BAB V Penutup Pada awal tahun 2000 thibbun nabawi mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia. HPAI termasuk komunitas yang aktif mengembangkan thibbun nabawi, dan satu-satunya yang terorganisir rapi dan bergerak sistematis. Sedang para terapis thibbun nabawi lainnya cenderung beramal secara sporadis dan sendiri-sendiri (tidak berorganisasi). Yogyakarta menjadi salah satu basis pengembangan HPAI. Eksis dan berkembangnya HPAI di Yogyakarta, disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal: maraknya gerakan revivalisasi dunia Islam, Yogyakarta sebagai kota pendidikan, pemikiran dan gerakan, kebuntuan pengobatan konvensional dalam menanggulangi penyakit degeneratif kronis, serta ekonomi makro yang tak kunjung membaik. Sedang faktor internal; pertama, hubungan kekeluargaan dan kesamaan pemikiran antar pionir HPA. Kedua, mayoritas pegiat HPAI adalah aktivis keislaman, muda, dan pembelajar. Ketiga, thibbun nabawi ala HPAI menjadi solusi penyakit diri atau orang dekatnya. Keempat, solusi problem ekonomi. Internalisasi thibbun nabawi dalam komunitas HPAI diawali melalui interaksi face to face antara agen dengan anggota baru –yang biasanya telah memiliki unsur kedekatan sebelumnya (hubungan darah dan atau kedekatan pemikiran keislaman). Dikuatkan dengan HEBAT Training. Lalu, dipelihara melalui homesharing rutin setiap pekan sekali. HEBAT Training sebagai 125 penanaman doktrin dasar-dasar thibbun nabawi ala HPAI, sedangkan homesharing berperan sebagai pemelihara realitas subyektif. Thibbun nabawi dimaknasi sebagai pengobatan ala Nabi, yang mencakup upaya preventif (pencegahan) dan kuratif (pengobatan). Preventif meliputi pengaturan menu dan pola makan, kebiasaan sehari-hari (habbits); cara tidur, cara mandi, juga ibadah khusus; dzikir, wudhu, sholat, dan fikr (berpikir positif). Aktivis HPAI menerapkan pencegahan tersebut dalam kehidupan sehari-hari diri dan keluarga. Melakukan pengobatan diri dan keluarga sebelum orang lain, menjadi dokter di rumah sendiri. Menerapkan pada orang lain, sekaligus sebagai dakwah, dan mendapatkan keuntungan. Ada narasi tentang sehat yang dibangun komunitas HPA, narasi ideal: sehat ala Nabi Muhammad SAW yang meliputi sehat diri, ekonomi, dan sosial. Sehat diri meliputi sehat: spiritual (kalbu), mental (akal), emosi (nafsu), dan fisik (jasmani). Sehat ekonomi, tidak miskin (mustahik, yang menerima zakat), menjadi muzakki (orang yang memberikan zakat, dan mampu berhaji). Sedang sehat sosial, tidak menjadi beban orang lain, dan bermanfaat bagi orang lain. Semua informan sepakat bahwa tipe sehat seperti itu ada dalam diri Nabi Muhammad SAW, dan pernah dipraktikkan pada masanya, dan memungkinkan untuk dikonstruksi kembali. Gerakan thibbun nabawi ala HPAI dapat dimaknai sebagai gerakan rekonstruksi pengobatan Nabi Muhammad, sekaligus sebagai rekonstruksi pengobatan Islam ala HPAI. Sedang narasi besar sehat yang dikonstruksi, adalah “sehat ala Nabi”. 126 Proses pelembagaan madzhab thibbun nabawi pada komunitas HPAI tersebut relatif lengkap. Proses institusionalisasi (pelembagaan) yang mencakup eksternalisasi, habitualisasi, tipifikasi, sedimentasi, dan tradisi, lalu dikuatkan dengan legitimasi telah berjalan dan semakin kokoh. Hal tersebut ditandai dengan terpenuhinya empat tingkatan legitimasi thibbun nabawi pada HPAI. Walaupun tidak secara lugas menyerang rezim medis, HPAI dalam tataran ide dan praktik, dapat menjadi alternatif jalan demedikalisasi. HPAI menentang monopoli dokter dalam pengobatan, termasuk monopoli kekayaan. HPAI mengobati dalam nuansa kesetaraan, memberikan pengajaran, sehingga mengarahkan pasien menjadi dokter. Selain, mendekonstruksi pemasaran obat kimia sintetis (sekaligus pelemahan rezim mafia obat), dan menggantinya dengan obat herbal. Juga, HPAI menentang klaim bebas nilai pengobatan konvensional – dengan mengusung pengobatan bernilai ilahiah (Islam). Serta, HPAI tidak merumahsakitkan. Jika hal tersebut konsisten dilakukan, sangat berpeluang merobohkan rezim medis, karena thibbun nabawi ala HPAI melemahkan sendi utama rezim medis –yakni otoritarianisme dokter, mafia obat, dan perumah sakitan. Selain juga, thibbun nabawi ala HPAI berdimensi memberdayakan pasien (masyarakat) melalui edukasi pengobatan dan cara hidup sehat secara alami. Demedikalisasi semakin memungkinkan jika, doktrin satu rumah satu dokter terus digaungkan, seiring penguatan produksi herbal alami dan wathoni (lokal) berbasis community development dan kearifan lokal –yang tentunya dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam produksi. Memberikan layanan produk murah, dengan jalan mewakafkan produk inti (semisal Kopi Radix) agar 127 mudah diduplikasi masyarakat. Selama ini, slogan 5 M (memakai, menceritakan, menjual, mengajak, dan mengajarkan) pada HPAI baru sebatas distribusi (pemasaran) dan konsumsi, sedang pada proses produksi herbalnya cenderung tidak diajarkan ke anggota maupun masyarakat. Jika proses pembuatan obat herbal juga menjadi bagian yang diajarkan, akan semakin memandirikan masyarakat di bidang pengobatan. Bagi HPAI, mungkin ada kekhawatiran rugi dari sisi materi, ini adalah wajar, hanya saja, jika lebih jeli, memasyarakatkan resep herbal ala HPAI sama halnya dengan mempromosikan HPAI pada masyarakat. Sebagaimana makanan, kelezatannya tidak hanya ditentukan oleh resep yang tepat tapi juga keahlian cara memasak sang koki, maka, para peramu dari HPAI tentunya lebih berpengalaman dan ahli, sehingga, kualitas produksinya tetap khas dan akan cenderung melebihi kualitas produksi masyarakat awam. Cara lain yang memungkinkan, menekan harga produk tertentu yang banyak dibutuhkan masyarakat, terutama masyarakat kalangan ekonomi bawah. Hal tersebut dapat diupayakan dengan membangun sinergi dengan lembaga donor, pekerja sosial, maupun pemerintah, juga institusi pendidikan. Secara konsep, HPAI memiliki strategi aksi demedikalisasi. Namun, dalam tataran amal, realita dan harapan tidak selalu berjalan beriringan, aspek bisnis HPAI lebih greget dibanding aspek herbal/medis-nya –yang salah satunya nampak pada semakin njomplang-nya rasio antara agen yang lebih berstatus pebisnis (LED atau pun leader at business center) dengan agen yang berpredikat corporate herbalist, ratusan pebisnis dibanding puluhan herbalis. Jika trend ini dibiarkan, semakin lama akan cenderung lekat pada komersialisme thibbun 128 nabawi; menjadikan thibbun nabawi sebagai bisnis semata. Walaupun, simpulan ini adalah simpulan yang terlalu dini, mengingat usia HPA Indonesia yang baru 16 tahun, belum melebihi usia biologis manusia. Agaknya, perlu menunggu lama untuk mengkaji ulang. Selain juga, kajian terhadap medikalisasi lebih pas dari sisi “korban” bukan pelaku, sehingga perlu fokus menekuni konstruksi sosial dari sisi massa (pasien/masyarakat) jika kita ingin mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh. Simpulan ini juga memungkinkan berubah, jika fakta empiris thibbun nabawi oleh HPAI ke depan lebih bernuansa dakwah pengobatan religius (berbasis Islam) dan alami (berbasis kearifan lokal), dan bukan didominasi jaringan bisnis dan pemasaran produk keluaran pabrik HPAI. 129