BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nasi Uduk Makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia adalah nasi. Menurut Kristiatuti dan Rita (2004) makanan pokok adalah makanan yang dapat dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, sumber karbohidrat, mengeyangkan dan merupakan hasil alam daerah setempat. Makanan pokok adalah sumber karbohidrat bagi tubuh manusia, makanan pokok biasanya tidak menyediakan keseluruhan nutrisi yang dibutuhkan tubuh, oleh karenanya biasanya makanan pokok dilengkapi dengan lauk pauk atau diolah dengan bahan makanan lain untuk mencukupkan kebutuhan nutrisi seseorang dan mencegah kekurangan gizi. Pengolahan nasi sebagai makanan pokok menjadi berbagai produk yang berbeda sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Berbagai pengolahan tersebut dilakukan unntuk mengurangi rasa bosan terhadap jenis makanan yanng dikonsumsi setiap hari. Modifikasi pengolahan nasi bisa dilakukan dengan menambahkann berbagai bahan tambahan pada proses pemasakan nasi. Bahan tambahan yang biasa ditambahkan adalah santan, sari kunyit, bumbu halus, cabai dan lain sebagainya. Menurut Hidayati (2014) pengolahan nasi tergantung pada kondisi beras sebagai bahan utamanya, dan teknik olah yang digunakan antara lain adalah dimasak dengan lemak, digoreng dengan sedikit minyak, ditim, dan direbus. Beberapa contoh olahan beras sebagai makanan pokok adalah nasi tim, nasi goreng, lontong dan nasi uduk. Nasi gurih atau nasi uduk adalah olahan beras yang diaron dengan bahan cair santan, ditambah bumbubumbu dan dikukus. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasi uduk atau nasi gurih merupakan produk olahan beras yang cara memasaknya terdapat penambahan santan dan bumbu, menimbulkan rasa gurih pada nasi yang dihasilkan. sehingga Kandungan gizi nasi uduk memiliki perbedaan dengan kandungan gizi pada nasi biasa, hal terebut dikarekanan pada proses pembuatannya, nasi uduk mendapatkan bahan tambahan lain seperti santan, sereh, daun salam, daun pandan dan garam. Kandungan gizi nasi uduk sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayati (2014) yaitu energi 327,52 Kkal, karbohidrat 65,83 g, protein 7,11 g, lemak 3,05 g, kalsium 8,8 mg, vitamin B 3,60 mg, dan vitamin C 2,8 mg. Kandungan gizi tersebut per 100 gram beras bahan nasi uduk. Kandungan gizi setiap pembuatan nasi uduk dapat berbeda pada setiap proses pembuatan nasi uduk. 2. Kerusakan Produk dalam Kaleng Mutu makanan mengalami penurunan selama proses pengolahan. Panas yang digunakan selama proses dapat menyebabkan perubahan mutu, nutrisi produk, perubahan warna dan protein, serta perubahan kadar proksimat dan mineral. Penurunan mutu ini terus berlangsung selama penyimpanan karena reaksi-reaksi kimia yang terjadi secara alami, sehingga akan mempengaruhi citarasa, warna, tekstur dan nilai gizi makanan tersebut (Awuah et al, 2007). Nasi uduk memiliki kandungan minyak yang lebih besar dibanding nasi biasa. Menurut Rahardjo (2004), minyak akan lebih mudah mengalami kerusakan apabila terkena panas. Pada minyak dikenal ada dua tipe kerusakan yang utama, yaitu ketengikan dan hidrolisis. Dari kandungan minyak tersebut, dimungkinkan dapat terjadi kerusakan pada produk nasi uduk yaitu aroma nasi uduk berubah menjadi tengik atau basi. Selain kerusakan karena kandungan minyak, dalam nasi uduk juga terdapat mikroorganisme yang dapat berasal dari bahan maupun saat pengolahan. Menurut Apriyadi (2010), dalam nasi uduk terdapat bakteri Staphylococcus aureus yang dapat mengakibatkan keracunan pada manusia. Menurut MedveΔová (2012), Staphylococcus aureus dapat berkembang biak dengan baik pada suhu 37°C - 40°C atau dalam suhu ruang, dan dapat bertahan pada suhu dingin. Staphylococcus aureus memproduksi enterotoxins pada suhu 40°C - 45°C dan mati pada suhu di atas 50°C . Menurut Agata et al (2002), produk-produk bahan pangan berbasis beras sangat rentan terkontaminasi oleh Bacillus cereus yang tumbuh dan memproduksi emetictoxins dalam waktu relatif singkat pada nasi yang disimpan pada suhu ruang. Menurut Rajkovic (2008), Bacillus cereus dapat membentuk spora, berkembang biak dengan baik pada suhu 28°C - 37°C dan juga masih dapat bertahan pada suhu dingin walaupun dalam kondisi lingkungan anaerob sekalipun. Bacillus cereus tidak dapat bertahan hidup dan mati pada suhu 90°C, akantetapi spora masih bisa bertahan sehingga diperlukan suhu yang lebih tinggi. Selain itu, dalam produk kaleng dimungkinkan adanya bakteri Clostridium botulinum yang disebutkan oleh kusnandar (2006) sangat berbahaya pada makanan kaleng yang dapat direduksi dengan suhu 121°C. Oleh karena itu, diperlukan proses sterilisasi dengan suhu 110°C - 130°C sehingga bakteri pathogen tidak dapat hidup lagi. Perubahan yang terjadi pada fisik kaleng juga dapat menandakan kerusakan pada produk makanan kaleng. Menurut Winarno (1997), kerusakan makanan kaleng secara umum dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu: 1. Flat Sour, apabila permukaan kaleng tetap datar dan tidak mengalami kerusakan apapun, tetapi produk di dalam kaleng tersebut sudah rusak dan berbau asam. 2. Flipper, apabila dilihat sekilas, bentuk kaleng terlihat normal tanpa kerusakan. Tetapi bila salah satu ujung kaleng ditekan, maka ujung yang lainnya akan terlihat cembung. 3. Springer, apabila salah satu ujung kaleng tampak rata dan normal, sedangkan ujung yang lain tampak cembung permanen. 4. Swell (cembung), apabila kedua ujung kaleng sudah terlihat cembung akibat adanya bakteri pembentuk gas. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap mutu makanan kaleng adalah suhu ruangan penyimpanan. Suhu yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kerusakan citarasa, warna dan tekstur. Suhu tinggi juga menyebabkan bakteri yang tidak hancur selama proses sterilisasi cenderung untuk tumbuh dan berkembang biak. Oleh sebab itu, sebaiknya makanan kaleng di simpan pada suhu ruangan 10-21°C untuk mencegah terjadinya kerusakan dan pembusukan (Muchtadi, 1989). 3. Proses Pengalengan dan Sterilisasi Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat (hermetis) dan disterilisasi dengan panas. Pada umumnya proses pengalengan bahan pangan terdiri atas beberapa tahap, diantaranya persiapan bahan, pengisian bahan ke dalam kaleng, pengisian medium, exhausting, sterilisasi, pendinginan, dan penyimpanan (Desroier 1978 dalam Utami 2012). Setelah proses sterilisasi harus segera dilakukan proses pendinginan untuk mencegah terjadinya over cooking pada makanan dan tumbuhnya kembali bakteri termofilik (Winarno dan Fardiaz, 1980). Menurut Muchtadi (1998), sterilisasi adalah operasi yang paling penting dalam pengalengan makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan untuk menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna untuk membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari penampilannya, teksturnya, dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu, proses pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi untuk menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi sehingga membuat produk menjadi terlalu masak. Menurut Yuswita (2014) suhu proses untuk membunuh spora mikroba patogen yang dapat membentuk toksin dan dapat meracuni manusia umumnya dilakukan pada 110°C - 130°C selama waktu tertentu, tergantung pada kondisi dari produknya. Sedangkan suhu untuk mereduksi jumlah Clostridium botulinum dalam makanan kaleng adalah 121,1°C selama 3 menit (Kusnandar, 2006). Semakin tinggi suhu maka akan semakin pendek waktu yang diperlukan untuk dapat membunuh mikroba tersebut. Indikator proses sterilisasi yang optimal umumnya dilakukan dengan memastikan Clostridium botulinum dapat mati. Dengan demikian, mikroba lain yang kurang tahan panas akan otomatis mati apabila Clostridium botulinum berhasil dibunuh. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan yang kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi. Kondisi pengemasan yang kedap udara ini dapat menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang ada, sehingga bakteri yang bersifat aerob tidak akan mampu tumbuh pada produk pangan tersebut. Umumnya, proses pengemasan bagi bahan pangan yang disterilisasi dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi anaerobik. Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan, antara lain mikroba tidak tahan panas sehingga lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi selama proses pemanasan maupun selama proses penyimpanan setelah proses. Untuk mempertahankan kondisi anaerob ini, bahan pangan perlu dikemas dalam kemasan kedap udara (Utami, 2012). Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau sporanya. Setiap partikel makanan harus menerima panas dalam jumlah yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk (Reuter (1993) dalam Utami, 2012). Dalam suatu perancangan proses termal, karakteristik ketahanan panas mikroba dan profil pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan pada titik terdinginnya merupakan hal penting yang harus diketahui. Karakteristik ketahanan panas dinyatakan dengan nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme sebanyak 90% atau menjadi 1/10. Sedangkan nilai z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau menaikkan nilai D menjadi 10 kali dari nilai awalnya. F0 adalah ekuivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu 250°F. Nilai F0 ini ditentukan sebelum proses termal berlangsung. Nilai F0 dapat dihitung pada suhu standar atau pada suhu tertentu, dimana untuk menghitungnya perlu diketahui nilai D dan nilai z. Secara umum, nilai F0 menggambarkan waktu (menit) yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai level tertentu pada suhu tertentu. Untuk produk yang beredar di pasaran yang menggunakan proses sterilisasi biasa menggunakan sterilisasi komersial yaitu pada suhu 121°C selama 15 menit. Proses sterilisasi ini bergantung pada bahan yang disterilisasi. Sebagai contoh untuk sterilisasi bubur pedas dalam kaleng membutuhkan waktu 60 menit pada suhu 121°C (Rusiardy et al, 2014) untuk nasi rendang dalam kaleng membutuhkan waktu 20 menit pada suhu 121°C (Daniel, 2014). 4. Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASTL) adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui umur simpan suatu produk. Umur simpan produk pangan menurut Institute of Food Technologist adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang sesuai dengan harapan konsumen. National Food Prosessor Association mendefinisikan bahwa umur simpan adalah suatu produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah, 2001). Menurut Hariyadi dan Andarwulan (2006), metode Accelerated Shelf Life Test (ASLT) dengan Model Arrhenius umumnya digunakan untuk melakukan pendugaan umur simpan produk pangan yang sensitif oleh perubahan suhu, di antaranya produk pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi kecoklatan, atau kerusakan vitamin C. Metode ini pada prinsipnya adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim, dimana kerusakan produk pangan terjadi lebih cepat kemudian umur simpan ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur simpan, maka semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam pendugaan metode Arrhenius adalah: 1. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja. 2. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu. 3. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat proses-proses yang terjadi sebelumnya. 4. Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap. Berdasarkan identifikasi produk yang telah dilakukan dapat diketahui faktor kualitas yang dijadikan parameter kinetika reaksi kemunduran mutu yang terjadi pada produk. Untuk membuat tingkat kemunduran mutu, data faktor kualitas ditransformasikan dalam sebuah kinetik plot dan akan didapatkan suatu model parameter kinetik yang tepat. Menurut Labuza dan Riboh (1982) proses kemunduran mutu bahan makanan dapat dinyatakan dengan persamaan umum berikut : ± dengan ππ ππ‘ = π. ππ Q t k n dQ/dt : faktor mutu yang diukur : waktu : ketetapan yang tergantung pada suhu dan Aw : faktor pangkat atau orde reaksi : kecepatan perubahan dari faktor Q per satuan waktu (tanda positif jika kemundurannya dinyatakan dalam bertambahnya Q dan negatif jika yang diukur adalah berkurangnya Q) Sebagian besar kemunduran mutu bahan makanan termasuk reaksi orde nol dan orde satu. Dengan evaluasi constant rate (k) pada tiga suhu atau lebih yang berbeda dapat dibuat grafik hubungan Arrhenius, yaitu ekstrapolasi dengan garis lurus hubungan antara ln k dengan 1/T untuk memprediksi kecepatan reaksi (k) dari reaksi-reaksi dari suhu lain (Labuza, 1982). Umur simpan ditentukan berdasarkan faktor yang paling berpengaruh terhadap produk tersebut. Faktor yang bisa mempengaruhi umur simpan suatu produk antara lain adalah suhu. Penentuan umur simpan dengan faktor pembatas suhu dapat dilakukan dengan pendekatan kinetika kemunduran mutu Arrhenius. Reaksi kemunduran mutu orde nol dapat dinyatakan dengan persamaan : π‘= (π΄0 − A) k Dan untuk orde 1 reaksi kemunduran dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: π΄ ln( π΄0 ) π‘= k Dimana: A = skor akhir. Skor sensoris 1-7, batas ditolak 3 A0 = skor sensoris awal (hari ke-0) k = konstanta kecepatan reaksi t = waktu penyimpanan (dalam hari, bulan atau tahun) B. Kerangka Berpikir Nasi merupakan makanan pokok di Indonesia Variasi pengolahan nasi menjadi nasi uduk atau nasi gurih Nasi uduk di pasaran tidak memiliki umur simpan yang lama Pengalengan nasi uduk untuk menambah umur simpan Penentuan suhu dan waktu optimum sterilisasi dan analisis umur simpan nasi uduk dalam kaleng Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian C. Hipotesa Hipotesa dari penelitian ini adalah terjadinya perubahan sensori dan tingkat ketengikan nasi uduk dalam kaleng selama penyimpanan pada suhu di atas suhu penyimpanan normal dapat digunakan untuk menduga umur simpan nasi uduk dalam kaleng.