Ahli Ilmu Politik UNAIR Dikukuhkan Jadi Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia UNAIR NEWS – Kepakarannya dalam bidang Ilmu Politik tak diragukan lagi. Ratusan artikelnya tentang Ilmu Politik, khususnya kajian pemilu dan partai politik, pernah dimuat di media massa. Puluhan artikel dalam topik yang sama juga pernah dipublikasikan oleh berbagai lembaga. Dialah Profesor Ramlan Surbakti, Drs., M.Si., Ph.D, yang baru saja dikukuhkan menjadi anggota baru Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Prof. Ramlan dikukuhkan sebagai anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI. Pengukuhannya dilangsungkan di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen Universitas Airlangga, Sabtu (26/11). Dalam pengukuhannya, Prof. Ramlan membacakan orasi ilmiahnya yang berjudul “Tata Kelola Pemilu sebagai Subkajian Pemilu Terapan”. Mengawali orasinya, Prof. Ramlan mengutip sebuah pernyataan. “You can have election without democracy. But, you cannot have democracy without election,” tegas Guru Besar Ilmu Perbandingan Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UNAIR. Prof. Ramlan menyampaikan, ada delapan parameter yang menunjukkan pelaksanaan pemilu berjalan bebas, jujur, dan adil. Parameter ini ia sampaikan ketika menjadi ahli dalam People Tribunal on Malaysia Election tahun 2013. Pertama, undang-undang pemilu berisi penjabaran pemilu yang demokratik dan mengandung kepastian hukum. Kedua, menjamin kesetaraan antar warga negara. Ketiga, persaingan yang bebas dan adil antar peserta pemilu. Keempat, partisipasi warga negara sebagai pemilih dalam penyelenggaraan pemilu. Kelima, badan penyelenggara pemilu harus mandiri, kompeten, berintegritas, efisien, dan dengan kepemimpinan yang efektif. Keenam, proses pemungutan dan penghitungan suara berdasarkan asas pemilu demokratik dan prinsip pemilu berintegritas. Ketujuh, keadilan pemilu yang ditandai dengan respon penyelenggara pemilu terhadap situasi di lapangan. Kedelapan, prinsip nirkekerasan dalam proses pemilu. “Pemilu sudah bebas tapi belum adil. Seharusnya, mereka (tim kampanye calon) menunjukkan prestasi dengan data-data. Seharusnya, kampanye tidak menjelekkan suku bangsa. Karena kondisi suku bangsa merupakan given, identitas budaya dan sudah diatur dalam konstitusi,” tegas Prof. Ramlan. Salah satu cara untuk memperbaiki kualitas pemilu di Indonesia adalah melaksanakan pendidikan tata kelola pemilu. Saat ini, tata kelola pemilu masih termasuk dalam kajian pemilu (electoral studies) yang dikaji dalam perbandingan politik, dan politik nasional. Dengan adanya pembelajar yang memahami tata kelola pemilu, mereka diharapkan bisa membentuk draf rancangan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), membentuk petunjuk pelaksanaan peraturan KPU, merumuskan spesifikasi teknis berbagai jenis logistik pemilu, dan sebagainya. Acara inaugurasi dihadiri oleh Ketua AIPI Prof. Sangkot Marzuki (Universitas Monash), Ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI Prof. Taufik Abdullah (Universitas Gadjah Mada), Sekretaris Jenderal AIPI Dr. Budhi M. Suyitno (Institut Teknologi Bandung) dan para anggota AIPI lainnya. Saat ini, AIPI beranggotakan 55 orang. Rektor UNAIR Prof. Dr. M. Nasih, S.E., M.T., Ak, yang juga hadir dalam inagurasi memberikan apresiasinya terhadap Prof. Ramlan yang menjadi satu-satunya representasi UNAIR di AIPI. “Kita cukup bangga karena ada representasi dari UNAIR pada lembaga yang prestisius itu. Tidak semua orang bisa menjadi anggota. Pak Ramlan masih menjadi satu-satunya di sana (dari UNAIR),” tutur Prof. Nasih. Ke depan, Prof. Nasih berharap ada semakin banyak para akademisi UNAIR yang bergabung pada berbagai komisi organisasi para ilmuwan Indonesia itu. Penulis: Defrina Sukma S Prodi Ilmu Politik Tingkatkan Kualitas Dosen dan Riset UNAIR NEWS – Seperti halnya akreditasi yang terlaksana pada beberapa program studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR, Prodi Ilmu politik melihat perlunya peningkatan kapasitas dalam berbagai hal, khususnya prodi itu sendiri. Sebagaimana elemen penting yang terlibat dalam akreditasi pada beberapa minggu lalu (22/3), mahasiswa, dosen, alumni dan pengguna alumni dinilai sangat strategis dalam mengembangkan prodi. Prodi yang sebelumnya terakreditasi A oleh BAN-PT tersebut menyakini bahwa peningkatan kapasitas dapat dilakukan melalui beberapa program. Drs. Kris Nugroho MA., selaku ketua prodi menjelaskan, dari aspek tenaga pengajar atau dosen, akan dicanangkan peningkatan ke jenjang doktoral (S3) untuk memperluas ilmu dan kualitas pengajar serta mendorong budaya riset bagi para dosen. “Tidak hanya ilmu yang selama ini dari buku saja, akan tetapi terjun langsung atau riset ke lapangan untuk meninjau seperti apa fenomena yang sedang terjadi itu akan kami kembangkan,” ujarnya. Kris juga menambahkan bahwa pengembangan riset nantinya akan dilakukan kerjasama dengan lembaga ataupun institusi terkait yang fokus pada bidang yang sama. Hal tersebut dilakukan tidak lain untuk mendapatkan info terkini seputar perkembangan isu kontermporer. “Dosen berbasis riset sangat penting bagi kami, agar ilmu yang diberikan bukan sekedar text-book lagi,” tambahnya. Tidak hanya itu, Kaprodi Ilmu Politik tersebut juga menginginkan keikutsertaan dosen dalam seminar profesi keilmuan, baik domestik maupun internasional. Aktif dalam studi pengembangan, dalam Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Publikasi jurnal juga tidak kalah penting, akreditasi jurnal akan dan terus menerus ditingkatkan konten dan isinya. Hal ini tentu saja mendorong setiap dosen untuk mampu bersikap professional. (*) Penulis: Ahalla Tsauro Editor: Nuri Hermawan Sekelumit Tentang Oposisi Biner Rakyat dan Pemimpin Peter Northouse mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses yang melibatkan seseorang mempengaruhi orang lain untuk memahami dan menyetujui tentang apa yang dibutuhkan dan bagaimana cara untuk memenuhinya. Yang jelas, melalui definisi ini, dapat dipilah beberapa konsep mengenai kepemimpinan, antara lain: kepemimpinan adalah sebuah proses, kepemimpinan membutuhkan satu individual pemimpin, kepemimpinan melibatkan sekelompok individual lain yang dipimpin, dan kepemimpinan melibatkan sebuah tujuan bersama yang akan dituju. Dalam perspektif sosiologis dan antropologis, kepemimpinan dalam masyarakat dibentuk melalui mekanisme dan model primus inter pares. Maksudnya, seseorang dikatakan sebagai pemimpin yang ideal karena kompetensi, garis genealogi, kekayaan, kekuatan dan kesempurnaan lahiriah/batiniah maupun karena usia, pengalaman, pendidikan, status dan otoritas sosial yang dimilikinya. Tidak hanya itu, pemimpin harus diakui oleh masyarakat pengusungnya sebagai pemimpin utama dan menjadi pelaksana kepemimpinan dan kehidupan masyarakatnya (Suwirta dan Hermawan, 2012). Melalui perspektif ini, kepemimpinan dan pemimpin adalah sesuatu yang dibentuk dan membentuk masyarakat. Seseorang menjadi pemimpin dan berada dalam kepemimpinan karena ia dilahirkan sebagai pemimpin, seperti pada pemerintahan monarki dan otoriter, atau menjadi pemimpin karena pengalaman, kemampuan, usaha, membuatnya menjadi seorang pemimpin. atau proses yang Sebagai sebuah negara, konsepsi kepemimpinan politik di Indonesia mengalami beberapa era terkait dengan sistem kemasyarakatan. Secara garis besar, Subiakto dan Ida (2014) membagi era tersebut ke dalam sejumlah sistem kemasyarakatan yaitu euforia kemerdekaan, berdaulat, demokrasi terpimpin, orde baru, dan reformasi. The Great Man Theory Dalam perspektif historiografi konvensional dikenal istilah the great men theory, dimana peristiwa-peristiwa penting dan perubahan sosial itu dalam banyak hal digerakkan oleh “orangorang besar” (Sjamsuddin, 2007; dan Suwirta, 2012). Perspektif ini dapat dilekatkan pada unsur kebangsawanan atau priyayi dan ketokohan yang sangat melekat pada karakter pemimpin Indonesia. Sebaliknya, konsep rakyat kerap diidentikkan sebagai orangorang dari golongan marjinal (jelata), yaitu mereka yang hidup terpinggirkan seperti petani, buruh, dan karyawan kecil. Hal ini senada dengan tuturan Iqra Anugrah (2013) dalam tulisannya di jurnal Indoprogress; Rakyat Jelata, Sejarah dan Perjuangan. Dia menjelaskan bahwa kondisi oposisi biner antara pemimpin dan rakyat umum terjadi di Indonesia. Dia menuliskan, “Sejarah dan politik bercerita tentang ‘orang-orang besar,’ yaitu para tokoh yang menggerakkan roda jaman dan perubahan, sedangkan rakyat jelata dan orang-orang biasa hanyalah catatan kaki, atau mungkin lebih parah lagi, referensi yang tak terpakai dalam proses penulisan sejarah,” Oposisi biner antara pemimpin dan rakyat dalam hal ini dapat kita cermati secara jelas dari bagaimana sosok pemimpin di Indonesia sangat erat dengan unsur-unsur kerajaan, terutama dengan kekeratonan Jawa, atau dengan unsur-unsur keturunan tokoh-tokoh besar di Indonesia. Pemimpin di Indonesia kerap menggunakan faktor keturunan dari tokoh-tokoh besar, atau setidaknya berusaha menunjukkan kesamaan ide atau pemikiran dengan tokoh-tokoh tersebut sebagai sebuah penanda kesepahaman atau sekedar mengikuti popularitas tokoh tersebut di mata masyarakat. Contoh yang paling umum digunakan adalah penggunaan sosok Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia dalam kampanye-kampanye politik di Indonesia. Soekarno seringkali dijadikan sebagai panutan dan sosok ideal bagi pemimpin-pemimpin di Indonesia. Agus Sudibyo (2001) dalam bukunya yang berjudul Politik Media dan Pertarungan Wacana mengatakan bahwa sosok Soekarno kerap digambarkan sebagai simbol nasionalisme, tokoh yang populer dan berkharisma bagi rakyat dan internasional, serta tokoh yang memiliki kontribusi dalam sejarah perjuangan bangsa. Kualitas-kualitas yang melekat pada Soekarno tersebutlah yang seringkali dijadikan ajang “promosi” para pemimpin Indonesia., dan hal ini memberikan sebuah Gambaran bahwa pemimpin sering dicitrakan memiliki kualitas yaitu dikagumi, dicintai, dan berjasa bagi pihak lain, yang dalam hal ini adalah rakyat. Marginalisasi Kelompok Bungkam Rakyat atau kaum marjinal diidentifikasikan sebagai mereka yang berada pada posisi sebagai kelompok bungkam. Kelompok ini dikonsepkan oleh Edwin dan Shirley Ardener sebagai, “Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti wanita, kaum miskin, dan orang kulit berwarna, yang harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan,” Dengan konsepsi abstrak mengenai kelompok bungkam atau kelompok marjinal ini, maka ide atau konsep mengenai rakyat berkaitan dengan kedudukannya dibandingkan pemimpin menjadi jelas. Ia merupakan kelompok marjinal terpinggirkan yang mengikuti bagaimana sebuah sistem hierarki dan struktur sosial dibangun oleh kelompok dominan atau pemimpin. Tidak hanya unsur kebangsawanan (elitisme) dan keterkaitan dengan seorang tokoh yang melekat pada figur sosok pemimpin, dalam usaha untuk meraih kekuasaan seringkali sosok pemimpin direpresentasikan melalui tradisi dan kepercayaan (budaya). Hal ini merupakan bagian dari perspektif historiografi tradisional dan secara lebih spesifik dikaitkan dengan unsur agama dan suku. Unsur agama yaitu Islam, dan suku Jawa tidak terbantahkan sangat dominan dimanfaatkan oleh pemimpin dan menjadi bagian dari corak kepemimpinan di Indonesia. Oposisi biner yang dijelaskan di atas antara pemimpin dan rakyat merupakan sebuah bagian dari strukturisasi dalam masyarakat. Hal ini tercipta karena adanya wacana sosial (social discourse) tentang bagaimana sosok pemimpin itu dimaknai dalam sistem masyarakat. Pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan kuasa, terutama atas media, mampu untuk membuat kode (code) yang melaluinya konsep pemimpin itu dikomunikasikan melalui pesan-pesan yang ada baik secara langsung (intended) maupun simbolik. Pragmatisme Sebagai Ideologi Partai Politik Memiliki modal dan basis masa yang dianggap mumpuni, empat partai nasional lahir tahun ini. Mereka adalah Partai Persatuan Indonesia (PERINDO), Partai Islam Damai Aman (Idaman), Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Priboemi. Mereka bergerak cepat mencari simpati publik dengan mematok target ikut bertarung di pemilu 2019. Bermunculannya partai-partai baru merupakan fenomena lumrah yang terjadi pasca Orde Baru. Setelah disekap begitu lama dalam kategorisasi kepartaian yang direkayasa penguasa, awal reformasi menjadi momen karnaval ideologi partai politik untuk tampil dipermukaan. Terbukti dalam pemilu 1999 terdapat 48 partai kontestan pemilu. Salah satu wujud nyata dari terbukanya demokrasi adalah dengan keberadaan partai politik. Clinton Rossister (1960:1) mengatakan, “No America without democracy, no democracy without politics, and no politics without parties”. Selaras dengan ungkapan Richards Katz (1980:1), “modern democracy is party democracy”. Kemunculan partai-partai (multi partai) berbanding lurus dengan tumbuhnya proses demokratisasi, khususnya yang berkaitan dengan kesamaan hak antar warga negara. Seiring dengan perkembangan masyarakat postmodern, spesialisasi dan diferensiasi peran sosial adalah sebuah keniscayaan. Bentuk kepentingan dan latar belakang orang-orang yang begitu plural, sehingga masing-masing memiliki kebutuhan dan keinginan yang harus diperjuangkan melalui pengaruh kebijakan politik. Kelompok kepentingan dan partai politik merupakan manfestasi dari hasrat tersebut. Sistem multi partai diharapkan mampu menjadi media komunikasi politik untuk menjembatani bentuk aspirasi kepentingan setiap tuntutan yang beragam. Semakin berkembang modern masyarakat, maka pola sikap dan orientasi anggota masyarakat cenderung eksplisit berorientasi terhadap sistem politik sebagai keseluruhan, input dan output dan terhadap diri sendiri sebagai aktor politik. Biasanya terdapat pada masyarakat perkotaan yang terpelajar dan menyadari posisi dan peran politiknya, sehingga dapat mendesakkan kepentingan kepada sistem politik yang berlaku. Menurut Giovanni Sartori, ilmuwan politik merumuskan sistem kepartain pada kriteria dari Italia, jumlah kutub (polar), jarak antara polar-polar itu (polarity), dan arah dorongan interaksi politiknya. Dia membagi tiga model, yakni pluralisme sederhana (simple pluralism), Pluralisme Moderat (moderate pluralism), dan Pluralisme Ektrem (extreme pluralism). Merujuk pada pandangan Sartori, Indonesia mempunyai sistem pluralisme ekstrem, karena mempunyai banyak kutub atau sistem banyak partai yang saling berjarak jauh dan bertentangan, sangat terpolarisasi (kutub kiri : sosialis, kutub kanan : Islam dan Kristen, demokrasi dan radikal, kutub tengah : nasionalis), dan dorongan aktifitas politik yang sentrifugal (menjauh dari pusat). Sayangnya, fakta politik di Indonesia yang berlangsung tidak sama dengan prediksi Sartori. Meski pun di Indonesia terdapat banyak partai yang dikawatirkan akan terjadi benturan keras karena perbedaan ideologi, semua partai yang ada sekarang hampir seragam dalam pola kecendrungan ideologinya. Jargon mereka dalam setiap pemilu relatif sama, yaitu ekonomi kerakyatan, demokrasi dan religius. Hal ini sangat bertolak belakang dengan katagorisasi ideologi partai pada zaman orde baru. Difusi tiga partai telah memberikan corak ideologi tertentu yang identik bagi masing-masing partai. Kenyataan ideologi pragmatis yang dialami hampir semua partai diperparah dengan berlakunya mekanisme pemilihan terbuka. Kecendrungan sosok yang diusung sangat berpengaruh terhadap keterpilihan partai tersebut. Maka, merupakan sebuah konsekuensi logis kalau dalam setiap pemilihan terdapat tokohtokoh populer yang bukan kader partai ditarik untuk mendulang suara. Artis, seniman, atlit atau siapa pun yang dianggap memiliki popularitas bisa mendapat rekomendasi dari partai untuk maju sebagai calon DPR atau bahkan Presiden. Sebenarnya, hal di atas bukan merupakan suatu pelanggaran, namun rekrutmen dan kaderasisi sebagai fungsi normatif partai dialpakan. Taruhlah secara tiba-tiba menjelang pemilu banyak partai politik melamar tokoh-tokoh terkenal untuk mau diusung tanpa melalui proses pengkaderan panjang sebelumnya. Selain itu, hal tersebut bisa mencederai pengkaderan partai itu sendiri. Bayangkan, atas dasar donasi terhadap partai, banyak kalangan pengusaha yang tiba-tiba menjabat posisi strategis di struktural partai. Pragmatis merupakan ideologi yang dianut elit politik kita. Hal ini senada dengan ungkapan Lopalombara dan Weiner yang mendefinisikan partai sekedar kelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin materil dan idiil kepada para anggotanya. Kedua ilmuan tersebut mengabaikan faktor ideologi sebagai motifasi dan pemersatu sebuah partai. Mungkin juga pendapat tersebut dipengaruhi oleh pandangan di barat pada waktu itu bahwa ideologi telah mati (Ramlan Surbakti:1992). Kini terdapat empat partai yang siap ikut merayakan kebebasan demokrasi politik di Indonesia. Partai-partai yang muncul ketika dunia politik mengalami degradasi persepsi dan dipandang publik sebagai panggung yang tidak terhormat untuk dimasuki. Apakah mereka akan tetap teguh dengan platform yang disepakati dengan ideologi yang melatarbelakangi partai itu didirikan? Atau, kita lihat saja nanti!