BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Defenisi DM DM adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi insulin sesuai kebutuhan tubuh (Sunyoto Rg. Acp, 2009). Menurut Perkeni (2011) dan American Diabetes Association (2012) DM adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah. DM adalah penyakit kronik progresif yang digambarkan dengan ketidakmampuan tubuh dalam melakukan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang menyebabkan hiperglikemia (Black & Hawk, 2009). 2.1.2 Etiologi Diabetes Mellitus Menurut Smeltzer & Bare, 2002 terbagi dua yaitu : a. DM tipe I : Faktor genetik Penderita DM tidak mewarisi DM tipe I itu sendiri : tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA. Faktor-faktor imunologi Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing, yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen. Faktor lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta. b. DM Tipe II Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada DM tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor resiko : Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th) Obesitas Riwayat keluarga Menurut Sukmono RJ (2009), penyebab DM adalah sebagai berikut : Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta melepas insulin. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai pembentukan sel – sel antibodi dan mengakibatkan kerusakan sel – sel. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor. 2.1.3 Patofisiologi Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat berfungsi dengan baik. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari bahan makanan yang kita makan setiap hari. Bahan makanan tersebut terdiri dari unsur karbohidrat, lemak dan protein (Jan, 2000). Pada keadaan normal kurang lebih 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 10% menjadi glikogen dan 20% sampai 40% diubah menjadi lemak. Pada DM semua proses tersebut terganggu karena terdapat defisiensi insulin. Penyerapan glukosa kedalam sel macet dan metabolismenya terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia. Penyakit DM disebabkan oleh karena gagalnya hormon insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat atau asidosis. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh berusaha mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan napas penderita berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila tidak segera diobati akan terjadi koma yang disebut koma diabetik (Price,1995). 2.1.4 Faktor Resiko Menurut Suyono (2009), DM di Indonesia akan terus meningkat disebabkan beberapa faktor antara lain : 1. Faktor keturunan (genetik) 2. Faktor kegemukan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2) a. Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat b. Makan berlebihan c. Hidup santai, kurang gerak badan 3. Faktor demografi a. Jumlah penduduk meningkat b. Urbanisasi c. Penduduk berumur diatas 40 tahun meningkat 4. Kurang gizi 2.1.5 Klasifikasi Diabetes Mellitus Menurut WHO (2015) dan PERKENI (2006), terdapat 4 jenis DM yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain dan DM gestasional. Tabel 2.1 Klasfikasi Diabetes Mellitus menurut Bruneer & suddarth (2002) Klasifikasi Diabetes Mellitus Tipe I (IDDM) DM Juvenil Ciri-ciri Klinis a) Awitan terjadi pada segala usia, tetapi biasanya usia muda (<30 tahun) b) Biasanya bertubuh kurus c) Etiologi mencakup factor genetic, imunologi atau lingkungan d) Memiliki antibody sel pulau Langerhans e) Memerlukan insulin untuk mempertahankan kelangsungan hidup f) Komplikasi akut hiperglikemia; ketoasidosis diabetic a) Awitan terjadi pada usia >30 tahun b) Biasanya bertubuh gemuk (obesitas) DM Dewasa c) Etiologi mencakup factor obesitas, herediter atau lingkungan d) Mayoritas penderita obesitas dapat mengendalikan kadar glukosa darahnya melalui penurunan berat badan e) Memerlukan insulin dalam jangka waktu yang pendek atau panjang untuk mencegah hiperglikemia f) Ketosis jarang terjadi, kecuali bila dalam keadaan stress atau menderita infeksi g) Komplikasi akut; sindrom hiperosmolar nonketotik DM yang berkaitan dengan a) Disertai dengan keadaan yang diketahui atau dicurigai dapat menyebabkan keadaan atau sindrom lain penyakit; pankreasitis; kelainan hormonal; obat-obatan seperti glukokortikoid dan (Diabetes Sekunder) preparat yang mengandung estrogen b) Bergantung pada kemampuan pancreas untuk menghasilkan insulin; pasien mungkin memerlukan obat oral atau insulin a) Awitan selama kehamilan, biasanya terjadi DM Gestasional (GDM) pada trimester kedua atau ketiga b) Disebabkan oleh hormone yang disekresikan plasenta dan menghambat kerja insulin c) Resiko terjadinya komplikasi perinatal diatas normal, khususnya makrosomia (bayi berukuran besar) d) Diatasi dengan diet, dan insulin (jika diperlukan) untuk mempertahankan secara ketat kadar gula darah normal e) Intoleransi glukosa terjadi untuk sementara waktu tetapi dapat kambuh kembali f) Factor resiko mencakup; obesitas, usia >30 tahun, riwayat diabetes dalam keluarga, pernah melahirkan bayi berukuran besar (>4,5 kg) Tipe II (NIDDM) 1. DM Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) DM jenis ini terjadi akibat kerusakan sel β pakreas. Dahulu, DM tipe 1 disebut juga diabetes onset-anak (atau onset-remaja) dan diabetes rentan-ketosis (karena sering menimbulkan ketosis). Onset DM tipe 1 biasanya terjadi sebelum usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang dewasa dan lansia yang kurus juga dapat mengalami diabetes jenis ini). Karakteristik DM tipe 1 yaitu terjadinya hiperglikemia yang disebabkan oleh sekresi insulin mengalami defisiensi (jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama sekali). Dengan demikian, pasien membutuhkan pemberian insulin seumur hidup untuk kelangsungan hidupnya. tanpa pengobatan dengan insulin (pengawasan dilakukan melalui pemberian insulin bersamaan dengan adaptasi diet), pasien biasanya akan mudah terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik (WHO 2015; Arisman, 2011). 2. DM Tipe II : Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) DM yang tidak tergantung insulin dan terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin). Disebabkan karena turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa. Namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain, berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer dkk, 2001). 3. DM tipe lain DM jenis ini dahulu kerap disebut diabetes sekunder, atau DM tipe lain. Etiologi diabetes jenis ini, meliputi : (a) penyakit pada pankreas yang merusak sel β, seperti hemokromatosis, pankreatitis, fibrosis kistik; (b) sindrom hormonal yang mengganggu sekresi dan/atau menghambat kerja insulin, seperti akromegali, feokromositoma, dan sindrom Cushing; (c) obat-obat yang menggangu sekresi insulin (fenitoin [Dilantin]) atau menghambat kerja insulin (estrogen dan glukokortikoid); (d) kondisi tertentu yang jarang terjadi, seperti kelainan pada reseptor insulin; dan (e) sindrom genetic (Arisman, 2011). 4. DM Gestasional Merupakan suatu gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung (Nursemierva, 2001). Definisi ini juga mencakup pasien yang sebetulnya masih mengidap DM tetapi belum terdeteksi, dan baru diketahui saat kehamilan berlangsung. Faktor resiko DM Gestasional ialah abortus berulang, riwayat melahirkan anak meninggal tanpa sebab yang jelas, riwayat pernah melahirkan bayi dengan cacat bawaan, pernah melahirkan bayi lebih dari 4000 gram, pernah pre-eklamsia, Polihidramion. Faktor predisposisi DM Gestasional adalah umur ibu hamil lebih dari 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, pernah mengalami DM gestasional pada kehamilan sebelumnya, infeksi saluran kemih berulang-ulang selama hamil (PERKENI, 2002). 2.1.6 Manifestasi Klinis DM American Diabetes Association (ADA) (2015) menyatakan bahwa gejala umum DM, yaitu: 1) Sering berkemih (poliuria) 2) Peningkatan rasa haus (polidipsia) 3) Peningkatan rasa lapar, meskipun telah makan (polifagia) 4) Kelelahan 5) Penglihatan kabur 6) Luka/memar lambat untuk sembuh 7) Penurunan berat badan, meskipun telah banyak makan (DM tipe 1) 8) Kesemutan, nyeri atau mati rasa pada tangan/kaki (DM tipe 2) Pada DM tipe 1, gejala biasanya muncul secara mendadak, berat dan perjalanannya sangat progresif; jika tidak diawasi, dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma. Ketika diagnosa ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah. Hasil tes deteksi antibodi islet hanya bernilai sekitar 5080% dan KGD >140 mg/dL (WHO 2015; Arisman, 2011). Gejala DM tipe 2 muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadangkadang bahkan belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas gejala berjalan lambat. Koma hiperosmolar dapat terjadi pada kasuskasus berat. Namun, ketoasidosis jarang sekali muncul, kecuali pada kasus yang disertai stress atau infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, atau mungkin juga insulin bekerja tidak efektif (Arisman, 2011). 2.1.7 Komplikasi Diabetes Mellitus Komplikasi akut pada DM antara lain (Boedisantoso R, 2007): a. Hipoglikemia Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah < 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrinergic (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat obat hipoglikemia oral golongan sulfonilurea, khususnya klorpropamida dan glibenklamida. Penyebab tersering lainnya antara lain : makan kurang dari aturan yang ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan dan lain-lain. b. Ketoasidosis Diabetik Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit DM yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosi dan ketosis. Timbulnya KAD merupakan ancaman kematian pada pasien DM. c. Hiperglikemia Non Ketotik Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering kali gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan meninggi terus menerus yang dikarenakan tidak dikelola dengan baik mengakibatkan adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal. Perubahan dasar itu terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot pembuluh darah maupun pada sel masingeal ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kematian sel yang akhirnya akan menjadi komplikasi vaskular DM. Struktur pembuluh darah, saraf dan struktur lainnya akan menjadi rusak. Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama menuju kulit dan saraf. Akibat mekanisme di atas akan menyebabkan beberapa komplikasi antara lain (WHO, 2015; Waspadji, 2006) : a. Retinopati Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan berespon dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular yang selanjutnya akan terbentuk neovaskularisasi pembuluh darah yang menyebabkan glaukoma. Hal inilah yang menyebabkan kebutaan. b. Nefropati Hal-hal yang dapat terjadi antara lain : peningkatan tekanan glomerular dan disertai dengan meningkatnya matriks ektraseluler akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal yang akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah terjadinya glomerulosklerosis. Gejala-gejala yang akan timbul dimulai dengan mikroalbuminuria dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya akan terjadi penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan gagal ginjal. c. Neuropati Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa hilangnya sensasi distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit dimalam hari. d. Penyakit Jantung Koroner Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan dan kemudian menjadi penyakit jantung koroner. e. Penyakit Pembuluh Darah Kapiler Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada penyakit pembuluh darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai darah di kaki. 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Adapun data penunjang yang diperlukan dalam menegakkan diagnose DM adalah: 1) Kadar glukosa darah sewaktu Plasma vena : a. <100 b. 100 - 200 = belum pasti DM c. >200 = DM Darah kapiler : a. <80 b. 80 - 100 = belum pasti DM c. > 200 = DM 2) Kadar glukosa darah puasa Plasma vena : a. <110 b. 110 - 120 = belum pasti DM c. > 120 = DM Darah kapiler : a. <90 b. 90 - 110 = belum pasti DM c. > 110 = DM Menurut ADA (2011) dalam Taufiq (2011) kriteria diagnostik DM merupakan salah satu dari kondisi berikut : 1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L) 2. Glukosa plasma puasa >126 mg/dl (7,0 mmol/L) 3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl). 2.1.9 Penatalaksanaan DM 1. Edukasi DM umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi penderita dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi (PERKENI, 2006). 2.Terapi Gizi Medis Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut (PERKENI, 2006): a. Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi b. Protein : 10 – 20% total asupan energi c. Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2006). 3. Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti : jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006). 4. Intervensi farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan suntikan. a. Obat hipoglikemik oral Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral dibagi menjadi 5 golongan, yaitu : 1) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid 2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan Tiazolidindion 3) Penghambat glukoneogenesis: Metformin 4) Penghambat absorpsi glukosa: Penghambat glukosidase alfa 5) DPP-IV inhibitor b. Suntikan : Insulin dan Agonis GLP-1 / Incretin mimetic2 2.2 Latihan Rentang Gerak Sendi 2.2.1 Pengertian Latihan rentang gerak sendi merupakan terapi latihan untuk memelihara dan meningkatkan pergerakan dan kontraksi otot dimana dapat memberikan keuntungan dalam meningkatkan fungsi kardiopulmonal dan aliran darah sehingga mencegah terjadinya kontraktur dan membangun kekuatan massa otot (Kozier, Erb, Berman & Synder dalam Suari, 2004). Latihan rentang gerak sendi merupakan terapi nonfarmakologi yang dapat dipilih sebagai salah satu aktivitas fisik yang mudah dan aman untuk diterapkan pada tindakan keperawatan bagi pasien DM dengan terganggunya mobilisasi gerakan (Someita, dkk 2009). Latihan rentang gerak sendi ini meliputi setiap aktivitas tubuh (aktif maupun pasif) yaitu otot, persendian dan dengan pergerakan alamiah seperti abduksi, ekstensi, fleksi, pronasi dan rotasi (Taufiq, 2011). Craven dan Hirnle dalam Taufiq (2011) menyatakan bahwa latihan kaki (leg exercise) dilakukan untuk mencegah komplikasi setelah amputasi dengan meningkatkan sirkulasi. Latihan yang dilakukan berupa latihan pompa otot betis (calf pumping exercise) : dorsifleksi dan plantar fleksi. 2.2.2 Jenis Latihan Rentang Gerak Sendi Potter & Perry (2005) menyatakan latihan rentang gerak sendi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, aktif, dan pasif. 1. Latihan rentang gerak sendi Aktif Latihan Rentang Gerak Sendi Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Sendi yang digerakkan pada latihan rentang gerak sendi aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendiri secara aktif. b. Latihan Rentang Gerak Sendi Pasif Latihan Rentang Gerak Sendi pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun, dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada latihan rentang gerak pasif adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri. 2.2.3 Gerakan Latihan Rentang Gerak Sendi Berdasarkan Bagian Tubuh Menurut Potter & Perry, (2005), Latihan rentang gerak sendi terdiri dari gerakan pada persendian sebaga berikut : 1. Leher, Spina, Serfikal Gerakan Fleksi Ekstensi Hiperektensi Fleksi lateral Bahu Gerakan Fleksi Penjelasan Menggerakan dagu menempel ke dada, Mengembalikan kepala ke posisi tegak, Menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh mungkin kearah setiap bahu, Rentang rentang 45° rentang 45° rentang 40-45° rentang 40-45° 2. Ekstensi Hiperektensi Abduksi Adduksi Rotasi dalam Rotasi luar Siku Gerakan Fleksi Penjelasan Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke posisi di atas kepala, Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus, Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala dengan telapak tangan jauh dari kepala, Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh mungkin, Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan menggerakan lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang, Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari ke atas dan samping kepala, Rentang rentang 180° rentang 180° rentang 45-60° rentang 180° rentang 320° rentang 90° rentang 90° 3. Ektensi Penjelasan Rentang Menggerakkan siku sehingga lengan bahu rentang 150° bergerak ke depan sendi bahu dan tangan sejajar bahu, Meluruskan siku dengan menurunkan rentang 150° tangan, 4. Lengan bawah Gerakan Penjelasan Rentang Supinasi Memutar lengan bawah dan tangan sehingga rentang 70-90° telapak tangan menghadap ke atas, Pronasi Memutar lengan bawah sehingga telapak rentang 70-90° tangan menghadap ke bawah, 5. Pergelangan tangan Gerakan Penjelasan Rentang Fleksi Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian rentang 80-90° dalam lengan bawah, Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi Mengerakan jari-jari tangan sehingga jarijari, tangan, lengan bawah berada dalam arah yang sama, Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh mungkin, Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari, Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari, Jari- jari tangan Gerakan Penjelasan Fleksi Membuat genggaman, Ekstensi Meluruskan jari-jari tangan, Hiperekstensi Menggerakan jari-jari tangan ke belakang sejauh mungkin, Abduksi Mereggangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain, Adduksi Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 80-90° rentang 89-90° rentang 30° rentang 30-50° 6. Ibu jari Gerakan Fleksi Rentang rentang 90° rentang 90° rentang 30-60° rentang 30° rentang 30° 7. Ekstensi Abduksi Adduksi Oposisi Pinggul Gerakan Fleksi Ekstensi Penjelasan Mengerakan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan, menggerakan ibu jari lurus menjauh dari tangan, Menjauhkan ibu jari ke samping, Mengerakan ibu jari ke depan tangan, Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama. Rentang rentang 90° Penjelasan Mengerakan tungkai ke depan dan atas, Menggerakan kembali ke samping tungkai yang lain, Mengerakan tungkai ke belakang tubuh, Menggerakan tungkai ke samping menjauhi tubuh, Mengerakan tungkai kembali ke posisi media dan melebihi jika mungkin, Memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain, Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain, Rentang rentang 90-120° rentang 90-120° rentang 90° rentang 30° rentang 30° - 8. Hiperekstensi Abduksi Adduksi Rotasi dalam Rotasi luar rentang 30-50° rentang 30-50° rentang 30-50° rentang 90° rentang 90° 9. Lutut Gerakan Fleksi Ekstensi 10. Mata kaki Gerakan Dorsifleksi Plantarfleksi 11. Kaki Gerakan Inversi Eversi Penjelasan Rentang Mengerakan tumit ke arah belakang rentang 120-130° paha, Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130° Penjelasan Rentang Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki rentang 20-30° menekuk ke atas, Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki rentang 45-50° menekuk ke bawah, Penjelasan Memutar telapak kaki ke samping dalam, Memutar telapak kaki ke samping luar, 12. Jari-Jari Kaki Gerakan Penjelasan Fleksi Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, Ekstensi Meluruskan jari-jari kaki, Abduksi Menggerakan jari-jari kaki satu dengan yang lain, Adduksi Merapatkan kembali bersama-sama, Rentang rentang 10° rentang 10° Rentang rentang 30-60° rentang 30-60° rentang 15° rentang 15° 2.2.4 Evidance Based Nursing Bryant dan Nix (2007) dalam Taufiq (2011) menyatakan bahwa selain adanya gangguan pada pembuluh darah arteri perifer, pasien DM dapat mengalami ulkus kaki diabetik yang disebabkan oleh bendungan akibat aliran statis vena yang dikarakteristikkan dengan adanya edema. Hal ini juga disampaikan Schapper, Prompers, dan Hujibers (2007) dalam Taufiq yang menyatakan adanya neuropati otonomik pada kaki pasien DM mengakibatkan peningkatan aliran darah, yang berdampak terhadap tekanan peningkatan vena pada kaki tersebut dan akan membentuk edema yang akan mempengaruhi difusi oksigen dan nutrisi. Kontraksi yang efektif pada otot-otot betis diperlukan dengan melakukan gerakan dorsofleksi rutin 90 pada bagian ankle. Pada pasien yang mengalami penurunan mobilisasi ankle harus dilakukan latihan fisik dengan program latihan isotonik untuk meningkatkan kekuatan otot betis dan meningkatkan pompa otot betis (calf pumping). Calf pumping ini diharapkan akan memfasilitasi venous return yang akan berdampak positif terhadap proses penyembuhan luka kaki diabetik dengan emnurunkan edema yang terjadi dan memfasilitasi difusi okesigen dan nutrisi pada areal periulkus. Selain memperbaiki sirkulasi periulkus, latihan rentang gerak sendi ini juga dapat menurunkan tekanan kaki bagian plantar pada pasien diabetes mellitus (DM) yang diakibatkan perubahan anatomi kaki pasien diabetes mellitus (DM). Penelitian oleh Glacomozzi, D’Amrogi, Cesinaro, macellari dan Ucoioll (2008) dalam Taufiq (2011) menyatakan bahwa pasien yang menderita DM yang lama dan neuropati perifer menunjukkan penurunana biomekanik dan penekanan pada kaki yang abnormal karena penurunan mobilisasi pada ankle. Penelitian Goldsmith, Lidtke dan Shott (2002) menunjukkan hasil bahwa latihan rentang gerak sendi dapat menurunkan tekanan kaki bagian plantar pada pasien diabetes mellitus (DM) yang juga berdampak positif terhadap penyembuhan ulkus kaki diabetik. Penelitian Gilette & Fe (1996) menunjukkan hasil bahwa latihan rentang gerak sendi pasif dapat mengurangi kekakuan sendi dan otot bagian plantar pada pasien diabetes mellitus. Prinsip dasar dari latihan rentang gerak sendi dapat menunjukkan hasil yang maksimal. Departement of Rehabilitation Service The Ohio State University Medical Center (2009) dalam Taufiq (2011) menyatakan latihan rentang gerak sendi (untuk bagian ankle) sebaiknya dilakukan minimal 3 kali sehari dengan intensitas masing-masing gerakan 10 kali. 2.2.5 Latihan Rentang Gerak Sendi Latihan rentang gerak sendi sangat dibutuhkan pada pasien yang mengalami gangguan mobilisasi. Mobilisasi merupakan kemampuan individu secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktifitas guna mempertahankan kesehatannya (Alimul, 2009). Pemberian terapi rentang gerak sendi pasif berupa latihan gerakan pada bagian kaki atau pada bagian ekstremitas yang mengalami kontraktur sangat bermanfaat untuk menghindari adanya komplikasi akibat kurang gerak, seperti adanya kekakuan sendi (Irfan, 2010). Prinsip dasar dari latihan rentang gerak sendi pasif dilakuakn perlahan dan hatihati sehingga tidak melelahkan pasien (Suratun, et al, 2008). a. Fleksi dan ekstensi jari-jari Cara : 1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan 2. Pegang jari-jari kaki pasien dengan satu tangan, sementara tangan lain memegang kaki. 3. Bengkokkan kaki (tekuk) jari-jari kebawah 4.Luruskan jari-jari kemudian dorong kebelakang 5. Kembalikan keposisi semula 6.Catat perubahan yang terjadi Gambar 1. Fleksi dan Ekstensi Jarijari Sumber. Pubmed, J Phys Ther Sci, 2015 Fleksi Ekstensi Abduksi Adduksi Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, Meluruskan jari-jari kaki, Menggerakan jari-jari kaki satu dengan yang lain, Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 30-60° rentang 30-60° rentang 15° rentang 15° b. Inversi dan Eversi Kaki Cara : 1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan 2. Pegang separuh bagian atas kaki pasien dengan satu jari dan pegang pergelangan kaki dengan tangan satunya 3. Putar kaki ke dalam sehingga telapak kaki menghadap ke kaki lainnya. 4. Kembalikan ke posisi semula 5. Putar kaki keluar sehingga bagian telapak kaki menjauhi kaki yang lain 6. Kembalikan keposisi semula 7. Catat perubahan yang terjadi Gambar 2. Inversi dan Eversi Kaki Sumber. Pubmed, J Phys Ther Sci, 2015 Inversi Eversi Memutar telapak kaki ke samping rentang 10° dalam, Memutar telapak kaki ke samping rentang 10° luar, c. Fleksi dan Ekstensi pergelangan kaki Cara : 1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan 2. Letakkan satu tangan perawat pada telapak kaki pasien dan tangan satu lagi diatas pergelangan kaki. Jaga kaki lurus dan rileks 3. Tekuk pergelangan kaki, arahkan jari-jari kaki kearah dada pasien 4. Kembalikan ke posisi semula 5. Tekuk pergelangan tangan kaki menjauh dada pasien 6. Catat perubahan yang terjadi Gambari 3. Fleksi Pergelangan Kaki Sumber. Pubmed, J Phys Ther Sci, 2015 dan Ekstensi Dorsifleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari rentang 20-30° kaki menekuk ke atas, Plantarfleksi Menggerakan kaki sehingga jari-jari rentang 45-50° kaki menekuk ke bawah,