BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang membutuhkan terapi pengobatan yang lama untuk mengurangi risiko kejadian komplikasi (American Diabetes Association, 2014). Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang paling utama (Price and Wilson, 2005). Pada tahun 2013 diabetes telah menyebabkan 5,1 juta angka kematian di dunia. Indonesia menempati urutan ke-7 dari 10 negara dengan penderita diabetes tertinggi pada tahun 2013 (International Diabetes Federation, 2013). Pada tahun 2011 pengeluaran biaya untuk terapi diabetes mellitus mencapai USD 465 miliar, dan diperkirakan akan meningkat sebesar USD 595 miliar pada tahun 2030 (International Diabetes Federation, 2011). Pembiayaan kesehatan di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan biaya kesehatan terjadi akibat penerapan teknologi canggih, karakter supply induced demand dalam pelayanan kesehatan, pola penyakit kronik dan degeneratif serta inflasi. Kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan semakin sulit diatasi oleh kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat. Peningkatan biaya tersebut mengancam akses dan mutu pelayanan kesehatan (Andayani, 2013). Menurut Janis (2014), menyatakan bahwa kebijakan BPJS akan meningkatkan permintaan terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang selama ini kurang mampu untuk membayar jasa kesehatan. Konsep SJSN dikatakan dapat berhasil karena BPJS merupakan transformasi dari Askes yang mempunyai potensi kinerja yang baik. Menurut Murni (2010), menyatakan bahwa di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pola pengobatan yang paling cost effective berdasarkan glukosa darah yang mencapai target adalah kombinasi golongan sulfonilurea dengan biguanid 1 2 dengan biaya pengobatan rata-rata terkecil yaitu Rp181.140,45. Menurut Murniningdyah (2009), menyatakan bahwa di RS Pandan Arang Boyolali pola pengobatan dengan Sulfonilurea lebih cost effective dengan nilai ACER sebesar Rp445,34 dibanding dengan golongan biguanid dan alpha glucosidase inhibitor. Menurut Listiyaning, A. (2006), menyatakan bahwa di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta pola pengobatan antidiabetik oral yang cost effective berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi sulfonilurea dengan biguanid. Menurut Efranda, J. (2014), menyatakan bahwa di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang pola pengobatan antidiabetik oral yang cost effective berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi glimepiride dengan metformin dengan nilai sebesar Rp942.060. Tempat penelitian dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta karena berdasarkan salah satu sumber dari Rumah sakit tersebut, jumlah pasien diabetes rawat jalan yang menggunakan BPJS semakin meningkat. Sebagai salah satu rumah sakit rujukan terbesar di Kota Surakarta terutama untuk pasien dengan BPJS, analisis cost effective dirasa dapat memberi masukan kepada klinisi rumah sakit untuk menyeimbangkan biaya dan outcome yang menguntungkan bagi pasien. Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian oleh Murni (2010) sebelumnya adalah tentang Jaminan kesehatan yang digunakan, meskipun BPJS merupakan transformasi dari Askes, tetapi terdapat perbedaan yang mendasar pada Jaminan kesehatan tersebut. Dalam hal ini BPJS dibentuk dengan tujuan untuk mencakup seluruh masyarakat Indonesia dan bersifat wajib, sehingga mendorong peneliti untuk mengetahui apakah jaminan kesehatan tersebut efektif digunakan karena seiring bertambahnya tahun, biaya kesehatan terutama biaya obat semakin meningkat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu manakah antidiabetik oral yang paling cost effective pada pasien diabetes melitus tipe 2 rawat jalan peserta BPJS di RSUD Dr. Moewardi ? 3 C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui efektivitas biaya terapi penggunaan antidiabetik oral pada pasien diabetes melitus tipe 2 rawat jalan peserta BPJS di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014. D. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes melitus a. Definisi Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia karena kerusakan pada sekresi insulin. Dalam jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi yang dapat mempengaruhi mata, ginjal dan saraf, serta meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (Canadian Diabetes Association, 2013). Menurut American Diabetes Association (2015), diabetes merupakan suatu penyakit kronis kompleks yang membutuhkan perawatan medis yang lama atau terus menerus dengan cara mengendalikan kadar gula darah untuk mengurangi risiko multifaktoral. b. Etiologi Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacammacam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus. Manifestasi klinis diabetes melitus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin (Price and Wilson, 2005) Faktor risiko diabetes melitus meliputi usia ≥ 45 tahun, obesitas yang disertai kebiasaan fisik yang tidak aktif, mempunyai riwayat keturunan orang tua yang menderita diabetes melitus, riwayat diabetes gestasional, hipertensi ≥ 140/90 mmHg, kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL, mempunyai riwayat polycystic ovary syndrome (PCOS), keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, mempunyai riwayat toleransi glukosa terganggu 4 (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT), mempunyai riwayat kardiovaskular (National Institute of Health, 2014). c. Klasifikasi Klasifikasi diabetes melitus diperkenalkan oleh American Diabetes Associationberdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi gula. Diabetes melitus dibedakan menjadi : 1) Diabetes melitus tipe 1. Diabetes melitus tipe 1 disebabkan oleh kekurangan insulin karena kerusakan sel beta pankreas yang disebabkan oleh penyakit autoimun (National Institute of Health, 2014).Insiden diabetes tipe 1 sebanyak 3000 kasus baru setiap tahunnya (Price and Wilson, 2005). 2) Diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin, suatu kondisi dimana otot tubuh, lemak dan sel hati tidak menggunakan insulin secara efektif. Diabetes ini sering dialami oleh orang-orang setengah baya dan obesitas (National Institute of Health, 2014). 3) Diabetes kehamilan Diketahui pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, yang dikenal sebagai keadaan diabetogenik. 4). Diabetes khusus lain Contoh dari diabetes tipe ini adalah kelainan genetik dalam sel beta, kelainan genetik pada kerja insulin yang dapat menyebabkan resistensi insulin yang berat, penyakit eksokrin pankreas, dan infeksi. (Price and Wilson, 2005) d. Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus Gejala diabetes melitus antara lain : polidipsia, polifagia, poliuria dan penurunan berat badan. Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan dengan 3 5 cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka cukup melakukan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu ≥ 200 mg/dL. Kedua, dengan pemeriksaan Glukosa Darah Puasa ≥ 126 mg/dL. Ketiga, dengan Tes Toleransi Glukosa Oral ≥ 200 mg/dL dengan beban 75g glukosa. Tes Toleransi Glukosa Oral sulit dilakukan dan dalam praktik sangat jarang dilakukan. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes Melitus, namun tidak menunjukkan adanya gejala Diabetes Melitus. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Diabetes Melitus, Toleransi Glukosa Terganggu, maupun Glukosa Darah Puasa Terganggu, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan Toleransi Glukosa Terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju Diabetes Melitus. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya Diabetes Melitus dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari (PERKENI, 2011). Diagnosis diabetes melitus tipe 2 dengan Gula Darah Sewaktu dan Gula Darah Puasa dapat dilihat dalam tabel 1. Tabel 1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis Diabetes Melitus (mg/dL) (PERKENI, 2011) e. Komplikasi Menurut PERKENI (2011) dalam perjalanan Diabetes Melitus dapat terjadi komplikasi akut dan kronis yang meliputi : 1) Komplikasi Akut a) Hipoglikemia Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah dibawah normal ( 60 mg/dL). Gejala hipoglikemia meliputi gemetar, berdebar, banyak keringat, dan rasa lapar. 6 b) Diabetes Ketoasidosis Diabetes ketoasidosis terjadi akibat kekurangan insulin yang disertai dengan peningkatan hormon (glukagon, kortisol, epinefrin). Ketoasidosis dimulai dengan muntah dan tingkat kesadaran yang berkurang (Savage, et al, 2010). c) Hiperosmolar nonketotik Hiperosmolar ditandai dengan hiperglikemia dan dehidrasi berat. Pengatasan pada komplikasi ini dengan penggantian cairan elektrolit (Amod et al, 2012). 2) Komplikasi Kronis a) Makroangiopati Komplikasi makroangiopati melibatkan pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi dan pembuluh darah otak (PERKENI, 2011). b) Mikroangiopati Komplikasi mikroangiopati meliputi retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Kendali glukosa, tekanan darah dan pembatasan asupan protein akan mengurangi risiko retinopati dan nefropati diabetik (PERKENI, 2011). c) Neuropati Komplikasi yang paling sering terjadi adalah neuropati perifer dengan gejala kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, lebih terasa sakit di malam hari. Perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal untuk mencegah risiko amputasi (PERKENI, 2011). f. Penatalaksanaan Menurut PERKENI (2011), tujuan utama penatalaksanaan diabetes melitus adalah untuk meningkatkan kualitas hidup jangka panjang. Algoritme penatalaksanaan terapi diabetes melitus dapat dilihat sebagaimana pada gambar 1. Tujuan terapi diabetes melitus dapat dilakukan dengan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid. Penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi 2, yaitu : 1) Penatalaksanaan non farmakologi (tanpa obat) 7 a) Rencana diet Rencana diet dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi tergantung pada kebutuhan. Untuk pasien obesitas, asupan kalori dapat dibatasi hingga berat badan pasien turun sampai kisaran optimal (Price and Wilson, 2005). b) Latihan fisik Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan bersifat aerobik dan sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani (PERKENI, 2011). Gambar 1. Algoritme Diabetes Melitus Tipe 2 (Diadaptasi dari Dipiro et al, 2008) 2) Penatalaksanaan farmakologi (dengan obat) Menurut PERKENI (2011), penatalaksanaan farmakologi diabetes melitus yaitu dengan Antidiabetik oral dan insulin. a) Antidiabetik oral Antidiabetik oral dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dan dapat diberikan sampai dosis 8 hampir maksimal. Dilihat secara mekanisme, antidiabetik oral dibagi menjadi 5 kelompok : 1. Sulfonilurea Sulfonilurea mempunyai efek meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih dapat diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada pasien dengan gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular (PERKENI, 2011).Contoh obat golongan sulfonilurea antara lain glibenclamide, gliclazide, glipizide, glimepiride dan klorpropamide (Amod et al, 2012). 2. Metformin Obat ini mempunyai efek mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat ini diberikan pada pasien yang obesitas atau gemuk. Dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati. Efek samping dari obat ini adalah mual. Untuk mengurangi efek samping tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. 3. Penghambat glukosidase alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia, tetapi efek samping yang paling sering ditemukan adalah kembung dan flatulen, sehingga obat ini diminum bersama dengan makan. 4. Glinid Obat ini bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat : Repaglinid dan Nateglinid. Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. 5. Tiazolidindion Obat ini berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah 9 protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I – IV karena dapat memperberat edema/ retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang mengkonsumsi obat ini perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2011). Contoh obat golongan ini antara lain pioglitazon dan rosiglitazon (Dipiroet al, 2008). b) Insulin Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis. Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan prandial. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan. Insulin ditujukan untuk menangani defisiensi yang terjadi. (PERKENI, 2011). Berdasarkan lama kerja, insulin dibagi menjadi 4 jenis, yaitu : 1. Insulin kerja cepat (rapid acting) : Aspart, Lispro, Glulisin, Inhalled human insulin. 2. Insulin kerja pendek (short acting) : Regular. 3. Insulin kerja menengah (Intermediate acting) : NPH. 4. Insulin kerja panjang (long acting) : Detemir, Glargine. (Dipiro et al, 2008). c) Terapi Kombinasi Pemberian Obat Hipoglikemik Oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Terapi dengan Obat Hipoglikemik Oral kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yangmempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga Obat Hipoglikemik Oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai 10 dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinas itiga Obat Hipoglikemik Oral dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka Obat Hipoglikemik Oral dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin (PERKENI, 2011). 2. Farmakoekonomi Farmakoekonomi merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi dan membandingkan biaya dan konsekuensi dari terapi obat untuk sistem kesehatan dan masyarakat. Analisis farmakoekonomi sering digunakan untuk pengambilan keputusan dalam kebijakan kesehatan modern karena keterbatasan sumber daya keuangan (Kumar and Baldi, 2013). Dalam analisis farmakoekonomi, metode untuk evaluasi farmakoekonomi terdiri dari empat macam, yaitu Cost-Minimization Analysis (CMA), CostEffectiveness Analysis (CEA), Cost-Utility Analysis (CUA), Cost-Benefit Analysis (CBA) (Andayani, 2013). a) Cost-Minimization Analysis (CMA) Cost-Minimization Analysis adalah tipe analisis yang sederhana karena outcome diasumsikan sebagai ekuivalen, sehingga hanya biaya dari intervensi yang dibandingkan (Andayani, 2013). b) Cost-Effectiveness Analysis (CEA) Cost-Effectiveness Analysis adalah tipe analisis dengan mengukur biaya dalam mata uang dan hasil dalam satuan kesehatan natural (alami) yang menunjukkan peningkatan derajad kesehatan seperti penyembuhan, penyelamatan kehidupan (Rascati, 2009). Cost Effectiveness Analysis (CEA) merupakan bentuk analisis ekonomi yang komprehensif, dilakukan dengan mendefinisikan, menilai, 11 dan membandingkan sumber daya yang digunakan (input) dengan konsekuensi dari pelayanan (output) antara dua atau lebih alternatif. Perbedaan analisis ini dengan yang lain adalah pengukuran outcome dinilai dalam bentuk non moneter, yaitu unit natural dari perbaikan kesehatan. Keterbatasan dari analisis ini adalah dalam metodologinya tidak memasukkan masalah kesejahteraan sosial, seperti yang dilakukan di Cost Benefit Analysis. Cost Effectiveness Analysis (CEA) merupakan salah satu langkah untuk menilai perbandingan manfaat kesehatan dan sumber daya yang digunakan dalam program pelayanan kesehatan dan pembuat kebijakan dapat memilih diantara alternatif yang ada. Hasil digambarkan sebagai rasio dengan ACER maupun ICER. Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) didefinisikan sebagai berikut : ACER : Biaya Efek Average Cost-Effectiveness Ratio (ACER) dihitung untuk masing-masing alternatif terapi dan diperoleh perbandingan dari perbedaan alternatif baru dengan pembandingnya. Hasil ACER diinterpretasikan sebagai biaya rata-rata per unit efektivitasnya. Selanjutnya rasio Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) merupakan analisis yang harus dilakukan dalam analisis efektivitas biaya. Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) merupakan perbedaan antara 2 biaya alternatif dengan perbedaan efektivitas antara alternatif yang dihitung. didefinisikan sebagai berikut : ICER : ∆ biaya = Biaya teknologi baru-biaya pembanding ∆ efek Efek teknologi baru-efek pembanding Definisi Cost-effectiveness dapat digambarkan menggunakan cost effectiveness grid dapat dilihat pada gambar 2. Biaya Lebih Rendah A (Perlu Perhitungan ICER) D Cost-effectiveness Efektivitas Lebih Rendah Efektivitas Sama Efektivitas Lebih Tinggi G (Dominan) Biaya Sama B Biaya Lebih Tinggi C (Didominasi) E (Arbitrary) H F Gambar 2. Cost-effectiveness Grid (Rascati, 2009) I (Perlu Perhitungan ICER) 12 Sel G menunjukkan suatu terapi suatu terapi yang lebih efektif dengan lebih murah. Sel H menunjukkan terapi lebih efektif dengan biaya sama, sedangkan sel D menunjukkan terapi dengan efektivitas sama dengan biaya lebih murah. Sel G, H, D tersebut menunjukkan terapi yang cost-effective. Sel B,C dan sel F menunjukkan pilihan terapi yang tidak cost-effective. Sel C menunjukkan pilihan terapi yang kurang efektif dengan biaya lebih mahal. Sel F menunjukkan terapi dengan efektivitas sama tetapi harganya lebih mahal, sedangkan sel C menunjukkan terapi yang kurang efektif dengan biaya sama. Terdapat tiga kemungkinan dari suatu obat baru, lebih mahal tetapi lebih efektif (sel I), lebih murah tetapi kurang efektif (sel A), atau dengan biaya dan efektifitas yang sama dengan obat standar (sel E). Faktor lain perlu dipertimbangkan jika suatu obat termasuk sel E, sedangkan sel A dan I perlu dilakukan perhitungan ICER untuk menetukan tambahan biaya setiap tambahan unit efektivitas terapi (Andayani, 2013). Analisis Efektivitas Biaya dapat digunakan untuk memilih intervensi kesehatan yang memberikan nilai tertinggi dengan dana yang terbatas, misalnya: 1. Membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama tetapi memberikan besaran hasil yang berbeda pada pengobatan. 2. Membandingkan dua atau lebih terapi yang hasil pengobatannya dapat diukur dengan unit alamiah yang sama, dengan mekanisme kerja yang berbeda. (Kemenkes RI, 2013). c) Cost-Utility Analysis (CUA) Cost-Utility Analysis adalah tipe analisis untuk menilai efisiensi dari intervensi pelayanan kesehatan. Outcome dinilai menggunakan tipe ukuran outcome klinik yang khusus, yaitu quality-adjusted life year (QALY). Kelebihan dari Cost-Utility Analysis adalah tipe keluaran kesehatan yang berbeda dan penyakit dengan beberapa keluaran dibandingkan dengan menggunakan satu unit pengukuran, yaitu quality-adjusted life year (QALY). 13 d) Cost-Benefit Analysis (CBA) Cost-Benefit Analysis adalah tipe analisis yang membandingkan biaya dan keluaran dalam unit mata uang. Kelebihan analisis ini adalah beberapa keluaran yang berbeda dapat dibandingkan, dimana keluaran diukur dalam nilai mata uang. (Andayani, 2013) 3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28H ayat (1), (2) dan (3) dan pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional setelah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/ PUUIII/ 2005, guna memberikan kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh Indonesia (Undang-Undang BPJS, 2011). Dengan Undang-Undang ini dibentuk dua BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut jangkauan kepesertaan program jaminan sosial akan diperluas secara bertahap (Undang-Undang BPJS, 2011). Formularium Nasional adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, didasarkan pada bukti ilmiah mutakhir berkhasiat, aman, dan dengan harga yang terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam jaminan kesehatan nasional. Obat Hipoglikemik Oral yang masuk dalam Formularium Nasional meliputi : akarbose, glibenklamid, glimepirid, glipizid, metformin, dan pioglitazon (Peraturan Menteri Kesehatan, 2013). 14 E. Landasan Teori Menurut Murni (2010), menyatakan bahwa di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pola pengobatan yang paling cost effective berdasarkan glukosa darah yang mencapai target adalah kombinasi golongan sulfonilurea dengan biguanid dengan biaya pengobatan rata-rata terkecil yaitu Rp181.140,45. Menurut Murniningdyah, Ayu, N. (2009), menyatakan bahwa di RS Pandan Arang Boyolali pola pengobatan dengan Sulfonilurea lebih cost effective dengan nilai ACER sebesar Rp445,34 dibanding dengan golongan biguanid dan alpha glucosidase inhibitor. Menurut Listiyaning, A. (2006), menyatakan bahwa di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta pola pengobatan antidiabetik oral yang cost effective berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi sulfonilurea dengan biguanid. Menurut Efranda, J. (2014), menyatakan bahwa di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang pola pengobatan antidiabetik oral yang cost effective berdasarkan nilai ACER adalah kombinasi glimepiride dengan metformin dengan nilai sebesar Rp942.060. F. Keterangan Empiris Dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengobatan yang paling cost effective pada terapi antidiabetik oral, sehingga hasil dari penelitian ini dapat menggambarkan pola pengobatan dan biaya terapi antidiabetik oral pada pasien rawat jalan peserta BPJS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta.