PDF (BAB I)

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang membutuhkan terapi
pengobatan yang lama untuk mengurangi risiko kejadian komplikasi (American
Diabetes Association, 2014). Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya
meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan
gangren adalah komplikasi yang paling utama (Price and Wilson, 2005).
Pada tahun 2013 diabetes telah menyebabkan 5,1 juta angka kematian di
dunia. Indonesia menempati urutan ke-7 dari 10 negara dengan penderita diabetes
tertinggi pada tahun 2013 (International Diabetes Federation, 2013). Pada tahun
2011 pengeluaran biaya untuk terapi diabetes mellitus mencapai USD 465 miliar,
dan diperkirakan akan meningkat sebesar USD 595 miliar pada tahun 2030
(International Diabetes Federation, 2011).
Pembiayaan kesehatan di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Kenaikan biaya kesehatan terjadi akibat penerapan teknologi canggih,
karakter supply induced demand dalam pelayanan kesehatan, pola penyakit kronik
dan degeneratif serta inflasi. Kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan semakin
sulit diatasi oleh kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat.
Peningkatan biaya tersebut mengancam akses dan mutu pelayanan kesehatan
(Andayani, 2013). Menurut Janis (2014), menyatakan bahwa kebijakan BPJS akan
meningkatkan permintaan terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang
selama ini kurang mampu untuk membayar jasa kesehatan. Konsep SJSN
dikatakan dapat berhasil karena BPJS merupakan transformasi dari Askes yang
mempunyai potensi kinerja yang baik.
Menurut Murni (2010), menyatakan bahwa di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta pola pengobatan yang paling cost effective berdasarkan glukosa darah
yang mencapai target adalah kombinasi golongan sulfonilurea dengan biguanid
1
2
dengan biaya pengobatan rata-rata terkecil yaitu Rp181.140,45. Menurut
Murniningdyah (2009), menyatakan bahwa di RS Pandan Arang Boyolali pola
pengobatan dengan Sulfonilurea lebih cost effective dengan nilai ACER sebesar
Rp445,34 dibanding dengan golongan biguanid dan alpha glucosidase inhibitor.
Menurut Listiyaning, A. (2006), menyatakan bahwa di Rumah Sakit Umum Pusat
Dr. Sardjito Yogyakarta pola pengobatan antidiabetik oral yang cost effective
berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi sulfonilurea dengan biguanid. Menurut
Efranda, J. (2014), menyatakan bahwa di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. M. Djamil Padang pola pengobatan antidiabetik oral yang cost effective
berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi glimepiride dengan metformin dengan
nilai sebesar Rp942.060.
Tempat penelitian dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta karena
berdasarkan salah satu sumber dari Rumah sakit tersebut, jumlah pasien diabetes
rawat jalan yang menggunakan BPJS semakin meningkat. Sebagai salah satu
rumah sakit rujukan terbesar di Kota Surakarta terutama untuk pasien dengan
BPJS, analisis cost effective dirasa dapat memberi masukan kepada klinisi rumah
sakit untuk menyeimbangkan biaya dan outcome yang menguntungkan bagi
pasien.
Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian oleh Murni (2010)
sebelumnya adalah tentang Jaminan kesehatan yang digunakan, meskipun BPJS
merupakan transformasi dari Askes, tetapi terdapat perbedaan yang mendasar
pada Jaminan kesehatan tersebut. Dalam hal ini BPJS dibentuk dengan tujuan
untuk mencakup seluruh masyarakat Indonesia dan bersifat wajib, sehingga
mendorong peneliti untuk mengetahui apakah jaminan kesehatan tersebut efektif
digunakan karena seiring bertambahnya tahun, biaya kesehatan terutama biaya
obat semakin meningkat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan
yaitu manakah antidiabetik oral yang paling cost effective pada pasien diabetes
melitus tipe 2 rawat jalan peserta BPJS di RSUD Dr. Moewardi ?
3
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui efektivitas biaya terapi penggunaan antidiabetik oral
pada pasien diabetes melitus tipe 2 rawat jalan peserta BPJS di RSUD Dr.
Moewardi tahun 2014.
D. Tinjauan Pustaka
1.
Diabetes melitus
a.
Definisi
Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan
hiperglikemia karena kerusakan pada sekresi insulin. Dalam jangka panjang dapat
menyebabkan komplikasi yang dapat mempengaruhi mata, ginjal dan saraf, serta
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (Canadian Diabetes Association,
2013). Menurut American Diabetes Association (2015), diabetes merupakan suatu
penyakit kronis kompleks yang membutuhkan perawatan medis yang lama atau
terus menerus dengan cara mengendalikan kadar gula darah untuk mengurangi
risiko multifaktoral.
b. Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacammacam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan
mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang
peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus. Manifestasi klinis
diabetes melitus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak
semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang
berkaitan dengan defisiensi insulin (Price and Wilson, 2005)
Faktor risiko diabetes melitus meliputi usia ≥ 45 tahun, obesitas yang
disertai kebiasaan fisik yang tidak aktif, mempunyai riwayat keturunan orang tua
yang menderita diabetes melitus, riwayat diabetes gestasional, hipertensi ≥ 140/90
mmHg, kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL,
mempunyai riwayat polycystic ovary syndrome (PCOS), keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin, mempunyai riwayat toleransi glukosa terganggu
4
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT), mempunyai riwayat
kardiovaskular (National Institute of Health, 2014).
c.
Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus diperkenalkan oleh American Diabetes
Associationberdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom
diabetes dan gangguan toleransi gula. Diabetes melitus dibedakan menjadi :
1) Diabetes melitus tipe 1.
Diabetes melitus tipe 1 disebabkan oleh kekurangan insulin karena kerusakan
sel beta pankreas yang disebabkan oleh penyakit autoimun (National Institute of
Health, 2014).Insiden diabetes tipe 1 sebanyak 3000 kasus baru setiap tahunnya
(Price and Wilson, 2005).
2) Diabetes melitus tipe 2.
Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin, suatu kondisi
dimana otot tubuh, lemak dan sel hati tidak menggunakan insulin secara efektif.
Diabetes ini sering dialami oleh orang-orang setengah baya dan obesitas (National
Institute of Health, 2014).
3) Diabetes kehamilan
Diketahui pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi 4% dari
semua kehamilan. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, yang dikenal sebagai
keadaan diabetogenik.
4). Diabetes khusus lain
Contoh dari diabetes tipe ini adalah kelainan genetik dalam sel beta,
kelainan genetik pada kerja insulin yang dapat menyebabkan resistensi insulin
yang berat, penyakit eksokrin pankreas, dan infeksi.
(Price and Wilson, 2005)
d. Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus
Gejala diabetes melitus antara lain : polidipsia, polifagia, poliuria dan
penurunan berat badan. Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan dengan 3
5
cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka cukup melakukan
pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu ≥ 200 mg/dL. Kedua, dengan pemeriksaan
Glukosa Darah Puasa ≥ 126 mg/dL. Ketiga, dengan Tes Toleransi Glukosa Oral ≥
200 mg/dL dengan beban 75g glukosa. Tes Toleransi Glukosa Oral sulit dilakukan
dan dalam praktik sangat jarang dilakukan. Pemeriksaan penyaring dilakukan
pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes Melitus, namun tidak menunjukkan
adanya gejala Diabetes Melitus. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
menemukan pasien dengan Diabetes Melitus, Toleransi Glukosa Terganggu,
maupun Glukosa Darah Puasa Terganggu, sehingga dapat ditangani lebih dini
secara tepat. Pasien dengan Toleransi Glukosa Terganggu dan Glukosa Darah
Puasa Terganggu juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan
sementara menuju Diabetes Melitus. Kedua keadaan tersebut juga merupakan
faktor risiko untuk terjadinya Diabetes Melitus dan penyakit kardiovaskular
dikemudian hari (PERKENI, 2011). Diagnosis diabetes melitus tipe 2 dengan
Gula Darah Sewaktu dan Gula Darah Puasa dapat dilihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis Diabetes Melitus (mg/dL) (PERKENI, 2011)
e.
Komplikasi
Menurut PERKENI (2011) dalam perjalanan Diabetes Melitus dapat
terjadi komplikasi akut dan kronis yang meliputi :
1) Komplikasi Akut
a)
Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah dibawah
normal (
60 mg/dL). Gejala hipoglikemia meliputi gemetar, berdebar, banyak
keringat, dan rasa lapar.
6
b) Diabetes Ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis terjadi akibat kekurangan insulin yang disertai
dengan peningkatan hormon (glukagon, kortisol, epinefrin). Ketoasidosis dimulai
dengan muntah dan tingkat kesadaran yang berkurang (Savage, et al, 2010).
c)
Hiperosmolar nonketotik
Hiperosmolar ditandai dengan hiperglikemia dan dehidrasi berat.
Pengatasan pada komplikasi ini dengan penggantian cairan elektrolit (Amod et al,
2012).
2) Komplikasi Kronis
a)
Makroangiopati
Komplikasi
makroangiopati
melibatkan
pembuluh
darah
jantung,
pembuluh darah tepi dan pembuluh darah otak (PERKENI, 2011).
b) Mikroangiopati
Komplikasi mikroangiopati meliputi retinopati diabetik dan nefropati
diabetik. Kendali glukosa, tekanan darah dan pembatasan asupan protein akan
mengurangi risiko retinopati dan nefropati diabetik (PERKENI, 2011).
c)
Neuropati
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah neuropati perifer dengan
gejala kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, lebih terasa sakit di malam hari.
Perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal untuk
mencegah risiko amputasi (PERKENI, 2011).
f.
Penatalaksanaan
Menurut PERKENI (2011), tujuan utama penatalaksanaan diabetes melitus
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup jangka panjang. Algoritme
penatalaksanaan terapi diabetes melitus dapat dilihat sebagaimana pada gambar 1.
Tujuan terapi diabetes melitus dapat dilakukan dengan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid. Penatalaksanaan diabetes
melitus dibagi menjadi 2, yaitu :
1) Penatalaksanaan non farmakologi (tanpa obat)
7
a)
Rencana diet
Rencana diet dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan karbohidrat
yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi tergantung
pada kebutuhan. Untuk pasien obesitas, asupan kalori dapat dibatasi hingga berat
badan pasien turun sampai kisaran optimal (Price and Wilson, 2005).
b) Latihan fisik
Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan
berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan bersifat aerobik dan
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani (PERKENI,
2011).
Gambar 1. Algoritme Diabetes Melitus Tipe 2 (Diadaptasi dari Dipiro et al, 2008)
2) Penatalaksanaan farmakologi (dengan obat)
Menurut PERKENI (2011), penatalaksanaan farmakologi diabetes melitus
yaitu dengan Antidiabetik oral dan insulin.
a)
Antidiabetik oral
Antidiabetik oral dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dan dapat diberikan sampai dosis
8
hampir maksimal. Dilihat secara mekanisme, antidiabetik oral dibagi menjadi 5
kelompok :
1.
Sulfonilurea
Sulfonilurea mempunyai efek meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurang, namun masih dapat diberikan kepada pasien dengan berat badan
lebih. Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada pasien dengan gangguan
faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular (PERKENI,
2011).Contoh obat golongan sulfonilurea antara lain glibenclamide, gliclazide,
glipizide, glimepiride dan klorpropamide (Amod et al, 2012).
2.
Metformin
Obat
ini
mempunyai
efek
mengurangi
produksi
glukosa
hati
(glukoneogenesis), dan juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat ini
diberikan pada pasien yang obesitas atau gemuk. Dikontraindikasikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal dan hati. Efek samping dari obat ini adalah mual.
Untuk mengurangi efek samping tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan.
3.
Penghambat glukosidase alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia, tetapi efek samping
yang paling sering ditemukan adalah kembung dan flatulen, sehingga obat ini
diminum bersama dengan makan.
4.
Glinid
Obat ini bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat : Repaglinid dan Nateglinid. Obat ini diabsorpsi dengan cepat
setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
5.
Tiazolidindion
Obat ini berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
9
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I – IV karena
dapat memperberat edema/ retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada
pasien yang mengkonsumsi obat ini perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala (PERKENI, 2011). Contoh obat golongan ini antara lain pioglitazon dan
rosiglitazon (Dipiroet al, 2008).
b) Insulin
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis. Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan prandial.
Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan
puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia
setelah makan. Insulin ditujukan untuk menangani defisiensi yang terjadi.
(PERKENI, 2011).
Berdasarkan lama kerja, insulin dibagi menjadi 4 jenis, yaitu :
1. Insulin kerja cepat (rapid acting) : Aspart, Lispro, Glulisin, Inhalled human
insulin.
2.
Insulin kerja pendek (short acting) : Regular.
3.
Insulin kerja menengah (Intermediate acting) : NPH.
4.
Insulin kerja panjang (long acting) : Detemir, Glargine.
(Dipiro et al, 2008).
c) Terapi Kombinasi
Pemberian Obat Hipoglikemik Oral maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons
kadar glukosa darah. Terapi dengan Obat Hipoglikemik Oral kombinasi, harus
dipilih dua macam obat dari kelompok yangmempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan
kombinasi tiga Obat Hipoglikemik Oral dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai
10
dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi
dengan kombinas itiga Obat Hipoglikemik Oral dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dan insulin basal (insulin
kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari
menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka Obat Hipoglikemik Oral dihentikan dan diberikan terapi
kombinasi insulin (PERKENI, 2011).
2.
Farmakoekonomi
Farmakoekonomi merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi dan
membandingkan biaya dan konsekuensi dari terapi obat untuk sistem kesehatan
dan masyarakat. Analisis farmakoekonomi sering digunakan untuk pengambilan
keputusan dalam kebijakan kesehatan modern karena keterbatasan sumber daya
keuangan (Kumar and Baldi, 2013).
Dalam analisis farmakoekonomi, metode untuk evaluasi farmakoekonomi
terdiri dari empat macam, yaitu Cost-Minimization Analysis (CMA), CostEffectiveness Analysis (CEA), Cost-Utility Analysis (CUA), Cost-Benefit Analysis
(CBA) (Andayani, 2013).
a)
Cost-Minimization Analysis (CMA)
Cost-Minimization Analysis adalah tipe analisis yang sederhana karena
outcome diasumsikan sebagai ekuivalen, sehingga hanya biaya dari intervensi
yang dibandingkan (Andayani, 2013).
b) Cost-Effectiveness Analysis (CEA)
Cost-Effectiveness Analysis adalah tipe analisis dengan mengukur biaya
dalam mata uang dan hasil dalam satuan kesehatan natural (alami) yang
menunjukkan peningkatan derajad kesehatan seperti penyembuhan, penyelamatan
kehidupan (Rascati, 2009). Cost Effectiveness Analysis (CEA) merupakan bentuk
analisis ekonomi yang komprehensif, dilakukan dengan mendefinisikan, menilai,
11
dan membandingkan sumber daya yang digunakan (input) dengan konsekuensi
dari pelayanan (output) antara dua atau lebih alternatif. Perbedaan analisis ini
dengan yang lain adalah pengukuran outcome dinilai dalam bentuk non moneter,
yaitu unit natural dari perbaikan kesehatan. Keterbatasan dari analisis ini adalah
dalam metodologinya tidak memasukkan masalah kesejahteraan sosial, seperti
yang dilakukan di Cost Benefit Analysis. Cost Effectiveness Analysis (CEA)
merupakan salah satu langkah untuk menilai perbandingan manfaat kesehatan dan
sumber daya yang digunakan dalam program pelayanan kesehatan dan pembuat
kebijakan dapat memilih diantara alternatif yang ada. Hasil digambarkan sebagai
rasio dengan ACER maupun ICER. Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER)
didefinisikan sebagai berikut :
ACER : Biaya
Efek
Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) dihitung untuk masing-masing
alternatif terapi dan diperoleh perbandingan dari perbedaan alternatif baru dengan
pembandingnya. Hasil ACER diinterpretasikan sebagai biaya rata-rata per unit
efektivitasnya. Selanjutnya rasio Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER)
merupakan analisis yang harus dilakukan dalam analisis efektivitas biaya.
Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) merupakan perbedaan antara 2 biaya
alternatif dengan perbedaan efektivitas antara alternatif yang dihitung.
didefinisikan sebagai berikut :
ICER : ∆ biaya = Biaya teknologi baru-biaya pembanding
∆ efek
Efek teknologi baru-efek pembanding
Definisi
Cost-effectiveness dapat
digambarkan
menggunakan cost
effectiveness grid dapat dilihat pada gambar 2.
Biaya Lebih Rendah
A
(Perlu Perhitungan
ICER)
D
Cost-effectiveness
Efektivitas Lebih
Rendah
Efektivitas Sama
Efektivitas Lebih Tinggi
G
(Dominan)
Biaya Sama
B
Biaya Lebih Tinggi
C
(Didominasi)
E
(Arbitrary)
H
F
Gambar 2. Cost-effectiveness Grid (Rascati, 2009)
I
(Perlu Perhitungan
ICER)
12
Sel G menunjukkan suatu terapi suatu terapi yang lebih efektif dengan
lebih murah. Sel H menunjukkan terapi lebih efektif dengan biaya sama,
sedangkan sel D menunjukkan terapi dengan efektivitas sama dengan biaya lebih
murah. Sel G, H, D tersebut menunjukkan terapi yang cost-effective. Sel B,C dan
sel F menunjukkan pilihan terapi yang tidak cost-effective. Sel C menunjukkan
pilihan terapi yang kurang efektif dengan biaya lebih mahal. Sel F menunjukkan
terapi dengan efektivitas sama tetapi harganya lebih mahal, sedangkan sel C
menunjukkan terapi yang kurang efektif dengan biaya sama. Terdapat tiga
kemungkinan dari suatu obat baru, lebih mahal tetapi lebih efektif (sel I), lebih
murah tetapi kurang efektif (sel A), atau dengan biaya dan efektifitas yang sama
dengan obat standar (sel E). Faktor lain perlu dipertimbangkan jika suatu obat
termasuk sel E, sedangkan sel A dan I perlu dilakukan perhitungan ICER untuk
menetukan tambahan biaya setiap tambahan unit efektivitas terapi
(Andayani, 2013).
Analisis Efektivitas Biaya dapat digunakan untuk memilih intervensi
kesehatan yang memberikan nilai tertinggi dengan dana yang terbatas, misalnya:
1. Membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama tetapi
memberikan besaran hasil yang berbeda pada pengobatan.
2. Membandingkan dua atau lebih terapi yang hasil pengobatannya dapat diukur
dengan unit alamiah yang sama, dengan mekanisme kerja yang berbeda.
(Kemenkes RI, 2013).
c)
Cost-Utility Analysis (CUA)
Cost-Utility Analysis adalah tipe analisis untuk menilai efisiensi dari
intervensi pelayanan kesehatan. Outcome dinilai menggunakan tipe ukuran
outcome klinik yang khusus, yaitu quality-adjusted life year (QALY). Kelebihan
dari Cost-Utility Analysis adalah tipe keluaran kesehatan yang berbeda dan
penyakit dengan beberapa keluaran dibandingkan dengan menggunakan satu unit
pengukuran, yaitu quality-adjusted life year (QALY).
13
d) Cost-Benefit Analysis (CBA)
Cost-Benefit Analysis adalah tipe analisis yang membandingkan biaya dan
keluaran dalam unit mata uang. Kelebihan analisis ini adalah beberapa keluaran
yang berbeda dapat dibandingkan, dimana keluaran diukur dalam nilai mata uang.
(Andayani, 2013)
3.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan
untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28H ayat (1), (2) dan (3) dan pasal
34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pembentukan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap perkara Nomor 007/ PUUIII/ 2005, guna memberikan kepastian hukum
bagi pembentukan BPJS untuk melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh
Indonesia (Undang-Undang BPJS, 2011).
Dengan Undang-Undang ini dibentuk dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan
dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan
kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut jangkauan kepesertaan program
jaminan sosial akan diperluas secara bertahap (Undang-Undang BPJS, 2011).
Formularium Nasional adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, didasarkan pada bukti ilmiah mutakhir
berkhasiat, aman, dan dengan harga yang terjangkau yang disediakan serta
digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam jaminan kesehatan nasional.
Obat Hipoglikemik Oral yang masuk dalam Formularium Nasional meliputi :
akarbose, glibenklamid, glimepirid, glipizid, metformin, dan pioglitazon
(Peraturan Menteri Kesehatan, 2013).
14
E. Landasan Teori
Menurut Murni (2010), menyatakan bahwa di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta pola pengobatan yang paling cost effective berdasarkan glukosa darah
yang mencapai target adalah kombinasi golongan sulfonilurea dengan biguanid
dengan biaya pengobatan rata-rata terkecil yaitu Rp181.140,45.
Menurut Murniningdyah, Ayu, N. (2009), menyatakan bahwa di RS
Pandan Arang Boyolali pola pengobatan dengan Sulfonilurea lebih cost effective
dengan nilai ACER sebesar Rp445,34 dibanding dengan golongan biguanid dan
alpha glucosidase inhibitor.
Menurut Listiyaning, A. (2006), menyatakan bahwa di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta pola pengobatan antidiabetik oral yang cost
effective berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi sulfonilurea dengan biguanid.
Menurut Efranda, J. (2014), menyatakan bahwa di Poliklinik Khusus
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang pola pengobatan antidiabetik
oral yang cost effective berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi glimepiride
dengan metformin dengan nilai sebesar Rp942.060.
F. Keterangan Empiris
Dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengobatan yang paling
cost effective pada terapi antidiabetik oral, sehingga hasil dari penelitian ini dapat
menggambarkan pola pengobatan dan biaya terapi antidiabetik oral pada pasien
rawat jalan peserta BPJS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta.
Download