89 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertumbuhan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam
jangka panjang (Boediono, 1999 : 8). Pengertian tersebut mencakup tiga aspek,
yaitu : proses, output perkapita dan jangka
merupakan
suatu
proses,
bukan
gambaran
panjang. Pertumbuhan ekonomi
ekonomi
pada
suatu
saat.
Mencerminkan aspek dinamis dari suatu perekonomian, yaitu melihat bagaimana
suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu.
Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita.
Dalam hal ini berkaitan dengan output total (GDP) dan jumlah penduduk, karena
output per kapita adalah output total dibagi dengan jumlah penduduk. Jadi proses
kenaikan output perkapita harus dianalisa dengan melihat apa yang terjadi dengan
output total disatu pihak, dan jumlah penduduk di pihak lain. Dengan perkataan
lain, pertumbuhan ekonomi mencakup pertumbuhan GDP total dan pertumbuhan
penduduk.
Aspek ketiga dari definisi pertumbuhan ekonomi adalah perspektif waktu
jangka waktu suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila
dalam waktu yang cukup lama (10, 20 atau 50 tahun, atau bahkan lebih lama lagi)
mengalami kenaikan output per kapita. Tentu saja dalam waktu tersebut bisa
terjadi kemerosotan output per kapita, karena gagal panen misalnya, tetapi apabila
dalam waktu yang cukup panjang tersebut output per kapita menunjukkan
89
kecenderungan menaik maka dapat kita katakan bahwa pertumbuhan ekonomi
terjadi.
Beberapa ekonom berpendapat bahwa adanya kecenderungan menaik bagi
output per kapita saja tidak cukup, tapi kenaikan output harus bersumber dari
proses intern perekonomian tersebut. Dengan kata lain proses pertumbuhan
ekonomi harus bersifat self-generating, yang berarti bahwa proses pertumbuhan
itu sendiri menghasilkan kekuatan bagi timbulnya kelanjutan pertumbuhan dalam
periode-periode selanjutnya.
2.2. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik
Teori pertumbuhan Solow-Swan telah dikategorikan sebagai teori
pertumbuhan
neoklasik.
Model
pertumbuhan
Solow
dirancang
untuk
menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan
kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana
pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan
(Mankiw, 2007). Dalam model ini, pertumbuhan ekonomi jangka panjang
ditentukan secara exogen, atau dengan kata lain ditentukan di luar model. Model
ini memprediksi bahwa pada akhirnya akan terjadi konvergensi dalam
perekonomian menuju kondisi pertumbuhan steady-state yang bergantung hanya
pada perkembangan teknologi dan pertumbuhan tenaga kerja. Dalam hal ini,
kondisi steady-state menunjukkan equilibrium perekonomian jangka panjang
(Mankiw, 2007).
90
Asumsi utama yang digunakan dalam model Solow adalah bahwa modal
mengalami diminishing returns. Jika persediaan tenaga kerja dianggap tetap,
dampak akumulasi modal terhadap penambahan output akan selalu lebih sedikit
dari penambahan sebelumnya, mencerminkan produk marjinal modal (marginal
product of capital) yang kian menurun Jika diasumsikan bahwa tidak ada
perkembangan teknologi atau pertumbuhan tenaga kerja, maka diminishing return
pada modal mengindikasikan bahwa pada satu titik, penambahan jumlah modal
(melalui tabungan dan investasi) hanya cukup untuk menutupi jumlah modal yang
susut karena depresiasi. Pada titik ini perekonomian akan berhenti tumbuh, karena
diasumsikan bahwa tidak ada perkembangan teknologi atau pertumbuhan tenaga
kerja.
Pertumbuhan ekonomi menurut model pertumbuhan Solow dirancang
untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan
angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta
bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa menuju pertumbuhan
steady-state yang bergantung hanya pada perkembangan teknologi dan
pertumbuhan tenaga kerja.
Kenaikan tingkat tabungan akan mengarah ke tingkat pertumbuhan
ekonomi output yang tinggi hanya jika kondisi steady-state dicapai. Saat
perekonomian berada pada kondisi steady-state, tingkat pertumbuhan output per
pekerja hanya bergantung pada tingkat perkembangan teknologi. Hanya
perkembangan teknologi yang bisa menjelaskan peningkatan standar of living
yang berkelanjutan.
91
Model solow diawali dari fungsi produksi Y/L = F(K/L) dan dituliskan
sebagai y = f(k), dimana y = Y/L dan k = K/L produksi ini menunjukkkan bahwa
jumlah output per pekerja (Y/L) adalah fungsi dari jumlah modal per pekerja
(K/L) fungsi produksi mengasumsikan diminishing return terhadap modal yang
mencerminkan dari kemiringan dari fungsi produksi tersebut. Kemiringan fungsi
produksi menggambarkan produk marjinal modal (marginal product of capital)
yang menggambarkan banyaknya output tambahan yang dihasikan seorang
pekerja ketika mendapatkan satu unit modal tambahan ( Mankiw, 2007). Model
solow secara matematis sebagai berikut :
Δk = sf (k)-(n+ δ+g)k
(2.1)
dimana :
y = f(k) = F(K/L)
n = tingkat pertumbuhan penduduk
δ = depresiasi
k = modal per pekerja = K/L
y = output per pekerja = Y/L
s = tingkat tabungan
g = tingkat perkembangan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja
Pada model Solow tanpa perkembangan teknologi, perubahan modal per
pekerja ditentukan oleh tiga variabel berikut, yaitu investasi (s), pertumbuhan
penduduk (n) dan depresiasi atau penyusutan (δ).
Dalam kondisi steady-state, Δk harus sama dengan nol sehingga sf(k) = (n+ δ)k,
92
sf(k) = (n + δ+ g) k
(2.2)
Pada kondisi steady-state, output per tenaga kerja dan konsumsi per tenaga
kerja masing- masing adalah
y = f (k )
(2.3A)
C = y −i
= f (k ) − sf (k )
= f (k ) − (n + δ + g )k
(2.3B)
Pada kondisi golden-rule, diketahui bahwa produk marginal modal per
tenaga kerja adalah
MPK = (n + δ + g )k
Secara grafik, model pertumbuhan solow( tanpa perkembangan teknologi)
y,i
(n + δ+ g) k
y = f(k)
i = sf (k)
k
Sumber: N.Gregory Mankiw ( MakroEkonomi edisi delapan )
Gambar 2.1. Model Pertumbuhan Solow
93
Jika sf (k) > (n+ δ+g)k , atau jika tabungan lebih besar daripada tingkat
pertumbuhan penduduk ditambah tingkat depresiasi dan kemajuan teknologi,
maka modal per pekerja (k) akan naik. Kondisi ini dikenal sebagai capital
deepening. Sementara capital widening merujuk pada kondisi saat modal
meningkat pada tingkatan yang hanya cukup untuk mengimbangi pertumbuhan
penduduk dan depresiasi.
Pada kondisi steady-state, output per pekerja adalah konstan. Namun
demikian, output total tumbuh dengan kecepatan sama dengan pertumbuhan
penduduk, yaitu n. Apabila modal per pekerja lebih kecil dari modal pekerja
steady- state atau tabungan lebih besar dari modal yang dibutuhkan maka modal
per pekerja naik menuju modal per pekerja steady state.
Ini menunjukkan capital deepening dan mendorong peningkatan output
per pekerja. Apabila modal per pekerja lebih besar dari modal per pekerja steady
state atau tabungan lebih kecil dari modal yang dibutuhkan maka modal per
pekerja turun menuju modal per pekerja steady-state.
.
Sumber: N.Gregory Mankiw ( MakroEkonomi edisi delapan )
Gambar 2.2. Model Pertumbuhan Solow Dengan Perubahan pada Tingkat
Tabungan
94
Apabila tingkat tabungan (s) naik maka modal per pekerja steady-state
naik. Peningkatan modal per pekerja (k) akan meningkatkan output per tenaga
kerja (y) dan konsumsi per pekrja (c).
Sumber: N.Gregory Mankiw ( MakroEkonomi edisi delapan )
Gambar 2.3. Model Pertumbuhan Solow dengan Perubahan pada
Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk pada grafik diatas, kenaikan tingkat pertumbuhan
penduduk dari n ke n1 menghasilkan garis capital widening baru (n1+d). Kondisi
steady-state tingkat per pekerja yang lebih rendah dibandingkan kondisi steadystate awal titik B, memiliki tingkat modal per pekerja yang lebih rendah
dibandingkan kondisi steady-state awal di titik A. Model Solow memprediksi
bahwa perekonomian dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi
akan memiliki tingkat modal per pekerja yang lebih rendah dan karenanya
pendapatan yang lebih rendah pula.
Ada dua masalah dalam perhitungan besarnya perbedaan pendapatan
berdasarkan perbedaan modal. Pertama , perbedaan modal yang dibutuhkan
adalah terlalu besar. Tidak ada bukti mengenai perbedaan pada stok modal.
Kenyataan bahwa rasio modal-output adalah konstan terhadap waktu. Kedua,
adalah perbedaan dalam output untuk modal yang berbeda tanpa perbedaan tenaga
95
kerja efektif akan berimplikasi pada keragaman yang sangat besar pada tingkat
pengembalian
terhadap
modal.
Jika
pasar
bersifat
kompetitif,
tingkat
pengembanlian terhadap modal adalah sama dengan produk marginal, f(k)
dikurangi depresiasi.
2.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Pemerintah Versi Keynes
Teori yang membahas mengenai hubungan pengeluaran pemerintah
dengan pertumbu- han ekonomi diuraikan panjang lebar dalam The General
Theory Keynes. Teori ini menguraikan bahwa pendapatan total perekonomian
dalam jangka pendek, sangat ditentukan oleh keinginan rumah tangga,
perusahaan dan pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya. Untuk
memodelkan pandangan Keynesian mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah
terhadap pertum- buhan ekonomi ini diilustrasikan dengan pemodelan yang
disebut perpotongan Keynesian (Mankiw, 2007), seperti yang ditunjuk- kan
pada gambar 1.
Gambar 2.4. Perpotongan Keynesian, Pergeseran ke atas dalam
Pengeluaran Pemerintah yang Direncanakan Sebesar ∆G
Meningkatkan Output Sebesar ∆G/(1-MPC)
96
Besarnya kenaikan output sebagai dampak dari kenaikan pengeluaran
peme- rintah disebut pengganda pembelian peme- rintah (Government purchases
multiplier) yang diukur dengan rasio ∆Y/∆G. Implikasi dari perpotongan
Keynesian adalah bahwa kenaikan output (∆Y) lebih besar dari kenaikan
pengeluaran pemerintah (∆G), hal ini di sebabkan karena adanya efek berantai
yang ditimbulkan dari peningkatan penge- luaran pemerintah. Proses ini bermula
dari perubahan awal pengeluaran pemerintah sebesar ∆G meningkatkan output ∆Y
sebesar ∆G, pen ingkatan output atau pendapatan ini selanjutnya meningkatkan
konsumsi masya- rakat sebesar MPC x ∆G, di mana MPC (Marginal Propensity
to Consume) adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal. Kenaikan dalam
pendapatan yang kedua ini sekali lagi meningkatkan konsumsi sekarang sebesar
MPC x (MPC x ∆G) dan seterusnya, sehingga angka pengganda ini merupakan
seri geometri tidak terhingga. Secara aljabar pengganda pemerintah ini dapat
dituliskan:
∆Y
= 1 + MPC + MPC 2 + MPC 3 + ...
∆G
∆Y
= 1 /(1 − MPC)
∆G
1
∆Y
∆G
=
∆G 1 − MPC
(2.7)
Selanjutnya
menurut
(Loizides,et,al,
2005)
menunjukkan
bahwa
pertumbuhan substansial dari besaran pengeluaran pemerintah baik di negara maju
maupun pada negara berkembang ini sejak Perang Dunia II, dan pengaruhnya
pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang (atau sebaliknya), telah banyak
97
menjadi subyek penelitian. Di sisi lain, studi pembiayaan publik telah diarahkan
untuk mengidentifikasikan penye- bab pertumbuhan sektor publik. Hukum
Wagner mengenai pengeluaran publik adalah salah satu usaha paling awal yang
menekankan pertumbuhan ekonomi sebagai determinan
mendasar dari
pertumbuhan sektor publik. Sejumlah studi menemukan hubungan positif yang
nyata antara pertumbuhan sektor publik dan pertumbuhan ekonomi hanya untuk
negara berkembang tetapi bukan pada negara maju, yang lainnya malahan
melaporkan hubungan negatif antara pembe- lanjaan pemerintah dan GNP.
2.4. Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern
Meliputi teori pertumbuhan Rostow, Kuznet, dan Teori Harrod-Domar.
Menurut Rostow (dalam Suryana, 2000 : 60) pembangunan ekonomi adalah suatu
transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, melalui
tahapan: masyarakat tradisional, prasyarat lepas landas, lepas landas, tahap
kematangan dan masyarakat berkonsumsi tinggi.
Kuznet (dalam Suryana, 2000 : 61) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi
sebagai kemampuan jangka panjang untuk menyediakan berbagai jenis barang
ekonomi yang terus meningkat kepada masyarakat. Kemampuan ini tumbuh atas
dasar kemajuan teknologi, institusional dan ideologis yang diperlukannya.
Harrod-Domar (dalam Suryana, 2000 : 62) mengembangkan analisa
Keynes yang menekankan tentang perlunya penanaman modal dalam menciptakan
pertumbuhan ekonomi. Setiap usaha ekonomi harus menyelamatkan proporsi
tertentu dari pendapatan nasional yaitu untuk menambah stok modal yang akan
digunakan dalam investasi baru.
Menurut Harrod-Domar terdapat hubungan
98
ekonomi yang langsung antar besarnya stok modal ( C ) dan jumlah produksi
nasional ( Y ).
Growth =
S
COR
(2.8)
dimana :
Growth = Pertumbuhan
S
= Saving
COR
= Capital Output Ratio
2.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, faktor
ekonomi dan non ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung pada
sumber alamnya, sumberdaya manusia, modal, usaha, teknologi dan sebagainya.
Semua itu merupakan faktor ekonomi.
Namun pertumbuhan ekonomi tidak
mungkin terjadi selama lembaga sosial, kondisi politik, dan nilai-nilai moral
dalam suatu bangsa tidak menunjang. Di dalam pertumbuhan ekonomi, lembaga
sosial, sikap budaya, nilai moral, kondisi politik dan kelembagaan merupakan
faktor non ekonomi.
Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama
yang mempengaruhi pertumbuhan.
Laju pertumbuhan ekonomi jatuh atau
bangunnya merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi di dalam faktor
produksi tersebut. Beberapa faktor ekonomi yang turut mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi adalah: sumber daya alam, akumulasi modal, organisasi,
kemampuan teknologi, pembagian kerja dan skala produksi.
99
Faktor-faktor non ekonomi bersama-sama faktor ekonomi saling
mempengaruhi kemajuan perekonomian. Faktor non ekonomi juga memiliki arti
penting di dalam pertumbuhan ekonomi. Beberapa faktor non ekonomi yang
mempengaruhi pertumbuhan terdiri dari :
1. Faktor Sosial. Faktor sosial dan budaya juga mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi.
2. Faktor Manusia. Sumber Daya Manusia merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan ekonomi.
3. Faktor Politik dan Administratif. Struktur politik dan administrasi yang lemah
merupakan penghambat besar bagi pembangunan ekonomi negara terbelakang.
Menurut Nurkse (dalam Jhingan, 1995 : 93) : “Pembangunan ekonomi
berkaitan dengan peranan manusia, pandangan masyarakat, kondisi politik, dan
latar belakang histories”. Didalam Pertumbuhan ekonomi, faktor sosial, budaya,
politik dan psikologis adalah sama pentingnya dengan faktor ekonomi.
2.6. Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Data ekonomi merupakan sumber informasi sistematik untuk dapat
mengukur sejauhmana perkembangan aktivitas ekonomi suatu negara. Suatu data
yang
akurat
diharapkan
dapat
menggambarkan
suatu
kondisi
statistik
perekonomian. Statistik ini digunakan oleh para ahli ekonomi untuk mempelajari
perekonomian
dan
oleh
para
pengambil
keputusan
untuk
mengawasi
pembangunan ekonomi dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat.
100
Dalam konsep dasar ekonomi makro indikator yang digunakan dalam
mengukur pertumbuhan ekonomi, adalah produk domestik bruto (PDB). Produk
Domestik Bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa akhir
yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu (Mankiw,
2006: 19).
Dalam konsep regional Produk Domestik Bruto dikenal sebagai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan indikator ekonomi makro
suatu
daerah,
yang
menggambarkan
ada
atau
tidaknya perkembangan
perekonomian daerah. Dengan menghitung PDRB secara teliti dan akurat baik
atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan dapat diambil beberapa
kesimpulan mengenai keberhasilan pembangunan di suatu daerah, yang
memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi yang mewakili peningkatan produksi
di berbagai sektor lapangan usaha yang ada (Saggaf, 1999: 15).
Berdasarkan rumusan pengertian di atas, maka dalam konsep regional,
pertumbuhan ekonomi daerah adalah angka yang ditunjukkan oleh besarnya
tingkat pertumbuhan produk domestik regional bruto suatu daerah yang diukur
atas dasar harga konstan. Bagi suatu daerah provinsi, kabupaten/kota gambaran
PDRB yang mencerminkan adanya laju pertumbuhan ekonomi dapat dilihat
dalam data sektor- sektor ekonomi yang meliputi pertanian, pertambangan dan
penggalian, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih, bangunan, perdagangan
hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan
jasa perusahaan dan jasa- jasa lainnya. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari
data konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal bruto,
perubahan persediaan, ekspor dan impor. Sedangkan pertumbuhan ekonomi
101
daearah dirumuskan sebagai berikut:
PED = Y t
− Y t −1
Y
X 100
t −1
(2.9)
dimana :
PED = Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Yt = Produk Domestik Regional Bruto Periode Tertentu
Yt -1 = Produk Domestik Regional Bruto Periode Sebelumnya
Keseimbangan pendapatan daerah tanpa ekspor impor dirumuskan oleh persamaan
:
Y= C + I + G
(2.10)
Pengeluaran atau pembelian pemerintah daerah (G) dibiayai oleh penerimaan
pemerintah daerah, yaitu pajak (T) setelah dikurangi transfer (Tr). Penerimaan
pajak oleh pemerintah daerah akan mengurangi konsumsi (C), namun pemberian
transfer (Tr) akan menambah konsumsi, sehingga konsumsi merupakan fungsi
dari pendapatan, pajak dan transfer, yaitu:
C = C (Y-T + Tr)
(2.11)
Substitusi persamaan (2.11) ke (2.10) akan menghasilkan keseimbangan
pendapatan daerah, yaitu:
Y = C ( Y - T + Tr ) + I + G
(2.12)
Dampak belanja atau pembelian pemerintah (G) dan penerimaan pemerintah (T)
102
serta pemberian transfer (Tr) terhadap pendapatan daerah ditunjukkan melalui
proses multiplier belanja atau pembelian pemerintah dan penerimaan pemerintah,
yaitu:
Y = C ( Y ) - C ( T ) + C(Tr) + I + G
dY =
dC
dC
dC
.dY −
.dT +
.dTr + dG + dI
dY
dY
dY
(2.13)
Dalam konsep ekonomi makro dC/dY disebut Marginal Propensity to Consume
(MPC), sehingga:
d Y = MPC d Y - MPC d T + MPC d Tr + d G +d I
d Y - MPC d Y = - MPC d T + MPC d Tr + d G +d I
d Y ( 1 - MPC ) = - MPC d T + MPCd Tr + d G+d I
dY =
=
− MPC
− MPC
1
1
dT +
dTR +
dG +
dI
1 − MPC
1 − MPC
1 − MPC
1 − MPC
− MPC
MPC
1
dI +
dTR +
(dG + dI)
MPS
MPS
MPS
(2.14)
Dari persamaan (2.14) ditunjukkan bahwa peningkatan penerimaan atau
pendapatan pemerintah (T) akan menurunkan pendapatan daerah, akan tetapi
sebaliknya peningkatan transfer dan peningkatan belanja atau pembelian
pemerintah akan meningkatkan pendapatan daerah.
Nilai dari - MPC/MPS disebut multiplier penerimaan atau pendapatan
pemerintah dan 1/MPS disebut multiplier belanja atau pembelian pemerintah dan
investasi. Analog dengan keseimbangan pendapatan nasional, keseimbangan
pendapatan regional daerah atau PDRB dipengaruhi oleh pendapatan pemerintah
103
daerah dan belanja pemerintah daerah. Pendapatan daerah dibedakan menjadi
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer (PT), Lain-lain Pendapatan
Daerah yang Sah (LPYS). Sedangkan belanja daerah (BD) adalah alokasi belanja
yang bersumber dari pendapatan daerah yang diyakini langsung mempengaruhi
PDRB.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa kinerja keuangan daerah
digambarkan oleh realisasi pendapatan daerah dan realisasi belanja daerah. Dari
rumusan pendapatan nasional diketahui bahwa peningkatan pendapatan daerah
akan menurunkan PDRB, sehingga peningkatan realisasi PAD akan menurunkan
PDRB. Sedangkan peningkatan realisasi anggaran belanja daerah akan
meningkatkan PDRB. Dengan kata lain, jika realisasi pendapatan daerah lebih
besar dari realisasi belanja maka PDRB turun. Sebaliknya jika realisasi
pendapatan lebih rendah dari realisasi belanja daerah maka PDRB akan naik.
Pengaruh tingkat capaian belanja daerah terhadap PDRB adalah positif, di mana
realisasi belanja daerah yang makin tinggi teralokasi terhadap 9 (sembilan)
sektor ekonomi akan dapat memacu pertumbuhan masing-masing sektor
ekonomi tersebut.
Menurut hukum wagner, dalam suatu perekonomian apabila pendapatan
perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat
(Mangkoesoebroto, 2001 : 173). Hukum tersebut dapat dirumuskan sebagai
berikut :
GpCt
GpCt-1
>
YpCt
GpCt-2
>
YpCt-1
GpCt-n
>
YpCt-2
…….
>
YpCt-n
104
Keterangan :
GpC
: Pengeluaran pemerintah per kapita
YpC
: Produk atau pendapatan nasional per kapita
t
: indeks waktu (tahun)
Menurut Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah
selalu meningkat, yaitu : tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan
pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi
pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi, dan ketidakefisienan birokrasi
yang mengiringi perkembangan pemerintah (Dumairy, 1996 : 162).
Menurut Peacock dan Wiseman, perkembangan ekonomi menyebabkan
pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tariff pajak tidak berubah,
dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga
semakin meningkat.
2.6.1. Komponen Pendapatan dan Belanja Daerah
Secara garis besar pengelolaan keuangan daerah meliputi 2 (dua) bidang
pokok, yaitu
pengelolaan
pendapatan
daerah
dan
pengelolaan
belanja
daerah. Sumber-sumber pendapatan daerah meliputi Pendapatan Asli Daerah
(PAD), Pendapatan Transfer dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Sedangkan
belanja daerah menurut sasaran alokasinya terdiri dari belanja operasi, belanja
modal dan belanja tak terduga. Komponen-komponen Pendapatan Daerah adalah
terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan
yang sah.
105
Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan oleh Bendahara Umum
Daerah (BUD) yang berasal dari potensi asli daerah yang bersangkutan sesuai
kewenangan daerah tersebut. Penerimaan tersebut akan menambah ekuitas dana
lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan dan menjadi hak
pemerintah daerah serta tidak perlu dibayar kembali. Sumber-sumber Pendapatan
Asli Daerah berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dan Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Selanjutnya menurut
Pasal 6 ayat (2) Undang- Undang tersebut di atas, lain-lain pendapatan asli daerah
yang sah adalah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, jasa
giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing, komisi potonga ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan atau pengadaan barang dan atau jasa oleh daerah.
Dana perimbangan adalah penerimaan daerah dalam bentuk pendapatan
transfer yaitu pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah yang bersumber dari
transfer pemerintah atasan yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
Pendapatan ini meliputi Dana Bagi Hasil (DBH) pajak, Dana Bagi Hasil
Sumber Daya Alam (DBH-SDA), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK).
Lain-lain Pendapatan yang Sah adalah pendapatan yang bersumber
dari Pendapatan hibah, Pendapatan dana darurat dan Pendapatan lainnya. Namun
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan pada Lampiran IVc diuraikan bahwa keseluruhan jenis
pendapatan daerah tersebut di atas dikonversi dalam penyajian laporan keuangan
106
dikelompokkan menjadi:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah;
2. Pendapatan transfer yang terdiri dari pendapatan transfer dari pemerintah
pusat (dana perimbangan) yang terdiri dari DBH-SDA, DAU dan DAK,
transfer pemerintah
pusat
lainnya
(dana
otonomi
khusus
dana
penyesuaian); transfer pemerintah provinsi yang terdiri dari pendapatan bagi
hasil pajak dan pendapatan bagi hasil lainnya;
3. Lain-lain pendapatan yang sah yang terdiri dari pendapatan hibah,
pendapatan dana darurat dan pendapatan lainnya.
Sedangkan komponen belanja daerah menurut Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 adalah terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung.
Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak terikat langsung dengan program
dan kegiatan yang
dipergunakan
untuk mendanai belanja pegawai, belanja
barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bagi hasil kepada provinsi,
kabupaten/ kota dan pemerintah desa dan belanja tak terduga Belanja langsung
adalah belanja yang terikat langsung dengan program dan kegiatan yang
digunakan untuk membiayai belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja
modal.
Dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan keseluruhan jenis belanja daerah tersebut di atas
dikonversi dalam penyajian laporan keuangan dikelompokkan menjadi belanja
operasi, belanja modal, belanja tak terduga dan belanja transfer.
107
1. Belanja operasi yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja
bunga, belanja subsidi, belanja hibah dan belanja bantuan.
2. Belanja modal yang terdiri dari belanja tanah, belanja peralatan dan
mesin, belanja gedung dan bangunan, belanja jalan irigasi dan jaringan,
belanja aset tetap lainnya dan belanja aset lainnya.
3. Belanja tak terduga adalah belanja yang dianggarkan untuk mendanai
kegiatan yang sifatnya darurat dan belum dapat diperkirakan sebelumnya.
4. Belanja transfer/bagi hasil ke desa yang meliputi bagi hasil pajak, bagi
hasil retribusi, bagi hasil pendapatan lainnya.
Reformasi dalam pengelolaan anggaran daerah adalah merupakan
kebutuhan mendesak yang perlu dilakukan mengingat anggaran daerah sebagai
rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam periode
tertentu (satu tahun), selama ini belum mampu memberikan hasil secara optimal.
Hal ini disebabkan karena selama ini anggaran daerah lebih merupakan instrumen
pembinaan pemerintah atasan kepada pemerintah di bawahnya. Namun demikian
di era reformasi, memang telah terlihat adanya perubahan yang mendasar dalam
peran dan fungsi anggaran daerah seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang
No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dengan reformasi ini diharapkan anggaran daerah mampu memainkan perannya
sebagai instrumen kebijakan dan instrumen manajemen bagi pemerintah daerah.
Menurut Jones (1996), sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah
menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas
pemerintah daerah. Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu secara
108
optima difungsikan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan
pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan,
otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan
ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para
pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Berdasarkan Organisasi Komunitas Perpustakaan Online Indonesia
(diakses tanggal 18 Agustus 2010) dijelaskan bahwa kebijakan fiskal adalah suatu
kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk
menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran
pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur
jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada pengaturan
pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh
pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat
akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan
sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta
menurunkan output industri secara umum. Oleh karena itu ada 3 (tiga) bentuk
kebijakan anggaran/politik anggaran yang dapat dilakukan sesuai kondisi
perekonomian daerah, yaitu:
1. Anggaran defisit (defisit budget) atau disebut juga kebijakan fiskal
ekspansif yaitu suatu bentuk kebijakan pemerintah untuk membuat
pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada
perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi
109
sedang resesif.
2.
Anggaran surplus (surplus budget) atau disebut juga kebijakan fiskal
kontraktif yaitu suatu bentuk kebijakan pemerintah untuk membuat
pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Sebaiknya politik
anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang
ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan
permintaan.
3. Anggaran
berimbang
(balanced
budget),
yaitu
suatu
bentuk
kebijakan anggaran di mana pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar
dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya
kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan
yang tidak terlepas dari kebijakan anggaran dengan titik berat pada kebijakan
penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi kebijakan penerimaan misalnya, selain
upaya meningkatkan PAD, pemerintah daerah juga diharapkan mampu mengelola
seluruh pendapatan dan pengeluaran atau belanja daerahnya. Hal ini dapat
dinyatakan sebagai suatu prestasi dan merupakan salah satu ukuran kinerja
pemerintah daerah tersebut. Ukuran kinerja dari sisi ini dilihat dengan
membandingkan antara rencana atau target pendapatan maupun pengeluaran atau
belanja daerah untuk berbagai kegiatan dan program dengan realisasinya.
110
2.7. Penelitian Sebelumnya
Siti Aisyah Tri Rahayu (2000). Dalam penelitiannya tentang pertumbuhan
ekonomi di Indonesia, menyebutkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di suatu
daerah (ΔY) merupakan fungsi dari laju pertumbuhan angkatan kerja (ΔL), rasio
investasi swasta PMA dan PMDN yang disetujui terhadap PDRB (IP), rasio
investasi pemerintah daerah terhadap PDRB (IG), rasio pengeluaran/konsumsi
pemerintah (belanja rutin) daerah terhadap PDRB ((G/Y) ΔG) dan rasio
penerimaan pemerintah daerah yang berasal dari pajak daerah dan penerimaan
non pajak terhadap PDRB (R/Y).
Arief Hadiono (2001) Dalam penelitiannya tentang pertumbuhan ekonomi
di propinsi Jawa Tengah menggunakan data polling sampel populasi kab/kota di
Jateng selama tahun 1994-1998 menyebutkan bahwa output suatu daerah (PDRB)
merupakan fungsi dari investasi pemerintah, penyerapan tenaga kerja dan sarana
angkutan umum.
Devarajan, Swaroop dan Zou (1996) mengemukakan bahwa di 43 negara
berkembang selama 20 tahun menunjukkan peningkatan pengeluaran rutin dan
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,
sebaliknya pengeluaran pembangunan menunjukkan pengaruh yang negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Fadilah (2004) menemukan Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 tumbuh 4,1
%, meningkat dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang tercatat sebesar 3,7 %.
Seluruh komponen permintaan tumbuh positif, sehingga kontribusi komponen–
komponen tersebut dalam pertumbuhan ekonomi juga meningkat.iSementara
investasi dan ekspor, walaupun mulai menunjukkan pertumbuhan positif, namun
111
perannya sebagai penggerak perekonomian relatif masih terbatas. Pertumbuhan
Ekonomi di negara Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari perubahan-perubahan
yang terjadi pada sistem perekonomian dunia. Liberalisasi perdagangan dan
globalisasi ekonomi telah mempercepat laju pertumbuhan negara-negara tersebut.
Perubahan tersebut yang disertai teknologi dan telekomunikasi telah mendorong
berkurangnya hambatan hambatan lalu lintas barang dan modal antar negara.
Hanum (2004) yang menggunakan metode OLS ( Ordinary Least Square)
antara lain menemukan bahwa untuk variabel pengeluaran pemerintah memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Mulatip dan Brodjonegoro (2004) dalam jurnal yang berjudul ”Determinan
Pertumbuhan Kota di Indonesia”. Dalam penelitian tersebut variabel yang
digunakan antara lain yaitu, pertumbuhan kota sebagai variabel terikat. Sebagai
variabel bebas yang digunakan yaitu, kepadatan penduduk, urbanisasi (primacy)
dan lokalisasi (proporsi manufaktur), pendapatan dan pengeluaran pemerintah,
dan tingkat pendidikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepadatan penduduk
berpengaruh secara negatif terhadap pertumbuhan kota. Urbanisasi (primacy) dan
lokalisasi (proporsi manufaktur) secara positif mempengaruhi pertumbuhan kota.
Sedangkan pendapatan dan pengeluaran pemerintah secara agregat dan tidak
signifikan mempengaruhi pertumbuhan kota. Tingkat pendidikan penduduk
sebagai faktor kunci dalam pertumbuhan, berkorelasi positif dengan pertumbuhan
kota. Kondisi ini menjelaskan pentingnya peran human capital baik pada level
kota maupun level negara.
112
Ananta (2006) mengidentifikasi terhadap faktor determinan pertumbuhan
ekonomi di suatu wilayah Propinsi Jawa Tengah. Studi ini menggunakan metode
penelitian deduktif kuantitatif dengan menggunakan Path Analysis. Hasil studi ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan model diagram jalur
sebelum krisis (1993-1996), saat krisis (1997-1999) dan setelah terjadi krisis
(2000-2005). Pada periode analisis sebelum krisis faktor-faktor yang signifikan
berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa
Tengah adalah jumlah penduduk (1,01); teknologi (0,36); dan infrastruktur (0,27)
dengan tingkat signifikansi 10%. Sedangkan variable tingkat pendidikan
berpengaruh tidak langsung sebesar (0,27) melalui variable teknologi. Pada saat
krisis faktor yang signifikan berpengaruh langsung adalah teknologi (0,49),
sedang tingkat pendidikan (0,17) berpengaruh tidak langsung dan pada tingkat
signifikansi 5%. Sementara setelah krisis faktor yang berpengaruh langsung
adalah jumlah penduduk (0,96); teknologi (0,33); infrastruktur (0,32); dan
investasi (0,31), sedangkan tingkat pendidikan berpengaruh secara tidak langsung
(0,17) melalui teknologi pada tingkat signifikansi 10%. Variabel jumlah penduduk
menjadi faktor dominan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Provinsi
Jawa Tengah, terutama untuk penduduk yang tinggal di perkotaan. Hal ini
disebabkan karena terkait dengan terjadinya aglomerasi di kota-kota besar.
Penduduk dan proses produksi ekonomi menumpuk di daerah perkotaan. Di sisi
lain, penduduk perkotaan diuntungkan dengan adanya aglomerasi sehingga
cenderung memiliki tingkat kesejahteraan yang baik dan menyebabkan tingkat
konsumsi lebih tinggi. Sementara proses produksi sendiri diuntungkan dengan
adanya kemudahan mencari pangsa pasar dan tenaga kerja.
113
2.8. Kerangka Konseptual
Dalam kerangka pemikiran perlu dijelaskan secara teoritis antara variabel
bebas dan variabel terikat. Berdasar pada uraian sebelumnya maka kerangka
pemikiran peneliti dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi (sebagai
variabel terikat) yang dipengaruhi oleh pengeluaran rutin, pengeluaran
pemerintah, dan investasi.
Pengeluaran
Pemerintah
Daerah
Pertumbuhan
Ekonomi
Investasi
Angkatan Kerja
Gambar 2.5. Kerangka konseptual
2.9. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian empiris yang telah dilakukan
sebelumnya, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:
1. Pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Dairi.
2. Investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Dairi.
3. Angkatan kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten
Dairi.
114
Download