BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan yang sangat besar, terutama dalam hal
keanekaragaman hayati di darat maupun di laut, termasuk di dalamnya
keanekaragaman tumbuhan. Beberapa tumbuhan diantaranya mengandung
metabolit sekunder yang dapat digunakan dalam perkembangan obat tradisional di
Indonesia. Obat tradisional adalah obat dari alam yang telah digunakan turuntemurun sehingga cara, takaran, lama penggunaan, khasiat dan tujuan
penggunaannya telah diketahui berdasarkan penuturan nenek moyang. Oleh
karena itu, obat-obat tradisional yang digunakan untuk pengobatan dianggap
mempunyai efek terapi. Akan tetapi pembuktian ilmiah mengenai khasiat dan
pengawasan
efek
samping
obat
tradisional
belum
banyak
dilakukan
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
Flavonoid merupakan senyawa metabolit
sekunder
yang dihasilkan
tumbuhan. Flavonoid termasuk senyawa alam yang potensial sebagai antioksidan
yang dapat dikembangkan sebagai obat. Senyawa-senyawa ini dapat ditemukan
pada batang, daun, bunga dan buah. Beberapa flavonoid dalam tubuh manusia
dilaporkan mempunyai aktivitas antioksidan sehingga sangat baik untuk
pencegahan kanker. Selain itu beberapa flavonoid yang lain juga bermanfaat
untuk meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos
tulang dan sebagai antibiotik (Hoffmann, 2003).
1
2
Flavonoid di alam dapat berada dalam bentuk aglikon dari suatu glikosida.
Sebagai contoh, flavonoid kuersetin merupakan aglikon dari glikosida rutin. Rutin
sebagai salah satu jenis dari flavonoid, banyak ditemukan di tumbuhan tingkat
tinggi. Rutin banyak memiliki manfaat yang dapat digunakan dalam pengobatan.
Berdasarkan studi in vitro terhadap rutin, menunjukkan hasil bahwa rutin
memiliki kemampuan sebagai antivirus dan antibakteri (Hoffmann, 2003). Rutin
merupakan antioksidan dan termasuk metabolit sekunder dari tumbuhan yang
disebut dengan bioflavonoid. Rutin dapat pula disebut dengan rutoside dan
quercetin-3-rutinoside (Anonim, 1997). Rutin banyak diperoleh dari alam seperti
dalam kentang, ubi jalar, wortel, jeruk, teh hitam dan kulit apel. Rutin juga
memiliki manfaat dalam bidang kesehatan antara lain meningkatkan keefektifan
dari vitamin C, menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan sebagai antioksidan
yang poten. Selain itu rutin juga berperan dalam pengobatan glukoma, tekanan
darah tinggi, penyakit jantung, dan alergi.
Bentuk aglikon dari rutin, yakni kuersetin, memiliki gugus OH bebas yang
sudah terbukti secara in vitro mampu menghambat sitokrom P450 dalam
metabolisme parasetamol (Yan Li dkk., 1994). Gugus OH bebas ini juga dimiliki
oleh rutin yang merupakan bentuk glikosida kuersetin. Diantara sekian banyak
obat yang dimetabolisme oleh sitokrom P450, salah satunya adalah obat analgetik
parasetamol. Parasetamol sendiri aman dan efektif ketika digunakan dalam dosis
yang direkomendasikan untuk terapi, namun dapat mengakibatkan kerusakan
hepar dan ginjal bahkan sampai kematian apabila dikonsumsi dalam jumlah
overdosis dan dapat diperparah apabila konsumsi bersama dengan alkohol dan
3
obat lain. Mekanisme hepatotoksik parasetamol disebabkan oleh kerusakan sel
hepar yang dihasilkan dari metabolit yang terbentuk pada saat reaksi dengan
sitokrom P450. Jalur metabolisme utama parasetamol dosis terapetik yakni
melalui glukoronidasi dan sulfasi di hepar, dan hanya sedikit dari dosis yang dapat
menghasilkan NAPQI yang berasal dari jalur metabolisme oksidasi oleh sitokrom
P450. NAPQI dalam jumlah tersebut dapat didetoksifikasi melalui konjugasi
dengan glutation (GSH). Parasetamol dalam dosis berlebihan, menyebabkan
kejenuhan jalur sulfasi dan glukoronidasi, sehingga terbentuk NAPQI dalam
jumlah besar yang mengakibatkan deplesi GSH. Pada akhirnya NAPQI akan
bereaksi dengan makromolekul sehingga menyebabkan kerusakan dan kematian
sel di hepar (Yan Li dkk., 1994). Rutin yang diduga memiliki pengaruh terhadap
metabolisme parasetamol, maka akan berpengaruh juga terhadap toksisitas hepar
yang diakibatkan oleh parasetamol.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan secara in vivo pada mencit
jantan, juga telah membuktikan bahwa rutin dapat memberikan proteksi terhadap
kerusakan hepar akibat parasetamol. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa rutin
merupakan antioksidan alami yang termasuk kelas bioflavonoid, dan terbukti
dapat memberikan perlindungan terhadap kerusakan hepar dan ginjal yang
disebabkan oleh parasetamol yang ditunjukkan dengan penurunan kadar AST,
ALT, dan ALP (Awah dkk., 2012). Namun belum ada penelitian lebih lanjut
mengenai bagaimana efek rutin terhadap daya analgetik dan hepatotoksisitas
parasetamol yang dilakukan pada mencit. Dasar inilah yang mendorong peneliti
4
melakukan penelitian, sehingga diharapkan dapat diketahui khasiat rutin lainnya
yang dapat bermanfaat bagi pengembangan obat tradisional di Indonesia.
B.
Perumusan Masalah
Dari uraian diatas, dirumuskan permasalahan yang diajukan dalam penelitian
ini, yaitu:
1.
Bagaimana pengaruh rutin terhadap efek analgetik parasetamol pada
mencit?
2.
Bagaimana pengaruh rutin terhadap hepatotoksisitas parasetamol pada
mencit?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1.
Pengaruh rutin terhadap efek analgetik parasetamol pada mencit
2.
Pengaruh rutin terhadap hepatotoksisitas parasetamol pada mencit
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah pengaruh rutin
terhadap efikasi dan hepatotoksisitas parasetamol pada mencit.
E.
1.
Tinjauan Pustaka
Parasetamol sebagai analgetik
Parasetamol yang memiliki nama lain asetaminofen merupakan
senyawa turunan paminofenol yang berfungsi sebagai analgetik- antipiretik.
Selain asetaminofen, nama lain parasetamol adalah asetafenum, p-
5
asetamidofenol, N-asetil-p-aminofenol, p-hidroksi asetanilid. Parasetamol
mempunyai rumus formula C8H9NO2 dengan berat molekul 151,16.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), parasetamol mengandung
tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C8H9NO2 dihitung
terhadap zat anhidrat. Parasetamol berbentuk serbuk hablur, berwarna putih,
tidak berbau dengan sedikit rasa pahit. Parasetamol disimpan dalam wadah
tertutup rapat dan tidak tembus cahaya. Jarak leburnya yakni antara 168 o172oC. Parasetamol larut dalam air mendidih dan NaOH 0,1 N, serta mudah
larut dalam etanol. Berikut merupakan struktur kimia parasetamol (Kalantzi
dkk., 2006):
Gambar 1. Struktur kimia parasetamol
Parasetamol merupakan metabolit fenasetin yang bertanggung jawab
pada efek analgetiknya. Bila dibandingkan dengan aspirin, daya kerja
analgetiknya sama kuat, hanya saja parasetamol memiliki durasi efek yang
lebih singkat. Selain itu, parasetamol tidak menimbulkan pendarahan di
lambung seperti aspirin, sehingga lebih banyak digunakan sebagai
analgetik-antipiretik.
Parasetamol
juga
tidak
menimbulkan
methemoglobinemia, agranulositosis serta anemia yang bisa ditimbulkan
karena penggunaan fenasetin dan asetanilid (Tjay dan Rahardja, 2002).
Absorbsi parasetamol tergantung pada kecepatan pengosongan lambung jika
diberikan secara oral. Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran cerna, dan
6
metabolisme lintas pertama yang bermakna terjadi pada sel lumen usus dan
hepatosit.
Parasetamol dalam bentuk utuh aktif sebagai analgetik, sedangkan
setelah mengalami metabolisme, parasetamol menjadi bentuk yang tidak
aktif (Anonim, 2002). Adanya inhibisi pada metabolisme parasetamol
menyebabkan parasetamol dalam bentuk utuh akan lebih banyak, sehingga
akan menaikkan efek analgetik parasetamol. Metabolisme parasetamol ini
terjadi di hepar melalui 3 jalur utama, yakni glukoronidasi, sulfasi dan
oksidasi (Slattery dkk., 1989). Kurang dari 9% pada dosis terapi,
parasetamol diekskresikan dalam bentuk tidak berubah di dalam urin
(Miners
dkk.,
1992).
Jalur
metabolisme
terbesar
adalah
melalui
glukoronidasi, yakni sebesar 47%-62% dan hasil metabolisme bersifat tidak
aktif serta tidak toksik (Koch-Weser, 1976). Metabolit ini kemudian
disekresikan dalam empedu dan dieliminasi lewat urin. Jalur metabolisme
terbesar kedua yakni melalui sulfasi (25%-36%). Metabolit dari jalur ini
juga tidak bersifat aktif dan tidak toksik (Koch-Weser, 1976). Jalur
metabolisme ketiga yakni melalui oksidasi, yakni sebesar 5%-8%
parasetamol dimetabolisme oleh sitokrom P450. Ketika parasetamol
dimetabolisme oleh sitokrom P450, terbentuk metabolit reaktif yang dikenal
dengan NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinon-imine). Metabolit reaktif ini
kemudian diinaktivasi oleh glutation menjadi bentuk konjugat asam
merkapturat, yang tidak aktif dan tidak toksik (Koch-Weser, 1976).
Parasetamol dan metabolitnya diekskresikan ke dalam urin.
7
Berikut merupakan skema metabolisme parasetamol dalam tubuh
manusia (Beale dan Block, 2010):
Gambar 2. Skema metabolisme parasetamol
Mekanisme parasetamol sebagai analgetik masih belum diketahui
dengan pasti. Terdapat dua kemungkinan efek parasetamol sebagai
analgetik, yakni pada tingkat perifer dan susunan saraf pusat. Pada tingkat
perifer, mekanisme analgetik parasetamol seperti pada mekanisme analgetik
8
pada umumnya, yakni dengan melalui penghambatan mediator-mediator
nyeri. Di beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa parasetamol
memiliki mekanisme analgetik dengan menghambat induksi hiperalgesia
oleh NMDA atau substansi P (Bjorkman, 1994), mengurangi pelepasan
PGE2 di sumsum tulang belakang (Muth-Selbach dkk., 1999), atau bisa juga
berefek pada serotonin di susunan saraf pusat (Pelissier dkk., 1995).
2.
Pengaruh rutin dalam metabolisme parasetamol
Rutin merupakan bentuk glikosida dari flavonoid kuersetin dengan
ikatan gula rutinosida dan banyak dijumpai di berbagai buah dan sayuran
misalnya: apel, anggur merah, teh, dan bawang merah. Nama lain dari rutin
adalah rutoside dan quersetin-3-rutinoside (Anonim, 1997). Rumus formula
dari rutin adalah C27H30O16 dan memiliki bobot molekul 610,5.
Menurut Ekstra Farmakope Indonesia (1974), rutin mengandung tidak
kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 100,5% C27H30O16, dihitung terhadap
zat anhidrat. Pemerian rutin yakni berbentuk serbuk hablur halus, berwarna
kuning pucat sampai hijau kekuningan pucat, tidak berbau atau berbau
lemah khas dan tidak berasa. Senyawa ini mendamar pada suhu antara
185oC dan 192oC dan mengurai pada suhu antara 211oC dan 215oC. Rutin
larut dalam 10.000 bagian air, 200 bagian air panas, 650 bagian etanol
(95%), 60 bagian etanol (95%) panas. Kelarutan rutin yakni larut dalam
metanol, isopropanol, gliserol, dan praktis tidak larut dalam kloroform, eter,
eter minyak tanah, aseton, benzen, karbondisulfida. Rutin mudah larut
dalam piridindan natrium hidroksida 1 N. Penyimpanan wadah tertutup
9
rapat dan terlindung dari cahaya. Berikut adalah struktur kimia dari rutin
(Nguyen dkk., 2013):
Gambar 3. Struktur kimia rutin
Aktivitas farmakologi rutin dan kuersetin mirip, seperti kelompok
flavon dan flavonol. Rutin memiliki kemampuan sebagai antiinflamasi
karena kemampuannya menghambat enzim lipooksigenase. Secara in vitro
juga terbukti rutin memiliki aktivitas sebagai antiviral dan antibakteri
(Hoffmann, 2003).
Gugus OH bebas yang dimiliki kuersetin terbukti dapat menghambat
sitokrom P450 (Yan Li dkk., 1994). Gugus ini juga dimiliki oleh rutin yang
merupakan bentuk glikosida dari kuersetin. Diantaranya sekian banyak obat
yang dimetabolisme oleh sitokrom P450, salah satunya adalah obat
analgetik parasetamol. Kuersetin menunjukkan pengaruh penghambatannya
terhadap sitokrom P450 pada sub familia 3A4, 2E1, dan 1A2 sebagai enzim
pemetabolisme parasetamol secara in vitro (Yan Li dkk., 1994). Karena
gugus OH bebas yang dimiliki kuersetin juga dimiliki oleh rutin, maka
diperkirakan metabolisme parasetamol juga akan dihambat oleh rutin. Salah
10
satu jalur biotransformasi yang dapat dihambat oleh rutin dosis tinggi adalah
melalui sub familia 3A4 (Ping-Chuen dkk., 2001). Oleh sebab itu,
penghambatan metabolisme oleh rutin ini dapat berefek pada efektivitas
parasetamol sebagai analgetik.
3.
Metode pengujian daya analgetik
Metode pengujian daya analgetik bertujuan untuk mengetahui
kemampuan suatu senyawa yang diuji untuk mengurangi rasa nyeri akibat
suatu bahan penginduksi nyeri. Bahan penginduksi tersebut diberikan
kepada hewan percobaan seperti mencit dan tikus, kemudian diteliti
bagaimana ketahanan hewan percobaan tersebut dalam
menahan
rasa
nyeri. Rasa nyeri dapat diberikan secara mekanik, termik, elektrik, maupun
kimia. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi daya analgetik kuat
biasanya menggunakan penginduksi nyeri secara mekanik dan termik.
Pengujian daya analgetik didasarkan pada besarnya stimulus nyeri yang
harus diberikan sampai didapatkan respon pada hewan percobaan, atau
dengan mengukur ketahanan hewan terhadap respon nyeri, maupun dengan
mengukur peranan frekuensi respon nyeri (Vogel, 2002).
Berikut merupakan metode yang dapat digunakan dalam pengujian daya
analgetik:
a.
Metode geliat
Senyawa yang diuji dilihat kemampuannya dalam menghilangkan rasa
nyeri akibat pemberian asam asetat secara intraperitoneal. Menurut
Farmakope Edisi I (1965), asam asetat mengandung tidak kurang dari
11
32,5% dan tidak lebih dari 33,5% b/b C2H4O2. Asam asetat berbentuk
cairan, jernih, tidak berwarna, bau merangsang, dan rasa asam yang tajam.
Senyawa ini dapat bercampur dengan air, etanol (95%) dan dengan gliserol.
Penyimpanan asam asetat di dalam wadah yang tertutup rapat.
Respon nyeri yang ditimbulkan adalah geliat (writhing) pada hewan
percobaan, yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali
abdomen (retraksi) dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan
kaki ke belakang. Frekuensi gerakan ini menyatakan suatu derajat nyeri
yang dirasakannya (Vogel, 2002). Metode ini disebut juga sebagai Writhing
Reflex Test atau Abdominal Constriction Test. Selain sederhana, dengan
metode ini juga dapat memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis
analgesik perifer, dan dapat dipercaya (Vogel, 2002).
b.
Metode listrik
Penginduksi nyeri yang digunakan dalam metode ini adalah aliran
listrik (Vohora dan Dandiya, 1992). Manifestasi nyeri akibat aliran listrik ini
akan menimbulkan gerakan atau cicitan. Senyawa uji yang memiliki daya
analgetik besar, akan mampu menahan rasa nyeri akibat arus listrik yang
besar pula. Hewan percobaan yang dapat digunakan antara lain dengan
metode ini adalah mencit, tikus, kera, kucing, anjing, dan kelinci
(Manihuruk, 2000).
c.
Metode panas
Metode ini dapat menggunakan tiga cara antara lain dengan pencelupan
ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang dipertahankan pada
12
suhu 60±1oC, penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan
melalui kawat Ni panas (5,5±0,05 Amps) (Vohora dan Dandiya, 1992), dan
dengan menggunakan hot plate (hewan uji diletakkan dalam beaker glass di
atas plat panas (56±1 oC), kemudian akan menjilat kaki depan jika terasa
nyeri akibat panas). Metode ini tepat digunakan untuk mengevaluasi
analgesik sentral (Vogel, 2002). Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu
antara pemberian stimulus nyeri dan terjadinya respon dapat dijadikan
parameter untuk mengevaluasi aktivitas analgesik.
d.
Metode mekanik
Senyawa
analgetik
diuji
dengan
pemberian
tekanan
sebagai
penginduksi nyeri pada ekor hewan percobaan. Pengukuran aktivitas
didasarkan pada jumlah tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan rasa
nyeri sebelum dan sesudah pemberian obat. Metode ini dapat diterapkan
pada hewan mencit, tikus, dan anjing (Manihuruk, 2000).
4.
Fisiologi dan fungsi hepar
Hepar merupakan organ parenkim yang berukuran besar, yang berpola
heksagonal dan berwarna coklat kemerah-merahan. Organ ini terletak di
dalam rongga perut kanan atas, di bawah diafragma kanan, dan dilindungi
tulang iga kanan bawah. Pada manusia dewasa, hepar berbobot sekitar 1,4
kg, dan terbagi menjadi dua lobus, yakni lobus kanan dan lobus kiri. Lobus
kanan ukurannya enam kali bagian dari lobus kirinya. Setiap lobus terdiri
atas ribuan lobulus yang merupakan unit fungsional. Setiap lobulus
memiliki sel-sel hepatosit yang berbentuk kubus dan tersusun secara
13
melingkar mengelilingi vena sentralis. Di bagian interlobuler terdapat
saluran empedu dan sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteria
hepatika. Sinusoid ini dibatasi oleh sel-sel Kupffer yang merupakan sistem
retikuloendotelial dan mempunyai fungsi serupa dengan sel makrofag
(Stockham dan Scott, 2002). Dinding sinusoid dilapisi selapis endotel yang
tidak
kontinyu
sehingga
memungkinkan
plasma
darah
langsung
berhubungan dengan sel-sel hepatosit, sehingga terjadi pertukaran metabolit
antara darah dan parenkim hepar (Fawcett, 2002).
Organ hepar memiliki banyak fungsi, diantaranya untuk menyimpan
dan menyaring darah, membentuk protein plasma seperti albumin,
menghasilkan cairan empedu, sebagai tempat penyimpanan vitamin A dan
zat besi. Dalam metabolisme tubuh, hepar juga berperan metabolisme
karbohidrat, protein, dan lipid yang dikirim oleh vena porta selain
diabsorbsi dari usus. Hepar juga dapat mensintesis asam lemak, trigliserida,
kolesterol, apolipoprotein, lipoprotein, dan kolesterol ester dalam fosfolipid.
Beberapa bahan hasil metabolisme ini dapat tersimpan juga di dalam hepar,
seperti glikogen, trigliserida, dan Cu (Stockham dan Scott, 2002).
Fungsi lain hepar adalah sebagai organ pendetoksifikasi toksin dan
radikal bebas, yakni melalui reaksi konjugasi dengan beberapa senyawa
yang dihasilkan di dalam hepar, seperti glutation, asam glukoronat, glisin,
dan asetat. Dengan adanya sel-sel Kupffer dalam hepar, menyebabkan hepar
juga berperan dalam sistem pertahanan tubuh. Sel-sel Kupffer ini
mempunyai kemampuan fagositosis sel-sel tua, partikel atau benda asing,
14
sel tumor, bakteri, virus, dan parasit di dalam hepar (Stockham dan Scott,
2002). Selain itu, kelebihan organ hepar lainnya adalah kemampuan
regenerasi jaringan yang mati cukup besar sehingga akan cepat digantikan
dengan jaringan yang baru. Kemampuan ini sangat penting dimiliki oleh
hepar, mengingat hepar merupakan organ yang mudah mengalami
kerusakan akibat racun maupun senyawa-senyawa asing. Hal ini disebabkan
karena hepar menerima lebih dari 80% suplai darah dari vena porta. Vena
tersebut membawa zat-zat toksik dari tumbuhan, fungi, bakteri, logam
mineral, dan zat-zat kimia lain yang diserap di usus ke darah portal untuk
ditransportasi ke hepar. Alasan yang lain adalah karena hepar menghasilkan
enzim-enzim biotransformasi untuk berbagai macam zat eksogen dan
endogen untuk dieliminasi dari dalam tubuh, sehingga memungkinkan
pengaktifan beberapa zat menjadi senyawa yang lebih toksik dan dapat
menyebabkan perlukaan sel hepar (Casarett dan Doulls, 1986). Meskipun
demikian, hepar memiliki kapasitas cadangan yang besar. Hanya dengan
10%-20% saja jaringan hepar yang masih berfungsi, ternyata hal itu sudah
cukup untuk mempertahankan hidup pemiliknya (Stockham dan Scott,
2002).
Berikut merupakan jenis-jenis perlukaan atau kerusakan yang terjadi
pada hepar:
a.
Steatosis (perlemakan hepar)
Perlemakan hepar adalah kondisi hepar yang mengandung berat lipid
lebih dari 5%. Inti-inti sel hepar digantikan oleh butiran-butiran lemak besar
15
atau kecil. Akibatnya, terjadi gangguan perlepasan trigliserid hepar ke
plasma (Lu, 1995).
b.
Nekrosis hepar (kematian hepar)
Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau massif.
Perubahan morfologi awal yakni berupa edema sitoplasma dan dilatasi
retikulum endoplasma. Terjadi juga akumulasi trigliserid sebagai butiran
lemak dalam sel (Lu, 1995).
Selain perubahan morfologi, dapat juga terjadi perubahan biokimia
seperti ketiadaan Adenosin Trifosfat (ATP), hilangnya ion kalsium,
bergesernya kesetimbangan Na dan K antara hepatosit dan darah, habisnya
glutation, dan rusaknya sitokrom P450 (Lu, 1995).
5.
Parasetamol sebagai hepatotoksin
N-asetil-p-aminofenol atau yang lebih sering disebut parasetamol,
merupakan obat yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai obat
analgetik antipiretik. Dalam penggunaan obat, banyak hal yang perlu
diperhatikan, karena beberapa obat dapat merusak fungsi organ, seperti
saluran pencernaan, dan ginjal. Dalam penggunaan dosis terapetik
parasetamol
tidak
membahayakan
tubuh.
Namun
jika
digunakan
menggunakan dosis tunggal dengan skala besar, efek parasetamol dapat
mengganggu fungsi hepar hingga menimbulkan sentrolobuler hepatik
nekrosis (Walker dkk., 2002). Hasil ini juga terekam dalam data di Amerika
yang menyebutkan bahwa dari 2000 kasus kerusakan hepar yang terjadi,
37% diantaranya disebabkan karena penggunaan parasetamol sebagai obat
16
(Pandit dkk., 2012). Di samping itu, data di Indonesia sendiri tepatnya di
Tasikmalaya, parasetamol menyebabkan kerusakan hepar sebanyak 16,4%,
dari 96% pasien yang mengalami kerusakan hepar akibat penggunaan obat
(Cinthya dkk., 2012).
Kerusakan hepar bisa disebabkan karena penggunaan parasetamol yang
terlalu lama, maupun dengan penggunaan tunggal dengan menggunakan
dosis tinggi. Dalam dosis terapetik, parasetamol dimetabolisme di dalam
hepar melalui glukuronidasi dan sulfasi. Beberapa molekul parasetamol juga
di metabolisme oleh enzim sitokrom P450 menjadi metabolit N-acetyl-pbenzoquinone-imine (NAPQI). Metabolit ini reaktif dan dapat merusak sel
hepar. Ada beberapa alasan mengapa NAPQI dapat menyebabkan
hepatotoksik, antara lain faktor stres oksidatif dari NAPQI, lipid
peroksidasi, dan adanya ikatan kovalen pada protein (Bessems dan
Vermeulen, 2001). Secara normal, metabolit ini didetoksifikasi oleh GSH.
Namun dalam kondisi parasetamol dosis tinggi, sulfasi dan glukuronidasi
sudah jenuh sehingga tidak mampu lagi mengurangi jumlah NAPQI. Oleh
sebab itu dengan adanya peningkatan metabolit NAPQI, kerusakan hepar
mudah terjadi (Anonim, 2002).
6.
Pengaruh rutin dalam timbulnya hepatotoksisitas parasetamol
Seperti yang diketahui, metabolit reaktif dari parasetamol adalah
NAPQI yang mampu menyebabkan ketoksikan pada hepar. Metabolit ini
merupakan hasil dari metabolisme parasetamol melalui jalur oksidasi oleh
sitokrom
P450.
Senyawa
reaktif
yang
menginduksi
terjadinya
17
hepatotoksisitas dapat dengan efektif dicegah dengan pemberian agen
antioksidan, penangkap radikal bebas, dan antilipid peroksidasi. Dalam hal
ini rutin akan dapat berpengaruh pada timbulnya hepatotoksisitas
parasetamol karena rutin memiliki aktivitas antioksidan (Janbaz dkk., 2002)
dan mampu menunjukkan regenerasi pada sirosis serta mampu melindungi
dari mekanisme radiasi (Patil dkk., 2012). Selain itu, rutin dengan dosis
tinggi juga diketahui mampu menghambat enzim sitokrom P450 sub familia
3A4 (Ping-Chuen dkk., 2001). Padahal diketahui sub familia 3A4 ini
merupakan salah satu enzim terbanyak yang mengkatalisis proses oksidasi
parasetamol (Thummel dkk., 1993). Oleh sebab itu, diperkirakan, rutin akan
berpengaruh terhadap hepatotoksisitas yang diakibatkan oleh parasetamol.
F.
Landasan Teori
Parasetamol merupakan obat analgetik yang dimetabolisme dalam tubuh
melalui beberapa jalur, diantaranya glukoronidasi, sulfasi dan oksidasi (Slattery
dkk., 1989). Jika salah satu jalur ini dihambat, maka akan mengganggu
metabolisme parasetamol di dalam tubuh. Salah satu senyawa yang diketahui
mampu menghambat jalur metabolisme parasetamol adalah kuersetin. Secara in
vitro, kuersetin diketahui mampu menghambat sitokrom P450 yang merupakan
enzim pemetabolisme parasetamol melalui jalur oksidasi. Inhibisi ini dikarenakan
adanya gugus OH bebas yang dimiliki oleh kuersetin. Semakin banyak gugus OH
bebas pada suatu flavonoid, maka efek penghambatan terhadap sitokrom P450
akan semakin besar (Yan Li dkk., 1994). Selain kuersetin, flavonoid yang
digunakan dalam penelitian tersebut antara lain myrisetin, fisetin, naringenin,
18
flavon, tangeretin dan nobiletin. Myrisetin, fisetin dan naringenin menunjukkan
efek inhibisi yang sama seperti kuesetin akibat adanya gugus OH bebas,
sedangkan flavon, tangeretin dan nobiletin justru menunjukkan efek sebaliknya,
yakni menstimulasi sitokrom P450, akibat ketiadaan gugus OH bebas pada
strukturnya.
Rutin sebagai glikosida dari kuersetin diduga juga memiliki kemampuan yang
sama dalam menghambat sitokrom P450. Penghambatan sitokrom P450
menyebabkan parasetamol dalam bentuk utuh akan semakin banyak. Hanya
parasetamol dalam bentuk utuh aktif saja yang memiliki aktivitas analgetik,
sedangkan setelah mengalami metabolisme, parasetamol menjadi bentuk yang
tidak aktif (Anonim, 2002). Oleh sebab itu, adanya inhibisi pada metabolisme
parasetamol tersebut akan berpengaruh terhadap daya analgetiknya.
Hasil metabolisme parasetamol melalui jalur oksidasi akan menghasilkan
metabolit NAPQI yang bersifat reaktif. Pada penggunaan parasetamol dosis
tinggi, NAPQI ini dapat menyebabkan sentrolobuler hepatik nekrosis (Walker
dkk., 2002). Hal ini dikarenakan, kedua jalur metabolisme yang lain, yakni sulfasi
dan glukuronidasi sudah jenuh sehingga akan lebih banyak NAPQI yang
terbentuk. Secara normal, metabolit ini didetoksifikasi oleh GSH. Namun pada
penggunaan parasetamol dosis tinggi, jumlah GSH yang diperlukan untuk
mendetoksifikasi NAPQI juga tidak mencukupi, sehingga tidak mampu lagi
mengurangi jumlah NAPQI. Adanya peningkatan metabolit NAPQI akan
menyebabkan kerusakan hepar mudah terjadi.
19
Penghambatan jalur oksidasi dapat mengurangi hepatotoksisitas parasetamol.
Hal ini dikarenakan jumlah NAPQI yang terbentuk akan semakin berkurang. Oleh
sebab itu, jika sitokrom P450 yang merupakan enzim pemetabolisme parasetamol
melalui jalur oksidasi dapat dihambat oleh rutin, maka diduga akan berpengaruh
pada efek hepatotoksisitas parasetamol.
G.
Hipotesis
Rutin dapat menghambat metabolisme parasetamol oleh enzim sitokrom
P450, sehingga dapat mempengaruhi efek analgetik parasetamol pada dosis terapi
dan hepatotoksisitas parasetamol pada dosis toksik.
Download