BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini, akan dicantumkan beberapa penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain, penelitian terdahulu menjadi salah satu acuan peneliti dalam melakukan penelitian sehingga peneliti dapat memperkaya teori yang digunakan dalam menguji penelitian yang dilakukan. Penelitian terdahulu tersebut sebagai berikut : 1. Skripsi Dewi Kurniawati Januarsari, mahasiswi jurusan Manajemen Komunikasi Universitas Padjajaran tahun 2010 judul penelitiannya adalah “Pemaknaan Pesan Non Verbal Pada Fashion Para Wanita Karir”. Tujuan penelitiannya adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pemaknaan pesan nonverbal para wanita karier terhadap fashion yang digunakannya. Metode penelitian yang digunakan kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi yang dilandasi kerangka interaksionisme simbolik. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemaknaan pesan nonverbal dibalik fashion dan berbagai atributnya didasarkan atas kepentingan karirnya. Para wanita karir berusaha menyesuaikan fashion dengan gaya, bentuk, motif, warna serta aksesoris yang nyaman bagi dirinya dengan tuntutan pekerjaan 8 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 9 yang mereka lakoni sehingga dapat menunjang aktivitas pekerjaannya. Dapat dikatakan bahwa pemaknaan pesan non verbal di balik fashion yang digunakan oleh para wanita karir ditunjukan untuk mempengaruhi popularitas, kepuasan diri, perekrutan dan promosi jabatan, hubungan pertemanan serta kekuasaan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Dewi Kurniawati yaitu terletak pada subjek penelitian yang akan diteliti, peneliti memilih subjek penelitian pada mahasiswa/i fakultas ilmu komunikasi angkatan 2013 Universitas Mercu Buana, merupakan orang-orang yang berada di dalam lembaga pendidikan. Sedangkan penelitian terdahulu memilih subjek wanita karir. Kemudian peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi Alfred Schutz sedangkan Dewi Kurniawati menggunakan pendekatan fenomenologi George Herbert Mead & Herbert Blumer. Persamaan peneliti dengan Dewi Kurniawati yaitu sama-sama menggunakan metode kualitatif, dan sama-sama meneliti tentang makna fashion. 2. Jurnal interaksi Dominukus Isak Petrus Berek, mahasiswa program studi Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Diponegoro angkatan V. Judul penelitiannya adalah “Fashion Sebagai Komunikasi Identitas Sub Budaya (Kajian Fenomenologis terhadap Komunitas Street Punk Semarang)”. Tujuan penelitiannya adalah, mengetahui hal-hal yang diungkapkan fashion tentang identitas Street Punk dan http://digilib.mercubuana.ac.id/ jenis komunikasi yang 10 direpresentasikan Street Punk melalui fashion serta perbedaan identitas yang riil antara Street Punk dan komunitas Punk lainya melalui fashion. Desain penelitian yang digunakan Dominukus Isak adalah kajian fenomenologi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Subyek penelitiannya individu yang berstatus sebagai anggota Street Punk Semarang. Hasil penelitiannya adalah fashion Street Punk dapat membuat individu menjadi cerminan atas identitas, yang berarti sebagai interaksi sosial melalui pesan, membuat individu atau anggota kelompok Street Punk dapat berinteraksi melalui apa yang mereka pakai. Disisi lain ada juga beberapa orang yang juga sering diinterpretasikan oleh masyarakat sebagai Punk, sepintas gaya rambut Mohawk tentu sangat terpampang jelas oleh orang-orang ini, tetapi ketika ditanya mereka tidak mengerti arti dari Punk itu sendiri secara defenitif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, bukan berarti orang yang mencukur rambut mereka Mohawk, memakai jaket plus aksesoris pelengkap, calana street, sepatu boot beserta unsurunsur fashion Punk lainya bisa dikatakan mereka adalah Punk. Perbedaan antara penelitian Dominukus Isak adalah peneliti ingin meneliti makna fashion sebagai komunikasi nonverbal, sedangkan Dominukus berupaya menggali dan memahami bagaimana fahion sebagai komunikasi identitas sub budaya. Persamaan peneliti dengan Dominukus Isak yaitu sama-sama menggunakan metode penelitian kualitatif. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 11 3. Skripsi Reza Adrian, mahasiswa jurusan Broadcasting Fakultas Ilmu Komuniakasi Universitas Mercu Buana angkatan 2012. Dengan judul “Fashion Rambut sebagai Simbol Komunikasi Nonverbal Pada Remaja”. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui makna simbol dari komunikasi nonverbal gaya under cut mahasiswa fikom 2012 universitas Mercu Buana. Metode penelitian dari penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi Alfred Schutz serta menggunakan paradigma interpretif, menantang gagasan bahwa realitas sosial adalah sesuatu yang kita terima begitu saja, sesuatu diluar sana yang membentuk tindakan masyarakat. Hasil penelitiannya adalah pemakaian gaya rambut Under Cut menunjukan bahwa seseorang akan terlihat sederhana dan simpel, kemudian dengan menggunakan gaya rambut Under Cut mereka mengaku hendek menampilkan gaya busana yang menarik dimata orang lain, dan meningkatkan rasa percaya diri bagi penggunanya. Perbedaan antara penelitian dari Reza Adrian dengan peneliti terletak pada objek yang ingin diteliti, peneliti mengambil objek makna gaya berpakian atau fashion dari mahasiswa universitas Mercu Buana, sedangkan Reza Adrian meneliti tentang makna simbol gaya rambut Under Cut pada mahasiwa universitas Mercu Buana. Persamaan antara penelitian Reza Adrian dengan peneliti adalah sama-sama menggunakan metode penelitian kualitatif, dan sama-sama menggunakan pendekatan studi fenomenologi Alfred Schutz. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 2.1 TABEL MATRIKS PENELITIAN TERDAHULU No 1. Peneliti Dewi Kurniawati Judul Metode Penelitian Penelitian Pemaknaan Non Januarsari (Universitas Pesan Pada Padjadjaran Bandung Verbal Fakultas Ilmu Fashion Para Wanita Karir Komunikasi) Hasil Penelitian Metode Pemaknaan pesan kualitatif dengan nonverbal dibalik fashion pendekatan studi dan berbagai atributnya fenomenologi George Herbert Mead &Herbert Blumer dengan menggunakan kerangka interkasionis simbolik. Persamaan Menggunakan metode kualitatif, dan didasarkan atas meneliti kepentingan karirnya. tentang makna Para wanita karir fashion. berusaha menyesuaikan fashion dengan gaya, bentuk, motif, warna serta aksesoris yang nyaman bagi dirinya dengan tuntutan pekerjaan yang mereka lakoni sehingga dapat menunjang aktivitas pekerjaannya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ Perbedaan Subjek penelitian, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi Alfred Schutz sedangkan Dewi Kurniawati menggunakan pendekatan fenomenologi George Herbert Mead & Herbert Blumer. 13 2. fashion Street Punk dapat individu Sebagai kualitatif dengan membuat menjadi cerminan atas Komunikasi pendekatan studi identitas, yang berarti Identitas Sub fenomenologi sebagai interaksi sosial Budaya Alfred Schutz melalui pesan, membuat individu atau anggota serta kelompok Street Punk menggunakan dapat berinteraksi melalui apa yang mereka paradigma pakai. Selain itu ada juga interpretif. diantara mereka yang tidak mengerti arti dari Punk itu sendiri secara defenitif. Jadi bukan berarti orang yang mencukur rambut mereka Mohawk, memakai jaket plus aksesoris pelengkap, calana street, sepatu boot beserta unsur-unsur fashion Punk lainya bisa dikatakan mereka adalah Punk. Dominukus Isak Petrus Fashion Berek, mahasiswa program studi Magister Ilmu Fakultas Komunikasi Ilmu Politik, Diponegoro Sosial Universitas penelitian http://digilib.mercubuana.ac.id/ Menggunakan metode penelitian kualitatif dan pendekatan fenomenologi Peneliti ingin meneliti makna fashion sebagai komunikasi nonverbal, sedangkan Dominukus berupaya menggali dan memahami bagaimana fahion sebagai komunikasi identitas sub budaya. 14 3. Reza Adrian, mahasiswa jurusan Broadcasting Fakultas Ilmu Komuniakasi Universitas Mercu Buana Fashion Rambut sebagai Simbol Komunikasi Nonverbal Pada Remaja Penelitian kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi Alfred Schutz serta menggunakan paradigma interpretif Pemakaian gaya rambut Under Cut menunjukan bahwa seseorang akan terlihat sederhana dan simpel, kemudian dengan menggunakan gaya rambut Under Cut mereka mengaku hendek menampilkan gaya busana yang menarik dimata orang lain, dan meningkatkan rasa percaya diri bagi penggunanya http://digilib.mercubuana.ac.id/ Menggunakan metode penelitian kualitatif, dan pendekatan fenomeologi Alfred Schutz Objek yang ingin diteliti, peneliti mengambil objek makna gaya berpakian atau fashion dari mahasiswa/i universitas Mercu Buana, sedangkan Reza Adrian meneliti tentang makna simbol gaya rambut Under Cut pada mahasiwa universitas Mercu Buana. 15 2.2 Komunikasi Nonverbal 2.2.1 Pengertian Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan dalam suatu setting komunikasi yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima. Jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja dan juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan. Kita banyak mengirim pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut dimaknai oleh orang lain.8 Cara kita bergerak dalam ruang ketika berkomunikasi dengan orang lain didasarkan terutama pada respons fisik dan emosional terhadap rangsangan lingkungan. Sementara banyak perilaku verbal kita bersifat eksplisit dan diproses secara kognitif. Perilaku nonverbal kita bersifat spontas, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar kesadaran dan kendali kita. Karena itulah Edward T. Hall menamai bahasa nonverbal ini sebagai “Bahasa Diam” dan “Dimensi Berbunyi” suatu budaya. Disebut diam dan tersembunyi, karena pesan-pesan nonverbal tertentu dalam konteks komunikasi. Selain isyarat situasional dan relasional dalam transaksi komunikasi, pesan nonverbal memberi kita isyaratisyarat kontekstual. Bersama isyarat verbal dan kontekstual, pesan nonverbal membantu kita menafsirkan seluruh makna pengalaman komunikasi.9 8 9 Deddy Mulyana,. Ilmu Komunikasi suatu Pengantar.Bandung : Rosdakarya. 2011 hal 343 Deddy Mulyana. Loc.cit., http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 Komunikasi nonverbal dalam penelitian ini, akan membahas mengenai artefak. Artefak merupakan benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan menusia. Aspek ini merupakan perluasan lebih jauh dari pakaian dan penampilan. Bendabenda yang digunakan untuk kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia sering menggunakan makna-makna tertentu. Bidang studi mengenai ini disebut objektika.10 Sedangkan kaitannya dengan aplikasi busana dalam kehidupan sehari-hari memberi makna melalui nonverbal, tanda, penguat karakter, maupun penguat identitas seseorang. Seseorang yang menggunakan pakaian berwarna cerah menandakan bahwa hatinya sedang ceria atau penuh kebahagiaan. Dengan penggunaan ekspresi pada wajah, orang lain mampu manangkap sinyal radiasi apakah orang tersebut sedang sedih, marah, senang, atau ketakutan. Setiap anggota tubuh seperti wajah, tangan, kepala, kaki dan tubuh secara keseluruhan digunakan sebagai isyarat simbolik.11 2.2.2 Fungsi Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal memiliki beberapa fungsi yaitunya : 1. Fungsi Repetisi Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal. Misalnya: menganggukan kepala ketika mengatakan “iya” atau menggelengkan kepala ketika mengatakan “tidak”. 10 11 Ibid hal 43 Ibid hal 35 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 2. Fungsi Subtitusi Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal, jadi tanpa berbicara kita bisa berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, seseorang pengamen mendatangi mobil kita, kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun dengan menggoyangkan telapak tangan mengarah kedepan (sebagai kata pengganti tidak). Isyarat non verbal yang menggantikan kata atau frasa inilah yang disebut “Emblem”. 3. Fungsi Kontradiksi Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal dan bisa memberikan makna lain terhadap pesan verbal. Misalnya saat memuji presentasi orang lain sambil mencibir. 4. Fungsi Eksentuasi Memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal. Misalnya, menggunakan gerakan tangan, nada suara yang melabat ketika berpidato. Isyarat non verbal tersebut disebut dengan “Affect display”. 5. Fungsi Komplemen Perilaku non verbal dapat meregulasi perilaku verbal. Misalnya, saat kuliah akan berakhir, kita melihat jam tangan berkali-kali sehingga dosen segera munutup perkuliahannya.12 Pesan-pesan nonverbal sangat penting dalam komunikasi, seperti yang dikatakan oleh Dale G. Leathers yang dikutip Jalaludin Rakhmat. Ia mengatakan alasan pentingnya pesan-pesan non verbal antara lain13: 12 Verderber, Rudolph F, Kathleen S. Verderber,. “Chapter4 : Communicating through Nonverbal Behaviour”. Communicate. Edisi ke-11 ed. Singapura : Wadsworth, 2005 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 18 1. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan melalui pesan non verbal dibanding dengan verbal. 2. Pesan non verbal memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan (fungsi merakomunikatif) yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas. 3. pesan nonverbal merupakan cara yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. 2.3 Komunikasi Artifaktual Komunikasi artifaktual didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian, dan penataan pelbagai artefak, misalnya: pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau funiture di rumah dan penataannya, ataupun dekorasi ruangan. Karena “Fashion” atau pakaian menyampaikan pesan-pesan nonverbal, ia termasuk komunikasi nonverbal.14 Pakaian yang kita pakai bisa menampilakan pelbagai fungsi. Sebagai bentuk komunikasi, pakaian bisa menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat nonverbal. Pakaian bisa melindungi kita dari cuaca buruk atau dalam olahraga tertentu dari kemungkinan cedera. Pakaian juga membantu kita menyembunyikan bagian-bagian tertentu dari tubuh kita dan karenanya pakaian memiliki suatu fungsi kesopanan. Menurut Desmond Morris, dalam Manwatching: A Field Guide to Human Behavior, pakian juga menampilakan pesan sebagai pejangan budaya (cultural display) karena ia mengkomunikasikan afiliasi budaya kita. Mengenali negara 13 14 Jalaludin Rakhmat,. Psikologi Komunikasi. Bandung : RemajaRosdakarya. 1996 hal 28 Malcom Barnard,. Fashion sebagai Komunikasi.Yogyakarta : Jalasutra.2011 hal VII http://digilib.mercubuana.ac.id/ 19 atau daerah asal-usul seseorang dari pakaian yang mereka kenakan. Pakaian bisa menunjukan identitas nasional dan kulturan sipemakai. 15 Orang membuat kesimpulan tentang siapa anda sebagian juga lewat apa yang anda kenakan. Apakah kesimpulan tersebut terbukti akurat atau tidak, tak ayal ia akan mempengaruhi pikiran orang tentang anda dan bagaimana mereka bersikap pada anda. Kelas sosial anda, keseriusan atau kesantaian anda, sikap anda, afiliasi politik anda, keglamoran atau keeleganan anda, Sense of Style anda dan bahkan mungkin kreatifitas anda akan dinilai sebagian dari cara anda berbusana. Busana juga memperlihatkan seseorang untuk dapat menghormati orang lain melalui pakaian yang dikenakannya. 2.4 Fashion 2.4.1 Pengertian Fashion Fashion merupakan segala bentuk tingkah laku, bentuk komunikasi nonverbal. Mode atau fesyen (inggris : Fashion) adalah gaya berpakian yang populer dalam suatu budaya. Secara umum, Fashion termasuk masakan, bahasa, seni dan arsitektur. Secara etimologi menurut kamus besar bahasa Indonesia, mode merupakan bentuk nomina yang bermakna ragam cara atau bentuk terbaru pada suatu waktu tertentu (tata pakian, corak hiasan dan lain sebagainya). Mode yang dikenakan seseorang mampu mencerminkan sipemakai. Thomas Carlye mengatakan, “Pakaian adalah pelambang jiwa. Pakian tidak bisa dipisahkan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia.” 15 Idy Subandy Ibrahim,. Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. 2007 hal 243 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 20 Fahion dimetaforakan sebagai kulit sosial yang membawa pesan dan gaya hidup suatu komunitas tertentu yang merupakan bagian dari kehidupan sosial. Di samping itu, mode juga mengekspresikan identitas tertentu. 2.4.2 Fungsi Fashion Fashion memiliki banyak fungsi,yaitunya: 1. Fashion sebagai Komunikasi Dalam fashion kita bisa mengartikan komunikasi sebagai pengiriman pesan, budaya beragam juga menjadi faktor penentu dalam sebuah “Fashion”. Hal ini jelas dalam masyarakat kita maupun masyarakat dunia. Fashion sendiri dapat diartikan sebagai komunikasi nonverbal karena tidak menggunakan kata-kata lisan maupun tulisan. Tidak sulit untuk memahami fashion sebagai komunikasi nonverbal, meskipun garmen diungkapkan dalam kata-kata seperti merek maupun slogan, disana tetap saja ada level atau tingkatan komunikasi nonverbal yang memperkuat makna harfiah atau merek tersebut. Umberto Eco menyatakan “Berbicara melalui pakaiannya”, yang dimaksud disini adalah menggunakan pakian untuk melakukan apa yang dilakukan dengan katakata maupun lisan dalam konteks lain. Secara intuitif untuk menyatakan bahwa seseorang mengirim pesan tentang dirinya sendiri melalui “Fashion” dan pakaian yang dipakainya. Berdasarkan pengalaman sehari-hari pakian dipilih sesuai dengan apa yang akan dilakukan pada hari itu, bagaimana suasana hati seseorang, siapa saja yang akan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 21 ditemuinya. Hal ini menegaskan bahwa “Fashion” dan pakian dipergunakan untuk mengirimkan pesan tentang diri seseorang kepada orang lain.16 2. Fashion sebagai Perlindungan Menurut Flugel, “ pakian itu menawarkan perlindungan dan sebagai pelindung terhadap ketidak bersahabatan dunia secara umu” atau “ sebagai jaminan atas kurangnya cinta”. Dengan adanya “Fashion” tubuh kita menjadi terlindungi dari pengaruh buruk lingkungan. 17 3. Fashion sebagai Kesopanan dan Persembunyian Hal-hal yang berkenaan dan berkaitan dengan kesopanan merupakan alasan utama untuk mengenakan pakian. Argumen untuk kesopanan beredar di seputar ide bahwa bagian tubuh tertentu adalah tak senonoh atau memalukan dan hendaknya ditutupi sehingga tidak terlihat.18 4. Fashion sebagai Ketidak Sopanan dan Daya Tarik Orang menegaskan bahwa tugas pakian adalah untuk menarik perhatian pada tubuh bukan untuk mengalihkan perhatian. Argumen ketidak sopanan menekankan pada gerak menuju status menyerupai binatang.19 5. Fashion sebagai Ekspresi Individualistik Contoh warna cerah atau kontras bisa saja mereflesikan hati yang sedang gembira. Kontras garis linier mungkin mereflesikan dinamisme internal. Ekspresi seseorang terhadap warna mengandung nilai arti dalam sebuah pembangunan makna. 16 Reza Adrian,. Fashion Rambut sebagai Simbol Komunikasi Nonverbal. Skripsi. Universitas Mercu Buana. Jakarta.2016 17 Malcolm Bernard,. Fashion sebagai Komunikasi.Jalasutra.Yogyakarta.2011 hal 73 18 Ibid hal 75 19 Ibid hal 79 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 22 6. Fashion sebagai Nilai Sosial atau Status Seperti jabatan orang berada ditandai dengan memakai pakian kemeja beserta jas dan sepatu fantopel. Nilai sosial atau status sosial terlihat dari tingkat kerapihan seseorang dalam berbusana, baik di lingkungan umum maupun ranah prbadi. 7. Nilai Ekonomi dan Status Pakaian dan fashion merefleksikan bentuk organisasi ekonomi tempat seseorang hidup di samping merefleksikan statuskan di dalam ekonomi itu. Pakian dan fashion menunjukan apa jenis pekerjaan orang itu dan pada level manakah dalam ekonomi orang tersebut bergerak atau bekerja. 8. Fashion sebagai Simbol Politisi Bekerjanya kekuasaanpun jelas sangat erat terkait pada status sosial dan ekonomi. Dan jelaslah bahwa fashion dan pakaian pun terkait erat dengan bekerjanya kekuasaan. Satu contoh “fashion” yang digunakan untuk kekuasaan politik yakni penggunaan bintik-bintik kecantikan di inggris.20 9. Kondisi Magis Religius Dikenakan secara permanen atau secara berkala, pakian atau fashion menunjukan keanggotaan atau afiliasi, pada kelompok atau jamaah agama tertentu. Pakian dan fashion menandakan status atau posisi di dalam kelompok atau jemaah tersebut. Untuk menunjukan kekuatan atau kedalaman keyakinan atau tingkat partisipasi. 10. Ritual Sosial 20 Ibid hal 91-93 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 23 Fashion akan dipandang hanya dalam artian cara yang digunakan untuk menandai awal dan akhir ritual untuk membuat pembedaan antara ritual dan non ritual. Orang tidak biasa mengenakan fashion atau pakian yang biasa di pakai sehari-hari saat menghadiri perkawainan atau pemakaman. 11. Rekreasi Pakaian atau fashion digunakan sebagai rekreasi untuk mennjukan bahwa fashion dan pakaian memiliki aspek rekreasional dan menimbulkan kenikmatan, karena itu fashion dan pakaian sekedar untuk kesenangan, cara menimbulkan kenikmatan.21 2.5 Fenomenologi 2.5.1 Pengertian Fenomenologi Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya bersinar atau bercahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa Indonesia berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan.22 Fenomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrickh Lambert, tahun 1764. Meskipun demikian Edmund Husserl (1859-1938) lebih dipandang sebagai bapak 21 Ibid hal 95-98 Sugeng Pujileksono,. Metode Penelitian Komunikasi : Kualitatif. Malang : Intrans Publishing 2015 hal 64 22 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 24 fenomenologi, karena intensitas kajiannya dalam ranah filsafat. Fenomenologi yang kita kenal melalui Husserl adalah ilmu tentang fenomena.23 Fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl bersemboyankan: zuruck zu den sachen selbst (Kembali ke hal-hal itu sendiri). Pemahaman yang berarti bahwa fenomenologi, sebagaimana dikatakan Husserl merupakan metoda untuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya. Menurut Husserl, fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan.24 Dengan demikian, mengutip pendapat Creswell fenomenologi berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, termasuk di dalamnya konsep diri atau pandangan hidup mereka sendiri.25 Littlejohn menyebutkan: “phenomenology makes actual lived experience the basic data of reality”. Jadi dalam fenomenologi, pengalaman hidup yang sesungguhnya sebagai data dasar dari realita. Sehingga dalam kajian fenomenologi yang penting ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya.26 Untuk tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan 23 Farid Hamid. Pendekatan Fenomenologi Suatu ranah Penelitian Kualitatif .Jakarta: MediaKom Jurnal Ilmiah 2011 hal 3. 24 Delfgaauw,. Filsafat Abad 20. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1988 hal 105 25 Creswell. Qualitative Inquiry: Choosing Among Five Traditions. USA: Sage Publications Inc 1998 hal 51 26 Littlejohn Stephen W& Karen A.Foss,. Teori Komunikasi (Theories of Human Communication) Belmont: Thomson Learnig Academic Resource Center 1996. hal 204 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 25 perhatiannya kepada fenomena tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya. Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran.27 Alfred Schutz mengatakan bahwa, fenomenologi sebagai metode yang dirumuskan sebagai media untuk memeriksa dan menganalisis kehidupan batiniah individu yang berupa pengalaman mengenai fenomena atau penampakan sebagaimana adanya, yang lazim disebut arus kesadaran.28 Tugas fenomenologi menurut Schutz adalah untuk menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-hari, sedangkan kegiatan dan pengalaman sehari-hari merupakan sumber dan akar dari pengetahuan ilmiah. 29 Berbeda dengan pendekatan positivistik yang menganggap realitas itu tunggal, Alfred Schutz dengan fenomenologinya memperkenalkan konsep realitas berganda (multiple reality). Bagi Schutz, realita di dunia ini bukan hanya dalam realitas kehidupan sosial, tetapi juga termasuk realitas fantasi, realitas mimpi, dan sebagainya. Dalam hal ini Schutz memodifikasi dasar-dasar pengertian William James tentang “bagian alam semesta”. Kita mengalami berbagai jenis realita atau “bagian alam semesta”, dari dunia fisik yang paling penting, dunia ilmu, dunia keyakinan suatu suku, dunia supernatural, dunia opini individu, sampai pada dunia kegilaan (madness), dan dunia khalayan. Tetapi James tidak membahas 27 Delfgaauw, Bernard.. Filsafat Abad 20. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara wacana Yogya 1988. Hal 105 28 Campbell,. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius 1994 hal 233. 29 Farid Hamid. Pendekatan Fenomenologi Suatu ranah Penelitian Kualitatif .Jakarta: MediaKom Jurnal Ilmiah 2011 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 26 implikasi sosial dari tatanan-tatanan realitas sosial yang berbeda tersebut, dan inilah yang ingin dikembangkan lagi oleh Schutz. Menurut Schutz dunia sehari-hari merupakan dunia intersubjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Dalam dunia ini kita selalu membagi-bagi dengan teman-teman kita, dan dengan yang lainnya, yang juga menjalani dan menafsirkannya. Oleh karenanya dunia kita secara keseluruhan tidak akan pernah bersifat pribadi sepenuhnya, bahkan di dalam kesadaran kita, kita akan selalu menemukan bukti adanya kesadaran orang lain. Ini merupakan suatu bukti bahwa situasi biografi kita yang unik ini tidak seluruhnya merupakan produk dari tindakan-tindakan kita sendiri. Sampai di sini teori Schutz, sangat mirip dengan interaksionis simbolis dari George Herbert Mead. Tetapi menurut Schutz dunia intersubyektif terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda, di mana realitas sehari-hari yang merupakan common sense atau diambil begitu saja, tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian besar kepada realitas common-sense ini. Realitas seperti inilah yang kita terima, mengenyampingkan setiap keraguan, kecuali realitas itu dipermasalahkan. Realitas common-sense dan eksistensi sehari-hari itu dapat disebut sebagai kepentingan praktis kita dalam dunia sosial. Menurut Schutz esensi dari akal sehat ada dengan sendirinya, yakni dalam dunia keseharian. Ini merupakan elaborasi Labenswelt yang dikemukakan Husserl.30 Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia 30 Farid Hamid. Pendekatan Fenomenologi Suatu ranah Penelitian Kualitatif .Jakarta: MediaKom Jurnal Ilmiah 2011 hal 5 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 27 dengan pengalaman pribadinya. Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak dapat berdiri sendiri, karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran yang lebih lanjut.31 2.5.2 Jenis-jenis Fenomenologi 1. Classical Phenomenology atau Trancendental Phenomenology Fenomenologi transendental menekankan pada subjektifitas dan pengungkapan inti dari pengalaman dengan sebuah metodologi yang sistematis dan disiplin untuk asal mula pengetahuan. Pendekatan Edmund Husserl ini disebut “Phenomenology” karena hanya menggunakan data yang hanya dialami melalui kesadaran terhadap suatu objek. Disebut “transcendental” , karena mengacu pada apa yang bisa diungkapkan melalui refleksi dalam tindakantindakan subjektif dan keobjektifan yang menghubungkan tindakan-tindakan tersebut.32 2. Social Phenomenology Fenomenologi sosial dikembangkan oleh Alfred Schutz dengan menggabungkan pemikiran fenomenologi transendental Edmund Husserl dengan konsep “verstehen” Max Weber. Melalui fenomenologi sosialnya, Schutz mengembangkan model tindakan manusia (Human of Action) dengan tiga dalil umum yaitu: a. The postulate of logical consistency (Dalil Konsistensi Logis) 31 Littlejohn Stephen W& Karen A.Foss,. Teori Komunikasi (Theories of Human Communication) Jakarta: Salemba Humanika 2007 32 Moustakas, Clark Phenomenological Research Methods. New Delhi: Sage Publications 1994 hal 45 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 28 Ini berarti konsistensi logis mengharuskan peneliti untuk tahu veliditas tujuan penelitiannya sehingga dapat dianalisis bagaimana hubungannya dengan kenyataan kehidupan sehari-hari apakah bisa dipertanggung jawabkan ataukah tidak. b. The postulate of subjective interpretation (Dalil Interpretasi Subyektif) menuntut peneliti untuk memahami segala macam tindakan manusia atau pemikiran manusia dalam bentuk tindakan nyata. Maksudnya peneliti harus memposisikan diri secara subyektif dalam penelitian agar benarbenar memahami manusia yang telah diteliti dalam fenomenologi sosial. c. The postulate of adequacy (Dalil Kecukupan) Dalil ini mengamanatkan peneliti untuk membentuk konstruksi ilmiah (hasil penelitian) agar peneliti bisa memahami tindakan sosial individu. Kepatuhan terhadap dalil ini akan memastikan bahwa konstruksi sosial yang dibentuk konsisten dengan konstruksi yang ada dalam realitas sosial. 3. Hermeneutic Phenomenology Merupakan sintetis dari beberapa metode hermeneutik dan metode fenomenologi, salah satunya dikembangkan oleh Paul Ricoeur. Sambil mengkritik idealisme Husserl, Ricoeur menunjukan bahwa hermenutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tidak tergantikan bagi hermeneutika. Di sisi lain, fenomenologi tidak dapat menjalankan programnya untuk memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran itu dibutuhkan hermeneutika. Secara umum, fenomenologi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 29 merupakan kajaian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyekobyek disekitarnya. Menurut Ricoeur, sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutik terlibat disana. Jadi pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi. Dengan dasar itu Ricoeur mengembangkan metode fenomenologi hermeneutik.33 33 Sugeng Pujileksono,. Metode Penelitian Komunikasi : Kualitatif. Malang : Intrans Publishing 2015 hal 65-66 http://digilib.mercubuana.ac.id/