PEMBERIAN EKSTRAK UMBI UBI JALAR UNGU

advertisement
TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK UMBI UBI JALAR UNGU
(Ipomoea batatas) DENGAN KANDUNGAN
ANTOSIANIN 7 MG TIDAK MENURUNKAN KADAR
N-CARBOXYMETHYL-LYSINE PADA TIKUS WISTAR
YANG DIBERI DIET TINGGI GLIKOTOKSIN
YULLI AGNES AWUY
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
TESIS
PEMBERIAN EKSTRAK UMBI UBI JALAR UNGU
(Ipomoea batatas) DENGAN KANDUNGAN
ANTOSIANIN 7 MG TIDAK MENURUNKAN KADAR
N-CARBOXYMETHYL-LYSINE PADA TIKUS WISTAR
YANG DIBERI DIET TINGGI GLIKOTOKSIN
YULLI AGNES AWUY
0990761029
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN BIOMEDIK
KEKHUSUSAN ANTIAGING
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
i
PEMBERIAN EKSTRAK UMBI UBI JALAR UNGU
(Ipomoea batatas) DENGAN KANDUNGAN
ANTOSIANIN 7 MG TIDAK MENURUNKAN KADAR
N-CARBOXYMETHYL-LYSINE PADA TIKUS WISTAR
YANG DIBERI DIET TINGGI GLIKOTOKSIN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Kekhususan Antiaging
pada Program Pascasarjana Universitas Udayana
YULLI AGNES AWUY
0990761029
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN BIOMEDIK
KEKHUSUSAN ANTIAGING
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2012
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL :
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila,
Sp.And.FAACS
NIP : 194612131971071001
Prof. dr. N. Agus Bagiada, Sp.BIOK
NIP : 1302464501
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Ilmu Kedokteran Biomedik
Kekhususan Antiaging
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila,
Sp.And.FAACS
NIP : 194612131971071001
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi,
Sp.S (K)
NIP : 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal :
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No
:
Tanggal :
Ketua
:
Anggota
:
Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.FAACS
1. Prof. dr. N. Agus Bagiada, Sp.BIOK
2. Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp. And
3. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp. FK
4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena
atas berkat dan karunianNya, tugas akhir dengan judul “PEMBERIAN
EKSTRAK UMBI UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas) DENGAN
KANDUNGAN ANTOSIANIN 7 MG TIDAK MENURUNKAN KADAR NCARBOXYMETHYL-LYSINE PADA TIKUS WISTAR YANG DIBERI
DIET TINGGI GLIKOTOKSIN” ini dapat diselesaikan.
Tulisan ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang
dijalani penulis untuk memperoleh gelar Magister pada Program Magister Ilmu
Kedokteran Biomedik Kekhususan Antiaging Universitas Udayana.
Dalam penyusunan tulisan ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan dan
masukan yang berharga dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis menyampaikan
rasa hormat dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.FAACS sebagai Ketua Program
Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Kekhususan Antiaging Universitas Udayana
dan Pembimbing I, yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan
kepada penulis selama penyusunan tesis ini.
2. Prof. dr. N. Agus Bagiada, Sp.BIOK sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan ide penelitian, masukan dan bimbingan kepada penulis selama
pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis ini.
3. Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp. And sebagai penguji yang telah
memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam pelaksanaan
penelitian dan penyusunan tesis ini.
v
4. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp. FK sebagai penguji yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis.
5. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D sebagai penguji yang telah
memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.
6. Prof. Nyoman Mantik Astawa dari Laboratorium Virologi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah memberikan masukan
dan bantuan dalam proses pemeriksaan darah sampel.
7. Bapak Gede Wiranatha dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana yang telah sangat membantu dalam proses pelaksanaan
penelitian.
Juga kepada para dosen pengajar dan rekan-rekan yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, juga kepada orang tua yang selalu memberikan dorongan,
penulis mengucapkan banyak terimakasih.
Manusia tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu penulis berharap dengan
segala kekurangan dalam tulisan tugas akhir ini, tetap dapat memberikan manfaat
bagi penulis pribadi, bagi Program Pendidikan Magister Ilmu Kedokteran
Biomedik Kekhususan Antiaging Program Pascasarjana Universitas Udayana,
serta bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Akhir kata, semoga Tuhan yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan berkat
kepada mereka semua.
Denpasar, April 2012
Yulli Agnes Awuy
vi
ABSTRAK
PEMBERIAN EKSTRAK UMBI UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas)
DENGAN KANDUNGAN ANTOSIANIN 7 MG TIDAK MENURUNKAN
KADAR N-CARBOXYMETHYL-LYSINE PADA TIKUS WISTAR YANG
DIBERI DIET TINGGI GLIKOTOKSIN
Diet tinggi glikotoksin dianggap sebagai salah satu faktor yang mempercepat
proses penuaan. Kadar sirkulasi glikotoksin akan meningkat setelah asupan
makanan kaya glikotoksin dan dapat terakumulasi di banyak jaringan tubuh. Efek
buruk glikotoksin dapat terjadi secara langsung dengan menyebabkan perubahan
struktur dan fungsi protein plasma dan matriks ekstraselular, glikosilasi nonenzimatik dan melalui reseptornya, RAGE, yang akan meningkatkan stres
oksidatif dan reaksi inflamasi. Efek buruk glikotoksin dapat diatasi dengan diet
rendah glikotoksin dan konsumsi bahan kaya polifenol, termasuk antosianin.
Antosianin bekerja sebagai antioksidan, anti-inflamasi dan penghambat
pembentukan AGEs (CML). Salah satu bahan makanan yang kaya antosianin
adalah umbi ubi jalar ungu. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek
ekstrak umbi ubi jalar ungu dalam menurunkan kadar N-carboxymethyl-lysine
(CML) dalam serum tikus wistar yang diberi diet tinggi glikotoksin.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Universitas Udayana,
menggunakan Pretest-Posttest Control Group Design. Tiga puluh ekor tikus
wistar diberi asupan diet tinggi glikotoksin secara tidak terbatas selama 4 minggu.
Setelah 4 minggu, tikus dibagi menjadi 2 kelompok, kemudian dilakukan
pemeriksaan kadar serum CML, yang menjadi data pre-test. Kedua kelompok
tetap mendapat asupan diet tinggi glikotoksin. Kelompok Kontrol mendapatkan
plasebo, sedangkan kelompok Perlakuan mendapatkan 2,4 ml ekstrak umbi ubi
jalar ungu (antosianin 7 mg) selama 8 minggu. Setelah 8 minggu, dilakukan
pemeriksaan kadar serum CML yang menjadi data post-test.
Hasil analisis data kelompok Kontrol dengan paired samples test
menunjukan bahwa terjadi peningkatan kadar serum CML secara bermakna, dari
220,67 ng/mL menjadi 347,27 ng/mL. Sedangkan analisis data kelompok
Perlakuan dengan uji Wilcoxon menunjukan peningkatan kadar serum CML yang
tidak bermakna, dari 249,87 ng/mL menjadi 256,80 ng/mL. Walaupun demikian,
uji komparatif dengan Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna antara kadar serum CML kelompok Kontrol dan Perlakuan, sesudah
pemberian ekstrak ubi jalar ungu (p>0,05).
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak ubi
jalar ungu 2,4 ml (antosianin 7 mg) tidak menurunkan kadar serum CML dalam
serum tikus wistar yang diberi diet tinggi glikotoksin. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dipakai sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
dosis optimal antosianin yang dapat mencegah peningkatan kadar serum CML dan
pengaruh antosianin terhadap akumulasi AGEs di berbagai jaringan tubuh selain
serum.
Kata kunci : glikotoksin, N-carboksimetil-lisin, antosianin, ubi jalar ungu.
vii
ABSTRACT
EXTRACT OF PURPLE SWEET POTATO TUBERS (Ipomoea batatas)
CONTAINING 7 MG OF ANTHOCYANIN DOES NOT REDUCE
N-CARBOXYMETHYL-LYSINE LEVEL IN WISTAR RATS
INDUCED BY HIGH GLYCOTOXIN DIET
High glycotoxin diet regarded as one of the factors that accelerate the aging
process. Levels of glycotoxin in circulation will increase after the intake of foods
rich in glycotoxin and can accumulate in many tissues of the body. The harmful
effects of glycotoxin can occur directly by causing changes in the structure and
function of proteins plasma and matrix extracellular, non-enzymatic glycoxylation
and through its receptor, RAGE, which would increase oxidative stress and
inflammatory reactions. This harmful effects of glycotoxin can be overcome with
low glycotoxin diet and consumption of foods rich in polyphenols, including
anthocyanins. Anthocyanin is an antioxidant, antiinflammatory and inhibitor of
the formation of AGEs (CML). One common food that is rich in anthocyanins are
purple sweet potato tuber. This study was conducted to determine the effect of
purple sweet potato tuber extract in reducing serum levels of N-carboxymethyllysine in wistar rats fed with high glycotoxin diet.
This study was conducted in Farmacology Laboratory of Udayana
University, with Pretest-Posttest Control Group Design. Thirty wistar rats were
given unlimited supply of high glycotoxin diet for 4 weeks. After 4 weeks, the rats
were divided into 2 groups, then serum levels of CML were determined as pre-test
data. Both groups continued to had unlimited supply of high glycotoxin diet. The
control group received placebo, while the treatment group received 2.4 ml of
purple sweet potato tuber extract (7 mg of anthocyanins) for 8 weeks. After 8
weeks, serum levels of CML were determined as the post-test data.
Results of analysis with paired samples test demonstrated that the serum
levels of CML in control group were significantly increased, from 220.67 ng / mL
to 347.27 ng / mL. While the analysis result with Wilcoxon test showed that the
serum levels of CML in treatment group were not significantly increased, from
249.87 ng / mL to 256.80 ng / mL. However, the comparative test with MannWhitney demonstrated that there was no significant difference of serum levels of
CML between control and treatment group after the administration of purple
sweet potato extract (p> 0.05).
These results concluded that the administration of 2,4 ml of purple sweet
potato extract (7 mg of anthocyanin) did not reduce the serum levels of CML in
wistar rats fed with high glycotoxin diet. These results is expected to be useful as
a basis for further research to determine the optimal dose of anthocyanin that can
prevent the elevation of CML in serum and the effects of anthocyanin on the
accumulation of AGEs in various body tissues other than serum.
Key words: glycotoxin, N-carboxymethyl-lysine, anthocyanins, purple sweet
potato.
viii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM………………………………………………………………...i
PRASYARAT GELAR...........................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI.......................................................................iv
UCAPAN TERIMAKASIH.....................................................................................v
ABSTRAK.............................................................................................................vii
ABSTRACT..........................................................................................................viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………………..xii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………............xiii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiv
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang……………………………………………………………...1
1.2
Rumusan Masalah………………………………………………………......7
1.3
Tujuan Penelitian………………………………………...............................7
1.4
Manfaat Penelitian......................................……….......................................7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Proses Penuaan...............................................................................................9
ix
2.2
2.3
Glikotoksin…………………………………………………….…..………10
2.2.1
Definisi dan Proses Pembentukan…………………….…………..10
2.2.2
N-Carboxymethyl-lysine………………………………………….14
2.2.3
Sumber Glikotoksin.....................................……….......................16
AGEs dan Penuaan………...........................................................................19
2.3.1
Mekanisme Biologis………………………………………………19
2.3.1.1 AGEs dan RAGE………………………………………....20
2.3.1.2 AGEs dan Stres Oksidatif...………………………………23
2.3.2 Pengaruh AGEs terhadap Sistem Organ…………………………....25
2.3.3 Bukti Epidemiologis………………………………………………...28
2.4
Terapi Anti-AGEs………………………………………………………....29
2.5
Antosianin……………………………………………………………........30
2.5.1 Struktur Kimia……………………………………………………..31
2.5.2
Efek Fisiologis…………………………………………………...32
2.5.3
Mekanisme Inhibisi dalam Formasi AGEs………………………33
2.5.4
Bioavailabilitas…………………………………………………...36
2.6
Vitamin B6…………………………………………………………...........37
2.7
Ubi Jalar Ungu………………………………………………………….....37
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1
Kerangka Berpikir……………………………………................................41
3.2
Konsep……………………………………………………………………..43
3.3
Hipotesis Penelitian………………………………………………………..44
x
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian……………………………………………………...45
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………......46
4.3
Populasi dan Sampel……………………………………………………....46
4.4
Variabel Penelitian………………………………………………………...48
4.5
Bahan dan Instrumen Penelitian…………………………………………...50
4.6
Prosedur Pembuatan Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu……………………....50
4.7
Pemeliharaan & Perawatan Tikus Selama Penelitian..................................50
4.8
Prosedur Penelitian………………………………………………………...51
4.9
Analisis Data................................................................................................54
BAB V HASIL PENELITIAN...............................................................................55
BAB VI PEMBAHASAN......................................................................................59
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN...................................................................63
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....64
LAMPIRAN...........................................................................................................70
xi
DAFTAR TABEL
2.1 Proses Selular dan Sitokin yang Teraktivasi oleh Interaksi AGE-RAGE……22
5.1 Kadar Serum CML Sebelum dan Sesudah Perlakuan………………………..55
5.2 Rerata Kadar Serum CML……………………………………………….......56
xii
DAFTAR GAMBAR
2.1
Pembentukan Glikotoksin………………………..........…… ……………11
2.2
Struktur Kimia Carboxymethyl-lysine……………………………………14
2.3
Reaksi AGE-RAGE pada Tingkat Selular…………………………….....21
2.4
Stres Oksidatif – AGE – RAGE………………………………………….23
2.5
Model Konseptual Efek dari AGEs terhadap Beberapa Sistem Organ
selama Penuaan………………………………………………………......27
2.6
Struktur 6 Jenis Antosianidin………………………………………….....31
2.7
Lokasi Hambatan Polifenol dalam Tahap Pembentukkan AGEs……......34
3.1
Bagan Kerangka Konsep…………………………………………………43
4.1
Skema Rancangan Penelitian…………………………………………….45
4.2
Hubungan Antar Variabel……..................................................................48
4.3
Alur Penelitian…………………………………………………………...53
5.1
Grafik Rerata Kadar Serum CML..............................................................56
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Analisis Deskriptif……………………………………………….70
Lampiran 2
Uji Normalitas……………………………………………………72
Lampiran 3
Uji Homogenitas…………………………………………………72
Lampiran 4
Paired Samples Test Kelompok Kontrol…………………………73
Lampiran 5
Uji Wilcoxon Kelompok Perlakuan……………………………...73
Lampiran 6
Uji Mann-Whitney…………………………………………….....74
xiv
DAFTAR SINGKATAN
AGEs =
Advanced Glycation End Products
CML =
Carboxymethyl-lysine
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses penuaan akan dialami oleh semua makhluk hidup. Setelah mencapai
usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang
lagi. Seiring dengan bertambahnya umur, tubuh manusia akan mengalami
perubahan dari tingkat DNA dan fungsi sel sampai pada akhirnya akan
menyebabkan penurunan fungsi organ dan sistem tubuh.
Dikenal dua macam usia, yaitu usia kronologis dan usia fisiologis/biologis.
Usia kronologis adalah usia sebenarnya sesuai dengan tahun kelahiran, sedangkan
usia fisiologis adalah usia sesuai dengan fungsi organ tubuh. Usia kronologis tidak
selalu sama dengan usia fisiologis. Usia fisiologis dapat menjadi lebih muda
daripada usia kronologis, dapat dilihat pada orang yang penampilan dan fungsi
tubuh lebih muda dari usia sebenarnya dan aktivitas sehari-hari tetap berkualitas
baik. Sebaliknya, usia fisiologis seseorang dapat menjadi lebih tua daripada usia
sebenarnya, yaitu pada orang yang penampilan, fungsi tubuh dan aktivitas seharihari berkurang kualitasnya (Pangkahila, 2007).
Penuaan adalah suatu proses kompleks yang melibatkan banyak faktor yang
saling mempengaruhi satu sama lain. Secara umum, penuaan disebabkan oleh
faktor-faktor yang berasal dari dalam tubuh manusia sendiri dan faktor dari luar
tubuh manusia. Faktor lingkungan dan gaya hidup mempunyai pengaruh yang
besar dalam setiap tahap proses ini.
1
Faktor dari dalam tubuh manusia atau faktor internal termasuk radikal bebas,
hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis dan sistem
kekebalan yang menurun. Faktor eksternal yang utama adalah gaya hidup tidak
sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stress dan
kemiskinan (Pangkahila, 2007).
Interaksi faktor internal dan eksternal mempengaruhi munculnya karakteristik
dari proses penuaan. Berbagai penelitian tentang ekspresi gen pada beberapa
species dan jaringan secara konsisten menunjukkan bahwa penuaan berhubungan
erat dengan gangguan fungsi mitokondria yang progresif, peningkatan stress
oksidatif dan aktivasi sistem imun. Secara umum, semua proses ini dapat
dipengaruhi oleh modifikasi dalam asupan nutrisi. Contohnya, diet rendah kalori
dapat mengurangi stress oksidatif. Dengan demikian, perubahan kualitas makanan
dan nutrisi dipercaya berefek positif terhadap kesehatan dan dapat memperlambat
proses penuaan (Semba et al., 2010b).
Glikotoksin adalah sekumpulan senyawa heterogen reaktif, yang dihasilkan
oleh proses glikasi (Odetti dan Monacelli, 2008). Proses glikasi, yang disebut juga
non-enzimatik glikosilasi, adalah suatu reaksi yang terjadi antara senyawa gula
pereduksi, dengan suatu senyawa protein, lipid dan asam nukleat, yang
menghasilkan senyawa yang berwarna kecoklatan dan berfluoresensi. Glikotoksin
dikenal juga dengan sebutan Advanced Glycation End Products (AGEs) dan
Advanced Lipoxidation End Products (ALEs). Sampai saat ini, telah ditemukan 20
jenis glikotoksin, tapi yang paling dikenal dan sering diteliti adalah beberapa
produk intermediat seperti methylglyoxal dan glyoxal, dan beberapa produk akhir
2
seperti
pentosidine,
carboxymethyl-lysine
(CML),
hydroimidazolone
dan
glucosepane (Semba et al., 2010b).
Tubuh manusia terpapar dengan 2 sumber utama glikotoksin. Sumber
eksogen yaitu berasal dari makanan dan endogen yaitu glikotoksin yang terbentuk
dalam tubuh.
Kandungan glikotoksin yang tinggi ditemukan dalam jenis makanan yang
diproses dalam suhu tinggi, seperti menggoreng dan memanggang (Semba et al.,
2010b). Industri makanan yang melakukan proses persiapan makanan
menggunakan temperatur tinggi seperti pasteurisasi produk susu, keju, sosis dan
daging, juga sereal, meningkatkan produksi, paparan dan akumulasi glikotoksin
dalam tubuh (Contreras dan Novakofski, 2010; Semba et al., 2010b).
Jenis makanan yang menjadi sumber glikotoksin terbesar adalah produk
makanan bersumber hewani yang tinggi protein dan lemak. Pembentukan
glikotoksin baru dengan pemanasan, lebih mudah terjadi pada jenis makanan ini
(Contreras dan Novakofski, 2010; Uribarri et al., 2010). Jenis makanan yang
tinggi karbohidrat seperti sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian, mengandung
sedikit glikotoksin, bahkan setelah proses pemanasan (Uribarri et al., 2010).
Konsumsi karbohidrat dianggap berisiko bila dikonsumsi dalam bentuk produk
industri, refine sugar, dan high-fructose corn syrup yang tinggi konsentrasinya
pada minuman ringan komersial (Semba et al., 2010b).
Selain dari makanan, yang menjadi sumber eksogen paparan glikotoksin bagi
tubuh manusia, glikotoksin juga terbentuk dalam tubuh manusia. Pembentukan
glikotoksin secara endogen terjadi secara terus-menerus dalam tubuh manusia
3
pada keadaan normoglikemik dan proses penuaan alami, dan lebih diperberat pada
keadaan hiperglikemi (Rahbar dan Figarola, 2003; Ramasamy et al., 2005; Semba
et al., 2010b). Akumulasi glikotoksin dalam tubuh, yang bersumber eksogen
maupun endogen, akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif dan inflamasi
kronik, yang pada akhirnya akan lebih meningkatkan pembentukan glikotoksin
secara endogen. Selain melalui proses non-enzimatik glikosilasi, secara endogen
glikotoksin juga terbentuk melalui jalur oto-oksidasi glukosa, peroksidasi lipid
dan polyol pathway (Contreras dan Novakofski, 2010).
Kadar glikotoksin yang tinggi dalam cairan dan jaringan tubuh sering
dihubungkan dengan berbagai penyakit kronik, termasuk neurodegenerasi
(Alzheimer), aterosklerosis dan rheumatoid arthritis (Ramasamy et al., 2005;
Bengmark, 2007). AGEs bersifat irreversible dan akumulasinya menyebabkan
perubahan struktur dan fungsi protein, menimbulkan stress oksidatif (Semba et al.,
2010b) dan inflamasi sistemik kronik (Schmidt et al., 2001; Ramasamy et al.,
2005) yang semuanya berperan penting dalam patofisiologi penuaan.
Akibat buruk dari glikotoksin dapat dihindari dengan mencegah pembentukan
glikotoksin, mencegah penumpukan AGEs di jaringan dan mengatasi reaksi
inflamasi dan oksidatif stres yang ditimbulkan AGEs. Restriksi kalori, diet rendah
glikotoksin, dan penggunaan bahan-bahan yang bekerja sebagai AGE inhibitor
dan AGE breaker, dapat mencegah pembentukan dan penumpukan AGEs di
jaringan tubuh (Bengmark, 2007; Semba et al., 2010b).
4
Beberapa bahan, seperti aminoguanidine, dapat mencegah terjadinya crosslinking dan merupakan AGE-inhibitor yang paling dikenal. Selain itu, konsumsi
vitamin dan antioksidan dapat menginhibisi pembentukan AGEs/ALEs dan
meredam efek buruk dari AGEs, termasuk vitamin C, vitamin E (Rahbar dan
Figarola, 2003), thiamin, piridoksamin dan piridoksin (Yamagishi et al., 2008)
dan bahan polifenol (Vauzour et al., 2010). Apalagi, saat ini functional food dan
nutraceutical semakin dikenal dan diterima oleh masyarakat umum, karena saat
ini banyak orang yang lebih memilih produk dan bahan makanan yang sehat dan
alami (Shipp dan Abdel-Aal, 2010).
Antosianin adalah suatu jenis polifenol grup flavonoid yang dikenal sebagai
antioksidan. Antosianin adalah pigmen larut air, yang memberi warna merah,
ungu dan biru pada banyak buah-buahan, sayuran dan bunga. Sebagai senyawa
alami dari sayuran, buah-buahan dan anggur merah, antosianin sering dikonsumsi
oleh banyak orang. Diperkirakan konsumsi harian antosianin di AS ≈ 12.5
mg/hari. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain sebagai antioksidan,
antosianin juga mempunyai efek antidiabetik, anti-kanker dan anti-inflamasi
(Wrolstad, 2001; Shipp dan Abdel-Aal, 2010).
Mekanisme hambatan antosianin terhadap pembentukan glikotoksin terjadi
melalui hambatan terhadap oto-oksidasi monosakarida (Rahbar dan Figarola,
2003), proses glikasi dan pengikatan glikotoksin dengan reseptornya (Vauzour et
al., 2010), pencegahan lipid peroksidasi (Matsuda et al., 2002) dan inhibisi polyol
pathway (Yawadio et al., 2007). Matsuda et al. (2003) dalam penelitiannya
menemukan bahwa aktivitas hambatan antosianin dalam pembentukan AGEs
5
lebih kuat dibandingkan dengan aminoguanidin, dan aktivitas scavenging terhadap
DPPH dan anion superoxide lebih kuat dibandingkan dengan α-tocopherol.
Salah satu sumber antosianin yang mudah ditemukan di Indonesia adalah ubi
jalar ungu, yang merupakan bahan makanan yang banyak ditemukan di Indonesia.
Umbi ubi jalar ungu mengandung antosianin 110-210 mg per 100 gram basah
(Jawi et al., 2008).
Selain kaya akan antosianin, ubi jalar juga merupakan sumber piridoksin
yang baik. Kandungan piridoksin dalam ubi jalar adalah 0,2 mg per 100 gram
berat basah (USDA National Nutrient Database, 2010). Ketiga bentuk alami
vitamin B6 (piridoksin, piridoksal, piridoksamin), diketahui mempunyai
kemampuan untuk menginhibisi pembentukan glikotoksin, tapi yang paling kuat
adalah
piridoksamin.
Piridoksin
diketahui,
secara
moderat,
mempunyai
kemampuan untuk menghambat pembentukan glikotoksin (Kaufmann, 2011).
Dengan mempertimbangkan efek antosianin sebagai AGEs inhibitor,
antioksidan dan anti-inflamasi, timbul dugaan bahwa asupan harian ekstrak sirup
umbi ubi jalar ungu dapat mencegah pembentukan AGEs dan meredam reaksi
inflamasi yang ditimbulkan oleh penumpukan AGEs di jaringan tubuh.
CML (carboxymethyl-lysine) adalah jenis AGEs yang paling sering diteliti.
CML sering dipakai sebagai petanda pembentukkan AGEs in vivo dan kerusakan
protein jangka panjang, karena CML adalah jenis AGEs yang paling banyak
ditemukan in vivo (Contreras dan Novakofski, 2010) dan paling dikenal
karakterisasinya (Ferreira et al., 2003; Goldberg et al., 2004). CML dapat
6
dihasilkan dari protein dan lipid glikosidasi (Goldin et al., 2006; Uribarri et al.,
2010).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah asupan harian ekstrak umbi
ubi jalar ungu dapat menurunkan kadar N-carboxymethyl-lysine (CML) pada
serum tikus wistar yang diberi diet tinggi glikotoksin.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang diuraikan di atas, maka
dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut :
Apakah asupan 2,4 ml ekstrak umbi ubi jalar ungu (antosianin 7 mg) selama 8
minggu dapat menurunkan kadar serum N-carboxymethyl-lysine pada tikus
wistar yang diberi diet tinggi glikotoksin?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu 2.4 ml
(antosianin 7 mg) selama 8 minggu dalam menurunkan kadar N-carboxymethyllysine dalam serum tikus wistar yang diberi diet tinggi glikotoksin.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Keilmuan
Dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang mekanisme efek
hambatan ekstrak umbi ubi jalar ungu terhadap pembentukan N-carboxymethyllysine.
7
1.4.2 Manfaat Praktis
Memberikan pengetahuan bagi masyarakat tentang nilai nutrisi dari bahan
makanan, dan manfaatnya untuk mencegah terjadinya kelainan dan penyakit
kronis, serta memperlambat penuaan.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Proses Penuaan
Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses
penuaan. Secara mendasar teori-teori ini dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu teori wear and tear dan teori program. Teori wear and tear meliputi
kerusakan DNA, proses glikosilasi dan radikal bebas. Teori program meliputi
terbatasnya replika sel, proses imun dan teori neuroendokrin (Pangkahila, 2007).
Penuaan adalah suatu proses kompleks yang melibatkan banyak faktor yang
saling mempengaruhi satu sama lain. Secara umum, penuaan disebabkan oleh
faktor-faktor yang berasal dari dalam tubuh manusia sendiri dan faktor dari luar
tubuh manusia. Faktor lingkungan dan gaya hidup mempunyai pengaruh yang
besar dalam setiap tahap proses ini. Faktor dari dalam tubuh manusia atau faktor
internal termasuk radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi,
metilasi, apoptosis dan sistem kekebalan yang menurun. Faktor eksternal yang
utama adalah gaya hidup tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan salah, polusi
lingkungan, stress dan kemiskinan (Pangkahila, 2007).
Interaksi faktor internal dan eksternal mempengaruhi munculnya karakteristik
dari proses penuaan. Berbagai penelitian tentang ekspresi gen pada beberapa
species dan jaringan secara konsisten menunjukkan bahwa penuaan berhubungan
erat dengan gangguan fungsi mitokondria yang progresif, peningkatan stress
oksidatif dan aktivasi sistem imun. Secara umum, semua proses ini dapat
9
dipengaruhi oleh modifikasi dalam asupan nutrisi. Contohnya, diet rendah kalori
dapat mengurangi stress oksidatif. Dengan demikian, perubahan kualitas makanan
dan nutrisi dipercaya berefek positif terhadap kesehatan dan dapat memperlambat
proses penuaan (Semba et al., 2010b).
2.2 Glikotoksin
2.2.1 Definisi dan Proses Pembentukan
Glikotoksin adalah sekumpulan senyawa heterogen yang reaktif dan tidak
stabil, yang dihasilkan oleh proses glikasi non-enzimatik, yang dapat membentuk
ikatan silang kovalen intramolekul dan intermolekul, dan menghasilkan produk
akhir yang irreversible, disebut Advanced Glycation End Products (AGEs) dan
Advanced Lipoxidation End Products (ALEs) (Odetti dan Monacelli, 2008).
Reaksi glikasi non-enzimatik, yang juga dikenal dengan Maillard reaction,
terjadi dalam 3 fase (Gambar 2.1).
Fase pertama adalah suatu reaksi non-enzimatik spontan, antara gugus
karbonil gula pereduksi (glukosa atau fruktosa) dengan gugus amino bebas
(terutama lisin dan arginin) dari suatu protein, lipid dan asam nukleat yang
menghasilkan basa Schiff. Basa Schiff adalah senyawa yang memiliki suatu
karbon yang berikatan ganda dengan nitrogen, dan nitrogen tersebut tidak
terhubung dengan hidrogen. Terjadinya reaksi fase pertama tergantung pada
konsentrasi glukosa dan berlangsung selama beberapa jam. Jika konsentrasi
glukosa berkurang, reaksi ini bersifat sementara (Contreras dan Novakofski,
2010).
10
Gambar 2.1
Pembentukan Glikotoksin
(Contreras dan Novakofski, 2010)
Selama fase kedua, basa Shiff mengalami pengaturan secara kimia yang
berlangsung selama beberapa hari, dan membentuk produk Amadori, disebut juga
produk glikasi awal. Produk Amadori adalah senyawa yang lebih stabil, tapi
reaksi ini juga masih bersifat sementara (Contreras dan Novakofski, 2010).
Produk Amadori dikenal juga sebagai fruktosamin atau ketoamin (Semba et al.,
2010b).
Fase ketiga berlangsung jika terjadi akumulasi dari produk Amadori, yang
akan mengalami beberapa proses kimia yang kompleks (yaitu oksidasi, reduksi
dan hidrasi), menghasilkan protein termodifikasi karena adanya ikatan silang.
Proses ini berlangsung selama beberapa minggu sampai beberapa bulan, dan
11
bersifat menetap. Produk akhir ini berwarna kecoklatan dan beberapa diantaranya
dapat befluoresensi, disebut AGEs (Contreras dan Novakofski, 2010).
Keadaan mikro-internal dan half-life dari suatu protein atau lipid, akan
menentukan jumlah dan tahap modifikasi glikotoksin yang terjadi, bervariasi dari
produk intermediat yang reaktif sampai produk akhir AGEs yang irreversible
(Rahbar dan Figarola, 2003).
Selain melalui reaksi Maillard, ada beberapa jalur lain yang menghasilkan
glikotoksin. Contohnya, otooksidasi glukosa dan peroksidasi lipid menjadi
senyawa dikarbonil, yang terjadi karena meningkatnya stress oksidatif (Uribarri
dan Tuttle, 2006; Contreras dan Novakofski, 2010). Mekanisme lain adalah
melalui polyol pathway, dimana glukosa diubah menjadi sorbitol oleh enzim
aldose reduktase, dan kemudian menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase.
Metabolit fruktosa, fruktosa-3-fosfat, kemudian diubah menjadi senyawa
dikarbonil (Gambar 2.1) (Contreras dan Novakofski, 2010; Ramasamy et al.,
2005). Konsentrasi tinggi intraselular dan ekstraselular dari reaktif karbohidrat,
seperti glukosa dan terutama fruktosa, berperan penting dalam peningkatan proses
glikasi dan pembentukan senyawa α-dikarbonil (α-oksaldehida) (Bengmark,
2007).
Jadi, setidaknya ada 3 jalur pembentukan glikotoksin, yaitu reaksi Maillard,
oksidasi glukosa dan peroksidasi lipid, dan jalur polyol. Jalur pembentukan yang
bervariasi menyebabkan struktur kimia glikotoksin sangat bervariasi. Jenis
glikotoksin yang paling dikenal adalah carboxymethyl-lysine (CML), pentosidine,
pyrraline, dan methylglyoxal (Contreras dan Novakofski, 2010).
12
Suatu tahap penting dalam proses glikasi adalah pembentukan produk
intermediat yang reaktif melalui oksidasi glukosa, reaksi basa Schiff dengan
gugus amino dan dari produk Amadori, yang terjadi dalam semua tahap dan jalur
proses glikasi. Senyawa intermediat reaktif ini dikenal sebagai senyawa αdikarbonil
(α-oksaloaldehida),
termasuk
glyoxal,
methylglyoxal
dan
3-
deoxyglucosone, yang merupakan senyawa prekursor. Senyawa prekursor tersebut
kemudian akan mengalami oksidasi dan reaksi silang membentuk produk glikasi
lanjut yang berwarna kecoklatan dan berfluoresensi. Senyawa α-dikarbonil ini
juga dapat membentuk ikatan silang dengan gugus amina bebas suatu protein dan
membentuk basa Schiff yang baru (Rahbar dan Figarola, 2003; Meerwaldt et al.,
2008).
3-deoxyglucosone (3-DG) terbentuk dari produk Amadori melalui proses nonoksidatif rearrangement dan hidrolisis. Selain itu juga dari fruktosa-3-fosfat yang
merupakan produk intermediat dari jalur polyol. 3-DG dengan cepat akan bereaksi
dengan senyawa amino membentuk AGEs seperti imidazolone, pyrraline dan
carboxymethyl-lysine (CML) (Rahbar dan Figarola, 2003).
Methylglyoxal
(MGO)
dihasilkan
melalui jalur
non-enzimatik,
dari
dekomposisi spontan triose fosfat, oto-oksidasi karbohidrat dan degradasi glukosa,
dan beberapa jalur metabolik lain seperti reaksi Maillard dan peroksidasi lipid.
MGO memodifikasi residu arginin untuk membentuk imidazolone, memodifikasi
residu lisin untuk membentuk carboxyethyl-lysine (CEL), dan modifikasi
imidazolium cross-link untuk membentuk methylglyoxal-lysine dimer (MOLD).
13
MGO diproduksi oleh sel-sel yang memetabolisme glukosa (Rahbar dan Figarola,
2003).
Pembentukkan AGEs merupakan bagian dari metabolisme normal, tapi akan
bersifat pathogen bila level akumulasi AGEs di sirkulasi dan jaringan berlebihan
(Uribarri et al., 2010). Pada keadaan normal, sangat sedikit senyawa α-dikarbonil
dan fruktosamine yang berlanjut membentuk AGEs, karena adanya jalur
metabolik alternatif utama bagi prekursor AGEs ini. Pembentukan AGEs akan
meningkat bila konsentrasi senyawa dikarbonil dan fruktosamin meningkat.
Keadaan ini terjadi akibat peningkatan kecepatan pembentukan dan/atau
berkurangnya kecepatan metabolisme senyawa dikarbonil dan fruktosamin.
Keadaan hiperglikemia, akumulasi triose-fosfat dan senyawa keton, peroksidasi
lipid dan stress oksidatif dapat meningkatkan kecepatan pembentukan AGE
(Rahbar dan Figarola, 2003).
2.2.2 N-Carboxymethyl-lysine (CML)
Gambar 2.2
Struktur Kimia Carboxymethyl-lysine
14
CML dan methylglyoxal adalah yang paling sering diteliti. CML sering
dipakai sebagai petanda pembentukkan AGEs in vivo dan kerusakan protein
jangka panjang, karena CML adalah jenis AGEs yang paling banyak ditemukan in
vivo (Contreras dan Novakofski, 2010) dan paling dikenal karakterisasinya
(Ferreira et al., 2003; Goldberg et al., 2004). CML dapat dihasilkan dari protein
dan lipid glikosidasi (Goldin et al., 2006; Uribarri et al., 2010).
Secara in vivo, CML dapat terbentuk melalui beberapa mekanisme, yang
dapat terjadi secara bersamaan. Pertama, melalui jalur klasik glikoksidasi. Kedua,
melalui prekursornya glyoxal (Ferreira et al., 2003).
Glyoxal (GO), adalah senyawa dikarbonil yang merupakan prekursor CML.
Glyoxal terbentuk melalui beberapa reaksi, yaitu fragmentasi oksidatif basa Schiff
(Namiki pathway), degradasi dan oto-oksidasi glukosa yang dikatalisa oleh ion
metal, peroksidasi lipid dan fragmentasi fruktosa-fosfat (Ferreira et al., 2003).
Hasil penelitian terbaru menemukan bahwa GO juga dihasilkan dari oksidasi
glukosa melalui peroksinitrit (ONOO-) (Rahbar dan Figarola, 2003).
GO kemudian akan bereaksi dengan lisin dan arginin dari suatu protein, yang
pada keadaan fisiologis dapat menghasilkan beberapa AGEs seperti CML,
pentosidine, glyoxal-lysine-dimer (GOLD), GOLA dan non-fluoresensi AGE
lainnya (Rahbar dan Figarola, 2003; Goldin et al., 2006).
15
2.2.3 Sumber Glikotoksin
Tubuh manusia terpapar dengan 2 sumber utama glikotoksin. Sumber
eksogen yaitu berasal dari makanan dan endogen yaitu glikotoksin yang terbentuk
dalam tubuh.
Pembentukkan glikotoksin secara endogen terjadi secara terus-menerus dalam
tubuh manusia pada proses penuaan alami, akibat paparan protein berumur
panjang dengan glukosa, bahkan pada keadaan normoglikemik. Keadaan ini akan
lebih diperberat pada keadaan hiperglikemi (Rahbar dan Figarola, 2003;
Ramasamy et al., 2005; Semba et al., 2010b). Karena selain melalui reaksi
Maillard, ada beberapa jalur lain yang menghasilkan glikotoksin yaitu oksidasi
glukosa dan peroksidasi lipid, dan jalur polyol (Contreras dan Novakofski, 2010).
Glikotoksin Eksogen
Glikotoksin terbentuk saat makanan diproses dalam suhu tinggi, seperti
menggoreng dan memanggang (broiling, roasting, grilling). Industri makanan
yang sebenarnya bertujuan untuk membuat makanan lebih aman, lebih enak dan
bervariasi, dengan melakukan pemanasan, iradiasi dan ionisasi sangat besar
peranannya dalam produksi, paparan dan akumulasi AGEs/ALEs dalam tubuh
(Contreras dan Novakofski, 2010; Semba et al., 2010b).
Pembentukan glikotoksin dalam makanan adalah proses kompleks yang
melibatkan beberapa reaksi dan produk akhir. Jenis glikotoksin yang terbentuk
dalam makanan sangat heterogen, dan baru beberapa jenis yang dikarakterisasi,
diantaranya furfurals, pyrralines dan senyawa dikarbonil seperti methylglyoxal.
16
Tapi, CML adalah senyawa pertama yang dikenal dan paling sering digunakan
sebagai petanda glikotoksin dalam makanan (Contreras dan Novakofski, 2010).
Kadar glikotoksin yang terbentuk dipengaruhi oleh kandungan nutrient,
protein atau lemak vs karbohidrat, suhu yang digunakan saat persiapan bahan
makanan, waktu paparan saat memasak dan kelembaban (Goldberg et al., 2004;
Contreras dan Novakofski, 2010).
Kecepatan pembentukan glikotoksin akan meningkat bila waktu paparan dan
suhu yang digunakan dalam memproses makanan ditingkatkan (Contreras dan
Novakofski, 2010). Dengan pemanasan, kandungan AGEs dalam suatu makanan
bisa meningkat 10-100x lipat (Uribarri et al., 2010). Broiling (225oC) dan frying
(180oC) menghasilkan glikotoksin tertinggi, diikuti oleh roasting (177oC) dan
boiling (100oC) (Goldberg et al., 2004). Secara umum, makanan yang dimakan
mentah, dimasak dengan suhu rendah atau dengan kelembaban tinggi (water
based) seperti merebus dan mengukus, memiliki kandungan glikotoksin yang
rendah (Goldberg et al., 2004; Semba et al., 2010b).
Kandungan glikotoksin dalam makanan tergantung pada komposisi
nutrisinya. Makanan bersumber hewani yang tinggi protein dan lemak, seperti
produk susu dan daging, mengandung kadar glikotoksin yang paling tinggi, dan
paling mudah terjadi pembentukan glikotoksin baru dengan pemanasan (Contreras
dan Novakofski, 2010; Uribarri et al., 2010). Sebaliknya, jenis makanan yang
tinggi karbohidrat seperti sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian, mengandung
sedikit glikotoksin, bahkan setelah proses pemanasan (Goldberg et al., 2004;
Uribarri et al., 2010). Buah-buahan yang kaya fruktosa dapat menjadi sumber
17
akumulasi AGEs/ALEs karena fruktosa sangat reaktif terhadap protein. Walaupun
demikian, konsumsi karbohidrat terutama berisiko bila dikonsumsi dalam bentuk
produk industri komersial misalnya sereal, makanan ringan, refined sugar dan
high fructose corn syrup yang tinggi konsentrasinya pada minuman ringan
komersial (Bengmark, 2007; Semba et al., 2010b). Konsentrasi tinggi dari
methylglyoxal ditemukan pada minuman ringan komersial yang tinggi kandungan
high fructose corn syrup-nya. Bahkan, susu formula bayi mengandung AGEs
yang tinggi, kandungan CML susu formula bayi kira-kira 70x lebih tinggi
dibandingkan susu ibu (Semba et al., 2010b).
Berbagai jenis makanan yang tinggi kandungan glikotoksinnya termasuk
sereal, kue kering, cakes, daging dan unggas; condiment termasuk sirup maple,
kecap, brown rice vinegar; minuman termasuk soda, teh, kopi, classic coke, diet
coke dan berbagai minuman ringan komersial lainnya (Bengmark, 2007; Uribarri
et al., 2010).
Setelah dikonsumsi, ≈ 10% bahan glikotoksin akan diserap ke sirkulasi, 2/3
akan tetap berada dalam tubuh, dan hanya 1/3 bagian yang diekskresi melalui
ginjal. Glikotoksin yang tidak diekskresi akan bereaksi dengan sel dan jaringan,
bersifat aktif dan menimbulkan efek patologis seperti layaknya glikotoksin
endogen (Negrean, 2006; Odetti dan Monacelli, 2008; Contreras dan Novakofski,
2010). Bahkan akumulasi glikotoksin dari sumber eksogen dapat melebihi
glikotoksin yang bersumber endogen (Peppa et al., 2003; Kandarakis et al., 2007).
Seperti halnya glikotoksin endogen, glikotoksin eksogen juga merupakan
ligan bagi RAGE dan akan mengaktivasi jalur-jalur signal transduksi utama.
18
Glikotoksin bersumber diet, bersama dengan glikotoksin endogen, dapat
meningkatkan beban glikosidan sistemik, stress oksidatif dan aktivasi sel, yang
meningkatkan kerentanan jaringan terhadap gangguan / kerusakan (Negrean et al.,
2007; Contreras dan Novakofski, 2010).
Peranan glikotoksin bersumber diet dalam kadar total AGEs dalam tubuh
telah terbukti dengan beberapa penelitian pada binatang dan manusia, terutama
dengan CML dan MGO, yang menunjukkan bahwa kadar glikotoksin dalam
sirkulasi akan meningkat setelah asupan makanan kaya glikotoksin, dengan atau
tanpa diabetes dan penyakit ginjal (Peppa et al., 2008; Contreras dan Novakofski,
2010). Korelasi yang kuat antara konsumsi makanan yang tinggi glikotoksin
dengan induksi petanda-petanda inflamasi dan stress oksidatif telah terbukti dalam
penelitian pada manusia (Vlassara et al., 2002; Contreras dan Novakofski, 2010;
Uribarri et al., 2010). Penelitian lain menunjukan bahwa diet rendah AGEs
menghasilkan 30-40% penurunan dalam kadar serum AGEs, berkurangnya
akumulasi AGEs di jaringan, penurunan ekspresi reseptor AGEs, sel-sel inflamasi
dan faktor-faktor proaterosklerotik (Negrean et al., 2007; Odetti dan Monacelli,
2008; Peppa et al., 2008).
2.3 AGEs dan Penuaan
2.3.1 Mekanisme Biologis
Penelitian menunjukkan bahwa AGEs, endogen maupun eksogen, bersifat
merusak. Efek biologis AGEs terjadi melalui 2 mekanisme yang berbeda. Pertama
adalah reaksi yang tidak tergantung reseptor, yaitu secara langsung menyebabkan
19
perubahan struktur dan fungsi protein plasma dan matriks ekstraselular. Kedua
adalah melalui reseptor yang disebut RAGE, yang akan meningkatkan stres
oksidatif dan reaksi inflamasi (Contreras dan Novakofski, 2010; Semba et al.,
2010b).
AGEs/ALEs dapat memodifikasi kolagen dan protein lain dengan membentuk
ikatan silang. Protein yang berumur panjang, seperti protein matriks ekstraselular
dan membran basal pembuluh darah, paling rentan terhadap modifikasi AGEs.
Penelitian telah menunjukkan bahwa penuaan manusia berhubungan dengan
kekakuan jaringan yang kaya matriks ekstraselular dan protein berumur panjang,
seperti otot rangka, tendon, sendi, tulang, jantung, arteri, paru, kulit, lensa mata
dan myelin saraf. Pembentukan ikatan silang ini akan mengganggu kapasitas
mekanik dari jaringan-jaringan ini (Bengmark, 2007; Semba et al., 2010b).
2.3.1.1 AGEs dan RAGE
AGEs meningkatkan stres oksidatif dan reaksi inflamasi melalui ikatan
dengan AGEs reseptor, yang disebut Reseptor-AGE (RAGE). RAGE adalah suatu
molekul immunoglobulin pada permukaan sel yang merupakan multiligand
reseptor, yang ditemukan pada banyak jaringan tubuh. RAGE paling banyak
ditemukan di jantung, paru dan otot rangka. Jalur signal RAGE dapat diaktivasi
oleh banyak ligand proinflamasi, termasuk CML (Schmidt et al., 2001;
Ramasamy et al., 2005; Semba et al., 2010b).
Interaksi AGE dengan RAGE akan menyebabkan aktivasi jalur mitogenactivated protein kinases (MAPKs) dan phosphatidylinositol-3 kinase (PI3-K),
20
yang kemudian akan mengaktivasi faktor transkripsi nuclear factor kappa B
(NFKB). Setelah aktivasi, NFKB bergerak ke nucleus dan mengaktifkan
transkripsi gen-gen untuk sitokin-sitokin, faktor-faktor pertumbuhan dan molekulmolekul adhesif, seperti TNF-α, IL-6 dan VCAM1. Aktivasi NFKB akan
meningkatkan ekspresi RAGE, yang selanjutnya akan merangsang siklus yang
meningkatkan produksi faktor-faktor pencetus inflamasi, sehingga terjadi
inflamasi berkepanjangan (Gambar 2.3) (Contreras dan Novakofski, 2010; Semba
et al., 2010b; Schmidt et al., 2001). Tabel 2.1 menunjukkan proses-proses selular
dan sitokin-sitokin yang teraktivasi dengan adanya interaksi AGE-RAGE
(Bengmark, 2007).
Gambar 2.3
Reaksi AGE-RAGE pada tingkat selular
(Contreras dan Novakofski, 2010)
21
Tabel 2.1
Proses Selular dan Sitokin yang Teraktivasi oleh Interaksi AGE-RAGE
Interaksi AGE-RAGE juga akan mengaktivasi NADPH oksidase, suatu
kompleks enzim yang menghasilkan superoksida. Peningkatan aktivitas kompleks
enzim ini akan meningkatkan stress oksidatif intraselular. Peningkatan stress
oksidatif oleh NADPH oksidase selanjutnya juga akan mengaktifkan NFKB
(Gambar 2.4) (Ramasamy et al., 2005; Contreras dan Novakofski, 2010; Semba et
al., 2010b).
Ekspresi RAGE pada jaringan normal adalah rendah, dan akan meningkat
pada tempat-tempat dimana ada akumulasi ligand. Ekspresi RAGE yang
berkepanjangan oleh sel-sel otot polos, endothelium, sel-sel mononuklear, dan sel-
22
sel lain yang berada disekitar ligand, mengakibatkan aktivasi kronik inflamasi,
disfungsi selular berkepanjangan, kerusakan jaringan dan pada akhirnya penyakit
(Schmidt et al., 2001b; Semba et al., 2010b).
2.3.1.2 AGEs dan Stres Oksidatif
Proses glikasi, dari tahap awal sampai ke tahap lanjut, merupakan salah satu
sumber utama ROS (reactive oxygen species). Protein yang terglikasi akan
menghasilkan radikal bebas 50x lebih banyak daripada protein yang tidak
terglikasi (Bengmark, 2007). Stress oksidatif, reaksi antara AGEs dan RAGE,
akan membentuk suatu lingkaran yang tak berujung pangkal (Gambar 2.4)
(Ramasamy et al., 2005).
Gambar 2.4
Stres oksidatif – AGE – RAGE
23
Adanya stress oksidatif, rangsangan inflamasi, trauma fisik dan hiperglikemia
(intermiten dan menetap) akan mempercepat pembentukan AGEs. Pada penuaan,
selain terjadi peningkatan produksi AGEs, terjadi penurunan kemampuan tubuh
untuk detoksifikasi AGEs, sehingga terjadi akumulasi AGEs di jaringan tubuh.
Akumulasi AGEs akan meningkatkan ekspresi RAGE dan menarik sel-sel
inflamasi seperti PMNs, makrofag dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini yang
normalnya bekerja untuk mekanisme homeostatik tubuh, misalnya untuk
menghilangkan sumber infeksi atau jaringan nekrosis, akan melepaskan senyawasenyawa proinflamasi yang akan mengaktifkan jalur inflamasi baru. Reaksi
senyawa proinflamasi ini dengan RAGE akan menghasilkan ROS lebih lanjut, dan
ROS tersebut akan mencetus pembentukkan AGEs, inflamasi dan lebih banyak
ROS, yang pada akhirnya akan menyebabkan disfungsi jaringan dan kerusakan
menetap (Ramasamy et al., 2005).
ROS juga akan bereaksi dengan struktur biomolekular sel dan jaringan, yang
akan menyebabkan disfungsi dan kerusakan. Contohnya, deposit AGE di dinding
arteri akan menghasilkan radikal bebas yang dapat mengoksidasi lipid dinding
pembuluh darah dan mempercepat atherogenesis (Rahbar dan Figarola, 2003;
Ramasamy et al., 2005).
Selain melalui interaksi dengan RAGE, AGE juga dapat meningkatkan
produksi ROS melalui beberapa mekanisme lain seperti penurunan aktivitas
superoxide dismutase (SOD) dan katalase, penurunan simpanan gluthation dan
aktivasi Protein Kinase C (Ramasamy et al., 2005).
24
Katalase dan SOD adalah enzim antioksidan. Penurunan aktivitas katalase
dan SOD terjadi karena proses glikasi, dimana reaksi glukosa dengan enzimenzim ini akan menyebabkan gangguan sruktur dan fungsi enzim, yang
menyebabkan akumulasi radikal peroksida dan superoksida (Jiang et al., 2004).
Pembentukan senyawa α-dikarbonil, yang merupakan produk glikasi
intermediate, yang dihasilkan dari jalur oksidatif (glikoksidatif) dan non-oksidatif
proses glikasi, kemudian menjadi sumber radikal bebas selanjutnya. Saat senyawa
α-dikarbonil membentuk ikatan silang dengan gugus amina bebas dari protein,
terjadi donasi elektron ke senyawa α-dikarbonil, yang menghasilkan radikal kation
dan anion. Oksigen kemudian dapat menerima elektron dari radikal anion,
menghasilkan radikal anion superoksida, yang akan memulai reaksi rantai yang
merusak struktur sel dan jaringan (Rahbar dan Figarola, 2003).
2.3.2 Pengaruh AGEs terhadap Sistem Organ
Kadar serum AGEs ditentukan oleh produksi endogen, asupan eksogen dan
eliminasi oleh ginjal dan sistem enzim, yang akan menentukan peningkatan dan
penurunan yang bersifat sementara dari kadar serum AGEs. Beberapa enzim,
seperti glyoxalase I, II dan carbonyl reductase, dan reseptor AGER1, berfungsi
dalam sistem detoksifikasi dan pengaturan balik untuk mengatasi efek pro-oksidan
dari glikasi. Kemudian, sistem ekskresi ginjal akan mengeliminasi produksi AGEs
yang berlebihan pada keadaan fisiologis. Beberapa peneliti mengatakan bahwa
dalam proses penuaan dan beberapa keadaan patologis, terjadi gangguan pada
keadaan seimbang ini. Ketidakseimbangan ini terjadi karena peningkatan produksi
25
endogen, atau peningkatan asupan eksogen, yang dengan adanya gangguan dalam
sistem ekskresi ginjal, menyebabkan akumulasi AGEs yang sering ditemukan
pada populasi lanjut usia (Contreras dan Novakofski, 2010).
Faktor-faktor yang berperan penting dalam pembentukkan AGEs adalah
kecepatan turn-over protein untuk glikosidasi, derajat hiperglikemia dan keadaan
stress oksidatif. Adanya salah satu atau lebih dari faktor-faktor ini akan
menyebabkan glikasi dan oksidasi protein ekstraselular dan intraselular (Goldin et
al., 2006).
AGEs/ALEs dapat terakumulasi di banyak jaringan tubuh, dan saat
terakumulasi akan meningkatkan reaksi inflamasi, memperlemah sistem imun,
meningkatkan
kemungkinan
infeksi,
menurunkan
mekanisme
pertahanan
antioksidan, mengganggu mekanisme perbaikan DNA dan meningkatkan
akumulasi berbagai toksin. Bila dibandingkan dengan individu sehat, kadar
AGEs/ALEs pada individu dengan risiko atau menderita penyakit kronik, sangat
meningkat (Bengmark, 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
akumulasi AGEs, yaitu CML, CEL, MGO, pentosidine dan beberapa jenis lain,
ditemukan di jaringan yang mengalami penuaan (Ramasamy et al., 2005).
Akumulasi
protein
yang
disfungsional,
insoluble
dan
indigestible
(AGEs/ALEs) terutama terjadi pada jaringan berumur panjang seperti kolagen,
myelin saraf dan lensa. Akumulasi ini akan menyebabkan berkurangnya elastisitas
jaringan tubuh yang kaya kolagen, yang dianggap menjadi penyebab peningkatan
kekakuan lensa, sendi, otot rangka dan dinding pembuluh darah, seiring dengan
bertambahnya usia. Deposit protein yang disfungsi dalam jaringan, bila
26
berlebihan, akan menyebabkan akumulasi perubahan histologi yang disebut
amiloid, yang merupakan ciri umum dari berbagai penyakit kronik. (Bengmark,
2007).
Gambar 2.5 menunjukkan pengaruh AGEs terhadap berbagai sistem organ
(Semba et al., 2010b).
Gambar 2.5
Model konseptual efek dari AGEs terhadap beberapa sistem organ selama
penuaan.
27
Beberapa kelainan lain yang dipengaruhi oleh akumulasi AGEs/ALEs adalah
penyakit alergi dan otoimun, penyakit neurodegenerasi lain (Parkinson, ALS,
stroke), penyakit keganasan, diabetes, kelainan endokrin, gastrointestinal, paru,
urogenital dan kulit (Bengmark, 2007).
Dengan demikian lebih jelas lagi bahwa dalam proses penuaan terjadi
akumulasi AGEs/ALEs yang perlahan-lahan tapi kontinyu, termasuk pada orang
yang sehat, tapi akan meningkat dan dipercepat pada individu yang berisiko atau
sudah menderita penyakit kronik (Bengmark, 2007).
2.3.3 Bukti Epidemiologis
Kadar AGEs/ALES yang tinggi dalam cairan dan jaringan tubuh sering
dihubungkan dengan berbagai penyakit kronik, termasuk neurodegenerasi
(Alzheimer), aterosklerosis dan rheumatoid arthritis (Ramasamy et al., 2005;
Bengmark, 2007). Kadar AGEs/ALEs pada individu dengan risiko atau
manifestasi penyakit-penyakit kronik, bila dibandingkan dengan individu sehat,
meningkat secara bermakna. Walaupun demikian, terdapat perbedaan pola dan
jenis AGEs/ALEs dalam jaringan dan sirkulasi, diantara kelompok penderita
penyakit kronik yang berbeda (Bengmark, 2007).
Beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa orang lanjut usia dengan
peningkatan CML dalam sirkulasi, mempunyai risiko lebih besar untuk
mengalami kekakuan arteri (Semba et al., 2009e), penyakit ginjal kronik (Semba
et al., 2009a, 2009d), anemia (Semba et al., 2008, 2009c), penurunan kekuatan
28
otot skeletal (Dalal et al., 2009), penurunan performa fisik (Semba et al., 2010a)
dan mortalitas pada penyakit kardiovaskular (Semba et al., 2009b).
Beberapa penelitian imunohistokimia menggunakan antibody anti-AGE
menunjukkan adanya protein yang termodifikasi dengan AGE pada beberapa
jaringan tubuh dalam keadaan patologis, termasuk ginjal penderita diabetik
nefropati, gagal ginjal kronik, lesi aterosklerosis pada dinding arteri dan fibroid
amyloid pada amyloidosis karena hemodialisis. Hal ini menunjukkan peranan
potensial AGE dalam pathogenesis penyakit dan kelainan akibat penuaan (Rahbar
dan Figarola, 2003).
Berdasarkan data diatas, dapat disimpulkan bahwa akumulasi AGEs
mempercepat penurunan fungsi multisistem yang terjadi dalam proses penuaan.
2.4 Terapi Anti – AGEs
Akibat buruk dari AGEs/ALEs dapat dihindari dengan mencegah
penumpukan AGEs di jaringan dan mengatasi reaksi inflamasi dan oksidatif stress
yang ditimbulkan oleh AGEs.
Restriksi kalori, diet rendah glikotoksin, dan penggunaan bahan-bahan yang
bekerja sebagai AGE inhibitor dan AGE breaker, dapat mencegah pembentukan
dan penumpukkan AGEs di jaringan tubuh (Bengmark, 2007; Semba et al.,
2010b).
Aminoguanidine adalah AGE-inhibitor yang pertama dan paling dikenal.
Aminoguanidine menghambat gugus karbonil reaktif dari gula pereduksi dan
sebagai scavenger senyawa intermediat
29
α-dikarbonil. Aminoguanidine juga
mencegah terjadinya cross-linking, tapi aktivitas hambatannya terhadap
pembentukan AGE post-Amadori hanya sedikit (Rahbar dan Figarola, 2003).
Konsumsi vitamin dan antioksidan juga dapat menginhibisi pembentukan
AGEs/ALEs dan meredam efek buruk dari AGEs, termasuk vitamin C, vitamin E
(Rahbar dan Figarola, 2003), thiamin, piridoksamin dan piridoksine (Yamagishi et
al., 2008) dan bahan polifenol (Vauzour et al., 2010). Apalagi saat ini, functional
food dan nutraceutical semakin dikenal dan diterima oleh masyarakat umum,
karena saat ini banyak orang yang lebih memilih produk dan makanan yang sehat
dan alami (Shipp dan Abdel-Aal, 2010).
Penelitian in vitro dan in vivo, menunjukkan bahwa konsumsi antioksidan
dapat mengurangi proses glikasi protein dan meredam efek buruk dari AGEs.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa efek inhibisi antioksidan dalam
pembentukan AGE terutama karena efek pencegahan terhadap jalur oto-oksidasi
(Rahbar dan Figarola, 2003).
Salah satu sumber antioksidan yang paling dikenal adalah polifenol, yang
merupakan suatu bahan fitokimia. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa
konsumsi polifenol, terutama kelompok flavonoid, dapat menurunkan risiko
penyakit-penyakit kronik, termasuk keganasan, penyakit kardiovaskular dan
neurodegenerasi (Spormann et al., 2008; Vauzour et al., 2010).
2.5 Antosianin
Antosianin adalah suatu jenis polifenol grup flavonoid yang paling banyak
ditemukan pada buah-buahan dan sayuran. Antosianin adalah pigmen yang dapat
30
larut dalam air, memberi warna merah, ungu dan biru pada banyak buah-buahan,
sayuran, bunga dan biji-bijian (Wang dan Stoner, 2008).
2.5.1 Struktur Kimia
Antosianin
adalah
derivatif
polihidroksi
atau
polimetoksi
dari
2-
fenilbenzopirilium yang terglikosilasi, mengandung 2 cincin benzoyl (A dan B)
yang dipisahkan oleh cincin heterosilik (C) (Gambar 2.6). Dengan kata lain,
antosianin adalah senyawa antosianidin dan glukosa dalam asam organik. Ada 6
jenis antosinidin yang ditemukan dalam tanaman, yaitu cyanidin, delphinidin,
malvidin, pelargonidin, peonidin dan petunidin (Shipp dan Abdel-Aal, 2010).
Gambar 2.6
Struktur 6 jenis antosianidin, dalam bentuk glukosida dengan glukosa.
31
Bentuk glikosida dari 3 non-metilasi antosianidin (cyanidin, delphinidin,
pelargonidin) adalah yang paling banyak ditemukan, kira-kira 80% pada daundaunan berwarna, 69% pada buah-buahan dan 50% pada bunga. Mereka biasanya
berikatan dengan senyawa sakarida seperti glukosa, galaktosa, rhamnosa atau
arabinosa, dalam bentuk 3-glikosida atau 3,5-diglikosida. Perbedaan warna antara
antosianin biasanya karena perbedaan pola cincin B antosianidin, pola glukosilasi
dan derajat esterifikasi glukosa dengan asam alifatik atau aromatik, dan pH, suhu,
jenis pelarut dan adanya pigmen penyerta (Shipp dan Abdel-Aal, 2010).
2.5.2 Efek Fisiologis
Antosianin paling dikenal sebagai antioksidan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa selain sebagai antioksidan, antosianin juga mempunyai efek
anti-inflamasi, efek anti-diabetik, anti-kanker, dan dapat memperbaiki profil lipid
darah dan memiliki efek vasoprotektif (Wrolstad, 2001; Shipp dan Abdel-Aal,
2010).
Struktur fenolik antosianin bertanggung jawab dalam efek antioksidan-nya,
yaitu gugus hidroksil pada posisi 3 dari cincin C dan posisi 3’, 4’, 5’ dari cincin B.
Sebagai antioksidan, antosianin bekerja sebagai scavenger ROS seperti superoksid
(O2- ), singlet oksigen (‘O2), peroksida (ROO-), hidrogen peroksida (H2O2) dan
radikal hidroksil (OH.) (Wang dan Stoner, 2008).
Mekanisme efek antosianin sebagai anti-inflamasi memang belum diketahui,
tapi suatu penelitian in vitro menunjukkan bahwa administrasi antosianin dapat
menurunkan aktivasi faktor transkripsi NFKB dan menurunkan ekspresi beberapa
32
sitokin dan mediator proinflamasi (Karlsen et al., 2007). Suatu penelitian
epidemiologi menunjukkan penurunan insidens penyakit-penyakit inflamasi pada
populasi yang mengkonsumsi makanan kaya polifenol (Spormann et al., 2008),
dan
konsumsi
antosianin
menunjukkan
berkurangnya
risiko
penyakit
kardiovaskular, diabetes, arthritis dan keganasan (Wang dan Stoner, 2008).
2.5.3 Mekanisme Inhibisi dalam Formasi AGEs
Antosianin adalah salah satu jenis polifenol yang dapat mencegah
pembentukan AGEs. Gambar 2.7 menunjukkan tahap-tahap dalam proses
pembentukan AGEs dimana polifenol dapat bekerja sebagai inhibitor (*),
termasuk oto-oksidasi monosakarida, oksidasi produk Amadori menjadi senyawa
dikarbonil, pengikatan AGEs dengan RAGE dan sebagai scavenger senyawa
dikarbonil dan radikal bebas (Vauzour et al., 2010).
33
Gambar 2.7
Tanda (*) menunjukkan lokasi hambatan polifenol dalam tahap
pembentukkan AGEs, yaitu oto-oksidasi monosakarida, oksidasi produk Amadori
menjadi senyawa dikarbonil, pengikatan AGEs dengan RAGE dan sebagai
scavenger senyawa dikarbonil dan radikal bebas.
34
Matsuda et al. (2003) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa fenolic
antioksidan selain sebagai scavenger radikal bebas, juga berfungsi sebagai AGE
inhibitor. Struktur flavonoid yang dibutuhkan dalam aktivitas inhibisinya terhadap
pembentukan AGEs, yaitu :
1) Bila jumlah gugus hidroksil (-OH) pada posisi 3’-, 4’-, 5’- dan 7bertambah, aktivitas inhibisi makin kuat.
2) Aktivitas flavon lebih kuat dibandingkan flavonol, flavanon dan isoflavon.
3) Metilasi atau glukosilasi pada gugus 4’-hidroksil dari flavon, flavonol dan
flavanon, akan menurunkan aktivitas inhibisi.
4) Metilasi atau glikosilasi pada gugus 3’-hidroksil dari flavonol, cenderung
meningkatkan aktivitas inhibisi.
5) Glikosilasi dari gugus 7-hidroksil dari flavon dan isoflavon, menurunkan
aktivitas inhibisi.
6) Aktivitas inhibisi antosianin lebih kuat dibandingkan flavonol glikosida
yang lain.
Disebutkan juga bahwa flavonoid dengan aktivitas inhibisi terhadap AGEs yang
kuat, memiliki aktivitas antioksidan yang kuat.
Dalam penelitian yang sama, Matsuda et al (2003) menemukan bahwa
aktivitas hambatan antosianin dalam pembentukan AGEs lebih kuat dibandingkan
dengan aminoguanidin, dan aktivitas scavenging terhadap radikal DPPH dan
anion superoxide lebih kuat dibandingkan dengan α-tocopherol.
Antosianin juga dapat menghambat pembentukan AGEs/ALEs melalui
hambatan terhadap lipid peroksidasi yang terjadi karena adanya oksidatif stress
35
(Wang dan Stoner, 2008; Shipp dan Abdel-Aal, 2010) dan sebagai inhibitor
aldose reduktase yang merupakan enzim utama dalam polyol pathway (Matsuda et
al., 2002; Yawadio et al., 2007).
2.5.4 Bioavailabilitas
Antosianin diabsorpsi dalam bentuk glikosida yang intak, didistribusi dalam
sistem sirkulasi dan diekskresi di urine (Kano et al., 2005; Shipp dan Abdel-Aal,
2010).
Absorpsi antosianin terjadi segera setelah konsumsi, konsentrasi plasma
maksimal dicapai dalam waktu 15 – 60 menit. Jumlah antosianin yang diserap
tergantung dari jenis antosianin yang dikonsumsi (Shipp dan Abdel-Aal, 2010).
Ekskresi antosianin terjadi lengkap dalam waktu 6 – 8 jam. Hanya sebagian
kecil dari antosianin yang dikonsumsi, kurang dari 0,1%, terdeteksi di urine, yang
menimbulkan dugaan bahwa sebagian besar antosianin yang dikonsumsi
diabsorpsi di saluran pencernaan, terutama di lambung dan usus halus, dan di
distribusikan ke sistem sirkulasi (Shipp dan Abdel-Aal, 2010).
Antosianin sangat mungkin mengalami perubahan bentuk dan dimetabolisme
menjadi bentuk dengan sruktur kimia alternative, seperti glukoronida dan metil,
dan / atau bentuk asam fenolik serupa dan aldehida. Hal ini terbukti dengan
ditemukannya beberapa antosianin dengan struktur molekul yang berbeda dan
beberapa metabolitnya secara in vitro dan dalam saluran cerna (Shipp dan AbdelAal, 2010).
36
2.6 Vitamin B6
Salah satu bahan alami yang bekerja sebagai AGE inhibitor adalah vitamin
B6. Vitamin B6 ditemukan dalam 3 bentuk alami, yaitu piridoksin, piridoksal dan
piridoksamine. Sumber piridoksine adalah bahan makanan nabati, sedangkan
piridoksal dan piridoksamin ditemukan dalam bahan makanan hewani.
Ketiga bentuk alami vitamin B6 (piridoksin, piridoksal, piridoksamin),
diketahui mempunyai kemampuan untuk menginhibisi pembentukan glikotoksin,
tapi yang paling kuat adalah piridoksamin. Piridoksin diketahui, secara moderat,
mempunyai
kemampuan
untuk
menghambat
pembentukan
glikotoksin
(Kaufmann, 2011).
Piridoksamin, bentuk natural dari vitamin B6, efektif menginhibisi
pembentukan AGEs pada beberapa tahap yang berbeda. Piridoksamin mencegah
degradasi protein-intermediat Amadori menjadi protein-AGEs melalui pengikatan
redox metal ions (Voziyan et al., 2003), menghambat lipid peroksidasi (Onorato
et al., 2000) dan sebagai scavenger senyawa karbonil hasil degradasi glukosa dan
lipid (Voziyan et al., 2002; Goldin et al., 2006).
2.7 Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas)
Ubi jalar (Ipomoea batatas) termasuk dalam family Convolvulaceae (suku
kangkung-kangkungan). Varietas ubi jalar ditemukan dalam beberapa warna kulit
dan daging umbi. Ubi jalar putih dan kuning-oranye adalah yang paling umum,
dan ada juga jenis yang berwarna ungu gelap (CGIAR, 2004; Plantamor, 2008).
37
Ubi jalar ungu adalah bahan makanan yang banyak ditemukan di Indonesia.
Ubi jalar ungu dapat menjadi pilihan makanan yang sehat, memiliki warna merahungu yang menarik, tinggi kandungan antosianin, fenolik total dan aktivitas
antioksidannya (Truong et al., 2010).
Kandungan fenolik ubi jalar ungu adalah 261,4 – 712,8 mg per 100 g berat
kering, lebih tinggi daripada kandungan fenolik pada ubi jalar kuning, wortel dan
wortel ungu (Truong et al., 2010).
Jenis dan jumlah antosianin dalam ubi jalar ungu bervariasi tergantung
varietasnya. Secara umum, jenis antosianin utama dalam ubi jalar ungu adalah
peonidin, cyanidin dan pelargonidin. Kandungan total antosianin pada varietas
The Stokes Purple dan NC415 yang memiliki warna ungu gelap adalah 33,7 –
96,8 per 100 gr berat kering, sedangkan varietas Okinawa hanya 10 – 21,1 mg per
100 gr berat kering. Kandungan antosianin ubi jalar ungu lebih rendah daripada
black currant (kismis) dan blueberries (322 – 476 mg per 100 gr berat kering),
tapi sebanding dengan buah anggur (27 – 120 mg per 100 gr berat kering), buah
plum (19 – 124 mg per 100 gr berat kering), buah ceri (122 mg per 100 mg berat
kering), raspberries (92 mg per 100 mg berat kering), terong (86 mg per 100 gr
berat kering) dan red radishes (100 mg per 100 gr berat kering). Hasil ini
menunjukkan bahwa ubi jalar ungu berada pada pertengahan spektrum buahbuahan dan sayuran yang tinggi antosianin (Truong et al., 2010). Penelitian lain
menunjukkan bahwa umbi ubi jalar ungu mengandung antosianin 110-210 mg per
100 gram basah (Jawi et al., 2008).
38
Antosianin dari ubi jalar ungu bersifat stabil dan tidak dipengaruhi oleh
radiasi ultraviolet (Kano et al, 2005), resisten terhadap perubahan pH dan
temperature (Harada et al., 2004). Pengupasan, pengukusan (steam cooking) atau
pembekuan tidak berpengaruh terhadap kandungan total fenolik dan antosianin
ubi jalar ungu. Tapi penghancuran umbi dalam suhu ruangan akan menurunkan
kadar total fenolik dan antosianin-nya. Hal ini disebabkan karena degradasi
polifenol oleh enzim antosianase, polifenol oksidase dan peroksidase. Enzimenzim ini sangat aktif pada suhu ruangan dan terdegradasi pada suhu > 70o C.
Oleh karena itu, sebaiknya umbi dibekukan atau dikukus terlebih dahulu, sebelum
dihancurkan (Truong et al., 2010).
Setelah asupan minuman ubi jalar ungu, dua jenis antosianin yaitu cyanidine
dan peonidine, terdeteksi di darah tikus dan manusia, kemudian secara cepat
diekskresi melalui urine (Harada et al., 2004). Absorptivitas antosianin rendah
bila dibandingkan dengan flavonoid lain, dan kadar antosianin ubi jalar ungu yang
diekskresi melalui urine sangat rendah (0,01% pada manusia dan 0,11% pada
tikus), walaupun demikian aktivitas radical-scavenging di urine meningkat
setelah konsumsi minuman ubi jalar ungu ((Kano et al., 2005). Hal ini
menunjukkan walaupun absorbabilitas-nya rendah, antosianin ubi jalar ungu
mampu menimbulkan efek fisiologis dalam tubuh.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekstrak umbi ubi jalar ungu yang
kaya antosianin, selain sebagai antioksidan yang kuat, juga memiliki aktivitas
anti-mutagenik, dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi cedera liver
pada tikus (Truong et al., 2010).
39
Antosianin dari ubi jalar ungu memiliki aktivitas scavenging radikal DPPH
(1,1-dyphenyl-2-picrylhydrazy l) lebih kuat dibandingkan antosianin dari kol
merah, kulit buah anggur, buah murbei atau jagung ungu, bahkan lebih kuat
dibandingkan asam askorbat, dan secara in vitro mencegah oksidasi LDL (Kano
et al., 2005).
Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa asupan minuman dari ubi jalar
ungu yang mengandung antosianin 400 mg per hari mempunyai efek proteksi
liver terhadap oksidatif stress (Suda et al., 2008). Pemberian ekstrak ubi jalar
ungu dengan dosis antosianin 2,7 mg per 100 gram berat badan, dapat mengurangi
cedera liver pada tikus (Kano et al., 2005) dan pemberian sirup ubi jalar ungu
yang mengandung antosianin 0,07 mg dapat menurunkan kadar MDA pada darah
dan hati mencit (20 gr) (Jawi et al., 2008).
Selain kaya akan antosianin, ubi jalar juga merupakan sumber piridoksin
yang baik. Kandungan piridoksin dalam ubi jalar adalah 0,2 mg per 100 gram
berat basah (USDA National Nutrient Database, 2010).
Beberapa tahun terakhir ini, kultivar ubi jalar ungu semakin dikembangkan di
banyak negara untuk memenuhi kebutuhan terhadap makanan yang sehat. Yang
paling menonjol adalah kultivar Ayamurasaki dan Yamagawamurasaki di Jepang
yang banyak digunakan dalam produk komersial sebagai pewarna makanan alami,
sari buah, roti, mie, selai dan minuman terfermentasi (Truong et al., 2010).
Bahkan di Bali, ekstrak umbi ubi jalar ungu sudah dikembangkan menjadi produk
minuman berupa sirup dan wine.
40
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Akumulasi glikotoksin yang irreversible dalam sistem organ bersifat merusak
karena dapat secara langsung merusak struktur dan fungsi jaringan tubuh, dan
juga menyebabkan stres oksidatif dan inflamasi kronik. Adanya stres oksidatif dan
inflamasi kronik akan lebih meningkatkan pembentukan dan akumulasi
glikotoksin, sehingga menimbulkan suatu proses yang tak berujung pangkal.
Proses ini pada akhirnya akan menyebabkan gangguan fungsi jaringan dan sistem
organ
yang
permanen,
timbulnya
berbagai
penyakit
degeneratif,
yang
mempercepat proses penuaan dan penurunan kualitas hidup.
Paparan terhadap glikotoksin terjadi setiap hari dan sukar dihindari. Sumber
makanan yang kaya glikotoksin terutama adalah jenis makanan yang gurih dan
enak, tinggi protein dan lemak, yang dipersiapkan dengan cara menggoreng atau
memanggang. Selain itu, sumber glikotoksin juga berasal dari berbagai jenis
makanan cepat saji dan produk industri komersial.
Akibat buruk dari glikotoksin dapat dihindari dengan menggunakan bahanbahan alami yang mempunyai efek sebagai penghambat pembentukan glikotoksin,
antioksidan dan antiinflamasi. Banyak jurnal ilmiah yang melaporkan efek
antosianin sebagai antioksidan, dan beberapa jurnal ilmiah melaporkan efek
antosianin sebagai penghambat tahap awal proses glikasi dan sebagai
antiinflamasi.
41
Salah satu bahan makanan yang kaya antosianin dan mudah ditemukan di
Indonesia adalah ubi jalar ungu. Ubi jalar ungu juga tinggi kandungan fenolik
total dan aktivitas antioksidannya. Selain itu, ubi jalar ungu merupakan sumber
piridoksin yang baik, yang diketahui secara moderat mempunyai kemampuan
untuk menghambat pembentukan glikotoksin.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, ekstrak umbi ubi jalar
ungu dapat menjadi alternatif yang sehat dan menyenangkan untuk mencegah
peningkatan kadar serum & penumpukan N-carboxymethyl-lysine di jaringan,
mengatasi stres oksidatif dan inflamasi kronik.
42
3.2 Konsep
Ekstrak umbi ubi jalar ungu
Faktor Endogen :
Metabolisme normal &
penuaan.
Hiperglikemi.
Stress oksidatif
Faktor Eksogen :
Diet tinggi glikotoksin
TIKUS
N-carboxymethyl-lysine
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Konsep
43
3.3 Hipotesis Penelitian
Pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu, dengan antosianin 7 mg, menurunkan
kadar serum N-carboxymethyl-lysine pada tikus wistar yang diberi diet tinggi
glikotoksin.
44
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan menggunakan PretestPosttest Control Group Design (Pocock, 2008). Tikus dibagi menjadi 2 kelompok
penelitian.
1. Kelompok pertama merupakan kelompok kontrol (P0), yang diberikan
placebo, yaitu akuades.
2. Kelompok kedua adalah kelompok perlakuan (P1), yang diberikan ekstrak
umbi ubi jalar ungu 2,4 ml (antosianin 7 mg).
P0
O1
Populasi
O2
Sampel
P1
O3
O4
Gambar 4.1
Skema Rancangan Penelitian
P0
P1
O1
O2
O3
O4
: Kelompok Kontrol (diet tinggi glikotoksin + akuades).
: Kelompok Perlakuan (diet tinggi glikotoksin + 2,4 ml ekstrak ubi jalar
ungu).
: Pretest kadar CML kelompok Kontrol.
: Posttest kadar CML kelompok Kontrol.
: Pretest kadar CML kelompok Perlakuan.
: Postetst kadar CML kelompok Perlakuan.
45
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
-
Proses pemeliharaan tikus, pemberian diet tinggi glikotoksin dan ekstrak ubi
jalar ungu dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, selama 8 minggu.
-
Pemeriksaan kadar CML serum tikus dilakukan di Laboratorium Virologi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
-
Pembuatan ekstrak ubi jalar ungu dan pemeriksaan kadar antosianin dilakukan
di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi Penelitian
Tikus putih jenis Wistar (albino rat) berumur 4 – 5 bulan, berat 160 – 170
gram.
4.3.2 Kriteria Subjek
Kriteria penerimaan :
1. Tikus putih jenis Wistar yang telah diberi diet tinggi glikotoksin selama 4
minggu.
2. Umur 4 – 5 bulan.
3. Berat tikus 160 – 170 gram .
Kriteria drop-out :
1. Tikus mati saat penelitian berlangsung.
46
4.3.3 Besaran Sampel
Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Pocock (2008). Besar
sampel tiap kelompok minimal adalah :
2σ2
n=
(µ2 – µ1)2
x f(αβ)
n
=
jumlah sampel
σ
=
simpangan baku (SD)
α
=
tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05)
tingkat kemaknaan (1 – α) = 0,95
β
=
f(αβ) =
tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,1)
nilai pada tabel
µ1
=
rerata sebelum perlakuan
µ2
=
rerata setelah perlakuan
Pemberian minuman dari ubi jalar ungu yang mengandung antosianin 400 mg per
hari, pada orang dewasa dengan borderline hepatitis, menurunkan level serum
GGT dari 103,6 ± 17,3 IU/L menjadi 82,7 IU/L pada minggu ke-8 (Suda et al.,
2008). Dengan demikian, maka diperoleh :
2 x 17,32
n=
(82,7 – 103,6)2
X 10,5
=
15
Berdasarkan rumus diatas, jumlah sampel tiap kelompok minimal adalah 15 ekor.
47
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi Variabel
a. Variabel bebas : diet tinggi glikotoksin.
b. Variabel tergantung : kadar CML (ng/ml).
c. Variabel kendali : ekstrak umbi ubi jalar ungu 2,4 ml (antosianin 7 mg).
4.4.2 Hubungan Antar Variabel
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
Diet tinggi
glikotoksin
CML
Variabel Kendali
Ekstrak umbi ubi
jalar ungu
Gambar 4.2
Hubungan Antar Variabel
4.4.3 Definisi Operasional Variabel
a. Ekstrak umbi ubi jalar ungu adalah bahan alamiah yang diambil dari umbi
ubi jalar ungu yang dimurnikan dan dilarutkan dalam akuades, diberikan
2,4 ml (antosianin 7 mg) per tikus.
48
Pemberian minuman dari ubi jalar ungu yang mengandung antosianin 400
mg per hari, pada orang dewasa dengan borderline hepatitis, menurunkan
level serum GGT dari 103,6 ± 17,3 IU/L menjadi 82,7 IU/L pada minggu
ke-8 (Suda et al., 2008). Dosis antosianin 400 mg pada manusia dewasa
ini, dikonversi berdasarkan tabel konversi perhitungan dosis, menjadi 7
mg pada tikus wistar dewasa.
b. Kadar CML adalah kadar carboxymethyl-lysine dalam serum darah
(ng/ml), diukur sebelum dan sesudah perlakuan, dengan metode ELISA,
menggunakan OxiSelect N-CML ELISA kit produksi Cell Biolabs Inc.
c. Jenis makanan sampel adalah makanan yang tinggi glikotoksin, yaitu
makanan standar (protein 20-25%, lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar
5%), yang dipanaskan/disangrai (160-170oC) selama 20 menit.
Kadar CML dalam makanan standard yang dipanaskan pada suhu 100oC
selama 20 detik adalah 1,3 ± 0,4 mg CML/100 gram (diet rendah AGEs),
sedangkan yang dipanaskan pada suhu 125oC selama 30 menit adalah 76 ±
15,3 mg/100 gram (diet tinggi AGEs). Kadar serum AGEs dari kelompok
tikus yang mendapatkan diet rendah AGEs adalah 4,35±0,3 U/mL,
sedangkan kelompok yang mendapatkan diet tinggi AGEs adalah
9,88±1,07 U/mL (Kandarakis et al., 2007).
d. Placebo adalah cairan akuades.
49
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian
Bahan penelitian :
1. Ekstrak umbi ubi jalar ungu.
2. Makanan tinggi glikotoksin.
Instrument penelitian yang digunakan adalah :
1. Kit ELISA OxiSelect N-Carboxymethyl-lysine, produksi Cell Biolabs Inc.,
USA.
4.6 Prosedur Pembuatan Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu
1. Umbi ubi jalar ungu dicuci bersih, kemudian dipotong-potong.
2. Ke dalam 100 gr umbi ubi jalar ungu ditambahkan 1000 ml akuades dan
dihomogenisasi dengan blender selama 5 menit.
3. Homogenat umbi ubi jalar ungu kemudian disaring dengan 3 lapis kain
kasa.
4. Kandungan antosianin dalam ekstrak umbi ubi jalar ungu yang sudah jadi
diperiksa, didapatkan antosianin 3 mg per 1 ml ekstrak.
4.7 Pemeliharaan & Perawatan Tikus Selama Penelitian
-
Ruangan dimana kandang ditempatkan harus memiliki ventilasi yang
baik supaya suhu dan kelembaban dapat diatur dan bau yang merangsang
dapat cepat hilang. Suhu diatur dengan alat pendingin 20-25˚C, tidak
boleh lebih dari 30˚C. Aliran udara tidak boleh kencang. Ruangan harus
bersih, tenang dan tidak bising.
50
-
Kandang berukuran 900 cm2 untuk 4-5 ekor tikus. Kandang dibersihkan
paling sedikit seminggu sekali dengan obat pembersih atau air panas.
Alas tidur dalam kandang dipakai serbuk gergaji yang bebas debu,
diganti paling sedikit seminggu sekali atau kalau tercium bau ammonia.
-
Air minum yang bersih disediakan dalam botol plastik sehingga tikus
dapat minum setiap saat. Botol minuman dibersihkan seminggu sekali.
-
Makanan adalah makanan standard yang disangrai, diberikan secara ad
libitum dalam jumlah tidak terbatas.
-
Saat pemberian ekstrak ubi ungu, sonde tidak dimasukkan terlalu dalam
untuk menghindari rasa sakit yang berlebihan.
-
Setelah penelitian, tikus dieutanasia. Karena jumlah tikus yang banyak,
cara yang dipakai adalah dengan karbondioksida yang ditempatkan
dalam wadah plastik atau logam.
4.8 Prosedur Penelitian
-
Dipilih 30 ekor tikus jenis wistar yang berumur 4 – 5 bulan, dengan berat
160 – 170 gram, yang telah diberi diet tinggi glikotoksin selama 4 minggu.
-
Kadar CML dalam serum semua tikus diperiksa, yang menjadi data pretest.
-
Tikus dibagi menjadi 2 kelompok, 15 ekor tikus per kelompok, secara
random.
-
Kelompok P0, diberi makanan tinggi glikotoksin dan akuades, selama 8
minggu.
51
-
Kelompok P1, diberi makanan tinggi glikotoksin dan ekstrak umbi ubi
jalar ungu 2,4 ml (antosianin 7 mg), dengan menggunakan sonde, selama 8
minggu.
-
Setelah 8 minggu, dilakukan pemeriksaan kadar CML dalam serum tikus
dari kedua kelompok, yang menjadi data post-test.
52
30 tikus diberi diet tinggi glikotoksin
selama 4 minggu
Pre-test kadar serum
CML
15 tikus kelompok P0
15 tikus kelompok P1
Diet tinggi glikotoksin
+ akuades selama 8
minggu
Diet tinggi glikotoksin +
2,4 ml ekstrak ubi jalar
ungu selama 8 minggu
Post-test kadar serum
CML
Analisis
Laporan
Gambar 4.3 Alur Penelitian
53
4.9 Analisis Data
Data diolah dengan program SPSS for Windows.
1. Analisis deskriptif.
Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui karakteristik data yang
dimiliki.
2. Uji normalitas.
Uji normalitas data dilakukan dengan Uji Shapiro-Wilk.
3. Uji homogenitas.
Homogenitas data dianalisis dengan Levene’s Test.
4. Uji komparasi.
Uji komparasi data pre dan post kelompok Kontrol menggunakan paired
samples test, sedangkan uji komparasi kelompok Perlakuan menggunakan
uji Wilcoxon. Uji komparasi antara kelompok Kontrol dan Perlakuan
menggunakan uji Mann-Whitney.
54
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan 30 tikus putih jenis Wistar (albino rat)
dengan peningkatan kadar serum CML, yang terbagi menjadi 2 kelompok masingmasing berjumlah 15 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol (akuades) dan kelompok
perlakuan (ekstrak ubi ungu 2,4 ml). Data hasil pemeriksaan kadar serum CML
sebelum dan sesudah perlakuan disajikan dalam Tabel 5.1.
Subjek
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
CML serum kelompok
Perlakuan (ng/ml)
Pre
247
257
205
211
159
168
130
193
160
125
125
479
386
444
459
Subjek
Post
84
275
292
287
293
303
308
172
303
362
275
289
147
98
364
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
CML serum
kelompok Kontrol
(ng/ml)
Pre
Post
189
399
238
306
240
195
364
267
237
218
138
241
170
256
259
320
219
182
203
498
138
505
105
487
105
484
307
469
398
382
Tabel 5.1
Kadar Serum CML Sebelum dan Sesudah Perlakuan
55
Dalam pembahasan ini akan diuraikan hasil analisa deskriptif, uji normalitas,
uji homogenitas, uji komparabilitas dan uji efek perlakuan.
5.1 Analisis Deskriptif
Rerata kadar serum CML dari kelompok Kontrol dan Perlakuan, sebelum dan
sesudah perlakuan, disajikan dalam Tabel 5.2 dan Gambar 5.1. Hasil analisis
deskriptif secara lengkap disajikan dalam Lampiran 1.
Kelompok
Kontrol
Perlakuan
Rerata Kadar Serum CML
(ng/mL)
Pre
Post
220,67
347,27
249,87
256,80
Tabel 5.2
Rerata Kadar Serum CML
350
300
250
200
Kontrol
150
Perlakuan
100
50
0
Pre
Post
Gambar 5.1
Grafik Rerata Kadar Serum CML (ng/ml)
56
5.2 Uji Normalitas Data
Data kadar CML serum kelompok Kontrol dan Perlakuan, sebelum dan
sesudah perlakuan, diuji normalitasnya dengan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya
menunjukkan bahwa data kelompok Kontrol, sebelum dan sesudah perlakuan,
berdistribusi normal (p > 0,05). Sedangkan data kelompok Perlakuan, sebelum
dan sesudah perlakuan, tidak berdistribusi normal (p < 0,05). Hasil uji normalitas
disajikan dalam Lampiran 2.
5.3 Uji Homogenitas Data
Data kadar CML serum kelompok Kontrol dan Perlakuan, sebelum dan
sesudah
perlakuan,
diuji
homogenitasnya
dengan
Levene’s
test.
Hasil
menunjukkan bahwa data sebelum dan sesudah perlakuan adalah homogen
(p>0,05), disajikan dalam Lampiran 3.
5.4 Uji Komparabilitas dan Uji Efek Perlakuan
Data pre-test dan post-test dari kelompok Kontrol berdistribusi normal
sehingga analisis perbandingan dilakukan dengan paired samples test. Hasil
analisis menunjukan ada perbedaan bermakna antara kadar CML pre-test dan
post-test dari kelompok Kontrol (p < 0,05). Hasil analisis disajikan dalam
Lampiran 4.
Data pre-test dan post-test dari kelompok Perlakuan tidak berdistribusi
normal sehingga analisis perbandingan dilakukan dengan uji Wilcoxon. Hasil
analisis menunjukan tidak ada perbedaan bermakna antara kadar CML pre-test
57
dan post-test dari kelompok Perlakuan (p > 0,05). Hasil analisis disajikan dalam
Lampiran 5.
Karena data dari kelompok Kontrol berdistribusi normal, sedangkan data
kelompok Perlakuan tidak berdistribusi normal, maka uji komparasi antara
kelompok Kontrol dan Perlakuan menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil yang
disajikan pada Lampiran 6, menunjukkan bahwa kadar CML sebelum perlakuan
dari kelompok Kontrol dan Perlakuan tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05),
demikian juga dengan kadar CML dari kedua kelompok sesudah perlakuan tidak
berbeda bermakna (p > 0,05).
58
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Pengaruh Ekstrak Ubi Jalar Ungu terhadap Kadar Serum CML
Hasil analisis deskriptif yang disajikan dalam Tabel 5.2, menunjukkan bahwa
rerata kadar serum CML sesudah perlakuan, baik pada kelompok Kontrol maupun
kelompok Perlakuan, lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum perlakuan. Hal
ini sesuai dengan beberapa laporan dalam jurnal ilmiah yang menyatakan bahwa
kadar glikotoksin dalam sirkulasi akan meningkat setelah asupan makanan kaya
glikotoksin (Peppa et al., 2008; Contreras dan Novakofski, 2010).
Hasil penelitian dan analisis data dari kelompok Kontrol menunjukkan
peningkatan kadar serum CML secara bermakna. Sedangkan hasil analisis data
dari kelompok Perlakuan menunjukkan bahwa tidak ada penurunan kadar serum
CML tapi juga tidak terjadi peningkatan kadar serum CML yang bermakna.
Ekstrak ubi jalar ungu dapat mencegah kenaikan kadar serum CML terutama
karena kandungan antosianin, yang berfungsi sebagai antioksidan, anti-inflamasi
dan AGEs inhibitor.
Seperti yang dilaporkan dalam banyak jurnal ilmiah antosianin paling dikenal
sebagai antioksidan (Wrolstad, 2001; Wang dan Stoner, 2008; Shipp dan AbdelAal, 2010). Beberapa penelitian melaporkan efek anti-inflamasi antosianin, yang
walaupun mekanismenya belum dapat dijelaskan secara pasti, antosianin
dilaporkan dapat menurunkan beberapa petanda inflamasi (Karlsen et al., 2007).
Antosianin dilaporkan dapat menghambat tahap awal proses glikasi, tapi
59
antosianin memang tidak dapat mendegradasi CML yang sudah terbentuk
(Vauzour et al., 2010). Ketiga efek biologis antosianin inilah yang dapat
mencegah terjadinya stress oksidatif dan inflamasi kronik yang dicetus oleh
akumulasi CML, sehingga dengan demikian dapat mencegah pembentukan CML
yang berkepanjangan (Matsuda et al., 2002; Yawadio et al., 2007; Wang dan
Stoner, 2008; Shipp dan Abdel-Aal, 2010).
Hasil uji komparatif antara kelompok Kontrol dan Perlakuan sebelum
perlakuan, menunjukkan nilai p > 0,05 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan
bermakna antara kadar serum CML dari kedua kelompok sebelum perlakuan.
Data hasil penelitian dari kelompok Perlakuan menunjukkan bahwa tidak ada
penurunan kadar serum CML setelah pemberian ekstrak ubi jalar ungu, sebaliknya
terjadi peningkatan kadar serum CML. Peningkatan kadar serum CML pada
kelompok Perlakuan memang lebih sedikit dibandingkan dengan peningkatan
yang terjadi pada kelompok Kontrol. Walaupun demikian, hasil uji komparatif
antara kelompok Kontrol dan Perlakuan sesudah pemberian ekstrak ubi jalar ungu
menunjukkan nilai p > 0,05 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan bermakna
antara kadar serum CML dari kedua kelompok sesudah perlakuan. Ini berarti
bahwa walaupun pemberian esktrak ubi jalar ungu dapat mencegah peningkatan
kadar serum CML, tapi efek tersebut tidak cukup bermakna bila dibandingkan
dengan kelompok yang tidak mendapatkan ekstrak ubi jalar ungu.
Ada beberapa hal yang mungkin dapat menjelaskan hasil uji komparatif
tersebut. Pertama, asupan harian makanan tinggi glikotoksin, yang sudah
mengandung AGEs (CML), menyebabkan akumulasi CML dan antosianin
60
memang tidak dapat mendegradasi CML. Kedua, dosis antosianin 7 mg belum
cukup untuk mencegah peningkatan kadar serum CML secara bermakna. Ketiga,
durasi pemberian ekstrak ubi jalar ungu tidak cukup lama untuk menghasilkan
efek seperti yang diharapkan dari hipotesis penelitian.
6.2 Peranan Ubi Jalar Ungu terhadap Proses Penuaan
Beberapa jurnal ilmiah telah melaporkan manfaat polifenol, termasuk
antosianin sebagai penghambat pembentukan AGEs (Matsuda et al., 2003; Wang
dan Stoner, 2008; Vauzour et al., 2010; Shipp dan Abdel-Aal, 2010). Kemudian
beberapa penelitian yang menggunakan bahan makanan kaya antosianin, termasuk
ubi jalar ungu, telah dilakukan untuk membuktikan efek antioksidan dan
antiinflamasi dari antosianin, yang bermanfaat untuk meredam efek buruk
akumulasi AGEs terhadap jaringan tubuh, dengan mengukur perubahan pada
petanda stres oksidatif dan inflamasi kronik (Kano et al., 2005; Jawi dkk., 2008;
Suda et al., 2008).
Sampai saat penelitian ini dilakukan, belum ada penelitian yang secara
spesifik melaporkan pengaruh antosianin atau bahan makanan kaya antosianin
terhadap kadar serum CML. Penelitian in vitro oleh Matsuda memastikan bahwa
beberapa bahan fenolik, termasuk antosianin, dapat menghambat proses glikasi.
Walaupun demikian, kelemahan dari suatu penelitian in vitro adalah tidak
memperhitungkan pengaruh absorbsi dan metabolisme antosianin dalam tubuh.
61
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak umbi ubi jalar
ungu yang mengandung antosianin 7 mg tidak menurunkan kadar serum CML,
tapi mungkin dapat mencegah peningkatan kadar serum CML.
Tiga kemungkinan penyebab seperti yang diuraikan sebelumnya dapat
menjawab pertanyaan mengapa antosianin 7 mg tidak menurunkan kadar serum
CML, sehingga hipotesis dari penelitian ini tidak terbukti.
62
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu pada
tikus wistar yang diberi diet tinggi glikotoksin selama 8 minggu, didapatkan
simpulan sebagai berikut :
Pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu 2,4 ml (antosianin 7 mg) tidak dapat
menurunkan kadar serum CML.
7.2 Saran
Sebagai saran dari penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis optimal
antosianin yang dapat mencegah peningkatan kadar serum CML.
2. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang pengaruh antosianin
terhadap akumulasi AGEs di berbagai jaringan tubuh selain serum.
63
DAFTAR PUSTAKA
Bengmark, S. 2007. Advanced Glycation and Lipoxidation End Products –
Amplifiers of Inflammation : The Role of Food. In : Journal of Parenteral and
Enteral Nutrition, Volume 31, No. 5, 2007 : p. 430-440.
CGIAR (Consultative Group on International Agricultural Research), Research &
Impact : Areas of Research : Sweet Potato. 2004. Available from :
http://www.cgiar.org/impact/research/sweetpotato.html. Accessed at : March 5th,
2011.
Contreras, C.L., Novakofski, K.C. 2010. Dietary Advanced Glycation End
Products and Aging. In : Nutrients, Volume 2, 2010 : p. 1247-1265.
Dalal, M., Ferrucci, L., Sun, K., Beck, J., Fried, L.P., Semba, R.D. 2009. Elevated
Serum Advanced Glycation End Products and Poor Grip Strength in Older
Community-Dwelling Women. In : Journal of Gerontology : Medical Sciences,
Vol 64A, No 1, 2009 : p. 132-137.
Ferreira, A.E.N., Ponces, A., Voit, E.O. 2003. A Quantitative Model of The
Generation of N-carboxymethyl-lysine In The Maillard Reaction Between
Collagen and Glucose. In : Biochemical Journal Immediate Publication,
BJ20030496, 2003 : p. 1-45.
Goldberg, T., Cai, W., Peppa, M., Dardaine, V., Baliga, B.S., Uribarri, J.,
Vlassara, H. 2004. Advanced Glycoxidation End Products in Commonly
Consumed Foods. In : Journal of The American Dietetic Association, Volume
104, Number 8, 2004 : p. 1287-1291.
Goldin, A., Beckman, J.A., Schmidt, A.M., Creager, M.A. 2006. Advanced
Glycation End Products: Sparking the Development of Diabetic Vascular Injury.
In : Circulation: Journal of the American Heart Association, Volume 114, 2006 ;
p. 597-605.
Harada, K., Kano, M., Takayanagi, T., Yamakawa, O., Ishikawa, F. 2004.
Absorption of Acylated Anthocyanins in Rats and Humans after Ingesting an
Extract of Ipomoea batatas Purlpe Sweet Potato Tuber. In : Bioscience
Biotechnology Biochemistry, 68(7), 2004 : p. 1500-1507.
Jawi, I.M., Suprapta, D.N., Subawa, A.A.N. 2008. Ubi Jalar Ungu Menurunkan
Kadar MDA dalam Darah dan Hati Mencit setelah Aktivitas Fisik Maksimal.
Dalam : Jurnal Veteriner, Volume 9, No 2, Juni 2008 : hal. 65-72.
64
Jiang, J.M., Wang, Z., Li, D.D. 2004. Effects of AGEs on Oxidation Stress and
Antioxidation Abilities in Cultured Astrocytes. In : Biomedical and
Environmental Sciences, Volume 17, 2004 : p. 79–86.
Kandarakis, E.D., Piperi, C., Korkolopoulou, P., Kandaraki, E., Levidou, J.,
Papalois, A., Patsouris, E., Papavassiliou, A. G. 2007. Accumulation of Dietary
Glycotoxins in The Reproductive System of Normal Female Rat. In : Journal of
Molecular Medicine, 85, 2007 : p. 1413-1420.
Kano, M., Takayanagi, T., Harada, K., Makino, K., Ishikawa, F. 2005.
Antioxidant Activity of Anthocyanions from Purple Sweetpotato, Ipomoea
batatas cultivar Ayamurasaki. In : Bioscience, Biotechnology, Biochemistry,
Volume 69, 2005 : p. 979–988.
Karlsen, A., Retterstol, L., Laake, P., Paur, I., Kjolsrud-Bohn, S., Sandvik, L.,
Blomhoff, R. 2007. Anthocyanins Inhibit Nuclear Factor-KB Activation in
Monocytes and Reduce Plasma Concentration of Pro-Inflammatory Mediators in
Healthy Adults. In : The Journal of Nutrition, Vol. 137, 2007 : p. 1951-1954.
Kaufmann, K. 2011. Pyridoxamine : A Universal Weapon Against Aging.
Available from : http://www.antiaging-systems.com/articles/197-pyridoxamine-auniversal-weapon-against-aging. Accessed at : May 19, 2011.
Matsuda, H., Morikawa, T., Toguchida, I., Yoshikawa, M. 2002. Structural
Requirements of Flavonoids and Related Compounds for Aldose Reductase
Inhibitory Activity. In : Chemistry Pharmaceutical Bulletin, 50(6), 2002 : p. 788795.
Matsuda, H., Wang, T., Managi, H., Yoshikawa, M. 2003. Structural
Requirements of Flavonoids for Inhibition of Protein Glycation and Radical
Scavenging Activities. In : Bioorganic & Medical Chemistry, Volume 11, 2003 :
p. 5317-5323.
Meerwaldt, R., Links, T., Zeebregts, C., Tio, R., Hillebrands, J. L., Smit, A. 2008.
The Clinical Relevance of Assesing Advanced Glycation Endproducts
Accumulation in Diabetes. In : Cardiovascular Diabetology, 7 : 29, 2008 : p. 1-8.
Negrean, M. 2006. Advanced Glycation Endproducts (AGE) and Their Role in the
Pathogenesis of Chronic Complication of Diabetes Mellitus. In : Medica, A
Journal of Clinical Medicine, Volume 1, No. 2, 2006 : p. 59-66.
65
Negrean, M., Stirban, A., Stratmann, B., Gawlowski, T., Horstmann, T., Gotting,
C., Kleesiek, K., Mueller-Roesel, M., Koschinsky, T., Uribarri, J., Vlassara, H.,
Tschoepe, D. 2007. Effects of Low- and High-Advanced Glycation Endproduct
Meals on Macro- and Microvascular Endothelial Function and Oxidative Stress in
Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. In : American Journal of Clinical
Nutrition, 85, 2007 : p. 1236-1243.
Odetti, P., Monacelli, F. 2008. Glycotoxins : A Possible Threat to Health? In :
Mediterranian Journal of Nutrition and Metabolism, 1, 2008 : p. 63-67.
Onorato, J.M., Jenkins, A.J., Thorpe, S.R., Baynes, J.W. 2000. Pyridoxamine, an
Inhibitor of Advanced Glycation Reactions, also Inhibits Advanced Lipoxidation
Reactions. In : The Journal of Biological Chemistry, Vol. 275, No. 28, Issue of
July 14, 2000 : p. 21177-21184.
Pangkahila, W. 2007. Anti-Aging Medicine : Memperlambat Penuaan,
Meningkatkan Kualitas Hidup. Edisi I. Penerbit Buku Kompas : hal. 8-9.
Peppa, M., Brem, H., Ehrlich P., Zhang, J. G., Cai, W., Li, Z., Croitoru A., Thung,
S., Vlassara, H. 2003. Adverse Effects of Dietary Glycotoxins on Wound Healing
in Genetically Diabetic Mice. In : Diabetes, Volume 52, 2003 : p. 2805-2813.
Peppa, M., Uribarri, J., Vlassara, H. 2008. Aging and Glycoxidant Stress. In :
Hormones, 7(2), 2008 : p. 123-132.
Plantamor, Situs Dunia Tumbuhan : Informasi Spesies. 2008. Available from :
http://www.plantamor.com/index.php?plant=711. Accessed at : March 5th, 2011.
Pocock, S. J. 2008. Clinical Trials : A Practical Approach. John Wiley & Sons
Ltd. p. 1-13, 123-141.
Rahbar, S., Figarola, L. 2003. Novel Inhibitors of Advanced Glycation
Endproducts. In : Archives of Biochemistry and Biophysics, 419, 2003 : p. 63-79.
Ramasamy, R., Vannucci, S.J., Yan, S.S.D., Herold, K., Yan, S.F., Schmidt, A.M.
2005. Advanced Glycation End Products and RAGE : A Common Thread in
Aging, Diabetes, Neurodegeneration and Inflammation. In : Glycobiology,
Volume 15, No 7, 2005 : p. 16R-28R.
Schmidt, A.M., Yan, S.D., Yan, S.F., Stern, D.M. 2001. The Multiligand Receptor
RAGE as a Progression Factor Amplifying Immune and Inflammatory Responses.
In : Journal of Clinical Investigaton, Volume 108, October 2001 : p. 949-955.
66
Semba, R.D., Bandinelli, S., Sun, K., Guralnik, J.M., Ferrucci, L. 2010a.
Relationship of an Advanced Glycation End Product, Plasma CarboxymethylLysine, with Slow Walking Speed in Older Adults : The InCHIANTI Study. In :
European Journal of Application Physiology, Vol 108, 2010 : p. 191-195.
Semba, R.D., Ferrucci, L., Fink, J.C., Sun, K., Beck, J., Dalal, M., Guralnik, J.M.,
Fried, L.P. 2009a. Advanced Glycation End Products and Their Circulating
Receptors and Level of Kidney Function in Older Community-Dwelling Women.
In : American Journal of Kidney Diseases, Volume 53, No 1, 2009 : p. 51-58.
Semba, R.D., Ferrucci, L., Sun, K., Beck, J., Dalal, M., Varadhan, R., Walston, J.,
Guralnik, J.M., Fried, L.P. 2009b. Advanced Glycation End Products and Their
Circulating Receptors Predict Cardiovascular Disease Mortality in Older
Community-Dwelling Women. In : Aging Clinical and Experimental Research,
21(2), 2009 : p. 182-190.
Semba, R.D., Ferrucci, L., Sun, K., Patel, K.V., Guralnik, J.M., Fried, L.P. 2009c.
Elevated Serum Advanced Glycation End Products and Their Circulating
Receptors are Associated with Anaemia in Older Community-Dwelling Women.
In : Age and Ageing, Volume 38, 2009 : p. 283-289.
Semba, R.D., Fink, J.C., Sun, K., Bandinelli, S., Guralnik, J.M., Ferrucci, L.
2009d. Carboxymethyl-Lysine, an Advanced Glycation End Product, and Decline
of Renal Function in Older Community-Dwelling Adults. In : European Journal
of Nutrition, Volume 48, Number 1, 2009 : p. 38-44.
Semba, R.D., Najjar, S.S., Sun, K., Lakatta, E.G., Ferrucci, L. 2009e. Serum
Carboxymethyl-Lysine, an Advanced Glycation End Product, Is Associated with
Increased Aortic Pulse Wave Velocity in Adults. In : American Journal of
Hypertension, Volume 22, Number 1, 2009 : p. 74-79.
Semba, R.D., Nicklett, E.J., Ferrucci, L. 2010b. Does Accumulation of Advanced
Glycation End Products Contribute to the Aging Phenotype? In : Journal of
Gerontology : Medical Sciences, 65A(9), 2010 : p. 963-975.
Semba, R.D., Patel, K.V., Sun, K., Guralnik, J.M., Ershler, W.B., Longo, D.L.,
Ferrucci, L. 2008. Association of Serum Carboxymethyl-Lysine, a Dominant
Advanced Glycation End Product, with Anaemia in Adults : The Baltimore
Longitudinal Study of Aging. In : Journal of American Geriatric Society, 56 (11),
2008 : p. 2145-2147.
Shipp, J., Abdel-Aal, E.M. 2010. Food Applications and Physiological Effects of
Anthocyanins as Functional Food Ingredients. In : The Open Food Science
Journal, Vol. 4, 2010 : p. 7-22.
67
Spormann, T. M., Albert, F. W., Rath, T., Dietrich, H., Will, F., Stockis, J. P.,
Eisenbrand, G., Janzowski, C. 2008. Anthocyanin/Polyphenolic-Rich Fruit Juices
Reduces Oxidative Cell Damage in an Intervention Study with Patients on
Hemodialysis. In : Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention, 17(12), 2008
: p. 3372-3380.
Suda, I., Ishikawa, F., Hatakeyama, M., Miyawaki, M., Kudo, T., Hirano, K., Ito,
A., Yamakawa, O., Horiuchi, S. 2008. Intake of Purple Sweet Potato Beverage
Affects on Serum Hepatic Biomarker Levels of Healthy Adult Men with
Borderline Hepatitis. In : European Journal of Clinical Nutrition, 62, 2008 : p.
60-67.
Truong, V.D., Deighton, N., Thompson, R.T., McFeeters, R.F., Dean, L.O.,
Pecota, K.V., Yencho, G.C. 2010. Characterization of Anthocyanins and
Anthocyanidins in Purple-Fleshed Sweetpotatoes by HPLC-DAD/ESI-MS/MS. In
: Journal of Agricultural and Food Chemistry, 58, 2010 : p. 404-410.
Vauzour, D., Mateos, A.R., Corona, G., Concha, M.J.O., Spencer, J.P.E. 2010.
Polyphenols and Human Health : Prevention of Disease and Mechanisms of
Action. In : Nutrients, Volume 2, 2010 : p. 1106-1131.
Uribarri, J., Tuttle, K.R. 2006. Advanced Glycation End Products and
Nephrotoxicity of High-Protein Diet. In : Cinical Journal of American Society of
Nephrology, Volume 1, 2006 : p. 1293-1299.
Uribarri, J., Woodruff, S., Goodman, S., Cai, W., Chen, X., Pyzik, R., Yong, A.,
Striker, G.E., Vlassara, H. 2010. Advanced Glycation End Products in Foods and
a Practical Guide to Their Reduction in the Diet. In : Journal of the American
Dietetic Association, Volume 110, 2010 : p. 911-916.
USDA National Nutrient Database for Standard Reference, Release 23. 2010.
Available at : http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/cgi-bin/list_nut_edit.pl.
Accessed at : March 5th, 2011.
Vlassara, H., Cai, W., Crandall, J., Goldberg, T., Oberstein, R., Dardaine, V.,
Peppa, M., Rayfield, E. J. 2002. Inflammatory Mediators are Induced by Dietary
Glycotoxins, A Major Risk Factor for Diabetic Angiopathy. In : PNAS, Vol. 99,
No. 24, 2002 : p. 15596-15601.
Voziyan, P.A., Khalifah, R.G., Thibaudeau, C., Yildiz, A., Jacob, J., Serianni,
A.S., Hudson, B.G. 2003. Modification of Proteins In Vitro by Physiological
Levels of Glucose. In : The Journal of Biological Chemistry, Vol. 278, No. 47,
Issue of November 21, 2003 : p. 46616-46624.
68
Voziyan, P.A., Metz, T.O., Baynes, J.W., Hudson, B.G. 2002. A Post-Amadori
Inhibitor Pyridoxamine Also Inhibits Chemical Modification of Proteins by
Scavenging Carbonyl Intermediates of Carbohydrate and Lipid Degradation. In :
The Journal of Biological Chemistry, Vol. 277, No. 5, Issue of February 1, 2002 :
p. 3397-3403.
Wang, L. S., Stoner, G. D. 2008. Anthocyanins and Their Role in Cancer
Prevention. In : Cancer Letters, 269, 2008 : p. 281-290.
Wrolstad, R.E. 2001. The Possible Health Benefits of Anthocyanin Pigments and
Polyphenolics. In : The Linus Pauling Institute. Available at :
http://lpi.oregonstate.edu/ss01/anthocyanin.html. Accessed at : December 12th,
2010.
Yamagishi, S., Nakamura, K., Matsui, T., Ueda, S., Noda, Y., Imaizumi, T. 2008.
Inhibitors of Advanced Glycation End Products (AGEs) : Potential Utility for The
Treatment of Cardiovascular Disease. In : Cardiovascular Theraupetics, 26, 2008
: p. 50-58.
Yawadio, R., Tanimori, S., Morita, N. 2007. Identification of Phenolic
Compounds Isolated from Pigmented Rices and Their Aldose Reductase
Inhibitory Activities. In : Food Chemistry, Volume 101, 2007 : p. 1616-1625.
69
Lampiran 1
Analisis Deskriptif
Descriptives
Statistic
CML Kontrol Pre
Mean
220.67
95% Confidence Interval for Lower Bound
172.44
Mean
Upper Bound
217.24
Median
219.00
7.583E3
Std. Deviation
87.082
Minimum
105
Maximum
398
Range
293
Interquartile Range
121
Skewness
.605
.580
-.085
1.121
Mean
249.87
32.940
95% Confidence Interval for Lower Bound
179.22
Mean
320.52
Kurtosis
CML Perlakuan Pre
22.484
268.89
5% Trimmed Mean
Variance
Std. Error
Upper Bound
5% Trimmed Mean
244.07
Median
205.00
Variance
1.628E4
Std. Deviation
127.577
Minimum
125
Maximum
479
Range
354
Interquartile Range
227
Skewness
.915
.580
-.732
1.121
Kurtosis
70
CML Kontrol Post
CML Perlakuan Post
Mean
347.27
95% Confidence Interval for Lower Bound
281.04
Mean
413.50
Upper Bound
5% Trimmed Mean
347.69
Median
320.00
Variance
1.430E4
Std. Deviation
119.595
30.879
Minimum
182
Maximum
505
Range
323
Interquartile Range
243
Skewness
.089
.580
Kurtosis
-1.675
1.121
Mean
256.80
22.776
95% Confidence Interval for Lower Bound
207.95
Mean
305.65
Upper Bound
5% Trimmed Mean
260.44
Median
289.00
Variance
7.781E3
Std. Deviation
88.210
Minimum
84
Maximum
364
Range
280
Interquartile Range
131
Skewness
-.985
.580
Kurtosis
-.138
1.121
71
Lampiran 2
Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
CML Kontrol Pre
.145
15
.200*
.945
15
.444
CML Perlakuan Pre
.220
15
.050
.829
15
.009
CML Kontrol Post
.179
15
.200*
.894
15
.076
CML Perlakuan Post
.315
15
.000
.836
15
.011
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Lampiran 3
Uji Homogenitas
Levene's Test for Equality of Variances
F
CML sebelum perlakuan Equal variances assumed
Sig.
2.675
.113
3.936
.057
Equal variances not assumed
CML sesudah perlakuan Equal variances assumed
Equal variances not assumed
72
Lampiran 4
Paired Samples Test Kelompok Kontrol
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Std.
Mean Deviation
Pair CML Kontrol Pre
1
- CML Kontrol
Post
126.600
Std. Error
Mean
164.963
Difference
Lower
42.593 -217.954
Lampiran 5
Uji Wilcoxon Kelompok Perlakuan
Test Statisticsb
CML Perlakuan Post - CML Perlakuan Pre
-.114a
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
.910
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
73
Upper
Sig. (2t
-35.246 -2.972
df
14
tailed)
.010
Lampiran 6
Uji Mann-Whitney
Ranks
Kelompok
CML Pre
CML Post
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Kontrol
15
15.07
226.00
Perlakuan
15
15.93
239.00
Total
30
Kontrol
15
18.27
274.00
Perlakuan
15
12.73
191.00
Total
30
Test Statisticsb
CML Pre
CML Post
Mann-Whitney U
106.000
71.000
Wilcoxon W
226.000
191.000
-.270
-1.722
.787
.085
.806a
.089a
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
74
Download