Peran HLA pada Karsinoma Nasofaring

advertisement
Peran HLA pada Karsinoma Nasofaring
Delfitri Munir
Departemen Ilmu Kesahatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara
Abstrak: HLA merupakan petanda imunogenetik seseorang yang berperan pada respon imun
terutama pada infeksi intraselular seperti infeksi virus Epstein-Barr. HLA diturunkan secara
heterozigot dan bersifat kodominan serta mengikuti pola induk kelompok rasnya. Akibatnya, kelompok
ras tertentu akan mengahadapi resiko menderita penyakit tertentu. Infeksi VEB yang merupakan salah
satu faktor penyebab penting pada KNF, sangat ditentukan keberadaannya oleh HLA. Kemampuan
HLA mempresentasikan peptida VEB kepada ThCD4 atau TcCD8 melalui TCR sangat menentukan
respon imun terhadap VEB tersebut.
Kata kunci: Human leucocyte antigen, karsinoma nasofaring
Abstracts: HLA is a personal immunogenetic, that has a role in immune response as especially on
intra cellular infection such as Epstein-Barr viruses. HLA is inherited as heterozygot and has
character of co-dominant and follow main pattern ethnic group. As a consequence, certain ethnic
group have a risk suffering from certain disease. Epstein-Barr virus infection that is one of NPC
important etiology factors, that is much defined by HLA. The capability of HLA to present these
viruses petide for ThCD4 or TcCD8 by means of TCR much difines immune response for that virus.
Keywords: Human leucocyte antigen, nasopharyngeal carcinoma
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan
tumor ganas daerah kepala dan leher yang paling
banyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60%
dari tumor ganas kepala dan leher adalah KNF.
Penyakit ini menduduki urutan ke lima dari
seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim,
payudara, kelenjar getah bening dan kulit,
dengan prevalensi 4,7 per 100.000 penduduk
setiap tahun.1,2
Penyebab pasti KNF sampai saat ini belum
ditemukan, namun ada beberapa faktor yang
dicurigai sebagai faktor penyebab.
Faktor
tersebut adalah faktor ekstrinsik seperti virus
Ebstein-Barr, nitrosamine, pola makan dan
lingkungan. Sedangkan faktor intrinsik misalnya
gen human leucocyte antigen (HLA), protoonkogen dan gen supresor.3
Faktor genetik diyakini berperan sebagai
salah satu faktor etiologi KNF. Keyakinan
bahwa faktor ini berperan berdasarkan faktafakta seperti, terdapat perbedaaan frekuensi
yang nyata diantara berbagai kelompok suku
bangsa. Fakta tersebut antara lain pada populasi
China Selatan yang memiliki frekuensi KNF
100 kali dibanding frekuensi pada populasi
Kaukasia. Disamping itu dijumpai adanya
peningkatan resiko pada keluarga penderita
KNF dan masih tingginya resiko KNF emigran
324
asal China di daerah yang insidennya sangat
rendah.4
Salah satu faktor genetik yang paling
dicurigai adalah gen HLA. Gen ini diturunkan
secara heterozigot dan bersifat kodominan.
Akibatnya, kelompok masyarakat dengan HLA
tertentu akan menghadapi resiko terjadinya
penyakit tertentu (Abbas dan Lichtman, 2003).
Beberapa penyakit diduga ada kaitannya dengan
HLA, dalam arti penderita dengan penyakit
tertentu sering dijumpai memiliki gen HLA
tertentu.5
Beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa VEB mempunyai hubungan yang kuat
dan konsisten dengan penyebab KNF. Infeksi
VEB berhubungan erat dengan derajat imunitas
seluler seseorang, yang terkait dengan pengaruh
faktor imunogenetik. Dalam proses ini, salah
satu faktor yang memiliki peran penting adalah
HLA yang bekerja sebagai regulator pada
respon imun, sekaligus sebagai petanda genetik
setiap individu.6 Pada infeksi laten, terjadi
rekombinan DNA VEB dan DNA host yang
mengakibatkan terbentuknya gen-gen yang
mengespresikan protein seperti EBNA, LMP,
VCA, EBER yang berperan pada transfortasi
keganasan, dapat menyebabkan mutasi gen p53.
Keadaan ini akan menekan proses apoptosis
sehingga terjadi proliferasi sel yang tidak
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Delfitri Munir
terkontrol yang
keganasan.7
Peran HLA pada Karsinoma Nasofaring
mengarah
pada
proses
GEN HLA
Gen major histocompatibility complex
(MHC) adalah kompleks gen pada 4-megabase
region di rantai pendek kromosom nomer 6 di
dalam inti sel. MHC merupakan istilah umum,
sedangkan pada manusia disebut HLA. Gen ini
mengekspresikan molekul HLA yang terdapat di
permukaan sel, dan molekul ini sangat berperan
pada sistem imun, khususnya dalam menghadapi
infeksi seperti infeksi virus.8,9
Nomenklatur sistem HLA berasal dari HLA
Nomenclature Commitee of the World Health
Organization yang dibentuk tahun 1969, dan
dilaporkan pertama kali pada tahun 1970. HLA
kelas I terdiri dari beberapa lokus seperti: HLAA, -B, -C, dan HLA kelas II terdiri dari HLADR, -DQ dan -DP. Setiap lokus HLA terdiri
dari alel yang sangat polimorfik dan dari waktu
kewaktu akan bertambah sesuai dengan
penemuan para peneliti.9,10 (Gambar 1).
Gambar 1. Regio dan organisasi HLA pada
lengan pendek kromosom 6 (dikutip
dari kepustakaan 11)
EKSPRESI GEN HLA
Ekspresi gen adalah proses pembentukan
messenger RNA dan molekul protein dengan
menggunakan informasi yang tersimpan di
DNA. Pada proses pembentukan ini, informasi
pertama kali ditranskripsikan kedalam RNA
yang single stranded dan disebut juga dengan
DNA like molecule atau messenger RNA
(mRNA). Dalam hal ini 4 macam nukleotida
diterjemahkan (translated) menjadi 20 protein
asam amino. Pada proses transkripsi, enzim
RNA polimerase mengenal dan mengikat
nukleotida DNA sehingga rantai DNA menjadi
terpisah, dan terbentuklah rantai baru. Apabila
RNA polimerase menemukan nukleotida
pertama pada DNA adalah T, maka enzim akan
menambah dengan nukleotida A pada rantai
yang dibuat. Demikian juga apabila molekul
DNA selanjutnya adalah G, maka molekul C
akan ditambah pada rantai yang baru. Akhirnya
tanda berhenti dari gen dicapai, RNA
polimerase lepas dari DNA dan rantai RNA
yang baru terbentuk. Rantai RNA yang baru ini
disebut dengan messenger RNA yang membawa
informasi dari DNA yang digunakan untuk
membentuk protein asam amino. Messenger
RNA membawa informasi dari DNA kepada
ribosom dan disini informasi pada mRNA
mengalami translasi dari nukleotida kepada
molekul asam amino. Pada manusia DNA
berada di nukleus, sedangkan ribosom di
sitoplasma sehingga mRNA harus meninggalkan
DNA sebelum menyentuh ribosom. Ribosom
menyentuh mRNA pada tempat yang disebut
start codon.12
MOLEKUL HLA
Molekul HLA kelas I merupakan molekul
yang diekspresikan oleh gen HLA kelas I dan
terletak pada permukaan sel berinti jaringan
somatik, kecuali jaringan susunan saraf pusat,
sperma, oosit dan plasenta yang ekspresinya
sangat minimal. Manfaat biologik ekspresi dari
gen HLA kelas I adalah memproses dan
mempresentasikan antigen intra sel, misalnya
peptida virus terhadap sel Tc CD8+ melalui
molekul T Cell Receptor (TCR).8
Struktur molekul HLA kelas I terdiri dari
antigen binding region, immunoglobulin like
region, transmembrane region dan cytoplasmic
region. Antigen binding region berfungsi untuk
mengikat antigen asing. Bagian ini mempunyai
susunan 180 asam amino dan terbagi atas dua
rantai α1 dan α 2, sedangkan Immunologic
region terdiri dari rantai α 2 dan α 3
microglobulin. Rantai α 3 tersusun dari 90 asam
amino, dengan fungsi biologik sebagai tempat
ikatan molekul Tc CD8+. Transmembrane
region adalah polipeptida yang tersusun dari 25
asam amino dan merupakan perpanjangan dari
rantai α 3. Fungsi biologik bagian ini adalah
jalur menuju sitoplasma dan merupakan tempat
terikatnya molekul HLA pada membran sel.8
(Gambar 2).
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
325
Tinjauan Pustaka
Gambar 2. Molekul HLA kelas I (dikutip dari
kepustakaan 9)
Molekul HLA kelas II teletak pada
permukaan
sel imunokompeten seperti sel
makrofag, dendritik, limfosit dan lain-lain.
Manfaat biologik ekspresi dari gen HLA kelas II
adalah memproses dan mempresentasikan
antigen intra dan ekstra sel, misalnya peptida
virus dan bakteri terhadap sel T helper CD4+
(Th CD4+) melalui molekul TCR.13
Struktur molekul HLA kelas II mirip
dengan molekul HLA kelas I. Pada antigen
binding region terdapat rantai α1 dan α1 yang
berlekuk dan berinteraksi secara selektif dengan
peptida antigen. Struktur kimia pada lekukan ini
menentukan sifat polimorfik dari molekul HLA
kelas II. Pada immunoglobulin like region
terdapat rantai α2 dan α2 yang masing-masing
tersusun dari 90 asam amino dan tidak bersifat
polimorfik. Struktur molekul HLA kelas II yang
terletak transmembrane dan cytoplasmic
mempunyai kemiripan fungsi dengan bagian
yang sama dari molekul HLA kelas I.8 (Gambar
3)
Gambar 3. Molekul HLA kelas II (dikutip dari
kepustakaan 9)
326
HLA DAN POPULASI
Setiap individu mempunyai dua alel pada
setiap lokus dan diekspresikan pada permukaan
sel secara independen. Ekspresi antigen HLA
tertentu tidak menyebabkan supresi pada antigen
HLA lain dari satu lokus yang sama. Pewarisan
sistem HLA dari satu generasi ke generasi
berikutnya berdasarkan hukum Mendel dan
bersifat kodominan. Bila seseorang mempunyai
dua alel pada satu lokus, berarti satu alel berasal
dari kromosom ayah dan lainnya berasal dari
kromosom ibu. Karena itu, satu seri antigen
yang lokasinya pada satu kromosom biasanya
diturunkan secara lengkap pada anak-anaknya
sebagai suatu unit atau lazim disebut haplotipe.
Setiap individu memiliki haploptip sesuai
dengan kromosom yang diturunkan oleh orang
tuanya.14
Salah satu karakteristik pada HLA adalah
polimorfik yang menunjukkan
beragamnya
ekspresi dari gen HLA yang terdapat pada suatu
populasi. Hal tersebut karena adanya sejumlah
besar alel yang berperan. Secara teoritik
tingginya tingkat polimorfisme suatu gen karena
akibat salah satu kejadian dari mutation rate,
selection, genetic hitch-hiking atau kombinasi
ketiganya. Penjelasan ilmiah tentang tingginya
polimorfik tersebut berdasarkan adanya
selection molekul HLA karena beragamnya
fungsi biologik yang harus dijalankan oleh
sistem imun. Distribusi gen dan molekul HLA
pada suatu populasi mempunyai pola yang khas
dan mempunyai kemiripan sesuai dengan pola
induk sistem HLA dari kelompok rasnya.
Misalnya populasi Melayu di Indonesia
mempunyai kedekatan jarak genetik dengan
etnis Oriental di China selatan sebagai anggota
dari ras Mongoloid. Oleh karena HLA
diturunkan menurut hukum Mendel, secara
heterozigot dan bersifat kodominan, maka
kelompok masyarakat dengan HLA tertentu
akan menghadapi resiko terjadinya suatu
penyakit.15
HLA DAN RESPONS IMUN
Misi utama dari sistem imun didasarkan
pada kemampuannya membedakan antigen self
(diri sendiri) dan nonself (asing), dilanjutkan
dengan proses atau rangkaian stimulasi berupa
respon imun yang secara efektif mampu
mengeliminasi antigen asing tersebut. Setelah
terjadi fagositosis antigen oleh APC, misalnya
sel mononuklear, sel dendritik dan lain-lain,
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Delfitri Munir
maka antigen seperti VEB mengalami
endositosis dan akan di lokalisasi di dalam
vesikel yang disebut endosom dan lisosom.
Visikel mempunyai PH asam dan mengandung
enzim proteolitik seperti capthepsin. Didalam
endosom dan lisosom akan terjadi degradasi
peptida antigen virus terutama oleh kerja
capthepsin. Gen HLA kelas II menangkap isarat
dari peptida antigen, sehingga pada proses
selanjutnya muncul kode genetik dari gen HLA
kelas II untuk mensintesa molekul HLA kelas II
didalam endoplasmik retikulum. Molekul yang
baru dibentuk ini akan ditransportasikan ke
benda Golgi kemudian membentuk exocytic
vesicle. Vesikel yang berisi molekul HLA kelas
II ini akan menyatu dengan lisosom yang berisi
peptida antigen virus. Peptida antigen ini akan
diikat oleh binding clefts yang dibentuk oleh
rantai α1 dan α 1 dari molekul HLA kelas II.
Ikatan peptida dengan molekul HLA kelas II ini
akan dimunculkan ke permukaan sel. Molekul
HLA
kelas
II
selanjutnya
akan
mempresentasikan determinan antigen tersebut
kepada sel limfosit Th CD4+ melalui TCR.
Ikatan molekul ini akan menimbulkan reaksi
imunologik, dimana timbul proses imun yang
menyebabkan ThCD4 berdiferensiasi menjadi
limfosit T helper 1 (Th1). Limfosit ini akan
melepas IL2, TNFα. dan INFγ. Bahan-bahan ini
akan memicu limfosit Tc CD8+ untuk aktif
mencari sel yang terinfeksi. Sel limfosit TcCD8
melalui reseptor TCR akan mengenal dan
mengikat antigen yang dipresentasikan oleh
HLA kelas I. Interaksi dari komplek
trimolekuler tersebut merupakan langkah awal
dalam proses imunitas spesifik dan berakhir
dengan eliminasi antigen virus tersebut oleh
TcCD8.9
Peran HLA pada Karsinoma Nasofaring
Gambar 4. Alur kerja HLA kelas II (dikutip dari
kepustakaan 9)
Setelah memasuki sel atau melalui fagosom,
antigen intraselular seperti VEB, akan
didegradasi menjadi peptida didalam sitosol oleh
enzim proteolitik. Peptida antigen ini akan
dikirim ke endoplasmic reticulum (ER) melalui
transporter associated with antigen processing
(TAP). Ketika peptida antigen memasuki
endoplasmik retikulum, maka peptida akan
terikat pada binding clefts yang dibentuk oleh
rantai α1 dan α2 molekul HLA kelas I dengan
bantuan tapasin. Setelah komplek peptida dan
HLA kelas I lepas dari tapasin maka komplek
ini akan dikirim kebenda Golgi dan dikeluarkan
ke permukaan sel melalui exocitic vesicle.
Peptida yang dipresentasikan oleh molekul HLA
kelas I ini akan dikenal dan berikatan dengan
limfosit Tc CD8+ melalui reseptor TCR.8
(Gambar 5)
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
327
Tinjauan Pustaka
Gambar 5. Alur kerja HLA kelas I (dikutip dari
kepustakaan 9)
Ketika TCR berikatan dengan antigen yang
dipresentasikan oleh HLA kelas I, limfosit
TcCD8+
mengeluarkan
granul
untuk
menghancurkan sel target. Perforin merupakan
salah satu granul yang dapat melobangi
membran sel target. Granzym (Granule
enzymes) yang juga dibentuk oleh TcCD8+ akan
masuk kedalam sel target melalui lobang pada
membran sel yang dibuat oleh perforin dan akan
terjadi proses lisis pada sel target.16 (Gambar 6.)
VEB-APC-HLA II-peptida VEB-TCR-ThCD4
Th1
TNFα, IL-2, IFNγ
sel terinfeksi VEB-HLA I-peptida VEB-TCR-TcCD8
lisis
perforine, granzym
Gambar 6. HLA pada respons imun spesifik
HLA DAN KARSINOMA NASOFARING
Sebagai petanda genetik sekaligus regulator
respon imun dari berbagai penyakit, maka
banyak usaha para peneliti untuk mencari
asosiasi antara HLA dan kerentanan terhadap
suatu penyakit. Penelitian empirik telah banyak
dilakukan pada beberapa penyakit yang
mempunyai aspek imun, infeksi dan kelainan
endokrin atau metabolik. Adanya interaksi
molekuler antara molekul HLA dengan
komponen seluler yang non imun, telah
mendorong usaha penelitian tentang asosiasi
HLA dengan penyakit non imun, untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
dan lebih luas tentang fungsi biologi molekul
HLA tersebut. Beberapa penyakit diduga ada
kaitannya dengan HLA, dalam arti penderita
dengan penyakit tertentu sering dijumpai
memiliki antigen HLA tertentu. Misalnya HLADR4 sering terdapat pada penderita artritis
reumatoid. Apa yang menimbulkan fenomena
diatas belum diketahui dengan pasti, tetapi telah
dikemukakan
beberapa
hipotesis
yang
mendukung hubungan antara gen HLA dengan
suatu penyakit seperti teori gen respon imun.
Pada teori ini, antigen seperti virus yang masuk
ke dalam tubuh akan menjalani beberapa fase
328
yang berakhir dengan eliminasi antigen tersebut.
HLA berfungsi sebagai petanda imunogenetik
pada jaringan tubuh manusia dan berperan serta
mempengaruhi respon imun, sehingga penting
dalam tercetusnya respon imun.13 Hipotesis lain
adalah adanya kelainan tertentu yang disebabkan
oleh substansi spesifik, maka gen respon imun
merespon secara berlebihan atau sebaliknya, dan
akan menyebabkan timbulnya penyakit.
Disamping itu molekul HLA bertindak sebagai
reseptor untuk faktor etiologi penyakit seperti
virus (receptor theory). Dugaan lain adalah
antigen HLA tertentu mempunyai struktur
molekul yang mirip dengan faktor etiologik
suatu penyakit (mimicry theory), sehingga
memungkinkan tidak terjadinya respon imun,
atau terjadi reaksi imun, namun respon tersebut
ditujukan terhadap HLA itu sendiri.5
Telah diketahui bahwa polimorfisme
molekul HLA ditentukan oleh urutan asam
amino yang membentuk celah pengikat peptida,
dan celah tersebut yang berinteraksi baik dengan
peptida antigen seperti virus maupun dengan
reseptor limfosit ThCD4 atau TcCD8. Buktibukti bahwa keragaman yang sangat besar pada
urutan asam amino pada celah tersebut sangat
penting secara fungsional diperoleh dari
penelitian-penelitian secara struktural, klinis
maupun eksperimental. Analisis peptida antigen
yang terikat, jelas menunjukkan bahwa molekulmolekul HLA yang disandi oleh alel yang
berbeda mempunyai pola pengikatan peptida
yang berbeda. Adanya molekul HLA dengan
sifat pengikatan peptida yang berbeda tersebut
dapat menyebabkan suatu peptida antigen akan
lepas dalam ikatan suatu molekul HLA sehingga
menimbulkan pengaruh yang berbeda pada
perangsangan aktivitas sel limfosit T. Terdapat
bukti-bukti yang tidak lansung menyokong
konsep bahwa alel kerentanan dan protektif
merupakan molekul mengikat dan menyajikan
epitop peptida yang berbeda.17
Sejumlah penyakit yang belum diketahui
etiologinya dan patogenesisnya seperti KNF
telah dideskripsikan mempunyai hubungan
dengan faktor HLA yang spesifik. Hal itu
menunjukkan bahwa kerentanan terhadap
penyakit berhubungan dengan gen yang
menyandi molekul HLA. Melalui analisis urutan
DNA dapat diketahui bahwa regio hipervariabel
yang terletak dalam celah ikatan antigen pada
molekul HLA merupakan kunci yang
menentukan apakah molekul tersebut berperan
pada predisposisi genetik terhadap suatu
penyakit.11 Namun pandangan diatas masih
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Delfitri Munir
belum dapat disimpulkan dengan pasti, melalui
mekanisme mana HLA dapat berperan dalam
kejadian penyakit. Hal ini disebabkan alel HLA
yang berhubungan dengan penyakit tertentu
dapat juga ditemukan dalam individu yang
sehat, dan jika seluruh individu tersebut diikuti
secara prospektif, sebagian mereka tidak pernah
sakit. Berdasarkan hal tersebut maka menjadi
jelas bahwa ekpresi gen HLA tertentu sendiri
saja tidaklah cukup sebagai penyebab timbulnya
penyakit. Gen HLA hanya merupakan salah satu
dari beberapa faktor yang berkontribusi untuk
terjadinya penyakit meskipun merupakan faktor
yang terpenting.8
Berbagai penelitian telah menemukan
hubungan antara HLA dengan KNF, baik
hubungan HLA yang rentan maupun protektif
terhadap KNF. HLA yang rentan untuk
terjadinya KNF dijumpai pada gen HLAA*0207 di Taiwan.18 Sedangkan HLA yang
berhubungan protektif terhadap KNF dijumpai
pada HLA-A11 pada ras Kaukasia di Amerika
Serikat.19
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa HLA sebagai petanda genetik seseorang
sangat berperan pada respon imun terutama pada
infeksi intraselular seperti VEB. Infeksi VEB
sebagai salah satu faktor penyebab KNF sangat
ditentukan keberadaanya di dalam tubuh
manusia oleh HLA.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto D. Karsinoma nasofaring. Dalam:
Tumor Telinga Hidung Tenggorok.
Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta,
Balai Penerbit FK-UI 1989; 71-84.
2.
Roezin A, Syafril A. Karsinoma nasofaring.
Dalam: (Soepardi, Iskandar N) Telinga
Hidung Tenggorok. Jakarta, Gaya Baru
2000; 149-53.
3.
Yuan JM, Wang XL, Xiang YB, Gao YT,
Ross RK, Yu MC. Preserved foods in
relation to risk of nasopharyngeal
carcinoma in Shanghai, China. Int J Cancer,
2000; Vol. 85 (3): 358-63.
4.
Jia WH, Feng BJ, Xu ZL, Zhang XS, Huang
P, Huang LX. Familial risk and clustering
of
nasopharyngeal
carcinoma
in
Guangdong, China. Cancer 2004; Vol. 101
(2): 363-9.
Peran HLA pada Karsinoma Nasofaring
5.
Benacerraf B. Significance and biological
function of class II MHC molecules. Am J
Pathol 1985; Vol. 120 (3): 334-43.
6.
Cooke A. Regulation of the immune
response. In: (Roitt I, Brostoff J, Male D)
Immunology, 6th edition. Toronto; Mosby
2001. 173-88.
7.
Hu, Li-Fu. Nasopharyngeal Carcinoma and
Epstein-Barr Virus. Thesis. Karolonska
Instituter, Stockholm, 1996.
8.
Abbas, A K and Lichtman, AH. Cellular
and Molecular Immunology 5th edition. WB
Saunders , Philadelphia 2000.
9.
Judajana
FM.
Sistem
major
histocompatibilityl
complex.
Dalam:
(Subijanto PS, Suhartono TP, Judajana FM)
Gangguan sistem imun mukosa intestinal.
Surabaya, Gideon 2003. 12-30.
10. Handono K. Hubungan gen HLA kelas II
dengan kerentana genetik dan ekspresi
otoantibodi pada lupus eritematosus
sistemik. Disertasi, Universitas Airlangga,
Surabaya, 1998.
11. Fuger L. PCR and RFLP studies of
inherited susceptibility to autoimmune
disorders, with special reference to multiple
sclerosis. Dan Med Bull 1994; Vol 11: 3849.
12. Drlica
K.
Gene
expression.
In:
Understanding DNA and Gene Cloning, 4th
edition. Newark: John Wiley & Sons 2004;
59-79.
13. Roitt IM, Delves PJ. Essential Immunology.
10th edition. Australia, Blackwell Science
2001.
14. Judajana FM. Pola sistem HLA penderita
Diabetes Melitus Indonesia. Disertasi.
Universitas Airlangga. Surabaya 1994.
15. Rusdi A. Peranan HLA dalam ilmu
kedokteran dan beberapa problematik test
HLA pada populasi Indonesia, Lokakarya
HLA, Bandung 1992.
16. Behrens G, Li M, Smith CM, Belz GT,
Mintern J, Carbone FR. Helper T Cells
dendritic cells and CTL immunity, Immunol
cells Biol, 2004; Vol. 82 (1): 84-90.
17. Devenport MP, Hill AVS. Peptides
associated with MHC class I and class II
molecules. In. Browning MJ and Mc
Michael AJ. HLA and MHC: Gene,
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
329
Tinjauan Pustaka
Molecules and Function. Bios Sci Publ Ltd
Oxfort 1996; 277-308.
National Cancer Institute 2002; Vol. 94
(23): 1780-89.
18. Allan H, Raymond JA, Chien JC, Sophia
SW, Yu JC, William K. Association of
HLA Class I and II Allels and extended
Haplotypes
Whit
Nasopharyngeal
Carcinoma in Taiwan. Journal of the
19. Burt RD, Vaughan TL, McKnight B, Davis
S, Beckman AM, Smith AG. Associations
between human leukocyte antigen type and
nasopharyngeal carcinoma in Caucasians in
the United States. Cancer Epidemiol
Biomarkers Prev 1996; Vol. 5 (11): 879-87.
330
Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006
Download