BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015 POTENSI SEL PUNCA PLURIPOTENSI TERINDUKSI SEBAGAI GENERASI BARU UNTUK TERAPI Andri Wardiana Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI Cibinong Science Center (CSC), Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Jawa Barat, 16911 Email: [email protected] P erkembangan teknologi di bidang biomedik saat ini semakin pesat dan diharapkan memiliki dampak positif untuk menangani permasalahan kesehatan masyarakat dunia. Pada tahun 2012, seorang peneliti dari Jepang yang bernama Shinya Yamanaka berhasil meraih hadiah nobel di bidang fisiologi dan obat. Yamanaka menemukan teknologi sel punca pluripotensi terinduksi (iPS) yang Gambar 1. Sel punca embrionik yang bersifat pluripotent merupakan (http://www.ahealthblog.com/wpgenerasi baru dari content/uploads/2011/05/induced-pluripotentteknologi terapi sel stem-cells.jpg) punca yang dapat digunakan untuk pengobatan regenerasi sel dengan Sel punca embrionik cara mengganti sel-sel yang rusak yang diakibatkan oleh penyakit, Sel punca embrionik (embryonic stem seperti jantung, syaraf dan hati. Sel (ES) cells) adalah sel punca yang punca, disebut juga sebagai sel induk memiliki sifat pluripoten, yang berarti atau stem cell merupakan sel yang memiliki kemampuan dapat berubah belum berdiferensiasi dan memiliki menjadi sel semua jaringan dan potensi untuk berkembang menjadi organ tubuh yang juga mampu dalam berbagai sel tubuh. Sedikitnya ada memperbaharui dan meregenerasi tiga jenis teknologi sel punca yang dirinya sendiri. Seiring dengan telah dikembangkan saat ini, yaitu sel meningkatnya kebutuhan akan punca embrionik, sel punca dewasa, transplantasi organ yang cocok untuk dan sel punca pluripotensi terinduksi. para pasien penderita penyakit Artikel ini akan membahas degeneratif, para peneliti mulai perkembangan penelitian dari ketiga mempelajari teknik sel punca jenis teknologi sel punca tersebut embrionik sebagai cara terapi untuk untuk aplikasi klinis beserta memperbaiki sel-sel yang rusak. permasalahan yang dihadapi dan Untuk mendapatkan sel punca potensi teknologi sel iPS sebagai embrionik, sel-sel diisolasi dari massa terapi sel punca di masa mendatang. sel bagian dalam dan dikultur secara in vitro. Sel induk embrional dapat berkembang membentuk berbagai jaringan dan organ. Para peneliti meyakini bahwa dengan penggunaan 18 sel punca embrionik untuk terapi dan pengobatan akan menurunkan angka penderita penyakit degeneratif, seperti penyakit syaraf, jantung dan hati (Mc Laren, 2001). Di samping itu, pengembangan sel punca embrionik dapat memiliki manfaat yang lain, diantaranya untuk mencari mekanisme suatu penyakit dan juga dapat mengurangi penggunaan hewan percobaan dan manusia sebagai objek untuk pengujian obat secara in vivo (Murnaghan, 2010). Pengembangan sel punca embrionik merupakan riset biomedik yang mutakhir di abad ini, akan tetapi, pengembangan teknik tersebut telah memunculkan perdebatan di dunia kesesehatan. Hal yang membuat kontroversial, yaitu adanya proses penghancuran embrio manusia pada saat mengisolasi sel punca tersebut sehingga menjadi pertentangan karena menimbulkan masalah kode etik manusia dan juga pelanggaran hukum agama. Untuk mendapatkan sifat sel induk yang memiliki kemampuan berkembang menjadi seluruh sel tubuh (pluripotensi), harus dilakukan pengambilan sel dari embrio pada fase blastosit (5-7 hari setelah pembuahan) sebelum terjadi proses penempelan pada rahim. Prosedur pengambilan sel induk tersebut dianggap sebagai penghancuran pada fase awal kehidupan manusia. Banyak pihak yang berpendapat bahwa seperti halnya manusia yang telah lahir, embrio memiliki hak untuk hidup dan berkembang (Lo & Parham, 2009). Masalah yang tak kalah penting dari pengembangan sel punca embrionik ini, yaitu belum diketahui secara pasti tentang efek jangka panjang yang akan ditimbulkan. Terdapat dua rintangan secara biologis yang menjadi kendala dalam pengembangan sel punca embrionik. Pertama, adanya kemungkinan terjadi penolakan imunitas yang BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015 disebabkan oleh transplantasi dari donor yang tidak sesuai. Akan tetapi, beberapa peneliti meyakini bahwa hal tersebut dapat dicegah dengan menggunakan teknologi kloning terapeutik melalui teknik somatic cell nuclear transfer (SCNT) dengan menggunakan sel yang berasal dari pasien yang bersangkutan untuk mencegah reaksi penolakan pada efek timbulnya sel kanker tersebut harus tetap menjadi perhatian. Terlepas dari itu, terapi sel punca embrionik belum diterapkan sepenuhnya untuk pengobatan pada manusia sehingga menimbulkan kekhawatiran dari para pasien tentang adanya efek yang belum diketahui dengan pasti apabila melakukan terapi tersebut. terkait dengan tidak adanya benturan dengan masalah kode etik. Namun, terapi tersebut memiliki beberapa kelemahan diantaranya sifat multipotensi, yaitu terbatasnya kemampuan dalam pembentukan jaringan dan organ lain. Tantangan lainnya terdapat pada sedikitnya jumlah sel yang bisa diisolasi dari sel punca dewasa yang menjadikan tantangan bagi para peneliti untuk menumbuhkan sel tersebut secara in vitro (Science Daily, 2015) Sel punca pluripotensi terinduksi (iPS) Gambar 2. Sel punca dewasa yang bersifat multipoten (http://stemcellthailand.org/multipotent-stem-cells/) saat transplantasi jaringan. Namun, prosedur tersebut masih terbentur masalah kode etik karena masih terdapat proses penghancuran embrio (Vestal, 2008). Selain itu, terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan ekspresi beberapa gen selama proses kloning yang menyebabkan risiko yang sangat tinggi yang memungkinkan adanya pelarangan untuk menggunakan teknologi SCNT (Lo & Parham, 2009). Selanjutnya rintangan yang kedua, yaitu adanya kemungkinan terbentuknya sel kanker yang disebabkan karakteristik dari sel punca embrionik itu sendiri yang memiliki sifat tumorogenik. Hal tersebut telah jelas terlihat saat uji coba perdana pada hewan yang menunjukkan adanya pembentukan sel kanker yang tidak terkendali (Deem, 2009). Walaupun para peneliti yang melakukan penelitian tersebut berpendapat bahwa sel kanker yang terbentuk cenderung jinak (Kumar & Singh, 2006), tetapi Sel punca dewasa Penelitian teknonologi sel punca sebagai terapi tidak hanya menggunakan sel punca embrionik. Pengembangan teknologi sel punca dengan menggunakan sel punca dewasa (adult stem cells) telah berhasil diterapkan untuk terapi berbagai penyakit dan diperkirakan akan meraih keberhasilan untuk pengobatan penyakit lainnya. Beberapa jenis penyakit seperti limpoma dan leukemia dapat diobati dengan terapi sel punca dewasa menggunakan hematopoietik sel punca yang bersumber dari sumsum tulang (Kumar & singh, 2006). Pada tahun 2008, hasil penelitian mengungkapkan keberhasilan terapi sel punca dewasa dalam menolong banyak pasien dengan berbagai penyakit, seperti penyakit autoimun penyakit genetis dan kerusakan hati (Saunders dkk., 2008). Dibandingkan sel punca embrionik terapi sel punca dewasa memiliki kelebihan yang 19 Pada tahun 2006, peneliti dari Jepang yang bernama Shinya Yamanaka dan Kaztoshi Takahashi telah berhasil menemukan teknologi baru sel punca dengan menggunakan sel dewasa yang diprogram ulang sehingga memiliki sifat pluripotensi seperti halnya pada sel punca embrionik sehingga mampu berkembang menjadi seluruh sel tubuh.. Yamanaka dan timnya melakukan uji coba pada sel somatik dari mouse embryonic fibroblasts (MEFs) dan fibroblas kulit manusia (human skin fibroblast) dengan melakukan transformasi gabungan 4 gen penyandi Oct4, Sox2, Klf4 dan c-Myc. Pada eksperimen awal, mereka menggunakan retrovirus sebagai “kendaraan” bagi keempat gen tersebut untuk diintroduksikan ke dalam genom. Pada metode ini, gengen tersebut memprogram ulang sel somatik menjadi seperti sel punca embrionik yang memiliki sifat pluripotensi. Teknologi ini dinamakan sel punca pluripotensi terinduksi (induced pluripotent stem (iPS) cells) (Hyun dkk, 2007). Tidak seperti sel punca embrionik, teknologi sel punca generasi baru ini tidak terbentur etika atau isu moral karena tidak memerlukan perusakan embrio. Oleh karena itu, banyak peneliti yang meyakini bahwa teknologi iPS ini akan lebih aplikatif dan menjanjikan dalam pengembangan riset sel punca di masa yang akan datang (Brind’amour, 2009). Lebih dari itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ekspresi pada sel iPS lebih konsisten dan stabil dibandingkan pada sel punca embrionik (Cyranoski, 2008). Pengembangan sel iPS memiliki konsep pengembangan teknologi yang menakjubkan, tetapi teknologi ini juga memiliki kelemahan, yaitu ketika adanya integrasi dari keempat gen ke dalam genom pada sistem BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015 retrovirus yang memungkinkan terbentuknya kanker. Oleh karena itu, para peneliti mencoba untuk menemukan sistem vektor lain yang lebih aman untuk mencegah integrasi gen-gen tersebut pada genom (Cyranoski, 2008). Terdapat beberapa cara untuk memprogram ulang sel kulit manusia untuk dibentuk seperti sel punca embrionik tanpa menggunakan sistem retrovirus. Teknik transfeksi plasmid dan transduksi adenovirus telah dikembangkan sebagai vektor atau “kendaraan” untuk menggantikan sistem transduksi retrovirus. Metode tersebut sudah teruji dapat menghindari integrasi genomik dan pembentukan sel tumor (Lowry & Plath, 2008). Keuntungan yang paling utama dari kedua metode tersebut dibandingkan dengan sistem kimia untuk meningkatkan efisiensi. Hasilnya menunjukkan adanya signifikansi peningkatan efisiensi pemograman ulang sel somatik menjadi seperi sel punca embrionik baik pada pemograman ulang MEFs dan juga pada fibroblas kulit manusia ketika keempat gen tersebut dikombinasikan dengan suatu inhibitor histon deasetilase yang berupa asam valporat (VPA). Walaupun hasil eksperimen menunjukkan data yang positif, tetapi tetap diperlukan analisis lebih lanjut untuk membuktikan mekanisme yang jelas dan pengamatan kemungkinan adanya efek samping terkait dengan penggabungan VPA yang merupakan molekul kecil dengan vektor adenovirus pada teknologi tersebut (Lowry & Plath, 2008). Gambar 3. Sel punca pluripotensi terinduksi (iPS) (http://cofa.uta.fi/ips.html) retrovirus, yaitu tidak terdapatnya DNA eksogenus di dalam sel. Oleh karena itu, akan lebih memudahkan untuk melakukan pemrograman ulang sel somatik menjadi seperti sel punca embrionik (Si-Tayeb dkk, 2010). Akan tetapi, karakter dari transfeksi gen transien pada sistem plasmid menyebabkan efisiensi dari pemograman ulang sel somatik tersebut menjadi lebih rendah dibandingkan transduksi retrovirus. Pada tahun 2008, para peneliti mengembangkan strategi baru untuk meningkatkan efisiensi dari pemograman ulang sel somatik dengan tetap menghindari integrasi gen ke dalam genom. Mereka mengkombinasikan sistem adenovirus dengan suatu senyawa Teknologi sel iPS yang dikembangkan Yamanaka memiliki implikasi terhadap perkembangan sel biologi dan riset penyakit degeneratif. Pada tahun 2007, sebuah hasil penelitian mengungkapkan data yang positif dalam penyembuhan penyakit anemia sel sabit pada hewan uji tikus yang telah dihumanisasi. Mereka mengganti gen b-globin pada tikus dengan gen globin sikle manusia bs. Fibroblas tikus telah berhasil diprogram ulang menjadi seperti sel punca embrionik (iPS), dan sel tersebut berdiferensiasi menjadi sel progenitor hematopoietik dari tahap in vitro (di dalam cawan) menjadi tikus model yang berhasil ditransplantasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sel iPS dapat digunakan sebagai terapi 20 Pada tahun 2008, para peneliti mengembangkan strategi baru untuk meningkatkan efisiensi dari pemograman ulang sel somatik dengan tetap menghindari integrasi gen ke dalam genom. Mereka mengkombinasikan sistem adenovirus dengan suatu senyawa kimia untuk meningkatkan efisiensi. pada level gen dan juga sel (JiingKuan, 2010). Keamanan dalam penerapan teknologi sel iPS harus diperhatikan sebelum digunakan untuk terapi. Namun, sedikit sekali informasi tentang sifat imunogenisitas yang berkaitan dengan keamanan sel iPS untuk terapi sel punca. Terdapat kekhawatirkan akan terjadinya respon imunitas yang ditimbulkan oleh sel iPS ketika diaplikasikan untuk terapi. Hal tersebut disebabkan karena adanya data yang menunjukkan penolakan imunitas yang dibuktikan dengan terbentuknya tumor jinak setelah terapi sel iPS pada percobaan dengan menggunakan BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015 tikus syngeneic (genetik identik) (Zhao dkk, 2011). Walaupun keamanan dari terapi sel iPS yang berkaitan dengan reaksi imunogenisitasnya masih belum jelas, namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa reaksi imunogenisitas yang dihasilkan dari sel iPS yang diperoleh dari fibroblas kulit manusia dapat diabaikan, sehingga teknologi ini memiliki potensi untuk diaplikasikan secara klinis (Lu dkk,2014) Hasil paparan penelitian di atas menunjukkan bahwa teknologi sel iPS memiliki potensi yang sangat besar sabagai terapi sel punca untuk pengobatan penyakit degeneratif. Metode ini memiliki keunggulan dibandingkan sel punca embrionik dan sel punca dewasa. Selain tidak terbentur masalah etik dan isu moral, teknologi ini bisa menghasilkan sel yang bersifat pluripoten. Di samping itu, teknologi sel iPS dapat menyediakan model untuk penelitian mekanisme penyakit dan dapat digunakan untuk pengembangan pengobatan personal. Referensi Anonim (2015): Adult Stem Cell. Science Daily. Diperoleh 12 Maret 2015 dari http://www.sciencedaily.com/arti cles/a/adult_stem_cell.htm Brind'amour, K. (2009): Ethics of induced pluripotent cells. Suite. Diperoleh 12 Maret 2015, dari http://suite101.com/article/ethics -of-induced-pluripotent-stemcells-a75390 Cyranoski, D. (2008): 5 things to know before jumping on the iPS bandwagon. Nature [H.W.Wilson - GS]. 452:406. Deem, R. (2009): What is wrong with embryonic stem cell research? God and Science. Diperoleh 12 maret 2015, dari http://www.godandscience.org/d octrine/stem_cell_research.html Hyun, I., K. Hochedlinger, R. Jaenisch, & S. Yamanaka. (2007): New Advances in iPS Cell Research Do Not Obviate the Need for Human Embryonic Stem Cells. Cell Stem Cell. 1:367-368. stem cells. Nature education 3(9); s25. Kumar, S., & N.P. Singh.(2006): Stem cells: A new paradigm. Indian Journal of Human Genetics. 12:4-10. Lo, B., & L. Parham. (2009): Ethical Issues in Stem Cell Research. Endocrine reviews. 30:204-213. Lowry, W.E., & K. Plath. 2008. The many ways to make an iPS cell. Nature biotechnology. 26:12461248. Lu, Q., M. Yu, C. Shen, X. Chen, T. Feng, Y. Yao, J. Li, H. Li, & W. Tu. (2014): Negligible immunogenicity of induced pluripotent stem cells derived from human skin fibroblasts. PloS one. 9:e114949. McLaren, A. (2001): Ethical and social considerations of stem cell research. Nature. 414:129131. Murnaghan, I. (22 Agustus 2010): Replacing animal test with stem cells. About Animal Testing. Diperoleh 1 Maret 2015, dari http://www.aboutanimaltesting.c o.uk/replacing-animal-tests-withstem-cells.html Saunders, W. L., Jr., Prentice, D., Beskova, S., & Kolesar M. (2008): Adult Stem Cell Success Stories 2008 Update: JanuaryJune. Family Research Council. Diperoleh 12 Maret 2015, dari http://www.frc.org/insight/adultstem-cell-success-stories-2008jan-june Si-Tayeb, K., F.K. Noto, A. Sepac, F. Sedlic, Z.J. Bosnjak, J.W. Lough, & S.A. Duncan. (2010): Generation of human induced pluripotent stem cells by simple transient transfection of plasmid DNA encoding reprogramming factors. BMC developmental biology. 10:81-81. Vestal, C. (17 Juli 2008): The science behind stem cell research. Pew Research Center.Diperoleh 1 Maret 2015, dari http://www.pewforum.org/Scienc e-and-Bioethics/The-ScienceBehind-Stem-CellResearch.aspx Jiing-Kuan, Y. (2010): Turning somatic cells into pluripotent 21 Zhao, T., Z.-N. Zhang, Z. Rong, & Y. Xu. (2011): Immunogenicity of induced pluripotent stem cells. Nature. 474:212-215.