BAB V PENUTUP A. Kesimpulan AirAsia dan Malaysia Airlines sama-sama bertanggungjawab terhadap krisis namun pada saat yang bersamaan mereka juga meminimalkan hubungannya dengan krisis. Penghilangan fakta penyebab krisis yang didukung oleh strategi excuse mengindikasikan bahwa kedua organisasi tidak rela sepenuhnya untuk mengklaim dirinya sendiri sebagai penyebab kecelakan pesawat. Maka tidak heran AirAsia dan Malaysia Airlines menggunakan strategi komunikasi krisis yang sama yaitu kombinasi instructing-adjusting information yang kemudian diikuti dengan kombinasi strategi diminish-rebuild dan bolstering yang berarti kedua organisasi mereduksi tanggungjawab dan berusaha menciptakan kesan positif di mata publik. Hanya saja baik AirAsia ataupun Malaysia Airlines belum mampu menyajikan bukti kuat pada strategi excuse yang mempertegas bahwa pihaknya bukanlah penyebab kecelakaan pesawat. Hal ini dapat berarti kedua organisasi tidak persuasif dalam penyampaian dalih-dalihnya. Pada manajemen krisis AirAsia, pihaknya diuntungkan oleh faktor alam. Konsekuensinya adalah AirAsia mampu bertindak lebih progresif dan memiliki sajian fakta baru yang lebih banyak untuk menjadi bahan komunikasi krisis. Di samping memiliki manajemen yang cerdas untuk mendapatkan simpati publik, AirAsia juga sadar bahwa dalam manajemen krisis penting untuk menunjukkan keterbukaan dan kerjasama dengan pihak eksternal organisasi. Tanpa menganggap sebelah mata aksi manajemen krisis yang telah ditempuh, keuntungan alam lah yang sedikit banyaknya membawa AirAsia lebih cepat menyelesaikan krisisnya. Sementara itu Malaysia Airlines menghadapi kondisi alam yang jauh lebih sulit dibandingkan dengan AirAsia. Maka dari itu, sudah sewajarnya Malaysia Airlines memiliki sedikit sajian fakta baru yang berdampak pada kekosongan informasi dalam publik. Tidak hanya berdiam diri, pihaknya berusaha mengisi kekosongan informasi dengan laporan kerja sama antar negara, hasil analisis satelit dan merespon rumor melalui comment release. Malaysia Airlines juga nampak bekerja lebih keras dari AirAsia dalam hal membangun image positif. Hal tersebut dapat dilihat pada frekuensi penggunaan compensation dan 114 ingratiation yang lebih banyak dibandingkan dengan AirAsia. Pada akhirnya, krisis MH370 dianggap sebagai alasan untuk memperbaiki dan meningkatkan level keamanan pesawat. Aplikasi teori SCCT dalam kasus ini menghasilkan dua hal penting. Koherensi antara tipe krisis, sejarah krisis dan strategi komunikasi krisis pada AirAsia sesuai dengan rekomendasi Coombs. Akan tetapi bagi Malaysia Airlines yang belum mengidentifikasi penyebab kecelakaannya, keputusan memakai strategi yang sama dengan AirAsia merupakan suatu temuan yang menarik. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa manajer krisis juga perlu mempertimbangkan integrasi media baru dalam manajemen krisis yang dilakukannya. Organisasi dapat memanfaatkan website sebagai media komunikasi krisis karena memungkinkan organisasi mengontrol pesan krisis dan memberikan peluang seluas-luasnya kepada publik untuk mengakses secara langsung dalam waktu bersamaan. B. Saran Saran untuk Organisasi 1. Berdasarkan hasil analisis data dan kesimpulan yang sudah dipaparkan sebelumnya, berikut ini adalah rekomendasi yang peneliti dapat sumbangkan kepada AirAsia dan Malaysia Airlines a. AirAsia Organisasi sebaiknya mendukung strategi excuse dengan sajian bukti dan fakta yang kuat sehingga nampak lebih meyakinkan bagi publik. Penting juga bagi organisasi untuk menambah ragam narasumber eksternal sehingga dalih atau pembelaan AirAsia memiliki kredibilitas yang baik dan lebih persuasif. b. Malaysia Airlines Malaysia Airlines penting untuk menyusun rencana manajemen krisis dengan matang sehingga ketika krisis datang organisasi dapat bertindak dengan efektif berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sudah dibuat. Serupa dengan AirAsia, sebaiknya Malaysia Airlines menyajikan bukti-bukti yang kuat 115