BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Kebijakan Dividen a. Pengertian Dividen Dividen merupakan bagian dari laba yang tersedia bagi para pemegang saham biasa (earning available for common stockholders) yang dibagikan kepada para pemegang saham biasa dalam bentuk tunai (Warsono, 2003: 271). Dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham tergantung pada kebijakan dividen masing-masing perusahaan yang ditentukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dari segi perusahaan membagikan dividen kepada para investor memerlukan pertimbangan yang mendalam karena perusahaan juga harus memikirkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan. Kebijakan dividen menyangkut tentang masalah penggunaan laba yang menjadi hak pemegang saham. Menurut Sartono (2001: 281) yang dimaksud kebijakan dividen di sini adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa akan datang. Apabila perusahaan memilih untuk membagikan laba sebagai dividen, maka akan mengurangi laba yang ditahan dan selanjutnya mengurangi total sumber dana internal financing. Sebaliknya jika perusahaan memilih untuk menahan laba yang diperoleh, maka kemampuan pembentukan dana internal akan semakin besar. Dengan demikian kebijakan dividen ini harus dianalisa dalam kaitannya dengan keputusan pembelanjaan atau penentuan struktur modal secara keseluruhan. Oleh karena itu, kebijakan dividen adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam keputusan pendanaan perusahaan yang artinya bahwa ketika memutuskan berapa banyak laba yang akan dibagikan kepada pemegang saham, manajer keuangan harus mengingat bahwa tujuan perusahaan adalah memaksimalkan nilai pemegang saham. Sehingga, rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) menentukan jumlah laba yang dapat ditahan dalam perusahaan sebagai sumber pendanaan. Dividend Payout Ratio (DPR) adalah perbandingan antara dividen yang dibayarkan dengan laba bersih yang didapatkan dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase. Semakin tinggi dividend payout ratio akan semakin menguntungkan bagi para pemegang saham namun bagi pihak perusahaan tidak mengharapkan hal tersebut terjadi karena dapat memperlemah keuangan internal melalui kecilnya laba ditahan. Di sisi lain semakin kecil dividend pay out ratio maka akan merugikan bagi pihak pemegang saham dan menguntungkan bagi perusahaan melalui internal financial yang semakin kuat (Gitosudarmo dan Basri, 2002: 232). Menurut Hossain dan Ali (2012) pembayaran dividen dengan rasio yang tinggi menyampaikan informasi yang negatif untuk investor dalam arti bahwa perusahaan kurang potensial untuk menguntungkan dan meningkatkan pertumbuhan perusahaan, investor tidak akan bersedia menginvestasikan uang dalam jumlah yang lebih banyak untuk ekuitas dan perusahaan lebih menyukai utang daripada ekuitas. Jadi, aspek utama dari kebijakan dividen perusahaan adalah menentukan alokasi laba yang tepat antara pembayaran dividen dengan penambahan laba ditahan perusahaan (Horne dan Wachowicz, 2007: 270). b. Teori Dividen Ada tiga teori dividen yang dikemukakan dalam Sartono (2001:282), yaitu : 1. Teori Ketidakrelevanan Dividen Teori ini menjelaskan bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dari asset perusahaan. Dengan demikian nilai perusahaan ditentukan oleh keputusan investasi. Sementara itu, apakah laba yang diperoleh akan dibagikan dalam bentuk dividen atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan. 2. Teori Bird-in-the Hand Theory Tingkat pengembalian yang diisyaratkan atas ekuitas akan turun apabila rasio pembayaran dividen dinaikkan karena para investor kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan (capital gain) yang akan dihasilkan dari laba yang ditahan dibandingkan dengan seandainya menerima dividen. 3. Teori Tax Differential Teori ini menjelakan bahwa investor menghendaki perusahaan untuk menahan laba setelah pajak dan dipergunakan untuk pembiayaan investasi daripada pembayaran dividen dalam bentuk kas. Menurut Martono dan Harjito (2001: 255), besar kecilnya dividend payout ratio dipengaruhi beberapa faktor : 1. Kebutuhan Dana Bagi Perusahaan Semakin besar kebutuhan dan perusahaan berarti semakin kecil kemampuan untuk membayar dividen. Penghasilan perusahaan akan digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan dananya (semua proyek investasi yang menguntungkan) baru sisanya untuk pembayaran dividen. 2. Likuiditas Perusahaan Likuiditas perusahaan merupakan salah satu pertimbangan utama dalam kebijakan dividen. Karena dividen merupakan arus kas keluar, maka semakin besar jumlah kas yang tersedia dan likuiditas perusahaan, semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. 3. Kemampuan untuk Meminjam Apabila perusahaan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mendapatkan pinjaman, hal ini juga merupakan fleksibilitas keuangan yang tinggi sehingga kemampuan untuk membayar dividen juga tinggi. 4. Pembatasan – Pembatasan dalam Perjanjian Utang Ketentuan perlindungan (protective covenant) dalam suatu perjanjian utang sering mencantumkan pembatasan terhadap pembayaran dividen. Pembatasan ini digunakan oleh kreditur untuk menjaga kemampuan perusahaan tersebut membayar utangnya dinyatakan dalam persentase maksimum dari laba kumulatif. 5. Pengendalian Perusahaan Pengendalian perusahaan dibutuhkan untuk mengatasi apabila suatu perusahaan membayar dividen yang sangat besar, maka perusahaan mungkin menaikkan modal di waktu yang akan datang melalui penjualan sahamnya untuk membiayai kesempatan investasi yang menguntungkan. 2.1.2. Risiko Bisnis (Business Risk) Menurut Brigham dan Houston (2001: 7) risiko bisnis sebagai ketidakpastian yang melekat dalam proyeksi tingkat pengembalian aktiva masa depan, merupakan satu - satunya determinan terpenting dari struktur modal. Level risiko bisnis suatu perusahaan dipengaruhi oleh stabilitas pendapatan dan struktur biaya operasionalnya. Selain itu, risiko bisnis dapat terjadi bila perusahaan memiliki utang yang terlalu tinggi porsinya. Hal ini dikarenakan perusahaan dinilai perlu untuk menyediakan dana dalam jumlah yang memadai guna persiapan pelunasan utangnya serta adanya beban bunga yang ditanggung perusahaan. Suatu perusahaan dinilai menghadapi risiko bisnis jika menghasilkan laba yang berfluktuasi antara satu periode dengan periode lain. Menurut Firnanti (2011) dan Husnan (1996) tingkat risiko bisnis perusahaan juga mempengaruhi minat investor berinvestasi pada perusahaan dan mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memperoleh dana dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Hal ini menggambarkan besarnya risiko yang dihadapi perusahaan maka makin rendah rasio utang yang digunakan perusahaan karena semakin besar risiko bisnis, artinya meningkatnya risiko bisnis diakibatkan semakin tinggi utang 2.1.3. Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan (size) merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam keputusan struktur modal. Perusahaan besar memiliki kebutuhan dana yang besar untuk membiayai aktivitas perusahaan dan salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan dana tersebut adalah dengan menggunakan utang. Perusahaan kecil akan cenderung menggunakan biaya modal sendiri dan utang jangka pendek dari pada utang jangka panjang karena biayanya lebih rendah. Sedangkan perusahaan besar lebih cenderung memiliki sumber pendanaan yang kuat. Dengan kata lain, besar kecilnya ukuran suatu perusahaan secara langsung berpengaruh terhadap kebijakan struktur modal perusahaan. 2.1.4. Pertumbuhan Perusahaan Pertumbuhan perusahaan merupakan tolok ukur keberhasilan suatu perusahaan dalam melakukan kegiatannya yang dapat dari penjualan. Menurut Myers (1977) berpendapat bahwa perusahaan dengan potensi pertumbuhan akan cenderung memiliki utang yang lebih sedikit terhadap struktur modal. Rasio pertumbuhan menggambarkan persentasi pertumbuhan pos-pos perusahaan dari tahun ke tahun (Harahap, 2008: 309). Tingkat pertumbuhan perusahaan akan menunjukkan sampai seberapa besar perusahaan akan menggunakan utang sebagai sumber pembiayaannya. Dalam hubungannya dengan leverage, perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi sebaiknya menggunakan ekuitas sebagai sumber pembiayaannya agar tidak terjadi keagenan (agency cost) antara pemegang saham dengan manajemen perusahaan. Sebaliknya perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang rendah sebaiknya menggunakan utang sebagai sumber pembiayaannya karena pembayaran utang akan mengharuskan perusahaan tersebut membayar bunga secara teratur. 2.1.5. Profitabilitas Profitabilitas adalah menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan kas, modal, dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi diharapkan untuk dapat menggunakan utang yang relatif kecil karena memungkinkan perusahaan mampu menghasilkan dana yang memadai dengan mudah dan dengan biaya yang efektif dari sumber internal untuk memenuhi biaya investasi dan operasional perusahaan. Menurut Sadalia (2010: 63), rasio profitabilitas terdiri dari dua jenis rasio yang menunjukkan laba dalam hubungannya dengan penjualan dan rasio yang menunjukkan laba dalam hubungannya dengan investasi. Kedua rasio secara bersama-sama menunjukkan efektifitas. Rasio profitabilitas dalam hubungannya antara penjualan dan laba dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Gross Profit Margin Rasio ini merupakan perbandingan penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan bersih atau rasio antara laba kotor dengan penjulan bersih. Rasio ini bertujuan untuk mengukur efisiensi pengendalian harga pokok (biaya produksi) mengindikasikan kemampuan perusahaan untuk berproduksi secara efisien. 2. Operating Profit Margin Rasio ini merupakan perbandingan antara laba operasi dengan penjualan, rasio ini menggambarkan apa yang biasanya disebut ”pure profit” yang diterima atas setiap rupiah dari penjualan yang dilakukan. 3. Net Profit Margin Rasio ini merupakan untuk mengukur perbandingan antara laba bersih setelah pajak (earning after taxes/EAT) dengan penjualan. Rasio profitabilitas dalam hubungannya antara laba dengan investasi adalah sebagai berikut : 1. Return On Investment Rasio ini merupakan rasio perbandingan antara laba setelah pajak dengan aktiva total. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. 2. Return On Equity Return on equity sering disebut dengan rentabilitas modal sendiri yang merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba yang tersedia bagi pemegang saham. 3. Rentabilitas Ekonomis Rasio ini disebut juga earning power yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba usaha dengan aktiva yang dimiliki perusahaan. Rasio ini dapat diperoleh dengan membandingkan antara laba usaha dengan total aktiva. Jika dihubungkan dengan struktur modal, rasio profitabilitas berasosiasi dengan struktur modal. Struktur modal perusahaan merupakan komposisi utang dengan ekuitas. Biasanya dana yang diperoleh melalui pinjaman yaitu dalam bentuk utang mempunyai biaya modal dalam bentuk bunga, sementara dana yang diperoleh dari ekuitas mempunyai biaya modal dalam bentuk dividen. Dilihat dari sisi biayanya, biasanya suatu perusahaan akan memilih sumber dana yang memiliki biaya yang paling rendah di antara sumber dana yang tersedia. Menurut Syamsuddin (2000:63) menyatakan bahwa Return On Equity (ROE) adalah rasio profitabilitas yang berhubungan dengan struktur modal secara teoritis. Rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar keuntungan yang menjadi hak pemilik modal sendiri. ROE merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Jika dihubungkan dengan dividen, sebenarnya dividen akan dibagikan apabila perusahaan memperoleh keuntungan sehingga semakin tinggi ROE suatu perusahaan maka kemungkinan dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham akan semakin besar. Return On Equity (ROE) sering disebut dengan rentabilitas modal sendiri yang merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini dimaksudkan mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba yang tersedia bagi pemegang saham perusahaan. Rasio ini dipengaruhi oleh besar kecilnya utang perusahaan, apabila proporsi utang makin besar maka rasio ini juga semakin besar. 2.1.6. Pengertian Struktur Modal dan Kebijakan Struktur Modal Menurut Horne dan Wachowicz (2005: 232) : ”Struktur modal merupakan bauran (proporsi) pendanaan permanen jangka panjang perusahaan yang diwakili oleh utang, saham preferen, dan ekuitas saham biasa”. Kebijakan struktur modal pemenuhan kebutuhan perusahaan yang berasal dari internal dan eksternal perusahaan. Dana yang diterima dari sumber intern perusahaan, yaitu sumber dana yang dibentuk atau dihasilkan sendiri di dalam perusahaan, misalnya dana yang berasal dari keuntungan yang tidak dibagikan atau keuntungan yang ditahan di dalam perusahaan (retained earnings). Dana dari sumber eksternal perusahaan, yaitu sumber dana yang berasal dari tambahan penyertaan modal dari pemilik atau emisi saham baru, penjualan obligasi, dan kredit dari bank. Jika dalam pendanaan perusahaan yang berasal dari modal sendiri masih mengalami kekurangan (defisit) maka perlu dipertimbangkan pendanaan perusahaan yang berasal dari eksternal perusahaan, yaitu dari utang (debt financing). Pada umumnya perusahaan yang diwakilkan manajer menghadapi banyak permasalahan bagaimana mengatur kombinasi yang efisien dan optimal antara pinjaman utang dengan modal sendiri untuk memaksimalkan nilai perusahaan secara keseluruhan. Pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan mempunyai struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal dapat diartikan sebagai struktur modal yang dapat meminimalkan biaya penggunaan modal keseluruhan atau biaya modal rata-rata, sehingga memaksimalkan nilai perusahaan (Martono dan Harjito, 2001: 239). Menurut Brigham dan Houston (2001: 5), ”Kebijakan struktur modal melibatkan perimbangan (trade-off) antara risiko dengan tingkat pengembalian”. Adapun yang harus diperhatikan dalam hal ini, antara lain : a. Menggunakan lebih banyak utang sebagai sumber pendanaan berarti memperbesar risiko yang ditanggung pemegang saham. b. Menggunakan lebih besar utang juga akan memperbesar tingkat pengembalian yang diharapkan. Dengan adanya risiko yang semakin tinggi cenderung akan menurunkan harga saham, akan tetapi dengan meningkatnya tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return) akan menaikkan harga saham tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa struktur modal yang optimal harus berada pada keseimbangan antara risiko dengan yang memaksimalkan harga saham. 2.1.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi struktur modal, Jika dilihat berdasarkan rasio, apabila rasio utang yang sesungguhnya lebih rendah dari tingkat yang ditargetkan hal ini memungkinkan suatu perusahaan melakukan ekspansi modalnya dengan menggunakan pinjaman. Sementara apabila rasio hutang lebih besar dari target yang sudah ditetapkan maka saham perlu digunakan. Menurut Brigham dan Houston (2001: 39) ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan struktur modal yaitu: 1. Stabilitas Penjualan Perusahaan yang mempunyai penjualan yang relatif stabil akan lebih aman memperoleh banyak pinjaman dan akan menanggung beban tetap yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki tingkat penjualan yang tidak stabil. 2. Struktur Aset Struktur aset juga dapat mempengaruhi kebijakan struktur modal. Dalam konteks ini perusahaan yang memiliki banyak aset untuk dijadikan sebagai jaminan kredit cenderung akan lebih banyak menggunakan utang. 3. Leverage Operasi Jika hal-hal lain tetap sama (constant) dalam perusahaan dengan leverage operasi yang lebih kecil cenderung lebih mampu untuk memperbesar leverage keuangan karena ia akan mempunyai risiko bisnis yang lebih kecil. 4. Tingkat Pertumbuhan Jika diasumsikan hal-hal lain tetap sama, maka perusahaan yang tumbuh dengan pesat lebih banyak mengandalkan pendanaan eksternal. Akan tetapi, pada suatu kondisi perusahaan yang tumbuh dengan pesat sering menghadapi ketidakpastian yang lebih besar yang menyebabkan perusahaan tersebut mengurangi keinginan untuk menggunakan utang sebagai sumber pendanaan. 5. Profitabilitas Pengamatan menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi (ROI) menggunakan utang yang lebih kecil. 6. Pajak Bunga merupakan beban yang dapat dikurangkan untuk tujuan perpajakan dan pengurangan tersebut sangat bernilai bagi perusahaan yang terkena tarif pajak yang tinggi. Oleh karena itu, semakin tinggi tarif pajak semakin besar manfaat penggunaan hutang sebagai sumber pendanaan. 7. Pengendalian Pengaruh utang lawan saham terhadap posisi pengendalian manajemen dapat mempengaruhi struktur modal. 8. Sikap Manajemen Sebagian manajemen cenderung lebih konservatif daripada manajemen yang lain, sehingga menggunakan utang yang lebih kecil daripada ratarata industri yang bersangkutan sementara manajemen yang lain cenderung menggunakan banyak utang usaha dalam upaya mengejar laba yang tinggi. 9. Sikap Pemberi Pinjaman dan Penilai Peringkat Sikap pemberi pinjaman dan penilai peringkat dapat juga mempengaruhi kebijakan dalam struktur modal. 10. Kondisi Pasar Kondisi pasar saham dan obligasi yang mengalami perubahan dalam jangka panjang dan jangka pendek sangat berpengaruh terhadap struktur modal perusahaan yang optimal. 11. Kondisi Internal Perusahaan Dalam hal ini kondisi internal suatu perusahaan juga berpengaruh terhadap kebijakan struktur modal. 12. Fleksibilitas Keuangan Dengan fleksibilitas keuangan maka sangat membantu perusahaan dalam bidang pendanaan karena melalui adanya fleksibilitas keuangan maka kapasitas cadangan yang memadai dapat dipertahankan. Husnan (1996: 261) menyatakan bahwa berbagai faktor yang menentukan pemilihan struktur pendanaan antara lain : 1. Lokasi Distribusi Keuntungan Lokasi distribusi keuntungan adalah seberapa besar nilai yang diharapkan (expected value) dari keuntungan perusahaan. Semakin besar expected value keuntungan dengan penyimpangan yang sama, maka semakin kecil kemungkinan mendapat kerugian. Dengan demikian, semakin beraninya perusahaan menggunakan modal asing, apabila faktor-faktor yang lain sama, dan sebaliknya. 2. Stabilitas Penjualan dan Keuntungan Semakin stabil keuntungan berarti semakin sempit penyebarannya, jadi semakin besar kemungkinan perusahan mampu memenuhi kewajiban tetapnya. Oleh karena itu, perusahaan bisa membelanjai kegiatannya dengan proporsi utang yang lebih besar. 3. Kebijakan Dividen Banyak perusahaan yang mencoba menggunakan kebijakan dividen yang stabil, implikasinya manajer keuangan harus menyediakan dana untuk membayar jumlah dividen yang tetap ini. Dengan demikian, semakin besar kemungkinan perusahaan tidak bisa membayar dividen dalam jumlah yang tetap. 4. Pengawasan (Control) Dalam beberapa peristiwa perusahaan mungkin memilih menggunkan leverage yang agak tinggi daripada mengeluarkan saham baru lagi karena mereka mungkin segan membagi kepemilikan (yang berarti juga control) perusahaan dengan orang lain. 5. Risiko Kebangkrutan Suatu perusahaan dihadapkan pada tingkat bunga yang meningkat makin cepat setelah melewati suatu tingkat leverage tertentu karena kreditur mulai khawatir tentang kebangkrutan perusahaan. 2.1.8. Teori Struktur Modal Sesuai dengan konsep bahwa suatu teori merupakan penyederhanaan dari fenomena yang demikian kompleks, maka dalam teori ini pun ada beberapa asumsi. Secara umum ada tiga teori utama atas struktur modal, antara lain : 1. Agency Theory Jensen dan Meckling (1976) pelopor yang mengembangkan teori agency yaitu teori biaya agensi (agency cost). Salah satu pendapat dalam teori agensi adalah siapapun yang menimbulkan biaya pengawasan, maka biaya yang timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham. Biaya agensi (agency cost) adalah biaya yang berhubungan dengan manajemen pengawasan untuk memastikan bahwa pihak manajemen berperilaku dengan cara yang konsisten dengan kesepakatan denga para kreditor serta pemegang saham. Pihak manajemen dapat dianggap sebagai sebagai agen dari para pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham. Para pemegang saham ini, dengan harapan bahwa agen akan bertindak demi kepentingan para pemegang saham, akan mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan ke pihak manajemen. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai. Pengawasan yang dapat dilakukan melalui cara-cara seperti pengikat agen, pemeriksaan laporan keuangan, pembatasan terhadap keputusan yang dapat diambil manajemen, dan mengawasai perilaku manajemen dan pemegang saham dengan memberlakukan perlindungan dalam perjanjian antara peminjam dan pemberi pinjaman. Kegiatan pengawas yang disebutkan tentu saja membutuhkan biaya dan biaya ini menjadi tanggungan pemegang saham. 2. The Trade-Off Model Menurut Brigham dan Houston (2001:34), teori trade-off mengemukakan perusahaan diharuskan mempertimbangkan risiko kebangkrutan antara pembiayaan dengan (pengurangan pajak atas pembayaran bunga) menggunakan hutang dengan pembiayaan melalui penerbitan saham. Teori ini merupakan keseimbangan antara keuntungan dan kerugian atas penggunaan utang. Keuntungan yang lebih tinggi dari sebuah perusahaan menurunkan biaya yang diharapkan dari kesulitan keuangan dan membiarkan perusahaan meningkatan manfaat pajak mereka dengan meningkatkan leverage. Ketika manfaat pengurangan pajak masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan agency cost maka perusahaan masih bisa meningkatkan utangnya dan peningkatan utang harus dihentikan ketika pengurangan pajak atas tambahan utang tersebut sudah lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan agency cost. Model trade-off merupakan model yang sangat konsisten dengan upaya mencari sruktur modal yang optimal sehingga nilai perusahaan dapat dimaksimalkan karena struktur modal yang optimal dapat ditemukan dengan menyeimbangkan keuntungan penggunaan utang (tax shield benefits of leverage) dengan biaya financial distress dan agency problem. Model trade off tidak dapat menentukan secara tepat struktur modal yang optimal karena sulit untuk menentukan secara tepat PV biaya financial distress dan PV agency cost. Namun demikian, model ini memberikan tiga masukan penting: a. Perusahaan yang memiliki aktiva yang tinggi variabilitas dan keuntungannya akan memiliki profitabilitas financial distress yang besar. Perusahaan semacam ini harus menggunakan sedikit utang. b. Aktiva tetap yang khas (tidak umum), aktiva yang tidak nampak (intangible asset) dan kesempatan bertumbuh akan kehilangan banyak nilai jika terjadi financial distress. Perusahaan yang menggunakan aktiva semacam ini seharusnya menggunakan sedikit utang. c. Perusahaan yang membayar pajak tinggi (dikenai tingkat pajak yang besar) sebaiknya lebih banyak menggunakan utang dibanding perusahaan yang membayar pajak yang rendah (tingkat pajak rendah). Teori trade off meskipun dalam struktur modal memberikan pandangan baru dalam struktur modal, tetapi teori tersebut tidak memberikan formula pasti yang bisa memberi petunjuk berapa tingkat utang yang optimal. 3. Pecking Order Hypothesis Pecking order hiphotesys pertama kali diperkenalkan oleh Donaldson pada tahun 1961. Sedangkan menurut Myers (1984) penamaan pecking order theory dilakukan pada tahun 1984. Pada dasarnya teori ini dibangun berdasarkan asumsi dan temuan empiris tentang perilaku keuangan perusahaan berikut: 1. Kebijakan dividen perusahaan yang bersifat ”sticky” (tidak gampang naik ataupun turun). 2. Perusahaan lebih menyukai sumber pendanaan internal (laba ditahan) dibandingkan dengan sumber dana external (utang dan ekuitas). 3. Apabila harus menggunakan sumber dana external maka perusahaan tentunya akan menggunakan sekuritas yang teraman. 4. Ketika kebutuhan dana external cukup besar maka perusahaan akan memilih menerbitkan sekuritas menurut urutan ; utang yang paling aman, utang yang beriko tinggi, convertible securities, preferred stock dan saham biasa. Teori ini juga dapat menjelaskan beberapa temuan empiris yang lain, yaitu berkaitan dengan adanya penerbitan saham baru yang selalu negatif oleh pasar modal, maka manajer hanya akan menerbitkan saham baru atau melakukan aktivitas menurunkan porsi utang yang lain. Apabila mereka merasa terpaksa melakukannya yang disebabkan karena tidak adanya dana internal atau dengan sengaja mencari keuntungan sendiri dengan mengorbankan kepentingan pemegang saham lama. Sedangkan kenaikan pengumuman porsi utang dapat diartikan bahwa perusahaan cukup yakin tentang peningkatan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba di masa yang akan datang yang pada akhirnya memberanikan mereka untuk menaikkan porsi utangnya, sehingga nantinya kenaikan porsi utang akan direspon positif oleh pasar. 4. Teori Signaling dan Model Asymmetric Information yang lain Menurut Hossain dan Ali (2012) Signaling theory dikembangkan oleh Ross. Menurut Ross (1977) manajer sering menggunakan struktur permodalan sebagai sinyal perusahaan untuk investor. Ross mengasumsikan bahwa manajer (insiders) tahu benar distribusi perusahaan kembali, tetapi investor tidak. Jika manajer memutuskan untuk menambahkan lebih banyak utang ke dalam struktur modal, investor menafsirkannya sebagai sinyal arus kas masa depan tinggi dan komitmen perusahaan terhadap kewajiban kontrak. Jadi, ini menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk sentimen publik yang membuat mereka berpikir bahwa perusahaan memiliki prospek yang menyenangkan dalam waktu dekat. Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa investor mengambil lebih besar tingkat utang sebagai sinyal kualitas yang lebih tinggi. Asymetric Information Model didasarkan terhadap asumsi yaitu bahwa manajer yang memiliki informasi yang bagus tentang perusahaan akan menyampaikan kepada investor luar sehingga akan meningkatkan harga saham perusahaan. Akan tetapi, dengan adanya masalah asymetric information maka manajer tidak bisa hanya menyampaikan informasi yang bagus tersebut karena bisa jadi manajer lain juga menyampaikan hal yang sama yang dapat menimbulkan kurangnya kepercayaan para investor. Para investor tentunya dapat membedakan apakah perusahaan tersebut memiliki kinerja yang bagus atau sebaliknya. Hal ini dilakukan dengan melihat struktur modal perusahaan dan biasanya investor akan memberikan nilai (value) yang lebih tinggi apabila suatu perusahaan mempunyai porsi utang yang lebih besar. Penerbitan utang merupakan berita bagus karena manajer memiliki keyakinan akan kinerja perusahaan di masa yang akan datang sehingga dapat meningkatkan harga saham melalui pengumuman adanya kenaikan utang. Sementara di sisi lain penerbitan ekuitas berupa saham dianggap sebagai berita buruk karena adanya kemungkinan turunnya earnings di masa yang akan datang sehingga menyebabkan turunnya harga saham akibat adanya pengumuman penerbitan saham baru. 2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu 1. Faruk Hossain dan Ayub Ali melakukan penelitian dampak faktor yang mempengaruhi perusahaan terhadap keputusan struktur modal: Sebuah studi empiris perusahaan Bangladesh. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data dari 56 perusahaan non-keuangan yang terdaftar di DSE Bangladesh antara tahun 2003 – 2007 dan dengan kriteria tertentu maka sampel penelitian menjadi 39 perusahaan non-keuangan. Analisis dilakukan deskriptif dengan data diambil secara cross-sectional dengan time series serta analisis statistik deskriptif dan metode analisis data menggunakan Ordinary Least Square (OLS) dengan menguji multikolinearitas dan autokorelasi. Variabel dependen yang digunakan adalah rasio struktur modal. Profitabilitas, tangibility, non-utangtax shield, pertumbuhan perusahaan, likuiditas, risiko bisnis, ukuran perusahaan, pembayaran dividen, kepemilikan manajerial, dan klasifikasi industri sebagai menunjukkan variabel bahwa independen. profitabilitas, Kesimpulannya tangibility, likuiditas, adalah dan kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap struktur modal. Studi ini juga menemukan bahwa pertumbuhan dan non-utangtax shield memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap struktur modal. Sedangkan ukuran perusahaan, risiko bisnis, dan pembayaran dividen tidak berpengaruh dan signifikan terhadap struktur modal. 2. Joni dan Lina melakukan penelitian tentang faktor faktor yang mempengaruhi struktur modal pada perusahaan manufaktur. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data dari 140 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI antara tahun 2005 – 2007 dan menjadi sampel 43 perusahaan. Metode analisis data dilakukan analisis statistik deskriptif dan menggunakan regresi berganda dengan pengujian asumsi klasik. Variabel dependen yang digunakan adalah rasio struktur meodal (debt to equity ratio). Pertumbuhan, ukuran perusahaan, profitabilitas, risiko bisnis, kebijakan dividen, struktur aktiva, sebagai variabel independen. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitiannya adalah bahwa pertumbuhan perusahaan, Struktur Aktiva memiliki pengaruh positif terhadap struktur modal. Ukuran perusahaan dan risiko bisnis, dan dividen tidak memiliki pengaruh terhadap struktur modal. Profitabilitas (ROA) memiliki pengaruh negatif terhadap struktur modal. 3. Glenn indrajaya, Herlina, dan Rini Setiadi melakukan penelitian tentang pengaruh struktur aktiva, ukuran perusahaan, tingkat pertumbuhan, profitabilitas dan risiko bisnis terhadap struktur modal: studi empiris pada perusahaan sektor pertambangan yang listing di Bursa Efek Indonesia periode 2004-2007. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data dari 11 perusahaan sektor pertambangan yang listing yang terdaftar di BEI antara tahun 2004-2007 yang menjadi sampel 9 perusahaan. Metode analisis data dilakukan analisis statistik deskriptif dan menggunakan regresi berganda dengan pengujian asumsi klasik. Variabel dependen yang digunakan adalah rasio struktur modal (debt to equity). Struktur aktiva, ukuran perusahaan (Size), pertumbuhan perusahaan (growth), profitabilitas, risiko bisnis sebagai variabel independen. Kesimpulan diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa struktur aktiva berpengaruh positif signifikan terhadap struktur modal (leverage), ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap struktur modal, dan profitabilitas memiliki pengaruh yang negatif yang signifikan terhadap struktur modal. Sedangkan variabel pertumbuhan dan risiko bisnis berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap struktur modal (leverage). 4. Seftianne dan Handayani (2011) melakukan penelitian tentang faktorfaktor yang mempengaruhi struktur modal pada perusahaan sektor manufaktur periode 2007-2009. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data dari 106 perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di BEI antara tahun 2007-2009 yang menjadi sampel 41 perusahaan. Metode analisis data dilakukan analisis statistik deskriptif dan menggunakan regresi berganda dengan pengujian asumsi klasik. Variabel dependen yang digunakan adalah rasio struktur modal (debt to equity). Profitabilitas, tingkat likuiditas, ukuran perusahaan, risiko bisnis, kepemilikan managerial, struktur aktiva sebagai variabel independen. Kesimpulan diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa profitabilitas, risiko bisnis, tingkat likuiditas, kepemilikan manajerial, struktur aktiva tidak berpengaruh dan signifikan terhadap struktur modal. Sedangkan ukuran perusahaan dan pertumbuhan perusahaan berpengaruh dan signifikan terhadap struktur modal. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Hossain dan Ali (2012) dengan objek penelitian perusahaan manufakture di BEI, tahun penelitian 2009-2011. Variabel independennya penelitian ini menggunakan kebijakan dividen, risiko bisnis, ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, dan profitabilitas dan struktur modal sebagai variabel dependent yang sama dengan penelitian Hossain. Sedangkan variabel tangibility, non-utangtax shield, likuiditas, kepemilikan manajerial, dan klasifikasi industri sebagai variabel independen yang terdapat pada penelitian Hossain dan Ali tidak digunakan karena penyederhanaan penelitian yang dilakukan. Penelitian ini juga melakukan modifikasi pada alat ukur variabel independen yaitu, variabel ukuran perusahaan dalam penelitian ini menggunakan Ln. Sales dan penelitian Hossain dan Ali menggunakan Ln. Total Asset karena ukuran perusahaan secara langsung akan mencerminkan tinggi rendahnya aktivitas operasi maupun investasi perusahaan dan tingginya aktivitas operasi dapat dilihat dari tingkat penjualan perusahaan, variabel pertumbuhan perusahaan dalam penelitian ini menggunakan % perubahan Sales dan penelitian Hossain dan Ali % perubahan Total Asset, alasannya karena pertumbuhan penjualan mencerminkan manifestasi keberhasilan periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi pertumbuhan di masa akan datang, variabel profitabilitas dalam penelitian ini menggunakan Return On Equity (ROE) dan penelitian Hossain dan Ali menggunakan Return On Asset, karena ROE dapat menjadi ukuran efisiensi penggunaan modal sendiri yang dioperasionalkan dalam perusahaan. Penelitian ini juga melakukan modifikasi pada metode analisis data yang menggunakan metode pengujian asumsi klasik dengan menguji normalitas, multkolinearitas, autokorelasi, dan uji heterokedasitas, alasannya untuk memastikan bahwa hasil regresi dikatakan baik dan akurat. Penelitian ini juga replikasi Joni dan Lina (2010), Indrajaya et al (2011), dan penelitian Seftianne dan Handayani (2011). Variabel independennya penelitian ini menggunakan kebijakan dividen, risiko bisnis, ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, dan profitabilitas dan struktur modal sebagai variabel dependent dalam penelitian ini. Perbedaannya menambah variabel kebijakan dividen yang tidak diteliti dalam penelitian Indrajaya et al (2011) dan Seftianne dan Handayani (2011) sebagai variabel independen, alasannya untuk mengetahui hubungan kebijakan dividen dengan penggunaan hutang untuk mencapai struktur modal optimal. Penelitian ini tidak menggunakan variabel struktur aktiva sebagai variabel independen yang terdapat pada penelitian Joni dan Lina, Indrajaya et al dan tidak menggunakan variabel tingkat likuiditas, kepemilikan manajerial, dan struktur aktiva sebagai variabel independen yang terdapat pada penelitian Seftianne dan Handayani dengan alasan penyederhanaan penelitian yang dilakukan. Penelitian ini juga melakukan modifikasi pada alat ukur variabel independent yaitu, variabel risiko bisnis dalam penelitian ini menggunakan σ (EBIT / Total Asset) dan penelitian Joni dan Lina (2010) menggunakan Ln (σ EBIT) karena risiko bisnis sebagai ketidakpastian yang melekat dalam proyeksi tingkat pengembalian aktiva masa depan, variabel ukuran perusahaan dalam penelitian ini menggunakan Ln. Sales dan penelitian joni dan Lina (2010), Glenn indrajaya et al (2011), dan Seftianne dan Handayani (2011) menggunakan Ln. Total Asset karena ukuran perusahaan secara langsung akan mencerminkan tinggi rendahnya aktivitas operasi maupun investasi perusahaan dan tingginya aktivitas operasi dapat dilihat dari tingkat penjualan, variabel pertumbuhan perusahaan dalam penelitian ini menggunakan % perubahan sales dan penelitian Joni dan Lina dan Glenn indrajaya et al (2011) menggunakan % perubahn Total Asset, sedangkan penelitian Seftianne dan Handayani (2011) menggunakan Harga pasar per lembar saham / Nilai buku per lembar saham, alasannya karena pertumbuhan penjualan mencerminkan manifestasi keberhasilan periode masa lalu dan dapat dijadikan sebagai prediksi pertumbuhan di masa akan datang. variabel profitabilitas dalam penelitian ini menggunakan Return On Equity (ROE) dan penelitian Joni dan Lina, Seftianne dan Handayani menggunakan Return On Asset (ROA), sedangkan Glenn indrajaya et al menggunakan Return Of Operating Income to Sales, alasam peneliti menggunakan ROE karena dapat menjadi ukuran efisiensi penggunaan modal sendiri yang dioperasionalkan dalam perusahaan 2.3. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 2.3.1. Kerangka Konseptual Salah satu tugas manajer keuangan adalah memenuhi kebutuhan dana. Kebijakan struktur modal (capital structure) yang diambil oleh manajer akan menggambarkan pembiayaan permanen perusahaan yang terdiri atas utang jangka panjang dan modal sendiri. Adapun struktur modal yang mengoptimalkan keseimbangan antara risk dan return, sehingga memaksimalkan harga saham atau nilai perusahaan disebut struktur modal optimal (optimal capital structure) yang menunjukkan jumlah hutang yang optimal. Oleh karena itulah, kebijakan struktur modal menjadi penting bagi perusahaan, maka manajer keuangan perusahaan perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan struktur modal. Dalam penelitian ini, ada lima faktor yang dianggap dapat mempengaruhi kebijakan pendanaan perusahaan dalam penggunaan leverage. Faktor-faktor tersebut adalah kebijakan dividen, risiko bisnis, ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan dan profitabilitas. Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka diatas maka dapat disimpulkan kerangka konseptual sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Kebijakan Dividen (DPR) X1 Risiko Bisnis (BRISK) X2 Struktur Modal (Debt to Equity Ratio) Ukuran Perusahaan (Size) X3 Pertumbuhan Perusahaan (Growth Sales) X4 Profitabilitas (ROE) X5 (Y) 2.3.1. Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis nol penelitian yang akan diuji yaitu : H1 : Dividend payout ratio berpengaruh secara signifikan terhadap debt to equity ratio. H2 : Risiko bisnis (BRISK) berpengaruh secara signifikan terhadap debt to equity ratio. H3 : Ukuran Perusahaan (Size) berpengaruh secara signifikan terhadap debt to equity ratio. H4 : Pertumbuhan Perusahaan (Growth) berpengaruh secara signifikan terhadap debt to equity ratio. H5 : Profitabilitas (ROE) berpengaruh secara signifikan terhadap debt to equity ratio. H6 : Dividend payout ratio, risiko bisnis, ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, dan profitabilitas secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap debt to equity ratio.