Penaklukan

advertisement
KOLOM
ENGGAR YUWONO S.
Penaklukan
TAHUN ini dunia memperingati ulang tahun ke-400
terbitnya Don Quixote, pelopor novel modern. Tapi, benarkah
Don Quixote aslinya ditulis dalam bahasa Arab? Mengapa
Cervantes, yang menulis Don Quixote dalam bahasa Spanyol,
mengaku hanya sekadar menerjemahkan dari bahasa Arab?
Cervantes mengisahkan, suatu hari di Pasar Toledo, ada
remaja menjual naskah tua berbahasa Arab. Ia tertarik
membeli dan memutuskan mencari seorang muslim untuk
menerjemahkannya. “Tidaklah sulit untuk mencari,” tulis
Cervantes. Ia lalu membawa si penerjemah ke sebuah gereja
dan memintanya bekerja di sana.
Manuskrip Arab itulah “Kisah Don Quixote de la
Mancha”, yang menurut Cervantes merupakan buah pena
sejarawan Arab, Cide Hamete Benengeli.
Belakangan, semua penelaah Don Quixote sepakat bahwa
tuturan di awal novel ini cuma lelucon Cervantes. Sebab
meski Cide itu panggilan hormat dan
Hamete adalah versi lokal dari Hamid,
“Benengeli” cuma punya satu arti, yaitu
“terong”. Toh, Edward Rothstein menulis
di New York Times, kisah Benengeli
penting untuk memahami Don Quixote.
Menurut Rothstein, di luar capaian
literernya, Don Quixote memberi informasi berharga mengenai berakhirnya kejayaan Islam di Spanyol. Sebab, ketika
Cervantes menulis Don Quixote, sudah tak
seorang muslim pun bisa ditemukan di
Pasar Toledo.
Setelah pengusiran penguasa muslim
terakhir pada 1492, kebudayaan Islam yang
dominan di Spanyol selama delapan abad
dihancurkan secara sistematis. Semua orang
Islam dipaksa melepaskan agamanya. Pembantaian berlangsung tanpa bisa dicegah.
Dan seluruh muslim lenyap dari Spanyol dalam hitungan tahun.
Lewat kisah manuskrip Benengeli, Cervantes sedang
menyindir. Pasar Toledo tempat warga Islam, Yahudi, dan
Kristen berkumpul jelas hanya ada dalam imajinasinya. Kaum
Moor Islam, juga hanya muncul dalam lanskap Don Quixote.
Di mata Rothstein, empati Cervantes terhadap kaum muslim,
meski tak diragukan, ditunjukkan dengan hati-hati.
Cervantes tak punya pilihan. Ia hidup di masa ketika
hubungan antarkebudayaan adalah zero sum game. Keuntungan satu pihak setara dengan kerugian di pihak lawan.
Jika satu kebudayaan berkuasa, kebudayaan yang takluk
hanya punya satu pilihan: dimusnahkan. Reconquista 1492 di
Spanyol pun jadi catatan hitam sejarah.
Belakangan, optimisme merebak bahwa pertumpahan
darah dan pemusnahan ala Reconquista tak bakal lagi terjadi.
Sebab, hubungan antarbangsa, antarperadaban punya mantra
82
G A T R A 20 A G U S TUS 2005
Krisnadi Yuliawan
baru: globalisasi! Dengan globalisasi yang berbasis
kepentingan dagang, semua orang dicita-citakan menjadi
pemenang. Perang, penaklukan, bakal jadi masa lalu. Ini
hubungan setara bagi semua, begitu janji mantra ini.
Benarkah? Bagi sebagian orang ramalan ini terbukti.
Tapi, bagi sebagian lain, globalisasi tak lebih dari nama
lain penaklukan. Bagi kalangan ini, McDonaldisasi misalnya, adalah bukti masih sahihnya politik zero sum game.
Sukses selera kebudayaan penakluk adalah seberapa jauh
masyarakat lain “dipaksa” melepas tradisi lokalnya.
Belakangan, para pengusung globalisasi memperoleh
pukulan telak ketika terjadi serangan 11 September. Serangan ini membuktikan bahwa pembela globalisasi salah
hitung. Yang kemudian naik daun adalah teori clash of civilizations milik Huntington. Teori ini percaya, naluri penaklukan bakal memuncak menjadi perang antarperadaban.
Dendam Reconquista pun hidup lagi. Al-Qaeda, setelah
bom Madrid, mengatakan, “Ini perang suci untuk membebaskan Al-Andalus (Spanyol)”. Jose Marie Aznar, mantan
Perdana Menteri Spanyol sebaliknya
menuding Islam. “Ada yang berpendapat bom Madrid berhubungan
dengan dukungan Spanyol pada Perang
Irak. Tapi, sumber persoalan ini jauh
ke belakang, sekitar 1.300 tahun yang
lalu,” katanya.
Indonesia sebenarnya beruntung,
sejarah bangsa ini jauh dari kisah penaklukan agama. Islam dan Kristen masuk
ke Nusantara relatif tanpa inquisition. Jika
pun ada darah tertumpah, alasannya pasti
politik. “Indonesia bisa mengajari dunia.
Negeri ini adalah role model masyarakat
multi-agama,” kata Kim Howell, menteri
urusan persemakmuran Inggris, ketika
berpidato di ASEM Interfaith Dialogue
di Nusa Dua Bali, Juli lalu.
Benarkah Indonesia masih bisa jadi
guru dunia? Tradisi lokal bangsa ini boleh jadi masih punya
sisa kearifan itu. Tapi lihat, betapa jauh sengkarut bangsa
ini. “Perang” antar-agama kini jadi pemandangan seharihari. Perselisihan internal agama pun jadi biasa. Tiap kelas,
kelompok, dan klik politik cuma kenal bahasa penaklukan.
Keberhasilan bagi satu kelompok adalah dengan
menimpakan kerugian bagi kelompok lain.
Dua tahun lalu, sebuah masjid akhirnya berdiri di
Alhambra, Grenada, Spanyol. Pekik “Allahu Akbar” pun
terdengar lagi. Alhambra berjuang membuktikan bahwa
clash of civilizations keliru. Bahwa conquista,penaklukan,bisa
berganti menjadi convivencia, hidup damai bersama.
Tahun ini Indonesia memperingati ulang tahun ke-60
kemerdekaan. Negeri ini juga masih harus membuktikan,
bisakah ia menghilangkan logika penaklukan antarsaudara
sendiri?
Download