26 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka merupakan panduan penulisan dalam aspek konseptual – teoritis. Pada bagian ini akan dipaparkan berbagai konsep teori yang dijadikan sebagai alat analisis terhadap masalah yang diangkat dalam skripsi ini. 2.1. Pengertian Perilaku Perilaku manusia merupakan kajian multi disiplin ilmu pengetahuan. Hal ini karena perilaku itu sendiri merupakan reflesi dari berbagai macam segi, baik fisik maupun non fisik. Diantara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang cukup besar sumbangsinya dalam penegmbangan perilaku seperti yang dikemukakan Robin (1986), yaitu: a. Psikologi adalah ilmu yang berkenaan dengan usaha untuk mengukur, menjelaskan, dan kadang-kadang mengubah perilaku dari aspek kejiwaan. b. Sosiologi yaitu ilmu yang mempelajari sistem sosial dimana individu memainkan perannya. Artinya sosiologi itu mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia lain (aspek masyarakat). c. Psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku antara peribadi (aspek sosial). 27 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) d. Antropologi yaitu ilmu yang mempelajari masyarakat untuk mengetahui seluk beluk manusia dan aktivitasnya (aspek budaya). e. Ilmu politik merupakan ilmu yang mempelajari perilaku individu dalam kelompok dalam suatu lingkungan politik atau pemerintahan (aspek pengaturan) Kelima disiplin ilmu itulah yang menjadi konsep dasar tentang perilaku termasuk berbagai faktor yang mempengaruhi dan bentuk tindakan nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Berdasarakan uraian tersebut diatas, dengan tetap mengacu pada cabang-cabang ilmu tersebut yang mengkaji serta relavansinya dengan bahasa dalam penelitian yang aka dilakukan ini, yaitu perilaku birokrasi, maka berikut akan diuraikan pengertian perilaku. Kata tingkah laku atau perbuatan mempunyai pengertian yang sangat luas, yaitu tidak hanya menyangkut kegiatan motoris saja seperti berbicara, berjalan, bergarak, dan lain-lain melainkan juga membahas macam-macam membahas fungsi seperti melihat, mendengar, mengingat, berfikir. Semuanya itu merupakan bentuk aktivitas yang tergolong aktivitas spikis atau jiwani. Setiap penampilan dari kehidupan manusia bisa disebut aktivitas perilaku. Sistem nilai budaya merupakan suatu rangkaian dari konsepsikonsepsi yang hidup dalam pikiran sebagaian besar masyarakat, PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) berkenaan dengan apa yang dia anggap penting dan berharga, dan sebaliknya apa yang dia anggap kurang penting dan kurang berharga dalam hidupnya. Dalam nilai sistem budaya ini, terhadap pola-pola perilaku atau tata kelakuan yang sekaligus merupakan pengatur dan pengendali. Lahirnya pola-pola kelakuan sebagaimana telah diuraikan diatas membuktikan bahwa kebudayaan masyarakat tersusun dari kebiasaan tingkah laku masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan merupakan tingkah laku yang berpola. Hal tersebut diperkuat dengan ungkapan Talkot Parson, bahwa “manusia adalah mahluk yang aktif, kreatif dan evaluatif dalam memilih berbagai alternatif tindakan dalam usaha mencapai tujuannya. Perilaku sangat penting dalam kehidupan masyarakat agar dapat mecapai dari pada tujuan hidupnya. Perilaku itu sendiri adalah sesuatu yang sangat kampleks dan merupakan resultance dari berbagai macam aspek internal maupun eksternal, psikologis maupun fisik. Perilaku itu tidak berdiri sendiri, malinkan selalu berkaitan dengan faktor-faktor yang lainnya. Perilaku itu sendiri merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan merupakan resultance dari berbagai macam aspek internal maupun eksternal. Perilaku itu tidak akan berdiri sendiri namun dipengaruhi oleh 28 29 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) faktor-faktor yang lain. Sebagaimana yang dikemukakan Gibson dalam teori perilakunya, bahwa pada intinya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dibedakan menjadi tiga, yaitu fisiologis, psikologis, dan lingkungan. Dalam sebuah buku yang berjudul “Perilaku Manusia” Drs. Leonard F. Polhaupessy, Psi. menguraikan perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari luar, seperti orang berjalan, naik sepeda, dan mengendarai motor atau mobil. Untuk aktifitas ini mereka harus berbuat sesuatu, misalnya kaki yang satu harus diletakkan pada kaki yang lain. Jelas, ini sebuah bentuk perilaku. Cerita ini dari satu segi. Jika seseoang duduk diam dengan sebuah buku ditangannya, ia dikatakan sedang berperilaku. Ia sedang membaca. Sekalipun pengamatan dari luar sangat minimal, sebenarnya perilaku ada dibalik tirai tubuh, didalam tubuh manusia. Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori skiner disebut teori “S – O - R”atau Stimulus – Organisme – Respon. Skiner membedakan adanya dua proses. PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) 1. Respondent respon atau reflexsive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebutelecting stimulation karena menimbulkan respon – respon yang relative tetap. 2. Operant respon atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Pernagsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respon. 2.2. Pengertian Birokrasi Birokrasi di maksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Dalam suatu rumusan lain dikemukakan bahwa birokrasi adalah “Tipe organisasi yang di pergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan tugas-tugasnya yang bersifat spesiali-sasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah”. Menurut Blau dan Meyer (1987:4), birokrasi dijadikan birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip instrumen prinsip organsasi yang ditujukan 30 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) untuk meningkatkan efisiensi administratif, biarpun kadangkala dalam pelaksanaannya birokratisasi akibatnya seringkali malahan kurang adanya efisiensi. Malahan birokrasi ini terdapat pada semua organisasi besar, tidak saja pada bidang militer atau pemerintah sipil, tetapi juga pada swasta dan lain-lain. Weber banyak sekali menulis tentang kedudukan pejabat dalam masyarakat modern. Sebagai organisasi Modern yang konsep dasarnya dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) dalam Peter M. Blau & Marshall W. Meyer (1987:25), Ambar Sulistiyani (2004:3), Martin Albrow (1989:41) birokrasi adalah bentuk organisasi kekuasaan yang sepenuhnya diserahkan kepada para pejabat resmi atau aparat pemerintah yang memiliki syarat technical skill yaitu berkemampuan secara teknis melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya di dalam sistem administrasi pemerintahan. Baginya ia merupakan sebuah tipe peranan sosial yang amat penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah Pertama; bahwa seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan; kedua, bahwa fasilitas dan sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas itu diberikan oleh orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu. Pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja yaitu ia memiliki otoritas. Weber 31 32 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) menolak untuk menyebut birokrasi bagi pejabat yang dipilih atau seseorang yang diseleksi oleh sekumpulan orang. Ciri pokok pejabat birokratis, bahwa ia adalah orang yang diangkat. Dengan menyatakan ini, Weber telah hampir sampai pada definisi umumnya yang dikenakan terhadap birokrasi. Ia menulis “tidak ada pelaksanaan otoritas yang benarbenar birokratis, semata-mata melalui pejabat yang dibayar dan diangkat secara kontrak. Menurut Blau (1987:126) dan Albrow (1989:31), barangkali baik karena latar belakang teknis maupun generalitasnya, konsep birokrasi Weber dapat dirangkum ke dalam jenis birokrasi yang dimaksudkan ialah suatu badan administratif tentang pejabat yang diangkat. Patut diperhatikan betapa dekat rumusan dengan konsep-konsep Michels dan Mosca. Seperti halnya mereka, Weber juga memandang birokrasi sebagai hubungan kolektif bagi golongan pejabat, suatu kelompok tertentu dan berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat dalam semua jenis organisasi. Tetapi adalah juga benar, Weber menekankan pada ciriciri organisasional tertentu, khususnya menurut prosedur pengangkatannya, yang berarti bahwa dalam konsep umum birokrasinya bukan hanya gagasan tentang kelompok, tetapi juga gagasan bentukbentuk tindakan yang berbeda. Hal ini sarkan aturan yang menjadikan konsep Weber lebih penting dan tipe birokrasi yang paling rasional. PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Weber memandang birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Diantaranya, proses ini mencakup ketetapan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip-prinsip memimpin organisasi sosial. Dengan sendirinya hal ini memudahkan dan mendorong konseptualisasi ilmu sosial, dan bantuan konseptual teori Weber tentang birokrasi adalah terletak pada penjelasan ketika ia mendiskusikan tipe rasional yang murni. Sesuai dengan teorinya bahwa keyakinan dalam legitimasi adalah dasar bagi hampir semua sistem otoritas, ia memulai dengan mengemukakan lima keyakinan berkaitan adanya otoritas yang sah bergantung. Bentuk ringkasnya adalah sebagai berikut: Bahwa dengan ditegakkannya peraturan (code) yang sah maka suatu organisasi dapat menuntut kepatuhan dari para anggotanya. 1. Bahwa hukum merupakan suatu sistem aturan-aturan abstrak yang diterapkan pada kasus-kasus tertentu, sedangkan administrasi, mengurus kepentingan kepentingan organisasi yang ada dalam batas-batas hukum. 2. Bahwa manusia yang menjalankan otoritas juga memasuki tatanan impersonal tersebut. 3. Bahwa hanya anggota yang taat yang benar-benar mematuhi hukum. 33 34 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) 4. Bahwa kepatuhan itu seharusnya tidak kepada person yang memegang otoritas melainkan kepada tatanan impersonal yang menjaminnya untuk menduduki jabatan itu. Berdasarkan konsepsi legitimitasi ini Weber (Albrow, 1989:32-33) dapat merumuskan delapan proposisi tentang penyusunan sistem otoritas legal sebagai berikut: 1. Tugas-tugas pejabat diorganisir berdasarkan aturan yang berkesinambungan. 2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang dibedakan menurut fungsi, masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi. 3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, hak-hak kontrol dan komplain diantara mereka terperinci. 4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut manusia terlatih diperlukan. 5. Sumber-sumber daya organisasi sangat berbeda dengan yang berasal dari para anggota sebagai individu pribadi. 6. Pemegang jabatan tidak sesuai dengan jabatannya. PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) 7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (Biro) sebagai pusat organisasi modern. 8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk artinya ialah didalam sebuah staf administrasi birokratik. 2.3. Konsep Perilaku Birokrasi Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik ikut ditentukan oleh perilaku aparatnya dalam mengemban misi sebagai pelayan masyarakat, namun dalam kenyataannya pelaksanaan pelayanan publik belum optimal karena tidak tersedianya aparat pelayanan yang profesional, berdedikasi, akuntabel dan responsif serta loyal terhadap tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Perilaku birokrasi baik yang membangun citra pelayanan publik berkualitas prima maupun yang berperilaku sebaliknya, tampaknya tidak terlepas dari keterkaitannya dengan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh setiap individu birokrat. Perilaku birokrasi timbul sebagai akibat interaksi antara karakteristik individu dengan karakteristik birokrasi. Karakteristik individual mencakup persepsi, pengambilan keputusan pribadi, pembelajaran dan motivasi (Robbins, 2003:31). Menurut Thoha (2002) bahwa karakteristik individual 35 36 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) meliputi kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, dan pengharapan. Perbedaan karakteristik individu tersebut menyebabkan perbedaan perilaku mereka. Setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda. Mereka mempunyai nilai, kepercayaan, motivasi, dan kemampuan yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan perilaku mereka. Namun demikian ikatan utama yang menyatukan perilaku mereka adalah tujuan organisasi. Hal ini penting mengingat perilaku mengarah kepada tujuan organisasi. Organisasi birokrasi sebagai wadah untuk mencapai mempunyai tujuan pelayanan karakteristik adanya dan perlindungan hirarki, tugas, masyarakat wewenang, tanggungjawab, sistem reward, dan sistem kontrol (Thoha, 2002). Menurut Lubis & Martani (1987), dan Robbins (2003), karakteristik birokrasi mencakup speselisasi, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi dan desentralisasi dan formalisasi. Dengan karakteristik yang dimilikinya, birokrasi dapat mengelola fungsi-fungsi organisasi dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu menurut Gibson (1989), struktur organisasi mempengaruhi perilaku manusia yang mengendalikan organisasi. Adapun Robbins (2003) menjelaskan bahwa perilaku mengarah kepada pencapaian tujuan dalam organisasi. Salah satu fungsi birokrasi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen 37 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik, maka organisasi birokrasi harus profesional, tanggap, dan aspiratif terhadap berbagai tuntutan dan kebutuhan akan pelayanan kepada masyarakat. Seiring dengan hal tersebut, pembinaan aparatur negara (aparatur birokrasi) harus dilakukan secara terus-menerus agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan, menggerakkan penyelenggaraan pelayanan pembangunan umum secara (masyarakat) lancar dengan dan dilandasi semangat dan sikap pengabdian kepada masyarakat. Kajian lain menjelaskan, kepuasan kerja, desain pekerjaan berpengaruh terhadap kinerja pegawai yang rendah sehingga membentuk perilaku birokrasi tradisional (Parhusip, 2006). Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa alasan mengapa penelitian ini penting; (1) kinerja birokrasi dalam pengelolaan sektor publik belum optimal, dimana kritik dan komplain masyarakat terhadap birokrasi masih cukup signifikan pada pemerintah (2) Peran birokrasi masih menonjol dan dominan dalam pengelolaan sektor publik. Oleh karena itu, ekspektasi masyarakat terhadap kinerja birokrasi cukup tinggi; (3) Salah satu aspek yang sangat menentukan kinerja birokrasi adalah aspek perilaku yang mempengaruhi baik dan buruknya PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) penampilan birokrasi. Saat ini perilaku birokrasi lebih dikesankan sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas dan fungsi birokrasi sebagai perumusan kebijakan, pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat. Maka ketika berbicara masalah pola perilaku birokrasi Davis (1985), yaitu perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial. Perilaku otokratik dan perilaku kustodial termasuk kategori perilaku yang tradisional dimana setiap birokrat hanya berorientasi kekuasaan, otoritas, dan kewenangan, pemenuhan kebutuhan pokok serta mengeksplorasi sumber daya ekonomi organisasi untuk diri dan kelompoknya. Perilaku suportif dan kolegial termasuk kategori perilaku birokrasi modern dimana setiap individu memberi dukungan yang tinggi terhadap pencapaian tujuan dan sasaran organisasi, serta organisasi memberi penghargaan yang tinggi pula terhadap kinerja birokrat. Karakteristik Birokrat Manusia yang terlibat dalam suatu organisasi merupakan individu-individu yang memiliki karakteristik khas yang melekat dalam dirinya. Siagian (1997) memandang bahwa karakteristik khas yang dibawa manusia dalam organisasi inilah yang akan membentuk perilaku administrasinya. Perilaku individu yang tercermin dalam tabiat dan sifat merupakan pencerminan dari kepribadian individu. Dalam hal ini, setidaknya terdapat 4 (empat) faktor pembentuk perilaku seseorang, yaitu: (a) faktor genetik, (b) faktor pendidikan, (c) faktor lingkungan, dan (d) 38 39 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) faktor pengalaman. Dengan hanya mempertimbangkan faktor dalam diri manusia, Supriatna (2000), mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) faktor yang membentuk tingkah laku seseorang yaitu: (a) pengamatan (persepsi), (b) sikap, (c) nilai, dan (d) motivasi. Faktor-faktor tersebut dapat membentuk efektifitas seseorang atau karyanya. Selanjutnya, efektifitas (karya), kepuasan kerja dan motivasi dipengaruhi rancangan kerja (job design) yang meliputi struktur kerja, tugas dan kewajiban. Sejalan dengan pendapat Supriatna di atas, Bryant dan White (1989) selain mengidentifikasi faktor dari dalam diri individu juga mengungkapkan faktor lingkungan organisasi dalam model sosial-psikologis. Bryant dan White (1989), mengatakan bahwa setidaknya terdapat 8 (delapan) determinan utama penyebab perilaku manusia, yaitu: (a) nilai-nilai, (b) emosi, (c) sikap-sikap, (d) struktur sosial, (e) peran dalam organisas, (f) teknologi, (g) peristiwa atau kejadian tertentu, dan (h) lingkungan baik berupa lingkungan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Sedangkan dalam model rasional, motivasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi individu dalam berperilaku dalam organisasi. Studi sistematis yang dilakukan oleh (Robbins:2003:31) menunjukkan bahwa ada enam variabel tingkat individual yang mempengaruhi perilaku individu, yaitu 1) karakteristik biologis (seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan dan masa kerja), 2) kemampuan, 3) pembelajaran, 4) 40 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) persepsi, 5) pengambilan keputusan pribadi, dan 6) motivasi. Pandangan yang senada juga dikemukakan oleh Kretner dan Kinicki (2005) dimana perilaku individu dipengaruhi oleh kepribadian, sikap, kemampuan, motivasi dan persepsi. Masih sejalan dengan itu, Thoha (2002) menambahkan aspek kepercayaan, pengalaman dan pengharapan. Karakteristik individual ini saling memberi konstribusi terhadap timbulnya perilaku seseorang. Perbedaan perilaku disebabkan perbedaan masingmasing faktor yang ada pada diri seseorang. Berdasarkan uraian tentang karakteristikl yang mempengaruhi perilaku individu, maka dapat digarisbawahi bahwa faktor pembentuk utama perilaku individu adalah sikap, kemampuan dan motivasi. Tiga faktor ini menjadi kunci terhadap terbentuknya perilaku individu dalam organisasi. Beberapa konsep perilaku individu seperti yang didiskusikan di atas memasukkan faktor kemampuan, sikap, dan motivasi seperti yang dikemukakan oleh Thoha (2002), Robbins (2003), Kreitner dan Kinicki (2005) serta Bryant dan White (1989). 1. Kemampuan Kemampuan (ability) merupakan sebuah sifat yang melekat pada manusia yang memungkinkan seseorang melaksanakan sesuatu tindakan atau pekerjaan mental dan fisik. Robbins (2003) menyatakan bahwa kemampuan terkait dengan kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Adapun Palan 41 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) (2003) menyebutkan bahwa kemampuan merupakan salah satu bagian dari kompetensi. Dimensi kemampuan berhubungan dengan kemampuan intelektual (merupakan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental) dan kemampuan fisik (kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan serupa). Oleh karena itu kemampuan dan keterampilan merupakan kompetensi yang bersifat perangkat keras (hard competence) yang dapat diamati dan dapat diciptakan dalam waktu yang singkat. Kompetensi merupakan dimensi kemampuan, keterampilan dan sikap yang dituntut bagi seseorang untuk dapat memenuhi tuntutan jabatan secara umum dapat dianggap sebagai persyaratan agar seseorang dapat melaksanakan pekerjaanya dengan profesional. Menurut Armstrong dan Murlis (1994), kompetensi merupakan atribut yang menyatakan karakter behavioral yang dapat ditunjukkan untuk membedakan para pelaku kinerja dalam suatu peranan tertentu di bawah berbagai hal seperti pencapaian, dukungan dan perhatian akan pesanan. Terdapat polarisasi dua kompetensi. Pandangan pertama, meletakkan perilaku sebagai fokus pemahaman terhadap kompetensi dengan bertumpu pada asumsi bahwa hanya perilaku yang diamati dalam latihan simulasi sebagai metode utama yang seharusnya menjadi sasaran pengukuran. Pandangan kedua, menaruh karakteristik fundamental individu sebagai titik berat dalam 42 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) konsep mereka mengenai kompetensi, dengan berpijak pada pandangan bahwa peilaku manusia hanyalah pucuk permukaan sebuah gunung es. Aspek terpenting dalam kompetensi justru asepk-aspek fundamental pada diri manusia yang menjadi penentu perilaku, antara lain motives, trait, self concept dan nilai-nilai pribadi. Beberapa ahli memiliki klasifikasi yang berbeda tentang kompetensi. Palan, (2003) membagi ada lima tipe karakteristik kompetensi, yaitu knowledge, skill, self-concept and values, traits, motives. Selanjutnya Palan (2003) juga membagi kompetensi dalam empat jenis, yaitu: (1) core competencies, yaitu kompetensi inti/umum yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam organisasi, biasanya diturunkan dari visi, misi, dan nilai-nilai organisasi; (2) role competencies, berhubungan dengan kompetensi yang akan diperankan sebagai manejerial seperti melakukan aktivitas manajerial (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan); (3) Behavioral competencies, kompetensi perilaku, berkaitan taks, personal atribut, relationship, service; dan (4) functional competencies, berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan jabatan pekerjaan yang spesifik. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kemampuan merupakan deskripsi dari kompetensi yang dimiliki yang di dalamnya terdapat pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu perbedaan kemampuan dan keterampilan menyebabkan perbedaan perilaku masing-masing pegawai. Oleh karena itu kemampuan dan keterampilan memegang 43 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) peran penting dalam perilaku individu dan kinerjanya. Formulai Keith Davis, menjelaskan bahwa kemampuan timbul dari fungsi pengetahuan dengan fungsi keterampilan. Sementara itu motivasi timbul dari adanya fungsi sikap dengan situasi. Sedangkan Prestasi manusia terjadi karena fungsi kemampuan dengan motivasi. Prestasi organisasi lahir karena adanya prestasi manusia dengan sumber daya organisasi. 2. Sikap Sikap merupakan pernyataan atau pertimbangan evaluatif baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai obyek, orang atau peristiwa (Robbins, 2003:90). Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Tiga Komponen utama sikap menurut S.J. Breckler (1984), yaitu: cognition, affect, dan behavior. Dalam organisasi, sikap ini penting karena mereka mempengaruhi perilaku. Seseorang dapat mempunyai ribuan sikap. Akan tetapi khusus yang berkaitan dengan perilaku, sikap berkaitan dengan pekerjaan. Dalam risetnya tentang sikap, P.P. Brooke (Robbins, 2003:91) menyatakan bahwa sikap selalu berhubungan dengan tiga hal utama, yaitu kepuasan kerja, keterlibatan kerja dan komitmen terhadap organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, ada tiga dimensi utama yang akan dijelaskan mengenai sikap kerja pegawai, yaitu: sikap terhadap kepuasan kerja, sikap terhadap keterlibatan kerja, dan sikap terhadap komitmen organisasi. a. Sikap terhadap kepuasan kerja Luthans (1992) 44 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi penting dari kepuasan kerja yaitu kepuasan merupakan respon emosional terhadap situasi kerja; kepuasan kerja sering ditentukan oleh perolehan yang sesuai dengan harapan yang telah ditargetkan; dan kepuasan kerja menggambarkan beberapa sikap yang berkaitan. Sejalan dengan hal tersebut, Smith, Kandall, and Hulin (Luthans, 1992) menyebutkan lima dimensi dari kepuasan kerja, yaitu kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri; kepuasan terhadap imbalan; kesempatan promosi untuk meningkatkan posisi pada struktur organisasi; kepuasan terhadap supervisi, yaitu kemampuan atasannya untuk memberikan bantuan teknis dalam memotivasi; dan kepuasan terhadap rekan sekerja, yaitu seberapa besar rekan sekerja memberikan bantuan teknis dan dorongan sosial. Dari uraian di atas dapat disarikan bahwa kepuasan kerja adalah kondisi perasaan yang menyenangkan atas suasana kerja yang meliputi kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan terhadap imbalan, kesempatan promosi untuk meningkatkan posisi pada struktur organisasi, kepuasan terhadap supervisi --yaitu kemampuan atasannya untuk memberikan bantuan teknis dalam memotivasi--, dan kepuasan terhadap rekan sekerja --yaitu seberapa besar rekan sekerja memberikan bantuan teknis dan dorongan sosial. b. Sikap terhadap keterlibatan kerja Keterlibatan kerja (job involvement) adalah sejauhmana seseorang memihak pada pekerjaanya, berpartispasi aktif 45 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) di dalamnya, dan menganggap kinerjanya penting bagi harga diri. Pegawai dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu. Beberapa riset menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan tingkat kemangkiran yang lebih rendah dan tingkat permohonan berhenti yang lebih rendah. c. Sikap terhadap komitmen organisasi Mowdy, Porter & Steers (Schultz & Schlutz, 1994) menyebutkan bahwa komitmen organisasi adalah sifat hubungan seorang individu dengan organisasi dengan memperlihatkan ciri- ciri sebagai berikut: (1) menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi, (2) mempunyai keinginan berbuat untuk organisasinya, (3) mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap bersama organisasinya. Oleh karena itu Griffin & Bateman menyebutkan bahwa komitmen organisasi. Adapun Mayer & Allen (Jong, Price & Mueller, 1997) menjelaskan ada 3 bentuk komitmen organisasi yang keseluruhannya mempunyai implikasi terhadap kelanjutan partisipasi individu dalam organisasi, yaitu: affective comitment, normative comitment, continuance comitment. (1) Affective commitment merupakan suatu kelekatan psikologis terhadap organisasi. Pegawai yang memiliki Affective mengidentifikasikan diri terlibat commitment mendalam, yang kuat dan akan menikmati keanggotannya dalam organisasi. Affective commitment dipengaruhi oleh karakteristik organisasi seperti desentralisasi dalam pengambilan 46 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) keputusan (Brooke, dkk, 1988). Affective comitment juga berkorelasi dengan kesesuaian harapan antara pegawai dengan imbalan yang diberikan organsiasi (keterlibatan kerja). (2) Normative commitmen menurut Mayer dan Allen (Irving, 1996) ditunjukkan dengan perasaan wajib untuk tetap bertahan dalam organisasi. Pegawai yang memiliki normative commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena merasa harus melakukan hal tersebut. Normative commitment dapat berkembang akibat investasi organisasi pada pegawainya, melalui pelatihan, menekankan pada subsidi nilai kuliah, loyalitas. sosialisasi (3) pengalaman Continuance yang commitment merupakan komitmen organisasi yang rasional. Komitmen ini berkaitan dengan dengan biaya jika ia keluar dari organisasi. Pegawai mempunyai continuance commitment tinggi akan bertahan dalam organisasi karena membutuhkannya. Stebbins (dalam Irving, 1996) menyatakan bahwa continuance commitment adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku yang lain karena adanya ancaman akan kerugian. Dengan demikian komitmen organisasi dapat disimpulkan sebagai hubungan antara pegawai dengan organisasi, yang diwujudkan melalui keinginan untuk mempertahankan diri keanggotannya organisasi, menerima nilai dan tujuan organisasi serta bersedia untuk berusaha tercapaianya tujuan dan keberlangsungan organisasi. keras demi PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) 3. Motivasi Setiap orang memiliki motivasi, yaitu dorongan dari dalam dirinya yang tercermin dalam perilakunya. Timbulnya dorongan itu disebabkan oleh adanya insentif (rangsangan) atau stimulus yang harus diraih untuk memenuhi kebutuhannya. Motivasi merupakan faktor determinan penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Perbedaan motivasi menyebabkan perbedaan perilaku. Motivasi merupakan faktor-faktor dasar yang turut menentukan kinerja seseorang. Oleh sebab itu dikatakan bahwa motivasi merupakan kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan dan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual (Robbin, 2003:208). Meskipun seseorang memiliki motivasi tinggi untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi jika kemampuannya kurang, maka kontribusi terhadap kinerja dan perilakunya akan lebih kecil, sehingga motivasi tidak dapat berdiri sendiri dalam mengelola dan meningkatkan kinerja seseorang dan organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, sejumlah ahli mengelompokkan teori motivasi berdasarkan kategori, yaitu motivasi berdasarkan kebutuhan; motivasi berdasarkan proses; teori penetapan sasaran; teori modifikasi perilaku; teori X dan Y dan, teori memotivasi melalui pekerjaan (Sigit, 2003:45; Robbins, 2003; Thoha, 2002). Teori hirarki kebutuhan dari Maslow menjelaskan ada 5 hirarki kebutuhan manusia. Maslow menghipotesiskan bahwa ada lima 47 48 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) kebutuhan di dalam diri manusia secara berjenjang yaitu psikologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Teori ini mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan yang pernah dipenuhi secara lengkap, suatu kebutuhan yang dipuaskan secara cukup banyak tidak lagi memotivasi. Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu sebagai tingkat tinggi dan tingkat rendah. Penyerdeharnaan teori hirarki kebutuhan Maslow, dilakukan oleh Frederick Herzberg, yang membagi kebutuhan manusia menjadi dua, yaitu faktor instrinsik dan faktor eksterinsik. Faktor intrinstik disebut juga faktor motivator, yaitu faktor kepuasan kerja yang berhubungan dengan prestasi, pengakuan, kerja, tanggung jawab, pertumbuhan. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari organisasi yang berfungsi memelihara kepuasan, seperti mislanya kebijakan, kondisi kerja, gaji, hubungan dengan rekan kerja, hubungan dengan bawahan, status dan keamanan. Menurut McClelland ada tiga kebutuhan manusia yang mendasar, yaitu kebutuhan berprestasi (achievement), kebutuhan kekuasaan (need power), kebutuhan afiliasi (affiliation). Penelitian yang dilakukan oleh McClelland menjelaskan bahwa peraih prestasi tinggi membedakan diri mereka dari orang lain. Mereka mencari situasi dimana mereka dapat menerima tanggung jawab pribadi untuik menemukan pemecahan masalah dengan baik, dan mereka dapat menerima umpan balik, dengan resiko yang sedang. Adapun kebutuhan 49 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) akan kekuasaan merupakan hasrat untuk mempunyai dampak, pengaruh, dan mengendalikan orang lain. Individu-individu dengan mempunyai power tinggi menikmati untuk dibebani, bergulat untuk dapat mempengaruhi orang lain, lebih menyukai ditempatkan di dalam situasi kompetitif dan berorintasi status dan cenderung lebih peduli akan prestise (gengsi) dalam memperoleh pengaruh terhadap orang lain daripada kinerja yang efektif. Sedangkan kebutuhan afiliasi, atau hasrat untuk disukai atau diterima baik oleh orang lain. 2.4. Pelayanan Publik Pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional. Esensi kepemerintahan yang baik dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur masyarakat setempat dan meningkatkan pelayanan publik. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping sebagai abdi negara. 50 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat. Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik (publik=umum). Senada dengan itu, Moenir (1992) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Pelayanan publik diartikan, pemberian layanan (malayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan (Kurniawan dalam Sinambela. LP, 2008). Selanjutnya menurut Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7.2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan pelayanan umum menurut Lambaga Administrasi Negara (1998) mengartikan pelayanan publik merupakan segala benuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintahan di pusat dan daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang dan 51 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Perundang-undangan. Dari beberapa pengertian pelayanan publik yang telah diuraikan, dala konteks pemerintahan daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan. Dalam modul pelayanan publik yang disusun oleh Depdagri dan LAN (2007) dijelaskan terdapat tiga unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu: 1. Organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu pemerintah daerah, 2. Penerima pelayanan (masyarakat) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, 3. Kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan (masyarakat). Unsur yang pertama menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan dan menjadi pemerintah daerah yang bersikap statis dalam memberika layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Unsur kedua, adalah masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan sehingga tidak memilikiakses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Unsur ketiga merupakan kepuasan masyarakat menerima layanan yang menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (pemerintah). Hal ini untuk menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi untuk memuaskan masyarakat, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah. Sementara itu kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam Widodo, 2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan diatas, birokrasi publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, 52 53 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaktif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kepastian individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Efendi dalam Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi merupakan pemberdayaan akan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri. Pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang bersifat sederhana, terbuka, tepat, lengkap wajardan terjangkau (Sedaryanti, 2004). Dalam keputusan Menpan No. 81 Tahun 1993 ditegaskan, bahwa penyelenggaraan layanan publik harus mengandung unsur-unsur : 1. Hak dan kewajiban bagi pemberi layanan maupun penerima layanan umum harus jelas dan diketahui secara pasti masing-masing. 2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umu harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tetap berpegang pada efisiensi dan efektivitas. 3. Mutu proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. 4. Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instasi pemerintah yang bersangkutan berkewajiaban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 54 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Dalam keputusan Menpan tersebut juga ditegaskan, bahwa pemberian layanan umum kepada masyarakat merupakan perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, sehingga penyelenggaraannya perlu ditingkatkan secara terus-menerus sesuai dengan sasaran pembangunan. Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis diatas, birokrasi publik dituntut harus dapat posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolabiratis dan dialogis dan dari cara-cara sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik dan pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dapat terwujud. Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayanan masyarakat (public services functions), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection functions). 55 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintahan kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintahan dalam pelayanan umum (public services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengn tujuan pendiriannya. Dengan demikian akan dilakukan penilaian tentang sama tidaknya antara harapan dan kenyataan didalam pengurusan sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan publik, apabila ditemukan ketidak samaan maka pemerintah diharapkan mampu mengoreksi keadaan agar lebih teliti dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Selanjutnya dipertanyakan apakah terhadap kehendak masyarakat, seperti ketentuan biaya yang tepat, waktu yang diperhitungkan dan mutu yang dituntut masyarakat telah dapat terpenuhi. Andaikata tidak terpenuhi, pemerintah diharapkan mengkoreksi keadaan, sedangkan apabila terpenuhi dilanjutkan pada pertanyaan berikutnya, tentang informasi yang diterima masyarakat berkenaan dengan situasi dan kondisi, serta aturan yang melengkapinya. 56 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Ketika berbicara tentang pelayanan publik jelas bahawa hal yang perlu di siapkan oleh aparat pemerintah adalah bagaimana tercipta pelayanan yang prima. Pelayanan prima merupakan suatu rangkaian kata yang mana terdiri atas dua kata, pelayanan dan prima. Pelayanan sendiri merupakan suatu usaha untuk membantu menyiapakan apa yang diperlukan atau dibutuhkan oleh orang lain, sedangkan prima merupakan suatu kata yang berarti terbaik, bermutu dan bermanfaat. Jadi kalau kedua kata tersebut dirangkai maka dapat mengandung arti yang merupakan pelayanan terbaik yang diberikan sesuai dengan standar mutu yang mana dapat memuaskan dan sesuai denagan apa yang diharapkan atau melebihi dengan apa yang di harapkan oleh konsumen dalam hal ini masyarakat sebagai pengguna jasa layanan. Dalam mengembangkan pelayanan prima, pemerintah harus mempunyai standar pelayanan publik. Standar pelayanan publik sendiri merupakan suatu tolok ukur yang dapat digunakan sebagairujukan mutu pelayanan yanga akan diberikan atau dijanajikan kepada pelanggang atau orang lain atau masyarakat. Hal tersebut dapat menaruh perhatian tentang bagaimana mekanisme pelayanan yang baik harus dilakukan dan merupakan yang terbaik diberikan kepada pelanggang-pelanggang. PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Salah satu juga yang harus diperhatikan dalam menjanagkan pelayanan prima adalah prinsip dalam pelaksanaan pelayanan prima yaitu, fokus pada pelanggang, pelayanan nurani, perbaikan yang berkelanjutan serta pemberdayaan pelanggang. Adapun standar pelayanan yang dimaksud adalah, sebagai berikut : Standar Pelayanan Prima ( SPP ) a) Tempat khusus pelayanan; 1. menyediakan loket dengan memilih tempat yang strategis (mudah dilihat pemohon) 2. Disediakan ruang tunggu yang bersih, aman dan nyaman 3. Disediakan formulir permohonan beserta contoh pengisiannya. 4. Disediakan flow chart/alur pengurusan 5. Ada daftar rincian biaya ddan waktu penyelesaian pengurusan 6. Disediakan nomor urut antrian 7. Ada toilet 8. Adanya kursi / tempat duduk yang cukup 9. Adanya tingkatan beberapa pelayanan dalam satu loket 10. Dilengkapi televisi b) Petugas Pelayanan; 1. Memiliki kompetensi dibidangnya 2. Akomodatif 3. Responsive 4. Komunikatif 5. beretika ( sopan, Ramah/murah senyum ) 6. Transparan, jujur, akuntabel 7. Berpenampilan menarik 57 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) 8. Adil/merata tidak membedakan siapa dia pemohon 9. Selalu berusaha meningkatkan kemudahan 10. Cekatan c) Kualitas produk pelayanan; 1. penerapan teknologi komputerisasi 2. produk sesuai yang dibutuhkan pemohon 3. ada jaminan hukum 4. biaya sesuai ketentuan 5. ketepatan waktu penyelesaian 6. informasi produk layanan online 7. akurat 8. sederhana 9. mudah 10. puas. Disamping itu semua, Untuk pelaksanan pelayanan publik yang prima telah ditetapkan prinsip-prinsip pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara : 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, sebagai berikut: a. Kesederhanaan Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan b. Kejelasan 1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; 2) Unit kerja / pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan / persoalan / sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik. 3) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran. 58 59 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) c. Kepastian Waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. d. Akurasi Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah. e. Keamanan Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. f. Tanggung jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. g. Kelengkapan sarana dan prasarana Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika). h. Kemudahan akses Temapt dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau olah masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan telematika i. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan Pemberian pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas. j. Kenyamanan. Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih rapi, lingkungan yang indah dan sehat lengkap dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah, dll. 2.5. Strategi Pelayanan Prima Pola Layanan Satu Atap Pelayanan publik dinyatakan prima bila pelayanan tersebut memuaskan pelanggan yaitu melibihi standar yang ditetapkan atau minimal sama dengan standar pelayanan yang merupakan ukuran. (Modul 60 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Pelayanan Prima Lembaga Pelayanan Terpadu Satu Atap disusun oleh Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri 2004) Selanjutnya secara sederhana strategi pelayanan prima pola pelayanan satu atap sering disebut sebagai layanan terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi daerah yang bersangkutan sesuai dengan kewenangan masing-masing, sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang baru, strategi ini telah berhasil diterapkan pada layanan pembayaran pajak kendaraan bermotor yang melibatkan beberapa instansi daerah , antara lain Dispenda, Kepolisian dan Jasa Raharja. Penerapan pelayanan satu atap pada dasarnya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas memalui peminimalan jarak geografis antar fungsi terkait. Dengan demikian dapat diperpendek waktu yang diperlukan untuk proses layanan, pengguna layanan juga menjadi lebih mudah untuk memperoleh layanan yang senantiasa harus dicermati dalam penerapan pola layanan satu atap adalah koordinasi antara beberapa instansi yang terkait. Keberhasilan penerapan layanan terpadu untuk pelayanan pajak kendaraan bermotor tersebut kemudian mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan layanan terpadu pada bidang layanan dokumen, seperti KTP, KK, dan perizinan yang mana dulunya dilakukan pada tempat yang terpisah kemudian disatu atapkan di satu tempat atau lokasi. 61 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Persoalanyang kemudian muncul adalah bagaimana mengintegrasikan berbagai bentuk layanan yang berbeda proses penanganannya. Evaluasi terhadap fungsi-fungsi pelayanan yang akan disatu atapkan pelu dilakukan. Barangkali yang paling mudah dilakukan dalam penyelenggaraan pelayanan satu atap bagi bidang-bidang yang berbeda, hanya sebatas lini pertama, yaitu tempat penerimaan berkas layanan, tindakan selanjutnya untuk penyelenggaraan tetap pada instansi masingmasing. Penempatan personal yang handal sangat menentukan efektifitas penyelenggaraan. Selain itu, untuk mempermudah masyarakat sebagai pengguna layanan maka desain layanan harus dikomunikasikan sejelasjelasnya. Fasilitas kerja dan sarana penunjang kelancaran pekerjaan layanan perlu disediakan pada tingkat yang memadai. Oleh sebab itu, analisis terhadap kebutuhan fasilitas kerja dan pendukung perlu dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber dana. Menurut Joe Fernandes (2002) ada dua hal yang penting untuk dicermati dalam kaitannya dengan layanan publik, yaitu pertama dimensi pemberi layanan dan yang kedua masyarakat pengguna layanan. Berdasarkan dimensi pemberi layanan perlu diperhatikan tingkat pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil, kesiapan petugas dan mekanisme kerja, harga terjangkau prosedur sederhana, dan waktu 62 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) penyelesaian yang dapat dipastikan. Sedangkan dari dimensi masyarakat pengguna layanan publikharus memiliki pemahaman dan reaktif terhadap penyimpangan yang muncul dala praktek layanan publik. Keterlibatan masyarakat terutama stakeholder representatif baik dalam mengawasi dan menyampaikan aspirasi atau keluhan terhadap praktek penyelenggaraan layanan publikmenjadi faktor penting sebagai umpan balik bagi perbaikan kualitas pelayanan publik yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pemberian layanan publik dengan pola layanan satu atap yang memenuhi standar minimal seperti yang telah dirapkan memang menjadi bagian yang perlu dicermati. Dewasa ini masih sering dirasakan, bahwa kualitas layanan minimun sekalipun belum memenuhi harapan sebagian besar masyarakat pengguna layanan. Dilain pihak yang lebih memprihatinkan lagi sebagian besar masyarakat pengguna layanan publik belum memahami secara pasti standar tentang standar pelayanan yang seharusnya diterima dan sesuai dengan prosedur layanan yang dibakukan. Belum meningkatnya kaualitas pelayanan publik di era otonomi daerah juga dikemukakan oleh Ratminto dan Winarsih (2005) yang didasarkan atas penelitian yang dilakukan di Propinsi Daerah Istimewah PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Yogyakarta dan Jawa Tengah, disimpulkan bahwa kesadaran akan otonomi masih belum secara optimal meningkatkan kualitas layanan publik karena otonomi daerah belum berhasil mewujudkan sistem administrasi yang diletakan atas dasar kesetaraan posisi tawar antara pemerintah sebagai penyedia layanan dan masyrakat sebagai pengguna layanan publik. Hasinya masih terdapatnya kecenderungan masyarakat sebagai pengguna layanan masih dalam posisi yang kurang diuntungkan dengan adanya otonomi daerah. 2.6. Konsep Kepuasan Masyarakat Dalam penyelenggaraan layanan, pihak penyedia dan pemberi layanan harus selalu berupaya untuk mengacu kepada tujuan utama palayanan adalah kepuasan masyarakat. Pemberi layanan tidak akan mengetahui apakah masyarakat yang dia layani puas atau tidak karena yang akan merasakan kepuasan dari suatu layanan adalah masyarakat yang menerima layanan. Tingkat kepuasan yang diperoleh masyarakat biasanya sangat berkaitan erat dengan standar kualias barang dan atau jasa yang mereka nikmati serta layanan lain yang berupa layanan pra-jual, saat transaksi, dan purna jual (Barata AT, 2003:15). Dalam Modul Pelayanan Prima Lembaga Pelayanan Terpadu Satu Atap yang disusun oleh Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri Tahun 2004, 63 64 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) dijelaskan bahwa pelanggan selain dalam bentuk orang pribadi juga berbentuk badan, baik dalam bentuk internal maupun eksternal yang memiliki keinginan-keinginan tertentu. Perlu dipahami disini ialah selain pada dirinya melekat sifat seperti raja dan tidak pernah salah, maka pelanggan dalam hal ini masyarakat juga memiliki keinginan atau kecenderungan sebagai berikut : a) Pelanggan memiliki keinginan untuk mendapatkan kebebasan dalam membuat keputusan menentukan pilihan sesuai dengan keinginannya, sesuai dengan peraturan yang berlaku. b) Keinginan pelanggan, apa yang diputuska dan ditentukan selalu mendapatkan manfaat sesuai dengan keinginannya. c) Keinginan pelanggan, apa yang diinginkan harus mendapatkan respon atau mendapatkan perhatian, karena pelanggan menginginkan perhatian perhatian atas harga diri. d) Pelanggan menginginkan diperlakukan oleh penyelenggara pelayanan umum, denga sikap yang meliputi : jujur, adanya kepedulian yang ikhlas, memperhatikan standar profesional yang tinggi dan inovatif. e) Pelanggan menginginkan disambut dengan ramah tamah penuh senyum, penuh kasih sayang (membagi rasa hangat dengan pelanggan). 65 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) f) Keinginan pelanggan untuk diberi tahu tentang kejadian sebelumnya, sehingga mereka merasa diakrabi dalam hubungan dengan pelanggan. g) Pelanggan menginginkan adanya rasa aman dan dilindungi haknya, dalam arti terhindar dari keputusan yang salah sehingga diperlukan adanya kepastian dalam penetapan harga. h) Pelanggan berkeinginan untuk dianggap sebagai orang penting. Dalam hubungan dengan pelanggan tersebut, dikatakan terjadi pelayanan kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction) manakali pemenuhan kebutuhan atau keinginan pelanggan. Tetapi antara upaya pemunuhan kebutuhan (pelayanan) dengan keinginan pelanggan tidak lepas dari organisasi yang efektif. Artinya, tanpa dukungan dengan sistem organisasi yang efektif, tidak mungkin terjadi pelayanan yang memuaskan kepada pelanggan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kepuasan pelanggan adalah efektivitas dari sistem organisasi yang mampu membantu pelanggan memenuhi kebutuhan secara optimal. Selain pendapat diatas yang menjelaskan mengenai pengertia kepuasan pelanggan, adapula beberapa pengertian kepuasan pelanggan yang diberikan oleh pakar, yaitu: 66 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) 1. Kepuasan masyarakat merupakan respon masyarakat terhadap evaluasi ketidaksesuain yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian. (Tse dan Wilton; 1996) 2. Kepuasan masyarakat merupakan suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi produk atau jasa. (Willkie;1990) 3. Kepuasan masyarakat adalah evaluasi purnabel dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapa masyarakat, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil (outcome) tidak memenuhi harapan. (Engel, et;1990) 4. Kepuasan masyarakat adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja yang ia rasakan dibandingkan dengan harapan. (Kotler;1994) Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan masyarakat adalah hasil pendapat dan penilaian masyarakat terhadap kinerja pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Untuk mewujudkan dan mempertahankan kepauasan masyarakat, suatu lembaga atau badan penyelenggara layanan umum harus melakukan beberapa hal, diantaranya yaitu: mengidentifikasi masyarakat PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) yang merupakan pelanggannya, memahami masyarakat atas kualitas yang diberikan, memahami kualitas pelayanan terhadap masyarakat, dan memahami siklus pengukuran dan umpan balik dari kepuasan masyarakat. Karena proses pelayanan dan kepuasan masyarakat dijadika sebagai salah satu ukuran dalam mengukur keprofesionalan aparat pemerintahan dalam pelayanan publik, sehingga perlu diketahui apakah masyarakat puas atau belum terhadap perilaku pelayanan publik. Hal inilah yang menjadi masalah, sehingga dalam penelitian nantinya perlu dilaksanakan observasi langsung terhadap tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang mereka terima. 2.7. Konsep Etika Pelayanan Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik itu sendiri. 67 68 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Etika. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dengan memperhatikan beberapa sumber diatas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. Pendapat seperti ini mirip dengan pendapat yang ditulis dalam The Encyclopedia of Philosophy 69 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) yang menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2) moral code atau rules of conduct; dan (3) penelitian tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihat Denhardt, 1988: 28). Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang pembedaan atas konsep etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap bathin. Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik 70 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik. Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (lihat J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemenelemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab. Karya Denhardt yang berjudul The Ethics of Public PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Service (1988) merupakan contoh dari pandangan ini, dimana pelayanan publik benar-benar identik dengan administrasi publik. Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik (lihat Denhardt, 1988). Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang dimaksudkan dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi publik dan atau pemberian pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku (rules of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan. 2.8. Pengertian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Mendirikan bangunan merupakan pekerjaan mengadakan bangunan baik sebagian maupun seluruhnya termasuk pekerjaan menggali dan menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan. Dari hal itulah, maka seseorang atau perusahaan yang berbadang hukum yang bermaksud mendirikan bangunan atau 71 72 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) mengubah dan sebagainya wajib mempunyai izin yang selanjutnya dikatakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Dalam Perda Kota Makassar No. 15 Tahun 2004 tentang Tata Bangunan, disebutkan bahwa Izin Mendirkan Bangunan yang selanjutnya disingkat IMB merupakan izin yang dikeluarkan untuk mendirikan bangunan dan dikeluarkan oleh walikota atau pejabat yang ditunjuk dalam wilayah kota makassar. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI Nomor 24/PRT/M/2007 tentang pedoman teknis izin mendirikan bangunan gedung (IMB) menyatakan bahwa Izin mendirikan bangunan adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah daerah, dan oleh pemerintah atau pemerintah provinsi untuk bangunan fungsi khusus, kepada pemilik bangunan untuk kegiatan yang meliputi : i. Pemabangunan bangunan gedung baru, dan/atau prasarana bangunan gedung; ii. Rehabilitasi/renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan gedung, meliputi perbaikan/perawatan, perubahan, perluasan atau pengurangan; dan iii. Pelestarian/pemugaran. 73 PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK (STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR) Dalam proses penerbitan Izin Mendirikan Bangunan, pemerintah daerah, pemerintah dan pemerintah provinsi untuk bangunan fungsi khusus, melaksanakan dengan prinsip pelayanan prima, serta mengendalikan penerapan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang ditetapkan dengan rencana teknis. Berikut ini merupakan bagan prinsi layanan izin mendirikan bangunan gedung menurut 24/PRT/M/2007 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI Nomor tentang pedoman teknis izin mendirikan bangunan gedung (IMB) : Gambar 2: BAGAN PRINSIP LAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN GEDUNG Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki IMB Diberiakn oleh Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, melaui permohonan IMB PEMDA Wajib memberikan keterangan rencana kabupaten/kota kepada setiap orang atau badan usaha yang akan mengajukan permohonan IMB Dalam keterangan rencana kabupaten/kota dapat juga dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan Keterangan rencana kabupaten/kota digunakan penyusunan rencana teknis bangunan gedung sebagai dasar