Marike Raih Doktor Usai Teliti Limbah Merkuri

advertisement
Marike Raih Doktor Usai Teliti Limbah Merkuri
Senin, 30 April 2012 WIB, Oleh: Agung
Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan akibat penambangan emas oleh rakyat adalah
pencemaran merkuri sebagai hasil proses pengolahan emas secara amalgamasi. Proses amalgamasi
emas yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional, ini merkuri dapat terlepas ke lingkungan.
"Saat proses tahap pencucian inilah, limbah yang umumnya masih mengandung merkuri dibuang
langsung ke badan air. Menjadikan merkuri tercampur, terpecah-pecah berwujud butiran-butiran
halus, yang tentu sifatnya sukar dipisahkan," ujar Marike Mahmud di Auditorium Fakultas Geografi
UGM, Sabtu (28/4).
Menurut Marike proses penggilingan yang dilakukan bersamaan dengan proses amalgamasi
menyebabkan proses pencucian merkuri dalam ampas terbawa masuk sungai. Di dalam air merkuri
dapat berubah menjadi senyawa organik metil merkuri atau fenil merkuri akibat proses dekomposisi
oleh bakteri. Selanjutnya senyawa organik tersebut akan terserap oleh jasad renik dan masuk dalam
rantai makanan. "Terjadi akumulasi dan biomagnifikasi dalam tubuh hewan air seperti ikan dan
kerang pada akhirnya masuk juga ke tubuh manusia melalui makanan yang dikonsumsi," jelasnya.
Melaksanaan ujian terbuka program doktor UGM Bidang Ilmu Geografi, dosen Universitas Negeri
Gorontalo menuturkan selain pencemaran merkuri, beberapa dampak lingkungan karena
pertambangan emas tanpa ijin adalah perubahan kualitas air air, sedimen, hewan aquatic dan
vegetasi akibat penggunaan merkuri dalam mengekstrasi emas. Seperti di daerah Mohutango
Kabupaten Bone Bolango yang memiliki 46 unit pengolahan emas dengan masing-masing unit
terdapat 10 tromol, dan masing-masing tromol menggunakan 1 kg Hg sekali putaran. Sementara
kisaran waktu pengolahan untuk satu tromol mencapai 4 jam, sehingga proses pengolahan dalam
kurun waktu 24 jam, intensitas usaha mencapai 5-7 kali proses.
Data menunjukkan terdapat 460 kg merkuri yang dipakai dalam setiap kali putaran, dari setiap 1 kg
merkuri maka menghasilkan limbah 10 gram sehingga dapat diperkirakan limbah yang terbuang ke
lingkungan sebesar 460 Kg Hg x 0,01, atau 4,6 kg terbuang ke lingkungan untuk satu kali putaran.
Sedangkan untuk 5 kali putar setiap harinya, tentu sebanyak 23 kg limbah terbuang ke lingkungan.
"Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena dapat mencemari Sungai Bone. Padahal sungai
ini merupakan sumber air minum masyarakat Gorontalo," tuturnya saat mempertahankan disertasi
"Model Sebaran Spasial Temporal Konsentrasi Merkuri Akibat Penambangan Emas Tradisional
Sebagai Dasar Monitoring dan Evaluasi Pencemaran Di Ekosistem Sungai Tulabolo Provinsi
Gorontalo".
Mengambil sampel di Sungai 17, Sungai Mohutango, Sungai Tulabolo dan Sungai Bone. Sungai 17
dan Sungai Mohutango ini bermuara d Sungai Tulabolo dan Sungai Tulabolo bermuara di Sungai
Bone. Hasil analisis pada sampling periode I (debit rendah) menunjukkan bahwa konsentrasi
merkuri baik di sedimen dasar, sedimen melayang dan air sangat tinggi di sekitar tailing, semakin
ke muara semakin rendah. "Hal ini disebabkan pengambilan sampling dilakukan pada musim
kemarau yang panjang, sehingga debit air sangat kecil, tidak cukup kuat untuk mengangkat
partikel-pertikel yang mengandung merkuri dan akhirnya mengendap," papar isteri dr. Budianto
Kaharu, ibu dua anak ini.
Konsentrasi merkuri di dalam sedimen dasar, sedimen melayang dan air periode ke II (debit sedang)
tidak lagi terpusat di tailing, tapi lebih menyebar dari hulu menuju hilir karena sampling dilakukan
pada bulan pertama musim hujan. Sampling periode ke III dan IV (debit sedang), konentrasi merkuri
tertinggi di effuent, cenderung semakin ke hilir semakin kecil. Peninggian di titik tertentu karena
gerakan partikel dasar sungai, juga karena adanya kegiatan tambang lain di sekitar. Sampling
periode ke V dan VI (debit tinggi) menunjukkan peninggian konsentrasi merkuri di titik-titik tertentu
dan sangat dipengaruhi oleh masukan limbah dari tambang Bor 15.
Melihat limbah sudah berdampak pada keluhan kesehatan masyarakat di tepi Sungai Tulabolo maka
sebaran spasial konsentrasi merkuri di wilayah aliran Sungai Tulabolo perlu mendapat perhatian
yang serius. Oleh karena itu disarankan perlu memberi prioritas wilayah pengelolaan untuk
mereduksi dan mencegah terjadinya pencemaran merkuri terutama di lokasi yang menjadi sumber
limbah. "Jika sumber limbah dikelola dengan baik maka konsentrasi merkuri tidak akan menyebar ke
arah hilir, dan ekosistim di wilayah ini akan pulih seperti keadaan alamiahnya," pungkas Marike.
(Humas UGM/ Agung)
Berita Terkait
●
●
●
●
●
Teliti Adsorpsi Penghilang Zat Warna, Hadiatni Raih Doktor
Alat Deteksi Merkuri Inovasi Mahasiswa UGM
Hasil Penelitian, Sedimen Sungai Sangon Tercemar Metil Merkuri
Alat Deteksi Merkuri Mengantarkan Mahasiswa UGM Menang Kompetisi di Kanada
Teliti Sistem Saraf Otonom, Dosen FK Raih Doktor
Download