BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Pepaya adalah tanaman asli Meksiko dan Amerika Tengah, tumbuh di daerah hangat, berlimpah cahaya matahari dan terlindung dari angin hingga ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut. Tanaman ini kemudian menyebar ke belahan dunia lain, termasuk Indonesia. Tanaman pepaya membentuk pohon kecil setinggi 2-10 m. Bentuk batang bulat berongga, tegak lurus dan tidak bercabang. Daun tunggal, bulat, ujung runcing, tepi bergerigi, diameter 25-75 cm, pertulangan menjari, panjang tangkai 25-100 cm. Pepaya termasuk tanaman monoecious atau dioecious, ada yang berumah tunggal dan berumah dua. Jika bunga jantan dan betina berada dalam satu pohon disebut monoecious. Jika pada tanaman berbeda disebut dioecious. Jenis kelamin bunganya yaitu jantan, betina dan hermaprodit. Warna buah berwarna hijau berubah menjadi paduan kemerahan, kuning dan jingga ketika matang. Buah memiliki rongga di bagian tengah berisi banyak biji kecil. Biji berwarna hitam keabu-abuan dan diselimuti lapisan seperti lendir (Ismawan, 2013). 2.1.1 Sistematika Tanaman Pepaya Sistematika tanaman pepaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Syamsuhidayat dan Hutapea, 2000) : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae 6 Ordo : Cistales Famili : Caricaceae Genus : Carica Spesies : Carica papaya L. 2.1.2 Nama Daerah Pepaya disebut juga puete (Aceh), botik (Batak), kates (Palembang), kalikih (Minangkabau), kunti kayu (Lampung), gedang (Sunda, Bali), ketela gantung (Jawa), bua medung (Kalimantan), kapalay (Sulawesi), kampaya (Bima), kalujawa (Sumba), padu (Flores), popaino (Ambon), unti jawa (Makassar), sempanin (Papua) (Latief, 2009 ; Ismawan, 2013). 2.1.3 Nama Asing Pepaya juga mempunyai nama asing yaitu : meloenboom (Belanda), pawpaw (Inggris, Amerika), mammon (Spanyol), papayer (Prancis), papaiya (Jepang), betek (Malaysia), dudu (Vietnam), maloko (Thailand), fanmugua (China) (Latief, 2009 ; Ismawan, 2013). 2.1.4 Kandungan Kimia Daun pepaya mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida , komponenfenol, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid (Patil, et al., 2013 ; Vuong, et al., 2013). 2.1.5 Khasiat Tanaman Tanaman pepaya telah digunakan dalam berbagai pengobatan dengan aktivitas farmakologis sebagai antivirus, antiinflamasi, antimikroba, antidiabetes, antihipertensi, penyembuhan luka, antioksidan, meningkatkan jumlah trombosit, 7 mengatasi demam berdarah dan malaria (Latief, 2009 ; Ismawan, 2013; Sudhakar, 2014). 2.2 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen, POM., 1995). Ada dua cara metode ekstraksi mengunakan pelarut yaitu cara dingin (seperti : maserasi, perkolasi), dan cara panas (seperti : refluks, sokletasi, digesti, infundasi dan dekoktasi). a. Cara dingin, yaitu : i. Maserasi Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Remaserasi berarti melakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama,dan seterusnya (Depkes, RI., 2000). ii. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap 8 perkolasi sebenarnya (penetesan / penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Depkes, RI., 2000). b. Cara panas, yaitu : i. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, RI., 2000). ii. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, RI., 2000). iii. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, umumnya dilakukan pada suhu 40-500C (Depkes, RI., 2000). iv. Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih), temperatur terukur 96-980C selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes, RI., 2000). v. Dekoktasi Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama ≥ 30( menit) dan temperatur sampai titik didih air (90-980C) (Depkes, RI., 2000). 9 2.3 Diabetes Mellitus Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah hormon yang mengatur kadar glukosa darah. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) (WHO, 2015). Diabetes mellitus (DM) mempunyai sindroma klinik yang ditandai adanya poliuria, polidipsia, dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (kadar glukosa puasa≥ 126 mg/ dL atau postprandial ≥ 20 0 mg/dL atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg/ dL) (Triplitt, et al., 2008). 2.4 Klasifikasi Diabetes Mellitus Klasifikasi Diabetes mellitus (DM) berdasarkan etiologinya menurut American Diabetes Association (2008) meliputi: a. DM tipe 1 adanya destruksi sel β langerhans pada pankreas, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut, akibat kelainan autoimun (antibodi sel islet, antibodi insulin, dan antibodi asam glutamat dekarboksilase) atau idiopatik. b. DM tipe 2, bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. c. DM tipe lain, akibat defek genetik fungsi sel β, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat/zat kimia, infeksi, imunologi, sindroma genetik lain. Bentuk ini biasanya disebabkan oleh 10 adanya malnutrisi disertai kekurangan protein. Dulu jenis ini disebut Diabetes Terkait Malnutrisi (MRDM), tetapi oleh karena patogenesis jenis ini tidak jelas maka tidak lagi disebut MRDM tetapi Diabetes Tipe Lain (Suyono, 2010). d. Diabetes Kehamilan (Diabetes Gestasional), adalah diabetes yang timbul selama kehamilan (Suyono, 2010). 2.5 Diagnosis Diabetes Mellitus Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) membagi alur diagnosis Diabetes mellitus (DM) menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), polifagia (banyak makan/mudah lapar), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas (Depkes, RI., 2005; Purnamasari, 2010). Gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pasien pria, dan pruritus vulvae pada pasien wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal (Purnamasari, 2010). Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada Tabel 2.1 11 Tabel 2.1 Kriteria diagnosis Diabetes mellitus (DM) (Purnamasari, 2010) Kriteria Diagnosis DM 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. 2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam 3. Glukosa plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa 75 g glukosa yang dilarutkan ke dalam air. 2.6 Obat Antidiabetes Oral Obat antidibetika oral dibagi dalam 5 kelompok, sebagai berikut: a. Insulin Secretagogue i. Sulfonilurea Obat ini bekerja meningkatkan pelepasan insulin dari pankreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β-pankreas masih dapat berproduksi (Depkes, RI., 2005; Nolte dan Karam, 2010). Mekanisme kerja sulfonilurea dengan merangsang kanal K yang tergantung ATP d ari sel β-pankreas. Apabila sulfonilurea terikat pada sulphonylurea reseptor (SUR), maka akan terjadi penutupan pada kanal K. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran sel βpankreas, terjadi depolarisasi membran dan membuka kanal Ca, menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin (Soegondo, 2010). Generasi pertama sulfonilurea adalah asetoheksamid, klorpropamid, tolazamid dan tolbutamid. Generasi kedua dari golongan ini adalah glibenklamid, glipizid, glikazid, dan glimepirid (Nolte dan Karam 2010; Soegondo, 2010). 12 ii. Meglitinid Mekanisme kerja obat ini melalui sulphonylurea reseptor (SUR) (Soegondo, 2010). Repaglinid adalah obat pertama dari golongan meglinitid. Obat ini memodulasi pelepasan insulin dari sel β dengan mengatur efluks kalium melalui kanal kalium. Terdapat tumpang tindih tempat kerja molekularnya dengan sulfonilurea karena meglitinid memiliki dua tempat pengikatan yang sama dengan sulfonilurea dan satu tempat pengikatan yang berbeda (Nolte dan Karam, 2010). iii. Derivat D-Fenilalanin Nateglinid adalah derivat D-fenilalanin yang bekerja merangsang pelepasan insulin secara cepat dan berlangsung sementara dari sel β melalui penutupan kanal K+ yang sensitif-ATP. Obat ini memiliki keuntungan dalam hal keamanan penggunaannya pada pasien dengan penurunan berat pada fungsi ginjal (Nolte dan Karam, 2010). b. Biguanida Metformin adalah satu-satunya obat golongan biguanida yang masih dipergunakan saat ini. Obat ini memperbaiki transport glukosa darah ke dalam sel-sel otot dan menurunkan produksi glukosa hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis (Depkes, RI., 2005). Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan (Soegondo, 2010). Kerjanya dalam menurunkan kadar glukosa darah tidak tergantung pada sel β pankreas yang berfungsi (Nolte dan Karam, 2010). 13 c. Glukosidase-inhibitors Akarbose dan miglitol merupakan inhibitor kompetitif alfa-glukosidase. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim alfa-glukosidase pada dinding usus halus. Enzim alfa-glukosidase berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa darah postprandial pada penderita diabetes (Depkes, RI., 2005). d. Thiazolidindion Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas jaringan perifer untuk insulin (insulin sensitizers). Pioglitazon dan rosiglitazon adalah obat dari golongan thiazolidindion (Nolte dan Karam, 2010). e. Penghambat DPP-4 (dipeptidylpeptidase-4 blockers) Obat golongan baru ini bekerja dengan menghambat enzim DPP-4 sehingga produksi hormon incretin tidak menurun. Adanya hormon incretin berperan utama dalam produksi insulin di pankreas dan pembentukan hormon GLP-1 (glukagon-like peptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotropic polypeptide) di saluran cerna yang juga berperan dalam produksi insulin. Dengan penghambatan enzim DPP-4 akan mengurangi penguraian dan inaktivasi incretin, GLP-1 dan GIP, sehingga kadar insulin akan meningkat (Tan dan Rahardja, 2007). 14 2.7 Insulin Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta pankreas, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah (Manaf, 2010). Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (prekursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Disini, sekali lagi dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel (Manaf, 2010). Ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa. Kadar glukosa darah yang meningkat merupakan komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membran sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang berperan dalam metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai kendaraan pengangkut glukosa masuk dari luar ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa mengalami glikolisis dan fosforilasi di dalam sel, kemudian membebaskan molekul ATP (Manaf, 2010). 15 Molekul ATP yang terbentuk dibutuhkan untuk tahap selanjutnya yakni proses pengaktifan penutupan kanal K pada membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, diikuti tahap pembukaan kanal Ca. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin (Manaf, 2010). 2.8 Aloksan Pada uji farmakologi / bioaktivitas pada hewan percobaan, keadaan diabetes mellitus dapat diinduksi dengan cara pankreaktomi dan pemberian zat kimia. Zat kimia sebagai induktor (diabetogen) bisa digunakan aloksan, streptozotozin, diaksosida, adrenalin, glukagon, EDTA yang diberikan secara parenteral. Diabetogen yang lazim digunakan adalah aloksan karena obat ini cepat menimbulkan hiperglikemi yang permanen dalam waktu dua sampai tiga hari (Suharmiati, 2003). Aloksan dapat diberikan secara parenteral seperti intravena, intraperitoneal atau subkutan pada hewan percobaan. Dosis aloksan yang diperlukan untuk menginduksi diabetes tergantung pada hewan percobaan yang digunakan, rute administrasi dan status nutrisi. Pemberian dosis secara intavena yang biasa digunakan untuk menginduksi diabetes pada tikus adalah 65 mg/kg bb, sedangkan secara intraperitoneal atau subkutan dosis efektifnya harus 2-3 kali lebih tinggi. Pemberian dosis secara intraperitoneal di bawah 150 mg/kg bb mungkin sudah cukup untuk menginduksi diabetes pada tikus (Szkudelski, 2001). 16