9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Penulis menggunakan beberapa referensi terkait dengan topik penelitian, yaitu dua buah buku dan empat hasil penelitian terkait dengan politik identitas. Penulis menggunakan 2 buku sebagai tinjauan pustaka, yaitu: pertama, buku dari Buchari (2014) yang berjudul Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Buku ini menyimpulkan faktor-faktor munculnya politik identitas etnis Dayak pada pilkada Gubernur Kalimantan Barat tahun 2007, serta menemukan konsep baru, yaitu marginalisasi dan diskriminasi yang dialami sebuah etnis akhirnya memunculkan politik identitas. Buku kedua berjudul Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, dari Abdilah (2002). Buku ini memuat pijakan dasar analisis pluralisme, postmodernitas, dan globalisasi. Buku ini mendeskripsikan secara mendalam perihal politik identitas sebagai objek formal, realitas keragaman etnis dan pola politiknya sepanjang sejarah secara umum pada kajian politik etnis, serta peran etnis dalam kancah globalisme dan postmodernisme. Penulis menggunakan kedua buku tersebut dalam menentukan arah pemikiran terhadap politik identitas. Buku Abdilah lebih mendeskripsikan sejarah munculnya politik identitas menurut pandangan filsafat, sedangkan dalam buku Buchari, lebih pada penerapan konsep dan teori dari politik identitas Manuel Castells dalam kasus etnis Dayak di Kalimantan Barat. Selain dari dua buku ini, 10 penulis menggunakan bererapa penelitian dari skripsi dan jurnal ilmiah sebagai tinjauan pustaka terkait politik identitas. Pertama, yaitu penelitian Munauwarah (2013) dari Universitas Hasanuddin Makassar, yang berjudul Politik Etnis Masyarakat Pendatang di Kota Palopo. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan fenomenologi. Data primernya diperoleh melalui observasi dan wawancara. Munauwarah menyimpulkan bahwa tingkah laku politik merupakan pencerminan dari budaya politik suatu masyarakat yang penuh dengan aneka bentuk kelompok dengan berbagai macam tingkah lakunya. Bertemunya dua atau lebih etnis pada satu daerah, membutuhkan penyesuaian satu dengan yang lain, yaitu proses penyesuaian dengan interaksi sosial. Munauwarah menyimpulkan bahwa karakteristik masyarakat pendatang, cenderung membuat kelompok berdasarkan ikatan emosional karena kesamaan yang mereka miliki, namun proses pembauran dengan interaksi lingkungan sosial berjalan dengan baik. Kedua, penelitian Sarumpaet (2012) yang berjudul Politik Identitas Etnis dalam Kontestasi Politik Lokal. Sarumpaet menyimpulkan bahwa Good Governance dalam pengertian tingkat pelaku pemerintahan lokal, dan governability tingkat kapabilitas pemerintahan lokal dalam memberikan public sphere, akan membuka peluang bagi pemerintahan lokal untuk membangun struktur pemerintahan yang berdasarkan pada norma-norma lokal. Masyarakat lokal telah memiliki struktur-struktur tersendiri yang telah lama berdiri, sebelum berdirinya struktur pemerintahan. Sarumpaet mendeskripsikan bangkitnya politik 11 identitas etnis dalam Pilkada, serta di Indonesia geliat etnis untuk masuk ranah politik praktis terjadi setelah liberalisasi politik yang bergulir sejak tahun 1998. Penelitian Sarumpaet mengungkapkan pergulatan politik identitas dalam Pilkada dan minimalisir persinggungan politik identitas etnis. Ketiga, penelitian Haboddin (2012) yang berjudul Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal. Penelitian Haboddin menggunakan metode studi pustaka sebagai cara untuk melakukan analisis. Penelitian Haboddin menyimpulkan penguatan politik etnisitas merupakan potret diri dari pergulatan politik lokal yang berwajah ganda, dimana wajah pertamanya berwujud dengan putra daerah, tetapi wajah lainnya dari politik identitas dapat berwujud pada perjuangan untuk mendapatkan alokasi dana dari pemerintah pusat. Proses desentralisasi politik ternyata diiringi dengan isu putra daerah. Sebuah isu yang sarat makna dan sangat mengkhawatirkan, bukan hanya proses demokrasi lokal akan terancam, tetapi juga menjadi petunjuk memudarnya semangat nasionalisme. Penelitian Haboddin lebih mengungkap identitas politik, serta konsep etnisitas di Indonesia dalam kasus Papua dan Riau. Keempat, penelitian Sandhi (2014) dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, yang berjudul Politik Identitas Partai Islam (Studi Partai Keadilan Sejahtera). Jenis penelitian Sandhi adalah jenis penelitian pustaka yang bersifat deskriptif-analitik, dalam mendapatkan data menggunakan wawancara (interview) melalui pendekatan sosio-historis. Sandhi menyimpulkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera menggunakan Islam sebagai asas partai, dan memandang Islam sebagai 12 solusi konkrit yang dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat Indonesia. Sistem pengkaderan yang dilakukan oleh PKS adalah tarbiyah. Budaya yang mendahulukan prinsip syura dalam pengambilan keputusan yang dianggap strategis, PKS berkeyakinan bahwa keputusan yang terbaik hanya dihasilkan dari keputusan syura sebagai prinsip politik Islam. Sandhi menyimpulkan bahwa proses kaderisasi telah menetapkan standarisasi pembentukan kader yang Islami sesuai dengan jenjang kader, serta target-target pencapaian yang dijadikan indikator kader dari jenjang yang dasar ke jenjang kader yang lebih tinggi. Penulis dapat menyimpulkan dari keempat referensi tersebut, bahwa penelitian dari Munauwarah, Sarumpaet, dan Haboddin memiliki persamaan, yaitu lebih banyak meneliti perihal politik identitas dalam wajah etnis. Penelitian Sandhi lebih fokus terhadap politik identitas partai Islam, yaitu Partai Keadilan Sejahtera sebagai objek penelitian. Hal yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian politik identitas karena ingin mengembangkan penelitian dari Munauwarah, Sarumpaet, dan Haboddin, dengan ketertarikan khususnya pada politik identitas muslim kampung Jawa terhadap Partai Keadilan Sejahtera. Acuan penelitian dari Sandhi perihal politik identitas partai Islam, menyebabkan penulis tertarik meneliti PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Hal ini dikarenakan PKS sebagai partai Islam dalam mengembangkan kadernya di Denpasar, telah menunjukan kekuatannya di pemilu legislatif daerah kabupaten/kota, maupun provinsi. Berdasarkan jumlah massa pemilih PKS yang sebagian besar masyarakat pendatang muslim atau urban muslim, maka penulis meneliti 13 bagaimana politik identitas terhadap partai politik, serta bagaimana partai politik tersebut dalam mengintegrasikan kepentingan politik muslim, memelihara dan menjaga dukungan basis massa. 2.2 Kerangka Konseptual 2.2.1 Muslim Kampung Jawa Muslim kampung Jawa dalam penelitian ini awalnya merujuk pada kalangan urban yang menetap dan telah memiliki Kartu Identitas Penduduk (KTP) kota Denpasar. Kaum urban di kota Denpasar definisinya masih diperdebatkan antara pendatang yang belum memiliki KTP, atau pendatang yang telah memiliki KTP kota Denpasar. Pada akhirnya penelitian ini memperkecil letak atau setting di kampung Jawa dan masyarakat muslim kampung Jawa sebagai subyek penelitian. Konsep dari muslim kampung Jawa tidak terlepas dari konsep urban dan masyarakat pribumi muslim di kota Denpasar, tetapi hanya terfokus pada masyarakat muslim kampung Jawa sehingga mempermudah penelitian. Definisi muslim secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014), yaitu penganut agama Islam. Muslimin berarti laki-laki muslim yang menganut agama Islam, dan muslimat berarti perempuan muslim. Kampung yaitu kelompok rumah yang merupakan bagian dari kota, dan umumnya dihuni oleh orang yang berpenghasilan rendah. Kampung dapat berarti desa atau dusun, yang merupakan kesatuan administrasi terkecil serta menempati wilayah tertentu di bawah kecamatan. Konsep muslim kampung, yaitu masyarakat yang 14 menganut agama Islam dalam suatu kelompok rumah atau dusun yang masih dalam bagian suatu kota. Konsep muslim kampung Jawa dapat diistilahkan sebagai masyarakat muslim yang identik dengan warga dari pulau Jawa. Kampung Jawa terletak di jalan Ahmad Yani kecamatan Denpasar utara, dan merupakan salah satu daerah kaum muslim tinggal dan menetap. Kampung Jawa sangat terkenal di kota Denpasar sebagai tempat tinggal para muslim sejak dulu. Tanah dari kampung Jawa merupakan hibah dari kerajaan Badung kepada kaum muslim yang berdagang di pasar Badung. Muslim kampung Jawa didominasi oleh etnis Madura, Jawa, serta beberapa muslim dari Karangasem dan Buleleng. Masyarakat di kampung Jawa erat kaitannya dengan proses urbanisasi dan transmigrasi. Pendatang urban dari berbagai daerah dalam dan luar Bali masuk ke kampung Jawa untuk tinggal dan menetap, sehingga menyebabkan variasi dalam budaya masyarakat. Konsep urban menurut Setijowati (2010: 101) berarti sesuatu yang secara langsung maupun tidak langsung bersifat kekotaan dan terkait urbanisasi. Menurut Purwantini (dalam Setijowati, 2010: 94) masyarakat urban tergolong sebagai masyarakat multietnis yang terkumpul disatu kota utama (metropolis), dan terdiri dari berbagai suku, golongan, dan kelompok. Kampung Jawa masih dalam area kecamatan Denpasar utara, dan tergolong dalam wilayah kota. Masyarakat di kampung Jawa pada umumnya didominasi oleh etnis Madura dan Jawa. Motivasi dari urban menurut Setijowati, yaitu masyarakat urban memiliki ambisi memenuhi kebutuhan 15 hidupnya menjadi lebih baik. Alasan ekonomi dan mencari sumber penghasilan yang lebih baik menjadi dasar masyarakat urban ke kota. Masyarakat kampung Jawa yang didominasi masyarakat muslim pribumi dan pendatang berbaur dalam suatu identitas bersama, yaitu identitas sebagai masyarakat muslim kampung Jawa. Menurut persepektif difusi atau penyebaran, sekelompok manusia yang tinggal dan menetap lama sehingga memiliki ikatan sejarah emosional dengan wilayahnya, dapat dikatakan sebagai masyarakat pribumi. Masyarakat pendatang yaitu kelompok manusia yang melakukan perpindahan ke suatu wilayah, tinggal serta beradaptasi dalam proses interaksi bersama masyarakat pribumi (Munauwarah: 2011: 23). Konsep dari muslim kampung Jawa dalam penelitian ini, yaitu memuat keseluruhan masyarakat muslim baik pribumi maupun pendatang di kampung Jawa. Masyarakat pribumi menurut Abdilah (2002: 18), yaitu orang atau kelompok yang mengklaim diri sebagai penduduk asli suatu daerah dan wilayah tertentu. Asal-usul pribumi melalui kacamata sejarah etnis, dapat diselidiki apakah sukusuku tertentu menduduki wilayah tertentu, dan apakah mereka mempunyai nilainilai yang adil pada daerahnya pada masa pendudukannya (Krupat dalam Abdilah, 2002: 109). Muslim kampung Jawa pada sejarahnya merupakan para pendatang yang tinggal dan menetap di daerah pasar Badung untuk melakukan perdagangan dan bisnis. Muslim pribumi di kampung Jawa memiliki ikatan sejarah dengan kerajaan Badung. 16 Kampung Jawa sebagai sebuah tempat yang didominasi masyarakat muslim di kota Denpasar, saling berinteraksi antara pribumi muslim dan menerima pendatang urban dari berbagai daerah. Menurut Abdilah (2002: 110) penduduk pribumi dalam sisi sosial tidak dapat menghindari interaksi dengan para pendatang atau para imigran. Mereka harus menghadapi semangat pendatang dalam mencari peruntungan di daerahnya. Masyarakat di kampung Jawa baik pribumi maupun pendatang sebagian besar berdagang, membuka usaha, dan memperkerjakan masyarakat kampung Jawa. 2.2.2 Partai Keadilan Sejahtera Kota Denpasar Sebelum membahas Partai Keadilan Sejahtera kota Denpasar, maka penulis sertakan beberapa konsep mengenai partai politik. Pengertian dari partai politik dalam konteks Islam diperlukan karena berkaitan dengan Partai Keadilan Sejahtera. Menurut Sandhi (2014: 07), dalam konteks Islam partai adalah hizb dan politik adalah siyasah. Hizb adalah kumpulan orang yang memiliki satu tujuan, siyasah berarti pengurusan atas umat Islam. Partai politik atau hizbun siyasiun merupakan sekelompok orang yang terorganisir dan memiliki orientasi nilai, serta cita-cita yang sama dalam mengurus umat. Partai Islam dalam konteks tersebut merupakan sekelompok orang yang memiliki cita-cita, nilai, dan tujuan yang disandarkan pada Islam serta mengurusi umat dengan jalan Islam. Menurut Carl J. Friedrich (dalam Loso, 2013: 03), partai politik merupakan sekompok manusia yang terorganisir stabil yang memiliki tujuan 17 untuk merebut, atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pemimpin partainya dan memberikan kepada anggota partainya yang bersifat idiil dan materiil. Menurut Sigmund Neumann (dalam Budiardjo, 2008: 404), partai politik adalah organisasi dari para aktivis politik yang berusaha menguasai pemerintahan, serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Partai politik sebagai perantara yang menghubungkan kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga pemerintahan. Penelitian ini berkaitan dengan identitas partai politik. Setiap partai politik memiliki ideologi yang digunakan sebagai identitas atau karakteristik suatu partai. Menurut Firmanzah (2008: 105), identitas atau ideologi digunakan partai agar semua orang terutama masyarakat pemilih yang berhak memberikan suara dukungan dapat dengan mudah membedakannya dengan partai politik lain. Partai dapat dikatakan sebagai penganut ideologi tertentu jika suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma tercemin dalam semua aspek organisasi partai. Kejelasan sistem nilai dan paham, akan memudahkan masyarakat dalam mengidentifikasi dan membedakan suatu partai dengan partai lainnya. Hal ini memudahkan partai politik untuk positioning dan mengemas bahasa komunikasi kepada target pemilih. Partai politik dalam positioning menurut Worcester dan Bainez (dalam Firmanzah, 2008: 160) menyatakan bahwa partai dan kandidat pemilihan umum melakukan positioning melalui penciptaan ulang kebijakan, image, dan jasa 18 yang disediakan bagi publik. Ketepatan dalam membuat positioning yang menyangkut image politik, produk politik, pesan politik, serta program kerja dapat membantu penciptaan identitas politik. Menurut Sandhi (2014), Partai Keadilan Sejahtera dalam konsep ideologi dan positioning tersebut menggunakan Islam sebagai ideologi partai. Pada awal mula berdirinya PKS, partai ini didirikan setelah mundurnya presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 oleh para tokoh KAMMI. Awalnya nama partai ini adalah Partai Keadilan (PK). Partai Keadilan dideklarasikan pada 20 Juli 1998 di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, dan mengangkat Nurmahmudi Isma’il sebagai presiden pertamanya. Pada pemilu legislatif tahun 1999, PK gagal memenuhi ambang batas parlemen sebesar dua persen. Atas kegagalan tersebut, menurut regulasi pemerintah diharuskan mengganti nama partai. Pada 2 Juli 2003, Partai Keadilan menyelesaikan seluruh proses verifikasi Departemen Hukum dan HAM. Sehari kemudian, PK resmi berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (Fathurin, 2004: 284). PKS Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kota Denpasar sebagai salah satu partai yang berideologi Islam, telah berkembang dan menyebarkan kaderkadernya di tiap kecamatan kota Denpasar. Sekretariat DPD PKS masih bergabung dengan Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) PKS Bali, yang bertempat di Jalan Tukad Yeh Ho III No, 1 Denpasar. DPD PKS Denpasar pada periode tahun 2010-2015, diketuai oleh Hilmun Nabi mempunyai visi: menjadi 19 Partai Dakwah yang kokoh dan transformatif untuk melayani bangsa. Susunan kepengurusan DPD PKS Kota Denpasar 2010-2015, yaitu: Tabel 2.1 Pengurus DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Denpasar tahun 2010-2015 Nama Jabatan Hilmun Nabi Ketua Umum Alim Mahdi Sekretaris Umum Aang Ardiansyah Bendahara Umum Fahmi Fadhillah Bidang Kaderisasi Vera Poedjiastoety Bidang Perempuan Jojo Siswoyo Bidang Pengembangan Wilayah Dakwah Arif Nugroho Bidang Kepanduan dan Olahraga H. Ryosid Ridlo Bidang Pembangunan dan Keumatan Ahmad Rosadi Lubis Bidang Generasi Pemuda dan Profesi Sumber: data DPD PKS kota Denpasar DPD PKS kota Denpasar, memetakan bassis massa dukungan partai di kota Denpasar. PKS yang lebih banyak didukung oleh muslim memetakan beberapa wilayah yang berpotensi sebagai basis massa dukungan. Peta basis massa dari PKS di kota Denpasar, dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Gambar 2.1 Peta Basis Massa Muslim PKS Kota Denpasar Sumber: olah data hasil wawancara dengan ketua DPD PKS Denpasar 20 Berdasarkan gambar diatas, menurut Hilmun Nabi sebagai ketua umum DPD PKS Denpasar, kader di Denpasar berjumlah sekitar 740 kader. Perolehan suara PKS dengan komunitas muslim sebagai basis massa, tersebar di beberapa wilayah Denpasar, yaitu: Denpasar Barat daerah monang-maning, Denpasar Utara daerah kampung Jawa, serta Denpasar Selatan daerah Kepaon dan Serangan. Denpasar Timur kurang signifikan massa dukungan PKS, karena menurut Hilmun Nabi untuk saat ini yang terlihat dipermukaan hanya daerah Denpasar barat, selatan, dan utara, terutama kampung Jawa. Partai Keadilan Sejahtera mendapatkan 2 kursi pada pemilu legislatif tahun 2009 di kota Denpasar. Pada daerah pemilihan (dapil) Denpasar 1, PKS mendapat 4090 suara sehingga memperoleh 1 kursi. Pada dapil Denpasar 3, PKS mendapatkan 2184 suara sehingga memperoleh 1 kursi. Pada dapil Denpasar 2, PKS tidak mendapatkan kursi karena hanya memperoleh 946 suara. Kedua legislatif yang berasal dari PKS adalah Hilmun Nabi yang mendapatkan 1269 suara, dan H. Mudjiono yang mendapatkan 969 suara (data KPU, 2009). Pada tahun 2014, Partai Keadilan Sejahtera meningkatkan perolehan kursinya menjadi 3 kursi di pemilu legislatif kota Denpasar. Perolehan suara PKS meningkat pada setiap dapil. Pada dapil Denpasar 1, PKS memperoleh 2479 suara; Pada dapil Denpasar 2, PKS memperoleh 1498 suara; Pada dapil Denpasar 3, PKS memperoleh 2720 suara; Pada dapil Denpasar 4, PKS memperoleh 1554 suara; Pada dapil Denpasar 5, PKS memperoleh 2768 suara. Ketiga legislatif yang mendapatkan kursi dari PKS, yaitu Hilmun Nabi 21 (incumbent) yang mendapatkan 1518 suara, Drs. Umar Dany yang mendapatkan 1597 suara, dan Muhammad Nur Fatah, SH yang mendapatkan 910 suara (data KPU, 2014). PKS dalam melakukan kegiatan selama satu bulan, sekretariat digunakan oleh DPW dan DPD PKS. Setiap pekan ganjil yang menggunakan adalah DPW PKS, sedangkan pada pekan genap yang menggunakan adalah DPD PKS. Setiap senin malam pukul 20.00 WITA diadakan rapat pengurus. Rapat pengurus PKS diadakan dua minggu sekali. Kader pada PKS, terbagi dalam kelompok-kelompok kecil, yang biasanya satu kelompok terdiri dari 10 orang. Tujuannya untuk memudahkan dalam mengadakan pertemuan dan melakukan pengajian. Pengajian dilakukan di sekretariat PKS setiap minggunya. Selain acara yang bersifat formal, acara informal pun kerap digelar oleh PKS. Acara informal seperti acara rekreasi se-Bali yang biasa dilakukan setiap satu tahun sekali, dan mengadakan pembinaan-pembinaan bagi kader serta anggota keluarga masing-masing kader. PKS menggunakan dua strategi dalam proses mekanisme kultur penjenjangan kader partai, dan budaya kultur PKS dalam mempersiapkan kader partai. Pertama adalah pola rekrutmen individual (al-da’wah al-fardhiyyah), atau bentuk pendekatan orang per-orang meliputi komunikasi personal secara langsung. Calon kader yang direkrut diajak berpartisipasi dalam forum-forum pembinaan rohani yang diorganisir PKS, seperti usrah (keluarga), halaqah (kelompok studi), liqa (pertemuan mingguan), rihlah (rekreasi), mukhayyam 22 (perkemahan), daurah (pelatihan intelektual) dan nadwah (seminar). Kedua adalah pola rekrutmen institusional (al-da’wah al’amma). PKS berafiliasi dengan berbagai organisasi sayap yang berstatus formal atau tidak formal, sehingga partai dapat memanfaatkan institusi ini untuk memperoleh kader (Burhanuddin, 2012). Salah satu strategi PKS yang saling berkaitan dan saling mendukung, yaitu dakwah, mobilitas kader dan wajihah. PKS mewajibkan kadernya terlibat aktif dalam pelatihan hierarkis dan sekaligus sosialisasi kultur PKS yang disebut marhalah. Pelatihan ini mencakup proses pembelajaran (ta’lim), pelatihan keorganisasian (tandzim), pembinaan karakter (taqwin) dan evaluasi (taqwim). PKS mensosialisasikan kultur identitas dalam bentuk pelatihan-pelatihan kaderisasi. Menurut Musyawarah Nasional (Munas) tahun 2010 di Jakarta, PKS membedakan antara kader dan anggota. Kader adalah anggota yang terikat oleh sistem kaderisasi, sehingga sudah pasti seorang muslim. Sementara anggota adalah siapa saja yang terikat kepada organisasi, serta bersifat lebih umum dan terbuka (Damanik, 2002). 2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori Politik Identitas Penulis menggunakan teori politik identitas yang terkonstruksi berdasarkan beberapa konsep yang relevan dari pemikiran tokoh-tokoh, seperti Manuel Castells, Anthony Giddens, dan Clifford Geertz. Konsep-konsep tersebut saling berkaitan dan membangun teori politik identitas yang dapat menjawab permasalahan penelitian. Konsep-konsep tersebut, yaitu: konsep 23 pembentukan identitas dari Manuel Castells dan Anthony Giddens, konsep primordialisme dari Cliford Geertz, serta konsep etnisitas. Politik identitas sangat berkaitan erat dengan identitas etnis dan identitas agama. Identitas menurut Castells (2010: 6) di dalam buku keduanya yang berjudul The Power of Identity, yaitu: 1. Identitas merupakan sumber makna dan pengalaman orang; 2. Identitas merupakan proses kontruksi makna yang berdasar pada atribut kultural, atau seperangkat atribut kultural, yang diprioritaskan diatas sumbersumber pemaknaan lain; 3. Identitas bersifat jamak (plural) dan bukan tunggal (singular); 4. Identitas berfungsi untuk menata dan mengelola makna (meanings); 5. Gugus identitas adalah sumber-sumber makna bagi dan oleh aktor yang dikontruksi dengan proses individuasi; 6. Identitas terkait dengan proses internalisasi nilai, norma, tujuan dan ideal; 7. Identitas pada hakikatnya dibedakan menjadi identitas individu dan identitas kolektif. Individualisme dapat menjadi identitas kolektif sebagai identitas bersama dalam suatu kesamaan identitas individu yang dikumpulkan menjadi kesatuan identitas. Konsep identitas Castells diatas, dikaitkan dengan identitas muslim kampung Jawa merupakan proses kontruksi dari atribut kultural Islam dan atribut kultural etnis yang ada dalam masyarakat muslim. Identitas yang terbangun melalui proses kontruksi tersebut dimaknai sebagai identitas bersama 24 yang melambangkan suatu daerah yang terdapat perkumpulan kesatuan identitas. Proses internalisasi nilai, norma, tujuan dan idealisme muslim kampung Jawa menguatkan identitas bersama (kolektif) dalam identitas kesamaan etnis kedaerahan dan identitas kesamaan agama Islam. Menurut Giddens (1991: 75), identitas terbangun oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga terbangun suatu perasaan terus-menerus tentang kelangsungan atau kontinuitas biografi. Konsep identitas dari Giddens, penulis dapat interpretasikan bahwa identitas individu dapat terbentuk dari kemampuan mengidentifikasi diri dalam menghadapi kehidupan lingkungan dan sosial masyarakat. Berdasarkan konsep tersebut, muslim kampung Jawa mengidentifikasikan dirinya sebagai masyarakat minoritas yang tergabung dalam suatu komunitas kesamaan identitas agama, etnis dan wilayah tinggal. Kemunculan identitas sebagai minoritas, disebabkan oleh kuatnya dominasi masyarakat Hindu Bali. Politik identitas muslim kampung Jawa bermula dari proses pembentukan pembangunan identitas masyarakat muslim. Hubungan politik dan kekuasaan dari identitas, dalam politik identitas, dikontruksikan dalam pembentukan pembangunan identitas oleh seseorang atau sekelompok orang. Konstruksi sosial dari identitas selalu terjadi dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan. Castells (2010: 8) menyebutkan tiga bentukan pembangunan identitas, yaitu: 25 a. Identitas legitimasi (legitimizing identity) yaitu identitas yang diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu masyarakat untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya terhadap aktor-aktor sosial. b. Identitas resisten (resistance identity) yaitu sebuah proses pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial yang dalam kondisi tertekan dengan adanya dominasi dan stereotip oleh pihak-pihak lain, sehingga membentuk resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan untuk keberlangsungan hidup kelompok dan golongannya. Sebuah terminologi yang disebutkan ketika Calhoun mengidentifikasi munculnya politik identitas. c. Identitas proyek yaitu suatu identitas dimana aktor-aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisi-posisi baru dalam masyarakat sekaligus mentransformasi struktur masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan teori pembentukan pembangunan identitas Castells diatas, muslim kampong Jawa merupakan pembentukan identitas resisten (resistance identity), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) termasuk kedalam pembentukan identitas legitimasi (legitimizing identity). Pembentukan identitas resisten muslim kampung Jawa, merupakan akibat dari identifikasi dirinya sebagai masyarakat minoritas di Bali. Minoritas dalam kaitannya dengan dominasi, penulis mengutip Castells (2010: 421) yang mengatakan: 26 “…thus on the other hand the dominant global elites inhabiting….while on the other hand people resisting economic, cultural and political disfranchisement tend to be attracted to communal identity”. Kutipan Castell di atas, mengemukakan bahwa saat sebuah masyarakat mayoritas yang dominan, terdapat masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap ekonomi, budaya hingga pilihan politik, tergabung dalam identitas bersama. Politik identitas merupakan partisipasi individual pada kehidupan sosial yang lebih ditentukan oleh budaya dan psikologis seseorang. Inti dari konsep identitas Castells, yaitu identitas merupakan proses konstruksi dasar dari budaya dan psikokultural dari seorang individu yang memberikan arti dan tujuan hidup dari individu tersebut, karena terbentuknya identitas adalah dari proses dialog internal dan interaksi sosial (Castells, 2010: 6-7). Jika dalam proses pembentukannya dalam kondisi tertekan (identitas resisten) dengan adanya dominasi pihak lain, maka akan muncul identitas dalam istilah Calhoun disebut politik identitas (Castells, 2010: 8). Menurut Buchari (2014: 20), politik identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai tujuan tertentu, di mana kemunculannya lebih banyak disebabkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang dipandang oleh suatu etnis sebagai adanya suatu tekanan berupa ketidakadilan politik yang dirasakan oleh mereka. Berdasarkan perasaan senasib tersebut, maka mereka bangkit menunjukkan identitas atau jati diri etnisnya dalam suatu perjuangan politik, untuk merebut kekuasaan dengan memanipulasi kesamaan identitas, atau karakteristik keetnisan tertentu yang tumbuh di dalam kehidupan sosial budayanya. Buchari (2014: 24) menyimpulkan, politik 27 identitas adalah aliran politik yang ingin melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik, seperti suku, agama, etnisitas, gender, jenis kelamin, dan orientasinya. Ubed Abdilah (2002: 68) berpandangan bahwa salah satu permainan politik identitas adalah agama, karena kekuatan agama mengikat individu dalam suatu ikatan kebersamaan sangat kuat, sehingga agama menjadi komoditas politik yang kental bagi beberapa kelompok individu. Partai-partai yang mendasarkan asasnya pada agama tertentu dalam suatu negara merupakan bukti bahwa keterlibatan agama cukup kuat. Fenomena Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai yang berasaskan Islam relevan dengan pendapat ini. Berdasarkan pandangan diatas, fenomena politik identitas muslim kampung Jawa menggunakan alat perjuangan politik etnis dan agama untuk mencapai tujuan tertentu, demi kepentingan kelompoknya. Ketidakadilan dominasi politik lokal di Denpasar, muslim kampung Jawa sebagai masyarakat minoritas bangkit menunjukan identitasnya. Politik identitas di dalam fenomena empiris menurut Buchari (2014: 27) memperlihatkan secara nyata proses terjadinya perubahan besar yang berklimaks pada bersatu-padunya etnis dalam memperjuangkan perikeadilan dan perikemanusiaan, secara kukuh dan kuat, karena mereka merasa diabaikan dan tertekan oleh bentuk dan praktik ketidakadilan secara politik, sosial, budaya, dan ekonomi, sehingga mereka sengsara dalam hampir setiap aspek dan dimensi kehidupannya. Primodialisme sebagai salah satu pendekatan, melihat 28 fenomena etnis dalam kategori sosio-biologis. Pada umumnya pendekatan primordialisme beranggapan bahwa kelompok sosial dikarakteristikkan oleh kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa, dan organisasi sosial yang disadari sebagai hal yang sudah ada sejak lahir. Menurut Geertz (1973: 250), ragam budaya dalam masyarakat majemuk seringkali memunculkan sikap-sikap primordialisme. Primordial sering digunakan sebagai politik identitas etnis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena dianggap bermanfaat sebagai basis massa suatu kelompok yang dapat digerakkan. Menurut Geertz, 6 elemen pembentuk ikatan primordial, yaitu: ikatan kekerabatan, ras, bahasa, wilayah, agama dan adat istiadat. Agama sebagai sumber ikatan primordial mempunyai nilai efektif dalam mempersatukan penganutnya. Identitas etnis terakumulasi unsur-unsur perekat atau pengikat kekeluargaan, seperti: unsur ras, kepercayaan atau agama, budaya, dan warisanwarisan para leluhurnya. Erikson (dalam Abdilah, 2002: 79) menambahkan syarat kemunculan etnisitas atau suatu kelompok etnis adalah bahwa kelompok tersebut paling sedikit telah menjalin hubungan atau kontak dengan etnis yang lain, dan masing-masing menerima gagasan dan ide-ide perbedaan diantara mereka secara kultural. Etnisitas dalam pandangan instrumentalis versi pertama, yaitu fokus dalam kompetisi dalam elit untuk memperoleh sumber daya dan usaha memanipulasi simbol untuk mendapatkan dukungan massa, dan meraih tujuan politik yang hendak dicapai elit. Versi kedua, yaitu fokus pada strategi 29 elit untuk memaksimalkan pilihan-pilihan rasional dalam given situation. Berdasarkan konsep ini, penulis dapat menginterpretasikan bahwa untuk meraih dukungan massa, para elit memanipulasi identitas untuk meraih tujuan politik dan strategi memaksimalkan pilihan rasional dalam politik identitas. Politik identitas dalam format keetnisan, tercermin dari upaya memasukkan nilai etnis kedalam peraturan daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus, sampai dengan munculnya gerakan separatis. Sementara dalam konteks keagamaan, politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukkan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk dalam perda syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu (Latif, 2009: 136). Fenomena politik identitas dari muslim kampung Jawa di Denpasar yang dikaitkan dengan format keetnisan dan keagamaan, berujung kepada partai politik sebagai wadah untuk mencapai kekuasaan politik dalam memasukan nilai-nilai keagamaan hingga identitas keetnisan sebagai penguatan partai yang berbasis identitas keagamaan. 2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan politik identitas kampung Jawa terhadap PKS. Kerangka pemikiran penelitian berdasarkan konsep dan teori dari politik identitas. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada bagan dibawah ini: 30 Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian Muslim Kampung Jawa Urban Muslim Pendatang Muslim Pribumi Ikatan Primordial 1. Etnis 2. Agama 3. Perkawinan silang 4. Bahasa daerah 5. Adat dan budaya 6. Wilayah tinggal Identifikasi dan resistensi diri sebagai minoritas Politik Identitas Muslim Kampung Jawa Afiliasi muslim kampung Jawa terhadap PKS: 1. Menjadi kader, simpatisan dan pemilih PKS. 2. Mengikuti kegiatan keagamaan seperti pengajian dan kegiatan sosial PKS Afiliasi PKS terhadap muslim kampung Jawa: 1. Pengkaderan, pelatihan dan pembinaan 2. Mengadakan kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial seperti bansos, pengobatan gratis, bazzar, dll PKS sebagai kendaraan politik Penguatan PKS sebagai partai berbasis identitas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 31 Berdasarkan bagan diatas, Muslim kampung Jawa terdiri dari masyarakat pribumi muslim dan urban pendatang yang terintegrasi dalam suatu ikatan primordial, yaitu etnis, agama, perkawinan silang, adat dan budaya, bahasa daerah, serta wilayah tinggal. Berdasarkan kontruksi pembentukan identitas Castells, muslim kampung Jawa termasuk identitas resisten. Resistensi muslim mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat minoritas di kota Denpasar. Muslim kampung Jawa yang terdiri dari etnis Madura, Jawa serta etnis lainnya mengintegrasikan identitas kesamaan daerah tinggal mereka, yaitu dusun Wanasari kampung Jawa. Kurangnya perhatian pemerintah dalam membangun daerahnya, dan dominasi dari masyarakat Bali Hindu dalam pemerintahan, menimbulkan politik identitas menguat di kalangan muslim kampung Jawa. Identitas yang dimaksud adalah identitas sebagai warga muslim di kampung Jawa dengan berbagai macam etnis didalamnya terintegrasi menjadi satu kesatuan identitas muslim. Upaya politik dari kaum muslim kampung Jawa, salah satunya mencari wadah atau kendaraan untuk mencapai tujuan politik demi kesejahteraan bersama. Wadah tersebut sebagai tempat pembelajaran politik, penyalur aspirasi masyarakat, dan tempat menemukan orang yang memiliki visi serta tujuan yang sama. Partai Keadilan Sejahtera kemudian masuk ke kampung Jawa, menawarkan ide, visi, dan program yang sejalan dengan apa yang diharapkan oleh muslim di kampung Jawa. PKS menurut Castells dalam kontruksi pembentukan identitas 32 sebagai identitas yang terlegitimasi. PKS menggunakan nilai-nilai dan asas Islam sebagai identitas atau ideologi partai. Muslim kampung Jawa berafiliasi menjadi kader, simpatisan dan pemilih PKS. Muslim kampung Jawa yang tertarik dan kemudian berafiliasi dengan PKS memasukkan nilai-nilai identitas kultur etnis dan budaya dalam masyarakat PKS kampung Jawa. Masyarakat PKS tersebut merupakan suatu kesatuan integrasi yang didalamnya terdapat para kader dan simpatisan PKS di kampung Jawa. Muslim kampung Jawa aktif mengikuti berbagai kegiatan bersama PKS, seperti kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial. PKS berafiliasi dengan musim kampung Jawa melalui pengkaderan, pelatihan, dan pembinaan. PKS melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan sosial bagi kampung Jawa untuk mempermudah melakukan pendekatan terhadap muslim kampung Jawa. Kekuatan terbesar PKS adalah mobilitas massa kader dan simpatisan PKS. PKS akhirnya menjadi kendaraan politik dari muslim kampung Jawa dan sebaliknya muslim kampung Jawa menjadi salah satu basis massa PKS di Denpasar. PKS tidak hanya menjadi wadah kendaraan politik caleg dari kampung Jawa, tetapi PKS ikut menjaga dan memelihara kader agar tetap solid menjadi basis massa PKS. Masyarakat muslim kampung Jawa dengan politik identitasnya sebagai muslim yang memiliki kesamaan identitas dengan PKS, menguatkan identitas PKS sebagai partai berbasis identitas Islam di kota Denpasar.