BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam praktik istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara rancu. Banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan pengertian yang berbeda. Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III titel Kedua tentang “Perikatan-perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa aslinya (bahasa Belanda), yaitu: “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. Pengertian ini juga didukung pendapat banyak sarjana, antara lain: Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J. Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrik, dan Tirtodiningrat. Yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama. 17 Subekti mempunyai pendapat yang berbeda mengenai istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak”. Menurut Subekti istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditunjukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. 18 Sedangkan sarjana lain, Pothier 17 Agus Yudha Hernoko, “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial”. Kencana, Jakarta. 2010. Halaman 13 18 Subekti,“Hukum Perjanjian”. Intermasa, Jakarta. 1996. Halaman 1(selanjutnya disingkat Subekti-III) tidak memberikan pembedaan antara kontrak dengan perjanjian, namun membedakan pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian dimana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen), atau mengubah (wijzegen) perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya perikatan. 19 Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, Agus Yudha Hernoko sependapat dengan beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian. Halini disebabkan fokus kajian beliau berdasarkan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW), di mana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak (contract). Selain itu, dalam praktik kedua istilah tersebut juga digunakan dalam kontrak komersial, misal: perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna usaha, kontrak kerjasama, perjanjian kerja sama, kontrak kerja konstruksi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kedua istilah tersebut akan digunakan bersama-sama, hal ini bukan berarti menunjukkan adanya inkonsistensi penggunaan istilah, namun semata-mata memudahkan pemahaman terhadap rangkaian kalimat yang disusun. 20 Sebagaimana telah dijelaskan di muka, perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban 19 20 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 14 Ibid., Halaman 15 yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditor beerhak menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya, atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga, kerugian, dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor. 21 Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata merumuskan tentang “kontrak atau perjanjian” adalah sebagai berikut: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” 22 Subekti memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 23 Sedangkan KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk 21 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, “Perikatan yang Lahir dari Perjanjian”. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2003. Halaman 91(Selanjutnya disingkat Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja -I) 22 Subekti-I, Op. Cit., Halaman 338 23 Ibid. menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undangundang. 24 Jika kita perhatikan dengan saksama, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana salah satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. 25 Sedangkan menurut R. Setiawan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Perumusan tersebut dikatakan tidak lengkap karena hanya menyangkut persetujuan “perbuatan” maka didalamnya tercakup pula perwakilan sukarela (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). 24 A. Qirom Syamsudin Meliala, “Pokok-pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya”. Liberty, Yogyakarta. 1985. Halaman 8 25 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-I, Op., Cit., Halaman 92 Sehubungan dengan hal itu, maka beliau mengusulkan untuk diadakan perbaikan mengenai definisi perjanjian tersebut yaitu menjadi: 26 1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum. 2) Menambahkan perkataan “atau lebih saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Atas dasar alasan-alasan tersebut yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Sehingga dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian itu adalah “Suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian itu terkandung adanya beberapa unsur, yaitu: 27 1) Essentialia Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian sah (merupakan syarat sahnya perjanjian). 2) Naturalia Yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian. 26 R. Setiawan,” Pokok-Pokok Hukum Perikatan”. Putra A. Bardin, Bandung, 1999. Halaman 49 27 Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum (Suatu Pengantar)”. Liberty, Yogyakarta, 1988. Halaman 98 3) Accidentalia Yakni unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian. B. Syarat-syarat Sah Perjanjian Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.” 28 Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: 1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan 2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa 28 Subekti-I, Op. Cit., Halaman 33 dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran dalam unsur subyektif) maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. 29 1. Syarat Subyektif a. Kesepakatan Bebas Pasal 1320 BW syarat 1 mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah satu keabsahan kontrak. Keabsahan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak. 30 29 30 Op. Cit., Halaman 93 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 162 Jika kita baca dan perhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, maka kita tidak akan menemui pengertian, definisi, atau makna dari kesepakatan bebas. Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya keepakatan bebas dianggap telah terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lengkapnya berbunyi: “Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.” Kesepakatan merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran (aanbod; offerte; offer) diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Unsur ini mencakup esensialia perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan (aanvarding; acceptatie; acceptance) merupakan pernyataan setuju pihak lain yang ditawari. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama “penawaran”. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia harus menerima penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar-menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak adalah saat tercapainya kesepakatan. 31 b. Kecakapan untuk Bertindak Kecakapan (bekwaamheid − capacity) yang dimaksud dalam Pasal 1320 BW syarat 2 adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar berikut ini: a. Person (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjaring); dan 31 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 94 b. Rechtspersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan (bevoegheid). 32 Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum, meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Dapat saja seseorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dan sebaliknya orang yang dianggap berwenang untuk bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata, karena suatu hal, menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang 32 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 183 untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu. 33 Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup umur (bekwaamheid − meerderjarig). Pada satu sisi sebagian masyarakat masih menggunakan standar usia 21 tahun sebagai titik tolak kedewasaan seseorang dengan landasan Pasal 1330 BW jo. 330 BW. Sementara pada sisi lain mengacu pada standar usia 18 tahun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 34 Hal-hal kewenangan yang berhubungan bertindak dalam dengan rangka kecakapan perbuatan dan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatanperikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.” Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan 33 34 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 126 Op. Cit., Halaman 184 berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan limitasi orangorang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan bahwa: Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah: 1. anak yang belum dewasa; 2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang telah ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu. Dalam hal ini, sejalan dengan persamaan hak antara lakilaki dan perempuan, maupun yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka ketentuan angka 3 dari Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi tidak berarti lagi. 35 Ketentuan pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa: 1. seseorang baru dikatakan dewasa jika ia: a. telah berumur 21 tahun; atau b. telah menikah; hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian 35 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-I, Op. Cit., Halaman 126 perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 2. anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh: a. orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama); b. walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja). Dengan berlakunya Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang dalam rumusan Pasal 50-nya menyatakan bahwa: (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Kedewasaan seseorang dimulai pada umur 18 tahun, yang menggantikan berlakunya ketentuan serupa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan usia 21 tahun untuk menetukan saat kedewasaan seseorang. Dengan demikian maka, setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan No, 1 Tahun 1974, kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut: 1. Jika seseorang: a. Telah berumur 18 tahun; atau b. Telah menikah c. Seseorang yang telah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 2. Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh: a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama); b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja). 36 Telaah kritis terkait standar usia dewasa dapat dilakukan melalui pengujian asas-asas hukum maupun interpretasi komrehensif terhadap muatan materi beberapa ketentuan terkait. Asas hukum lex specialis, lex posteriori digunakan untuk menyelesaikan konflik norma, sedang interpretasi komprehensif untuk memahami muatan materi serta maksud pembuat undang-undang. Melalui pengujian tersebut diharapkan muncul satu pemahaman utuh dan konsisten, khususnya bagi pihak-pihak yang sementara ini masih menganut paradigma lama. 37 Selanjutnya mengenai perwalian, dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata ditentukan bahwa perwalian dapat dilaksanakan oleh: 36 37 Ibid., Halaman 129 Agus Yudha Hernoko, Loc. Cit. 1. Suami atau isteri yang hidup paling lama, yang diatur dalam Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri, yang diatur dalam pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Perwalian yang diangkat oleh hakim, yang diatur dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 38 Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.” Selanjutnya ketentuan Pasal 436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: “Segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintakan pengampuan berdiam.” Dengan diletakkannya seseorang di bawah pengampuan, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang sama seperti seorang yang belum dewasa. Orang tersebut menjadi tidak cakap untuk bertindak, untuk melakukan perbuatan hukum. Semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh yang berada di 38 Op. Cit., Halaman 132 bawah pengampuan membawa akibat kebatalan terhadap perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut. Khusus seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya, maka pengampuan hanya meliputi tindakan atau perbuatan hukumnya dalam lapangan hukum harta kekayaan, serta tidak meliputi tindakan atau perbuatan hukum dalam lapangan hukum pribadi. Dengan diletakkannya orang-orang tersebut dalam Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di bawah pengampuan, maka segala tindakan orang-orang yang berada di bawah pengampuan tersebut harus dilaksanakan oleh pengampunya, yang demi hukum bertindak untuk dan atas nama orang yang diampu oleh pengampu tersebut. 39 2. Syarat Obyektif a. Hal Tertentu dalam Perjanjian 1) Objek Perjanjian Jika undang-undang berbicara tentang “objek perjanjian” (het onderwerp der overeenkomst), kadang yang dimaksudkan ialah “pokok perikatan” (het voorwerp der verbintenis) atau prestasi dan kadang juga diartikan sebagai “pokok prestasi” (het voorwerp der prestatie). 39 Ibid., Halaman 135 Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitor dan apa yang menjadi hak dari kreditor. Sejalan dengan pendapat itu ialah pendapat dari Asser Rutten. Ia menyatakan bahwa “suatu hal tertentu” sebagai objek perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian. Pendapat tersebut memiliki dasar historis dan juga sejalan dengan ketentuan Pasal 1332−1334 KUHPerdata. Menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian, maka objek perjanjian haruslah: a) Dapat ditentukan; b) Dapat diperdagangkan; c) Mungkin dilakukan; dan d) Dapat dinilai dengan uang. Tuntutan dari undang-undang adalah objek perjanjian haruslah tertulis. Setidaknya objek perjanjian cukup dapat ditentukan. Tujuan dari suatu perjanjian adalah untuk timbulnya/terbentuknya, berubah, atau berakhirnya suatu perikatan. Perjanjian tersebut mewajibkan kepada (para) pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (prestasi). Pada akhirnya, kewajiban tersebut haruslah dapat ditentukan. 40 Ketentuan Pasal1332 KUHPerdata menyebutkan bahwa: “Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan.” Namun demikian, ini tidak berarti barang untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi pokok perjanjian. Perjanjian antara kotamadya dan pemborong untuk pekerjaan pemasangan pipa air leding atau pembuat gorong-gorong tidaklah dapat digolongkan ke dalam perjanjian yang dimaksudkan Pasal 1332 KUHPerdata. Pada umumnya, sepanjang pokok perjanjian berkaitan dengan kepentingan umum, maka perjanjian tersebut prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, sedangkan untuk prestasi memberikan sesuatu, sehubungan dengan dialihkannya barang untuk kepentingan umum tersebut, maka itu harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. 41 40 Herlien Budiono, “Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan”. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Halaman 107 41 Ibid., Halaman 109 2) Barang yang Baru Akan Ada Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat pula menjadi pokok perjanjian. Kemungkinan ini dibuka di dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata. Pengertian “barang-barang yang baru akan ada” mengacu pada pengertian bahwa barang tersebut belum ada. Ini terjadi dalam hal orang memesan pada perusahaan mebel untuk dibuatkan sebuah lemari dan dikenal dengan sebutan barang yang baru ada bersifat obyektif. Sebaliknya barang yang akan ada bersifat subyektif adalah barang yang belum menjadi miliknya. Dalam kaitannya dengan “barang-barang yang baru akan ada”, ketentuan Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata mengatur mengenai larangan memperjanjikan warisan yang belum jatuh terbuka, yaitu: a) Melepaskan/menolak suatu warisan yang belum jatuh terbuka. Ketentuan yang senada terdapat pula pada pasal 1063 KUHPerdata, perjanjian antara calon ahli waris dan calon pewaris agar pada waktu pewaris meninggal dunia ahli waris yang bersangkutan akan menolak warisan pewaris di pengadilan negeri. b) Minta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan sekalipun dengan persetujuan dari orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian; perjanjian yang mengatur bagian warisan yang akan diwarisi oleh salah satu pihak. c) Semuanya itu dengan tidak mengurangi ketentuanketentuan Pasal 169, 176, dan 178 KUHPerdata. Akibat dibuatnya perjanjian-perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. 42 b. Sebab yang Halal Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau kausa yang halal. Ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan (hukum). Dengan kata lain, batal demi hukum.” 43 Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut harus disertai itikad baik dan tidak bertentangna dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Selanjutnya dalam 1337 KUHPerdata ditegaskan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undangundang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Berdasarkan kedua pasal di atas, suatu kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila kontrak tersebut: 1) Tidak mempunyai kausa 42 43 Ibid., Halaman 110 Ibid., Halaman 112 2) Kausanya palsu 3) Kausanya bertentangan dengan undang-undang 4) Kausanya bertentangan dengan kesusilaan 5) Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum. 44 C. Asas-asas Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian 1. Asas-asas Perjanjian Beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu: a. Asas konsensualitas Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Hal ini berarti bahwa pada asasnya suatu perjanjian timbul sejak saat tercapainya konsensus atau kesepakatan atau kehendak yang bebas antara para pihak yang melakukan perjanjian. Asas konsensualitas ini tercermin dalam unsur pertama. Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan diri”, artinya dari asas ini menurut Subekti adalah “pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan”, sedangkan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas 44 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Halaman 196 konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat atau detik tercapainya consensus. 45 Eggens dalam Ibrahim menyatakan asas konsensualitas merupakan suatu puncak peningkatan manusia yang tersirat dalam pepatah; een man een man een word een word. Selanjutnya dikatakan olehnya bahwa ungkapan “orang harus dapat dipegang ucapannya” merupakan tuntutan kesusilaan, akan tetapi Pasal 1320 KUHPerdata menjadi landasan hukum untuk penegakkannya. Tidak dipenuhinya syarat konsensualisme dalam perjanjian menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak memenuhi syarat subyektif. 46 b. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda) Asas mengikatnya perjanjian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk menaati undang45 R. Subekti, “Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional”. Alumni, Bandung, 1986. Halaman 5 (Selanjutnya disingkat Subekti-IV) 46 Johanes Ibrahim, “Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank”. Utomo, Bandung, 2003. Halaman 3 undang. 47 Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya." Dijelaskan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah Pacta nuda servanda sunt, yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat. 48 c. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak (contacts vrijheid atau partijautonomie) adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan: "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya." Subekti mengatakan, bahwa dengan menekankan pada kata "semua", maka ketentuan tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan 47 J. Satrio, “Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I”. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Halaman 142 (selanjutnya disingkat Satrio-I) 48 Sudikno, Op. Cit., Halaman 97 berisi apa saja baik yang sudah diatur ataupun yang belum diatur dalam undang-undang. 49 d. Asas Itikad Baik dan Kepatutan Asas ini menegaskan bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus didasarkan pada itikad baik dan kepatutan, yang mengandung pengertian pembuatan perjanjian antara para pihak harus didasarkan pada kejujuran untuk mencapai tujuan bersama. Pelaksanaan perjanjian juga harus mengacu pada apa yang patut dan seharusnya diikuti dalam pergaulan masyarakat. Asas itikad baik dan kepatutan berasal dari hukum Romawi, yang kemudian dianut oleh Civil Law, bahkan dalam perkembangannya juga dianut oleh beberapa negara berfaham Common Law. Pengertian itikad baik dan kepatutan berkembang sejalan dengan perkembangan hukum untuk Romawi, yang semula hanya memberikan ruang bagi kontrak-kontrak yang telah diatur dalam undang-undang (iudicia stricti iuris yang bersumber pada Civil Law). Di terimanya kontrak-kontrak yang didasarkan pada bonae fides yang mengharuskan diterapkannya asas itikad baik dan kepatutan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian. 50 Masalah yang muncul, hingga saat ini belum satu kata untuk memberikan dasar yang tepat sebagai patokan apakah 49 Subekti-III, Op. Cit., Halaman 14 Ridwan Khairandi, “Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak”. Universitas Indonesia, 2003. Halaman 131. 50 perjanjian telah dilaksanakan atas dasar itikad baik dan kepatutan atau belum. Prakteknya diserahkan kepada hakim untuk menilai hal tersebut. Hal ini juga terjadi di negara-negara Anglo Saxon, hakim-hakim di negara-negara Anglo Saxon belum mempunyai standar yang telah disepakati untuk mengukur asas tersebut. Biasanya frase itikad baik dan kepatutan selalu dikaitkan dengan makna fairness, reasonable standard of dealing, a common ethical sense. 51 2. Jenis-jenis Perjanjian Menurut Satrio jenis-jenis perjanjian dibagi dalam lima jenis, yaitu: 52 a. Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak Perjanjian timbal balik (Bilateral Contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. 51 Ibid., Halaman 130 J. Satrio, “Hukum Perjanjian”. Aditya Bhakti, Bandung, 1992. Halaman 31 (selanjutnya disingkat Satrio-II) 52 b. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Atas Hak yang Membebani Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan jumlahnya terbatas. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak untuk menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (leverring) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak. e. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata dari barangnya. D. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pakar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga. Pengertian bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi. Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada saat dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang disampaikan oleh kreditur ke debitur (Pasal 1238 jo. Pasal 1243 KUHPerdata). Untuk menghindari celah yang mungkin bisa dimanfaatkan debitur, ada baiknya kreditur membuat secara tertulis pernyataan lalai tersebut atau bila perlu melalui suatu peringatan resmi yang dibuat oleh juru sita pengadilan. 53 Wanprestasi adalah suatu istilah ketiadalaksanaan prestasi oleh debitur. 54 yang menunjuk pada Dalam suatu perjanjian diharapkan prestasi yang telah disepakati akan terpenuhi. Namun demikian ada kalanya prestasi tersebut tidak terpenuhi. Adapun tidak terpenuhinya prestasi ada dua kemungkinan, yaitu: 1. Karena kesalahan pihak debitur, baik karena kesengajaan maupun kelalaian (wanprestasi). 53 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-danwanprestasi-sebagai-dasar-gugatan (akses pada 30 April 2015) 54 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, “Perikatan Pada Umumnya”. Rajawali Persada, Jakarta, 2003. Halaman 69 (selanjutnya disingkat Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja-II) 2. Karena keadaan memaksa, di luar kemampuan debitur. Jadi debitur tidak bersalah (overmacht ). Ada tiga kemungkinan bentuk-bentuk tindakan wanprestasi sebagaimana dikatakan oleh J. Satrio, yaitu jika: 1) Debitur sama sekali tidak berprestasi; 2) Debitur keliru berprestasi; 3) Debitur terlambat berprestasi. 55 Adapun yang dijadikan ukuran untuk menentukan debitur bersalah (wanprestasi) atau tidak adalah dalam keadaan bagaimanakah seorang debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak berprestasi. Di dalam hal ini menurut Subekti terdapat empat macam dikatakan keadaan wanprestasi dari seorang debitur, yaitu: 56 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya (tidak memenuhi kewajibannya) 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat (terlambat memenuhi kewajibannya) 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh melakukannya (memenuhi tetapi tidak seperti yang diperjanjikan). Wanprestasi ini ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi sebagaimana yang diperjanjikan adalah diluar kesalahannya, jadi wanprestasi itu terjadi karena debitur mempunyai kesalahan. 57 55 J. Satrio-I, Op. cit., Halaman 122 R. Subekti, “Aneka Perjanjian”. Alumni, Bandung, 1981. Halaman 57 (selanjutnya disingkat Subekti-V) 57 A. Qirom Syamsudin Meliala, Op. Cit., Halaman 26 56 Apabila terjadi wanprestasi, maka kreditur mempunyai beberapa pilihan atas berbagai macam kemungkinan tuntutan. Kemungkinan pilihan tersebut adalah berupa tuntutan: 58 1) Pemenuhan perjanjian; 2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi; 3) Ganti rugi saja; 4) Pembatalan perjanjian; 5) Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi. Tuntutan-tuntutan tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kreditur, agar dapat mempertahankan kepentingannya terhadap debitur yang tidak jujur. Namun demikian, hukum juga memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi debitur yang tidak memenuhi kewajibannya, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan atau akibat kelalaiannya. E. Pembelaan Debitur Wanprestasi Menurut Subekti seorang debitur yang dituduh lalai, dapat mengajukan beberapa alasan untuk membebaskan diri, pembelaan tersebut yaitu: 59 1. Mengadakan pembelaan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur). 58 59 Subekti-III, Op. Cit., Halaman 53 Ibid., Halaman 45 Dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. 2. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (exceptionon adimpleti contractus). Mengenai pembelaan semacam ini, tidak disebutkan dalam suatu undang-undang. Akan tetapi prinsip mengenai pembelaan semacam ini dijelaskan pada pasal 1478 KUHPerdata yang isinya adalah: “Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaran tersebut.” 3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverwerking). Alasan lain yang dapat membebaskan debitur yang dituduh melakukan kelalaian dalam melaksanakan prestasi dan memberikan alasan untuk menolak pembatalan perjanjian adalah pelepasan hak atau rechtsverwerking. Maksud dari hal tersebut adalah suatu sikap dari pihak kreditur yang dapat disimpulkan oleh pihak debitur bahwa pihak kreditur tidak akan menuntut ganti rugi dari pihak debitur. F. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige daad) Perihal perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang yang melawan hukum, diatur dalam Pasal 1365 BW. Pasal ini menetapkan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu. Apakah artinya perkataan onrechtmatige daad ini? Jawabnya atas pertanyaan ini amat penting bagi lalu lintas hukum. Mula-mula para ahli hukum begitu pula hakim menganggap demikian, hayalah perbuatanperbuatan yang melanggar undang-undang atau sesuatu hak (subjectief recht) orang lain saja. Lama kelamaan pendapat yang demikian itu dirasakan sangat tidak memuaskan. Dan pada suatu hari Hoge Raad telah meninggalkan penafsiran yang sempit itu dengan memberikan pengertian baru tentang “onrechtmatige daad” dalam putusannya yang sangat terkenal, yaitu putusan tanggal 31 Januari 1919. Dalam putusan itu dinyatakan, “onrechtmatig”, tidak saja perbuatan yang melanggar hukum atau hak orang lain, tetapi juga tiap perbuatan yang berlawanan dengan “kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau benda orang lain”. Putusan Hoge Raad ini begitu pentingnya hingga sering dipersamakan dengan suatu revolusi dalam dunia kehakiman. Banyak sekali perbuatan yang dulu tidak dapat digugat di depan hakim, sekarang diartikan sebagai “onrechtmatig”: jika dapat dibuktikan bahwa dari kesalahan si pembuat itu telah timbul kerugian pada orang lain, maka si pembuat itu akan dihukum untuk mengganti kerugian itu. Selanjutnya menurut Pasal 1367 BW seseorang juga dipertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan orang lain yang berada di bawah pengawasannya atau yang bekerja padanya. Lazimnya pasal ini diartikan terbatas (limitatief), yaitu seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatan orang lain, hanya dalam hubungan dan hal-hal berikut: 1. Orang tua atau wali untuk anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan mereka melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian itu padanya. 2. Majikan untuk buruhnya, dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan pada mereka 3. Guru sekolah dan kepala tukang untuk murid dan tukangnya selama mereka ini di bawah pengawasan mereka. 60 60 Subekti-II, Op. Cit., Halaman 133