1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Shalat telah diwajibkan pada malam Isra sebanyak lima puluh kali dalam sehari semalam, kemudian diturunkan hingga lima kali shalat, tetapi ganjarannya menyamai lima puluh kali shalat, sebagaimana hadits berikut: Telah diwajibkan kepada Nabi SAW pada malam beliau di-Israkan sebanyak lima puluh kali shalat, lalu dikurangi hingga menjadi lima kali shalat. Kemudian beliau diseru, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya perintah-Ku ini tidak akan diubah lagi, dan sesungguhnya dengan lima kali shalat ini engkau mendapat (ganjaran) lima puluh (shalat) (Imam Tirmidzi, 2000: 361/ 1, No. 197). Dengan demikian shalat yang diwajibkan kepada seluruh umat Islam dalam sehari semalam adalah sebanyak lima kali, dan ini merupakan perkara yang pasti diketahui dalam bidang agama. Shalat juga merupakan salah satu dari Rukun Islam, yakni rukun ke-2, sebagaimana yang telah diberitakan oleh Nabi SAW dalam hadits-nya: “Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan haji” (Imam Muslim, 1991: 101/ 1, No. 19). Shalat diwajibkan atas setiap Muslim yang berakal dan baligh (baik laki-laki maupun perempuan). Adapun anak-anak yang belum baligh, maka menurut syariat (ketentuan hukum dalam Islam) mereka tidak dikenai perintah/ hukum apapun. Walaupun begitu, terkait dengan shalat, maka orangtua atau wali yang 2 mengurus anak tersebut diminta untuk memerintahkannya melaksanakan shalat hingga anak itu berumur sepuluh tahun. Ketika telah berumur sepuluh tahun, maka orangtua atau wali yang mengurusnya diminta untuk memukul sang anak dengan pukulan yang tidak membahayakan jika dia belum mentaati perintah dan belum shalat. Hal ini menunjukkan betapa penting dan tingginya kedudukan shalat bagi seorang Muslim, seperti yang telah ditentukan dalam Islam melalui sebuah hadits dari Nabi SAW berikut: Perintahkanlah pada anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat di saat mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah (dengan pukulan yang ringan) mereka karena (meninggalkan) shalat ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka (Abu Dawud, 1998: 88/ 2, No. 418). Uwaidhah (2001: 9) menjelaskan, sebagaimana yang telah dikatakan oleh sejumlah imam tentang status orang yang meninggalkan shalat bahwa ”Orang yang meninggalkan shalat, baik secara sebagiannya atau seluruhnya, itu bukanlah orang kafir, bukan pula orang musyrik, dan bukan pula orang murtad. Dia tetap dipandang sebagai seorang Muslim yang fasik dan bermaksiat saja.” Keterangan tersebut disimpulkan dari penelaahan hadits Nabi SAW yang menyatakan: Lima kali shalat yang telah diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, barangsiapa yang menemui-nya membawa (amalan) shalat ini dalam keadaan tidak menghilangkan sesuatupun darinya maka baginya dari sisi Allah ada janji untuk memasukkannya ke dalam surga; dan barangsiapa yang menemui-Nya dalam keadaan telah mengurangi sesuatu darinya karena menganggap enteng sebagian hak-haknya maka baginya tidak ada janji dari Allah SWT. Jika Dia menghendaki, Dia SWT akan menyiksanya; dan jika menghendaki, Dia SWT akan mengampuninya (Imam Malik, 1974: 361/ 1, No. 248). Menurut ketentuan dalam Islam, orang kafir (al-Quran al-Karim, [47]: 34), musyrik (al-Quran al-Karim, [4]: 48), dan orang murtad (al-Quran al-Karim, [2]: 217) tidak akan bisa diampuni oleh Allah SWT. Dengan demikian jelaslah bahwa 3 orang yang meninggalkan shalat tetap dipandang sebagai seorang Muslim yang fasik dan bermaksiat saja, dan dia berdosa karenanya. Islam, dalam menerangkan siapa saja orang Muslim yang dikenai kewajiban shalat, hanya menjelaskan kewajiban itu diperintahkan kepada setiap orang Muslim yang berakal dan telah baligh; tidak memandang laki-laki atau perempuan, kulit hitam atau putih, kaya atau miskin, dan bahkan tunarungu atau mendengar. Bisa dipahami ketika seorang tunarungu itu masih mempunyai kemampuan menggunakan akal (pikiran) secara optimal dalam batas orang-orang yang mendengar, maka dia masih terkena kewajiban shalat itu. Hasil studi pendahuluan di lapangan, didapatkan fakta bahwa ada sebagian anak tunarungu yang lalai dalam memenuhi kewajiban agama, yakni shalat. Peneliti kemudian melakukan wawancara yang bersifat dialogis dengan mereka untuk mendapatkan fakta awal perihal kenapa mereka sampai bisa melalaikan kewajiban shalatnya. Hasil wawancara dialogis tersebut memberikan keterangan bahwa mereka berdalih tidak bisa membaca bacaan shalat yang notabene bahasa Arab. Apalagi ketika syariat telah menetapkan bahwa bacaan wajib dalam shalat (al-Fatihah) tidak boleh dibaca dalam bahasa non-‘Ajam/ bahasa di luar bahasa Arab (Imam Nawawi, 2007: 118), sementara anak-anak tunarungu kesulitan dalam membaca bacaan Arab. Faktor penyebab keadaan tersebut dikarenakan mereka tidak bisa menirukan arus informasi (bunyi bacaan al-Quran berikut tajwidnya sebagai bacaan shalat) oleh sebab tidak bisa masuk kemudian tersimpan di dalam memori audio mereka di otak lantaran mereka tidak mendengar. 4 Fakta lain yang didapatkan di lapangan adalah bahwa sebagian dari mereka (anak tunarungu) ada yang tidak meninggalkan kewajiban shalatnya. Sebagian dari anak tunarungu yang tidak meninggalkan shalat ini menunaikan kewajiban shalat didasarkan atas pengetahuan mereka bahwa shalat itu merupakan kewajiban mereka dalam beragama. Dengan demikian, hasil studi pendahuluan di lapangan menerangkan bahwa ada dua kelompok anak tunarungu yang mempunyai sikap yang berbeda terhadap kewajiban shalat, yakni kelompok anak tunarungu yang mengerjakan shalat dan kelompok anak tunarungu yang melalaikan shalat. Kelompok anak tunarungu yang melalaikan shalat ini berdalih tidak bisa membaca bacaan Arab dengan bersembunyi di balik keadaannya sebagai insan tunarungu, padahal kelompok anak tunarungu yang mengerjakan shalat pun keadaannya sama, yaitu sebagai anak tunarungu. Mencermati permasalahan anak tunarungu tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi anak tunarungu yang melaksanakan dan meninggalkan shalat. Dengan landasan tersebut penulis kemudian mencari tahu kemungkinan ada-tidaknya jawaban atas permasalahan mengenai perintah kewajiban shalat yang ditujukan kepada tunarungu yang Muslim (sebagai seorang yang berakal dan yang telah baligh); bagaimana statusnya karena mereka tunarungu sehingga sulit untuk menyempurnakan kewajiban shalatnya: apakah ada keringanan atau tidak untuknya. Pencarian kejelasan hukum tersebut kemudian dikemas dalam sebuah bentuk penelitian dengan judul “Analisis Deskriptif tentang Status Kewajiban Shalat bagi Anak Tunarungu” (Studi Delphi pada Subjek Ahli Fiqih dan Studi Deskriptif pada 5 Siswa Tunarungu di SLBN B Cicendo-Bandung), dengan menggunakan metode deskriptif. B. Fokus Penelitian Setelah melakukan penelaahan umum tentang permasalahan anak tunarungu di lapangan terkait pengabaian shalat yang dilakukan dengan alasan keadaan ketunarunguannya, maka fokus penelitian diarahkan pada: 1. Faktor-faktor yang melatarbelakangi anak tunarungu yang mendirikan dan meninggalkan kewajiban shalat; a. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi anak tunarungu saja yang melatarbelakangi anak tunarungu melaksanakan shalat? b. Faktor-faktor apa meninggalkan shalat? 2. Status kewajiban shalat; bagaimana status kewajiban shalat bagi anak tunarungu: apakah ada keringanan atau tidak? C. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menemukan kejelasan tentang status kewajiban shalat bagi anak tunarungu, apakah ada keringanan atau tidak untuk mereka dalam hal rukun (bacaan) shalatnya. Selain itu untuk mengetahui juga faktor-faktor yang melatarbelakangi anak tunarungu dalam melaksanakan dan meninggalkan kewajiban shalat. 6 D. Manfaat Penelitian Bila tujuan penelitian tercapai, maka hasil penelitian akan memiliki manfaat teoritis-normatif (agamis); yaitu kejelasan status ketentuan hukum kewajiban shalat untuk anak tunarungu. Dengan ditemukannya kejelasan status tentang kewajiban shalat tersebut juga dapat dijadikan pegangan bagi guru dan orangtua untuk menanamkan pemahaman kepada anak tunarungu bahwa shalat itu tetap wajib dilakukan semampu mungkin dalam kondisi apa pun. E. Definisi Konsep 1. Kewajiban Shalat Kewajiban shalat merupakan hal di mana perbuatan (ibadah) shalat harus dilaksanakan oleh orang yang mendapat perintah dari yang memerintah--dalam hal ini Allah. Perintah yang dimaksud (shalat) mutlak harus dilaksanakan untuk memenuhi seruan (perintah) Allah. Lima kali shalat yang telah diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya; barangsiapa yang menemui-Nya membawa (amalan) shalat ini dalam keadaan tidak menghilangkan sesuatu pun darinya, maka baginya dari sisi Allah ada janji untuk memasukannya ke dalam surga; dan barangsiapa yang menemui-Nya dalam keadaan telah mengurangi sesuatu darinya karena menganggap enteng sebagian hak-haknya, maka baginya tidak ada janji dari Allah SWT. Jika menghendaki, Dia SWT akan menyiksanya; dan jika menghendaki, Dia SWT akan mengampuninya (Imam Ahmad, 1989: 181/ 46, No. 21635). 2. Status Kewajiban Shalat Yang dimaksud dengan status kewajiban shalat di sini adalah kejelasan tentang ada-tidaknya toleransi (keringanan) dalam pelaksanaan shalat yang hukumnya wajib. 7 F. Subjek Penelitian Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah dua orang siswa kelas 2 SMALB SLBN B Cicendo, yakni NT yang rajin melaksanakan shalat, dan CY yang tidak melaksanakan shalat; dua orang teman dekat masing-masing anak tunarungu yang bersangkutan; seorang guru agama di sekolah mereka; dan dua orang ahli fiqih, yakni Ust. SJ, pengasuh salah satu website yang menampung pertanyaan-pertanyaan seputar hukum Islam lewat situsnya www.khilafah1924.org; dan Ust. AF yang menjadi salah satu anggota Bahtsul Masail di kelompok NU cabang Tegallega-Bandung, yang mengurusi masalahmasalah fiqih kontemporer. Penentuan subjek kedua siswa tunarungu tersebut adalah untuk mendapatkan keterangan seputar faktor-faktor yang melatarbelakangi masing-masing subjek dalam melaksanakan dan meninggalkan shalat. Sementara teman dekat masingmasing kedua subjek siswa tunarungu adalah untuk menggali kebenaran informasi yang diberikan oleh kedua subjek siswa tunarungu tersebut. Subjek selanjutnya, guru agama mereka, adalah untuk mengetahui informasi seputar pengarahan/ regulasi lingkungan (sekolah) yang mungkin mempengaruhi subjek kedua siswa tunarungu dalam melaksanakan dan meninggalkan shalat. Subjek yang terakhir adalah dua orang ahli fiqih, yang akan memberikan keterangan seputar masalah ada-tidaknya keringanan bagi anak tunarungu dalam hal pelaksanaan kewajiban shalat.