View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
26
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan
pustaka
merupakan
panduan
penulisan
dalam
aspek
konseptual – teoritis. Pada bagian ini akan dipaparkan berbagai konsep teori
yang dijadikan sebagai alat analisis terhadap masalah yang diangkat dalam
skripsi ini.
2.1. Pengertian Perilaku
Perilaku manusia merupakan kajian multi disiplin ilmu pengetahuan.
Hal ini karena perilaku itu sendiri merupakan reflesi dari berbagai macam
segi, baik fisik maupun non fisik.
Diantara cabang-cabang ilmu
pengetahuan yang cukup besar sumbangsinya dalam penegmbangan
perilaku seperti yang dikemukakan Robin (1986), yaitu:
a. Psikologi adalah ilmu yang berkenaan dengan usaha untuk
mengukur, menjelaskan, dan kadang-kadang mengubah perilaku dari
aspek kejiwaan.
b. Sosiologi yaitu ilmu yang mempelajari sistem sosial dimana individu
memainkan perannya. Artinya sosiologi itu mempelajari manusia
dalam hubungannya dengan manusia lain (aspek masyarakat).
c. Psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku antara
peribadi (aspek sosial).
27
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
d. Antropologi
yaitu
ilmu
yang
mempelajari
masyarakat
untuk
mengetahui seluk beluk manusia dan aktivitasnya (aspek budaya).
e. Ilmu politik merupakan ilmu yang mempelajari perilaku individu dalam
kelompok dalam suatu lingkungan politik atau pemerintahan (aspek
pengaturan)
Kelima disiplin ilmu itulah yang menjadi konsep dasar tentang
perilaku termasuk berbagai faktor yang mempengaruhi dan bentuk
tindakan nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Berdasarakan uraian tersebut diatas, dengan tetap mengacu pada
cabang-cabang ilmu tersebut yang mengkaji serta relavansinya dengan
bahasa dalam penelitian yang aka dilakukan ini, yaitu perilaku birokrasi,
maka berikut akan diuraikan pengertian perilaku. Kata tingkah laku atau
perbuatan mempunyai pengertian yang sangat luas, yaitu tidak hanya
menyangkut kegiatan motoris saja seperti berbicara, berjalan, bergarak,
dan lain-lain melainkan juga membahas macam-macam membahas fungsi
seperti melihat, mendengar, mengingat, berfikir. Semuanya itu merupakan
bentuk aktivitas yang tergolong aktivitas spikis atau jiwani. Setiap
penampilan dari kehidupan manusia bisa disebut aktivitas perilaku.
Sistem nilai budaya merupakan suatu rangkaian dari konsepsikonsepsi yang hidup dalam pikiran sebagaian besar masyarakat,
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
berkenaan dengan apa yang dia anggap penting dan berharga, dan
sebaliknya apa yang dia anggap kurang penting dan kurang berharga
dalam hidupnya. Dalam nilai sistem
budaya ini, terhadap pola-pola
perilaku atau tata kelakuan yang sekaligus merupakan pengatur dan
pengendali.
Lahirnya pola-pola kelakuan sebagaimana telah diuraikan diatas
membuktikan bahwa kebudayaan masyarakat tersusun dari kebiasaan
tingkah laku masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan merupakan
tingkah laku yang berpola. Hal tersebut diperkuat dengan ungkapan Talkot
Parson, bahwa “manusia adalah mahluk yang aktif, kreatif dan evaluatif
dalam memilih berbagai alternatif tindakan dalam usaha mencapai
tujuannya.
Perilaku sangat penting dalam kehidupan masyarakat agar dapat
mecapai dari pada tujuan hidupnya. Perilaku itu sendiri adalah sesuatu
yang sangat kampleks dan merupakan resultance dari berbagai macam
aspek internal maupun eksternal, psikologis maupun fisik. Perilaku itu tidak
berdiri sendiri, malinkan selalu berkaitan dengan faktor-faktor yang lainnya.
Perilaku itu sendiri merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan
merupakan resultance dari berbagai macam aspek internal maupun
eksternal. Perilaku itu tidak akan berdiri sendiri namun dipengaruhi oleh
28
29
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
faktor-faktor yang lain. Sebagaimana yang dikemukakan Gibson dalam
teori perilakunya, bahwa pada intinya faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku
dibedakan
menjadi
tiga,
yaitu
fisiologis,
psikologis,
dan
lingkungan.
Dalam sebuah buku yang berjudul “Perilaku Manusia” Drs. Leonard
F. Polhaupessy, Psi. menguraikan perilaku adalah sebuah gerakan yang
dapat diamati dari luar, seperti orang berjalan, naik sepeda, dan
mengendarai motor atau mobil. Untuk aktifitas ini mereka harus berbuat
sesuatu, misalnya kaki yang satu harus diletakkan pada kaki yang lain.
Jelas, ini sebuah bentuk perilaku. Cerita ini dari satu segi. Jika seseoang
duduk diam dengan sebuah buku ditangannya, ia dikatakan sedang
berperilaku. Ia sedang membaca. Sekalipun pengamatan dari luar sangat
minimal, sebenarnya perilaku ada dibalik tirai tubuh, didalam tubuh
manusia.
Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka
teori skiner disebut teori “S – O - R”atau Stimulus – Organisme – Respon.
Skiner membedakan adanya dua proses.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
1. Respondent respon atau reflexsive, yakni respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini
disebutelecting stimulation karena menimbulkan respon – respon yang
relative tetap.
2. Operant respon atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
Pernagsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena
memperkuat respon.
2.2. Pengertian Birokrasi
Birokrasi di maksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu
pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe
dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas
administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis
(teratur) pekerjaan dari banyak orang. Dalam suatu rumusan lain
dikemukakan bahwa birokrasi adalah “Tipe organisasi yang di pergunakan
pemerintahan modern untuk pelaksanaan tugas-tugasnya yang bersifat
spesiali-sasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh
aparatur pemerintah”.
Menurut Blau dan Meyer (1987:4), birokrasi dijadikan birokrasi justru
untuk melaksanakan prinsip instrumen prinsip organsasi yang ditujukan
30
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
untuk meningkatkan efisiensi administratif, biarpun kadangkala dalam
pelaksanaannya birokratisasi akibatnya seringkali malahan kurang adanya
efisiensi. Malahan birokrasi ini terdapat pada semua organisasi besar,
tidak saja pada bidang militer atau pemerintah sipil, tetapi juga pada
swasta dan lain-lain.
Weber banyak sekali menulis tentang kedudukan pejabat dalam
masyarakat modern. Sebagai organisasi Modern yang konsep dasarnya
dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) dalam Peter M. Blau &
Marshall W. Meyer (1987:25), Ambar Sulistiyani (2004:3), Martin Albrow
(1989:41) birokrasi adalah bentuk organisasi kekuasaan yang sepenuhnya
diserahkan kepada para pejabat resmi atau aparat pemerintah yang
memiliki syarat technical skill yaitu berkemampuan secara teknis
melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya di dalam sistem
administrasi pemerintahan.
Baginya ia merupakan sebuah tipe peranan sosial yang amat
penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah Pertama; bahwa
seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan; kedua, bahwa
fasilitas dan sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas itu diberikan
oleh orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu. Pejabat memiliki ciri
yang membedakannya dengan pekerja yaitu ia memiliki otoritas. Weber
31
32
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
menolak untuk menyebut birokrasi bagi pejabat yang dipilih atau
seseorang yang diseleksi oleh sekumpulan orang. Ciri pokok pejabat
birokratis, bahwa ia adalah orang yang diangkat. Dengan menyatakan ini,
Weber telah hampir sampai pada definisi umumnya yang dikenakan
terhadap birokrasi. Ia menulis “tidak ada pelaksanaan otoritas yang benarbenar birokratis, semata-mata melalui pejabat yang dibayar dan diangkat
secara kontrak.
Menurut Blau (1987:126) dan Albrow (1989:31), barangkali baik
karena latar belakang teknis maupun generalitasnya, konsep birokrasi
Weber dapat dirangkum ke dalam jenis birokrasi yang dimaksudkan ialah
suatu
badan
administratif
tentang
pejabat
yang
diangkat.
Patut
diperhatikan betapa dekat rumusan dengan konsep-konsep Michels dan
Mosca. Seperti halnya mereka, Weber juga memandang birokrasi sebagai
hubungan kolektif bagi golongan pejabat, suatu kelompok tertentu dan
berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat dalam semua
jenis organisasi. Tetapi adalah juga benar, Weber menekankan pada ciriciri
organisasional
tertentu,
khususnya
menurut
prosedur
pengangkatannya, yang berarti bahwa dalam konsep umum birokrasinya
bukan hanya gagasan tentang kelompok, tetapi juga gagasan bentukbentuk tindakan yang berbeda. Hal ini sarkan aturan yang menjadikan
konsep Weber lebih penting dan tipe birokrasi yang paling rasional.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Weber memandang birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam
rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh
proses sosial. Diantaranya, proses ini mencakup ketetapan dan kejelasan
yang dikembangkan dalam prinsip-prinsip memimpin organisasi sosial.
Dengan sendirinya hal ini memudahkan dan mendorong konseptualisasi
ilmu sosial, dan bantuan konseptual teori Weber tentang birokrasi adalah
terletak pada penjelasan ketika ia mendiskusikan tipe rasional yang murni.
Sesuai dengan teorinya bahwa keyakinan dalam legitimasi adalah dasar
bagi hampir semua sistem otoritas, ia memulai dengan mengemukakan
lima keyakinan berkaitan adanya otoritas yang sah bergantung. Bentuk
ringkasnya adalah sebagai berikut:
Bahwa dengan ditegakkannya peraturan (code) yang sah maka suatu
organisasi dapat menuntut kepatuhan dari para anggotanya.
1. Bahwa hukum merupakan suatu sistem aturan-aturan abstrak yang
diterapkan pada kasus-kasus tertentu, sedangkan administrasi,
mengurus kepentingan kepentingan organisasi yang ada dalam
batas-batas hukum.
2. Bahwa manusia yang menjalankan otoritas juga memasuki tatanan
impersonal tersebut.
3. Bahwa hanya anggota yang taat yang benar-benar mematuhi hukum.
33
34
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
4. Bahwa kepatuhan itu seharusnya tidak kepada person yang
memegang otoritas melainkan kepada tatanan impersonal yang
menjaminnya untuk menduduki jabatan itu.
Berdasarkan konsepsi legitimitasi ini Weber (Albrow, 1989:32-33)
dapat merumuskan delapan proposisi tentang penyusunan sistem otoritas
legal sebagai berikut:
1. Tugas-tugas
pejabat
diorganisir
berdasarkan
aturan
yang
berkesinambungan.
2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang dibedakan
menurut fungsi, masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan
sanksi-sanksi.
3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, hak-hak kontrol dan
komplain diantara mereka terperinci.
4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara
teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut manusia
terlatih diperlukan.
5. Sumber-sumber daya organisasi sangat berbeda dengan yang
berasal dari para anggota sebagai individu pribadi.
6. Pemegang jabatan tidak sesuai dengan jabatannya.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini
cenderung menjadikan kantor (Biro) sebagai pusat organisasi
modern.
8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi
dilihat pada bentuk artinya ialah didalam sebuah staf administrasi
birokratik.
2.3. Konsep Perilaku Birokrasi
Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik ikut ditentukan oleh
perilaku aparatnya dalam mengemban misi sebagai pelayan masyarakat,
namun dalam kenyataannya pelaksanaan pelayanan publik belum optimal
karena tidak tersedianya aparat pelayanan yang profesional, berdedikasi,
akuntabel dan responsif serta loyal terhadap tugas dan kewajibannya
sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Perilaku birokrasi baik yang
membangun citra pelayanan publik berkualitas prima maupun yang
berperilaku sebaliknya, tampaknya tidak terlepas dari keterkaitannya
dengan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh setiap individu birokrat.
Perilaku birokrasi timbul sebagai akibat interaksi antara karakteristik
individu dengan karakteristik birokrasi. Karakteristik individual mencakup
persepsi, pengambilan keputusan pribadi, pembelajaran dan motivasi
(Robbins, 2003:31). Menurut Thoha (2002) bahwa karakteristik individual
35
36
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
meliputi
kemampuan,
kebutuhan,
kepercayaan,
pengalaman,
dan
pengharapan. Perbedaan karakteristik individu tersebut menyebabkan
perbedaan perilaku mereka. Setiap individu mempunyai karakteristik yang
berbeda.
Mereka
mempunyai
nilai,
kepercayaan,
motivasi,
dan
kemampuan yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan
perilaku mereka. Namun demikian ikatan utama yang menyatukan perilaku
mereka adalah tujuan organisasi. Hal ini penting mengingat perilaku
mengarah kepada tujuan organisasi. Organisasi birokrasi sebagai wadah
untuk
mencapai
mempunyai
tujuan
pelayanan
karakteristik
adanya
dan
perlindungan
hirarki,
tugas,
masyarakat
wewenang,
tanggungjawab, sistem reward, dan sistem kontrol (Thoha, 2002). Menurut
Lubis & Martani (1987), dan Robbins (2003), karakteristik birokrasi
mencakup speselisasi, departementalisasi, rantai komando, rentang
kendali,
sentralisasi
dan
desentralisasi
dan
formalisasi.
Dengan
karakteristik yang dimilikinya, birokrasi dapat mengelola fungsi-fungsi
organisasi dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu menurut Gibson
(1989),
struktur
organisasi
mempengaruhi
perilaku
manusia
yang
mengendalikan organisasi. Adapun Robbins (2003) menjelaskan bahwa
perilaku mengarah kepada pencapaian tujuan dalam organisasi. Salah
satu fungsi birokrasi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan
pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen
37
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif,
berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu
melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik, maka organisasi birokrasi
harus profesional, tanggap, dan aspiratif terhadap berbagai tuntutan dan
kebutuhan akan pelayanan kepada masyarakat. Seiring dengan hal
tersebut, pembinaan aparatur negara (aparatur birokrasi) harus dilakukan
secara terus-menerus agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif,
bersih dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas umum
pemerintahan,
menggerakkan
penyelenggaraan
pelayanan
pembangunan
umum
secara
(masyarakat)
lancar
dengan
dan
dilandasi
semangat dan sikap pengabdian kepada masyarakat.
Kajian
lain
menjelaskan,
kepuasan
kerja,
desain
pekerjaan
berpengaruh terhadap kinerja pegawai yang rendah sehingga membentuk
perilaku birokrasi tradisional (Parhusip, 2006). Berdasarkan hal tersebut,
ada beberapa alasan mengapa penelitian ini penting; (1) kinerja birokrasi
dalam pengelolaan sektor publik belum optimal, dimana kritik dan komplain
masyarakat terhadap birokrasi masih cukup signifikan pada pemerintah (2)
Peran birokrasi masih menonjol dan dominan dalam pengelolaan sektor
publik. Oleh karena itu, ekspektasi masyarakat terhadap kinerja birokrasi
cukup tinggi; (3) Salah satu aspek yang sangat menentukan kinerja
birokrasi adalah aspek perilaku yang mempengaruhi baik dan buruknya
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
penampilan birokrasi. Saat ini perilaku birokrasi lebih dikesankan sebagai
perilaku yang menyimpang dari tugas dan fungsi birokrasi sebagai
perumusan kebijakan, pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat.
Maka ketika berbicara masalah pola perilaku birokrasi Davis (1985), yaitu
perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial.
Perilaku otokratik dan perilaku kustodial termasuk kategori perilaku yang
tradisional dimana setiap birokrat hanya berorientasi kekuasaan, otoritas,
dan kewenangan, pemenuhan kebutuhan pokok serta mengeksplorasi
sumber daya ekonomi organisasi untuk diri dan kelompoknya. Perilaku
suportif dan kolegial termasuk kategori perilaku birokrasi modern dimana
setiap individu memberi dukungan yang tinggi terhadap pencapaian tujuan
dan sasaran organisasi, serta organisasi memberi penghargaan yang
tinggi pula terhadap kinerja birokrat.
Karakteristik Birokrat Manusia yang terlibat dalam suatu organisasi
merupakan individu-individu yang memiliki karakteristik khas yang melekat
dalam dirinya. Siagian (1997) memandang bahwa karakteristik khas yang
dibawa manusia dalam organisasi inilah yang akan membentuk perilaku
administrasinya. Perilaku individu yang tercermin dalam tabiat dan sifat
merupakan pencerminan dari kepribadian individu. Dalam hal ini,
setidaknya terdapat 4 (empat) faktor pembentuk perilaku seseorang, yaitu:
(a) faktor genetik, (b) faktor pendidikan, (c) faktor lingkungan, dan (d)
38
39
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
faktor pengalaman. Dengan hanya mempertimbangkan faktor dalam diri
manusia, Supriatna (2000), mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat)
faktor yang membentuk tingkah laku seseorang yaitu: (a) pengamatan
(persepsi), (b) sikap, (c) nilai, dan (d) motivasi. Faktor-faktor tersebut dapat
membentuk efektifitas seseorang atau karyanya. Selanjutnya, efektifitas
(karya), kepuasan kerja dan motivasi dipengaruhi rancangan kerja (job
design) yang meliputi struktur kerja, tugas dan kewajiban. Sejalan dengan
pendapat
Supriatna
di
atas,
Bryant
dan
White
(1989)
selain
mengidentifikasi faktor dari dalam diri individu juga mengungkapkan faktor
lingkungan organisasi dalam model sosial-psikologis. Bryant dan White
(1989), mengatakan bahwa setidaknya terdapat 8 (delapan) determinan
utama penyebab perilaku manusia, yaitu: (a) nilai-nilai, (b) emosi, (c)
sikap-sikap, (d) struktur sosial, (e) peran dalam organisas, (f) teknologi, (g)
peristiwa atau kejadian tertentu, dan (h) lingkungan baik berupa
lingkungan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Sedangkan dalam
model rasional, motivasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi
individu dalam berperilaku dalam organisasi.
Studi sistematis yang dilakukan oleh (Robbins:2003:31) menunjukkan
bahwa ada enam variabel tingkat individual yang mempengaruhi perilaku
individu, yaitu 1) karakteristik biologis (seperti usia, jenis kelamin, status
perkawinan dan masa kerja), 2) kemampuan, 3) pembelajaran, 4)
40
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
persepsi, 5) pengambilan keputusan pribadi, dan 6) motivasi. Pandangan
yang senada juga dikemukakan oleh Kretner dan Kinicki (2005) dimana
perilaku individu dipengaruhi oleh kepribadian, sikap, kemampuan,
motivasi dan persepsi. Masih sejalan dengan itu, Thoha (2002)
menambahkan aspek kepercayaan, pengalaman dan pengharapan.
Karakteristik individual ini saling memberi konstribusi terhadap timbulnya
perilaku seseorang. Perbedaan perilaku disebabkan perbedaan masingmasing faktor yang ada pada diri seseorang. Berdasarkan uraian tentang
karakteristikl
yang
mempengaruhi
perilaku
individu,
maka
dapat
digarisbawahi bahwa faktor pembentuk utama perilaku individu adalah
sikap, kemampuan dan motivasi. Tiga faktor ini menjadi kunci terhadap
terbentuknya perilaku individu dalam organisasi. Beberapa konsep perilaku
individu seperti yang didiskusikan di atas memasukkan faktor kemampuan,
sikap, dan motivasi seperti yang dikemukakan oleh Thoha (2002), Robbins
(2003), Kreitner dan Kinicki (2005) serta Bryant dan White (1989).
1. Kemampuan
Kemampuan (ability) merupakan sebuah sifat yang melekat pada
manusia yang memungkinkan seseorang melaksanakan sesuatu
tindakan atau pekerjaan mental dan fisik. Robbins (2003) menyatakan
bahwa
kemampuan
terkait
dengan
kapasitas
individu
untuk
mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Adapun Palan
41
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
(2003) menyebutkan bahwa kemampuan merupakan salah satu bagian
dari
kompetensi.
Dimensi
kemampuan
berhubungan
dengan
kemampuan intelektual (merupakan kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan mental) dan kemampuan fisik (kemampuan yang
diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina,
kecekatan, kekuatan, dan keterampilan serupa). Oleh karena itu
kemampuan dan keterampilan merupakan kompetensi yang bersifat
perangkat keras (hard competence) yang dapat diamati dan dapat
diciptakan dalam waktu yang singkat. Kompetensi merupakan dimensi
kemampuan, keterampilan dan sikap yang dituntut bagi seseorang
untuk dapat memenuhi tuntutan jabatan secara umum dapat dianggap
sebagai persyaratan agar seseorang dapat melaksanakan pekerjaanya
dengan profesional. Menurut Armstrong dan Murlis (1994), kompetensi
merupakan atribut yang menyatakan karakter behavioral yang dapat
ditunjukkan untuk membedakan para pelaku kinerja dalam suatu
peranan tertentu di bawah berbagai hal seperti pencapaian, dukungan
dan perhatian akan pesanan. Terdapat polarisasi dua kompetensi.
Pandangan pertama, meletakkan perilaku sebagai fokus pemahaman
terhadap kompetensi dengan bertumpu pada asumsi bahwa hanya
perilaku yang diamati dalam latihan simulasi sebagai metode utama
yang seharusnya menjadi sasaran pengukuran. Pandangan kedua,
menaruh karakteristik fundamental individu sebagai titik berat dalam
42
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
konsep
mereka
mengenai
kompetensi,
dengan
berpijak
pada
pandangan bahwa peilaku manusia hanyalah pucuk permukaan sebuah
gunung es. Aspek terpenting dalam kompetensi justru asepk-aspek
fundamental pada diri manusia yang menjadi penentu perilaku, antara
lain motives, trait, self concept dan nilai-nilai pribadi. Beberapa ahli
memiliki klasifikasi yang berbeda tentang kompetensi. Palan, (2003)
membagi ada lima tipe karakteristik kompetensi, yaitu knowledge, skill,
self-concept and values, traits, motives. Selanjutnya Palan (2003) juga
membagi kompetensi dalam empat jenis, yaitu: (1) core competencies,
yaitu kompetensi inti/umum yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam
organisasi, biasanya diturunkan dari visi, misi, dan nilai-nilai organisasi;
(2) role competencies, berhubungan dengan kompetensi yang akan
diperankan sebagai manejerial seperti melakukan aktivitas manajerial
(perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan); (3)
Behavioral competencies, kompetensi perilaku, berkaitan taks, personal
atribut, relationship, service; dan (4) functional competencies, berkaitan
dengan pengetahuan dan keterampilan jabatan pekerjaan yang spesifik.
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kemampuan merupakan deskripsi
dari kompetensi yang dimiliki yang di dalamnya terdapat pengetahuan
dan keterampilan. Oleh karena itu perbedaan kemampuan dan
keterampilan
menyebabkan
perbedaan
perilaku
masing-masing
pegawai. Oleh karena itu kemampuan dan keterampilan memegang
43
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
peran penting dalam perilaku individu dan kinerjanya. Formulai Keith
Davis, menjelaskan bahwa kemampuan timbul dari fungsi pengetahuan
dengan fungsi keterampilan. Sementara itu motivasi timbul dari adanya
fungsi sikap dengan situasi. Sedangkan Prestasi manusia terjadi karena
fungsi kemampuan dengan motivasi. Prestasi organisasi lahir karena
adanya prestasi manusia dengan sumber daya organisasi.
2. Sikap
Sikap merupakan pernyataan atau pertimbangan evaluatif baik yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai obyek, orang
atau peristiwa (Robbins, 2003:90). Sikap mencerminkan bagaimana
seseorang merasakan sesuatu. Tiga Komponen utama sikap menurut
S.J. Breckler (1984), yaitu: cognition, affect, dan behavior. Dalam
organisasi, sikap ini penting karena mereka mempengaruhi perilaku.
Seseorang dapat mempunyai ribuan sikap. Akan tetapi khusus yang
berkaitan dengan perilaku, sikap berkaitan dengan pekerjaan. Dalam
risetnya tentang sikap, P.P. Brooke (Robbins, 2003:91) menyatakan
bahwa sikap selalu berhubungan dengan tiga hal utama, yaitu kepuasan
kerja,
keterlibatan
kerja
dan
komitmen
terhadap
organisasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, ada tiga dimensi utama yang akan
dijelaskan mengenai sikap kerja pegawai, yaitu: sikap terhadap
kepuasan kerja, sikap terhadap keterlibatan kerja, dan sikap terhadap
komitmen organisasi. a. Sikap terhadap kepuasan kerja Luthans (1992)
44
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
mengemukakan bahwa ada tiga dimensi penting dari kepuasan kerja
yaitu kepuasan merupakan respon emosional terhadap situasi kerja;
kepuasan kerja sering ditentukan oleh perolehan yang sesuai dengan
harapan yang telah ditargetkan; dan kepuasan kerja menggambarkan
beberapa sikap yang berkaitan. Sejalan dengan hal tersebut, Smith,
Kandall, and Hulin (Luthans, 1992) menyebutkan lima dimensi dari
kepuasan kerja, yaitu kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri;
kepuasan terhadap imbalan; kesempatan promosi untuk meningkatkan
posisi pada struktur organisasi; kepuasan terhadap supervisi, yaitu
kemampuan atasannya untuk memberikan bantuan teknis dalam
memotivasi; dan kepuasan terhadap rekan sekerja, yaitu seberapa
besar rekan sekerja memberikan bantuan teknis dan dorongan sosial.
Dari uraian di atas dapat disarikan bahwa kepuasan kerja adalah
kondisi perasaan yang menyenangkan atas suasana kerja yang meliputi
kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan terhadap imbalan,
kesempatan
promosi
untuk
meningkatkan
posisi
pada
struktur
organisasi, kepuasan terhadap supervisi --yaitu kemampuan atasannya
untuk memberikan bantuan teknis dalam memotivasi--, dan kepuasan
terhadap
rekan
sekerja
--yaitu
seberapa
besar
rekan
sekerja
memberikan bantuan teknis dan dorongan sosial. b. Sikap terhadap
keterlibatan
kerja
Keterlibatan
kerja
(job
involvement)
adalah
sejauhmana seseorang memihak pada pekerjaanya, berpartispasi aktif
45
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
di dalamnya, dan menganggap kinerjanya penting bagi harga diri.
Pegawai dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat
memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli
dengan jenis kerja itu. Beberapa riset menunjukkan bahwa tingkat
keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan tingkat kemangkiran
yang lebih rendah dan tingkat permohonan berhenti yang lebih rendah.
c. Sikap terhadap komitmen organisasi Mowdy, Porter & Steers (Schultz
& Schlutz, 1994) menyebutkan bahwa komitmen organisasi adalah sifat
hubungan seorang individu dengan organisasi dengan memperlihatkan
ciri- ciri sebagai berikut: (1) menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi,
(2) mempunyai keinginan berbuat untuk organisasinya, (3) mempunyai
keinginan yang kuat untuk tetap bersama organisasinya. Oleh karena itu
Griffin & Bateman menyebutkan bahwa komitmen organisasi. Adapun
Mayer & Allen (Jong, Price & Mueller, 1997) menjelaskan ada 3 bentuk
komitmen
organisasi yang
keseluruhannya
mempunyai implikasi
terhadap kelanjutan partisipasi individu dalam organisasi, yaitu: affective
comitment, normative comitment, continuance comitment. (1) Affective
commitment merupakan suatu kelekatan psikologis terhadap organisasi.
Pegawai yang memiliki Affective
mengidentifikasikan
diri
terlibat
commitment
mendalam,
yang kuat
dan
akan
menikmati
keanggotannya dalam organisasi. Affective commitment dipengaruhi
oleh karakteristik organisasi seperti desentralisasi dalam pengambilan
46
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
keputusan (Brooke, dkk, 1988). Affective comitment juga berkorelasi
dengan kesesuaian harapan antara pegawai dengan imbalan yang
diberikan organsiasi (keterlibatan kerja). (2) Normative commitmen
menurut Mayer dan Allen (Irving, 1996) ditunjukkan dengan perasaan
wajib untuk tetap bertahan dalam organisasi. Pegawai yang memiliki
normative commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi
karena merasa harus melakukan hal tersebut. Normative commitment
dapat berkembang akibat investasi organisasi pada pegawainya,
melalui
pelatihan,
menekankan
pada
subsidi
nilai
kuliah,
loyalitas.
sosialisasi
(3)
pengalaman
Continuance
yang
commitment
merupakan komitmen organisasi yang rasional. Komitmen ini berkaitan
dengan dengan biaya jika ia keluar dari organisasi. Pegawai mempunyai
continuance commitment tinggi akan bertahan dalam organisasi karena
membutuhkannya. Stebbins (dalam Irving, 1996) menyatakan bahwa
continuance commitment adalah kesadaran akan ketidakmungkinan
memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku yang lain
karena adanya ancaman akan kerugian. Dengan demikian komitmen
organisasi dapat disimpulkan sebagai hubungan antara pegawai
dengan
organisasi,
yang
diwujudkan
melalui
keinginan
untuk
mempertahankan diri keanggotannya organisasi, menerima nilai dan
tujuan
organisasi
serta
bersedia
untuk
berusaha
tercapaianya tujuan dan keberlangsungan organisasi.
keras
demi
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
3. Motivasi
Setiap orang memiliki motivasi, yaitu dorongan dari dalam dirinya yang
tercermin dalam perilakunya. Timbulnya dorongan itu disebabkan oleh
adanya insentif (rangsangan) atau stimulus yang harus diraih untuk
memenuhi kebutuhannya. Motivasi merupakan faktor determinan
penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Perbedaan motivasi
menyebabkan perbedaan perilaku. Motivasi merupakan faktor-faktor
dasar yang turut menentukan kinerja seseorang. Oleh sebab itu
dikatakan bahwa motivasi merupakan kesediaan untuk mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh
kemampuan dan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan
individual (Robbin, 2003:208). Meskipun seseorang memiliki motivasi
tinggi untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi jika kemampuannya
kurang, maka kontribusi terhadap kinerja dan perilakunya akan lebih
kecil, sehingga motivasi tidak dapat berdiri sendiri dalam mengelola dan
meningkatkan kinerja seseorang dan organisasi. Sehubungan dengan
hal tersebut, sejumlah ahli mengelompokkan teori motivasi berdasarkan
kategori, yaitu motivasi berdasarkan kebutuhan; motivasi berdasarkan
proses; teori penetapan sasaran; teori modifikasi perilaku; teori X dan Y
dan, teori memotivasi melalui pekerjaan (Sigit, 2003:45; Robbins, 2003;
Thoha, 2002). Teori hirarki kebutuhan dari Maslow menjelaskan ada 5
hirarki kebutuhan manusia. Maslow menghipotesiskan bahwa ada lima
47
48
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
kebutuhan di dalam diri manusia secara berjenjang yaitu psikologis,
keamanan,
sosial,
penghargaan
dan
aktualisasi
diri.
Teori
ini
mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan yang pernah
dipenuhi secara lengkap, suatu kebutuhan yang dipuaskan secara
cukup banyak tidak lagi memotivasi. Maslow memisahkan kelima
kebutuhan
itu
sebagai
tingkat
tinggi
dan
tingkat
rendah.
Penyerdeharnaan teori hirarki kebutuhan Maslow, dilakukan oleh
Frederick Herzberg, yang membagi kebutuhan manusia menjadi dua,
yaitu faktor instrinsik dan faktor eksterinsik. Faktor intrinstik disebut juga
faktor motivator, yaitu faktor kepuasan kerja yang berhubungan dengan
prestasi, pengakuan, kerja, tanggung jawab, pertumbuhan. Sedangkan
faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari organisasi yang
berfungsi memelihara kepuasan, seperti mislanya kebijakan, kondisi
kerja, gaji, hubungan dengan rekan kerja, hubungan dengan bawahan,
status dan keamanan. Menurut McClelland ada tiga kebutuhan manusia
yang mendasar, yaitu kebutuhan berprestasi (achievement), kebutuhan
kekuasaan (need power), kebutuhan afiliasi (affiliation). Penelitian yang
dilakukan oleh McClelland menjelaskan bahwa peraih prestasi tinggi
membedakan diri mereka dari orang lain. Mereka mencari situasi
dimana mereka dapat menerima tanggung jawab pribadi untuik
menemukan pemecahan masalah dengan baik, dan mereka dapat
menerima umpan balik, dengan resiko yang sedang. Adapun kebutuhan
49
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
akan kekuasaan merupakan hasrat untuk mempunyai dampak,
pengaruh, dan mengendalikan orang lain. Individu-individu dengan
mempunyai power tinggi menikmati untuk dibebani, bergulat untuk
dapat mempengaruhi orang lain, lebih menyukai ditempatkan di dalam
situasi kompetitif dan berorintasi status dan cenderung lebih peduli akan
prestise (gengsi) dalam memperoleh pengaruh terhadap orang lain
daripada kinerja yang efektif. Sedangkan kebutuhan afiliasi, atau hasrat
untuk disukai atau diterima baik oleh orang lain.
2.4. Pelayanan Publik
Pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat.
Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani
masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi
mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional.
Esensi kepemerintahan yang baik dicirikan dengan terselenggaranya
pelayanan
publik
yang
baik,
sejalan
dengan
esensi
kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan
keleluasaan
kepada
daerah
mengatur
masyarakat
setempat
dan
meningkatkan pelayanan publik. Pelayanan publik (public services) oleh
birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur
negara sebagai abdi masyarakat disamping sebagai abdi negara.
50
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk
mensejahterakan masyarakat.
Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan
umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan
publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan
kepuasan kepada publik (publik=umum). Senada dengan itu, Moenir
(1992) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor
material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha
memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.
Pelayanan publik diartikan, pemberian layanan (malayani) keperluan
orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu
sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan
(Kurniawan
dalam
Sinambela.
LP,
2008).
Selanjutnya
menurut
Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7.2003, pelayanan publik adalah segala
kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan
publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.
Sedangkan pelayanan umum menurut Lambaga Administrasi Negara
(1998) mengartikan pelayanan publik merupakan segala benuk kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintahan di pusat dan
daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang dan
51
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam
rangka pelaksanaan ketentuan Perundang-undangan. Dari beberapa
pengertian
pelayanan
publik
yang
telah
diuraikan,
dala
konteks
pemerintahan daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai
pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat
dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu,
sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan
untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.
Dalam modul pelayanan publik yang disusun oleh Depdagri dan LAN
(2007) dijelaskan terdapat tiga unsur penting dalam pelayanan publik,
yaitu:
1. Organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu pemerintah
daerah,
2. Penerima pelayanan (masyarakat) yaitu orang atau masyarakat atau
organisasi yang berkepentingan,
3. Kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan
(masyarakat).
Unsur yang pertama menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki
posisi kuat sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan
dan menjadi pemerintah daerah yang bersikap statis dalam memberika
layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Unsur
kedua, adalah masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau
memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki
daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan
sehingga tidak memilikiakses untuk mendapatkan pelayanan yang baik.
Unsur ketiga merupakan kepuasan masyarakat menerima layanan yang
menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (pemerintah). Hal ini untuk
menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi untuk
memuaskan masyarakat, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan
meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah.
Sementara itu kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu
perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang
semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh
masyarakat (Thoha dalam Widodo, 2001). Hal ini berarti masyarakat
semakin sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin
berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada
pemerintah.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan diatas, birokrasi
publik harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional,
52
53
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaktif
serta
sekaligus
dapat
membangun
kualitas
manusia
dalam
arti
meningkatkan kepastian individu dan masyarakat untuk secara aktif
menentukan masa depannya sendiri (Efendi dalam Widodo, 2001). Arah
pembangunan kualitas manusia tadi merupakan pemberdayaan akan
kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang memungkinkan
setiap
anggota
masyarakat
mengembangkan
kemampuan
dan
kreatifitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang
bersifat
sederhana,
terbuka,
tepat,
lengkap
wajardan
terjangkau
(Sedaryanti, 2004). Dalam keputusan Menpan No. 81 Tahun 1993
ditegaskan, bahwa penyelenggaraan layanan publik harus mengandung
unsur-unsur :
1. Hak dan kewajiban bagi pemberi layanan maupun penerima layanan
umum harus jelas dan diketahui secara pasti masing-masing.
2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umu harus disesuaikan dengan
kondisi kebutuhan kemampuan masyarakat untuk membayar
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tetap
berpegang pada efisiensi dan efektivitas.
3. Mutu proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar
memberi keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum
yang dapat dipertanggung jawabkan.
4. Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instasi pemerintah
yang bersangkutan berkewajiaban memberi peluang kepada
masyarakat untuk ikut menyelenggarakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
54
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Dalam
keputusan
Menpan
tersebut
juga
ditegaskan,
bahwa
pemberian layanan umum kepada masyarakat merupakan perwujudan dari
fungsi aparatur negara sebagai abdi negara dan abdi masyarakat,
sehingga penyelenggaraannya perlu ditingkatkan secara terus-menerus
sesuai dengan sasaran pembangunan.
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis diatas,
birokrasi publik dituntut harus dapat posisi dan peran (revitalisasi) dalam
memberikan pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah
berubah
menjadi
suka
melayani,
dari
yang
suka
menggunakan
pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah
yang fleksibel kolabiratis dan dialogis dan dari cara-cara sloganis menuju
cara-cara kerja yang realistik dan pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001).
Dengan revitalitas birokrasi publik yang lebih baik dan profesional dalam
menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenangan yang diberikan
kepadanya dapat terwujud.
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus
dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi
pelayanan masyarakat (public services functions), fungsi pembangunan
(development function) dan fungsi perlindungan (protection functions).
55
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintahan kepada
masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara
sebagai
pelayan
masyarakat.
Karena
itu,
kedudukan
aparatur
pemerintahan dalam pelayanan umum (public services) sangat strategis
karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang
dengan
demikian
akan
menentukan
sejauhmana
negara
telah
menjalankan perannya dengan baik sesuai dengn tujuan pendiriannya.
Dengan demikian akan dilakukan penilaian tentang sama tidaknya
antara harapan dan kenyataan didalam pengurusan sesuatu yang
berhubungan dengan pelayanan publik, apabila ditemukan ketidak samaan
maka pemerintah diharapkan mampu mengoreksi keadaan agar lebih teliti
dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Selanjutnya dipertanyakan
apakah terhadap kehendak masyarakat, seperti ketentuan biaya yang
tepat, waktu yang diperhitungkan dan mutu yang dituntut masyarakat telah
dapat terpenuhi. Andaikata tidak terpenuhi, pemerintah diharapkan
mengkoreksi keadaan, sedangkan apabila terpenuhi dilanjutkan pada
pertanyaan berikutnya, tentang informasi yang diterima masyarakat
berkenaan dengan situasi dan kondisi, serta aturan yang melengkapinya.
56
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Ketika berbicara tentang pelayanan publik jelas bahawa hal yang
perlu di siapkan oleh aparat pemerintah adalah bagaimana tercipta
pelayanan yang prima. Pelayanan prima merupakan suatu rangkaian kata
yang mana terdiri atas dua kata, pelayanan dan prima. Pelayanan sendiri
merupakan suatu usaha untuk membantu menyiapakan apa yang
diperlukan atau dibutuhkan oleh orang lain, sedangkan prima merupakan
suatu kata yang berarti terbaik, bermutu dan bermanfaat. Jadi kalau kedua
kata tersebut dirangkai maka dapat mengandung arti yang merupakan
pelayanan terbaik yang diberikan sesuai dengan standar mutu yang mana
dapat memuaskan dan sesuai denagan apa yang diharapkan atau
melebihi dengan apa yang di harapkan oleh konsumen dalam hal ini
masyarakat sebagai pengguna jasa layanan.
Dalam
mengembangkan
pelayanan
prima,
pemerintah
harus
mempunyai standar pelayanan publik. Standar pelayanan publik sendiri
merupakan suatu tolok ukur yang dapat digunakan sebagairujukan mutu
pelayanan yanga akan diberikan atau dijanajikan kepada pelanggang atau
orang lain atau masyarakat. Hal tersebut dapat menaruh perhatian tentang
bagaimana mekanisme pelayanan yang baik harus dilakukan dan
merupakan yang terbaik diberikan kepada pelanggang-pelanggang.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Salah satu juga yang harus diperhatikan dalam menjanagkan
pelayanan prima adalah prinsip dalam pelaksanaan pelayanan prima yaitu,
fokus pada pelanggang, pelayanan nurani, perbaikan yang berkelanjutan
serta pemberdayaan pelanggang. Adapun standar pelayanan yang
dimaksud adalah, sebagai berikut :
Standar Pelayanan Prima ( SPP )
a) Tempat khusus pelayanan;
1. menyediakan loket dengan memilih tempat yang strategis (mudah
dilihat
pemohon)
2. Disediakan ruang tunggu yang bersih, aman dan nyaman
3. Disediakan formulir permohonan beserta contoh pengisiannya.
4. Disediakan flow chart/alur pengurusan
5. Ada daftar rincian biaya ddan waktu penyelesaian pengurusan
6. Disediakan nomor urut antrian
7. Ada toilet
8. Adanya kursi / tempat duduk yang cukup
9. Adanya tingkatan beberapa pelayanan dalam satu loket
10. Dilengkapi televisi
b) Petugas Pelayanan;
1. Memiliki kompetensi dibidangnya
2. Akomodatif
3. Responsive
4. Komunikatif
5. beretika ( sopan, Ramah/murah senyum )
6. Transparan, jujur, akuntabel
7. Berpenampilan menarik
57
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
8. Adil/merata tidak membedakan siapa dia pemohon
9. Selalu berusaha meningkatkan kemudahan
10. Cekatan
c) Kualitas produk pelayanan;
1. penerapan teknologi komputerisasi
2. produk sesuai yang dibutuhkan pemohon
3. ada jaminan hukum
4. biaya sesuai ketentuan
5. ketepatan waktu penyelesaian
6. informasi produk layanan online
7. akurat
8. sederhana
9. mudah
10. puas.
Disamping itu semua, Untuk pelaksanan pelayanan publik yang prima
telah ditetapkan prinsip-prinsip pelayanan publik berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara : 63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, sebagai
berikut:
a. Kesederhanaan
Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan
mudah dilaksanakan
b. Kejelasan
1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik;
2) Unit kerja / pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan / persoalan /
sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik.
3) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
58
59
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
c. Kepastian Waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu
yang telah ditentukan.
d. Akurasi
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
e. Keamanan
Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan
kepastian hukum.
f. Tanggung jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab
atas
penyelenggaraan
pelayanan
dan
penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan
publik.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana
Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan
pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana
teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).
h. Kemudahan akses
Temapt dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah
dijangkau olah masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi
telekomunikasi dan telematika
i. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan
Pemberian pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun,
ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j. Kenyamanan.
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu
yang nyaman, bersih rapi, lingkungan yang indah dan sehat lengkap
dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir,
toilet, tempat ibadah, dll.
2.5. Strategi Pelayanan Prima Pola Layanan Satu Atap
Pelayanan
publik
dinyatakan
prima
bila
pelayanan
tersebut
memuaskan pelanggan yaitu melibihi standar yang ditetapkan atau
minimal sama dengan standar pelayanan yang merupakan ukuran. (Modul
60
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Pelayanan Prima Lembaga Pelayanan Terpadu Satu Atap disusun oleh
Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri 2004)
Selanjutnya secara sederhana strategi pelayanan prima pola
pelayanan satu atap sering disebut sebagai layanan terpadu pada suatu
tempat oleh beberapa instansi daerah yang bersangkutan sesuai dengan
kewenangan masing-masing, sebenarnya bukan merupakan suatu hal
yang baru, strategi ini telah berhasil diterapkan pada layanan pembayaran
pajak kendaraan bermotor yang melibatkan beberapa instansi daerah ,
antara lain Dispenda, Kepolisian dan Jasa Raharja. Penerapan pelayanan
satu atap pada dasarnya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
memalui peminimalan jarak geografis antar fungsi terkait. Dengan
demikian dapat diperpendek waktu yang diperlukan untuk proses layanan,
pengguna layanan juga menjadi lebih mudah untuk memperoleh layanan
yang senantiasa harus dicermati dalam penerapan pola layanan satu atap
adalah koordinasi antara beberapa instansi yang terkait.
Keberhasilan penerapan layanan terpadu untuk pelayanan pajak
kendaraan bermotor tersebut kemudian mendorong pemerintah daerah
untuk menerapkan layanan terpadu pada bidang layanan dokumen, seperti
KTP, KK, dan perizinan yang mana dulunya dilakukan pada tempat yang
terpisah
kemudian
disatu
atapkan
di
satu
tempat
atau
lokasi.
61
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Persoalanyang kemudian muncul adalah bagaimana mengintegrasikan
berbagai bentuk layanan yang berbeda proses penanganannya.
Evaluasi terhadap fungsi-fungsi pelayanan yang akan disatu atapkan
pelu
dilakukan.
Barangkali
yang
paling
mudah
dilakukan
dalam
penyelenggaraan pelayanan satu atap bagi bidang-bidang yang berbeda,
hanya sebatas lini pertama, yaitu tempat penerimaan berkas layanan,
tindakan selanjutnya untuk penyelenggaraan tetap pada instansi masingmasing. Penempatan personal yang handal sangat menentukan efektifitas
penyelenggaraan. Selain itu, untuk mempermudah masyarakat sebagai
pengguna layanan maka desain layanan harus dikomunikasikan sejelasjelasnya. Fasilitas kerja dan sarana penunjang kelancaran pekerjaan
layanan perlu disediakan pada tingkat yang memadai. Oleh sebab itu,
analisis terhadap kebutuhan fasilitas kerja dan pendukung perlu dilakukan
secara cermat dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber dana.
Menurut Joe Fernandes (2002) ada dua hal yang penting untuk
dicermati dalam kaitannya dengan layanan publik, yaitu pertama dimensi
pemberi layanan dan yang kedua masyarakat pengguna layanan.
Berdasarkan
dimensi
pemberi
layanan
perlu
diperhatikan
tingkat
pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil, kesiapan petugas dan
mekanisme kerja, harga terjangkau prosedur sederhana, dan waktu
62
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
penyelesaian yang dapat dipastikan. Sedangkan dari dimensi masyarakat
pengguna layanan publikharus memiliki pemahaman dan reaktif terhadap
penyimpangan yang muncul dala praktek layanan publik. Keterlibatan
masyarakat terutama stakeholder representatif baik dalam mengawasi dan
menyampaikan aspirasi atau keluhan terhadap praktek penyelenggaraan
layanan publikmenjadi faktor penting sebagai umpan balik bagi perbaikan
kualitas pelayanan publik yang sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
Pemberian layanan publik dengan pola layanan satu atap yang
memenuhi standar minimal seperti yang telah dirapkan memang menjadi
bagian yang perlu dicermati. Dewasa ini masih sering dirasakan, bahwa
kualitas layanan minimun sekalipun belum memenuhi harapan sebagian
besar
masyarakat
pengguna
layanan.
Dilain
pihak
yang
lebih
memprihatinkan lagi sebagian besar masyarakat pengguna layanan publik
belum memahami secara pasti standar tentang standar pelayanan yang
seharusnya
diterima
dan
sesuai dengan
prosedur
layanan
yang
dibakukan.
Belum meningkatnya kaualitas pelayanan publik di era otonomi
daerah juga dikemukakan oleh Ratminto dan Winarsih (2005) yang
didasarkan atas penelitian yang dilakukan di Propinsi Daerah Istimewah
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Yogyakarta dan Jawa Tengah, disimpulkan bahwa kesadaran akan
otonomi masih belum secara optimal meningkatkan kualitas layanan publik
karena otonomi daerah belum berhasil mewujudkan sistem administrasi
yang diletakan atas dasar kesetaraan posisi tawar antara pemerintah
sebagai penyedia layanan dan masyrakat sebagai pengguna layanan
publik. Hasinya masih terdapatnya kecenderungan masyarakat sebagai
pengguna layanan masih dalam posisi yang kurang diuntungkan dengan
adanya otonomi daerah.
2.6. Konsep Kepuasan Masyarakat
Dalam penyelenggaraan layanan, pihak penyedia dan pemberi
layanan harus selalu berupaya untuk mengacu kepada tujuan utama
palayanan adalah kepuasan masyarakat. Pemberi layanan tidak akan
mengetahui apakah masyarakat yang dia layani puas atau tidak karena
yang akan merasakan kepuasan dari suatu layanan adalah masyarakat
yang menerima layanan. Tingkat kepuasan yang diperoleh masyarakat
biasanya sangat berkaitan erat dengan standar kualias barang dan atau
jasa yang mereka nikmati serta layanan lain yang berupa layanan pra-jual,
saat transaksi, dan purna jual (Barata AT, 2003:15).
Dalam Modul Pelayanan Prima Lembaga Pelayanan Terpadu Satu
Atap yang disusun oleh Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri Tahun 2004,
63
64
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
dijelaskan bahwa pelanggan selain dalam bentuk orang pribadi juga
berbentuk badan, baik dalam bentuk internal maupun eksternal yang
memiliki keinginan-keinginan tertentu. Perlu dipahami disini ialah selain
pada dirinya melekat sifat seperti raja dan tidak pernah salah, maka
pelanggan dalam hal ini masyarakat juga memiliki keinginan atau
kecenderungan sebagai berikut :
a) Pelanggan memiliki keinginan untuk mendapatkan kebebasan dalam
membuat keputusan menentukan pilihan sesuai dengan keinginannya,
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
b) Keinginan pelanggan, apa yang diputuska dan ditentukan selalu
mendapatkan manfaat sesuai dengan keinginannya.
c) Keinginan pelanggan, apa yang diinginkan harus mendapatkan respon
atau
mendapatkan
perhatian,
karena
pelanggan
menginginkan
perhatian perhatian atas harga diri.
d) Pelanggan menginginkan diperlakukan oleh penyelenggara pelayanan
umum, denga sikap yang meliputi : jujur, adanya kepedulian yang
ikhlas, memperhatikan standar profesional yang tinggi dan inovatif.
e) Pelanggan menginginkan disambut dengan ramah tamah penuh
senyum, penuh kasih sayang (membagi rasa hangat dengan
pelanggan).
65
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
f) Keinginan pelanggan untuk diberi tahu tentang kejadian sebelumnya,
sehingga
mereka
merasa
diakrabi
dalam
hubungan
dengan
pelanggan.
g) Pelanggan menginginkan adanya rasa aman dan dilindungi haknya,
dalam arti terhindar dari keputusan yang salah sehingga diperlukan
adanya kepastian dalam penetapan harga.
h) Pelanggan berkeinginan untuk dianggap sebagai orang penting.
Dalam hubungan dengan pelanggan tersebut, dikatakan terjadi
pelayanan
kepuasan
pelanggan
(Customer
Satisfaction)
manakali
pemenuhan kebutuhan atau keinginan pelanggan. Tetapi antara upaya
pemunuhan kebutuhan (pelayanan) dengan keinginan pelanggan tidak
lepas dari organisasi yang efektif. Artinya, tanpa dukungan dengan sistem
organisasi yang efektif, tidak mungkin terjadi pelayanan yang memuaskan
kepada pelanggan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kepuasan
pelanggan adalah efektivitas dari sistem organisasi yang mampu
membantu pelanggan memenuhi kebutuhan secara optimal.
Selain pendapat diatas yang menjelaskan mengenai pengertia
kepuasan pelanggan, adapula beberapa pengertian kepuasan pelanggan
yang diberikan oleh pakar, yaitu:
66
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
1. Kepuasan
masyarakat
merupakan
respon
masyarakat
terhadap
evaluasi ketidaksesuain yang dirasakan antara harapan sebelumnya
dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian. (Tse dan
Wilton; 1996)
2. Kepuasan masyarakat merupakan suatu tanggapan emosional pada
evaluasi
terhadap
pengalaman
konsumsi
produk
atau
jasa.
(Willkie;1990)
3. Kepuasan masyarakat adalah evaluasi purnabel dimana alternatif yang
dipilih sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapa masyarakat,
sedangkan
ketidakpuasan
timbul
apabila
hasil
(outcome)
tidak
memenuhi harapan. (Engel, et;1990)
4. Kepuasan masyarakat adalah tingkat perasaan seseorang setelah
membandingkan kinerja yang ia rasakan dibandingkan dengan harapan.
(Kotler;1994)
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan
masyarakat adalah hasil pendapat dan penilaian masyarakat terhadap
kinerja pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Untuk mewujudkan dan mempertahankan kepauasan masyarakat,
suatu lembaga atau badan penyelenggara layanan umum harus
melakukan beberapa hal, diantaranya yaitu: mengidentifikasi masyarakat
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
yang merupakan pelanggannya, memahami masyarakat atas kualitas yang
diberikan, memahami kualitas pelayanan terhadap masyarakat, dan
memahami siklus pengukuran dan umpan balik dari kepuasan masyarakat.
Karena proses pelayanan dan kepuasan masyarakat dijadika sebagai
salah satu ukuran dalam mengukur keprofesionalan aparat pemerintahan
dalam pelayanan publik, sehingga perlu diketahui apakah masyarakat
puas atau belum terhadap perilaku pelayanan publik. Hal inilah yang
menjadi masalah, sehingga dalam penelitian nantinya perlu dilaksanakan
observasi langsung terhadap tingkat kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan yang mereka terima.
2.7. Konsep Etika Pelayanan
Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas
secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun
telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik
di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen
yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam
literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan
salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani
sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik itu sendiri.
67
68
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Etika. Bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan
beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah
kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles, kata
Bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat
moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, karangan Purwadaminta, etika dirumuskan sebagai
ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral), sedangkan dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan, 1988), istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2)
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan
memperhatikan
beberapa
sumber
diatas,
Bertens
berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai
nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau
disebut dengan “sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral
yang sering dikenal dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang
baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. Pendapat seperti ini
mirip dengan pendapat yang ditulis dalam The Encyclopedia of Philosophy
69
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
yang menggunakan etika sebagai (1) way of life; (2) moral code atau rules
of conduct; dan (3) penelitian tentang unsur pertama dan kedua diatas
(lihat Denhardt, 1988: 28).
Salah satu uraian menarik dari Bertens (2000) adalah tentang
pembedaan
atas
konsep
etika
dari
konsep
etiket.
Etika
lebih
menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri yaitu apakah suatu
perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang
milik orang tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. Sementara etiket
menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku
hanya dalam pergaulan atau berinteraksi dengan orang lain, dan
cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi
sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan cara yang
kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi
kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung
mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang
cenderung berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh sikap
bathin.
Etika Pelayanan Publik. Dalam arti yang sempit, pelayanan publik
adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat
oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik
70
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan
masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat,
kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan
bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery
system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang
administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih,
telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.Tujuan pelayanan publik adalah
menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan
jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik
yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau
perlu melebihi harapan publik.
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik
dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam
mencapai kepentingan publik (lihat J.L.Perry, 1989: 625). Dalam konteks
ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemenelemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan
proses
manajemen
dimanfaatkan
untuk
mensukseskan
pemberian
pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang
diberi tanggung jawab. Karya Denhardt yang berjudul The Ethics of Public
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Service (1988) merupakan contoh dari pandangan ini, dimana pelayanan
publik benar-benar identik dengan administrasi publik.
Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan
sebagai filsafat dan profesional standards (kode etik), atau moral atau right
rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi
oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik (lihat Denhardt,
1988).
Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik diatas maka yang
dimaksudkan dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek
administrasi publik dan atau pemberian pelayanan publik (delivery system)
yang didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku (rules of conduct)
atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan
atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan.
2.8. Pengertian Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Mendirikan bangunan merupakan pekerjaan mengadakan bangunan
baik sebagian maupun seluruhnya termasuk pekerjaan menggali dan
menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan
mengadakan bangunan. Dari hal itulah, maka seseorang atau perusahaan
yang berbadang hukum yang bermaksud mendirikan bangunan atau
71
72
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
mengubah dan sebagainya wajib mempunyai izin yang selanjutnya
dikatakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Dalam Perda Kota Makassar No. 15 Tahun 2004 tentang Tata
Bangunan, disebutkan bahwa Izin Mendirkan Bangunan yang selanjutnya
disingkat IMB merupakan izin yang dikeluarkan untuk mendirikan
bangunan dan dikeluarkan oleh walikota atau pejabat yang ditunjuk dalam
wilayah kota makassar. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum RI Nomor 24/PRT/M/2007 tentang pedoman teknis izin mendirikan
bangunan gedung (IMB) menyatakan bahwa Izin mendirikan bangunan
adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah daerah, dan oleh
pemerintah atau pemerintah provinsi untuk bangunan fungsi khusus,
kepada pemilik bangunan untuk kegiatan yang meliputi :
i.
Pemabangunan
bangunan
gedung
baru,
dan/atau
prasarana
bangunan gedung;
ii.
Rehabilitasi/renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana bangunan
gedung, meliputi perbaikan/perawatan, perubahan, perluasan atau
pengurangan; dan
iii.
Pelestarian/pemugaran.
73
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Dalam proses penerbitan Izin Mendirikan Bangunan, pemerintah
daerah, pemerintah dan pemerintah provinsi untuk bangunan fungsi
khusus,
melaksanakan
dengan
prinsip
pelayanan
prima,
serta
mengendalikan penerapan persyaratan administratif dan persyaratan
teknis yang ditetapkan dengan rencana teknis.
Berikut ini merupakan bagan prinsi layanan izin mendirikan bangunan
gedung
menurut
24/PRT/M/2007
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
RI Nomor
tentang pedoman teknis izin mendirikan bangunan
gedung (IMB) :
Gambar 2: BAGAN PRINSIP LAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN GEDUNG
Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki IMB
Diberiakn oleh Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi
khusus oleh Pemerintah, melaui permohonan IMB
PEMDA
Wajib memberikan keterangan rencana kabupaten/kota
kepada setiap orang atau badan usaha yang akan
mengajukan permohonan IMB
Dalam keterangan rencana kabupaten/kota dapat juga dicantumkan
ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan
Keterangan rencana kabupaten/kota digunakan
penyusunan rencana teknis bangunan gedung
sebagai
dasar
Download