BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Dalam praktik istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih
dipahami secara rancu. Banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua
istilah tersebut seolah merupakan pengertian yang berbeda. Burgerlijk
Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst
dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat
disimak dari judul Buku III titel Kedua tentang “Perikatan-perikatan yang
Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa aslinya (bahasa
Belanda), yaitu: “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst
geboren worden”. Pengertian ini juga didukung pendapat banyak sarjana,
antara lain: Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J. Satrio, Soetojo
Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman,
Purwahid Patrik, dan Tirtodiningrat. Yang menggunakan istilah kontrak
dan perjanjian dalam pengertian yang sama. 17
Subekti mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah
“perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak”. Menurut Subekti istilah
kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditunjukan kepada
perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 18 Sedangkan sarjana lain, Pothier
17
Agus Yudha Hernoko, “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial”. Kencana, Jakarta. 2010. Halaman 13
18
Subekti,“Hukum Perjanjian”. Intermasa, Jakarta. 1996. Halaman 1(selanjutnya
disingkat Subekti-III)
tidak memberikan pembedaan antara kontrak dengan perjanjian, namun
membedakan pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut
convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua orang atau lebih
menciptakan, menghapuskan (opheffen), atau mengubah (wijzegen)
perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan
terlaksananya perikatan. 19
Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, Agus Yudha
Hernoko sependapat dengan beberapa sarjana yang memberikan
pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian. Halini disebabkan
fokus kajian beliau berdasarkan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW),
di mana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai
pengertian yang sama dengan kontrak (contract). Selain itu, dalam praktik
kedua istilah tersebut juga digunakan dalam kontrak komersial, misal:
perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna usaha, kontrak kerjasama,
perjanjian kerja sama, kontrak kerja konstruksi. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini kedua istilah tersebut akan digunakan bersama-sama, hal ini
bukan berarti menunjukkan adanya inkonsistensi penggunaan istilah,
namun semata-mata memudahkan pemahaman terhadap rangkaian kalimat
yang disusun. 20
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, perjanjian adalah salah satu
sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan
kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban
19
20
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 14
Ibid., Halaman 15
yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada
pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi
dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi
dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian
adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.
Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati
tersebut, maka kreditor beerhak menuntut pelaksanaan kembali perjanjian
yang belum, tidak sepenuhnya, atau tidak sama sekali dilaksanakan atau
yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga,
kerugian, dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor. 21
Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata merumuskan tentang
“kontrak atau perjanjian” adalah sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.” 22
Subekti memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji
untuk
melaksanakan
sesuatu
hal.
23
Sedangkan
KRMT
Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan
hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk
21
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, “Perikatan yang Lahir dari Perjanjian”. Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 2003. Halaman 91(Selanjutnya disingkat Kartini Muljadi & Gunawan
Widjaja -I)
22
Subekti-I, Op. Cit., Halaman 338
23
Ibid.
menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undangundang. 24
Jika kita perhatikan dengan saksama, rumusan yang diberikan
dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut ternyata
menegaskan
kembali
bahwa
perjanjian
mengakibatkan
seseorang
mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian
lahirlah kewajiban atau prestasi satu atau lebih orang (pihak) kepada satu
atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.
Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu
perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana salah satu pihak adalah
pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah adalah
pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak
tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan
berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu
atau lebih badan hukum. 25
Sedangkan menurut R. Setiawan rumusan yang terdapat dalam
Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Perumusan
tersebut dikatakan tidak lengkap karena hanya menyangkut persetujuan
“perbuatan” maka didalamnya tercakup pula perwakilan sukarela
(zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).
24
A. Qirom Syamsudin Meliala, “Pokok-pokok Hukum Perikatan Beserta
Perkembangannya”. Liberty, Yogyakarta. 1985. Halaman 8
25
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-I, Op., Cit., Halaman 92
Sehubungan dengan hal itu, maka beliau mengusulkan untuk diadakan
perbaikan mengenai definisi perjanjian tersebut yaitu menjadi: 26
1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu
perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat
hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum.
2) Menambahkan perkataan “atau lebih saling mengikatkan dirinya”
dalam Pasal 1313 KUH Perdata.
Atas dasar alasan-alasan tersebut yang dikemukakan di atas, maka
perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu.
Sehingga dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu adalah
“Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa
dalam suatu perjanjian itu terkandung adanya beberapa unsur, yaitu: 27
1) Essentialia
Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian sah (merupakan
syarat sahnya perjanjian).
2) Naturalia
Yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam
perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada
dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau
melekat pada perjanjian.
26
R. Setiawan,” Pokok-Pokok Hukum Perikatan”. Putra A. Bardin, Bandung, 1999.
Halaman 49
27
Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum (Suatu Pengantar)”. Liberty, Yogyakarta,
1988. Halaman 98
3) Accidentalia
Yakni unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam
perjanjian.
B. Syarat-syarat Sah Perjanjian
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam
ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi:
“untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.” 28
Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum
yang berkembang, digolongkan ke dalam:
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang
mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan
obyek perjanjian (unsur obyektif).
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas
dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang
melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan
dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa
28
Subekti-I, Op. Cit., Halaman 33
dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan
tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut
hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut
menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam
dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat
pelanggaran dalam unsur subyektif) maupun batal demi hukum (dalam hal
tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan
yang
lahir
dari
perjanjian
tersebut
tidak
dapat
dipaksakan
pelaksanaannya. 29
1. Syarat Subyektif
a. Kesepakatan Bebas
Pasal 1320 BW syarat 1 mensyaratkan adanya kesepakatan
sebagai salah satu keabsahan kontrak. Keabsahan mengandung
pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak
masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan
pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan
pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus
dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau
hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para
pihak. 30
29
30
Op. Cit., Halaman 93
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 162
Jika kita baca dan perhatikan dengan seksama ketentuan
yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, maka kita tidak akan menemui
pengertian, definisi, atau makna dari kesepakatan bebas.
Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan
bahwa pada dasarnya keepakatan bebas dianggap telah terjadi
pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat
dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya
kekhilafan,
paksaan,
maupun
penipuan,
sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang lengkapnya berbunyi:
“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika
diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan
atau penipuan.”
Kesepakatan merupakan pernyataan kehendak para pihak
dibentuk dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan.
Penawaran (aanbod; offerte; offer) diartikan sebagai pernyataan
kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian.
Unsur ini mencakup esensialia perjanjian yang akan ditutup.
Sedangkan penerimaan (aanvarding; acceptatie; acceptance)
merupakan pernyataan setuju pihak lain yang ditawari.
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari
kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa
yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara
melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang
harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai
pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu
atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan
terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang
dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam
persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum
untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan
tersebut dikenal dengan nama “penawaran”. Jadi penawaran itu
berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam
perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya tersebut.
Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya
harus menentukan apakah ia harus menerima penawaran yang
disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut.
Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran
menerima
penawaran
yang
diberikan
maka
tercapailah
kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak
yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang
disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran
balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat
dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat
dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian
maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini
akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak
mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi
dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.
Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran
atau bahkan tawar-menawar yang disampaikan dan dimajukan
oleh para pihak adalah saat tercapainya kesepakatan. 31
b. Kecakapan untuk Bertindak
Kecakapan (bekwaamheid − capacity) yang dimaksud
dalam Pasal 1320 BW syarat 2 adalah kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk
melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri
sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari
standar berikut ini:
a. Person (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan
(meerderjaring); dan
31
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 94
b. Rechtspersoon (badan hukum), diukur dari aspek
kewenangan (bevoegheid). 32
Adanya
kecakapan
untuk
bertindak
dalam
hukum
merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang
sah di antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak
hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam
hukum, meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda,
namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang
melahirkan
suatu
perjanjian
yang
sah,
maka
masalah
kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Dapat
saja seseorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi
ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan
hukum. Dan sebaliknya orang yang dianggap berwenang untuk
bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata,
karena suatu hal, menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam
hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah
masalah
kecakapan
untuk
bertindak.
Setelah
seseorang
dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya
sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan
yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang
32
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 183
untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum
tertentu. 33
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person
pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup
umur (bekwaamheid − meerderjarig). Pada satu sisi sebagian
masyarakat masih menggunakan standar usia 21 tahun sebagai
titik tolak kedewasaan seseorang dengan landasan Pasal 1330
BW jo. 330 BW. Sementara pada sisi lain mengacu pada
standar usia 18 tahun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47
jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. 34
Hal-hal
kewenangan
yang
berhubungan
bertindak
dalam
dengan
rangka
kecakapan
perbuatan
dan
untuk
kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam
Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa:
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatanperikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak
cakap.”
Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain
dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan
33
34
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 126
Op. Cit., Halaman 184
berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata memberikan limitasi orangorang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak
dalam hukum, dengan menyatakan bahwa:
Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah:
1. anak yang belum dewasa;
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang
telah ditentukan undang-undang dan pada umumnya
semua orang yang oleh undang-undang dilarang
untuk membuat perjanjian tertentu.
Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara lakilaki dan perempuan, maupun yang sudah menikah maupun
yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti
lagi. 35
Ketentuan pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata memberikan arti yang luas mengenai kecakapan
bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:
1. seseorang baru dikatakan dewasa jika ia:
a. telah berumur 21 tahun; atau
b. telah menikah;
hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa
seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian
35
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 126
perkawinannya
dibubarkan
sebelum
ia
genap
berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.
2. anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya
dalam hukum diwakili oleh:
a. orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih
berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu
ayah dan ibu secara bersama-sama);
b. walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi
berada di bawah kekuasaan orang tuanya
(artinya hanya ada salah satu dari orang
tuanya saja).
Dengan berlakunya Undang-Undang perkawinan No. 1
Tahun 1974, yang dalam rumusan Pasal 50-nya menyatakan
bahwa:
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada
di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan
maupun harta bendanya.
Kedewasaan seseorang dimulai pada umur 18 tahun, yang
menggantikan berlakunya ketentuan serupa dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan usia 21
tahun untuk menetukan saat kedewasaan seseorang. Dengan
demikian
maka,
setelah
berlakunya
Undang-Undang
Perkawinan No, 1 Tahun 1974, kecakapan bertindak orang
pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum
ditentukan sebagai berikut:
1. Jika seseorang:
a. Telah berumur 18 tahun; atau
b. Telah menikah
c. Seseorang yang telah menikah tetapi kemudian
perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia
21 tahun tetap dianggap telah dewasa.
2. Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun dan
belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum
diwakili oleh:
a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di
bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara
bersama-sama);
b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di
bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada
salah satu dari orang tuanya saja). 36
Telaah kritis terkait standar usia dewasa dapat dilakukan
melalui pengujian asas-asas hukum maupun interpretasi
komrehensif terhadap muatan materi beberapa ketentuan
terkait. Asas hukum lex specialis, lex posteriori digunakan
untuk menyelesaikan konflik norma, sedang interpretasi
komprehensif untuk memahami muatan materi serta maksud
pembuat
undang-undang.
Melalui
pengujian
tersebut
diharapkan muncul satu pemahaman utuh dan konsisten,
khususnya bagi pihak-pihak yang sementara ini masih
menganut paradigma lama. 37
Selanjutnya mengenai perwalian, dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata ditentukan bahwa perwalian dapat
dilaksanakan oleh:
36
37
Ibid., Halaman 129
Agus Yudha Hernoko, Loc. Cit.
1. Suami atau isteri yang hidup paling lama, yang diatur
dalam Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan
surat wasiat atau akta tersendiri, yang diatur dalam pasal
355 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3. Perwalian yang diangkat oleh hakim, yang diatur dalam
Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 38
Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam
rumusan pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan
dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah
pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap
mempergunakan pikirannya.
Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan
karena keborosannya.”
Selanjutnya ketentuan Pasal 436 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyatakan bahwa:
“Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan
kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah
hukumnya orang yang dimintakan pengampuan berdiam.”
Dengan diletakkannya seseorang di bawah pengampuan, maka
orang tersebut mempunyai kedudukan yang sama seperti
seorang yang belum dewasa. Orang tersebut menjadi tidak
cakap untuk bertindak, untuk melakukan perbuatan hukum.
Semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh yang berada di
38
Op. Cit., Halaman 132
bawah pengampuan membawa akibat kebatalan terhadap
perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut. Khusus
seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena
keborosannya, maka pengampuan hanya meliputi tindakan
atau perbuatan hukumnya dalam lapangan hukum harta
kekayaan, serta tidak meliputi tindakan atau perbuatan hukum
dalam lapangan hukum pribadi.
Dengan diletakkannya orang-orang tersebut dalam Pasal
433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di bawah
pengampuan, maka segala tindakan orang-orang yang berada
di bawah pengampuan tersebut harus dilaksanakan oleh
pengampunya, yang demi hukum bertindak untuk dan atas
nama orang yang diampu oleh pengampu tersebut. 39
2. Syarat Obyektif
a. Hal Tertentu dalam Perjanjian
1) Objek Perjanjian
Jika undang-undang berbicara tentang “objek
perjanjian” (het onderwerp der overeenkomst), kadang
yang dimaksudkan ialah “pokok perikatan” (het voorwerp
der verbintenis) atau prestasi dan kadang juga diartikan
sebagai “pokok prestasi” (het voorwerp der prestatie).
39
Ibid., Halaman 135
Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata yang dimaksud dengan “suatu hal
tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari
debitor dan apa yang menjadi hak dari kreditor. Sejalan
dengan pendapat itu ialah pendapat dari Asser Rutten. Ia
menyatakan bahwa “suatu hal tertentu” sebagai objek
perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian. Pendapat tersebut
memiliki dasar historis dan juga sejalan dengan ketentuan
Pasal 1332−1334 KUHPerdata.
Menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian,
maka objek perjanjian haruslah:
a) Dapat ditentukan;
b) Dapat diperdagangkan;
c) Mungkin dilakukan; dan
d) Dapat dinilai dengan uang.
Tuntutan
dari
undang-undang
adalah
objek
perjanjian haruslah tertulis. Setidaknya objek perjanjian
cukup dapat ditentukan. Tujuan dari suatu perjanjian adalah
untuk timbulnya/terbentuknya, berubah, atau berakhirnya
suatu perikatan. Perjanjian tersebut mewajibkan kepada
(para) pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu,
atau tidak berbuat sesuatu (prestasi). Pada akhirnya,
kewajiban tersebut haruslah dapat ditentukan. 40
Ketentuan Pasal1332 KUHPerdata menyebutkan
bahwa:
“Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja dapat
menjadi pokok persetujuan.”
Namun demikian, ini tidak berarti barang untuk
kepentingan umum tidak dapat menjadi pokok perjanjian.
Perjanjian antara kotamadya dan pemborong untuk
pekerjaan pemasangan pipa air leding atau pembuat
gorong-gorong tidaklah dapat digolongkan ke dalam
perjanjian yang dimaksudkan Pasal 1332 KUHPerdata.
Pada umumnya, sepanjang pokok perjanjian berkaitan
dengan kepentingan umum, maka perjanjian tersebut
prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, sedangkan
untuk prestasi memberikan sesuatu, sehubungan dengan
dialihkannya barang untuk kepentingan umum tersebut,
maka itu harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan. 41
40
Herlien Budiono, “Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan”. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Halaman 107
41
Ibid., Halaman 109
2) Barang yang Baru Akan Ada
Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari
dapat pula menjadi pokok perjanjian. Kemungkinan ini
dibuka di dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata.
Pengertian “barang-barang yang baru akan ada” mengacu
pada pengertian bahwa barang tersebut belum ada. Ini
terjadi dalam hal orang memesan pada perusahaan mebel
untuk dibuatkan sebuah lemari dan dikenal dengan sebutan
barang yang baru ada bersifat obyektif. Sebaliknya barang
yang akan ada bersifat subyektif adalah barang yang belum
menjadi miliknya.
Dalam kaitannya dengan “barang-barang yang baru
akan ada”, ketentuan Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata
mengatur mengenai larangan memperjanjikan warisan yang
belum jatuh terbuka, yaitu:
a) Melepaskan/menolak suatu warisan yang belum
jatuh terbuka. Ketentuan yang senada terdapat pula
pada pasal 1063 KUHPerdata, perjanjian antara
calon ahli waris dan calon pewaris agar pada waktu
pewaris meninggal dunia ahli waris yang
bersangkutan akan menolak warisan pewaris di
pengadilan negeri.
b) Minta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan
sekalipun dengan persetujuan dari orang yang
nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi
pokok perjanjian; perjanjian yang mengatur bagian
warisan yang akan diwarisi oleh salah satu pihak.
c) Semuanya itu dengan tidak mengurangi ketentuanketentuan Pasal 169, 176, dan 178 KUHPerdata.
Akibat dibuatnya perjanjian-perjanjian tersebut adalah batal
demi hukum. 42
b. Sebab yang Halal
Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu
sebab yang halal atau kausa yang halal. Ketentuan Pasal 1335
KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena
sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan (hukum). Dengan kata lain, batal demi hukum.” 43
Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah
bahwa apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian
atau kontrak tersebut harus disertai itikad baik dan tidak
bertentangna dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan kesusilaan.
Selanjutnya dalam 1337 KUHPerdata ditegaskan bahwa,
“suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undangundang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.”
Berdasarkan kedua pasal di atas, suatu kontrak tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila
kontrak tersebut:
1) Tidak mempunyai kausa
42
43
Ibid., Halaman 110
Ibid., Halaman 112
2) Kausanya palsu
3) Kausanya bertentangan dengan undang-undang
4) Kausanya bertentangan dengan kesusilaan
5) Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum. 44
C. Asas-asas Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian
1. Asas-asas Perjanjian
Beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu:
a. Asas konsensualitas
Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata
konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat.
Hal ini berarti bahwa pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak
saat tercapainya konsensus atau kesepakatan atau kehendak yang
bebas antara para pihak yang melakukan perjanjian.
Asas konsensualitas ini tercermin dalam unsur pertama.
Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan “sepakat mereka yang
mengikatkan diri”, artinya dari asas ini menurut Subekti adalah
“pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu
sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan”, sedangkan
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas
44
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 196
konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa
untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata
sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut, dan
bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainya
consensus. 45
Eggens dalam Ibrahim menyatakan asas konsensualitas
merupakan suatu puncak peningkatan manusia yang tersirat dalam
pepatah; een man een man een word een word. Selanjutnya
dikatakan olehnya bahwa ungkapan “orang harus dapat dipegang
ucapannya” merupakan tuntutan kesusilaan, akan tetapi Pasal 1320
KUHPerdata menjadi landasan hukum untuk penegakkannya.
Tidak dipenuhinya syarat konsensualisme dalam perjanjian
menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak memenuhi
syarat subyektif. 46
b. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Asas mengikatnya perjanjian adalah suatu asas yang
menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat
mereka yang membuat sebagai undang-undang. Dengan demikian
para pihak terikat dan harus melaksanakan perjanjian yang telah
disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk menaati undang45
R. Subekti, “Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional”. Alumni, Bandung, 1986.
Halaman 5 (Selanjutnya disingkat Subekti-IV)
46
Johanes Ibrahim, “Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan
Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank”. Utomo, Bandung, 2003. Halaman 3
undang. 47 Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan
dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan "Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya." Dijelaskan oleh Sudikno
Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah
Pacta nuda servanda sunt, yang mempunyai arti bahwa kata
sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan
atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat. 48
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (contacts vrijheid atau partijautonomie) adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang
bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk
menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas ini disimpulkan
juga dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan:
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya." Subekti mengatakan,
bahwa dengan menekankan pada kata "semua", maka ketentuan
tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa,
setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan
47
J. Satrio, “Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I”. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1995. Halaman 142 (selanjutnya disingkat Satrio-I)
48
Sudikno, Op. Cit., Halaman 97
berisi apa saja baik yang sudah diatur ataupun yang belum diatur
dalam undang-undang. 49
d. Asas Itikad Baik dan Kepatutan
Asas ini menegaskan bahwa para pihak dalam membuat
perjanjian harus didasarkan pada itikad baik dan kepatutan, yang
mengandung pengertian pembuatan perjanjian antara para pihak
harus didasarkan pada kejujuran untuk mencapai tujuan bersama.
Pelaksanaan perjanjian juga harus mengacu pada apa yang patut
dan seharusnya diikuti dalam pergaulan masyarakat. Asas itikad
baik dan kepatutan berasal dari hukum Romawi, yang kemudian
dianut oleh Civil Law, bahkan dalam perkembangannya juga dianut
oleh beberapa negara berfaham Common Law.
Pengertian itikad baik dan kepatutan berkembang sejalan
dengan perkembangan hukum untuk Romawi, yang semula hanya
memberikan ruang bagi kontrak-kontrak yang telah diatur dalam
undang-undang (iudicia stricti iuris yang bersumber pada Civil
Law). Di terimanya kontrak-kontrak yang didasarkan pada bonae
fides yang mengharuskan diterapkannya asas itikad baik dan
kepatutan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian. 50
Masalah yang muncul, hingga saat ini belum satu kata
untuk memberikan dasar yang tepat sebagai patokan apakah
49
Subekti-III, Op. Cit., Halaman 14
Ridwan Khairandi, “Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak”. Universitas Indonesia,
2003. Halaman 131.
50
perjanjian telah dilaksanakan atas dasar itikad baik dan kepatutan
atau belum. Prakteknya diserahkan kepada hakim untuk menilai
hal tersebut. Hal ini juga terjadi di negara-negara Anglo Saxon,
hakim-hakim di negara-negara Anglo Saxon belum mempunyai
standar yang telah disepakati untuk mengukur asas tersebut.
Biasanya frase itikad baik dan kepatutan selalu dikaitkan dengan
makna fairness, reasonable standard of dealing, a common ethical
sense. 51
2. Jenis-jenis Perjanjian
Menurut Satrio jenis-jenis perjanjian dibagi dalam lima jenis,
yaitu: 52
a. Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian
timbal
balik
(Bilateral
Contract)
adalah
perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua
belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling umum terjadi dalam
kehidupan masyarakat.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan
kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak
yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek
perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang
diberikan itu.
51
Ibid., Halaman 130
J. Satrio, “Hukum Perjanjian”. Aditya Bhakti, Bandung, 1992. Halaman 31
(selanjutnya disingkat Satrio-II)
52
b. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Atas Hak yang
Membebani
Perjanjian
percuma
adalah
perjanjian
yang
hanya
memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan
alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap
prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari
pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum.
c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai
nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan
jumlahnya terbatas. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah
perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya
tidak terbatas.
d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian
kebendaan
adalah
perjanjian
untuk
memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian
kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan
perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan
kewajiban
pihak-pihak.
Pembeli
berhak
untuk
menuntut
penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga,
pembeli berkewajiban untuk menyerahkan barang.
Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah
dalam perjanjian itu ada penyerahan (leverring) sebagai realisasi
perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
e. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena
ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak.
Perjanjian
real
adalah
perjanjian
di
samping
ada
persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata
dari barangnya.
D. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti
prestasi buruk. Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang
diperjanjikan, melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana
mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pakar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi
dengan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat
adanya wanprestasi bisa menuntut
pemenuhan perjanjian, pembatalan
perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur.
Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah
dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga.
Pengertian bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah
diperkirakan atau dibayangkan oleh kreditur seandainya tidak terjadi
wanprestasi.
Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta
timbul pada saat dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai
terlebih dahulu yang disampaikan oleh kreditur ke debitur (Pasal 1238 jo.
Pasal 1243 KUHPerdata).
Untuk menghindari celah yang mungkin bisa dimanfaatkan debitur,
ada baiknya kreditur membuat secara tertulis pernyataan lalai tersebut atau
bila perlu melalui suatu peringatan resmi yang dibuat oleh juru sita
pengadilan. 53
Wanprestasi
adalah
suatu
istilah
ketiadalaksanaan prestasi oleh debitur.
54
yang
menunjuk
pada
Dalam suatu perjanjian
diharapkan prestasi yang telah disepakati akan terpenuhi. Namun demikian
ada kalanya prestasi tersebut tidak terpenuhi. Adapun tidak terpenuhinya
prestasi ada dua kemungkinan, yaitu:
1. Karena kesalahan pihak debitur, baik karena kesengajaan maupun
kelalaian (wanprestasi).
53
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-danwanprestasi-sebagai-dasar-gugatan (akses pada 30 April 2015)
54
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, “Perikatan Pada Umumnya”. Rajawali Persada,
Jakarta, 2003. Halaman 69 (selanjutnya disingkat Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-II)
2. Karena keadaan memaksa, di luar kemampuan debitur. Jadi debitur
tidak bersalah (overmacht ).
Ada tiga kemungkinan bentuk-bentuk tindakan wanprestasi
sebagaimana dikatakan oleh J. Satrio, yaitu jika:
1) Debitur sama sekali tidak berprestasi;
2) Debitur keliru berprestasi;
3) Debitur terlambat berprestasi. 55
Adapun yang dijadikan ukuran untuk menentukan debitur bersalah
(wanprestasi) atau tidak adalah dalam keadaan bagaimanakah seorang
debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak berprestasi. Di dalam hal ini
menurut Subekti terdapat empat macam dikatakan keadaan wanprestasi
dari seorang debitur, yaitu: 56
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya (tidak
memenuhi kewajibannya)
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
yang dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat (terlambat
memenuhi kewajibannya)
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
melakukannya (memenuhi tetapi tidak seperti yang diperjanjikan).
Wanprestasi ini ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa
tidak terlaksananya prestasi sebagaimana yang diperjanjikan adalah diluar
kesalahannya, jadi wanprestasi itu terjadi karena debitur mempunyai
kesalahan. 57
55
J. Satrio-I, Op. cit., Halaman 122
R. Subekti, “Aneka Perjanjian”. Alumni, Bandung, 1981. Halaman 57 (selanjutnya
disingkat Subekti-V)
57
A. Qirom Syamsudin Meliala, Op. Cit., Halaman 26
56
Apabila terjadi wanprestasi, maka kreditur mempunyai beberapa
pilihan atas berbagai macam kemungkinan tuntutan. Kemungkinan pilihan
tersebut adalah berupa tuntutan: 58
1) Pemenuhan perjanjian;
2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
3) Ganti rugi saja;
4) Pembatalan perjanjian;
5) Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.
Tuntutan-tuntutan
tersebut
tidak
lain
dimaksudkan
untuk
memberikan perlindungan bagi kreditur, agar dapat mempertahankan
kepentingannya terhadap debitur yang tidak jujur. Namun demikian,
hukum juga memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi debitur
yang tidak memenuhi kewajibannya, jika hal itu terjadi bukan karena
kesalahan atau akibat kelalaiannya.
E. Pembelaan Debitur Wanprestasi
Menurut Subekti seorang debitur yang dituduh lalai, dapat
mengajukan beberapa alasan untuk membebaskan diri, pembelaan tersebut
yaitu: 59
1. Mengadakan pembelaan adanya keadaan memaksa (overmacht atau
force majeur).
58
59
Subekti-III, Op. Cit., Halaman 53
Ibid., Halaman 45
Dengan
mengajukan
pembelaan
ini,
debitur
berusaha
menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu
disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di
mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa
yang timbul di luar dugaan tadi.
2. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (exceptionon
adimpleti contractus).
Mengenai pembelaan semacam ini, tidak disebutkan dalam
suatu undang-undang. Akan tetapi prinsip mengenai pembelaan
semacam ini dijelaskan pada pasal 1478 KUHPerdata yang isinya
adalah: “Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si
pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak
mengizinkan penundaan pembayaran tersebut.”
3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut
ganti rugi (rechtsverwerking).
Alasan lain yang dapat membebaskan debitur yang dituduh
melakukan kelalaian dalam melaksanakan prestasi dan memberikan
alasan untuk menolak pembatalan perjanjian adalah pelepasan hak
atau rechtsverwerking. Maksud dari hal tersebut adalah suatu sikap
dari pihak kreditur yang dapat disimpulkan oleh pihak debitur bahwa
pihak kreditur tidak akan menuntut ganti rugi dari pihak debitur.
F. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige daad)
Perihal perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan
seseorang yang melawan hukum, diatur dalam Pasal 1365 BW. Pasal ini
menetapkan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige
daad) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena
kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu.
Apakah artinya perkataan onrechtmatige daad ini? Jawabnya atas
pertanyaan ini amat penting bagi lalu lintas hukum. Mula-mula para ahli
hukum begitu pula hakim menganggap demikian, hayalah perbuatanperbuatan yang melanggar undang-undang atau sesuatu hak (subjectief
recht) orang lain saja. Lama kelamaan pendapat yang demikian itu
dirasakan sangat tidak memuaskan. Dan pada suatu hari Hoge Raad telah
meninggalkan penafsiran yang sempit itu dengan memberikan pengertian
baru tentang “onrechtmatige daad” dalam putusannya yang sangat
terkenal, yaitu putusan tanggal 31 Januari 1919. Dalam putusan itu
dinyatakan, “onrechtmatig”, tidak saja perbuatan yang melanggar hukum
atau hak orang lain, tetapi juga tiap perbuatan yang berlawanan dengan
“kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap
pribadi atau benda orang lain”.
Putusan Hoge Raad ini begitu pentingnya hingga sering
dipersamakan dengan suatu revolusi dalam dunia kehakiman. Banyak
sekali perbuatan yang dulu tidak dapat digugat di depan hakim, sekarang
diartikan sebagai “onrechtmatig”: jika dapat dibuktikan bahwa dari
kesalahan si pembuat itu telah timbul kerugian pada orang lain, maka si
pembuat itu akan dihukum untuk mengganti kerugian itu.
Selanjutnya
menurut
Pasal
1367
BW
seseorang
juga
dipertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan orang lain yang berada di
bawah pengawasannya atau yang bekerja padanya.
Lazimnya pasal ini diartikan terbatas (limitatief), yaitu seseorang
dapat dipertanggungjawabkan perbuatan orang lain, hanya dalam
hubungan dan hal-hal berikut:
1. Orang tua atau wali untuk anak yang belum dewasa, yang tinggal
pada mereka dan mereka melakukan kekuasaan orang tua atau
perwalian itu padanya.
2. Majikan untuk buruhnya, dalam melakukan pekerjaan yang
ditugaskan pada mereka
3. Guru sekolah dan kepala tukang untuk murid dan tukangnya
selama mereka ini di bawah pengawasan mereka. 60
60
Subekti-II, Op. Cit., Halaman 133
Download