I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

advertisement
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia mengalami masa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Selama tahun 1985-1994 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6.8 persen, bahkan
tahun 1995-1996 tumbuh 8.1 persen serta dengan defisit Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) relatif kecil, yaitu rata-rata sekitar 0.2 persen dari
Produk Domestik Bruto (PDB). Namun ketika terjadi krisis ekonomi 1997,
pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun tajam menjadi 4.70 persen, bahkan
pada 1998 menjadi minus 13.13 persen. Pasca krisis ekonomi, kinerja makro
ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan disertai ketidakstabilan ekonomi
seperti tingginya angka inflasi, fluktuasi nilai tukar dan pengangguran. Pada tahun
2009, dimana krisis telah berlalu lebih dari 12 tahun, pertumbuhan ekonomi
Indonesia tetap belum mampu kembali pulih, yaitu masih berada pada kisaran 4.5
persen. Angka pengangguran terbuka sebesar 8.14 persen, setengah penganggur
sebesar 15.0 persen, pekerja paruh waktu 16.36 persen dan tingkat kemiskinan
masih mencapai 14.03 persen. Menginjak tahun 2010, kinerja ekonomi Indonesia
mengalami sedikit kemajuan, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi
6.1 persen. Namun peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berkorelasi
secara
signifikan terhadap penurunan
tingkat
kemiskinan
dan tingkat
pengangguran. Publikasi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pada bulan
februari 2010 jumlah penduduk miskin masih mencapai 13.06 persen dan tingkat
pengangguran terbuka menurun menjadi sebesar 7.41 persen. Penurunan tingkat
2
pengangguran terbuka diikuti kenaikan pada setengah penganggur menjadi
sebesar 15.27 persen dan pekerja paruh waktu naik menjadi sebesar 17.53 persen.
Artinya penurunan tingkat pengangguran terbuka hanya mengalami pergeseran
menjadi setengah menganggur dan bekerja paruh waktu. Dengan demikian belum
terjadi
peningkatan
penciptaan lapangan kerja
yang signifikan dalam
perekonomian.
Tingginya tingkat pengangguran menyebabkan penggunaan sumber daya
yang tidak optimal dalam pembangunan. Akibatnya angka pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada 2010 hanya mencapai 4.5 persen. Sementara itu, pertumbuhan
ekonomi negara-negara di kawasan Asia lainnya rata-rata sudah diatas 7 persen,
seperti Malaysia 7.2 persen, Thailand 7.9 persen, bahkan China mencapai 10.4
persen dengan tingkat pengangguran yang relatif rendah. Tingkat pengangguran
di Malaysia hanya sebesar 3.4 persen, Thailand sebesar 1.0 persen dan China 4.1
persen seperti yang terlihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Proporsi Belanja Modal dan Kinerja Ekonomi
Beberapa Negara pada Tahun 2010
(%)
No
Negara
1.
Malaysia
B. Modal thd
Pengeluaran
31.1
Infrastruktur
Ranking
26
Pertumbuhan
Ekonomi
7.2
Pengangguran
2.
Singapura
11.6
3
14.5
2.8
3.
Vietnam
28.4
90
6.8
2.7
4.
Indonesia
8.4
76
6.1
7.1
5.
Thailand
20.2
42
7,9
1,0
6.
China
10,4
44
10,4
4,1
3.4
Sumber : Asian Development Bank dan Word Bank, 2011
Rendahnya korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat
pengangguran dan kemiskinan di Indonesia salah satu penyebabnya adalah
3
adanya ketimpangan sumber-sumber pertumbuhan. Gambar 1 menunjukkan
motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mengandalkan
pertumbuhan konsumsi, terutama konsumsi masyarakat yang berkontribusi
mencapai 56.7 persen. Peranan
investasi terhadap pembentukan PDB baru
mencapai 32.2 persen. Sementara net ekspor hanya menyumbang 1.6 persen
terhadap GDP. Hal ini disebabkan peningkatan kinerja ekspor juga masih diikuti
besarnya volume impor. Artinya, pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada
peningkatam konsumsi masyarakat.
1.400.000
1.200.000
1.000.000
800.000
600.000
400.000
200.000
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 * 2010
**
Konsumsi Rumah tangga
Konsumsi Pemerintah
Investasi
Ekspor
Impor
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011
Gambar 1. Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tahun 2000-2010
Relatif rendahnya kontribusi investasi terhadap PDB mengindikasikan
bahwa iklim investasi yang belum kondusif. Padahal investasi merupakan faktor
utama pendorong pertumbuhan kapasitas produksi. Adanya pertumbuhan
di
sektor riil ini yang akan dapat menciptakan lapangan kerja dan sumber
pendapatan masyarakat. Beberapa faktor penyebab lambatnya minat investor
4
antara lain adalah rendahnya ketersediaan infrastruktur yang memadai dan
merata di seluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi masih terpusat di
kawasan Indonesia barat, karena
rendahnya pembangunan infrastruktur di
Indonesia Timur. Sumber daya alam Indonesia yang melimpah, belum secara
optimal diolah karena rendahnya investasi. Tabel 1 menunjukkan pada tahun
2010 rangking infrastruktur Indonesia masih berada pada urutan 76, jauh
tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang berada pada rangking 26 dan 42.
Infrastruktur merupakan salah satu barang publik, sehingga penyediaannya tidak
bisa serta merta diserahkan pada swasta. Peranan stimulus fiskal Pemerintah,
mestinya terimplementasi melalui pembangunan sektor infrastruktur. Melalui
APBN Pemerintah semestinya mengalokasikan anggaran yang memadai untuk
pembangunan infrastruktur guna menstimulus perekonomian.
Tabel 2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun 20052010
(Rp Miliar)
KETERANGAN
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
495.2
638
707.8
981.6
848.8
992.4
493.9
636.2
706.1
979.3
847.1
990.5
347
409.2
491
658.7
619.9
743.3
12.7
12.3
12.4
13.3
11.9
11.9
146.9
227
215.1
320.6
227.2
247.2
1.3
1.8
1.7
2.3
1.7
1.9
509.6
667.1
757.6
985.7
937.4
1126.1
I. Belanja Pemerintah Pusat
361.2
440
504.6
693.4
628.8
781.5
II. Transfer ke Daerah
150.5
226.2
253.3
292.4
308.6
344.6
-14.4
-29.1
-49.8
-4.1
-88.6
-133.7
% thd PDB
-0.5
-0.9
-1.3
-0.1
-1.6
-2.1
D. Pembiayaan
8.9
29.4
42.5
84.1
112.6
133.7
19.1
56.3
69
102.5
128.1
133.9
-10.3
-26.6
-26.6
-18.4
-15.5
-0.2
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan DN
1 . Perpajakan
Tax Ratio (% thd PDB)
2. PNBP
II. Hibah
B. Belanja Negara
C.Surplus/(Defisit) Anggaran
I. Pembiayaan Dalam Negeri
II. Pembiayaan Luar Negeri
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011
Keterangan:*Data APBN-P 2010
5
Selama kurun waktu 2005-2010 APBN Indonesia telah mengalami
kenaikkan lebih dari dua kali lipat, dimana jika pada tahun 2005 belanja negara
baru mencapai Rp.509.6 triliun, namun pada tahun 2010 telah mencapai Rp.1 126
triliun. Ironisnya, peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi
secara signifikan terhadap pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal ini
disebabkan proporsi terbesar belanja pemerintah digunakan untuk belanja rutin
(sekitar 80 persen), sehingga belanja untuk infrastruktur hanya mendapatkan porsi
yang sangat rendah (sekitar 8.4 persen).
Anggaran belanja pemerintah setiap tahun mengalami peningkatan,
seperti yang terlihat dalam Tabel 2, pada tahun 2010 total belanja pemerintah
dalam APBN-P 2010 mencapai Rp.1 126 triliun atau 48.7 persen dari PDB
berdasarkan harga konstan tahun 2000 atau 17.53 persen dari PDB berdasarkan
harga berlaku. Namun peranan pengeluaran pemerintah dalam penciptaan PDB
hanya berkisar 9.6 persen. Besarnya belanja pemerintah disatu sisi dan rendahnya
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya ketidakefektifan
belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Ironisnya,
peningkatan anggaran belanja pemerintah tidak berkorelasi secara signifikan
terhadap pertumbuhan kinerja Investasi maupun Ekspor. Gambar 2 menunjukkan
pertumbuhan belanja pemerintah justru lebih tinggi daripada pertumbuhan
investasi yang di proksi dari pertumbuhan pembentukan modal domestik bruto.
Peningkatan belanja pemerintah hanya sedikit yang digunakan untuk investasi
melalui pembangunan infrastruktur.
APBN semestinya menjadi instrumen fiskal yang berperan penting dalam
menciptakan stabilisasi dan stimulus perekonomian. Apalagi kebijakan anggaran
6
pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan defisit anggaran. Semestinya
dengan kebijakan defisit anggaran, pengeluaran Pemerintah untuk investasi
meningkatkan sehingga dapat mendorong dan mengisi kekurangan investasi
swasta. Pilihan kebijakan defisit anggaran ditujukan agar terjadi ruang fiskal yang
lebih ekspansif untuk mendorong perekonomian. Artinya agar terjadi peningkatan
ruang gerak fiskal untuk menstimulus perekonomian.
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
Pembentukan Modal Domestik Bruto
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
Total Belanja Pemerintah
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011
Gambar 2. Perbandingan Pertumbuhan Belanja Pemerintah dengan
Pembentukan Modal Domestik Bruto
Idealnya peningkatan pengeluaran pemerintah dibiayai dari peningkatan
penerimaan negara, baik yang bersumber dari pajak maupun nonpajak.
Permasalahannya, secara umum rasio pajak Indonesia terhadap PDB atau tax ratio
masih rendah dimana dalam kurun waktu 2005-2010 rata-rata hanya 12.3 persen
bahkan dengan pertumbuhan negatif 0.65 persen. Pertumbuhan negatif ini terlihat
jelas, karena pada tahun 2006 tax ratio Indonesia dapat mencapai 13.5 persen.
7
Indikator rendahnya tax rasio dapat diukur dari perbandingan dengan negaranegara ASEAN lainnya, tax ratio Malaysia sudah mencapai 20.17 persen,
Singapura sebesar 21.4 persen, demikian juga Thailand sebesar 17.28 persen. Hal
tersebut mencerminkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia masih lemah,
disamping kesadaran dan kepatuhan pembayar pajak yang masih rendah.
Disamping rendahnya tax rasio, elastisitas pajak juga rendah dimana
angka elastisitas untuk PPh di Indonesia baru sebesar 1.19 dan elastisitas untuk
PPn 1.07. Artinya jika pendapatan nasional naik 1 persen maka PPh hanya naik
1.19 persen. Jika konsumsi dalam negeri naik 1 persen maka PPN akan naik 1.07
persen. Elastisitas pajak ini dapat dijadikan acuan mengenai tingkat keberhasilan
atau kegagalan pemerintah dalam kebijakan perpajakan. Negara-negara lain
memiliki elastisitas pajak sekitar 2, sebagai contoh Malaysia angka elastisitas
pajaknya sebesar 1.9, Pakistan sebesar 2.1, Spanyol sebesar 1.8, Maroko sebesar
2.2, India sebesar 2.4 dan Honduras sebesar 2.2 (Setiyaji & Amin, 2005). Hal
Ini berarti bahwa pertambahan produk domestik bruto negara lain mengakibatkan
pertambahan
penerimaan
pajak
jauh lebih cepat
dibanding Indonesia.
Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dikatakan berhasil jika kebijakan perpajakan
ini bisa menaikkan angka elastisitas pajak mendekati angka 2. Kenaikan elastisitas
pajak ini akan berjalan bersamaan dengan kenaikan rasio pajak.
Adanya kenyataan bahwa penerimaan negara belum mampu membiayai
peningkatan pengeluaran, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan defisit
anggaran. Pembiayaan defisit anggaran dilakukan melalui utang luar negeri dan
utang dalam negeri. Tabel 2 menunjukkan pada tahun 2010, total pengeluaran
pada APBN-P 2010 sekitar Rp 1 126.1 triliun. Sementara penerimaan negara yang
8
ditargetkan hanya sebesar Rp 992.4 triliun. Konsekuensinya, APBN mengalami
defisit sebesar Rp 133.7 triliun atau 2.1 persen dari pendapatan domestik bruto
(PDB). Pemerintah harus menambah utang baru sebesar 108.3 triliun, padahal
posisi utang Pemerintah pada desember 2009 sudah mencapai US$ 169.22 miliar
atau ekuivalen dengan Rp. 1 590.66 triliun. Beban pembayaran bunga utang
pemerintah pada APBN-P 2010 sudah mencapai Rp. 105.7 triliun, dimana Rp.
71.9 triliun merupakan pembayaran bunga dalam negeri dan 33.8 triliun untuk
pembayaran bunga luar negeri. Akibatnya, porsi alokasi anggaran untuk
membayar beban bunga utang mencapai 13.5 persen dari total anggaran
pemerintah pusat. Sedangkan alokasi anggaran untuk belanja modal justru lebih
rendah hanya mencapai Rp. 95 triliun atau 12.2 persen. Konsekuensi lainnya
adalah menjadi beban pada pengeluaran pemerintah pada tahun selanjutnya. Porsi
anggaran yang seharusnya dapat meningkatkan investasi menjadi berkurang
karena menanggung tambahan beban bunga dan pembayaran utang. Pada
akhirnya, peningkatan penerimaan pajak dari masyarakat tersedot habis untuk
memenuhi kewajiban membayar beban bunga utang pemerintah.
Kebijakan defisit anggaran yang dibiayai dengan utang merupakan
kebijakan yang dilematis. Untuk itu diperlukan perencanaan anggaran yang
matang, tepat sasaran dan jangka panjang. Jika anggaran defisit tersebut dikelola
dengan menejemen anggaran yang tidak prudent dan tidak berorientasi jangka
panjang maka akan mengakibatkan fungsi stimulus fiskal hilang, bahkan
berpotensi mengganggu kesinambungan fiskal. Jika kondisi ini terus berlanjut
maka pemerintah dapat menjadi kontributor terjadinya kebangkrutan ekonomi
9
Indonesia. Seperti halnya krisis ekonomi yang terjadi di eropa yang dipicu oleh
utang pemerintah yang tidak dapat dikelola secara baik.
Perdebatan mengenai efektifitas kebijakan defisit APBN yang dibiayai
dengan utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri
mengemuka pasca krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997. Sebelumnya,
pada masa orde baru, jarang sekali kalangan yang mempertentangkan terus
bertambahnya utang pemerintah Indonesia. Bahkan tidak jarang, besarnya utang
luar negeri pemerintah justru dianggap sebagai suatu indikator dari kepercayaan
kreditur terhadap Indonesia. Alasan lainnya, aliran dana segar yang masuk
dianggap mampu mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi (debt-led growth).
Pada era tahun 1900-an utang luar negeri dianggap telah berperan meningkatkan
pengeluaran pemerintah melalui pendanaan anggaran pembangunan. Pada masa
itu, utang dianggab mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia memang tergolong tinggi, rata-rata 7-8 persen, bahkan paling
tinggi diantara negara-negara di kawasan ASEAN.
Secara teoritis kebijakan defisit anggaran dapat menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi. Namun, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari
utang merupakan pisau bermata dua, satu sisi akan menambah sumber
pembiayaan pembangunan, namun disisi lain merupakan beban terhadap APBN
itu sendiri melalui pembayaran cicilan dan bunga utang. Hal ini juga sudah
menjadi perdebatan diantara para ahli ekonomi. Menurut faham Keynesian,
kebijakan defisit fiskal jika ditujukan untuk ekspansi fiskal dapat mendorong
perekonomian dalam bentuk stimulus fiskal. Keynes (1936) meyakini ekspansi
fiskal melalui proses angka pengganda (multiplier effect) akan meningkatkan
10
pendapatan nasional. Preskripsi ini telah diterapkan Amerika dan Eropa untuk
keluar dari krisis depresi ekonomi dan berhasil. Paham Keynesian memandang
bahwa aktifitas stimulus fiskal dalam bentuk defisit fiskal ini tidak akan memberi
insentif negatif (crowding out) kepada investor. Sementara paham Neo Klasik
yang diwakili oleh David Ricardo memandang bahwa defisit fiskal akan
berdampak crowding out pada investasi dan berakibat menghambat pertumbuhan
ekonomi. Karena itu, paham Neo Klasik menyarankan untuk menghindari defisit
fiskal dan mengurangi peran langsung pemerintah dalam perekonomian.
Perdebatan teoritis tersebut seyogyanya menjadi bahan pertimbangan yang
komprehensif bagi pemegang kebijakan. Hal ini dikarenakan perkembangan utang
pemerintah yang tidak terkendali juga dapat menjadi salah satu sumber ancaman
bagi stabilitas ekonomi makro. Utang yang dikelola tanpa manejemen yang baik
akan menjadi
sumber tekanan defisit fiskal maupun tekanan atas cadangan
devisa. Utang yang seharusnya menjadi debt-led growth akan mengakibatkan
Indonesia masuk ke perangkap utang (debt-trap). Kekhawatiran tersebut sangat
beralasan dikarenakan masih terdapat sejumlah permasalahan dalam dalam
pengelolaan APBN, baik yang bersifat fundamental maupun pada tataran tehnis
pelaksanaan. Beberapa permasalahan pengeloaan APBN dijabarkan dalam bab
perumusan masalah.
Kenyataannya, proporsi belanja pemerintah untuk belanja rutin justru
semakin meningkat. Pada tahun 2010, porsi belanja rutin mencapai 61 persen dan
belanja transfer daerah 30.6 persen, sementara untuk belanja modal hanya 8.4
persen. Jika dilihat dari porsi dari belanja pemerintah pusat, belanja modal
pemerintah hanya mendapatkan 12.2 persen. Rendahnya porsi belanja modal ini
11
tentunya berimplikasi pada kemampuan pemerintah untuk menyediakan
infrastruktur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur
mempunyai pengaruh signifikan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan kesempatan kerja. Sebagai perbandingan, diantara negara ASEAN
proporsi anggaran belanja modal Indonesia tergolong sangat rendah. Tabel 1
memperlihatkan bahwa negara-negara yang memiliki proporsi belanja modal
tinggi, seperti Malaysia (31 persen dari total pengeluaran) mempunyai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang rendah.
Sementara proporsi belanja modal Indonesia hanya mencapai sekitar 8.4 persen,
pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6.1 persen dengan tingkat pengangguran
sebesar 7.1 persen.
Peran stimulus fiskal pemerintah akan lebih efektif jika adanya alokasi
untuk belanja modal yang cukup. Belanja modal akan dapat meningkatkan
pembangunan infrastruktur atau prasarana dan sarana publik. Selanjutnya akan
memicu dan mendorong tumbuhnya investasi swasta. Ketersediaan infrastruktur
akan mendorong pertumbuhan produksi barang dan jasa dengan lebih cepat dan
efisien. Dengan demikian akan berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil.
Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan berdampak pada
penciptaan lapangan kerja dan mengurangi penganggguran.
Hal tersebut sejalan dengan empat sasaran utama kebijakan pembangunan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) tahun 20052014. Dalam dokumen RPJMN 2010-2014 dan dalam setiap Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) disebutkan bahwa kebijakan Fiskal disusun guna memacu
peningkatan kesejahteraan rakyat dengan bertumpu pada empar pilar strategis,
12
yaitu: (1) meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas
(pro growth), (2) menciptakan dan memperluas lapangan kerja (pro job), (3)
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program jaring pengaman
sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor); dan (d) meningkatkan
kualitas pengelolaan lingkungan hidup (proenvironment).
1.2.
Perumusan Masalah
Kebijakan fiskal akan efektif jika mampu memacu pertumbuhan sektor riil
sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas ekonomi makro. Dengan
demikian akan dapat sebagai landasan untuk menopang pertumbuhan yang
berkualitas dan berkelanjutan. Permasalahannya, postur APBN yang tertuang
dalam dokumen Nota Keuangan belum mencerminkan fungsinya dalam
menciptakan tujuan pro growth, pro job dan pro poor. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa sisi, antara lain :
pertama, postur anggaran didominasi oleh
pengeluaran rutin. Struktur belanja pemerintah pusat sangat tidak ideal dimana
dalam kurun waktu 6 tahun APBN dihabiskan untuk belanja rutin ketimbang
menciptakan perubahan. Dalam periode 2005-2010, rata-rata belanja pusat habis
dipergunakan untuk yang sifatnya rutin, terutama belanja pegawai sebesar 18.89
persen, belanja barang sebesar 12.20 persen, belanja pembayaran bunga utang
sebesar 14.77 persen, subsidi sebesar 27.81 persen, belanja sosial sebesar 8.98
persen, serta belanja lain-lain sebesar 4.81 persen. Sementara belanja modal yang
diharapkan dapat lebih mendorong dan menciptakan pertumbuhan sektor riil
justru mendapatkan porsi yang sangat rendah. Gambar 3 menunjukkan selama
tahun 2005-2010 porsi belanja modal hanya sebesar 12.52 persen.
13
Bantuan Sosial;
8,98
Belanja Lain-lain;
4,81
Belanja Pegawai;
18,89
Belanja Hibah;
0,08
Belanja Barang;
12,20
Subsidi ; 27,81
Pembayaran
Bunga Utang ;
14,77
Belanja Modal;
12,52
Sumber : Kementerian Keuangan, 2011
Gambar 3. Rata-Rata Proporsi Alokasi Belanja Pusat Menurut Jenis
Pengeluaran, Tahun 2005-2010
Kedua, Alokasi subsidi yang terlalu besar dan tidak tepat sasaran.
Subsidi sebelum tahun 1997/1998 hanya berkisar 4 persen dari belanja negara
namun sejak krisis ekonomi 1997 kebijakan subsidi mulai mengubah struktur
APBN. Pada saat krisis subsidi diperlukan untuk mengamankan gejolak inflasi
yang sangat tinggi. Namun kini meski kondisi perekonomian telah membaik
alokasi subsidi rata-rata tetap lebih dari 20 persen. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh The Clean Air Initiative for Asian Cities pada July 2010 menegaskan bahwa
subsidi BBM di negara Indonesia termasuk sangat besar, bahkan pada 2008
mencapai 2.7 persen dari PDB, sementara pada saat yang sama Philiphina hanya
sebesar 0.2 persen, Thailand sebesar 0.8 persen, bahkan Singapura sebesar 0
persen. Hal ini menegaskan bahwa subsidi di Indonesia termasuk
besar
dibandingkan dengan negara lain. Tabel 3 menunjukkan perkembangan belanja
subsidi selama 2005-2010 yang semakin meningkat, dimana sekitar 70 persen
diperuntukkan untuk subsidi energi terutama untuk subsidi BBM.
14
Tabel 3. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2010
(Rp triliun)
Jenis Subsidi
Subsidi Energi
1. Subsidi BBM
2. Subsidi Listrik
Subsidi Non-Energi
1. Subsidi Pangan
2. Subsidi Pupuk
3. Subsidi Benih
4. PSO
5. Kredit Program
6. Subsidi Minyak Goreng
7. Subsidi Kedele
8. Subsidi Pajak
9. Subsidi Lainnya
Jumlah
2005
Real.
104.4
95.6
8.9
16.3
6.4
2.5
0.1
0.9
0.1
6.2
120.8
2006
Real.
94.6
64.2
30.4
12.8
5.3
3.2
0.1
1.8
0.3
1.9
0.3
107.4
2007
Real.
116,9
83,8
33,1
33,3
6,6
6,3
0,5
1
0,3
0
17,1
1,5
150.2
2008
Real
223
139.1
83.9
52.3
12.1
15.2
1
1.7
0.9
0.2
0.1
21
275.3
2009
Real.
94.6
45
49.5
43.5
13
18.3
1.6
1.3
1.1
8.2
138.1
2010
APBNP
144
88.9
55.1
57.3
13.9
18.4
2.3
1.4
2.9
18.4
201.3
Sumber: Kementerian Keuangan, Tahun 2011
The Clean Air Initiative for Asian Cities juga menegaskan bahwa subsidi
di Indonesia tidak tepat sasaran. Hal ini dilihat dari data tahun 2008 dimana 40
persen dari kelompok pengeluaran terkaya (high income) mendapatkan 70 persen
dari subisidi BBM, sementara 40 persen kelompok pendapatan terendah hanya
mendapatkan 15 persen. Temuan tersebut, juga sejalan dengan data konsumsi
BBM yang dirilis oleh Kementrian Energi Sumberdaya Mineral tahun 2010.
Pengguna premium terbesar adalah untuk transportasi darat, yaitu sebesar 89
persen, sementara sisanya adalah untuk transportasi air, rumah tangga, usaha kecil
dan perikanan. Sementara itu, pengguna transportasi darat yaitu mobil pribadi
sebesar 53 persen, mobil barang sebesar 4 persen, kendaraan umum sebesar 3
persen, serta motor roda 2 sebesar 40 persen. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa yang menikmati subsidi BBM sebagian besar adalah kalangan
menengah keatas yang memiliki mobil. Sementara masyarakat miskin dimana
15
pendapatannya hanya sebesar Rp211.726 per kapita per bulan, kecil kemungkinan
dapat memiliki kendaraan bermotor.
Ketiga, rendahnya ruang gerak fiskal. Ruang fiskal (fiscal space)
merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengukur fleksibilitas yang
dimiliki oleh Pemerintah dalam mengalokasikan APBN bagi kegiatan-kegiatan
yang menjadi prioritas pembangunan nasional. Dengan demikian semakin besar
fiscal space yang tersedia,
akan besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh
Pemerintah untuk meningkatkan alokasi belanja negara pada kegiatan yang
menjadi prioritas nasional seperti pembangunan proyek-proyek infrastruktur.
Ruang fiskal dapat diperoleh dengan mengurangi total pengeluaran belanja
mengikat atau non-discretionary seperti belanja pegawai, pembayaran bunga,
subsidi, dan pengeluaran untuk daerah.
Gambar 4 menunjukkan dalam lima tahun terakhir, ruang gerak fiskal
(fiscal space) dalam APBN rata-rata hanya berkisar 4-5 persen terhadap PDB.
Artinya hanya terdapat sekitar 5 persen yang merupakan anggaran yang tidak
mengikat. Hal ini menyebabkan pemerintah kurang memiliki fleksibilitas dalam
mengalokasikan belanja untuk kegiatan yang menjadi prioritas. Pertumbuhan
ruang gerak fiskal selama 2005-2010 tergolong rendah, yaitu hanya 3.16 persen.
Penyebab utama rendahnya ruang fiskal adalah meningkatnya belanja mengikat,
seperti belanja pegawai, subsidi dan pembayaran bunga utang. Faktor lainnya
adalah adanya porsi belanja dalam jumlah tertentu sebagai akibat mandatory
spending atas perintah Undang-Undang (UU). Sebagai contoh UU Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengamantkan porsi belanja untuk
16
Pendidikan sebesar 20 persen. Demikian juga bidang-bidang lain seperti dana
perimbangan dan otonomi khusus, kesehatan, dan sebagainya.
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
19,9
18,5
15,52
13,16
12,64
2009
Belanja Negara
12,49
5,03
4,87
5,37
4,38
2008
17,5
17,5
2010 APBN-P
Belanja Mengikat
2011 APBN
Ruang Fiskal
Sumber: Kementerian Keuangan,2011
Gambar 4. Perkembangan Ruang Fiskal, Tahun 2008-2011
Keempat, tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang
menumpuk di kuartal IV. Penyerapan anggaran rata-rata menumpuk pada
triwulan IV. Gambar 5 menunjukkan pada tahun 2005-2010, penyerapan anggaran
pada triwulan I sebesar 11.13 persen, triwulan II sebesar 21.40 persen, triwulan III
sebesar 24.46 persen serta triwulan IV sebesar 43.01 persen. Bila ditelusuri lebih
jauh, penyerapan anggaran belanja modal yang paling menumpuk di triwulan IV.
Penyebabnya adalah permasalahan pengadaan barang dan jasa, masalah perDIPAan dan lain sebagainya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kualitas ouput
tidak terjaga karena terbatasnya waktu pekerjaan, terutama untuk pembangunan
fisik. Disamping itu, banyak pekerjaan yang akhirnya tidak jadi dilakukan lelang
17
karena waktunya terlalu sempit. Hal ini tentu menyebabkan inefesiensi anggaran
karena besarnya anggaran tidak sesuai dengan kualitas outputnya.
60,00
52,96
45,45
50,00
45,11
44,03
41,59
41,31
43,01
%
40,00
30,00
20,00
10,00
-
7,36
10,63
10,23
11,02
11,94
11,32
11,13
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata
Triwulan I
7,36
10,63
10,23
11,02
11,94
11,32
11,13
Triwulan II
12,89
18,77
20,85
20,88
22,51
21,36
21,40
Triwulan III
26,79
25,15
23,81
26,79
23,96
23,29
24,46
Triwulan IV
52,96
45,45
45,11
41,31
41,59
44,03
43,01
Sumber: Kementerian Keuangan, 2010.
Gambar 5. Tingkat Penyerapan Anggaran K/L per Quartal, Tahun 20052010
Kelima, rendahnya tingkat penyerapan anggaran.
Inefesiensi juga
bisa dilihat dari tingkat penyerapan anggaran kementrian/lembaga yang dalam 6
tahun terakhir (2005-2010) penyerapannnya hanya 87 persen saja.
Artinya
terdapat rata-rata 13 persen anggaran yang tidak terserap. Padahal pada saat yang
sama pemerintah membiayai anggaran tersebut melalui utang. Nilai yield yang
harus dibayar pemerintah terhadap utang dalam negeri berkisar 9-10 persen per
tahun.
Dengan adanya berbagai permasalahan yang ada dalam pola belanja
pemerintah tersebut maka dalam penelitian ini, fokus permasalahan yang akan
diteliti adalah apakah jika komposisi belanja pemerintah dilakukan perubahan
maka akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan
kerja dan pengurangan kemiskinan.
18
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1. Tujuan
Berdasarkan berbagai permasalahan dalam alokasi belanja Pemerintah
tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk
1.
Menganalisis dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia.
2.
Membuat
simulasi
alternatif
komposisi
belanja
pemerintah
guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja serta pengurangan
tingkat kemiskinan di Indonesia.
1.3.2. Kegunaan Penelitian
1.
Mengetahui efektifitas komposisi belanja pemerintah dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan kemiskinan di Indonesia.
2.
Memperoleh alternatif komposisi belanja pemerintah guna meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengurangan
kemiskinan di Indonesia.
1.3.3. Hipotesis Penelitian
1. Komposisi belanja pemerintah Indonesia belum berdampak maksimal
terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan
kemiskinan.
2. Komposisi belanja pemerintah Indonesia akan lebih berdampak signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan
pengurangan kemiskinan jika proporsi belanja modal ditingkatkan.
19
1.4
Ruang Lingkup Penelitian
Fokus penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan penentuan komposisi
belanja pemerintah dan efektifitasnya dalam mencapai tujuan pembangunan
ekonomi di Indonesia, terutama dalam mewujudkan visi dan misi pemerintah
dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang inklusif, yaitu pro growth, pro
poor, dan pro job. Teori yang melandasi penelitian ini adalah teori aggregate
demand dari Keynes. Penelitian ini juga disertai deskripsi dari komposisi belanja
dan dampaknya terhadap kinerja perekonomian beberapa negara lain, seperti
Thailand, Malaysia, Singapura, dan China untuk dijadikan bahan perbandingan
Indonesia.
1.5.
Kebaruan Penelitian
Novelty atau kebaruan dari penelitian ini adalah menghasilkan sebuah
temuan bahwa secara umum perubahan komposisi belanja pemerintah, melalui
peningkatan belanja modal berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi,
kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun terdapat beberapa temuan
yang menarik antara lain adalah :
1.
Semua perilaku persamaan belanja pemerintah mempunyai hubungan yang
sangat signifikan dengan variabel lag-nya. Hal ini berarti bahwa hampir tidak
ada perubahan dari pola belanja pemerintah dari tahun ke tahun.
Pertimbangan penyusunan belanja hanya berdasarkan pada belanja tahun
sebelumnya.
2.
Adanya ketidakefektifan alokasi belanja modal. Kontribusi belanja modal
terhadap investasi pemerintah hanya sebesar 0.3, artinya setiap peningkatan
belanja modal Rp1 miliar, hanya berdampak peningkatan investasi
20
pemerintah sebesar Rp 0.3 miliar. Akibatnya, ketika terjadi peningkatan
belanja modal relatif tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dampak yang signifikan justru jika terjadi efisiensi belanja modal.
3.
Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk
miskin relatif sangat rendah, yaitu hanya -0.05, artinya setiap 1 Persen
peningkatan pertumbuhan ekonomi hanya berdampak pada pengurangan
jumlah penduduk miskin sebesar 0.05 persen.
1.6.
Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah :
1.
Belum melakukan perbandingan secara komprehensif dengan komposisi
belanja negara lain, sehingga belum mendapatkan benchmarking untuk
menentukan komposisi belanja yang ideal untuk perekonomian Indonesia.
2.
penelitian ini belum melakukan evalusi efektifitas belanja pemerintah
menurut sektor maupun belanja transfer daerah, dikarenakan struktur alokasi
anggaran menurut sektor dan transfer daerah sering mengalami perubahan
sesuai perubahan rezim pemerintahan.
3.
penelitian ini hanya fokus pada aspek kebijakan fiskal, sehingga
perkembangan dan respon dari sisi moneter dianggap ceteris paribus.
4.
Penelitian ini belum mengintegrasikan dengan dampak belanja pemerintah
terhadap kinerja sisi penawaran agregat (aggregate supply).
Download