BAB I PENDAHULUAN Long QT Sindrom (LQTS) merupakan kelainan yang diturunkan dan didapat yang ditandai dengan interval QT memanjang pada EKG yang cenderung mengakibatkan takiaritmia, sehingga dapat mencetuskan sinkop, henti jantung atau bahkan mati mendadak.(1,11) Long QT Sindrom merupakan kasus yang jarang, yang disebabkan oleh kelainan sistim elektrik jantung. Kelainan ini diperkirakan mengenai 1 dari 5000 individu. Di Amerika diperkirakan 3000 orang meninggal setiap tahunnya. Jantung sebagai pompa darah sistim konduksinya memerlukan recharge setiap denyut. Individu dengan Long QT Sindrom, sistim konduksi jantungnya memanjang untuk recharge ini yang mengakibatkan gangguan irama dimana terjadi aritmia yang menyebabkan pompa jantung berhenti memompakan darah keseluruh tubuh, Jika jantung mengalami masalah irama, ini bisa menyebabkan seseorang mengalami sakit kepala ringan atau pingsan, sehingga apabila jantung tidak kembali lagi ke irama normal dapat terjadi kematian.(2,11) Kasus pertama Long QT Sindrom dicatat oleh Meissner tahun 1856 di Leipziq. Pada tahun 1957 pencatatan melalui EKG dibuat oleh Anton Jerwell dan Freud Lange – Nielsen.(3) Sebahagian besar kasus pada Long QT Sindrom selalu berhubungan dengan aktivitas fisik atau stress emosional, namun demikian kematian juga bias terjadi diwaktu tidur. Kematian dalam keadaan sedang tidur cenderung terjadi dalam satu kelompok keluarga. Pada sebahagian individu melambatnya denyut jantung sering menyebabkan perpanjangan QT interval. Sehingga kematian pada waktu sedang tidur pada SADS (sudden arithmya death syndrome) dapat diterangkan.(4) Penelitian struktur dan molekuler menemukan adanya mutasi gen yang menyebabkan terjadinya peningkatan fungsi kanal ion jantung dimana manifestasi awal ini dapat berakibat fatal, sehingga sangat penting identifikasi tanda klinis terhadap anggota keluarga yang asimptomatik. Saat ini tes diagnostik genetik mengalami kesulitan akibat keberagaman genetik yang luas.(5) Diagnosis Long QT berdasarkan pada adanya interval QT 12 lead EKG standar, morfologi gelombang T dan juga gambaran klinis. Dengan dasar tersebut akan membantu penatalaksaan klinis serta memperkirakan resiko berdasarkan genotipe. Priori dkk melaporkan semua pembawa mutasi dengan QT intervalnya lebih dari 500 ms mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya sinkop, henti jantung atau bahkan mati mendadak.(5) Pada awal tahun 1960 Romano dkk dan Ward secara terpisah menggambarkan penyakit yang mirip namun tidak disertai dengan ketulian. Dengan demikian Romano-Ward sindrom merupakan penyakit autosomal dominant sedangkan Jervell-Lange-Nielsen sindrom adalah penyakit autosomal resesif dengan tuli kongenital.(6) Yanowits dkk menemukan bahwa perpanjangan interval QT dapat disebabkan oleh eksisi ganglion stelata kanan ataupun perangsangan ganglion stelata kiri. Demikian juga Schwartz dkk yang mampu merubah gelombang T dengan merangsang ganglion stelata kiri serta berhasil mengobati pasein usia muda dengan melakukan eksisi ganglion stelata kiri.(6) Pada awalnya Long QT Sindrom diklasifikasikan salah satu penyakit familial atau didapat, akan tetapi beberapa pasien yang diduga Long QT Sindrom mempunyai mutasi salah satu gen yang menyebabkan Long QT Sindrom. Bukti terhadap hipotesis ini muncul beberapa tahun terakhir ini. Kurang lebih 30% Long QT kongenital memiliki fenotipe yang normal serta interval QT normal sehingga tidak terdiagnosis sampai timbul serangan. Aritmia yang menimbulkan kematian dihubungkan terutama dengan penyakit kondusi jantung seperti Brugada dan Long QT sindrom,, dimana sekitar 19 % merupakan penyebab kematian mendadak pada anak yang berumur 1 sampai 13 tahun, sekitar 30 % pada anak umur 14 sampai 21 tahun. Dengan demikian didapat hubungan yang sangat kuat antara perpanjangan interval QT dengan risiko sindrom kematian bayi mendadak pada minggu pertama kehidupan.(7) EKG sebaiknya dilakukan terhadap seluruh pasien Long QT tingkat pertama. Identifikasi interval QT yang memanjang dan gelombang T abnormal pada anggota keluarga yang mengalami kematian jantung mendadak dimana diduga akibat Long QT sindrom. Skrining genetik berkala tidak mudah untuk dilakukan, oleh sebab itu dengan semua alasan diatas diperlukan analisa yang cermat sebelum dilakukan skrining.(7) Obat anti aritmia merupakan penyebab paling sering Sindrom Long QT acquired dan torsade de pointes. Berdasarkan klasifikasi obat anti aritmia menurut Vaughan-Williams, hanya obat penghambat kanal kalium klas III yang mengakibatkan pemanjangan masa potensial aksi dan interval QT, namun pada kenyataannya beberapa obat klas IA (terutama penghambat Na+) juga secara signifikan menghambat kanal K+. oleh sebab itu baik quinidin (klas IA) dan sotalol (klas III) mengakibatkan pemanjangan QT dan torsade de pointes, karena kedua-duanya menghambat kanal kalium. (8) Tabel.1.Klasifikasi obat antiaritmia modifikasi Vaughan-William.(kutip.13) BAB II SINDROM LONG-QT KONGENITAL DAN SINDROM LONG-QT DIDAPAT 2.1.Sindroma Long-QT Kongenital Sindrom long interval QT familial, takikardi ventrikel polimorfik dan kematian mendadak berhubungan dengan defek pada membran kanal ion atau pengaturan sub unitnya. Sindrom long QT congenital dapat berupa suatu dominan autosomal (Sindrom Romano-Ward) ataupun resesif autosomal (Sindrom Jervell dan Lange-Nielsen). Tujuh gen kanal ion dengan 300 ratus mutasi telah diketahui sebagai penyebab Sindrom long QT. Mutasi gen pengkode protein kanal ion dapat menyebabkan disfungsi protein kanal melalui beberapa mekanisme. Satu pergantian asam amino sering mengakibatkan disfungsi, penutupan abnormal kanal yang menjadi percepatan degenerasi, mengurangi jumlah fungsional kanal bahkan sampai 50%. Kadangkala pertukaran asam amino bias berakibat pada penutupan kanal ion yang total.(7) Perbedaan bentuk Sindrom long QT umum berhubungan dengan tempat asal mutasi. Oleh sebab itu mutasi pada KCNQ1, HERG, SCN5A, KCNE1 dan KCNJ2 merupakan penyebab LQT1,LQT2, LQT3, LQT5, LQT6 dan LQT7. lebih dari 90% orang dengan fenotipe RomanoWard berupa fenotipe heterezigot pada salah satu gen, sedangkan orang dengan resesif autosomal Jervell dan Lange-nielsen berupa fenotipe homozigot pada KCNQ1( JLN1) atau KCNE1 (JLN2). Kerumitan fenotipe dan genotype Sindrom long QT kongenital bertambah dengan ditemukannya mutasi yang menimbulkan disfungsi protein ringan.(7) Tabel.2.Gen penyebab Sindrom long QT kongenital.(kutip 7) 2.2.Sindroma Long-QT didapat (3,7) Sindrom long QT didapat berbeda dari Sindrom kongenital, beberepa obat dan penyakit menyebabkan perpanjangan interval QT. Duncan dan Ramsey 1985 melaporkan kasus takakardi ventrikel yang dicetuskan oleh pemberian sodium iothalamate pada pasien yang telah mendapatkan phenilamine, kedua obat tersebut menyebabkan interval QT memanjang. Obat antiaritmia, beta bloker, anti depresan trisiklik dan penotiazin yang mana semuanya dapat menyebabkan interval QT memanjang.( 3,7,10,11) Obat Antiaritmia merupakan penyebab paling banyak pada Sindrom long QT dan Torsade de pointes. Menurut Vaughan-Williams hanya obat antiaritmia klas III penghambat kanal K+ yang menyebabkan pemanjangan masa aksi potensial dan interval QT, namun demikian beberapa obat klas I (terutama penghambat kanal Na+) juga menunjukan sifat penghambat kanal K+. oleh sebab itu baik kuinidin (klas I) dan Sotalol (klas III) dapat mencetuskan pemanjangan interval QT dan Torsade de pointes sebab kedua-duanya menunjukkan sifat penghambat kanal K+.(10,13) Risiko terjadinya Sindrom Long QT didapat akibat obat-obatan ini sangat beragam dari 1% sampai 10%. Namun demikian secara rerata risiko yang ditimbulkan sangat kecil, beberapa dari obat dimaksud telah diberikan pada jutaan orang setiap tahun. Obat-obat pencetus Sindrom Long QT dahulu dianggap suatu respon yang aneh, akan tetapi penemuan molekuler telah memberikan titik terang akan hal tersebut. Sebagaimana diketahui baik obat-obat pencetus maupun Sindrom Long QT congenital mempengaruhi kanal ion seperti yang dijumpai pada beberapa pasien yang mengalami Sindrom Long QT akibat obat-obatan dimana kemungkinan faktor predisposisinya merupakan suatu Sindrom Long QT congenital, berdasarkan hipotesis kelainan yang mendasarinya menyebabkannya mudah terjadi Torsade de Pointes apabila repolarisasi dipengaruhi oleh pemberian obat-obat yang menurunkan fungsi kanal ion.(10) Tabel.3. Obat-obat yang menyebabkan pemanjangan interval QT danTdP.(kutip 10) BAB III ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG DAN PATOFISIOLOGI 3.1.Elektrofisiologi Jantung (7,8,9,10,12,14) Jantung dibentuk oleh tiga jenis sel eksitasi, yaitu ; a. sel-sel pacemaker sebagai sumber bioelektrik jantung. Pada keadaan normal sel pacemaker berada dominan berada di nodus SA (Sino-Atrial node). b. Sel-sel konduksi ( jaringan neuromuscular yang membentuk traktus internodal Atrium, berkas His atau serat Purkinye) sebagai kawat penghantar arus bioelektrik. c. Sel-sel otot jantung yang berfungsi untuk kontraksi. Sebagaimana sel-sel eksitasi lainnya, maka pada membran sel-sel otot jantung terdapat beribu- ribu kanal ion yang merupakan jalan utama bagi ion-ion untuk berdifusi. Kanal-kanal tersebut bersifat relative spesifik terhadap ion-ion tertentu , misalnya kanal kalsium terutama dilalui oleh Ca++, kanal Kalium dilalui oleh K+, kanal Natrium terutama dilalui oleh Na+, dan seterusnya. Selain itu kanal-kanal ion tersebut dikontrol oleh suatu mekanisme “pintu gerbang” sehingga dapat membuka dan menutup tergantung pada kondisi transmembran. Terbukanya kanal tersebut akan mengakibatkan ion mengalir melewati membran menurut konsentrasi gradiennya (concentration gradiens), yaitu dari sisi konsentrasi tinggi ke sisi konsentrasi rendah. Pada waktu sel tidak aktif (resting potensial) tingkat permeabilitas membrane sel jantung terhadap berbagai elektrolit juga berbeda.(7,8,9,10) Membran sel jantung sangat permeabel terhadap K+ dan Cl-, sedikit permeable terhadap Na+ dan tidak permeable terhadap anion organic. Untuk mempertahankan gradient tertentu agar ion-ion dapat kontinyu berdifusi melalui kanal ion, pada membran sel terdapat suatu carier transport system (Na+, K+, ATP-ase) yang dikenal sebagai pompa sodium (sodium pump), yang berfungsi memompa Na+ keluar dan K+ masuk ke dalam sel. Maka apabila sel dalam keadaan tidak aktif terjadilah distribusi yang tidak seimbang dari ion-ion dimana Na+ dan Cl- lebih banyak berkumpul diluar sedangkan K+ dan anion organik lebih banyak berkumpul didalam membran sel.(78,9,10) Karena ion-ion yang sejenis cenderung membentuk persamaan elektron didalam dan diluar sel, maka distribusi yang tidak seimbang ini menimbulkan suatu gaya tarik- menarik antara ion-ion dimana ion negative (terutama ion organik) berkumpul dipermukaan dalam sedangkan ion positif (terutama Na+) berkumpul dipermukaan luar membrane. Keadaan ini dikatakan sel berada dalam stadium polarisasi. Karena ion-ion memiliki muatan listrik, maka pada waktu sel tidak aktif, terdapat perbedaan potensial (resting membrane potential) antara permukaan dalam dan luar membrane sel sebesar kurang lebih 95 mV, dimana muatan intraselular lebih negative dibanding muatan ekstraselular sehingga ditulis -95 mV. Gambar.1. Skema potensial aksi yang menggambarkan arah, kekuatan serta periode Aliran ion yang mendasri potensial aksi, arah panah dan besarnya Menunjukkan arah arus masuk dan keluarnya ion serta kekuatan arus ion pada panah dibawah. Letak panah dibawah berhubungan dengan potensial aksi. Lima fase potensial aksi diperlihatkan dengan angka pada gelombang diatas. (kutip ,9) Apabila sel-sel otot jantung dirangsang oleh listrik, tekanan, suhu panas, K+ atau obatobat yang menghambat aktivitas pompa sodium, muatan negativ dipermukaan dalam membran sel-sel jantung dapat berkurang (menuju kenilai yang positif). Perubahan potensial membran dari nilai negatif kearah yang lebih positif disebut proses depolarisasi. Apabila membran mengalami depolarisasi dari -95 mV mencapai nilai ambang potensial (threshold) untuk sel otot jantung yaitu -70 Mv, maka perubahan voltase ini akan menjadi pencetus untuk membuka kanal ion Na+ secara mendadak, sehingga terjadilah pengaliran Na+ yang masuk kedalam sel. Perpindahan muatan positif yang tiba-tiba masuk dari luar kedalam sel mengakibatkan potensial membran secara mendadak pula berubah dari nilai negative menjadi positif. Bagian dari proses depolarisasi ini dinamakan potensial aksi. Setelah fase depolarisasi berlalu, membran sel akan mengalami proses repolarisasi yaitu redistribusi ion-ion kembali kestadium istirahat. Fase 0 adalah penanjakan pertama dari potensial istirahat (resting potensial) sebagai akibat masuknya Na+ secara mendadak kedalam sel. Fase 1 fase repolarisasi singkat yang terjadi sesaat setelah fase 0. fase ini disebabkan oleh tertutupnya kanal natrium secara mendadak dan keluarnya kalium dari dalam sel Fase 2 fase plateu dari aksi potensial. Fase ini terjadi secara perlahan-lahan sebagai akibat masuknya Ca++ melalui kanal kalsium kedalam sel. Fase ini merupakan fase penting untuk mengatur kontraksi jantung karena dua hal : a. Ca++ ekstraseluler yang masuk kedalam sel akan merangsang pelepasan Ca++ dari reticulum sarkoplasmik, yang kedua-duanya dibutuhkan dalam proses kontraksi. b. fase ini memperpanjang stadium depolarisasi. Jadi secara tidak langsung mempertahankan masa refrakter agar sel dapat berkontraksi secara sempurna, sebelum datangnya rangsangan baru. Fase 3 merupakan repolarisasi lebih lanjut setelah fase 2. Fase ini terjadi akibat tertutupnya kanal kalsium dan keluarnya kalium dari dalam sel. Pada fase ini, pompa sodium akan berfungsi secara maksimal untuk mengembalikan muatan negatif didalam sel. Jika sel berpolarisasi sampai -30 mV sebagian kanal kalsium telah siap menerima rangsangan baru, dan pada -79 mV sebagian kanal natrium untuk menerima rangsangan baru. Fase 4 fase diantara kedua potensial aksi. Pada fase ini terjadi retribusi ion-ion kembali ke keadaan sel tidak aktif (istirahat). Gambaran potensial aksi sel-sel otot jantung berbeda tergantung jenis sel. Untuk pacemaker, setelah fase 4 membran sel akan mengadakan depolarisasi secara spontan (slow diastolic depolarization) sebagai akibat masuknya Na + kedalam sel, proses ini selanjutnya mencetuskan potensial aksi yang baru setelah mencapai ambang potensial, siklus ini berlangsung terusmenerus. Setiap sel otot jantung yang mengadakan depolarisasi akan memproduksi sebuah potensial aksi yang monofasik, gabungan semua monofasik potensial aksi dari sel-sel otot jantung inilah yang membentuk komplek EKG yang juga mewakili sebuah denyut jantung. 3.2. PATOFISIOLOGI Patogenesis Long QT congenital belum jelas, namun hipotesis yang banyak dianut ialah pada ketidakseimbangan system saraf adrenergic dan aktivitas saraf simpatis jantung, dimana aktivitas yang berlebihan dibagian kiri sedangkan aktivitas pada bagian kanan berkurang. Ketidakseimbangan perangsangan simpatis mengakibatkan pemanjangan repolarisasi ventrikel otot jantung dimana meningkatkan kemungkinan terjadinya fibrilasi.(11) Bukti menyangkut keterlibatan sistem saraf simpatis yaitu;(a) sinkop yang kemungkinan dicetuskan oleh serangan atau peningkatan aktivitas perangsangan simpatis, seperti emosi atau aktivitas fisik;(b) pemanjangan interval QT serta peningkatan gelombang T yang disebabkan meningkatnya saraf simpatis yang asimetris;(c) hasil terapi yang memuaskan melalui efek antagonis aktivitas simpatis pada jantung dengan antagonis reseptor beta adrenergik.(11) Hasil penelitian pada binatang percobaan juga mendukung bahwa ketidakseimbangan perangsangan simpatis berperan penting terhadap timbulnya sindrom long QT congenital.(11) BAB IV ETIOLOGI, GAMBARAN KLINIS, DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN 4.1. Etiologi. Sindrom Long QT disebabkan oleh mutasi gen kanal kalium, natrium dan kalsium, dimana telah dikenali 10 gen, 6 gen merupakan Sindrom Romano-Ward, 1 gen dari Sindrom Andersen, 1 dari Sindrom Timothy serta 2 gen merupakan Sindrom Jervell dan Lang-Nielsen. Tabel.4. Beberapa bentuk Gen Sindrom Long QT Kongenital.(LQT1-6 Sindrom Romano-Ward , LQT7 Sindrom Anderson, LQT8 Sindrom Timothy, JLN1-2 Sindrom Jervell dan Lang-Nielsen).(kutip.1) LQT1, LQT2 dan LQT3 merupakan jumlah kasus terbanyak, dimana prevalesinya sekitar 45%, 45% dan 7%. Pemanjangan QT terjadi karena terlalu banyaknya ion positiv sel jantung selama repolarisasi ventrikel. Pada LQT1, LQT2, LQT5, LQT6 dan LQT7 kanal ion kaliumnya dihambat, terlambat pembukaannya atau pembukaannya sangat singkat dibandingkan dengan fungsi kanal yang normal. Perubahan ini menyebabkan penurunan aliran keluar ion kalium serta pemanjangan repolarisasi. (1,7) Sindrom Long QT didapat diakibatkan oleh obat-obatan seperti adrenalin, beberapa jenis antihistamin dan antibiotic, obat diuretic dan lainnya. Individu yang pernah mengalami Sindrom Long QT setelah mengkomsumsi salah satu obat-obat tersebut sesungguhnya mempunayi defek genetic yang menyebabkan kecendrungan terjadinya arritmia jantung. Kehilngan berat badan yang berat seperti pada penderita anoreksia nervosa juga dapat mengganggu keseimbangan ion di jantung sehingga mengakibatkan interval QT memanjang.(13) Tiga jenis dari Sindrom Long QT congenital yang digambarkan saat ini, Jervell dan Lange-Nielsen Syndrome dinamai sesuai dengan orang yang menemukan kondisi ini pada tahun1957, yang disertai dengan tuli congenital dan mewarisi sifat autosomal resesif. Sindrom Romano-Ward merupakan bentuk yang paling banyak ditemukan, pertama dikenali pada tahun 1960. bentuk ini merupakan suatu autosomal dominant yang tidak disertai dengan kelainan fisik seperti tuli. Pada tahun 1995 telah dilaporkan bentuk ketiga Sindrom Long QT congenital yang disertai dengan sindaktili bilateral, akan tetapi sangat sedikit yang diketahui mengenai bentuk kelainan ini kecuali hanya laporan kasus sporadis saja tampa adanya riwayat keluarga yang menderita Sindrom Long QT.(13) Pada awal tahun 2001 enam gen yang berbeda telah ditemukan kaitannya dengan bentuk Sindrom Long QT congenital ini, dan mutasi paling kurang empat gen pada sejumlah orang serta keluarga yang menderita. Gen-gen ini memegang peranan penting terhadap susunan kanal ion pada membran sel . oleh sebab itu mutasi gen-gen ini mengganggu irama jantung normal.(13) Diare ataupun muntah yang terlalu banyak yang menyebabkan kehilangan ion kalium dan natrium dari dalam darah dapat juga menyebabkan Sindrom Long QT. Sindrom akan berakhir sampai kadar ion-ion ini dalam darah kembali normal. Ganguan makan seperti anoreksia nervosa dan penyakit kelenjar tiroid yang menyebabkan penurunan kadar ion kalium dalam darah juga dapat menyebabkan kelainan ini.(14) 4.2. Gambaran Klinis Gejala-gejala sindrom long QT congenital dapat terjadi pada bulan pertama kelahiran ataupun juga pada usia pertengahan. Umumnya gejala-gejala Long QT ini dialami pada saat usia 40 tahun. Kematian sebahagian besar terjadi pada penderita berumur 11 tahun sampai 30 tahun.(15) Pingsan merupakan gejala utama , penderita bisa jadi mengalami serangan satu sampai ratusan kali serangan. Yang menjadi menarik ialah beberapa pasien yang mengalami beberapa kali serangan namun tidak mengalami kematian, pada pasien lain kematian dapat terjadi hanya pada serangan pertama kali terjadi.(11,) Pada penderita Sindrom Long QT pingsan disebabkan oleh karena irama jantung yang tidak teratur yang terjadi pada saat timbul nya amarah, terkejut ataupun aktivitas fisik. Pingsan pada penderita dapat terjadi secara tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda sebelumnya, misalnya hilang kesadaran setelah terkejut mendengar dering telepon. Gejala-gajala yang dapat timbul sebelum pingsan ialah berkunang-kunang, berdebar-debar atau irama jantung yang tidak teratur, kelemahan dan pandangan kabur.(15) Kejang dapat terjadi jika irama jantung yang tidak teratur terus terjadi sehingga otak mengalami kekurangan oksigen yang kemudian dapat berlanjut menjadi kejang umum. Oleh karena itu beberapa orang yang mengalami Sindrom long QT ini bisa jadi mengalami salah diagnosis sehingga mendapat terapi obat anti-epilepsi. Kematian mendadak akan terjadi apabila irama jantung yang tidak normal ini segera diatasi dengan external defibrillator.(15) The International Long QT Syndrome Registry melakukan peneltian epidemiologi karakter genetic dimulai tahun 1979 mendapatkan hasil 50% pasien mengalami serangan pertama pada umur 12 tahun dan meningkat hampir 90% pada umur 40 tahun. Lamanya masa interval QT terkoreksi tidak berhubungan dengan resiko terjadinya pingsan ataupun kematian tiba-tiba selama pengamatan. Kematian jantung tiba-tiba diwaktu tidur harus dicurigai Sindrom Long QT congenital, terutama fenotipe LQT3. Gambaran klinis Sindrom Long QT congenital bervariasi tergantung pada jenis gen. pada umur 15 tahun hampir 60% penderita LQT1 mengalami serangan (pingsan, henti jantung, atau mati mendadak) dibandingkan dengan LQT3 yang lebih sedikit sekitar 10%.(16) 4.3. Diagnosis Diagnosis terutama didasarkan adanya pemanjangan QT pada EKG. Gejala , riwayat keluarga serta system scoring banyak digunakan, walaupun sensitivitas dan spesifisitasnya keabsahannya belum diakui. Dari data terbaru yang dapat dipercaya diagnosis Sindrom Long QT dapat ditegakkan dengan ditemui interval QT lebih dari 470 msec pada pria dan lebih dari 480 msec pada wanita yang tidak sedang menggunakan obat-obatan, penyakit jantung ataupun penyakit lainnya ataupun juga factor-faktor lainnya yang menyebabkan pemanjangan interval QT. EKG ulangan , EKG saat aktivitas serta EKG serial sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Dari kepustakaan yang ada saat ini menunjukkan nilai normal interval QT sampai 500 msec dari nilai normal yang ada umumnya, oleh sebab itu nilai QT > 500 msec dapat dipakai sebagai dasar menegakkan diagnosis. Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan adanya pemanjangan QT interval saat istirahat atau aktifitas ataupun EKG serial. Pingsan yang disertai gambaran khas morfologi gelombang T sangat mendukung untuk menegakkan diagnosis, serta aritmia dari TdP merupakan tanda patognomonis yang penting untuk menegakkan Sindrom QT memanjang. (11) Riwayat pingsan yang tidak diketahui penyebabnya atau kematian mendadak pada masa anak-anak atau dewasa muda terutama saat aktifitas fisik atau emosi atau tenggelam atau hampir tenggelam harus diduga kemungkinan suatu Sindrom Long QT.(6) Schwartz dkk pertama kali mengemukakan kriteria diagnosis pada tahun 1985, akan tetapi dengan ditemukannya perbedaan pemanjangan interval QT antara wanita dan pria, adanya tumpang tindih nilai QT antara pembawa gen ataupun bukan pembawa serta ditemukannya beberapa perbedaan parameter klinis antara pasien LQTS dengan pasien yang bukan LQTS sehingga Scwartz dkk mengemukakan criteria baru pada tahun 1993. kriteria ini berdasarkan pada EKG, riwayat klinis serta riwayat keluarga. Nilai total berkisar antara 0 sampai 9 yang terdiri dari tiga kelompok. Nilai <1= kemungkinan rendah, nilai 2 sampai 3= kemungkinan sedang, nilai >4= kemungkinan tinggi. Penderita dengan nilai 2 sampai 3 EKG serial harus dilakukan selama nilai interval QT masih bervariasi dari waktu ke waktu, disamping itu skrining terhadap anggota keluarga perlu dilakukan. Pemeriksaan elektrofisiologi invasive dengan atau tanpa infuse katekolamin tidak bermanfaat. Pada kasus-kasus yang meragukan pemeriksaan genetik guna mengenali mutasi baru akhir-akhir ini sangat berguna namun belum menjadi pemeriksaan yang rutin. Saat ini pemeriksaan molekuler digunakan untuk menganalisa genom DNA ( mis;dari limfosit perifer) serta LQTS karena mutasi. Pemeriksaan ini bermanfaat pada anggota keluarga yang penyebabnya oleh mutasi gen serta mutasi pada penderita. Namun skinning sampai saat ini belum digunakan secara luas, ini disebabkan karena mahalnya biaya dan lamanya waktu pemeriksaan serta beberapa gen yang tidak diketahui masih perlu penelitian lagi.(6,11) Tabel.5. Kriteria diagnosis Sindrom Long QT Kongenital.(kutip 6,16,17,18) Sindrom Long QT merupakan diagnosis klinis namun pemeriksaan genetik bisa menjadi informasi tambahan untuk diagnosis. Pada penderita yang gambaran klinisnya antara lain pingsan serta morfologi gelombang QT yang khas yang telah didiagnosis diduga 70%-90% diakibatkan oleh kelainan gen. uji genetik terhadap subtype terbanyak dijumpai saat tersedia secara komersial, yang mana dapat mengenali 50-70% penderita yang telah tediagnosis secara klinis.(19) Uji genetik sangat berguna terutama, pertama untuk mengetahui kelainan genetiknya guna menentukan prognosis serta pemilihan pedoman terapi. Kedua pada anggota keluarga penderita yang telah diketahui kelainan genetiknya, pemetaan genotype akan membantu untuk menegakkan diagnosis pada yang lainnya. Uji genetic tidak dilakukan pada penderita yang interval QT borderline dengan gejala yang meragukan serta tidak ada riwayat keluarga.(19) Gambar.2. contoh elektrokardiogram tiga bentuk Sindrom Long QT yang paling banyak dijumpai.Bentuk LQT1 berkaitan dengan melebarnya gelombang T tanpa pemendekan interval QT yang diakibatkan oleh aktifitas. LQT2 berkaitan dengan amplitudo gelombang T yang rendah sering bifida. LQT3 berkaitan dengan segmen isoelektrik yang memanjang dan landai, gelombang T yang tinggi.(kutip19) 4.4. Penatalaksanaan Seluruh penderita Sindrom Long QT harus menghindari obat-obat yang menyebabkan pemanjangan interval QT atau mengurangi kadar serum kalium dan magnesium. Walaupun pemberian terapi pada penderita yang asimptomatik masih kontroversi, pilihan yang terbaik ialah memberikan terapi kepada seluruh penderita Sindrom Long QT congenital, sebab kematian jantung tiba-tiba dapat saja terjadi pada serangan pertama dari penyakit ini.(1,11) Beta-bloker merupakan obat pilihan terhadap Sindrom Long QT. Efek proteksi betabloker berkaitan dengan penghambatan adrenergic sehingga mengurangi risiko aritmia jantung juga memperkecil interval QT. Walaupun telah bertahun-tahun dianjurkan pemberian dosis betabloker relative besar (mis; 3 mg/kg/hari,atau210 mg/hari pada berat badan 70 kg) data terbaru menunjukkan dosis yang lebi rendah memberikan efek proteksi yang sama dengan dosis besar. Beta-bloker efektif mencegah serangan jantung sampai 70%. Sedangkan serangan ulangan berkurang 30% dengan terapi beta-bloker.(1,11) Propanolo dan nadolol merupakan beta-bloker yang paling sering digunakan, namun atenolol dan metoprolol juga dapat diberikan pada Sindrom Long QT. Semua penderita.(,1) Implantable cardioverter-defibrillator (ICD) paling efektif mencegah kematian jantung mendadak pada penderita yang mempunyai risiko tinggi. Pada suatu penelitian terhadap 125 penderita Sindrom Long QT dengan ICD, didapatkan kematian 1,3 % pada penderita dengan ICD dibandingkan dengan 16 % kematian pada penderita dengan non-ICD selama 8 tahun pengamatan. Dikatakan risiko tinggi apabila penderita pernah mengalami henti jantung ataupun serngan jantung berulang ( mis; pingsan atau torsade de pointes), mendapat terapi konvensinal serta interval QT yang sangat memanjang (>500msec).(1,11) Penggunaan ICD harus dipertimbangkan sebagai terapi pertama apabila penderita mempunyai riwayat keluarga dengan kematian mendadak. Walaupun demikian sejak sejumlah penelitian menunjukkan bahwasanya riwayat keluarga dengan kematian mendadak bukan merupakan factor risiko independent. Sejumlah ahli tidak menganjurkan terapi ICD hanya berdasakan pada riwayat keluarga. Terapi ICD dini sebaiknya dipertimbangkan terhadap penderita Sindrom Jervell dan Lange-Nielsen, hal ini disebabkan karena manfaat beta-bloker pada penderita ini ter1Qbatas. Penggunaan pacu jantung berdasarkan pada peningkatan irama jantung secara perlahan-lahan, mengurangi irami irregular dan repolarisasi heterogen serta memperkecil risiko Torsade de Pointes takikardi ventrikel. Pacu jantung terutama bermanfaat pada penderita yang pernah mengalami bradikardi dengan torsede de pointes dan LQT3. (1) Stelektomi servicotorak kiri merupakan terapi antiadrenergik yang digunakan pada penderita risiko tinggi terutama yang mengalami serangan berulang yang mendapat terapi betabloker. Stellektomi menurunkan risiko serangan yang bermanfaat pada LQT1 dibandingkan dengan jenis lainnya. Walaupun tindakan ini mengurangi risiko serangan namun tidak sama sekali menghilangkan risiko tersebut, oleh sebab itu ICD lebih baik dibandingkan stellektomi cervicotorak.(1) Aktifitas fisik dan takikardi pencetus timbulnya serangan LQT1, dengan demikian penderita LQT1 harus berusaha menghindari aktifitas fisik dimana beta-bloker dirapkan dapat mencegah serangan. Pingsan dan mati mendadak saat berenang dan menyelam berkaitan sangat dengan LQT1, oleh sebab itu hindari berenang tanpa pengawasan. LQT2 juga dicetuskan oleh aktifitas fisik, namun relative kurang dibandingkan dengan LQT1. aktifitas fisik dan takikardi tidak mencetuskan LQT3 namun biasanya terjadi pada waktu tidur. Disebabkan oleh karena takikardi tidak mencetuskan serangan maka pemakaian beta-bloker guna mencegah serangan masihdiperdebatkan. Mexiletine, suatu penghambat kanal kalium meningkatkan proteksi pada subkelompok ini. Sejumlah ahli menganjurkan kombinasi beta-bloker dan mexiletine pada penderita LQT3 ini..(1) - BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.KESIMPULAN 1. Sindrom Long QT merupakan gangguan aktifitas listrik jantung. 2. Gejala dan tanda aritmia pada penderita SindromLong QT ialah pingsan atau kejang yang tidak diketahui sebabnya, tenggelam atau hampir tenggelam (oleh karena pingsan saat berenang), henti jantung tiba-tiba serta kematian mendadak. 3. Sindrom Long QT suatu keadaan yang jarang dimana biasanya bersifat diturunkan, sering pertama kali dijumpai pada usia kanak-kanak dan dewaa muda. 4. Dalam menegakkan diagnosis harus mempertimbangkan hasil Elektrokardiogram, Riwayat penyakit keluarga serta hasil uji genetik. 5. Cacat genetik mengahasilkan jenis kanal ion yang khas pada sel jantung yang merupakan penyebab Sindrom long QT Kongenital. Kanal ion yang cacat mengganggu aliran normal natrium dan kalium masuk dan keluar sel saat denyut jantung terjadi. Aliran abnormal mengacaukan aktifitas listrik jantung yang menyebabkan kelainan irama yang berbahaya. 6. Perubahan gaya hidup dan terapi dengan obat-obatan dapat membantu mencegah komplikasi yang berbahaya. 7. Terapi pada Sindrom Long QT meliputi perubahan gaya hidup, obat-obatan, alat medis yang ditanamkan serta terapi guna memperbaiki irama jantung. 5.2. SARAN 1. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan Elektrokardiogram pada individu yang mengalami pingsan mendadak setelah melakukan aktifitas fisik atau stress emosional dan adanya riwayat keluarga yang mati mendadak tanpa diketahui sebabnya. 2. Tidak merekomendasikan untuk berolahraga pada penderita Sindrom Long QT tipe LQT1 atau LQT2, oleh karena aktifitas fisik, berenang dan stress emosional sering mencetuskan serangan jantung. 3. Beta-bloker sebaiknya diberikan pada penderita dengan interval QT memanjang ( >460 msec pada wanita, dan >440 msec pada laki-laki.) 4. ICD (implantable cardioverter-defibrillator) pada penderita yang selamat setelah mengalami henti jantung dan penderita yang pingsan walaupun telah mendapat beta- bloker DAFTAR PUSTAKA 1. Sovari.A. et al in Long QT Syndrome, eMedicine Cardiology.2008. 2. Liptak.S.Gregory ; in Long QT Syndrome, www.merck.com. 2008 3. From Wikipedia;in Long QT Syndrome, http;//en.wikipedia.org.2009 4. Meyer.S.Jhon,et al; in Sudden Arrhythmia Death Syndrme; Importance of Long QT Syndrome, American Family Physician.2003; 68; 483-488. 5. Monnig Gerold, et al; in Electrocardiographic risk stratification in families with congenital long QT syndrome. Euro He J.2006;,27; 2074-2080. 6. Chiang Chern-en.and Roden,M; The Long QT Syndrome: Genetic Basis and Clinical Implication. J. Am. Coll. Cardiol, 2000; 36;1-12. 7. Booker.P.D, Whyte.S.D and Ladusans.E.J; anaesthesia.Bri.J.An,2003;90; 349-366. Long QT Syndrome and 8. Karim S dan Kabo P; Prinsip-prinsip EKG. EKG dan penanggulangan beberapa penyakit Jantung; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;1996;1-37. 9. Josephson.Mark.E and Zimetbaum.P; The Bradyarrhytmias: Disorders of sinus fungtion and AV conduction disturbances.in Ed Principles of Internal Medicine. 16th.. ed.McGraw-Hill Med Pub Div.2005;1333-1341. 10. Tan Hanno L, et al;Elektrophysiologic Mechanisms of Long QT interval Syndrom and Torsade de Pointes; Annals of Internal Medicine. 1995;122; 701-714. 11. Vincent G M; The Long QT Syndrome; Ind P Ele J.2002;2. 12. Kenny R A and Sutton R; The Prolonged QT Interval-afrequently unrecognized abnormality. P Gra Med J.1985; 61; 379-386. 13. Prolonged QT Syndrome.; http//medica dictionary.thefreedictionary.com.2009 14. Levine Ethan and Moss j Arthur, et al; Congenital Long QT Syndrome: Consideration for primary care physician. C Cli J of Med.2008; 75; 591-600. 15. Mayo Clinic staff; Long QT Syndrome, www.mayoclinic.com.2009. 16. Wehren Xander H.T. and Vos Marc A, et al; Novel Insight in the Congenital Long QT Syndrome.An of Int Med J.2002; 137;981-993. 17. Hofman Nynke and Wilde Arthur A.M.; Diagnostic criteria for Long QT Syndrome in the era molecular genetics: do we need a scoring system?. Eur Hea J.2007;28; 575580. 18. Semsarian C , Fatkin D and Skinner J; Guidelines for the Diagnosis and management of familial long QT Syndrome. The Cardiac Society of Australia and New Zealand.2005. 19. Roden Dan,M; Long QT Syndrome.www.nejm.org.2009.