limbah dari pertambangan timah dan seng.
2. Air bilasan dari electroplating.
3. Besi, tembaga, dan industri logam non ferrous yang menghasilkan abu dan uap
serta air limbah dan endapan yang mengandung kadmium.
4. Seng yang digunakan untuk melapisi logam mengandung kira-kira 0, 2% Cd
sebagai bahan ikutan (impurity); semua Cd ini akan masuk ke perairan melalui
proses korosi dalam kurun waktu 4-12 tahun.
5. Pupuk phosfat dan endapan sampah.
Penggunaan Cd yang paling utama adalah sebagai stabilizer (penyeimbang)
dan pewarna pada plastik dan electroplating (penyepuh/pelapisan logam). Selain itu
15
digunakan pula pada penyolderan dan pencampuran logam serta industri baterai.
Akumulasinya dalam air tanah antara lain diakibatkan oleh kegiatan electroplating
(pelapisan emas dan perak), pengerjaan bahan-bahan dengan menggunakan
pigmen/zat warna lainnya, tekstil dan industri kimia (Darmono 1995).
Logam kadmium atau Cd akan mengalami proses biotransformasi dan
bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Dalam biota
perairan, jumlah logam yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan
(biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan mengalami
akumulasi Cd yang lebih banyak. Keracunan kadmium bisa menimbulkan rasa
sakit, panas pada bagian dada, penyakit paru-paru akut, dan menimbulkan kematian.
Salah satu contoh kasus keracunan akibat pencemaran Cd adalah timbulnya penyakit
itai-itai di Jepang (Palar 1994).
2.3.1. Tembaga (Cu)
Tembaga (Cu) memiliki berat atom 63,5 densitas 8,90 dan titik cair 10840C.
Dalam keadaan normal logam Cu merupakan logam esensial bagi hewan air.
Tembaga merupakan salah satu logam yang bermanfaat dalam pembentukan
haemosianin sistem darah dan enzimatik hewan air.
Penyerapan Cu dilakukan
melalui insang dan saluran pencernaan (Darmono 1995).
Tembaga banyak digunakan pada pabrik yang memproduksi alat-alat listrik,
gelas dan zat warna yang biasanya bercampur dengan logam lain, seperti Ag, Cd,
Sn, dan Zn. Garam tembaga banyak digunakan dalam bidang pertanian, misalnya
larutan bordeaux yang mengandung 1-3% CuSO4. Larutan ini digunakan untuk
membasmi siput sebagai inang dari parasit cacing, juga untuk mengobati penyakit
kuku pada domba (Darmono 1995).
Gejala yang timbul pada keracunan Cu akut adalah mual, muntah-muntah,
sakit perut, hemolisis, nefrosis, kejang, dan akhirnya kematian. Pada keracunan
kronis, Cu tertimbun dalam hati dan menyebabkan hemolisis. Hemolisis terjadi
karena tertimbunnya H2O2 dalam sel darah merah sehingga terjadi oksidasi dari
lapisan sel yang mengakibatkan sel jadi pecah. Defisiensi Cu dapat menyebabkan
anemia dan pertumbuhan terhambat (Darmono 1995).
16
2.7. Cara Penyerapan Logam Berat oleh Organisme
Badan air merupakan tempat buangan limbah industri yang diperkirakan
mengandung logam berat yang dapat mengganggu kehidupan di dalamnya. Logam
berat secara langsung atau tidak langsung akan masuk ke dalam tubuh manusia
melalui rantai makanan. Cara penyerapan logam berat oleh ikan umumnya
mengambil logam berat melalui insang, kemudian ditransfer melalui darah ke ginjal.
Bentuk logam berat anorganik disimpan dalam jaringan, kemudian ditransfer ke
ginjal dan dieksresikan. Sedangkan logam organik tidak dieksresikan, tetapi
terakumulasi dalam jaringan otot. Selain itu, masuknya logam berat dalam tubuh
ikan juga dapat melalui rantai makanan.
Menurut Darmono (1995), ada tiga teori mengenai mekanisme penyerapan
logam berat dalam jaringan organisme, yaitu :
1. Penyerapan logam melalui mekanisme pengangkutan yang berhubungan dengan
mekanisme osmoregulasi, yaitu pengaturan tekanan osmosis oleh organisme
terhadap air di sekitarnya.
2. Pengikatan ion-ion logam menyentuh bagian tertentu dari permukaan jaringan
dan masuk ke dalam sitoplasma.
3. Logam dalam bentuk kristal kecil atau larutan yang segera ditangkap oleh sel
epitel dan secara endositosis logam tersebut dibawa masuk dan dilepas ke
sitoplasma.
Melalui proses biologis (biotransformasi), logam berat yang terakumulasi
dalam tubuh organisme hidup akan terjadi perpindahan, kemudian terjadi
peningkatan kadar logam berat pada tingkat pemangsa yang lebih tinggi yang
disebut magnifikasi biologis (biomagnifikasi). Secara tidak langsung proses
perikanan atau pertanian dapat tercemar oleh logam berat. Akumulasi biologis dapat
terjadi melalui absorbsi langsung terhadap logam berat yang terdapat dalam badan
air, sehingga organisme yang hidup pada perairan tercemar berat oleh logam berat,
jaringan tubuhnya akan mengandung kadar logam berat yang tinggi pula.
Logam berat yang masuk ke dalam tubuh ikan dan udang, sebagian akan
dieksresikan dan sebagian lagi akan mengalami proses bioakumulasi pada jaringan
organ-organ tertentu. Besarnya kadar logam berat dalam air juga mempengaruhi
besarnya akumulasi logam berat dalam hati ikan. Semakin tinggi kadar logam berat
17
dalam air, semakin tinggi pula akumulasi logam berat di dalam hati ikan. Waktu
pemaparan logam berat tidak selalu menambah akumulasi logam berat di dalam hati
ikan.
Logam berat yang masuk ke dalam hati ikan dan udang menyebabkan
gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari
proses detoksifikasi.
Salah satu mekanisme detoksifikasi adalah mengubah zat
menjadi bentuk senyawa yang mudah dikeluarkan dari dalam tubuh.
2.8. Pengaruh Logam Berat Terhadap Biota Perairan
Keberadaan logam berat dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap
kehidupan biota. Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme akan
mempengaruhi aktivitas dari organisme tersebut. Bagi ikan, udang, dan moluska zat
pencemar akan mempengaruhi saraf, sifat genetis atau fisiologis serta perilaku
seperti food habit migration. Pengaruh logam berat terhadap biota umumnya terjadi
dalam periode telur, larva atau juwana, sehingga menghambat pertumbuhan.
Menurut Jones (1964), ikan yang mengakumulasi logam Pb, Zn, dan Cu pada
insangnya akan terbentuk lapisan mukus (lendir), sehingga ikan mengalami keadaan
kekurangan oksigen yang disebut Coagulation film anoxia. Pembentukan lapisan
mukus tersebut disebabkan terjadinya reaksi penolakan dalam insang ikan terhadap
logam berat yang diabsorpsi.
Organ hati yang mengakumulasi logam Pb akan
mengalami kerusakan jaringan hati ikan, yaitu degenerasi lemak, hiperemi
(pembengkakan), dan nekrosa. Makin tinggi kadar logam berat makin tinggi
kerusakannya.
2.9. Batas Aman Konsumsi atau Acceptable Daily Intake
Asupan harian dapat diterima atau ADI adalah ukuran jumlah suatu zat
tertentu (awalnya diterapkan untuk aditif makanan, kemudian juga untuk residu obat
hewan atau pestisida) dalam air minum atau makanan yang dapat dicerna pada
satuan hari tanpa resiko kesehatan yang berbahaya. Menurut WHO, batas aman
konsumsi dapat dirumuskan sebagai berikut:
18
Keterangan:
Baku mutu Pb = 25 g/ kg berat tubuh/minggu
Baku mutu Cd = 7 g/ kg berat tubuh/minggu
Baku mutu Cu = 87,5 g/ kg berat tubuh/minggu
Download