BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Bank Bank

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Bank
Bank dalam menjalankan fungsinya menghimpun dana dari masyarakat
dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit pada masyarakat, berkait dengan
fungsinya menghimpun dana ini, bank sering disebut sebagai lembaga
kepercayaan. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank maka jenis
usaha ini banyak diatur oleh pemerintah. Pengaturan yang secara ketat oleh
penguasa moneter terhadap kegiatan perbankan tidak lepas dari pelaksanaan
kebijakan moneter.
Berdasarkan Undang-Undang Bank Sentral tahun 1968 Bank Indonesia
sebagai bank sentral mempunyai kedudukan dan tugas utama di bidang moneter,
perbankan dan sistim pembayaran terpisah dari bank-bank lain yang melakukan
tugas komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga
bertugas membantu
Pemerintah sebagai
agen pembangunan
mendorong
kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna
meningkatkan taraf hidup rakyat.
Undang-Undang No 3 tahun 2004 tetang Bank Indonesia diberi
kewenangan dalam kebijakan moneter dengan tujuan untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksudkan
antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin
pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia
22
23
menerapkan kerangka kebijakan moneter dangan inflasi sebagai sasaran
utama kebijakan moneter ITF (Inflation Targeting Framework) dengan menganut
sistim nilai tukar yang mengambang (free Floating). Peran kestabilan nilai tukar
sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistim keuangan. Oleh
karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk
mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan
nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaanya Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk
melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter seperti
uang beredar atau suku bunga, dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara oprasional,pengendalian sasaran-sasaran
moneter tersebut menggunakan intrumen-intrumen, antara lain operasi pasar
terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat
diskonto, penetapan cadangan wajib minimum dan pengaturan kredit atau
pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian
moneter berdasarkan prinsip Syariah.
Kebijakan monoter yang diambil oleh Bank Indonesia akan memberikan
dampak pada bank-bank pelaksana dalam usaha sebagai pengejawantahan dari
kebijakan meneter. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14, tahun 1967 Bank
diartikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan
jasa dalam lalu lintas pembayaran dan dalam peredaran uang, Sudirman, (2013).
Kemudian didefinisikan menjadi badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali dana yang
24
terkumpul tersebut kemasyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang
banyak (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan yang
disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998).
Gambar 2.1 Aliran alokasi dana
Masyarakat
peminjam
3. Angsuran pokok +
Bunga dari kredit
4. Bunga dari simpanan
Masyarakat
penyimpan
Bank
2. Penyaluran kredit
1.Simpanan
Sumber: Judisseno (2002)
1) Bank menerima simpanan dari masyarakat penyimpan dalam bentuk tabungan,
deposito dan giro.
2) Bank menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat penyimpan kepada
mayarakat peminjam dalam bentuk kredit.
3) Masyarakat
peminjam membayar angsuran pokok di tambah bunga atas
pinjaman yang di terima kepada bank.
4) Bank membayar bunga simpanan dari masyarakat penyimpan.
Menurut (Kasmir 2011) bank merupakan lembaga keuangan yang
kegiataan usahanya adalah:
1) Menghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan,
maksudnya dalam hal ini sebagai tempat menyimpan uang atau berinvestasi
bagi masyarakat. Tujuan utama masyarakat menyimpan uang biasanya adalah
untuk keamanan uangnya. Sedangkan tujuan kedua untuk berinvestasi dengan
harapan mendapat bunga dari
memudahkan melakukan transaksi.
simpanannya. Tujuan
lainnya untuk
25
2) Menyalurkan dana ke masyarakat, maksudnya adalah bank memberikan
pinjaman (kredit) kepada masyarakat yang mengajukan permohonan. Dengan
kata lain bank menyediakan dana bagi masyarakat yang membutuhkannya.
3) Memberikan jasa-jasa bank lainnya, seperti pengiriman uang (transfer),
penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam kota (clearing),
penagihan surat-surat berharga yang berasal dari luar kota dan luar negeri
(inkaso), letter of credit (L/C), safe deposit box, bank garansi, bank note,
travellers cheque dan jasa lainnya.
Menurut Undang-Undang Pokok Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan
ditegaskan lagi dengan keluarnya Undang-Undang RI nomor 10 tahun 1998 maka
jenis perbankan fungsinya terdiri dari Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR). Dimana Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang
diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan
yang ada, dengan wilayah kerja diseluruh wilayah Indonesia bahkan keluar negeri.
BPR adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya
dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana dalam bentuk kredit atau dalam
bentuk lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat yang
melaksanakan kegiatan usahanya melalui prisip konvensional atau berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. ( Suryanto 2013)
26
Usaha perbankan sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneter yang saat ini
sepenuhnya dibawah kendali Bank Indonesia sesuai dengan UU Nomor 23 tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah disempurnakan lagi dengan UU
Nomor 3 Tahun 2004. Pemerintah tidak lagi bisa mengintervensi kebijakan
moneter. Sejalan dengan kewenangan indevendensi Bank Indonesia tersebut roda
perekonomian di Indonesia digerakan dengan memanfaatkan industri perbankan
melalui kebijakan moneter. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh Bank
Indonesia tampaknya dinamika pasar keuangan akan sangat dipengaruhi oleh
respon industri perbankan disatu pihak, serta stimulus kebijakan yang diberikan
oleh Bank Indonesia terhadap industri perbankan dalam melaksanakan kegiatan
usaha mereka sebagai agent of development. Kebijakan moneter yang diambil
oleh Bank Indonesia bertujuan untuk mengefektifkan fungsi perbankan di satu
pihak dalam mendorong sektor riil, dilain pihak dunia perbankan akan bersaing
untuk memberikan pelayanan pada masyarakat dengan tujuan memperoleh laba
atas usaha perbankan tersebut.
Perbankan sangat peka terhadap situasi dan kondisi yang berkembang.
Indikator suku bunga acuan/BI rate menjadi salah satu tolak ukur dalam
menentukan suku bunga kredit, SBI akan menjadi pertimbangan strategis dalam
mengucurkan kredit konsumsi termasuk didalamnya kredit pemilikan rumah
(KPR) maupun kredit produktif/investasi yang tak kalah memiliki risiko tinggi.
Beresiko tinggi karena jika kuota penyalurannya tak dibatasi, sementara situasi
perekonomian belum memadai, maka potensi kredit macet/NPL akan terjadi
(Bisnis Bali 17 Oktober 2014 ).
27
Kinerja usaha perbankan seperti LDR dan laba usaha ROA akan sangat
dipengaruhi oleh dinamika kebijakan moneter yang diambil oleh Bank Indonesia
seperti penentuan suku bunga SBI dalam memengaruhi jumlah uang yang beredar
dan pada gilirannya akan memengaruhi tingkat suku bunga simpanan dan
kemampuan perbankan menentukan suku bunga kredit kepada masyarakat dan
pengusaha. Perkembangan usaha BPR tidak saja dipengaruhi kondisi pasar yang
bersaing antar usaha perbankan itu sendiri, tetapi juga keberhasilan usaha BPR
ditentukan oleh dinamika pergerakan sektor riil pada lingkungan produksi sebagai
pengguna jasa BPR. Jika situasi perekonomian membaik akan terbuka lebar dan
sebaliknya jika situasi perekonomian melesu peluang usaha BPR akan
menghadapi resiko kredit macet yang relatif tinggi, sehingga kebijakan moneter
Bank Indonesia merupakan stimulus yang mungkin dapat dimanfaatkan BPR
untuk mengelola usaha lebih stabil. Menurut (Warjiyo 2004) Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter yang mengawasi indutri perbankan dan melakukan
pengawasan atas pengelolaan uasaha BPR akan mempertimbangkan kebijakan
dan dampak kebijakan moneter berdasarkan mekanisme trasmisi kebijakan
moneter seperti pada jalur suku bunga, jalur kredit, jalur harga asset, jalur nilai
tukar serta jalur ekspektasi.
2.1.2 Pengertian Kredit
Menurut (Suyatno 1993) istilah “kredit” berasal dari bahasa Yunani yaitu
credere yang berarti kepercayaan (truth atau faith). Menurut (Hasibuan 1997)
kredit adalah semua jenis pinjaman yang harus dibayar kembali bersama dengan
bunganya oleh peminjam sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, oleh
28
karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan. Pengertian kredit dalam UndangUndang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankkan adalah penyedia uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga. Menurut (Suyanto dkk 2007) kredit dalam arti ekonomi adalah
penundaan pembayaran dari prestasi yang diberikan sekarang, baik dalam bentuk
barang, uang, maupun jasa.
Penyaluran kredit memungkinkan masyarakat untuk melakukan investasi,
distribusi, dan juga konsumsi barang dan jasa, mengingat semua kegiatan
investasi, distribusi, dan juga konsumsi selalu berkaitan dengan pemanfaatan
uang. Dengan fungsi ini bank berperan sebagai Agent of Development (Susilo dkk
2006). Sejumlah penelitin menyatakan bahwa penyaluran kredit mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu Negara, menurut (Goldsmith 1969, Mc Kinon 1973
dan Shaw 1973) dana berlebih (surplus) yang disalurkan secara efisien bagi unit
yang mengalami defisit akan meningkatkan kegiatan produksi, selanjutnya akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dalam usaha perbankan sektor kredit menjadi sumber pendapatan utama
disamping usaha lainnya seperti pembelian surat-surat berharga seperti obligasi
maupun Sertifikat Bank Indonesia. Pendapatan akan diperoleh dari selisih bunga
pinjaman dengan suku Bungan simpanan. Menurut (Manurung 2004) kredit yang
disalurkan oleh sistim perbankan pada umumnya ditujukan untuk tiga
penggunaan, yaitu:
29
1) Kredit Modal Kerja (KMK) diberikan untuk tujuan komersial, yaitu membuat
perusahaan mampu menjalakan usahanya sekalipun arus kas masuk untuk
sementara masih lebih kecil dari arus kas keluar.
2) Kredit investasi diberikan kepada debitur agar dapat membeli barang-barang
modal maupun jasa, yang diperlukan dalam rangka rehabilitasi, modernisasi,
ekspansi, relokasi dan pendirian usaha baru. Dilihat dari jangka waktu
pengembaliannya, kredit invesatasi termasuk kredit jangka menengah dan
jangka panjang.
3) Kredit konsumtif (consumer loan) yaitu kredit yang diberikan untuk
memenuhi kebutuhan dana bagi debitur yang ingin membeli barang atau
kebutuhan-kebutuhan kosumtif.
Menurut (Sudirman 2013) kredit menurut sifatnya, yang digolongkan
menjadi:
1) Kredit dengan perjanjian, yaitu suatu kredit yang disalurkan oleh bank dengan
suatu ikatan perjanjian yang menyangkut plafon, jumlah angsuran, bunga dan
jangka waktu serta sangsi jika tidak mengangsur dan lunas.
2) Kredit tanpa perjanjian, yaitu suatu kredit yang disalurkan oleh bank tanpa
suatu ikatan perjanjian yang menyangkut plafon, jumlah angsuran, bunga, dan
jangka waktu serta sangsi jika tidak mengangsur dan lunas.
Menurut (Kasmir 2003) fungsi kredit dalam kehidupan perekonomian
antara lain:
1) Untuk meningkatkan daya guna uang
30
Adanya kredit yang dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya jika uang
hanya disimpan saja tidak menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan
diberikan kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang
atau jasa oleh penerima kredit.
2) Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu
wilayah kewilayah lainnya sehingga, suatu daerah yang kekurangan uang
dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan
uang dari daerah lainnya.
3) Uang meningkatkan daya guna barang
Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh debitur untuk
mengolah barang yang tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat.
4) Meningkatkan peredaran barang
Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah
lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar dari satu wilayah kewilayah
lainnya bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang
beredar.
5) Sebagai alat stabilitas ekonomi
Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi karena
dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang
diperlukan oleh masyarakat. Kemudian dapat pula kredit membantu dalam
mengekpor barang dari dalam negeri ke luar negeri sehingga meningkatkan
devisa Negara.
31
6) Untuk meningkatkan kegairahan berusaha
Bagi penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan berusaha.
7) Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik, terutama
dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk
membangun pabrik, maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja
sehingga, dapat pula mengurangi pengangguran. Disamping itu bagi
masyarakat sekitar pabrik juga akan dapat meningkatkan pendapatannya
seperti membuka warung atau menyewakan rumah kontrakan atau jasa
lainnya.
8) Untuk meningkatkan hubungan internasional
Dalam hal pinjaman
internasional akan dapat meningkatkan
saling
membutuhkan antara penerima kredit dengan pemberi kredit. Pemberian
kredit oleh Negara lain akan meningkatkan kerja sama di bidang lainnya.
Penyaluran kredit memegang peranan penting dalam pertumbuhan
perekonomian suatu Negara, berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia
periode Desember 2008 – Desember 2014 LDR BPR di Provinsi Bali berkisar
79,69 persen –78,96 persen menurut ketentuan Bank Indonesia angka LDR
berkisar antara 85 persen – 110 persen (Manurung Raharja 2004). Semakin tinggi
LDR maka semakin tinggi kemampuan bank dalam menyalurkan kredit, yang
berarti fungsi itermediasi bank semakin baik, tapi LDR yang terlalu tinggi dapat
meningkatkan resiko likuiditas bank.
32
Menurut (Mulyono 1995), rasio LDR merupakan rasio perbandingan
antara jumlah dana yang disalurkan ke masyarakat dengan jumlah dana
masyarakat dan modal sendiri yang digunakan. LDR sendiri merupakan indikator
dalam pengukuran fungsi intermediasi perbankan di Indonesia. Rasio LDR
dihitung dari total kredit yang diberikan dibagi dengan dana yang diterima
( Suyanto 2013). LDR merupakan indikator untuk mengukur fungsi intermediasi
perbankan sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/23/DPNP tanggal
31 Mei 2004, rasio LDR dihitung dari jumlah kredit yang diberikan kepada pihak
ketiga (tidak termasuk antar bank) dibagi dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang
mencakup tabungan dan deposito (tidak termasuk antar bank).
Jumlah kredit yang diberikan
LDR = ----------------------------------------X 100%
Dana pihak ketiga
Menurut (Sartono 2001), LDR yang tinggi menunjukan bahwa suatu bank
meminjamkan seluruh danannya (loan-up) atau menjadi tidak likuid (illiquid).
LDR yang rendah menunjukkan bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas
dana untuk dipinjamkan. Jadi seberapa besar kredit yang dapat disalurkan tanpa
mengabaikan tingkat likuiditas bank dalam mengantisipasi penarikan dana oleh
para penyimpannya.
Menurut (Sudirman 2013) tingkat kesehatan bank juga dapat di ukur
dengan LDR, dimana rasio LDR 115 perseratus atau lebih diberi nilai kredit 0
(nol) dan setiap penurunan 1 perseratus mulai dari 115 persen, nilai kredit
ditambah 4 (empat) poin demikian seterusnya hingga 100 (seratus). Dari sisi
33
LDR, usaha meningkatkan kesehatan BPR dapat ditempuh langkah, mengurangi
kredit yang disalurkan oleh BPR dengan dana yang diterima oleh BPR dalam
jumlah tertentu. Dengan jumlah kredit tertentu, jumlah dana yang diterima oleh
BPR dinaikkan, diusahakan peningkatan itu dari modal inti dan pinjaman.
Pengurangan atau penambahan kredit lebih dari pengurangan atau penambahan
dana yang di terima oleh BPR.
Sumber dana BPR berasal dari dalam BPR sendiri yaitu dari setoran
modal oleh pemegang saham, masyarakat luas dan dana yang bersumber dari
lembaga lain. Menurut (Kasmir 2011) sumber dana dari dalam BPR dapat berupa
setoran modal dari pemegang saham, cadangan-cadangan laba pada tahun lalu
yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham dan laba bank yang belum
dibagikan pada tahun yang bersangkutan. Dana BPR yang bersumber dari
masyarakat luas dapat berupa simpanan tabungan maupun simpanan deposito.
Menurut Undang-Undang Perbankan No 10 tahun 1998 tabungan adalah
simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat
tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau
alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Deposito merupakan simpanan
berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan sesuai dengan jangka waktu
tertentu berdasarkan kesepakatan antara penyimpan dengan BPR.
2.1.3 NPL (Non Performing Loan)
Pengertian NPL atau kredit bermasalah adalah merupakan indikator kunci
untuk menilai kinerja fungsi bank dalam menyalurkan kredit. Salah satu fungsi
bank adalah sebagai lembaga intermediasi atau penghubung antara yang
34
berkelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Menurut Darmawan,
(2004) NPL merupakan rasio yang dipergunakan untuk mengukur kemampuan
bank dalam meng-cover resiko kegagalan pengembalian kredit oleh debitur.
Resiko kredit dapat di ukur dengan NPL, jadi semakain tinggi tingkat NPL maka
semakin besar pula resiko kredit yang ditanggung oleh pihak bank (Ali 2004).
Akibat tingginya NPL suatu bank akan mengharuskan pembentukan cadangan
yang lebih besar yang pada akhirnya akan menyebabkan modal bank akan
terkikis. Pedahal jumlah modal akan sangat mempengaruhi kemampuan bank
dalam menyalurkan kredit. Besarnya NPL menjadi salah satu penyebab sulitnya
perbankan untuk menyalurkan kredit (Sentausa 2009).
Kredit yang disalurkan dikatakan bermasalah bila pengembalian kredit
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit, bahkan tidak
dikembalikan sama sekali. Menurut (Manurung 2004) kredit bermasalah /NPL
dapat dikelompokkan menjadi kredit tidak lancar dan kredit macet. Dalam SE BI
No. 23/12/BPPP, Febroari 1991, klasifikasi kredit digolongkan menjadi 1). Kredit
lancar, 2). Kredit kurang lancar, 3). Kredit yang diragukan, 4). Kredit macet.
Definisi NPL menurut IMF (2005 dalam Wiwin 2006), “A loan is
nonferforming when payments of interest and principal are past due by 90
days or more, or at least 90 days of interest payments have been
capitalized, refinanced or delayed by agreement, or payments are less then
90 day overdue, but there are other good reasons to doubt that payments
will be made in full”
Berdasarkan ketentuan Bank
kolektibilitasnya dibagi menjadi:
Indonesia kredit
digolongkan berdasarkan
35
1). Lancar
Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga, atau terdapat
tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga tidak lebih dari tiga kali angsuran
dan kredit belum jatuh tempo.
2). Kurang lancar
Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari tiga kali
angsuran tetapi tidak lebih dari enam kali angsuran, atau kredit telah jatuh
tempo tidak lebih dari satu bulan.
3). Diragukan
Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari enam kali
angsuran tetapi tidak lebih dari dua belas kali angsuran, atau kredit telah jatuh
tempo lebih dari satu bulan tetapi tidak lebih dari dua bulan.
4). Macet
Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga lebih dari dua belas kali
angsura, kredit telah jatuh tempo lebih dari dua bulan, kredit telah diserahkan
kepada Badan Urusan Piutang Negara, atau kredit telah diajukan penggantian
ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.
Dalam mengatasi kredit bermasalah usaha yang dapat dilakukan untuk
menyelamatkan kredit adalah:
1). Rescheduling
Adalah penjadwalan kembali sebagian atau seluruh kewajiban debitur, yang
merupakan langkah pertama dari pihak bank untuk menyelamatkan kredit
yang diberikannya kepada debitur.
36
2). Reconditioning
Tindakan dari pihak bank untuk menyelamatkan kredit yang diberikannya
dengan cara mengubah sebagian atau seluruh kondisi (persyaratan) yang
semula disepakati bersama pihak debitur dan dituangkan dalam perjanjian
kredit (PK).
3). Restructuring
Tindakan penyelamatan kredit yang terpaksa harus dilakukan bank dengan
cara mengubah komposisi pembiayaan yang mendasari pemberian kredit.
Pembiayaan suatu proyek atau bisnis tidak seluruhnya berasal dari modal
(dana) sendiri, tetapi sebagian besar dibiayai dengan kredit yang diperoleh
dari bank.
4). Kombinasi 3-R
Untuk penyelamatan kredit bermasalah (rescue program), bila dianggap perlu
bank dapat melakukan berbagai kombinasi dari tindakan rescheduling,
reconditioning, dan restructuring tersebut diatas, yakni:
(a) Rescheduling dan reconditioning,
(b) Rescheduling dan restructuring,
(c) Restructuring dan reconditioning,
(d) Rescheduling, reconditioning, dan restructuring sekaligus.
(e). Eksekusi
Jika semua usaha penyelamatan seperti diuraikan di atas sudah dicoba
namun nasabah masih juga tidak mampu memenuhi kewajibannya terhadap bank,
37
maka jalan terakhir adalah bank melakukan eksekusi melalui berbagai cara, antara
lain:
(a) Menyerahkan kewajiban kepada BUPN (Badan Urusan Piutang Negara),
(b) Menyerahkan perkara ke pengadilan negeri (perkara perdata).
(Johnshyn 2009), dalam penelitiannya mengenai pengaruh prudential
banking terhadap proporsi penyaluran kredit pada Bank Mandiri (Pesero) Tbk.
Dimana berdasarkan hasil penelitian bahwa CAR dan NPL berpengaruh simultan
dan signifikan terhadap proposi penyaluran kedit. Rasio CAR dan NPL
berpengaruh secara partial dan signifikan terhadap proporsi penyaluran kredit.
Menurut (Pratama 2010) NPL berpengaruh signifiken negatiif terhadap
penyaluran kredit, dan menurut (Hermant dkk 2005) dan (Budiawan 2008) NPL
berpengaruh negatif terhadap kredit perbankkan. Dengan demikian NPL
diprediksi berpengaruh negatif terhadap kredit perbankkan.
2.1.4 Return On Asset (ROA)
ROA merupakan kemampuan dari modal yang diinvestasikan kedalam
seluruh aktiva perusahaan untuk menghasilakan keuntungan. ROA menggunakan
laba sebagai salah satu cara untuk menilai efektivitas dalam penggunaan aktiva
perusahaan dalam menghasilakan laba. Semakin tinggi laba perusahaan maka
semakin besar rasio ROA, hal ini berarti bahwa prusahaan semakin efektif dalam
menggunakan
aktiva untuk
menghasilkan
laba.
Setiap
bank
berusaha
meningkatkan laba atau keuntungannya dengan menempuh cara sebagai berikut
(Sudirman 2013):
38
1) Meningkatkan pendapatan bank dengan cara meningkatkan jumlah aktiva
produktif seperti kredit, penanaman dana dan penempatan dana dibanding
dengan bentuk aktiva lainnya seperti rupa-rupa aktiva, aktiva tetap, dan
inventaris. Dengan tingginya aktiva produktif di balik aktiva lain yang
nonproduktif relatif rendah akan terbentuk pendapatan bank yang tinggi
sehingga rentabilitas menjadi tinggi atau sebaliknya.
2) Pendapatan bank yang tinggi dengan biaya oprasional yang rendah akan
meningkatkan rentabilitas atau sebaliknya.
3) Meningkatkan kualitas aktiva produktif sehingga meningkatkan pendapatan
bank yang akhirnya meningkatkan rentabilitas bank atau sebaliknya.
Laba BPR adalah merupakan seluruh penerimaan yang diterima dalam
setahun buku setelah dikurangi dengan semua biaya-biaya yang dikeluarkan
dalam satu tahun buku. Pendapatan bersih bank merupakan jumlah penghasilan
yang diperoleh bank karena bank merupakan badan usaha. Pendapatan bersih
tersebut dapat dipakai untuk menambah modal bank di samping juga untuk
dibagikan kepada pemegang saham yang disebut deviden. (Sudirman 2013) Laba
BPR akan meberikan pengaruh positif terhadap penguatan modal BPR sehingga
kemampuan BPR dalam menyalurkan kredit akan semakin meningkat. ROA dapat
dihitung berdasarkan perbandingan antara laba selama 12 bulan terahir dibagi
dengan jumlah seluruh aktiva bank selama 12 bulan terahir (SE BI No.
6/23/DPNP 2004).
ROA =
Laba sebelum pajak
------------------------------------ X 100%
Rata-rata total aset
39
Salah satu parameter untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank adalah
tingkat kemampuan bank untuk menghasilkan laba yaitu ROA. Jadi ROA
merupakan salah satu unsur rasio untuk menentukan tingkat kesehatan BPR. (Ali
2013) Jika rasio ROA kurang atau sama dengan 0, maka nilai kredit adalah 0
(nol), untuk setiap kenaikan 0,015 persen nilai kredit ditambah 1 (satu) dari 0
(nol) dengan angka maksimal 100 (seratus). ROA lebih besar atau sama dengan
1,215 persen BPR dikatagorikan sehat, ROA dibawah 1,215 persen sampai
dengan 0,999 persen di katagorikan cukup sehat, ROA di bawah 0,999 persen
sampai dengan 0,765 persen di katagorikan kurang sehat dan untuk ROA dibawah
0,765 persen dikategorikan tidak sehat.
2.1.5 Bunga Dana Pihak Ketiga
Pengertian bunga menurut (Kasmir 2011) adalah balas jasa yang diberikan
oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli
atau menjual produknya. Bunga bagi bank dapat diartikan sebagai harga yang
harus dibayar kepada nasabah penyimpan dan harga yang harus dibayar oleh
nasabah kepada bank dari yang memperoleh pinjaman.
Dana bank yang bersumber dari luar bank atau dari masyarakat disebut
juga dana pihak ketiga atau DPK berbentuk giro, tabungan deposito, dan pinjaman
serta bentuk lain yang dipersamakan dengan itu (Sudirman, 2013). DPK
merupakan dana masyarakat yang dihimpun oleh BPR yang mana pada saatnya
dana tersebut akan ditarik oleh masyarakat. Yang dimaksudkan masyarakat adalah
perorangan, kelompok, dan lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan
bank.
40
Dana-dana yang dihimpun oleh BPR akan tercatat pada sisi sebelah kanan
neraca. Dana-dana tersebut berupa dana dari hasil kegiatan BPR yang dapat
berupa laba BPR, disamping itu dana yang bersumber dari setoran modal oleh
pemilik BPR, simpanan masyarakat di BPR dan pinjaman yang diterima dari
pihak lainnya. Laba BPR bersumber dari selisih antara jumlah pendapatan dengan
jumlah pengeluaran BPR. Menurut (Sudirman 2013) Dana Bank dapat dibedakan
menurut sumber dana dan cara penghimpunannya. Dana bank menurut sumbernya
dibedakan menjadi:
1) Dana pihak kesatu
Dana bank yang bersumber dari dalam bank sendiri disebut dana sendiri yang
berupa modal yang disetor oleh pemilik bank atau oleh pemegang saham bank,
laba ditahan, laba berjalan, dan cadangan. Modal yang disetor oleh pemilik bank
atau pemegang saham bank adalah sejumlah uang tunai yang dimilki oleh pemilik
bank atau pemegang saham bank yang bersumber dari bukan pinjaman yang
disetor tunai di bank sebagai tambahan modal dan dinotoriilkan. Laba ditahan
adalah laba bersih bank setelah dikurangi pajak. Laba berjalan adalah laba
sebelum tahun buku pada akhir tahun takwim yaitu 31 Desember. Cadangan
adalah bagian dari laba yang ditahan yang diperuntukan sebagai cadangan umum
maupun cadangan khusus.
2) Dana pihak kedua
Dana pihak kedua adalah dana yang berupa pinjaman dari pihak luar. Jadi
dana bank yang diperoleh dari pinjaman dengan jangka waktu panjang yang
diterima dari pihak luar bank.
41
3) Dana pihak ketiga
Dana bank yang bersumber dari luar atau dari masyarakat disebut juga
dana pihak ketiga atau DPK berbentuk giro, tabungan, deposito dan pinjaman,
serta bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. DPK merupakan utang bagi bank
sehingga pada saatnya dana tersebut ditarik oleh masyarakat.
Menurut Suyanto i (2013) Bank Pekreditan Rakyat mempunyai fungsi
menghimpun dana dalam bentuk mata uang rupiah dari masyarakat untuk
kemudian melempar kembali dana itu dalam bentuk pinjaman kredit kepada
masyarakat yang membutuhkan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Dana itu disebut sebagai dana pihak ketiga. Jadi dana pihak ketiga adalah
dana yang diperoleh dari masyarakat, baik itu masyarakat sebagai individu,
perusahaan, pemerintah, rumah tangga, koperasi, yayasan, dan lain-lain, dalam
mata uang rupiah. Bagi sebagian besar atau bahkan setiap BPR, dana masyarakat
merupakan dana terbesar yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan fungsi BPR sebagai
penghimpun dana masyarakat.
Dari dana pihak ketiga yang terkumpul, BPR akan mengeluarkan biaya
balas jasa kepada pemilik dana berupa bunga. Bunga di bank konvensional dapat
disebut sebagai balas jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi suku bunga simpanan antara lain, kebutuhan
dana, persaingan, dan target laba yang diinginkan bank. Apabila permohonan
kredit meningkat, maka yang akan dilakukan oleh BPR agar dana tersebut cepat
terpenuhi dengan meningkatkan suku bunga simpanan, untuk menarik nasabah
agar menyimpan uangnya di BPR, maka tingkat Bungan dari lembaga lainnya
42
akan menjadi pertimbangan juga. Menurut (Sudirman 2013) jika pada suatu saat
suku bunga menunjukkan kenaikan hingga melampaui angka yang ditetapkan,
maka Bank Indonesia akan segera melakukan kebijakan ekspansi menoter
sehingga tingkat suku bunga uang menunjukkan penurunan hingga di bawah
yang ditetapkan. Sebaliknya bila tingkat suku bunga berada di bawah tingkat suku
bunga yang ditetapkan maka Bank Indonesia akan melakukan kebijakan moneter
yang kontraktif sehingga tingkat suku bunga naik kembali pada suku bungan yang
ditetapkan atau sebaliknya. Suku bunga DPK akan sangat menetukan biaya yang
akan dikeluarkan oleh BPR dalam rangka biaya oprasional yang harus menjadi
beban BPR.
2.1.6 Bunga Kredit
Dari dana yang berhasil dihimpun oleh BPR akan dimanfaatkan untuk
menunjang aktifitas perusahaanseperti
untuk likuiditas, untuk dibelikan
inventaris, ditempatkan di bank lain dan untuk disalurkan dalam bentuk kredit
pada masyarakat. Menurut (Sudirman 2013) penyaluran dana bank adalah dana
bank yang diproduktifkan untuk memperoleh pendapatan bank berupa bunga
uang. Pendapatan utama BPR
lebih banyak berasal dari bunga kredit yang
diterima. Pengelolaan dana sebuah bank selalu dikaitkan dengan pendapatan bank
agar mampu untuk menutup biaya, risiko, pajak dan mampu memperoleh
keuntungan bank.
Bunga kredit adalah sejumlah besaran suku bunga yang dibebankan
kepada peminjam sebagai balas jasa atas modal yang dipergunakan. Tingkat suku
bunga kredit akan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga dana yang berhasil
43
dihimpun ditambah dengan biaya-biaya yang timbul dalam proses penghimpunan
dana tersebut. Menurut (Kasmir 2000) dalam bank dan lembaga lainnya bunga
kredit adalah harga yang harus dibayar oleh debitur kepada bank. Sedangkan
menurut (Muchdarsyah 1993) bahwa bunga kredit merupakan suatu ganti rugi
atas penggunaan dana oleh nasabah. Dari pengertian tersebut diatas, dapat
diartikan bahwa bunga kredit merupakan keuntungan Bank yang diterima atas
pinjaman uang kepada nasabah dan sebaliknya bagi nasabah merupakan biaya
modal yang harus dikeluarkan pihak nasabah atas penggunaan fasilitas kredit
bank.
Saat ini terlihat pada neraca BPR didominasi oleh kredit sehingga
pendapatan bunga kredit sangat mendominasi pendapatan bunga kredit
dibandingkan dengan non bunga atau free based income. Dengan demikian
penetapan bunga kredit suatu bank merupakan kebijaksanaan yang penting dan
strategis sehingga dalam pengambilan keputusan tingkat suku bunga yang harus
diberikan senantiasa memperhatikan seluruh factor yang mempengaruhinya dan
dalam pelaksanaannya harus didukung dengan perangkat administrasi yang baik.
Suku bunga kredit akan sangat dipengaruhi oleh factor internal yaitu tingkat
efisiensi pengelolaan dan faktor ekternal diantaranya berlakunya tingkat bunga
dipasar uang atau sumber dana bank.
2.1.7 Suku Bunga Bank Indonesia (SBI)
BI rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau
stance kebijakan moneter yang ditapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan
kepada publik. BI rate diumumkan oleh dewan Gubernur Bank Indonesia setiap
44
Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter
yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity
management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan
moneter. Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan
suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku
bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga
deposito, dan pada
gilirannya suku
bunga kredit perbankan.
Dengan
mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia
pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan
melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan
menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah
sasaran yang telah ditetapkan.
Pengaruh kebijakan moneter Bank Indonesia pada gilirannya akan
berdampak pada BPR seperti kinerja perolehan laba yang akan sangat ditentukan
oleh kebijakan penentuan suku bunga SBI (BI rate) dan kebijakan Bank Indonesia
dalam mengendalikan jumlah uang beredar melalui instrumen Giro Wajib
Minimum (GWM). Dinamika pergerakan SBI dan GWM pada gilirannya akan
mempengaruhi Net Interest Margin (NIM)/marjin bunga bersih dan LDR, yang
mempengaruhi suku bunga tabungan, serta pada saatnya memberi dampak kepada
kemampuan perbankan dalam menetapkan suku bunga pinjaman kepada
masyarakat pengusaha dan warga lainnya ( Sudirman 2013).
45
2.2 Hubungan Antara SBI Dengan ROA
Perubahan suku bunga (SBI) yang tidak wajar akan secara langsung
menyebabkan terganggunya lembaga keuangan bank. Dengan bunga uang yang
tinggi akan menyebabkan minat masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank
semakin tinggi sehingga jumlah likuditas bank akan besar sehingga kemampuan
bank untuk menyalurkan kredit juga besar. Meningkatnya suku bunga akan
menyebabkan
biaya bunga yang dikeluarkan oleh BPR juga meningkat.
Bersamaan dengan itu suku bunga kredit juga akan meningkat sehingga akan
mengurangi minat masyarakat untuk melakukan investasi karena biaya dana untuk
berivestasi akan naik, sehingga permintaan kredit akan berkurang. Menurunnya
jumlah kredit yang dapat disalurkan akan mengurangi pendapatan dari bunga
kredit. Suku bunga yang terlalu tinggi dapat meyebabkan turunnya penerimaan
dari sisi pendapatan bunga kredit akibat dari jumlah kredit yang tersalur menurun
dan pada sisi lain tingginya suku bunga dana akan menyebabkan biaya bungan
DPK akan meningkat sehingga
laba BPR akan menurun yang berakibat pada
ROA akan turun.
2.3 Hubungan antra LDR dengan ROA
(Kosmidou 2008)
berpendapat
bahwa
bila tingkat
kemakmuran
masyarakat meningkat, maka diharapkan akan semakin tinggi permintaan dan
penawaran akan pinjaman maupun tabungan dari masyarakatan kepada BPR.
Tingginya tingkat permintaan dan penawaran akan pinjaman dan tabungan
memiliki pengaruh positif terhadap ROA. Dari sisi likuiditas LDR yang terlalu
tinggi maka akan menurunkan tingkat likuiditas sehingga akan mendorong BPR
46
untuk menyerap dana masyarakat sehingga akan terjadi persaingan dalam
memperoleh dana yang dapat berakibat kenaikan suku bungan dana, sebaliknya
LDR yang rendah akan menyebabkan BPR kelebihan likuiditas. Dari sisi
Profitabilitas, LDR yang tinggi mencerminkan pemanfaatan dana BPR secara
maksimal yang berarti penerimaan pendapatan bungan yang diterima dari kredit
yang disalurkan akan meningkat yang pada akhirnya bisa meningkatkan
profitabilitas BPR dan akan mempengaruhi ROA.
2.4 Hubungan antara NPL dengan ROA
LDR yang tinggi berarti pendapatan bunga yang diperoleh dari kredit yang
disalurkan juga akan tinggi, penilaian dalam pemberian kredit harus dilakukan
dengan baik karena akan menentukan kolektibilitas kredit yang diberikan. Bila
penilaian dalam pemberian kredit tidak dilakukan dengan baik, maka kredit macet
akan meningkat yang terindikasi dari NPL yang tinggi, demikian juga sebaliknya
bila penilaian dalam pemberian kredit dilakukan secara cermat, maka angka
kredit macet akan mengalami penurunan dan NPL juga rendah.
NPL yang tinggi menceminkan tingginya resiko kredit yang disalurkan
oleh BPR. Semakin tinggi tingkat resiko kredit maka semakin tinggi biaya
cadangan resiko kredit yang harus dibentuk oleh BPR, sebaliknya semakin rendah
resiko kredit biaya yang dicadangkan juga akan menurun. NPL yang tinggi
berpeluang menyebabkan kredit gagal bayar oleh nasabah yang dapat
menyebabkan kerugian bagi BPR. Naik turunya NPL akan berpengaruh pada
kemampuan perolehan laba bagi BPR yang dapat mempengaruhi ROA.
47
2.5 Keaslian Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Voordeckers dan Steijvers (2003) dengan
metode analisis model continuation-ratio logit justru menunjukkan bahwa pada
usaha kecil dan menengah di Belgia kondisi internal yang ada di dalam
perusahaan berpengaruh positif terhadap terbentuknya strategi yang ada di bagian
kredit. (Fedorenko dkk 2007) juga mengungkapkan di Taiwan sistem-sistem
internal yang digunakan oleh bank dalam memberikan kredit berpengaruh positif
terhadap jangka waktu dalam pemberian kredit. Penelitian ini menggunakan
analisis model empiris. (Ono dan Uesugi 2005) meneliti usaha peminjaman uang
berskala kecil dan menengah di Jepang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
kondisi internal perusahaan berpengaruh negatif terhadap strategi pemberian
kredit, dimana terlalu banyak campur tangan dari pemilik/pengelola dalam
menjalankan strategi yang dijalankan sehingga banyak strategi yang dibuat untuk
kepentingan pribadi. Hal tersebut didukung pula oleh penelitian yang dilakukan
oleh (Klapper 2001). Kedua penelitian tersebut menggunakan analisa regresi
linear.
Hasil penelitian (Jiménez dkk 2007), kondisi calon debitur seperti kondisi
spesifik calon debitur turut mempengaruhi manajemen dalam menentukan strategi
yang akan dijalankan oleh suatu lembaga keuangan. Hasil tersebut diperoleh dari
penelitian yang dilakukan di Spanyol. Demikian juga yang diungkapkan oleh
(Kyaw 2008) yang melakukan penelitian pada lembaga keuangan yang melakukan
pembiayaan pada sektor usaha kecil dan menengah di Myanmar dengan
menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. (Elsas dan Krahnen 2002) dengan
48
analisis model empiris mendapatkan hasil bahwa kondisi calon debitur
berpengaruh negatif terhadap pemberian kredit, yang justru mempunyai pengaruh
adalah kondisi internal atau kondisi yang ada di perusahaan tersebut. Selain itu,
yang bisa mengetahui kondisi pasti suatu bank adalah pihak internalnya sendiri,
sehingga mampu menyusun strategi-starategi untuk memaksimalkan kinerjanya,
sehingga dapat dikatakan strategi yang dijalankan suatu bank harus berdasarkan
sistem yang ada dalam bank tersebut. Hal tersebut didukung pula oleh penelitian
yang dilakukan oleh
(Felix dan Claudine
2008). Penelitian tersebut
menggunakan analisis regresi linear.
Dengan metode analisis empiris (Jiménez 2007),
kondisi eksternal
seperti kondisi pasar secara umum turut mempengaruhi manajemen dalam
menentukan strategi yang akan dijalankan oleh suatu lembaga keuangan. Hasil
tersebut diperoleh dari penelitian yang dilakukan di Spanyol. Hasil yang sama
diperoleh juga dari penelitian yang dilakukan oleh
(Klapper 2001) dengan
menggunakan analisa regresi linear.
(Voordeckers dan Steijvers 2003) dengan metode analisis model
continuation-ratio logit justru menunjukkan bahwa pada usaha kecil dan
menengah di Belgia kondisi lingkungan di luar perusahaan berpengaruh negative
terhadap terbentuknya strategi yang ada di bagian kredit. Hal tersebut didukung
pula oleh penelitian yang dilakukan oleh (Felix dan Claudine 2008). Penelitian
tersebut menggunakan analisa regresi linear.
Penelitian di lembaga keuangan di Amerika oleh (Manove dkk 2001)
dengan menggunakan data equilibrium menunjukkan bahwa strategi pemberian
49
kredit justru meningkatkan rasio NPL. Hal tersebut juga diungkapakan oleh
(Petersson dan Wadman 2004) yang meneliti pasar kredit di Italia dan Swedia
dengan menggunakan media interview. Dari dua penelitian di atas terungkap
bahwa NPL lebih dipengaruhi oleh faktor di luar manajemen, seperti keadaan
pasar yang terlambat diantisipasi oleh strategi yang dibuat oleh manajemen dalam
memaksimalkan kinerja perusahaan, terutama menekan rasio NPL.
Menurut (Chen 2003), yang meneliti perilaku lembaga keuangan di Cina,
strategi pemberian kredit justru mempunyai pengaruh negatif terhadap NPL.
Dimana strategi pemberian kredit yang baik dinilai mampu membuat
menurunkan NPL, dalam hal ini strategi pemberian kredit dan NPL mempunyai
arah yang berlawanan. Demkian juga yang diungkapkan oleh (Hwang dan Wu
2006) yang melakukan penelitian di Taiwan. Kedua penelitian ini sama-sama
menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
50
Download