BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan yang sangat besar, terutama dalam hal keanekaragaman hayati di darat maupun di laut, termasuk di dalamnya keanekaragaman tumbuhan. Beberapa tumbuhan diantaranya mengandung metabolit sekunder yang dapat digunakan dalam perkembangan obat tradisional di Indonesia. Obat tradisional adalah obat dari alam yang telah digunakan turuntemurun sehingga cara, takaran, lama penggunaan, khasiat dan tujuan penggunaannya telah diketahui berdasarkan penuturan nenek moyang. Oleh karena itu, obat-obat tradisional yang digunakan untuk pengobatan dianggap mempunyai efek terapi. Akan tetapi pembuktian ilmiah mengenai khasiat dan pengawasan efek samping obat tradisional belum banyak dilakukan (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan. Flavonoid termasuk senyawa alam yang potensial sebagai antioksidan yang dapat dikembangkan sebagai obat. Senyawa-senyawa ini dapat ditemukan pada batang, daun, bunga dan buah. Beberapa flavonoid dalam tubuh manusia dilaporkan mempunyai aktivitas antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Selain itu beberapa flavonoid yang lain juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Hoffmann, 2003). 1 2 Flavonoid di alam dapat berada dalam bentuk aglikon dari suatu glikosida. Sebagai contoh, flavonoid kuersetin merupakan aglikon dari glikosida rutin. Rutin sebagai salah satu jenis dari flavonoid, banyak ditemukan di tumbuhan tingkat tinggi. Rutin banyak memiliki manfaat yang dapat digunakan dalam pengobatan. Berdasarkan studi in vitro terhadap rutin, menunjukkan hasil bahwa rutin memiliki kemampuan sebagai antivirus dan antibakteri (Hoffmann, 2003). Rutin merupakan antioksidan dan termasuk metabolit sekunder dari tumbuhan yang disebut dengan bioflavonoid. Rutin dapat pula disebut dengan rutoside dan quercetin-3-rutinoside (Anonim, 1997). Rutin banyak diperoleh dari alam seperti dalam kentang, ubi jalar, wortel, jeruk, teh hitam dan kulit apel. Rutin juga memiliki manfaat dalam bidang kesehatan antara lain meningkatkan keefektifan dari vitamin C, menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan sebagai antioksidan yang poten. Selain itu rutin juga berperan dalam pengobatan glukoma, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan alergi. Bentuk aglikon dari rutin, yakni kuersetin, memiliki gugus OH bebas yang sudah terbukti secara in vitro mampu menghambat sitokrom P450 dalam metabolisme parasetamol (Yan Li dkk., 1994). Gugus OH bebas ini juga dimiliki oleh rutin yang merupakan bentuk glikosida kuersetin. Diantara sekian banyak obat yang dimetabolisme oleh sitokrom P450, salah satunya adalah obat analgetik parasetamol. Parasetamol sendiri aman dan efektif ketika digunakan dalam dosis yang direkomendasikan untuk terapi, namun dapat mengakibatkan kerusakan hepar dan ginjal bahkan sampai kematian apabila dikonsumsi dalam jumlah overdosis dan dapat diperparah apabila konsumsi bersama dengan alkohol dan 3 obat lain. Mekanisme hepatotoksik parasetamol disebabkan oleh kerusakan sel hepar yang dihasilkan dari metabolit yang terbentuk pada saat reaksi dengan sitokrom P450. Jalur metabolisme utama parasetamol dosis terapetik yakni melalui glukoronidasi dan sulfasi di hepar, dan hanya sedikit dari dosis yang dapat menghasilkan NAPQI yang berasal dari jalur metabolisme oksidasi oleh sitokrom P450. NAPQI dalam jumlah tersebut dapat didetoksifikasi melalui konjugasi dengan glutation (GSH). Parasetamol dalam dosis berlebihan, menyebabkan kejenuhan jalur sulfasi dan glukoronidasi, sehingga terbentuk NAPQI dalam jumlah besar yang mengakibatkan deplesi GSH. Pada akhirnya NAPQI akan bereaksi dengan makromolekul sehingga menyebabkan kerusakan dan kematian sel di hepar (Yan Li dkk., 1994). Rutin yang diduga memiliki pengaruh terhadap metabolisme parasetamol, maka akan berpengaruh juga terhadap toksisitas hepar yang diakibatkan oleh parasetamol. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan secara in vivo pada mencit jantan, juga telah membuktikan bahwa rutin dapat memberikan proteksi terhadap kerusakan hepar akibat parasetamol. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa rutin merupakan antioksidan alami yang termasuk kelas bioflavonoid, dan terbukti dapat memberikan perlindungan terhadap kerusakan hepar dan ginjal yang disebabkan oleh parasetamol yang ditunjukkan dengan penurunan kadar AST, ALT, dan ALP (Awah dkk., 2012). Namun belum ada penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana efek rutin terhadap daya analgetik dan hepatotoksisitas parasetamol yang dilakukan pada mencit. Dasar inilah yang mendorong peneliti 4 melakukan penelitian, sehingga diharapkan dapat diketahui khasiat rutin lainnya yang dapat bermanfaat bagi pengembangan obat tradisional di Indonesia. B. Perumusan Masalah Dari uraian diatas, dirumuskan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana pengaruh rutin terhadap efek analgetik parasetamol pada mencit? 2. Bagaimana pengaruh rutin terhadap hepatotoksisitas parasetamol pada mencit? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Pengaruh rutin terhadap efek analgetik parasetamol pada mencit 2. Pengaruh rutin terhadap hepatotoksisitas parasetamol pada mencit D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah pengaruh rutin terhadap efikasi dan hepatotoksisitas parasetamol pada mencit. E. 1. Tinjauan Pustaka Parasetamol sebagai analgetik Parasetamol yang memiliki nama lain asetaminofen merupakan senyawa turunan paminofenol yang berfungsi sebagai analgetik- antipiretik. Selain asetaminofen, nama lain parasetamol adalah asetafenum, p- 5 asetamidofenol, N-asetil-p-aminofenol, p-hidroksi asetanilid. Parasetamol mempunyai rumus formula C8H9NO2 dengan berat molekul 151,16. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C8H9NO2 dihitung terhadap zat anhidrat. Parasetamol berbentuk serbuk hablur, berwarna putih, tidak berbau dengan sedikit rasa pahit. Parasetamol disimpan dalam wadah tertutup rapat dan tidak tembus cahaya. Jarak leburnya yakni antara 168 o172oC. Parasetamol larut dalam air mendidih dan NaOH 0,1 N, serta mudah larut dalam etanol. Berikut merupakan struktur kimia parasetamol (Kalantzi dkk., 2006): Gambar 1. Struktur kimia parasetamol Parasetamol merupakan metabolit fenasetin yang bertanggung jawab pada efek analgetiknya. Bila dibandingkan dengan aspirin, daya kerja analgetiknya sama kuat, hanya saja parasetamol memiliki durasi efek yang lebih singkat. Selain itu, parasetamol tidak menimbulkan pendarahan di lambung seperti aspirin, sehingga lebih banyak digunakan sebagai analgetik-antipiretik. Parasetamol juga tidak menimbulkan methemoglobinemia, agranulositosis serta anemia yang bisa ditimbulkan karena penggunaan fenasetin dan asetanilid (Tjay dan Rahardja, 2002). Absorbsi parasetamol tergantung pada kecepatan pengosongan lambung jika diberikan secara oral. Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran cerna, dan 6 metabolisme lintas pertama yang bermakna terjadi pada sel lumen usus dan hepatosit. Parasetamol dalam bentuk utuh aktif sebagai analgetik, sedangkan setelah mengalami metabolisme, parasetamol menjadi bentuk yang tidak aktif (Anonim, 2002). Adanya inhibisi pada metabolisme parasetamol menyebabkan parasetamol dalam bentuk utuh akan lebih banyak, sehingga akan menaikkan efek analgetik parasetamol. Metabolisme parasetamol ini terjadi di hepar melalui 3 jalur utama, yakni glukoronidasi, sulfasi dan oksidasi (Slattery dkk., 1989). Kurang dari 9% pada dosis terapi, parasetamol diekskresikan dalam bentuk tidak berubah di dalam urin (Miners dkk., 1992). Jalur metabolisme terbesar adalah melalui glukoronidasi, yakni sebesar 47%-62% dan hasil metabolisme bersifat tidak aktif serta tidak toksik (Koch-Weser, 1976). Metabolit ini kemudian disekresikan dalam empedu dan dieliminasi lewat urin. Jalur metabolisme terbesar kedua yakni melalui sulfasi (25%-36%). Metabolit dari jalur ini juga tidak bersifat aktif dan tidak toksik (Koch-Weser, 1976). Jalur metabolisme ketiga yakni melalui oksidasi, yakni sebesar 5%-8% parasetamol dimetabolisme oleh sitokrom P450. Ketika parasetamol dimetabolisme oleh sitokrom P450, terbentuk metabolit reaktif yang dikenal dengan NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinon-imine). Metabolit reaktif ini kemudian diinaktivasi oleh glutation menjadi bentuk konjugat asam merkapturat, yang tidak aktif dan tidak toksik (Koch-Weser, 1976). Parasetamol dan metabolitnya diekskresikan ke dalam urin. 7 Berikut merupakan skema metabolisme parasetamol dalam tubuh manusia (Beale dan Block, 2010): Gambar 2. Skema metabolisme parasetamol Mekanisme parasetamol sebagai analgetik masih belum diketahui dengan pasti. Terdapat dua kemungkinan efek parasetamol sebagai analgetik, yakni pada tingkat perifer dan susunan saraf pusat. Pada tingkat perifer, mekanisme analgetik parasetamol seperti pada mekanisme analgetik 8 pada umumnya, yakni dengan melalui penghambatan mediator-mediator nyeri. Di beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa parasetamol memiliki mekanisme analgetik dengan menghambat induksi hiperalgesia oleh NMDA atau substansi P (Bjorkman, 1994), mengurangi pelepasan PGE2 di sumsum tulang belakang (Muth-Selbach dkk., 1999), atau bisa juga berefek pada serotonin di susunan saraf pusat (Pelissier dkk., 1995). 2. Pengaruh rutin dalam metabolisme parasetamol Rutin merupakan bentuk glikosida dari flavonoid kuersetin dengan ikatan gula rutinosida dan banyak dijumpai di berbagai buah dan sayuran misalnya: apel, anggur merah, teh, dan bawang merah. Nama lain dari rutin adalah rutoside dan quersetin-3-rutinoside (Anonim, 1997). Rumus formula dari rutin adalah C27H30O16 dan memiliki bobot molekul 610,5. Menurut Ekstra Farmakope Indonesia (1974), rutin mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 100,5% C27H30O16, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian rutin yakni berbentuk serbuk hablur halus, berwarna kuning pucat sampai hijau kekuningan pucat, tidak berbau atau berbau lemah khas dan tidak berasa. Senyawa ini mendamar pada suhu antara 185oC dan 192oC dan mengurai pada suhu antara 211oC dan 215oC. Rutin larut dalam 10.000 bagian air, 200 bagian air panas, 650 bagian etanol (95%), 60 bagian etanol (95%) panas. Kelarutan rutin yakni larut dalam metanol, isopropanol, gliserol, dan praktis tidak larut dalam kloroform, eter, eter minyak tanah, aseton, benzen, karbondisulfida. Rutin mudah larut dalam piridindan natrium hidroksida 1 N. Penyimpanan wadah tertutup 9 rapat dan terlindung dari cahaya. Berikut adalah struktur kimia dari rutin (Nguyen dkk., 2013): Gambar 3. Struktur kimia rutin Aktivitas farmakologi rutin dan kuersetin mirip, seperti kelompok flavon dan flavonol. Rutin memiliki kemampuan sebagai antiinflamasi karena kemampuannya menghambat enzim lipooksigenase. Secara in vitro juga terbukti rutin memiliki aktivitas sebagai antiviral dan antibakteri (Hoffmann, 2003). Gugus OH bebas yang dimiliki kuersetin terbukti dapat menghambat sitokrom P450 (Yan Li dkk., 1994). Gugus ini juga dimiliki oleh rutin yang merupakan bentuk glikosida dari kuersetin. Diantaranya sekian banyak obat yang dimetabolisme oleh sitokrom P450, salah satunya adalah obat analgetik parasetamol. Kuersetin menunjukkan pengaruh penghambatannya terhadap sitokrom P450 pada sub familia 3A4, 2E1, dan 1A2 sebagai enzim pemetabolisme parasetamol secara in vitro (Yan Li dkk., 1994). Karena gugus OH bebas yang dimiliki kuersetin juga dimiliki oleh rutin, maka diperkirakan metabolisme parasetamol juga akan dihambat oleh rutin. Salah 10 satu jalur biotransformasi yang dapat dihambat oleh rutin dosis tinggi adalah melalui sub familia 3A4 (Ping-Chuen dkk., 2001). Oleh sebab itu, penghambatan metabolisme oleh rutin ini dapat berefek pada efektivitas parasetamol sebagai analgetik. 3. Metode pengujian daya analgetik Metode pengujian daya analgetik bertujuan untuk mengetahui kemampuan suatu senyawa yang diuji untuk mengurangi rasa nyeri akibat suatu bahan penginduksi nyeri. Bahan penginduksi tersebut diberikan kepada hewan percobaan seperti mencit dan tikus, kemudian diteliti bagaimana ketahanan hewan percobaan tersebut dalam menahan rasa nyeri. Rasa nyeri dapat diberikan secara mekanik, termik, elektrik, maupun kimia. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi daya analgetik kuat biasanya menggunakan penginduksi nyeri secara mekanik dan termik. Pengujian daya analgetik didasarkan pada besarnya stimulus nyeri yang harus diberikan sampai didapatkan respon pada hewan percobaan, atau dengan mengukur ketahanan hewan terhadap respon nyeri, maupun dengan mengukur peranan frekuensi respon nyeri (Vogel, 2002). Berikut merupakan metode yang dapat digunakan dalam pengujian daya analgetik: a. Metode geliat Senyawa yang diuji dilihat kemampuannya dalam menghilangkan rasa nyeri akibat pemberian asam asetat secara intraperitoneal. Menurut Farmakope Edisi I (1965), asam asetat mengandung tidak kurang dari 11 32,5% dan tidak lebih dari 33,5% b/b C2H4O2. Asam asetat berbentuk cairan, jernih, tidak berwarna, bau merangsang, dan rasa asam yang tajam. Senyawa ini dapat bercampur dengan air, etanol (95%) dan dengan gliserol. Penyimpanan asam asetat di dalam wadah yang tertutup rapat. Respon nyeri yang ditimbulkan adalah geliat (writhing) pada hewan percobaan, yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki ke belakang. Frekuensi gerakan ini menyatakan suatu derajat nyeri yang dirasakannya (Vogel, 2002). Metode ini disebut juga sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test. Selain sederhana, dengan metode ini juga dapat memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer, dan dapat dipercaya (Vogel, 2002). b. Metode listrik Penginduksi nyeri yang digunakan dalam metode ini adalah aliran listrik (Vohora dan Dandiya, 1992). Manifestasi nyeri akibat aliran listrik ini akan menimbulkan gerakan atau cicitan. Senyawa uji yang memiliki daya analgetik besar, akan mampu menahan rasa nyeri akibat arus listrik yang besar pula. Hewan percobaan yang dapat digunakan antara lain dengan metode ini adalah mencit, tikus, kera, kucing, anjing, dan kelinci (Manihuruk, 2000). c. Metode panas Metode ini dapat menggunakan tiga cara antara lain dengan pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang dipertahankan pada 12 suhu 60±1oC, penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui kawat Ni panas (5,5±0,05 Amps) (Vohora dan Dandiya, 1992), dan dengan menggunakan hot plate (hewan uji diletakkan dalam beaker glass di atas plat panas (56±1 oC), kemudian akan menjilat kaki depan jika terasa nyeri akibat panas). Metode ini tepat digunakan untuk mengevaluasi analgesik sentral (Vogel, 2002). Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon dapat dijadikan parameter untuk mengevaluasi aktivitas analgesik. d. Metode mekanik Senyawa analgetik diuji dengan pemberian tekanan sebagai penginduksi nyeri pada ekor hewan percobaan. Pengukuran aktivitas didasarkan pada jumlah tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan rasa nyeri sebelum dan sesudah pemberian obat. Metode ini dapat diterapkan pada hewan mencit, tikus, dan anjing (Manihuruk, 2000). 4. Fisiologi dan fungsi hepar Hepar merupakan organ parenkim yang berukuran besar, yang berpola heksagonal dan berwarna coklat kemerah-merahan. Organ ini terletak di dalam rongga perut kanan atas, di bawah diafragma kanan, dan dilindungi tulang iga kanan bawah. Pada manusia dewasa, hepar berbobot sekitar 1,4 kg, dan terbagi menjadi dua lobus, yakni lobus kanan dan lobus kiri. Lobus kanan ukurannya enam kali bagian dari lobus kirinya. Setiap lobus terdiri atas ribuan lobulus yang merupakan unit fungsional. Setiap lobulus memiliki sel-sel hepatosit yang berbentuk kubus dan tersusun secara 13 melingkar mengelilingi vena sentralis. Di bagian interlobuler terdapat saluran empedu dan sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatika. Sinusoid ini dibatasi oleh sel-sel Kupffer yang merupakan sistem retikuloendotelial dan mempunyai fungsi serupa dengan sel makrofag (Stockham dan Scott, 2002). Dinding sinusoid dilapisi selapis endotel yang tidak kontinyu sehingga memungkinkan plasma darah langsung berhubungan dengan sel-sel hepatosit, sehingga terjadi pertukaran metabolit antara darah dan parenkim hepar (Fawcett, 2002). Organ hepar memiliki banyak fungsi, diantaranya untuk menyimpan dan menyaring darah, membentuk protein plasma seperti albumin, menghasilkan cairan empedu, sebagai tempat penyimpanan vitamin A dan zat besi. Dalam metabolisme tubuh, hepar juga berperan metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid yang dikirim oleh vena porta selain diabsorbsi dari usus. Hepar juga dapat mensintesis asam lemak, trigliserida, kolesterol, apolipoprotein, lipoprotein, dan kolesterol ester dalam fosfolipid. Beberapa bahan hasil metabolisme ini dapat tersimpan juga di dalam hepar, seperti glikogen, trigliserida, dan Cu (Stockham dan Scott, 2002). Fungsi lain hepar adalah sebagai organ pendetoksifikasi toksin dan radikal bebas, yakni melalui reaksi konjugasi dengan beberapa senyawa yang dihasilkan di dalam hepar, seperti glutation, asam glukoronat, glisin, dan asetat. Dengan adanya sel-sel Kupffer dalam hepar, menyebabkan hepar juga berperan dalam sistem pertahanan tubuh. Sel-sel Kupffer ini mempunyai kemampuan fagositosis sel-sel tua, partikel atau benda asing, 14 sel tumor, bakteri, virus, dan parasit di dalam hepar (Stockham dan Scott, 2002). Selain itu, kelebihan organ hepar lainnya adalah kemampuan regenerasi jaringan yang mati cukup besar sehingga akan cepat digantikan dengan jaringan yang baru. Kemampuan ini sangat penting dimiliki oleh hepar, mengingat hepar merupakan organ yang mudah mengalami kerusakan akibat racun maupun senyawa-senyawa asing. Hal ini disebabkan karena hepar menerima lebih dari 80% suplai darah dari vena porta. Vena tersebut membawa zat-zat toksik dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam mineral, dan zat-zat kimia lain yang diserap di usus ke darah portal untuk ditransportasi ke hepar. Alasan yang lain adalah karena hepar menghasilkan enzim-enzim biotransformasi untuk berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi dari dalam tubuh, sehingga memungkinkan pengaktifan beberapa zat menjadi senyawa yang lebih toksik dan dapat menyebabkan perlukaan sel hepar (Casarett dan Doulls, 1986). Meskipun demikian, hepar memiliki kapasitas cadangan yang besar. Hanya dengan 10%-20% saja jaringan hepar yang masih berfungsi, ternyata hal itu sudah cukup untuk mempertahankan hidup pemiliknya (Stockham dan Scott, 2002). Berikut merupakan jenis-jenis perlukaan atau kerusakan yang terjadi pada hepar: a. Steatosis (perlemakan hepar) Perlemakan hepar adalah kondisi hepar yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. Inti-inti sel hepar digantikan oleh butiran-butiran lemak besar 15 atau kecil. Akibatnya, terjadi gangguan perlepasan trigliserid hepar ke plasma (Lu, 1995). b. Nekrosis hepar (kematian hepar) Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau massif. Perubahan morfologi awal yakni berupa edema sitoplasma dan dilatasi retikulum endoplasma. Terjadi juga akumulasi trigliserid sebagai butiran lemak dalam sel (Lu, 1995). Selain perubahan morfologi, dapat juga terjadi perubahan biokimia seperti ketiadaan Adenosin Trifosfat (ATP), hilangnya ion kalsium, bergesernya kesetimbangan Na dan K antara hepatosit dan darah, habisnya glutation, dan rusaknya sitokrom P450 (Lu, 1995). 5. Parasetamol sebagai hepatotoksin N-asetil-p-aminofenol atau yang lebih sering disebut parasetamol, merupakan obat yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai obat analgetik antipiretik. Dalam penggunaan obat, banyak hal yang perlu diperhatikan, karena beberapa obat dapat merusak fungsi organ, seperti saluran pencernaan, dan ginjal. Dalam penggunaan dosis terapetik parasetamol tidak membahayakan tubuh. Namun jika digunakan menggunakan dosis tunggal dengan skala besar, efek parasetamol dapat mengganggu fungsi hepar hingga menimbulkan sentrolobuler hepatik nekrosis (Walker dkk., 2002). Hasil ini juga terekam dalam data di Amerika yang menyebutkan bahwa dari 2000 kasus kerusakan hepar yang terjadi, 37% diantaranya disebabkan karena penggunaan parasetamol sebagai obat 16 (Pandit dkk., 2012). Di samping itu, data di Indonesia sendiri tepatnya di Tasikmalaya, parasetamol menyebabkan kerusakan hepar sebanyak 16,4%, dari 96% pasien yang mengalami kerusakan hepar akibat penggunaan obat (Cinthya dkk., 2012). Kerusakan hepar bisa disebabkan karena penggunaan parasetamol yang terlalu lama, maupun dengan penggunaan tunggal dengan menggunakan dosis tinggi. Dalam dosis terapetik, parasetamol dimetabolisme di dalam hepar melalui glukuronidasi dan sulfasi. Beberapa molekul parasetamol juga di metabolisme oleh enzim sitokrom P450 menjadi metabolit N-acetyl-pbenzoquinone-imine (NAPQI). Metabolit ini reaktif dan dapat merusak sel hepar. Ada beberapa alasan mengapa NAPQI dapat menyebabkan hepatotoksik, antara lain faktor stres oksidatif dari NAPQI, lipid peroksidasi, dan adanya ikatan kovalen pada protein (Bessems dan Vermeulen, 2001). Secara normal, metabolit ini didetoksifikasi oleh GSH. Namun dalam kondisi parasetamol dosis tinggi, sulfasi dan glukuronidasi sudah jenuh sehingga tidak mampu lagi mengurangi jumlah NAPQI. Oleh sebab itu dengan adanya peningkatan metabolit NAPQI, kerusakan hepar mudah terjadi (Anonim, 2002). 6. Pengaruh rutin dalam timbulnya hepatotoksisitas parasetamol Seperti yang diketahui, metabolit reaktif dari parasetamol adalah NAPQI yang mampu menyebabkan ketoksikan pada hepar. Metabolit ini merupakan hasil dari metabolisme parasetamol melalui jalur oksidasi oleh sitokrom P450. Senyawa reaktif yang menginduksi terjadinya 17 hepatotoksisitas dapat dengan efektif dicegah dengan pemberian agen antioksidan, penangkap radikal bebas, dan antilipid peroksidasi. Dalam hal ini rutin akan dapat berpengaruh pada timbulnya hepatotoksisitas parasetamol karena rutin memiliki aktivitas antioksidan (Janbaz dkk., 2002) dan mampu menunjukkan regenerasi pada sirosis serta mampu melindungi dari mekanisme radiasi (Patil dkk., 2012). Selain itu, rutin dengan dosis tinggi juga diketahui mampu menghambat enzim sitokrom P450 sub familia 3A4 (Ping-Chuen dkk., 2001). Padahal diketahui sub familia 3A4 ini merupakan salah satu enzim terbanyak yang mengkatalisis proses oksidasi parasetamol (Thummel dkk., 1993). Oleh sebab itu, diperkirakan, rutin akan berpengaruh terhadap hepatotoksisitas yang diakibatkan oleh parasetamol. F. Landasan Teori Parasetamol merupakan obat analgetik yang dimetabolisme dalam tubuh melalui beberapa jalur, diantaranya glukoronidasi, sulfasi dan oksidasi (Slattery dkk., 1989). Jika salah satu jalur ini dihambat, maka akan mengganggu metabolisme parasetamol di dalam tubuh. Salah satu senyawa yang diketahui mampu menghambat jalur metabolisme parasetamol adalah kuersetin. Secara in vitro, kuersetin diketahui mampu menghambat sitokrom P450 yang merupakan enzim pemetabolisme parasetamol melalui jalur oksidasi. Inhibisi ini dikarenakan adanya gugus OH bebas yang dimiliki oleh kuersetin. Semakin banyak gugus OH bebas pada suatu flavonoid, maka efek penghambatan terhadap sitokrom P450 akan semakin besar (Yan Li dkk., 1994). Selain kuersetin, flavonoid yang digunakan dalam penelitian tersebut antara lain myrisetin, fisetin, naringenin, 18 flavon, tangeretin dan nobiletin. Myrisetin, fisetin dan naringenin menunjukkan efek inhibisi yang sama seperti kuesetin akibat adanya gugus OH bebas, sedangkan flavon, tangeretin dan nobiletin justru menunjukkan efek sebaliknya, yakni menstimulasi sitokrom P450, akibat ketiadaan gugus OH bebas pada strukturnya. Rutin sebagai glikosida dari kuersetin diduga juga memiliki kemampuan yang sama dalam menghambat sitokrom P450. Penghambatan sitokrom P450 menyebabkan parasetamol dalam bentuk utuh akan semakin banyak. Hanya parasetamol dalam bentuk utuh aktif saja yang memiliki aktivitas analgetik, sedangkan setelah mengalami metabolisme, parasetamol menjadi bentuk yang tidak aktif (Anonim, 2002). Oleh sebab itu, adanya inhibisi pada metabolisme parasetamol tersebut akan berpengaruh terhadap daya analgetiknya. Hasil metabolisme parasetamol melalui jalur oksidasi akan menghasilkan metabolit NAPQI yang bersifat reaktif. Pada penggunaan parasetamol dosis tinggi, NAPQI ini dapat menyebabkan sentrolobuler hepatik nekrosis (Walker dkk., 2002). Hal ini dikarenakan, kedua jalur metabolisme yang lain, yakni sulfasi dan glukuronidasi sudah jenuh sehingga akan lebih banyak NAPQI yang terbentuk. Secara normal, metabolit ini didetoksifikasi oleh GSH. Namun pada penggunaan parasetamol dosis tinggi, jumlah GSH yang diperlukan untuk mendetoksifikasi NAPQI juga tidak mencukupi, sehingga tidak mampu lagi mengurangi jumlah NAPQI. Adanya peningkatan metabolit NAPQI akan menyebabkan kerusakan hepar mudah terjadi. 19 Penghambatan jalur oksidasi dapat mengurangi hepatotoksisitas parasetamol. Hal ini dikarenakan jumlah NAPQI yang terbentuk akan semakin berkurang. Oleh sebab itu, jika sitokrom P450 yang merupakan enzim pemetabolisme parasetamol melalui jalur oksidasi dapat dihambat oleh rutin, maka diduga akan berpengaruh pada efek hepatotoksisitas parasetamol. G. Hipotesis Rutin dapat menghambat metabolisme parasetamol oleh enzim sitokrom P450, sehingga dapat mempengaruhi efek analgetik parasetamol pada dosis terapi dan hepatotoksisitas parasetamol pada dosis toksik.