Bab 1-6, lampiran opini (0), daftar pustaka (terbaru)

advertisement
 BAB I
LATAR BELAKANG
1.1
Pendahuluan
Etnis Cina atau dikenal dengan sebutan Tionghoa, erat kaitannya dengan
penduduk Indonesia. Sejarah mencatat sejak abad ke-17, orang Tionghoa kerap
kali singgah sebagai pedagang di Nusantara. Bahkan ibunda Raden Fatah (raja
Demak) yang amat membantu dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa
untuk pertama kalinya merupakan putri Cina asli dari Tiongkok (Shindunata,
2006: 391).
Hubungan yang telah lama terjalin membuat orang Tionghoa telah
berdomisili di Nusantara (sekarang disebut Indonesia). Secara kultural, populasi
etnis Tionghoa di Indonesia terdiri atas peranakan dan totok. Definisi peranakan
adalah orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Indonesia dan sudah
‘berbaur’(menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan
berperilaku seperti bumiputra). Sementara definisi totok adalah “pendatang baru”,
umumnya mereka baru berdomisili di Indonesia selama satu sampai dua generasi
dan masih berbahasa Tionghoa (Suryadinata, 1999: 252).
Para Tionghoa totok ini semula merupakan imigran yang datang dari
propinsi Fukien dan Kwangtung. Kedua propinsi ini berbeda dari yang lain karena
1 ukuran regional yang besar. Setiap imigran yang datang ke Indonesia, selalu
membawa ciri kultural setempatyang khas dari kampung halamannya. Yang
menjadi dasar dari perbedaan kultural golongan subetnis ini adalah ciri linguistik;
oleh karena itu golongan tadi biasa disebut golongan bahasa. Bahasa-bahasa dari
keempat golongan bahasa yang besar, yang ada di Indonesia adalah Hokkian,
Hakka, Teociu, dan Kanton. (Tan, 1979: 6)
Sejak abad ke-18 sampai permulaan abad ke-20 sebagian besar masyarakat
Tionghoa merupakan peranakan. Imigrasi dari Tiongkok biasa-biasa saja, akan
tetapi asimilasi menuju masyarakat peranakan sangat cepat (Tan, 1979: 11-12).
Sebelumnya
kerancuan
pemakaian
istilah
“China”,
“Cina”,
dan
“Tionghoa” akan dijelaskan terlebih dahulu. Menurut Tedy Jusuf dalam Leo
Suryadinata (2005: 397-398), istilah “China” diartikan sebagai penulisan resmi
yang diinginkan oleh kedutaan Republik Rakyat China. Istilah “Cina” diartikan
sebagai orang yang berwarga negara China, yang setara dengan orang Jepang,
orang Malaysia, orang Singapura, orang Taiwan, dan orang Indonesia. Sementara
istilah ”Tionghoa” merujuk pada orang-orang keturunan Cina bermukim di
Indonesia, bahwa orang Cina yang Warga Negara Asing (WNA), dan orang
Tionghoa yang Warga Negara Indonesia (WNI). Dengan demikian orang
Tionghoa sepadan dengan orang Jawa, Sunda, Madura, dan lain lain. Istilah
Tionghoa atau peranakan Tionghoa sesuai dengan hukum dan konstitunsi
tercantum dengan jelas pada Pasal 26 UUD 1945.
2 Menurut Arief Budiman dalam Leo Suryadinata (2005: 399), sebaiknya
menggunakan istilah “Tionghoa”, karena istilah Cina dianggap menghina dan
kasar. Pemakaian istilah “Cina” diasosiasikan dengan ketidaksukaan pemerintah
terhadap orang Cina karena hubungannya dekat dengan Republik Rakyat Cina
(RRC) dan Partai Komunias Indonesia (PKI). Secara tidak langsung, namun jelas
pemerintah Orde Baru beranggapan pemerintah Cina membantu PKI. Orangorang Cina di Indonesia dianggap agen pemerintah Cina, karena itu dihukum
dengan memanggil mereka Cina.
Penggunaan kata “bumiputera” sendiri mengacu pada ejaan bahasa
Melayu. Dalam bahasa Sansekerta kerap disebut “pribumi”. Yang berarti “bumi”
berarti “dunia” atau “tanah” dalam bahasa Melayu dan Indonesia, sedangkan
‘putera’ dapat diterjemahkan “pangeran” atau untuk menyebut anak laki-laki.
Ungkapan pribumi sendiri diambil dari bahasa Jawa wong (yang berarti orang),
pribumi menggabungkan awalan bahasa Jawa pri digabungkan dengan bahasa
Sansekerta “bumi”, bila disimpulkan menjadi penduduk asli. Sementara
penggunaan kata “pribumi” dinilai melecehkan karena mengacu pada inlander
(kelas terendah) dalam zaman kolonialisme Belanda (Suryadinata, 1999: 105).
Meskipun sejarah mencatat keterkaitan etnis Tionghoa dengan bangsa
Indonesia, keberadaan etnis Tionghoa tidak serta-merta diterima sepenuhnya oleh
kaum bumiputera.
Kebencian muncul pada etnis Tionghoa pada masa Orde Baru karena dua
dimensi: komunisme dan keberadaan etnis Tionghoa sebagai minoritas.
3 Kelompok minoritas adalah kelompok-kelompok yang mengalami kerugian akibat
prasangka atau diskriminasi berdasarkan ras, agama, atau sukubangsa. Istilah ini
umumnya merujuk pada kategori perseorangan, dari pada kelompok (Theodorson
& Theodorson, 1979: 258-259).
Elite yang berkuasa di Indonesia mencurigai RRC (Republik Rakyat Cina)
memanfaatkan minoritas Tionghoa (2,8 persen
penduduk Indonesia) untuk
kepentingan nasional mereka (menjadikan Indonesia negara komunis dengan
mensponsori sejumlah kerusuhan di daerah) (Suryadinata, 1999: 205).
Sejak saat itu, perpolitikan dihapuskan dalam
hak etnis Tionghoa.
Presiden Soeharto pun mulai memfokuskan etnis Tionghoa pada perekonomian.
“...Soeharto yakin bahwa etnis Tioghoa adalah pedagang dan harus dibatasi pada bidang
itu saja. Mereka seharusnya tetap menekuni profesi mereka dibidang ekonomi dan tidak
seharusnya berpindah ke bidang lain.” (Suryadinata, 1999: 192).
Oleh karena itu tidak mengherankan jika Soeharto enggan menempatkan
posisi potensial perpolitikan pada etnis Tionghoa.
“Kebijakan ekonominya terhadap orang Tionghoa menyebabkan pertumbuhan pesat
kekuatan ekonomi. Etnis Tionghoa mengandalkan perdagangan distributif di samping
sektor ekonomi modern.” (Suryadinata, 1999: 193).
Pada akhirnya, keadaan perekonomian penduduk bumiputera kian
terancam. Meskipun pemerintah berusaha
memberi pinjaman jangka panjang
terhadap kaum bumiputera, akan tetapi pada akhirnya usaha tersebut dinilai tidak
4 menolong. Sejumlah kebijakan seperti peraturan yang dikeluarkan tahun 1974
mewajibkan semua investasi asing di Indonesia terdiri atas pengusaha bumiputera
dan tertutup bagi pengusaha Tionghoa. Akan tetapi karena kurangnya informasi,
tidak banyak pengusaha bumiputera yang diuntungkan oleh adanya peraturan ini.
Ditambah banyak pengusaha dari kalangan etnis Tionghoa yang mendekati tokohtokoh berpengaruh lantas tak terkena dampak dari peraturan tersebut (Suryadinata,
1999: 181).
Hal itu menyebabkan persepsi negatif (prasangka) terhadap etnis Tionghoa
dari kalangan bumiputera pun meluas. Menurut artikel yang ditulis Zaim Uchrowi
berjudul “Gus Dur Menoleh Tionghoa,” yang dipublikasikan dalam Majalah Adil,
12-18 November 1998, hal. 3 mengemukakan,
Persepsi elit politik dan masyarakat umum terhadap masyarakat etnis Tionghoa masih
terus diwarnai oleh berbagai stereotip. Etnis Tionghoa, misalnya masih dipandang
sebagai kelompok minoritas yang memegang prinsip, “Tujuan menghalalkan segala
cara” dalam menjalankan bisnis, dan kehadiran mereka di Indonesia tidak selalu
melahirkan konsekuensi positif. Sebagian dari mereka bahkan dilihat membawa dampak
negatif kepada bangsa, baik terhadap keadaan ekonomi maupun moralitas bangsa.”
(Suryadinata, 1999: 185).
Dalam perkembangan selanjutnya, persepsi negatif (prasangka) terhadap
etnis Tionghoa memicu diskriminasi.
“Diskriminasi adalah memperlakukan orang secara berbeda atas dasar alasan-alasan yang
tidak relevan. Diskriminasi etnis adalah diskriminasi yan berdasarkan pada perbedaan
etnik.” (Soekanto, 1983: 91).
Prasangka dan diskriminasi sendiri menurut Stanley merupakan hubungan
yang saling terkait.
5 “Diskriminasi dan prasangka saling menguatkan. Prasangka mewujudkan suatu
rasionalisasi bagi diskriminasi, sedangkan diskriminai acap kali membawa ancaman.”
(Kartika, 1999: 98).
Prasangka yang berujung pada ancaman terlihat dalam banyak kebijakan
yang diskriminatif. Perlakuan diskriminatif sebagian didasari oleh perasaan
rendah diri penduduk bumiputera karena ditindas di tanah air mereka sendiri.
Selama dan sesudah masa pejajahan etnis Tionghoa pun jauh lebih unggul dalam
kemampuan ekonomi dibanding kaum bumiputera (Tan, 1979: 20).
Kondisi ini menyebabkan perilaku diskriminasi terhadap etnis Tionghoa
sebagai kaum minoritas pun makin terlihat jelas. Penduduk bumiputera merasa
bahwa etnis Tionghoa adalah pendatang dan bukan bagian dari mereka, bahkan
cenderung mempertanyakan identitas etnis Tionghoa.
Meskipun mempunyai kesamaan ciri khas seperti (raut wajah), nama, bahasa dan struktur
sosiologis dalam hubungannya dengan etnis Indonesia lainnya, enis Tionghoa harus
digambarkan sebagai kelompok yang sangat heterogen dan sarat konflik dan kontradiksi.
Ini mengakibatkan kelemahan bagi mereka sendiri untuk membela integritas maupun
identitasnya ( Liem, 2000: 12).
Pemerintah Orde Baru pun memperkenalkan istilah “asimilasi total”
(pembauran paksa). Akan tetapi strategi ini dianggap gagal, karena Soeharto tidak
melaksanakannya secara konsisten, tidak mempertahankan cita-cita ini atau
enggan mendidik rakyat untuk pembangunan bangsa. Alih-alih memberikan
perlindungan
kepada
segolongan
pedagang/pengusaha
Tionghoa-Indonesia
dimanfaatkan untuk kepentingannya sendiri. Sementara orang Tionghoa lain yang
tidak dekat dengan kalangan elite istana memperoleh peraturan diskriminasi, salah
6 satu contohnya ialah sebagaimana dicatat oleh pengacara etnis Tionghoa Frans
Winarta, S.H di bawah ini,
Undang-undang diskriminatif tersebut adalah seperti ini:
1. Mengenai larangan Penerbitan dan Percetakan Tulisan Iklan Beraksara dan berbahasa
Cina (SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/1988)
2. Mengenai larangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina (Instruksi Pesiden
14/1967 yang kemudian dicabut Gus dur dengan Keppres 6/2000)
3. Mengenai Penataan Klenteng (Instruksi Mendagri 455.2-360/1968).
4. Mengenai KTP bagi etnis Tionghoa (1/OS – II/OS-12 (Perda Dati I DKI JKT)
5. Mengenai penggantian istilah Tiongkok dan Tionghoa menjadi Cina (SE Presidium
Kabinet RI;SE – 06/Pres- kab/6/1967)
6. Mengenai Perturan Ganti Nama Bagi WNI Memakai Nama Cina (Presidium Kabinet
Ampera RI;Kep. Presidium No. 127/ u/Kep/12/1966)
7. Mengenai Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) (Instruksi Presiden Kabinet RI
No.37/U/IN/6/1967) (Liem, 2000: 20-21).
Bila sebelumnya etnis Tionghoa dilihat sebagai etnis minoritas yang
didiskriminasi. Namun kebalikannya dalam bidang perekonomian justru
penduduk pribumi yang menjadi minoritas akibat monopoli kaum Tionghoa yang
ditunjang kebijakan negara.
“Kapitalisme yang berkembang selama Orde Baru ini justru memperkuat kebencian
rasial. Perbedaan ekonomi diterjemahkan menjadi perbedaan ras.” (Kartika, 1999: 167).
Kondisi ini menyebabkan kecemburuan sosial di penduduk bumiputera.
Sehingga tak dapat dipungkiri etnis Tionghoa tidak dapat membela diri ketika
dijadikan sasaran penyerangan.
Sukses orang Tionghoa dalam bidang ekonomi menimbulkan kecemburuan di kalangan
pribumi Indonesia. Kesenjangan ekonomi yang makin melebar dan kesulitan ekonomi
mengakibatkan timbulnya ketegangan etnis/rasial. Kebijakan Soeharto membatasi etnis
Tionghoa untuk menggeluti bidang ekonomi berlanjut hingga Febuari 1998 (Suryadinata,
1999: 193).
7 Puncaknya terjadi pada kerusuhan yang terjadi tanggal 14-17 Mei 1998 di
Jakarta dan sejumlah kota di Jawa. Penyerangan terbesar dalam sejarah Orde Baru
masih terpatri jelas dalam ingatan bangsa Indonesia dan menyisakan trauma dan
kepedihan berkepanjangan pada masyarakat Indonesia.
Meskipun hingga hari ini pemerintah masih bersikukuh tidak
menemukan korban kekerasan, sejumlah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM),
Komisi Perlindungan Masyarakat Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
menentang hal tersebut. Menurut anggota
Komnas HAM, Clementino Dos Reis Amaral mengatakan kerusuhan Mei sendiri
tercatat menimbulkan korban tewas sejumlah 1000 orang.
Menurut wawancara yang dilakukan Edi Budiyarso, dalam penemuan tim
didapatkan kesimpulan yang menarik dalam kerusuhan Mei 1998, baik
penjarahan, kekerasan fisik, dan seksual kebanyakan target ialah yang berasal dari
etnis Tionghoa. Diakui kerusuhan tersebut tidak serta merta lahir karena
’kecelakaan’. Kerusuhan itu sendiri terlihat telah disekenariokan (Majalah Tempo
Edisi 16/03 - 20/Juni/1998).
Seiya sekata dengan Clementino, berdasarkan wawancara yang dilakukan
oleh Iwan Setiawan kepada Ita F. Nadia, Koordinator Divisi Pendampingan
Korban Perempuan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Selain penjarahan dan
pembakaran aset ekonomi nasional, pada kerusuhan 14 dan 17 Mei 1998 lalu di
Jakarta dilakukan sebagai bentuk upaya teror terhadap etnis Tionghoa. Tindak
kekerasan fisik dan seksual disengaja agar korban merasa tidak aman hidup di
8 Indonesia etnis Tionghoa. Tindakan itu dianggap berhasil karena sebagian besar
kaum etnis Tionghoa pun banyak yang melarikan diri ke luar negeri dan didera
trauma berkepanjangan untuk kembali ke tanah air (Majalah Tempo Edisi 16/03 20/Juni/1998).
Masyarakat pun tergelitik untuk menyeruakan pendapat (opini) di media
massa.
Menurut Studder dalam Keller (2009), Menulis di media massa dianggap
pilihan karena media dianggap sebagai sarana yang menunjang kebebasan untuk
berekspresi,
Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi yang mengakar dalam sistem perundangundangan yang demokratis. Media massa memiliki fungsi sebagai pembentuk opini,
karena itu media massa lah yang menurut undang-undang dilindungi dari sensor
pemerintah. Otonomi daerah, tidak dipertahankan sebagai nilai itu sendiri, melainkan
karena ia memiliki fungsi, yaitu sebagai dasar pembentukan wacana di masyarakat
(Keller, 2009: 58).
Bagi penulis, kolom opini sendiri merupakan sarana menunjukkan
ekspresi akan isu-isu atau persoalan yang tengah terjadi.
“Opini merupakan cerminan pendapat masyarakat, ketika dirasakan dalam kalanga elite
penguasa terjadi perbedaan pendapat atau faksi-faksi, jika masyarakat ramai maka
muncul banyak opini di dalam pers.”(Siregar, 1995: 21).
Menurut Swantoro, opini memberikan sumbangan munculnya banyak
pendapat di masyarakat sehingga dapat mengembangkan demokrasi. Rubrik opini
pun bisa menjadi ajang diskusi yang ramai di masyarakat. Diharapkan melalui
9 diskusi ini akan memperkaya masyarakat karena pikiran nya terangsang sehingga
menjadi sehat (Siregar, 1995: 23).
Menurut Jakob Oetama, “Melalui artikel (opini) itu. Perbedaan pendapat masayarakat ,
aspirasi dan persoalan masyarakat diberi saluran untk dinyatakan dan saling dikaji untuk
diuji. Dengan begitu khalayak diajak belajar menghargai perbedaan dan mengembangkan
perbedaan sebagai sumber konstruktif untuk memajukan kesejahteraan rakyat” artinya
halaman opini disediakan pers sebagai bagian dari pelaksanaan peran, fungsi, serta
tanggung jawabnya pada masyarakat, dalam arti pers ikut menjalankan tugas
demokratisasinya dengan menyediakan forum untuk dialog.” (Siregar, 1995: 31).
Dalam hal ini, salah satu media yang memanfaatkan rubriknya dalam
menjaring pendapat di masyarakat mengenai tragedi Mei 1998, salah satunya
adalah harian Kompas.
Kompas dipilih karena oplahnya berada pada tingkatan tertinggi dibanding
koran lainnya, yaitu 600.000 eksemplar per harinya. Selain itu, menurut ST.
Sularto, Kompas lebih dikenal sebagai koran majalah, karena Kompas kerap diisi
dengan artikel dan wawancara. Seringkali artikel mendukung berita yang ada.
Dengan demikian muncul eksklusifitas dibanding media lainnya (Oetama, 2007:
98).
Di harian Kompas juga terdapat perbedaan ketat antara berita dan opini.
Pendapat biasanya diutarakan dalam bentuk tajuk rencana dan kolom-kolom
opini. Opini disediakan sebagai ajang perdebatan pakar-pakar sesuai dengan
bidangnya masing-masing (yang berada di luar Kompas dan bukan berasal dari
redaktur atau reporter). Menurut kepala rubrik opini, kebijakan ini diberlakukan
sebagai wujud pelayanan kepada masyarakat. Dan hampir setiap harinya, Kompas
10 menerima 90 kiriman artikel yang disortir 14 redaksi opini. Akan tetapi, tetap saja
pemimpin redaksi yang memiliki hak veto. (Keller, 2009: 53).
Dalam pemilihan pemuatan opini Kompas, tidak terdapat unsur
diskriminasi. Menurut Pepih Nugraha dalam blog pribadinya ada 17 alasan
sebuah opini tidak layak muat dalam opini Kompas.
Tujuh belas penyebab sebuah artikel ditolak oleh Desk Opini Kompas.
1. Topik atau tema kurang atau tidak aktual
2. Argumen dan pandangan bukan suatu hal yang baru
3. Penyajiannya berkepanjangan
4. Cakupan masalah bersifat terlalu lokal
5. Redaksional kurang mendukung dimuatnya artikel
6. Konteks tidak jelas
7. Bahasa yang digunakan terlalu ilmiah atau akademis (tidak populer)
8. Uraian terlalu sumir
9. Gaya penulisan seperti pidato/makalah kuliah
10. Sumber kutipan tidak jelas
11. Terlalu banyak kutipan dan kurang pandangan pribadi
12. Pandangan kurang berimbang
13. Alur uraian tidak runtut dan terstruktur
14. Uraian tidak membuka sebuah pencerahan baru
15. Uraian ditujukan kepada orang tertentu (personal)
16. Uraian terlalu datar
17. Alinea pengetikan terlalu panjang.
(http://pepihnugraha.blogspot.com/2007/09/ apa-syarat-menulis-artikel-di-kompas.html)
Berdasarkan uraian di atas peneliti memilih topik kekerasan etnis
Tionghoa pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 di rubrik opini harian Kompas
didasari oleh beberapa faktor.
Pertama, kerusuhan Mei 1998 dianggap tragedi nasional yang selamanya
menimbulkan
luka bagi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai bangsa
bhineka tunggal ika. Akan tetapi jumlah berita dalam wacana kekerasan terhadap
etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 hanya sedikit dibanding wacana
11 penembakan
mahasiswa
Trisakti,
demo
mahasiswa,
Presiden
Soeharto
mengundurkan diri, dan awal masa reformasi.
Kedua, pemilihan surat kabar Kompas dibanding surat kabar lain didasari
oleh berapa faktor. Rubrik opini Kompas merupakan bentuk layanan kepada
masyarakat, yaitu sebagai ajang perdebatan pakar di luar Kompas sesuai dengan
bidangnya masing-masing (yang tidak berasal dari redaktur atau reporter). Selain
itu divisi iklan tidak pernah ikut campur dengan penentuan isi redaksional. Pada
harian Media Indonesia rubrik opini lebih sedikit mengambil pemberitaan atau
tema-tema aktual, namun lebih mengutamakan surat-surat berisi keluhan.
Sementara di harian Republika artikel opini secara otomatis menyampaikan nilainilai Islam. Penulis opini Republika berasal dari luar anggota redaksi, terutama
mahasiswa. Dalam mengutarakan pendapat (opini) di Kompas terdapat dua kubu,
yaitu kaum bumiputera dan etnis Tionghoa. Penulis-penulis yang berasal dari latar
belakang yang berbeda tentunya memiliki pandangan yang tak selalu serupa
dalam menyingkapi suatu peristiwa (Keller, 2009: 53, 79, 97).
Ketiga, pemilihan rubrik opini di media massa sebagai objek penelitian
karena pada penelitian-penelitian Tragedi Mei 1998 sebelumnya hanya
mengambil objek penelitian berupa berita dan tajuk rencana dengan tujuan
membandingkan wacana suatu media dengan media lainnya. Sementara pada
penelitian ini lebih memfokuskan pada satu media dengan membandingkan
wacana dua kubu penulis opini, yaitu kaum bumiputera dan etnis Tionghoa.
12 Dalam setiap halaman opini terdiri atas artikel (opini), tajuk rencana,
kolom, surat pembaca, dan pojok pesan diwujudkan dalam bahasa atau linguistik
(F.X Koesworo, 1994: 104).
Menurut Aminuddin, bahasa sendiri merupakan sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan manusia. Bahasa selain digunakan untuk mengenal
dan membentuk pemahaman suatu realitas juga untuk menggarap sekaligus
menyingkapi realitas simbolik secara personal (Budiman, 2002: 4).
Dalam menyingkap makna dari bahasa, dibutuhkan metode yang
dinamakan semiotika. Menurut Hidayat dalam Sobur (2001),
Bidang kajian semiotika atau semiologi adalah mempelajari fungsi tanda dalam teks,
yaitu bagaimana memahami sistem tanda yang ada dalam teks yang berperan
membimbing pembacanya agar bisa menangkap pesan yang terkandung di dalamnya.
Dalam ungkapan lain, semiologi berperan untuk melakukan interogasi terhadap kodekode yang dipasang oleh penulis agar pembaca lain bisa memasuki bilik-bilik makna
yang tersimpan dalam sebuah teks (Sobur, 2001: 106-107).
Menurut Preminger Sobur (2001: 96), semiotika sendiri adalah ilmu yang
menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan
tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensikonvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Penyingkapan makna bahasa menggunakan metode semiotika sosial,
Halliday. Sederhananya semiotika yang dikhususkan menelaah sistem tanda
berwujud lambang yang dihasilkan manusia. Lambang difokuskan pada kata dan
kalimat. Dengan kata lain, semiotika sosial menelaah sistem tanda yang terdapat
13 dalam bahasa. Buku Halliday (1978) sendiri berjudul Language Social Semiotic
(Sobur, 2001: 101).
1.2
Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Bagaimana opini-opini yang berasal dari penulis Tionghoa dan
bumiputera mengkonstruksikan kekerasan dalam tragedi Mei 1998 pada
rubrik Opini Kompas Mei-Desember 1998?
2. Apakah wacana antara penulis Tionghoa dan bumiputera pada rubrik
Opini Kompas Mei-Desember 1998?
3. Apakah terdapat kesamaaan tipe wacana antara penulis Tionghoa dan
bumiputera pada rubrik Opini Kompas Mei-Desember 1998?
1.3
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui opini-opini yang berasal dari penulis Tionghoa dan
bumiputera mengkonstruksikan tragedi Mei 1998 pada rubrik Opini
Kompas Mei-Desember 1998.
2. Untuk mengetahui wacana penulis Tionghoa dan bumiputera mengenai
pada rubrik Opini Kompas Mei-Desember 1998.
14 3. Untuk mengetahui terdapat kesamaaan tipe wacana atau tidak antara
penulis Tionghoa dan bumiputera pada rubrik Opini Kompas MeiDesember 1998.
1.4
Signifikansi Penelitian
1.4.1
Signifikansi Akademik
Signifikansi akademik dari penelitian ini adalah memperkaya
khasanah penelitian komunikasi dalam kasus tragedi Mei 1998 dilihat dari
sudut pandang rasialisme, minoritas, dan diskriminasi. Selain itu untuk
mengisi kekosongan penelitian kajian media yang mengambil objek kajian
rubrik opini dalam sebuah media.
1.4.2
Signifikansi Praktis
Signifikansi praktis penelitian ini adalah menjadi panduan ringkas
bagi masyarakat agar mengetahui pola pikir dari peranakan Tionghoa dan
warga bumiputera mengenai tragedi kerusuhan Mei tahun 1998. 15 
Download