dan neraca karbon pada perkebunan karet

advertisement
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak tahun 1800 penggunaan bahan
bakar fosil, penebangan pohon, perusakan
hutan yang masih alami menyebabkan
perpindahan karbon ke atmosfer. Sebelum
tahun 1860 kandungan CO2 di atmosfer kirakira 260 µl liter-1 CO2. Pada tahun 1995
atmosfer mengandung 360 µl liter-1 CO2 atau
760 Pg C (Van Elsas dkk 2007). Diantara
gas-gas rumah kaca, CO2 memberikan
kontribusi emisi terbesar terhadap pemanasan
global dengan laju kenaikan 1.5 ppmv per
tahun, serta masa hidup 5-200 tahun.
(Murdiyarso 2003 dalam Hariyadi 2005).
Menurut Wetland International (2006)
dalam Hairiah dan Rahayu (2007), Indonesia
menjadi negara penghasil emisi terbesar
ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan
China. Berbagai upaya untuk mengatasi
masalah tersebut telah dilakukan, salah
satunya dengan meningkatkan kualitas hutan
yang luasnya semakin menurun sehingga tetap
mampu mempertahankan fungsi ekologi hutan
sebagai penyangga sistem kehidupan (Hadi
2007).
Penelitian carbon stock dan neraca
karbon tanah pada areal perkebunan di
Indonesia belum banyak dilakukan. Sampai
sejauh ini pengukuran carbon stock masih
terkonsentrasi pada tanaman saja sebagai
penyerap dan penyimpan karbon, tanpa
melihat pada kemampuan tanah dalam
menyimpan karbon. Padahal menurut Paul
(1996), pernapasan organisme tanah dan akar
tanaman yang menyerap O2 dan melepas CO2,
mengakibatkan kandungan O2 lebih rendah
dan CO2 lebih tinggi di dalam tanah jika
dibandingkan di atmosfer.
Masalah keamanan lingkungan menjadi
salah satu prasarat penting dalam perdagangan
global pada tahun 2010 ini. Pada kenyatannya
sampai saat ini pengembangan perkebunan
masih berorientasi pada nilai ekonomi
produksi seperti produksi lateks pada karet,
sedangkan masalah lingkungan kurang
mendapatkan perhatian yang memadai. Oleh
karena itu pengukuran secara kuantitatif C
tersimpan dalam berbagai macam penggunaan
lahan perlu dilakukan. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat bermanfat bagi pemerintah
Indonesia khususnya pemerintah daerah
Sukabumi dalam menentukan kebijakan alih
guna lahan yang memperlihatkan aspek
lingkungan, khususnya penyerapan karbon.
1.2. Tujuan
1. Menduga carbon stock perkebunan karet
pada beberapa kelas umur
2. Menentukan umur karet yang paling
optimum dalam menyerap CO2.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biomassa
Biomassa merupakan jumlah total materi
organik tanaman yang hidup di atas tanah
yang diekspresikan sebagai berat kering
tanaman per unit areal. Menurut Whitten et
al., (1984) dalam Hadi (2007) mendefinisikan
biomassa sebagai jumlah total berat kering
semua bagian tumbuhan hidup, baik seluruh
atau hanya sebagian tubuh organisme,
populasi, atau komunitas yang dinyatakan
dalam berat kering per oven per unit area.
Menurut Cinton dan Novelli (1984)
dalam Kusmana (1993) biomassa tersusun
oleh senyawa karbohidrat yang terdiri atas
elemen karbon, hidrogen, dan oksigen yang
dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman.
Biomassa dibedakan menjadi dua kategori
yaitu biomassa di atas permukaan tanah
(aboveground) dan biomassa di bawah
permukaan tanah (belowground).
Biomassa di atas permukaan tanah adalah
bobot bahan organik per unit luasan waktu
tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi
sistem produktivitas, umur tegakan, dan
distribusi organik (Kusmana 1992).
Biomassa di bawah permukaan tanah
umumnya 40 % dari total biomassa berupa
akar (Cairns et al. 1997). Nilai estimasi
biomassa di bawah permukaan tanah suatu
pohon tidak kurang dari 15 % dari biomassa
di atas permukaan tanah (Mac Dicken 1997
dalam Hariyadi 2005). Terdapat hubungan
antara biomassa di bawah permukaan tanah
(B) suatu pohon dengan diameter akar (D)
yang dituangkan dalam persamaan B = ∑ a
Dib (Hairiah et al. 2001). Selain itu biomassa
di bawah tanah dapat dihitung dengan
berdasarkan biomassa di atas tanah dibagi
dengan rasio tajuk – akar. Menurut Hairiah et
al. 2001, nilai rasio tajuk akar tergantung
kondisi lahan yaitu untuk lahan hutan tropik
basah atau upland normal bernilai 4,
sedangkan untuk daerah selalu basah bernilai
lebih dari 10 dan pada lahan yang memiliki
kesuburan sangat rendah bernilai 1. Nilai rasio
akar – tajuk hutan sekunder dalam ekosistem
tropis sebesar 0.1 (Hamburg 2000 dalam
Hariyadi 2005).
Download