595-599_bunga rante-udang windu - BPPBAP

advertisement
595
Total sel hemosit udang windu... (Bunga Rante Tampangallo)
TOTAL SEL HEMOSIT UDANG WINDU (Penaeus monodon)
YANG DIPAPAR DENGAN BAKTERI Vibrio harveyi
Bunga Rante Tampangallo dan Endang Susianingsih
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau
Jl. Makmur Dg Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
E-mail: litkan [email protected]
ABSTRAK
Sistem pertahanan tubuh udang windu merupakan sistem pertahanan non spesifik dan sebagian besar
dilakukan oleh sel hemosit. Penelitian dengan tujuan untuk mengetahui total sel hemosit pada hemolim
udang windu yang dipapar dengan bakteri vibrio harveyi secara injeksi telah dilakukan di Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Payau Maros. Perlakuan yang dicobakan adalah kepadatan bakteri yang diinjeksikan, yaitu : A
= 106 CFU/mL, B = 104 CFU/mL, dan C = 102 CFU/mL. Pengamatan total hemosit dilakukan setelah 96 jam
infeksi. Hemolim diambil di bagian abdomen pertama dengan menggunakan syringe volume 1 mL, yang
berisi larutan antikoagulan (trisodium sitrat 3,8%). Hemosit kemudian dihitung dengan menggunakan
haemocitometer di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rata-rata total hemosit pada perlakuan A adalah 2,0x107 sel/mL yang berbeda nyata terhadap perlakuan B
(9,737x106 ) dan perlakuan C (7,225x106 ). Hal ini menunjukkan bahwa infeksi vibrio akan memicu tubuh
udang memproduksi sel hemosit untuk melawan infeksi.
KATA KUNCI:
total hemosit, udang windu (Penaeus monodon), Vibrio harveyii
PENDAHULUAN
Udang windu (Penaeus monodon) yang merupakan komoditas unggulan perikanan telah mengalami
penurunan produksi akibat adanya serangan penyakit, baik itu berupa penyakit yang disebabkan
oleh virus seperti WSSV (Supriyadi et al., 2005), Monodon Baculo Virus (MBV), Infectious Hypodermal and
Haemotopoeitic Necrosis Virus (IHHNV), dan Baculovirus Midgut Necrosis Virus (BMNV), serta
Hepatopancreatic Parvovirus (HPV) (Walker & Cowley, 2003; Flegel et al., 2004); parasit seperti
Zoothammium (Maharani et al., 2009) maupun oleh bakteri seperti Vibrio harveyii (Moriarty, 1999).
Serangan bakteri Vibrio yang menyebabkan udang dan media pemeliharaan berpendar pada malam
hari, umumnya disebabkan oleh bakteri dari genus Vibrio khususnya Vibrio harveyii. Penyakit ini
dikenal sebagai penyakit kunang-kunang atau vibriosis. Bakteri Vibrio merupakan genus yang dominan
hidup di air payau dan estuaria, mempunyai bentuk batang pendek yang bengkok (koma) atau lurus,
berukuran panjang 1,4-5,0 nm dan lebar 0,3-1,3 nm serta mempunyai flagella polar.
Vibriosis pada udang windu yang telah berukuran besar biasanya akan mempengaruhi penampakan
luar dari udang tersebut dan menyebabkan penurunan produksi oleh karena udang malas makan,
akan tetapi dapat juga menyebabkan munculnya serangan virus sebagai serangan sekunder. Namun
serangan vibriosis pada larva udang windu dapat menyebabkan kematian hingga 100%. Hal ini
disebabkan oleh karena lemahnya sistem pertahanan tubuh pada fase larva.
Sistem pertahanan tubuh terdiri atas sistem pertahanan tubuh spesifik dan non spesifik. Hal ini
didasarkan oleh adanya kemampuan organisme untuk mempertahankan diri terhadap serangan
patogen dan lingkungannya. Udang windu merupakan hewan invertebrata yang hanya memiliki
sistem imunitas non spesifik sehingga perlu respons imun secara berulang, dengan sistem pertahanan
tubuh mencakup sistem pertahanan tubuh selular dan humoral. Dalam sistem pertahanan tubuh
udang secara selular, yang paling berperan dan yang pertama kali melakukan perlawanan terhadap
adanya serangan patogen adalah sel hemosit (Maharani et al., 2009; Supamattaya et al., 2006).
Kemampuan dari udang windu untuk melakukan pertahanan secara seluler melawan serangan
Vibrio sp. perlu diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
596
total hemosit pada hemolim udang windu yang dipapar V. harveyi dengan kepadatan yang berbeda.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam mengetahui proses pertahanan tubuh
secara seluler pada udang windu dan dapat dijadikan acuan untuk pemantauan tingkat kesehatan
udang melalui aktivitas sel hemosit pada hemolim.
BAHAN DAN METODE
Perbanyakan Bakteri Vibrio har veyi
Bakteri V. harveyi (teridentifikasi dengan menggunakan 16sRNA) yang akan digunakan diperbanyak
dengan menggunakan nutrient broth. Bakteri tersebut sebelumnya diremajakan di TCBSA (Thiosulphate
citrate bile sucrose agar) plate dengan metode gores lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang.
Setelah itu, bakteri dipanen dengan menggunakan jarum ose bundar lalu dimasukkan ke dalam
nutrien broth steril. Nutrien broth yang berisi bakteri vibrio ini kemudian diinkubasi di atas shaker
inkubator selama 6 jam. Selanjutnya bakteri disentrifuge 6.000 rpm selama 10 menit pada suhu 4°C
untuk memadatkan bakteri. Pelet bakteri kemudian dilarutkan dalam larutan saline solution (NaCl
0,85%) sebanyak 50 mL dan siap untuk digunakan.
Injeksi Bakteri Vibrio harveyi
Injeksi bakteri V. harveyi dilakukan pada udang windu (P. monodon) ukuran 15-20 g yang telah
diketahui bebas dari bakteri Vibrio yang ditandai dengan tidak tumbuhnya bakteri Vibrio di media
TCBSA yang diisolasi dari hemolim. Injeksi dilakukan di bagian abdomen pertama masing-masing
udang sesuai dengan perlakuan, yakni : A= populasi bakteri V. harveyi 10 6 CFU/mL, B= populasi
bakteri V. harveyi 104 CFU/mL, dan C= populasi bakteri V. harveyi 102 CFU/mL.
Setelah diinjeksi, masing-masing udang uji dipelihara dalam akuarium volume 10 L dengan
kepadatan 5 ekor/akuarium. Tiap akuarium dilengkapi dengan selang dan batu aerasi untuk mensuplai
oksigen. Selama pemeliharaan juga dilakukan pemberian pakan pelet sebanyak 5%/hari.
Pengambilan Sampel Hemosit
Sampel hemosit pada hemolim diambil dengan menggunakan syringe volume 1 mL. Syringe ini
telah diisi dengan antikoagulan 3,8% trisodium sitrat sebanyak 0,3 mL. Hemolim diambil dari bagian
abdomen pertama udang windu yang telah memberikan ciri-ciri terserang V. harveyi.
Perhitungan Total Hemosit
Sampel hemolim yang telah dikoleksi diteteskan di atas haemocitometer kemudian diamati di
bawah mikroskop dengan pembesaran 100 x. Hemosit yang ada kemudian dihitung secara manual
kemudian dimasukkan ke dalam rumus berikut (Brock & Madigan, 1991):
THC = N x 25 x 50 x 103 sel/mL
di mana:
THC =
N =
total hemosit
rata-rata hemosit yang ditemukan
Analisis Data
Data total hemosit dianalisis dengan menggunakan pola Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan bila
perlakuan memberikan pengaruh, maka dilanjutkan dengan uji BNT. Perubahan morfologi udang
windu yang terinfeksi ditampilkan secara deskriptif.
HASIL DAN BAHASAN
Udang yang telah diinfeksi dengan bakteri V. harveyi menunjukkan gejala terinfeksi setelah 3 hari
injeksi yakni pergerakan mulai melemah, nafsu makan berkurang, kehilangan beberapa kaki renang,
warna tubuh memucat hingga bercak hitam, dan ekor geripis (Gambar 1). Hal ini sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Anonim (2011) bahwa ciri-ciri udang yang terserang vibriosis adalah kondisi
597
Total sel hemosit udang windu... (Bunga Rante Tampangallo)
badan lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, badan mempunyai bercak merah-merah (red
discoloration) pada pleopoda dan abdominal (perut), pada malam hari terlihat menyala serta
menunjukkan gejala nekrosis. Bagian kaki renang (pleopoda) dan kaki jalan (pereiopoda) menunjukkan
melanisasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa bagian mulut yang kehitaman adalah kolonisasi bakteri
pada esophagus dan mulut.
Tingkat mortalitas udang windu yang diinfeksi pada penelitian ini cukup rendah disebabkan
karena adanya kemampuan udang uji untuk mempertahankan diri terhadap serangan bakteri V. harveyi.
Tingkat kematian udang yang terinfeksi bakteri Vibrio berbeda-beda. Udang windu yang terserang
vibriosis di areal pertambakan Filipina mengakibatkan produksi sangat merosot yang disebabkan
oleh karena rendahnya sintasan udang yang dipelihara (Moriarty, 1999). Rengpipat et al. (2000)
telah melakukan uji tantang V. harveyi 1526 (kepadatan ~107 CFU/mL) terhadap udang windu yang
telah dipelihara dengan menggunakan bakteri probiotik Bacillus S11 selama 90 hari dan mengakibatkan
mortalitas udang pada kontrol tanpa probiotik sekitar 65% dan pada perlakuan probiotik 45%.
Selanjutnya Prayitno & Latchford, 1995 dalam Muliani, 2002 melaporkan bahwa pada stadia zoea 1
tingkat kematian udang yang terserang vibriosis mencapai 74%, stadia mysis 1: 73%, postlarva 1:
69%; postlarva 2: 51,5% dan untuk udang windu dewasa yang diinjeksi V. harveyi isolat B-2 dengan
kepadatan 8,20x10 5 cfu/ekor sebesar 100%. Tingginya mortalitas udang windu akibat vibriosis
disebabkan oleh kerana adanya produksi ekstraselular (ECP) dari bakteri V. harveyi yang bersifat patogen,
seperti enzim protease, phospholipase, haemolysins, dan zat toksin lainnya (Soto-rodriguez et a l.,
2003 dalam Austin, 2006).
Adanya perbedaan tingkat mortalitas pada setiap stadia udang disebabkan oleh karena perbedaan
dari udang windu untuk melakukan pertahanan tubuh dan faktor eksternal lainnya, seperti lingkungan.
Pada udang windu dan avertebrata pada umumnya, yang berperan dalam melakukan pertahanan
tubuh adalah haemocite sebagai pertahanan seluler dan proPO, phenoloksidase, lecitin, dan aglutinin
sebagai pertahanan humoral. Aktivitas dari reaksi seluler ini berhubungan dengan sistem oksidasi
profenol (Pro-PO). Pro-PO sistem disimpan dalam granula dari hemosit granular dan semi granular
dan dilepaskan ke dalam hemolimp jika bertemu dengan benda asing. Produk akhir dari reaksi
enzimatis ini adalah melanin, melanin mempunyai efek biosidal, oleh karena itu, proses malanisasi
sering dibarengi dengan reaksi pertahanan seluler (Alday-Zanz, 1995).
Total hemosit udang windu yang diamati berkisar antara 106 sampai 107 sel/mL. Jumlah tertinggi
didapatkan pada perlakuan A (2,0x107 sel/mL) dan berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. Nilai
ini tergolong tinggi, di mana total hemosit udang normal berkisar 104-105 sel/mL (Supamattaya et
a
b
c
d
e
Gambar 1. Morfologi anatomi udang windu (P. monodon) setelah diinfeksi Vibrio harveyii,
a = kepadatan 107 cfu/mL; b = kepadatan 104 cfu/mL; c, d, dan e = kepadatan
106 cfu/mL (Foto: Kadriah, 2011, komunikasi pribadi)
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
598
Tabel 1. Total hemolim udang windu yang diinfeksi
bakteri Vibrio harveyii selama penelitian
*
Perlakuan
Total hemolim (sel/mL)
A
B
C
20x106a
9,37x106b
7, 225x106b
Huruf yang berbeda dibelakang angka
menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05)
al., 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa total hemosit udang yang terserang vibriosis, YHV, dan
WSSV masing-masing sekitar 1,5x107 sel/mL; 0,6x107 sel/mL; dan 1,9x107 sel/mL.
Tingginya nilai total hemosit yang didapatkan disebabkan oleh karena adanya usaha dari udang
untuk melakukan pertahanan tubuh. Sel yang bertanggung jawab untuk melakukan pertahanan pada
udang adalah hemosit, sehingga udang berusaha untuk memproduksi sel hemosit lebih banyak.
Tingginya total haemolymph pada penelitian ini menunjukkan bahwa udang yang diinfeksi
mempunyai tingkat kondisi yang baik sebelumnya sehingga mampu memproduksi hemosit lebih
banyak untuk melakukan pertahanan tubuh ketika terjadi infeksi. Tingginya sel hemosit dapat menjadi
petunjuk terjadinya infeksi patogen tahap awal pada udang windu (Anderson & Siwicki, 1995 dalam
Effendy et al., 2004). Ini dapat dilihat dari hasil penelitian ini, di mana tempat penyuntikan bakteri
berdekatan dengan tempat pengambilan hemolim, yakni di bagian abdomen pertama.
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hemosit udang meningkat antara lain pemberian
beberapa imunostimulan seperti â-glukan (Rantetondok, 2002), lipopolisakarida (Ilmiah, 2009), ekstrak
ragi roti (Effendy et al., 2004), protein (Mahasri, 2008), dan probiotik (Moriarty, 1999). Pemberian
imunostimulan akan menstimulasi jaringan hematopoietic yang terletak tepat di bagian dorsal pada
lambung bagian depan (anterior stomach) untuk mensintesis hemocyanin. Peningkatan aktivitas
haemocyanin dapat secara langsung meningkatkan jumlah haemocite, termasuk sel hyalin,
semigranular, dan granular.
KESIMPULAN
Total hemosit cenderung lebih tinggi pada injeksi bakteri dengan konsentrasi yang lebih tinggi.
Infeksi V. harveyii ditandai dengan melanisasi/bercak hitam, ekor keripis, dan pergerakan serta nafsu
makan menurun.
DAFTAR ACUAN
Alday-Sanz, V. 1995. Technical Report in Short Course on Shrimp Disease and Health Management, SpSNC –
Levalin International Inc., in Association with International Development Program of Australian University
and Colleges, PT Hasfrom Dian Konsultan, Makassar.
Anonim. 2011. Jenis-jenis penyakit akibat mikroba: Bakteri. Bahan kuliah pengendalian dan penanggulangan
penyakit dalam akuakultur. Program alih jenjang D4 bidang konsentrasi akuakultur. Intitut Teknologi
Bandung.
Austin, B. & Zhang, X.H. 2006. Vibrio harveyi: a significant pathogen of marine vertebrates and
invertebrates. J. Applied Microbiology, 43: 119-124.
Brock, T.D. & Madigan, M.T. 1991. Biology od microorganism. Sixth Edition. Prentice Hall International.
Effendy, S., H. Batubara, & Suriana. 2002. Pengaruh pemberian hasil fermentasi ragi roti sebagai
immunostimulan terhadap sintasan juwana udang windu (Penaeus monodon Fab.) yang diuji tantang
dengan Vibrio sp. Balai Budidaya Air Payau Takalar. Laporan Tahunan.
Flegel, T.W., Nielsen, L., Thamavit, V., Kongtim, S., & Pasharawipas, T. 2004. Presence of multiple
599
Total sel hemosit udang windu... (Bunga Rante Tampangallo)
viruses in non-diseased, cultivated shrimp at harvest. Aquaculture, 240: 55-68.
Gunanti Mahasri. 2008. Respon Imun Udang Windu (Penaeus Monodon Fabricus) Yang Diimunisasi
Dengan Protein Membran Imunogenik Mp 38 Dari Zoothamnium Penaei. Prosiding Seminar Nasional
Hasil Riset Kelautan dan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya,
Malang.
Ilmiah. 2007. Peranan Imunostimulan Dalam Meningkatkan Sintasan Benur Windu (Penaeus Monodon
Fab.) Terhadap Serangan Virus Wssv. J. Protein, 4(1): 75-78.
Maharani, G., Sunarti, Triastuti, J., & Juniasti, T. 2009. Kerusakan dan Jumlah Hemosit Udang Windu
(Penaeus monodon) yang Mengalami Zoothamniosis. J. Ilmiah Perikanan dan Kelautan Universitas
Airlangga, 1(1): 21-29.
Moriarty, D.J.W. 1999. Disease Control in Shrimp Aquaculture with Probiotic Bacteria. Microbial
Biosystems: New Frontiers. Proceedings of the 8th International Symposium on Microbial Ecology Bell CR,
Brylinsky M, Johnson-Green P (Eds.) Atlantic Canada Society for Microbial Ecology, Halifax, Canada.
Muliani. 2002. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asal Laut Sulawesi untuk Biokontrol Penyakit Vibriosis
pada Udang Windu. Institut Pertanian Bogor.
Rantetondok, A. 2002. Pengaruh immunostimulan â-glukan dan lipopolisakarida terhadap respons imun
dan sintasan udang windu (Penaeus monodon Fabricius). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Rengpipat, S., Rukpratanporn, S., Piyatiratitivorakul, S., & Menasaveta, P. 2000. Immunity enhancement
in black tiger shrimp (Penaeus monodon) by a probiont bacterium (Bacillus S11). Aquaculture, (191):
271-278.
Supamattaya, K., Chittiwan, V., & Boonyaratpalin, M. 2006. Immunological factors in Black tiger
shrimp, Penaeus monodon Fabricus. Courtesy of Altech Inc.
Supriyadi, H., Taukhid, Sunarto, A., & Koesharyani, I. 2005. Prevalensi Infeksi White Spot SyndromeVirus
(WSSV) pada Induk Udang Windu (Penaeus monodon) hasil tangkapan dari alam. J. Pen. Per. Indonesia,
11: 69-73.
Walker & Cowley. 2003. Viral genetic variation: Implications for desease diagnosis and detection of
shrimp pathogen. Co-operative Research Centre for Aquaculture, PMB3 Indooropily, Q 4068.
Australia, 5 pp.
Download