BAB 2 Landasan Teori 2.1 Kajian Pustaka Yang menjadi acuan untuk melandasi penelitian ini adalah teori manajemen sebagaigrand theory, teori manajemen sumber daya manusia dijadikan sebagai middle theory, danteori tentang kepemimpinan transformasional, kepuasan kerja dan kinerja karyawan dijadikan sebagai applied theory. 2.2 Manajemen Robbins dan Coulter (2012, p.36) manajemen melibatkan aktivitas – aktivitas koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Manajemen juga berupaya untuk menjadi efektif, dengan menyelesaikan tugas-tugas demi terwujudnya sasaran - sasaran organisasi. Hasibuan (2007, p.2) manajemen merupakan sebuah ilmu dan juga seni yang mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber – sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi berdasarkan kedua teori di atas, manajemen adalah ilmu sekaligus seni yang mempelajari tentang bagaimana proses koordinasi dan pengawasan dalam memanfaatkan sumber daya manusia secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. 2.3 Manajemen Sumber Daya Manusia Marwansyah (2010, p.3) manajemen sumber daya manusia dapat diartikan sebagai pendayagunaan sumber daya manusia di dalam organisasi yang dilakukan melalui fungsi-fungsi perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen, seleksi pengembangan sumber daya manusia, perencanaan , pengembangan karir, pemberian kompensasi, kesejahteraan, keselamatan, kesehatan kerja dan hubungan industrial. Mathis dan Jackson (2006, p.3) manajemen sumber daya manusia adalah rancangan sistem – sistem formal untuk memastikan pengguanan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan organisasi. 9 10 Mathias juga menyebutkan bahwa aktivitas manajemen sumber daya manusia berfokus pada: 1. Produktivitas. Diukur dari jumlah output per tenaga kerja dan peningkatan tanpa henti pada produktivitas telah menjadi kompetisi global. Produktivitas tenaga kerja di sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh usaha, program dan sistem manajemen. 2. Kualitas. Kualitas suatu barang/jasa akan sangat mempengaruhi kesuksesan jangka panjang suatu organisasi. Bila suatu organisasi memiliki reputasi sebagai penyedian barang/jasa yang kualitasnya buruk, perkembangan dan kinerja organisasi tersebut akan berkurang. 3. Pelayanan. Sumber daya manusia sering kali terlibat pada proses produksi barang/jasa. Manajemen sumber daya manusia harus disertakan pada saat merancang proses tersebut. Pemecahan masalah harus melibatkan seluruh karyawan tidak hanya manajer, karena seringkali membutuhkan perubahan budaya, gaya kepemimpinan dan kebijakan SDM. Untuk mencapai sasaran tersebut, manajemen SDM haruslah terdiri dari aktivitas – aktivitas yang saling berkaitan. Aktivitas SDM berdasarkan pendapat Mathis dan Jackson (2006, p.4) adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan dan analisis SDM. Aktivitas perencanaan dan analisis sumber daya manusia mampunyai beberapa muka. Dengan perencanaan sumber daya manusia, manajer mencoba untuk mengantisipasi kekuatan yang akan mempengaruhi pasokan dan permintaan akan tenaga kerja. 2. Kesetaraan kesempatan bekerja. Kepatuhan pada hukum dan peraturan kesetaraan kesempatan bekerja (Equal Employment Opportunity – EEO) mempengaruhi aktivitas sumber daya manusia lainnya dan menjadi bagian yang tidak terpisahakan dari manajemen sumber daya manusia. 3. Perekrutan/saffing. Sasaran dari perekrutan adalah untuk menyediakan pasokan tenaga kerja yang cukup untuk mematuhi kebutuhan organisasi. 4. Pengembangan SDM. Dimulai dari memberikan orientasi pada tenaga kerja baru, pelatihan kerja – keterampilan (job-skill training) adalah bagian dari pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia. Pekerjaan pasti akan berevolusi dan berubah, pelatihan yang berkesinambungan diperlukan untuk tanggap pada perubahan teknologi. 11 5. Kompensasi dan Keuntungan. Kompensasi diberikan pada tenaga kerja yang melakukan kerja organisasi seperti dengan pembayaran (pay), insentif, dan keuntungan (benefit). Perusahaan harus mengembangkan dan selalum memperbaiki sistem upah dan gaji. 6. Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Kerja. Kesehatan dan keselamatan fisik serta mental tenaga kerja adalah hal yang utama. Occupational Safety and Health Act (OSHA) atau Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja telah membuat organisasi lebih tanggap atas isu kesehatan dan keselamatan. 7. Hubungan Tenaga Kerja dan Buruh / Manajemen. Hubungan antara manajer dan bawahannya harus ditangani dengan efektif jika ingin tenaga kerja dan organisasi mau tumbuh bersama. Hak-hak tenaga kerja harus diperhatikan, tidak perduli apakah ada atau tidak ada serikat tenaga kerja. Jadi, manajemen sumber daya manusia adalah ilmu sekaligus seni yang mengatur sumber daya manusia di dalam suatu organisasi untuk menggunakan bakatnya secara efektif dan efisien demi mencapai tujuan organisasi. 2.4 Kepemimpinan 2.4.1 Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dalam organisasi. Kepemimpinan dibutuhkan oleh manusia karena adanya sifat keterbatasan yang sangat melekat pada diri manusia. Suatu organisasi tanpa ada sosok seorang pemimpin akan mengalami kesulitan dalam mencapai visi dan misi dari organisasi itu sendiri. Dari sinilah timbul kebutuhan untuk memimpin dan dipimpin. Secara kasar, kepemimpinan didefinisikan sebagai ciri – ciri individual, kebiasaan, cara mempengaruhi orang lain, interaksi, kedudukan dalam organisasi dan persepsi mengenai pengaruh yang sah. Robbins dan Judge (2007, p.403) kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Soekarso (2010, p10) kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial, yaitu suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain, kekuatan yang mempengaruhi perilaku orang lain ke arah pencapaian tujuan tertentu. Jadi, kepemimpinan adalah proses yang disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk memahami dan setuju untuk berkerja sama untuk mencapai tujuan kelompok yang telah ditentukan. 12 2.4.2 Fungsi – fungsi Kepemimpinan Berdasarkan Soekarso (2010, p.22) agar kelompok berjalan dengan efektif, maka seorang pemimpin harus melaksanakan dua fungsi utama yaitu sebagai berikut: 1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau pemecahan masalah, mencakup penetapan struktur tugas, pemberian saran dan penyelesaian, informasi dan pendapat. 2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok atau sosial,mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau organisasi berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain, pengaruh perbedaan pendapat dan sebagainya. 3. Fungsi-fungsi kepemimpinan dalam organisasi dapat disebut dengan “enam F”, antara lain: 1. Fungsi pengambilan keputusan ( Decision Making). 2. Fungsi pengarahan (Directing). 3. Fungsi pendelegasian (Delegation). 4. Fungsi pemberdayaan (Empowerment). 5. Fungsi fasilitas (Facilitating). 6. Fungsi pengendalian (Controlling). 2.4.3 Sumber Daya Kepemimpinan Menurut Soekarso (2010, p,26) seorang pemimpin hanya dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila memiliki kekuatan berupa suatu sumber daya tertentu, seperti: 1. Pengaruh (Influence) Kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial dalam hubungan interpersonal. Pemimpin mempengaruhi bawahan atau pengikut kearah yang diinginkan. 2. Kekuasaan (Power) Pemimpin hanya dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila memiliki suatu sumber daya tertentu, yaitu power. Dalam hal ini power berarti daya, atau dalam teori kepemimpianan power adalah sebagai kekuasaan. 3. Legitimasi (Legitimacy) Kepemimpinan memerlukan legitimasi agar posisi formal keberadaan pemimpin dan kekuasaan mendapat pengakuan resmi dalam organisasi. 13 4. Indiosinkratik kredit (Indiosyncracy credit) Konsep Indiosinkratik merupakan elemen penting dari analisis teori pertukaran (exchange theory).Bagaimanapun pemimpin atau anggota dalam menjalankan tugas mempunyai peran masing-masing sesuai dengan kelompok atau organisasi. 5. Wewenang (Authority) Wewenang merupakan dasar hukum untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan baik. 6. Politik (Politic) Dalam organisasi terdapat keterbatasan sumber daya, keanekaragaman struktur, perbedaan kepentingan dan terjadi perubahan.Maka agar lebih berperan atau lebih berkuasa dalam organisasi diperlukan tindakan-tindakan tertentu yaitu politik. 2.4.4 Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu, atau dengan kata lain bagaimana cara seorang pemimpin dalam memimpin para bawahannya. Soekarso (2010, p.11) gaya kepemimpinan adalah perilaku atau tindakan pemimpin dalam mempengaruhi para anggota/pengikut serta melaksanakan tugastugas pekerjaan manajerial. Kartini Kartono (2006, p.34) menentukan watak dan tipe pemimpin atas setidaknya ada tiga pola dasar, yaitu: 1. Berorientasi pada tugas (task orientation). 2. Berorientasi hubungan kerja (relationship orientation). 3. Berorientasi hasil yang dicapai (effectivess orientation). Berdasarkan tiga orientasi di atas, dapat ditentukan bahwa terdapatdelapantipe gaya kepemimpinan: 1. Tipe deserter (pembelot) Sifatnya: bermoral rendah, tidak memiliki rasa keterlibatan, tanpa loyalitas dan ketaatan. 2. Tipe birokrat Sifatnya: kaku, patuh pada peraturan dan norma–norma. 14 3. Tipe misionaris (missionary) Sifatnya: terbuka, penolong dan ramah–tamah. 4. Tipe developer (pembangun) Sifatnya: kreatif, dinamis, inovatif, memberikan wewenang dan menaruh kepercayaan kepada bawahan. 5. Tipe otokrat Sifatnya: keras, diktatoris, mau menang sendiri dan keras kepala. 6. Benevolent autocrat (otokrat yang bijak) Sifatnya: lancar, tertib dan ahli dalam mengorganisasikan. 7. Tipe compromiser (kompromis) Sifatnya: tidak punya pendirian, berpikir pendek dan sempit serta tidak mempunyai keputusan. 8. Tipe eksekutif Sifatnya: bermutu tinggi, dapat memberikan motivasi dan tekun. Maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin kepada bawahannya dengan tujuan untuk mempengaruhi bawahannya supaya dapat diarahkan. 2.4.5 Gaya Kepemimpinan Transaksional Dalam Yukl (2013, p.312) Bass memandang kepemimpinan transaksional sama dengan Burns yaitu sebuah pertukaran imbalan –imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Namun demikian, Bass mendefinisikan kepemimpinan transaksional dalam arti yang lebih luas dari pada Burns. Bass dalam Robbins dan Judge (2007, p.417) pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memadukan atau memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas. Bass dalam Robbins dan Judge (2007, p.417) mengemukakan bahwa kepemimpinan transaksional terdiri dari empat dimensi: a) Penghargaan Bersyarat (Contingent Reward): Menjalankan pertukaran kontraktual antara penghargaan dan usaha, menjanjikan penghargaan untuk kinerja yang baik dan mengakui pencapaian yang diperoleh. b) Manajemen Pengecualian-aktif (Management by Exception-Active): Mengamati dan mencari penyimpangan dari aturan-aturan dan standar, serta melakukan tindakan-tindakan perbaikan. 15 c) Manajemen Pengecualian - pasif (Management by Exception-Passive): Mengintervensi hanya jika standar tidak tercapai. d) Laissez-fair: Melepas tanggung jawab dan menghin dari pengambilan keputusan. 2.4.6 Cakupan Utuh Model Kepemimpinan (Transaksional-Transformasional) Gambar 2. 1Full Range of Leadership Model Sumber : Robbins dan Judge, 2007, p.418 Kepemimpinan transaksional dan transformasional hendaknya tidak dipandang sebagai pendekatan yang saling bertentangan. Kedua jenis kepemimpinan ini saling melengkapi, tetapi tidak berarti keduanya sama penting. Kepemimpinan transformasional lebih unggul dari pada kepemimpinan transaksional dan menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut yang melampaui apa yang bisa dicapai kalau hanya pendekatan transaksional yang diterapkan. Tetapi yang sebaliknya tidak berlaku, jadi sebaik-baiknya kepemimpinan transaksional maka akan menjadi biasa saja apabila tidak memiliki sifat-sifat transformasional. 16 Pada gambar cakupan utuh model kepemimpinan ini menjelaskan bahwa Laissez-Faire adalah model yang paling pasif dan karena itu merupakan perilaku pemimpin yang paling tidak efektif. Para pemimpin yang menggunakan gaya ini jarang dianggap efektif. Management by exception entah aktif ataupun pasif-sedikit lebih baik dari pada Laissez-Faire, tetapi masih dianggap tipe kepemimpinan yang tidak efektif. Pemimpin yang menerapkan Management by exception cenderung hanya memberikan reaksi saat ada masalah, yang sering kali sudah terlambat. Kepemimpinan yang memberikan contingent reward bisa menjadi gaya kepemimpinan yang efektif. Namun, pemimpin seperti ini tidak bisa mendorong karyawannya untuk bekerja di luar cakupan tugasnya. Hanya dengan empat gaya kepemimpinan yang lain semuanya merupakan aspek dari kepemimpinan transformasional pemimpin bisa memotivasi karyawan untuk bekerja di atas ekspetasi dan mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan organisasi. Individualized consideration, intellectual stimulation, inspirational motivation, dan idealized influence, seluruhnya mendorong karyawan untuk bekerja lebih keras, meningkatkan produktivitas, memiliki moril kerja serta kepuasan kerja yang lebih tinggi, meningkatkan efektivitas organisasi, meminimalkan perputaran karyawan, menurunkan tingkat ketidakhadiran dan memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara organisasi yang lebih tinggi. Berdasarkan model ini,pemimpin umumnya paling efektif bila mereka secara rutin menetapkan masing – masing dari keempat perilaku transformasional. 2.4.7 Gaya Kepemimpinan Transformasional Yukl (2013, p.313) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah suatu keadaan di mana para pengikut dari seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, hormat terhadap pemimpin tersebut, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada yang awalnya diharapkan mereka. Pemimpin tersebut mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan cara membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil – hasil suatu pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau tim dari pada kepentingan diri sendiri, dan mengaktifkan kebutuhan – kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi. Robbins dan Judge (2007, p.417) gaya kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang 17 di individualkan dan memiliki kharisma. Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang kharismatik dan mempunyai peran sentral serta strategi dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apayang mereka butuhkan. Robbins dan Judge (2007,p.417) mengemukakan ada empat karakteristik kepemimpinan transformasional, yaitu: a) Pengaruh Ideal (Idealized Influence): Pengaruh yang ideal berkaitan dengan reaksi bawahan terhadap pemimpin. Pemimpin diidentifikasikan dengan dijadikan sebagai panutan, dipercaya, dihormati dan mempunyai visi misi yang jelas menurut persepsi bawahan dapat diwujudkan. b) Motivasi yang Inspirasi (Inspirational Motivation): Pemimpin yang inspirasional adalah seorang pemimpin yang bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti mampu mengkomunikasikan ekspektasi yang tinggi dari bawahannya, dan menyatakan tujuan-ujuan penting secara sederhana. c) Stimulasi Intelektual (Intellectual Stimulation): Pemimpin mendorong bawahan untuk lebih kreatif, serta mendorong bawahannya untuk menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih rasional dalam pengambilan keputusan dan cermat dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. d) Perhatian yang bersifat Individual (Individualized Consideration): Pemimpin memberikan perihatian pribadi kepada bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh, mempertimbangkan kebutuhan dari bawahannya, serta melatih serta memberikan saran kepada bawahannya. 2.5 Kepuasan Kerja 2.5.1 Definisi Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan bentuk perasaan seseorang terhadap pekerjaannya, situasi kerja dan hubungan dengan rekan kerja. Dengan demikian kepuasan kerja merupakan sesuatu yang penting untuk dimiliki oleh seorang pegawai, di mana mereka dapat berinteraksi dengan lingkungan kerjanya sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuan perusahaan. 18 Robbins dan Judge (2007, p.113) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan positif sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut. Definisi ini tentu sangat luas maknanya. Luthans (2005, p.243) menyatakan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang dicerminkan oleh pegawai terhadap pekerjaannya. 2.5.2 Teori - Teori Kepuasan Kerja Yukl & Wexley dalam Sunyoto (2012,p.27) ada tiga macam teori kepuasan kerja: 1) Discrepancy theory. Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada discrepancy antara should be (expectation atau persepsinya needs or value) dengan apa yang menurut perasaannya atau persepsinya telah diperoleh melalui pekerjaan. 2) Equity theory. Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas dan tidakpuas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor dan pemerintah dipengaruhi oleh motivasi. 3) Teori motivasi – hygiene/teori dua faktor. Frederick Herzberg mengembangkan suatu teori yang disebut teori dua faktor, yang terdiri atas.(1) Faktor higiene, yaitu faktor-faktor yang dapat menyebabkan atau mencegah ketidakpuasan, yang pada hakekatnya terdiri atas faktor ekstrinsik dari pekerjaan seperti gaji, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, status, kebijakan perusahaan, kualitas supervise, bawahan dan sesama pekerja, serta jaminan sosial. (2) Faktor motivator, yaitu faktor yang betul – betul membawa pada pengembangan sikap positif dan pendorong pribadi, seperti tanggung jawab, prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, kemajuan, serta pertumbuhan dan perkembangan. 19 2.5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, Robbins (2006,p.149) adalah sebagai berikut. 1) Kerja yang secara mental menantang.Pegawai cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka. 2) Kondisi kerja. Jika kondisi kerja bagus,maka pegawai akan lebih mudah mengerjakan pekerjaan mereka, namun bila kondisi kerja rapuh,maka pegawai akan lebih sulit menyelesaikan pekerjaan mereka. 3) Ganjaran yang pantas. Sistem upah dan kebijakan promosi yang adil sangat diharapkan pegawai. Bila upah dirasa adil, maka kemungkinan besar akan menghasilkan kepuasan kerja yang tinggi. 4) Rekan kerja yang mendukung. Mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung akan menghantarkan kepuasan kerja yang meningkat.Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan. 5) Kesesuaian antara kepribadian dengan pekerjaan. Penghasilan atau kompensasi yang sesuai dengan harapan dan kemampuan pegawai dengan standar yang ada, adanya relevansi kepribadian yang berarti kesesuaian motivasi, dan kecocokan yang tinggi antara kepribadian seseorang dengan pekerjaannya akan menimbulkan kepuasan kerja. Hasibuan (2007,p.203) faktor yang menimbulkan kepuasan kerjakaryawan adalah: a) Balas jasa yang adil dan layak. b) Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian. c) Berat ringannya pekerjaan. d) Suasana dan lingkungan pekerjaan. e) Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan. f) Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya. g) Sadar pekerjaan monoton atau tidak. 2.5.4 Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan Kerja Robbins dan Judge (2007, p.116) ketidakpuasan karyawan dapat dinyatakan dengan sejumlah cara, diantaranya: a) Keluar (Exit): Perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi. 20 Mencakup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti. b) Suara (Voice): Dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi. Mencakup saran perbaikan, membahas problem - problem dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat buruh. c) Kesetiaan (Loyalty): Pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi. Mencakup berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat. d) Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan tingkat kekeliruan yang meningkat. 2.5.5 Dimensi Kepuasan Kerja Kine Kalleberg (1977) dalam Tricia A. Seifert dan Paul D. Umbach (2008), menggunakan dua dimensi dari kepuasan kerja dalam penelitiannya. Yaitu dimensi intrinsik yang mengacu pada pekerjaan itu sendiri dan ekstrinsik yang mewakili aspek pekerjaan eksternal untuk tugas itu sendiri. Dua dimensi itu didefinisikan sebagai berikut: 1. Dimensi Intrinsik a. Sejauh mana pekerjaan itu menarik. b. Sejauh mana pekerjaan itu mandiri. c. Hasil pekerjaan yang jelas. 2. Dimensi Ekstrinsik a. Keuangan (Financial). Mengacu pada item seperti gaji dan tunjangan. b. Karir (Carrer) Peluang pekerjaan yang disediakan untuk kemajuan karir. c. Kenyamanan (Convenience). Dimensi kenyamanan berfokus pada kenyamanan dari pekerjaan, yaitu kebebasan dari tuntutan yang saling bertentangan, tidak ada jumlah pekerjaan yang berlebihan dan waktu untuk melakukan pekerjaan. d. Hubungan dengan rekan kerja (Relationships with co-workers) Hubungan dengan rekan kerja dan termasuk kesempatan untuk berteman dengan orang-orang ditempat kerja . e. Kecukupan sumber daya (Adequancy of resources) 21 Tingkat di mana sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dengan baik tersedia untuk pekerja. 2.6 Kinerja Karyawan 2.6.1 Pengertian Kinerja Karyawan Kinerja karyawan sering diartikan sebagai pencapaian tugas,di mana karyawan dalam bekerja harus sesuai dengan program kerja organisasi untuk menunjukkan tingkat kinerja organisasi dalam mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi. Pada dasarnya kinerja seorang karyawan merupakan hal yang bersifat individual karena setiap karyawan mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda beda dalam mengerjakan pekerjaannya. Mathis dan Jackson (2006, p.378) berpendapat bahwa kinerja (perfomance) pada dasarnya apa yang yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan. Kinerja karyawan yang umum untuk kebanyakkan pekerjaan meliputi elemen yaitu kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil, kehadiran atau absensi, dan kemampuan bekerja sama. Wibowo (2007, p.7) kinerja berasal dari pengertian performance. Adapula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan secara langsung. Jadi, berdasarkan kedua teori di atas, kinerja menurut saya adalah perilaku yang ditunjukkan oleh para karyawan sebagai perwujudan prestasi kerja yang dihasilkan sesuai dengan perannya di dalam perusahaan. 2.6.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan yang lainnya. Walaupun karyawan bekerja pada tempat yang sama namun produktifitas mereka tidaklah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh 2 faktor, yaitu: faktor individu dan situasi kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, Mathis dan Jackson (2006, p.113) kinerja para karyawan adalah suatu awal keberhasilan organisasi untuk mencapai tujuannya. Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu: 1. Kemampuan individual 22 Kemampuan individual karyawan ini mencakup bakat, minat, dan factor kepribadian. Tingkat keterampilan, bahan mentah yang dimiliki seseorang berupa pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan teknis. Dengan demikian, kemungkinan seorang karyawan akan mempunyai kinerja yang baik, jika karyawan tersebut memiliki keterampilan yang baik maka karyawan tersebut akan menghasilkan kinerja yang baik pula. 2. Usaha yang dicurahkan Usaha yang dicurahkan oleh karyawan bagi perusahaan adalah motivasi, etika kerja, kehadiran, dan rancangan tugasnya. Tingkat usahanya merupakan gambaran motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Dari itu, kalaupun karyawan memiliki tingkat keterampilan untuk mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik jika hanya sedikit upaya. Hal ini berkaitan dengan perbedaan antara tingkat keterampilan dengan tingkat upaya. Tingkat keterampilan merupakan cermin dari apa yang bisa dilakukan, sedangkan tingkat upaya merupakan cermin dari apa yang dilakukan. 3. Dukungan organisasional Dalam dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi karyawan meliputi pelatihan, pengembangan, peralatan, teknologi, standar kinerja, manajemen dan rekan kerja. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah apa yang mempengaruhi sebanyak mereka memberikan kontribusi pada organisasi. Gambar 2. 2 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sumber : Mathis dan Jackson (2006, p.114) 23 2.6.3 Dimensi Kinerja Karyawan Sudarmanto (2009, p11) mengemukakan bahwa dimensi atau indikator kinerja karyawan merupakan aspek-aspek yang menjadi ukuran dalam menilai kinerja karyawan. Sudarmanto (2009, p.11) terdapat 5 dimensi untuk mengukur kinerja karyawan, yaitu: 1. Kualitas Terkait dengan tingkat kesalahan, kecermatan. 2. Kuantitas Terkait dengan proses atau jumlah pekerjaan yang dihasilkan. 3. Ketepatan Waktu Terkait dengan waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan aktivitas atau keterlambatan waktu kerja efektif/jam kerja hilang. 4. Kebutuhan akan pengawasan (Need for Supervision) Terkait dengan kemampuan individu dapat menyelesaikan pekerjaan atau fungsi fungsi pekerjaan tanpa asistensi pimpinan atau intervensi pengawasan pimpinan. 5. Hubungan antar Perseorangan Terkait dengan kemampuan individu dalam meningkatkan perasaan harga diri, keinginan baik, dan kerja sama diantara sesama pekerja dan anak buah. 2.7 Kerangka Peemikiran Berdasarkan pada penelitian terdahulu yang dikemukakan uraian sebelumnya maka dapat disusun kerangaka pemikiran sebagai berikut: Gaya Kepemimpinan Transformasional (X1) Kinerja Karyawan (Y) Kepuasan Kerja (X2) Gambar 2. 3 Kerangka Pemikiran Sumber : Penulis, 2015 (Gambar kerangka pemikiran) 24 Hipotesis H1 Ho: Tidak ada pengaruh dari gaya kepemimpinan transformasional (X1) terhadap kinerja karyawan (Y). Ha: Ada pengaruh dari gaya kepemimpinan transformasional (X2) terhadap kinerja karyawan (Y). H2 Ho: Tidak ada pengaruh dari kepuasan kerja (X2) terhadap kinerja karyawan (Y). Ha: Ada pengaruh dari kepuasan kerja (X2) terhadap kinerja karyawan (Y). H3 Ho: Tidak adanya pengaruh dari gaya kepemimpinan transformasional (X1) dan kepuasan kerja (X2) secara serentak (simultan) terhadap kinerja karyawan (Y). Ha: Adanya pengaruh dari gaya kepemimpinan transformasional (X1) dan kepuasan kerja (X2) secara serentak (simultan) terhadap kinerja karyawan (Y).