14 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Nilai Perusahaan Bagi perusahaan

advertisement
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Nilai Perusahaan
Bagi perusahaan yang menerbitkan saham di pasar modal harga saham yang
ditransaksikan di bursa merupakan indikator nilai perusahaan. Tujuan yang harus
dicapai adalah bukan memaksimumkan profit melainkan memaksimumkan
kemakuran pemegang saham melalui maksimisasi nilai perusahaan. Tujuan
memaksimumkan kemakmuran pemegang saham dapat ditempuh dengan
memaksimumkan nilai sekarang semua keuntungan pemegang saham yang
diharapkan akan diperoleh di masa datang. Nilai perusahaan adalah harga yang
bersedia dibayar calon investor seandainya suatu perusahaan akan dijual. Nilai
perusahaan juga dipengaruhi oleh besarnya tingkat pengembalian yang diharapkan
oleh investor baik berupa dividen maupun capital gains. Semakin tinggi tingkat
pengembalian yang akan diterima investor maka semakin tinggi harga saham yang
bersedia dibayar apabila saham dijual.
Menurut Rika dan Ishlahuddin (2008), nilai perusahaan didefinisikan sebagai
nilai pasar, karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran atau
keuntungan bagi pemegang saham secara maksimum jika harga saham perusahaan
meningkat yang berarti tingkat keuntungan yang diperoleh juga meningkat.
Semakin tinggi tingkat keuntungan yang diterima maka keadaan ini akan diminati
oleh investor karena dengan permintaan saham yang meningkat menyebabkan
nilai perusahaan juga meningkat.
14
15
Secara fundamental, nilai perusahaan dipengaruhi oleh kinerja keuangan
karena dengan melihat kondisi keuangan suatu perusahaan kita dapat melihat
apakah perusahaan tersebut memiliki nilai yang tinggi, yang dapat tercermin dari
harga sahamnya. Penilaian kondisi perusahaan melalui aspek keuangan dapat
dilakukan dengan menganalisis rasio-rasio keuangan perusahaan dalam suatu
periode tertentu. Nilai perusahaan dapat dicapai dengan maksimum jika para
pemegang saham menyerahkan urusan pengelolaan perusahaan kepada orangorang yang berkompeten dalam bidangnya, seperti manajer maupun komisaris.
Jika harga saham periode sekarang lebih besar dari periode sebelumnya, maka
terjadi keuntungan modal (capital gain), sebaliknya bila harga saham periode
sekarang lebih kecil dari periode sebelumnya, maka terjadi kerugian modal
(capital loss).
Brigham dan Houston (2006) menganjurkan untuk meningkatkan nilai
perusahaan, bisnis atau perusahaan sebaiknya diorganisasikan sebagai suatu
perseroan terbatas. Terdapat tiga alasan mengapa perseroan terbatas dapat
meningkatkan nilai perusahaan :
1. Kewajiban terbatas mengurangi risiko yang ditanggung oleh para investor,
dan jika semua hal lainnya konstan. Semakin rendah risiko perusahaan
maka makin tinggi nilainya.
2. Nilai perusahaan akan tergantung pada peluang pertumbuhannya, yang
selanjutnya akan bergantung pada kemampuan perusahaan untuk menarik
modal. Perusahaan dengan bentuk perseroan terbatas dapat menarik modal
secara lebih mudah daripada bisnis-bisnis yang tidak terinkorporasi, maka
16
perusahaan dapat dengan lebih baik mengambil keuntungan dari peluangpeluang pertumbuhan.
3. Nilai dari suatu aset juga bergantung pada likuiditasnya, yang artinya
kemudahan untuk menjual asset dan mengubahnya menjadi uang tunai
pada suatu nilai perusahaan yang wajar. Investasi pada saham dari
perseroan terbatas adalah jauh lebih likuid daripada investasi yang serupa
di suatu kepememilikan perseorangan atau persekutuan, maka hal ini juga
meningkatkan nilai dari suatu perseroan terbatas.
Brigham dan Daves (2004) menyatakan bahwa untuk mengetahui nilai
perusahaan pada waktu yang akan datang, harus digunakan empat indikator
utama. Pengaruh keempat indikator tersebut terhadap nilai perusahaan adalah :
1. Pertumbuhan penjualan (sales growth) memiliki efek positif terhadap nilai
perusahaan
bilamana
perusahaan
menghasilkan
keuntungan
yang
memadai. Pertumbuhan penjualan dapat memberi efek negatif bilamana
pertumbuhannya membutuhkan modal yang besar dengan biaya modal
mahal atau tinggi.
2. Profit dari operasional, yang diukur dari nilai laba setelah pajak per
penjualan, selalu memberikan efek positif terhadap nilai perusahaan.
Semakin tinggi operational profit, semakin baik nilai perusahaan.
3. Rasio kecukupan modal, yang diukur dari jumlah operational capital yang
dibutuhkan untuk menghasilkan setiap penjualan, memiliki pengaruh
positif terhadap nilai perusahaan. Semakin rendah capital requirements
17
akan mendorong perusahaan untuk menciptakan penjualan dengan
kebutuhan modal baru yang lebih sedikit.
4. WACC memberikan pengaruh konsisten terhadap nilai perusahaan, yaitu
semakin rendah WACC akan menyebabkan nilai perusahaan semakin
baik.
Pengambilan keputusan oleh manajer keuangan dalam mengelola risiko
harus tepat dan benar dalam menentukan tujuan yang harus dicapai. Keputusan
yang benar adalah keputusan yang akan membantu mencapai tujuan yaitu
memaksimumkan nilai perusahaan.
2.2 Kebijakan dividen
Menurut Jogiyanto (2003), dividen adalah pendapatan yang diberikan kepada
pemegang saham jika perusahaan memperoleh laba, sedangkan menurut Riyanto
(2001), dividen merupakan aliran kas yang dibayarkan kepada pemegang saham
(equity investor). Lee dan Finerty (1990) mengartikan kebijakan dividen sebagai
suatu keputusan perusahaan apakah akan membagikan earnings yang dihasilkan
kepada para pemegang saham atau akan menahan earnings untuk kegiatan
reinvestasi dalam perusahaan. Jadi, dividen adalah pembagian hasil keuntungan
yang diperoleh perusahaan kepada para pemegang saham preferen dan saham
biasa sesuai dengan kebijakan dividen yang ditetapkan oleh perusahaan.
Dividen juga bisa disebut sebagai balas jasa kepada pemegang saham, namun
pembagian dividen merupakan keputusan residual (sisa) jika perusahaan
memperoleh laba (Said Kelana, 2005). Menurut Lukas (1999) dalam Suhartono
(2002), pada dasarnya manajemen mempunyai dua alternatif perlakuan terhadap
18
penghasilan laba bersih sesudah pajak (EAT) perusahaan yakni dibagi kepada
para pemegang saham perusahaan dalam bentuk dividen dan diinvestasikan
kembali ke perusahaan sebagai laba ditahan. Pada umumnya sebagaian EAT
dibagi dalam bentuk dividen dan sebagian diinvestasikan kembali, artinya
manajemen harus membuat keputusan tentang besarnya EAT yang dibagikan
sebagai dividen.
Pembayaran dividen yang lebih besar cenderung menyebabkan meningkatnya
harga saham dan dinilai oleh investor akan mendapatkan tingkat pengembalian
yang tinggi pula. Menurut Pramastuti (2007), di dalam perusahaan, manajemen
memiliki dua alternative perlakuan terhadap penghasilan bersih (laba) setelah
pajak, yaitu laba tersebut akan diinvestasikan kembali ke perusahaan sebagai laba
ditahan atau dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen.
Menurut Husnan (2006), kebijakan dividen suatu perusahaan menyangkut tentang
masalah penggunaan laba yang menjadi hak para pemegang saham. Laba tersebut
dapat dibagikan pada pemegang saham sebagai dividen atau dapat ditahan sebagai
laba ditahan (retained earnings). Kebijakan dividen menurut Weston dan Brigham
(1993) adalah menyangkut keputusan untuk membagikan laba atau menahannya
guna diinvestasikan kembali dalam perusahaan, apabila dividen yang dibayarkan
secara tunai semakin meningkat, maka semakin sedikit dana yang tersedia untuk
reinvestasi, hal ini akan menyebabkan tingkat pertumbuhan masa mendatang
rendah dan menekan harga saham.
Kamaruddin (2004) menyatakan bahwa, kebijakan dividen adalah keputusan
keuangan yaitu dengan mempertimbangkan apakah pembayaran dividen akan
19
meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Menurut Sartono (2001), kebijakan
dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan
kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba
ditahan guna pembiayaan investasi di masa datang. Apabila perusahaan memilih
untuk membagikan laba sebagai dividen maka akan mengurangi laba ditahan dan
selanjutnya mengurangi total sumber dana intern atau internal financing. Jika
perusahaan memilih untuk menahan laba yang diperoleh, maka kemampuan
pembentukan dana intern akan semakin besar. Kebijakan dividen masih
merupakan masalah yang mengundang perdebatan, karena terdapat lebih dari satu
pendapat (Husnan, 2006). Tiga teori tentang kebijakan dividen menurut Brigham
& Houston (2006), yaitu sebagai berikut :
1.
Teori Irelevansi Dividen (dividend irrelevance theory)
Telah lama diperdebatkan bahwa kebijakan dividen tidak memiliki pengaruh
baik pada harga saham sebuah perusahaan maupun biaya modalnya. Jika
kebijakan dividen tidak memiliki pengaruh yang signifikan, maka kebijakan
tersebut akan irelevan. Pendukung utama dari teori irelevansi dividen ini adalah
Modigliani dan Miller. Modigliani–Miller (MM) berpendapat bahwa didalam
kondisi bahwa keputusan investasi yang given, pembayaran dividen tidak
berpengaruh terhadap kemakmuran pemegang saham. MM berpendapat bahwa
nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dari aset perusahaan, dengan
demikian nilai perusahaan ditentukan oleh keputusan investasi, ini berarti nilai
dari sebuah perusahaan akan tergantung hanya pada laba yang diproduksi oleh
aktiva-aktivanya, bukan pada bagaimana laba tersebut akan dibagi menjadi
20
dividen dan saldo laba ditahan. MM membuktikan pendapatnya secara matematis
dengan berbagai asumsi, yaitu pasar modal sempurna dimana investor bersikap
rasional, tidak ada pajak perseorangan dan pajak penghasilan perusahaan, tidak
ada biaya emisi dan biaya transaksi, kebijakan dividen tidak berpengaruh terhadap
biaya modal sendiri perusahaan, dan informasi yang tersedia untuk setiap individu
terutama yang menyangkut tentang kesimpulan investasi (Sartono, 2001).
2.
Teori Burung di Tangan (Bird In The Hand Theory)
Teori ini bertentangan dengan teori irelevansi dividen (dividend irrelevance
theory), MM menamakan pendapat Gordon dan Lintner sebagai kekeliruan karena
menurut MM kebanyakan investor merencanakan untuk menginvestasikan
kembali dividen mereka dalam saham dari perusahaan yang bersangkutan atau
perusahaan sejenis dan bagaimana pun juga risiko dari arus kas operasinya dan
bukan oleh pembagian dividennya. Gordon dan Lintner dalam Sartono (2001:284)
dalam teorinya yaitu bird in the hand theory, menjelaskan investor lebih merasa
nyaman untuk memperoleh pendapatan berupa pembayaran dividen daripada
menunggu capital gain. Gordon dan Lintner beranggapan investor memandang
satu burung di tangan lebih berharga daripada seribu burung di udara. Gordon and
Lintner dalam Brigham (2001), mengatakan bahwa sesungguhnya investor jauh
lebih menghargai uang yang diharapkan dari dividen daripada uang yang
diharapkan dari kenaikan modal karena komponen hasil dividen risikonya lebih
kecil daripada komponen tingkat pertumbuhan. Gordon dan Lintner berpendapat
bahwa dividen yang sudah ada di tangan (in the hand) lebih kecil risikonya
dibanding dengan kemungkinan kenaikan nilai modal yang belum jelas rimbanya
21
(in the bush), sehingga investor memerlukan total tingkat pengembalian (laba)
yang lebih besar apabila laba tersebut sebagian besar terdiri dari kenaikan nilai
modal dan hanya sebagian kecil yang terdiri dari dividen.
3.
Teori Prefensi Pajak
Menurut Brigham dan Houston (2006), terdapat tiga alasan yang
berhubungan dengan pajak mengapa kita dapat berpikiran bahwa investor
mungkin akan lebih menyukai pembayaran dividen yang rendah ketimbang
menerima pembayaran tinggi: (1) Keuntungan modal jangka panjang biasanya
dikenakan pajak dengan tarif 20 persen, sedangkan laba dividen dikenakan pajak
dengan tarif efektif yang dapat mencapai angka maksimal 38,6 persen. Investor
yang kaya (yang memiliki saham lebih banyak dan menerima sebagian besar
dividen) mungkin lebih menyukai perusahaan menahan dan menanamkan kembali
labanya ke dalam bisnis. Pertumbuhan laba mungkin mengarah kenaikan harga
saham, dan akibatnya keuntungan modal yang pajak rendahnya akan
menggantikan dividen yang pajaknya tinggi.
(2) Pajak atas keuntungan tidak akan dibayarkan sampai saham tersebut dijual,
karena adanya pengaruh nilai waktu, satu dolar pajak yang dibayarkan di masa
depan akan memiliki biaya efektif yang lebih rendah daripada satu dollar yang
dibayarkan sekarang.
(3) Jika sebuah saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal dunia,
keuntungan modal saham tersebut tidak akan dikenakan pajak sama sekali, para
ahli waris yang menerimanya dapat menggunakan nilai saham pada saat kematian
sebagai dasar harga perolehan mereka sehingga sepenuhnya terhindar dari pajak
22
keuntungan modal. Keunggulan-keunggulan dibidang perpajakan ini, para
investor mungkin lebih menyukai perusahaan menahan sebagian besar lab
mereka. Jika demikian, investor akan bersedia untuk membayar lebih bagi
perusahaan dengan pembayaran dividen yang rendah daripada perusahaan serupa
dengan pembayaran yang tinggi.
Menurut Riyanto (2001), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan
dividen, adalah sebagai berikut.
1.
Posisi likuiditas perusahaan
Dividen merupakan arus kas keluar maka semakin kuat likuiditas perusahaan
berarti semakin besar kemampuan perusahaan membayar dividen. Pada
perusahaan yang sedang tumbuh posisi likuiditasnya tidak begitu kuat karena
sebagian besar dananya tertanam dalam aktiva tetap dan modal kerja sehingga
kemampuan perusahaan untuk membayar cash dividen pun terbatas, dengan
sendirinya likuiditas perusahaan ditentukan oleh keputusan investasi dan cara
pemenuhan kebutuhan dananya. Semakin kuat posisi likuiditas perusahaan
terhadap prospek kebutuhan dana diwaktu-waktu mendatang makin tinggi
dividend payout ratio nya.
2.
Kebutuhan dana untuk membayar utang
Perusahaan yang akan memperoleh hutang baru atau menjual obligasi untuk
membiayai perluasan perusahaan, sebelumnya harus sudah direncanakan cara
untuk membayar kembali hutang tersebut. Hutang dapat dilunasi pada saat jatuh
temponya dengan hutang baru. Atau alternatif lain adalah perusahaan
menyediakan dana sendiri yang berasal dari keuntungan untuk melunasi hutang
23
tersebut. Apabila perusahaan memutuskan untuk menggunakan laba ditahan untuk
melunasi hutang tersebut, maka perusahaan harus menahan sebagian besar dari
pendapatannya untuk keperluan tersebut, ini berarti bahwa hanya sebagian kecil
saja dari pendapatan yang dapat dibayarkan sebagai dividen.
3.
Tingkat pertumbuhan perusahaan
Makin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan, maka makin besar
kebutuhan akan dana untuk membiayai pertumbuhan perusahaan tersebut. Makin
besar kebutuhan dana untuk membiayai pertumbuhan dimasa yang akan datang
maka perusahaan akan lebih senang untuk menahan earnings-nya daripada
dibayarkan sebagai dividen kepada pemegang saham dengan mengingat batasanbatasan biayanya. Dengan demikian dapat dikatakan makin cepat tingkat
pertumbuhan perusahaan makin besar dana yang dibutuhkan, makin besar
kesempatan untuk memperoleh keuntungan, makin besar bagian pendapatan yang
ditahan dalam perusahaan, yang berarti makin rendah tingkat pembayaran
dividennya.
4.
Pengawasan terhadap perusahaan
Kebijakan perusahaan yang hanya membiayai ekspansi dengan dana yang
berasal dari sumber internal saja akan melemahkan kontrol dari pihak yang
dominan di dalam perusahaan. Demikian pula jika membiayai ekspansi dengan
hutang
akan
memperbesar
risiko
finansialnya.
Mempercayakan
pada
pembelanjaan internal dalam rangka usaha mempertahankan kontrol terhadap
perusahaan, berarti mengurangi pembayaran dividen.
24
2.3 Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan perusahaan merupakan salah satu aspek penilaian yang
fundamental dalam menilai kondisi keuangan perusahaan yang dapat dilakukan
dengan menganalisis rasio-rasio keuangan perusahaan dalam suatu periode
tertentu. Dalam keputusan Menteri Keuangan RI No. 74/KMK.001/2000,
disebutkan bahwa kinerja keuangan adalah prestasi yang dicapai oleh perusahaan
dalam suatu periode tertentu, yang mencerminkan tingkat kesehatan dari
perusahaan tersebut. Kinerja keuangan suatu perusahaan sangat bermanfaat bagi
berbagai pihak (stakeholders) seperti investor, kreditur, analisis, konsultan
keuangan, pialang, pemerintah dan pihak manajemen sendiri (Martono dan Agus
Harjito, 2004).
Untuk mengetahui besarnya kinerja keuangan dari suatu perusahaan, maka
diperlukan suatu analisis terhadap laporan keuangan perusahaan yang meliputi
analisis rasio keuangan, analisis kekuatan dan kelemahan perusahaan dibidang
keuangan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi apakah suatu perusahaan
memiliki kas yang cukup untuk memenuhi kewajiban finansialnya, besarnya
piutang yang cukup rasional, efisiensi manajemen persediaan, perencanaan
pengeluaran investasi yang baik, dan struktur modal yang sehat sehingga tujuan
memaksimumkan kemakmuran pemegang saham dapat tercapai (Sartono, 2001).
Husnan (2006) menyatakan bahwa dalam melakukan analisis rasio keuangan,
diperlukan perhitungan rasio-rasio keuangan yang mencerminkan aspek-aspek
tertentu. Prestasi dan posisi keuangan yang baik dalam suatu perusahaan,dapat
diukur seorang analis keuangan melalui ukuran tertentu. Ukuran yang sering kali
25
digunakan adalah rasio atau indeks yang menunjukkan hubungan antara dua data
keuangan. Kondisi keuangan dan kinerja keuangan perusahaan dapat dievaluasi
dengan melakukan pemeriksaan terhadap kesehatan keuangan perusahaan. Alat
yang digunakan
dalam
pemeriksaan
ini
adalah
rasio
keuangan
yang
menghubungkan dua data keuangan.
Analisis juga dapat dilakukan dengan cara membandingkan prestasi satu
periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui kecenderungan
selama periode tertentu. Menurut analis keuangan, analisis keuangan yang
mencakup analisis rasio keuangan, analisis kelemahan dan kekuatan di bidang
finansial akan sangat membantu dalam menilai prestasi manajemen masa lalu dan
prospeknya di masa mendatang. Analisis dan interpretasi dari macam-macam
rasio dapat memberikan pandangan yang lebih baik tentang kondisi keuangan dan
prestasi perusahaan daripada analis yang hanya didasarkan atas data keuangan
yang tidak berbentuk rasio.
Berdasarkan uraian di atas, kinerja keuangan dapat dinilai dengan melakukan
analisis rasio keuangan, serta analisis kekuatan dan kelemahan perusahaan
dibidang keuangan yang diukur dari besarnya tingkat pengembalian yang dalam
`hal investasi saham berkaitan dengan besarnya dividen yang dibagikan kepada
pemegang saham. Analisis rasio keuangan merupakan salah satu alat yang
digunakan dalam melakukan penilaian kinerja keuangan suatu perusahaan.
Munawir (2007) menyatakan bahwa analisis rasio seperti halnya alat-alat analisis
yang lain adalah ”future oriented”, oleh karena itu seorang analis harus mampu
untuk menyesuaikan faktor-faktor yang ada pada periode atau waktu ini dengan
26
faktor-faktor di masa yang akan datang, yang mungkin akan mempengaruhi posisi
keuangan atau hasil operasi perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian,
kegunaan atau manfaat suatu angka rasio sepenuhnya tergantung kepada
kemampuan atau kecerdasan penganalisa dalam menginterpretasikan data yang
bersangkutan.
Menurut Husnan (2006), rasio keuangan terdiri atas likuiditas berfungsi
untuk
mengukur
kemampuan
jangka
pendek
perusahaan,
profitabilitas
menunjukkan keberhasilan perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan,
leverage adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Adapun rasio keuangan yang digunakan
untuk menilai kinerja keuangan perusahaan dalam penelitian ini adalah
profitabilitas, leverage, dan likuiditas.
2.3.1
Rasio Likuiditas
Likuiditas perusahaan menggambarkan kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendeknya (Utomo, 2004). Likuiditas merupakan
salah satu ukuran yang bertujuan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk
melunasi kewajiban jangka pendeknya dengan aktiva lancar yang dimilikinya.
Likuiditas dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan kewajiban jangka
pendeknya. Aktiva lancar meliputi kas, surat berharga, piutang, dan persediaan.
Utang lancar meliputi, utang dagang, utang pajak, utang bunga, utang wesel,
utang gaji, dan utang jangka pendek lainnya. Likuiditas ini juga sering disebut
dengan rasio modal kerja yang menunjukkan jumlah aktiva lancar yang tersedia
27
yang dimiliki oleh perusahaan untuk merespon kebutuhan-kebutuhan bisnis dan
meneruskan kegiatan bisnis hariannya.
Menurut Hanafi dan Halim (2008), likuiditas mengukur kemampuan
perusahaan dalam memenuhi hutang jangka pendeknya dengan menggunakan
aktiva lancarnya (aktiva yang akan berubah menjadi kas dalam waktu satu tahun
atau satu siklus bisnis), semakin tinggi tingkat likuiditas maka dapat dikatakan
bahwa perusahaan mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam memenuhi
kewajiban-kewajiban keuangan jangka pendeknya. Menurut Sartono, (2001) rasio
ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
Aktiva Lancar
Current Ratio =
x 100%
Utang Lancar
Menurut Hanafi (2008), rasio yang rendah menunjukkan likuiditas jangka
pendek yang rendah, sebaliknya rasio lancar yang tinggi menunjukkan kelebihan
aktiva lancar (likuiditas tinggi dan risiko rendah). Tingkat likuiditas yang semakin
tinggi maka kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan
jangka pendeknya semakin besar. Hal ini dapat meningkatkan kredibilitas
perusahaan yang akan menimbulkan reaksi positif dari investor dan menyebabkan
bertambahnya permintaan terhadap saham. Sehingga pendapatan serta tingkat
pembayaran dividen meningkat (Sartono, 2001).
2.3.2 Rasio Leverage
Leverage
berkaitan dengan sumber dana, baik yang berasal dari dalam
maupun dari luar perusahaan. Sumber dana internal berasal dari dana yang
28
terkumpul dari laba yang ditahan yang berasal dari kegiatan perusahaan,
sedangkan sumber dana eksternal berasal dari pemilik yang merupakan komponen
modal sendiri dan dana yang berasal dari para kreditur yang merupakan modal
pinjaman atau hutang. Modal dalam suatu bisnis merupakan salah satu sumber
kekuatan untuk dapat melaksanakan aktivitasnya. Setiap perusahaan dalam
melaksanakan kegiatannya selalu berupaya untuk menjaga keseimbangan
finansialnya. Struktur modal berasosiasi dengan profitabilitas, struktur modal
perusahaan merupakan komposisi hutang dengan ekuitas. Dana yang berasal dari
hutang mempunyai biaya modal dalam bentuk biaya bunga. Dana yang berasal
dari ekuitas mempunyai biaya modal berupa dividen. Perusahaan akan memilih
sumber dana yang paling rendah biayanya di antara berbagai alternative sumber
dana yang tersedia. Komposisi hutang dan ekuitas tidak optimal akan mengurangi
profitabilitas perusahaan dan sebaliknya.
Ang (1997) menyatakan bahwa semakin tinggi leverage suatu perusahaan
akan mempengaruhi besarnya laba yang dicapai perusahaan. Leverage yang
digunakan dalam penelitian ini adalah untuk mengukur kemampuan modal sendiri
perusahaan untuk dijadikan jaminan semua hutang perusahaan. Leverage
merupakan rasio hutang yang digambarkan dengan perbandingan antara seluruh
hutang, baik hutang jangka panjang maupun hutang jangka pendek dengan modal
sendiri perusahaan (Van Horne, 2005). DER dapat dirumuskan sebagai berikut :
Total debt
Debt to Equity Ratio =
x 100 %
Total equity
29
Leverage menunjukkan komposisi total hutang semakin besar dibanding
dengan total modal sendiri, sehingga berdampak semakin besar beban perusahaan
terhadap pihak luar (kreditur) (Ang, 1997). Semakin tinggi rasio ini
mencerminkan resiko perusahaan yang relatif tinggi karena hal tersebut
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut masih membutuhkan modal pinjaman
untuk membiayai operasional perusahaan. Apabila perusahaan tersebut masih
membutuhkan modal pinjaman, dapat dipastikan keuntungan yang dihasilkan
perusahaan akan difokuskan untuk mengembalikan pinjaman modal, akibatnya
para investor cenderung menghindari saham-saham yang memiliki leverage yang
tinggi. Ketika terdapat penambahan jumlah hutang maka akan menurunkan
tingkat leverage perusahaan, yang selanjutnya berdampak pada menurunnya
tingkat keuntungan perusahaan.
2.3.3 Rasio Profitabilitas
Keberhasilan kinerja keuangan perusahaan dapat diukur dari profitabilitas
(Husnan 2001). Kemakmuran investor tergantung pada return yang diharapkan
dan risiko dari taksiran aliran kas di masa datang. Laporan keuangan perusahaan
yang menggambarkan hasil masa lalu, tidak cukup untuk dijadikan pedoman
aktivitas di masa datang dimana laporan keuangan perusahaan masa lalu tidak
secara langsung menggambarkan risiko dan waktu terjadinya aliran kas yang akan
datang. Analisis profitabilitas yang dilakukan berdasarkan rate of return masa lalu
dapat memberikan informasi yang berguna bagi manajemen dan para analis di
luar perusahaan. Sartono (2001) dan Atmaja (2002) mengungkapkan profitabilitas
sebagai kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu.
30
Sementara Riyadi (2006) menyatakan bahwa profitabilitas merupakan tingkat
keuntungan bersih yang mampu diraih oleh suatu bank pada saat menjalankan
operasinya. Menurut Machfoedz (1999), menyatakan rasio profitabilitas sebagai
perbandingan antara laba perusahaan dengan investasi atau ekuitas yang
digunakan untuk memperoleh laba perusahaan.
Profitabilitas dibedakan menjadi rasio yang menunjukkan profitability dalam
hubungannya dengan sales dan dalam hubungannya dengan investment. Dalam
penelitian ini, profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba dengan menggunakan modal sendiri, sehingga besarnya
tingkat profitabilitas mengindikasikan tingkat efisiensi perusahaan dalam
mengelola modal sendirinya untuk menghasilkan keuntungan. Semakin tinggi
tingkat profitabilitas perusahaan, menunjukkan semakin efisien perusahaan
menggunakan modal sendiri untuk menghasilkan laba atau keuntungan bersih
(Robert Ang, 1997).
Profitabilitas diukur dengan return on equity (ROE). Rasio ini mencerminkan
bagaimana pihak manajemen perusahaan dapat memanfaatkan secara efektif dana
dari pemegang saham. Menurut Richard Loth (1993), perubahan ROE
menggambarkan perubahan kekayaan pemegang saham, hal ini diperhatikan oleh
investor untuk melihat perubahan pada nilai profitabilitas dan nilai perusahaan
atas periode tersebut. Hanafi (2007) menyatakan bahwa return on equity
merupakan suatu ukuran profitabilitas dari sudut pandang pemegang saham biasa.
Menurut Sartono, (2001) profitabilitas diperhitungkan dengan rumus sebagai
berikut.
31
Laba bersih setelah pajak (EAT)
ROE
=
x 100 %
Total ekuitas (modal)
Rasio ini digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan di dalam
menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan ekuitas yang dimilikinya.
Analisis profitabilitas dalam penelitian ini juga diartikan sebagai rentabilitas
modal sendiri, yang berarti juga ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat
pengembalian dari modal sendiri yang diinvestasikan perusahaan. Dengan
demikian profitabilitas memberikan informasi yang penting bagi pihak di luar
perusahaan untuk mengetahui efisiensi perusahaan.
2.4 Pengaruh Likuiditas Terhadap Nilai Perusahaan
Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk segera menyelesaikan
kewajiban jangka pendeknya (Clara, 2001). Suatu perusahaan yang mampu
memenuhi segala kewajiban finansialnya dapat dikatakan likuid, tetapi jika terjadi
sebaliknya maka dapat dikatakan perusahaan tersebut tidak likuid. Perusahaan
yang memiliki likuiditas yang tinggi juga cenderung akan memiliki asset lancar
lainnya yang dapat dicairkan sewaktu – waktu tanpa mengalami penurunan nilai
pasarnya. Likuiditas yang rendah akan menyebabkan terjadi penurunan harga
pasar dari harga saham yang bersangkutan, sebaliknya nilai likuiditas yang terlalu
tinggi juga belum tentu baik, karena pada kondisi tertentu hal tersebut
menunjukkan banyak dana perusahaan yang menganggur (aktivitas sedikit) yang
akhirnya dapat mengurangi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
(Ang, 1997). Semakin besar likuiditas yang dimiliki menunjukkan besarnya
32
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan operasionalnya. Kebutuhan
tersebut penting dipenuhi untuk menjaga perfomance kinerja perusahaan yang
pada akhirnya mempengaruhi harga saham dan tingkat keuntungan yang
dihasilkan. Hal ini dapat memberikan keyakinan kepada investor untuk memiliki
saham perusahaan tersebut sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Semakin tinggi persentase likuiditas mencerminkan semakin likuid
perusahaan tersebut sehingga kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka
pendeknya semakin tinggi, hal ini akan mampu meningkatkan kredibilitas
perusahaan dimata kreditur. Dalam hal ini kreditur akan dengan mudah
memberikan pinjaman modal pada perusahaan tersebut, sehingga dapat
meningkatkan operasi perusahaan dalam memperoleh laba atau menghasilkan
keuntungan. Keadaan seperti ini akan dapat meningkatkan kepercayaan para
investor dalam berinvestasi pada perusahaan tersebut, sehingga perusahaan dapat
lebih meningkatkan operasinya dalam pencapaian laba yang pada akhirnya dapat
meningkatkan nilai perusahaan tersebut (Hanafi, 2003). Jadi dapat dikatakan
bahwa antara likuiditas dengan nilai perusahaan mempunyai hubungan yang
positif atau searah.
2.5 Pengaruh Leverage Terhadap Nilai Perusahaan
Leverage adalah perbandingan antara dana yang berasal dari pemilik dengan
dana yang berasal dari kreditur (Clara, 2001). Perusahaan yang mempunyai leverage
yang rendah berarti perusahaan tersebut mempunyai risiko kerugian lebih kecil ketika
keadaan ekonomi merosot, akan tetapi mempunyai kesempatan memperoleh laba
rendah juga ketika ekonomi melonjak baik. Perusahaan yang mempunyai leverage
33
tinggi berarti perusahaan mempunyai risiko menanggung rugi besar ketika keadaan
ekonomi merosot tetapi mempunyai kesempatan memperoleh laba besar ketika
ekonomi membaik.
Leverage memberikan jaminan tentang seberapa besar hutang perusahaan
dijamin dengan modal sendiri yang digunakan sebagai sumber pendanaan usaha
(Ang, 1997). Semakin kecil leverage berarti semakin kecil jumlah pinjaman yang
digunakan untuk membiayai aktiva perusahaan (Slamet, 2003). Menurut Ho,
Tjahjapranata dan Yap (2006) penggunaan dana dari pihak luar akan menimbulkan 2
dampak yaitu ; dampak baik dengan meningkatkan kedisiplinan manajemen dalam
pengelolaan dana, serta dampak buruk yaitu ; munculnya biaya agensi dan masalah
asimetri informasi. Peningkatan beban terhadap kreditur akan menunjukkan sumber
modal perusahaan sangat tergantung dari pihak eksternal, sehingga mengurangi minat
investor dalam menanamkan dananya di perusahaan yang bersangkutan. Penurunan
minat investor dalam menanamkan dananya ini akan berdampak pada penurunan
harga saham perusahaan, sehingga tingkat keuntungan perusahaan juga semakin
menurun ( Ang, 1997).
Beberapa penelitian sebelumnya mengenai pengaruh debt to equity ratio
terhadap nilai perusahaan adalah Natarsah (2000), dan Ulupui (2005)
menunjukkan debt to equity ratio berpengaruh positif signifikan terhadap return
saham, dan penelitian Ratnasari (2003) serta Prihantini (2009) menunjukkan debt
to equity ratio berpengaruh negatif signifikan terhadap return saham, sebaliknya
hasil penelitian Soliha dan Taswan (2002) dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa kebijakan hutang berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap nilai
perusahaan. Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Modigliani dan Miller
34
(1963) bahwa dengan masukkan pajak penghasilan perusahaan, maka penggunaan
hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Hasnawati (2005) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa keputusan pendanaan berpengaruh positif
terhadap nilai perusahaan.
Tingkat leverage yang terlalu tinggi mempunyai dampak buruk terhadap kinerja
perusahaan, karena tingkat hutang yang semakin tinggi berarti beban bunga
perusahaan akan semakin besar. Alasan utama menggunakan hutang adalah karena
biaya bunga dapat mengurangi beban pajak, sehingga menurunkan biaya hutang yang
sesungguhnya. Namun, jika sebagian besar dari pendapatan perusahaan telah
terhindar dari pajak karena penyusutan yang dipercepat atau kompensasi kerugian,
maka tarif pajaknya akan rendah (apabila pajak bersifak progresif) dan keuntungan
akibat penggunaan hutang juga mengecil, sehingga semakin tinggi hutang cenderung
akan menurunkan harga saham (Sawir, 2000). Apabila perusahaan tersebut masih
membutuhkan modal pinjaman, dapat dipastikan keuntungan yang dihasilkan oleh
perusahaan akan difokuskan untuk mengembalikan pinjaman modal, akibatnya para
investor cenderung memilih saham yang memiliki
leverage yang kecil. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa leverage memiliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap nilai perusahaan.
2.6 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan
Profitabilitas menunjukkan seberapa efektifnya perusahaan beroperasi
sehingga menghasilkan keuntungan/laba bagi perusahaan (Clara, 2001). Masalah
rentabilitas atau profitabilitas lebih penting daripada masalah laba. Efisien dapat
diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh dengan kekayaan atau
35
modal dipakai untuk menghasilkan laba tersebut. Profitabilitas digunakan untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba berdasarkan modal
saham tertentu dan mengukur seberapa banyak keuntungan yang menjadi hak
pemilik modal sendiri (Husnan, 2006).
Penelitian Ghosh and Ghosh (2008) yang menguji pengaruh profitabilitas
masa lalu terhadap peningkatan nilai perusahaan di masa depan juga menunjukkan
bahwa profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.
Laba
perusahaan yang dialokasikan untuk pemegang saham biasa dalam bentuk dividen
berasal dari keuntungan bersih perusahaan, yang dapat meningkatkan harga saham
emiten. Semakin tinggi profitabilitas maka dimata investor kinerja perusahaan
akan terlihat baik dan investor akan memiliki kepercayaan pada perusahaan
tersebut, hal ini menyebabkan meningkatnya harga saham perusahaan, berarti
capital gain atas saham tersebut semakin tinggi dan nilai perusahaan akan
semakin meningkat pula. Jadi, antara profitabilitas dengan nilai perusahaan dapat
dikatakan memiliki hubungan yang searah atau positif.
2.7 Pengaruh Likuiditas Terhadap Kebijakan Dividen
Menurut Hanafi (2003), likuiditas mengukur kemampuan perusahaan dalam
memenuhi hutang jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancarnya
(aktiva yang akan berubah menjadi kas dalam waktu satu tahun atau satu siklus
bisnis), semakin tinggi tingkat likuiditas maka dapat dikatakan bahwa perusahaan
mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
keuangan jangka pendeknya. Jika tingkat likuiditas semakin tinggi maka
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan jangka pendeknya
36
semakin besar. Hal ini dapat meningkatkan kredibilitas perusahaan yang akan
menimbulkan reaksi positif dari investor dan menyebabkan bertambahnya
permintaan terhadap saham (Sartono, 2001).
Damayanti dan Achyani (2006) dalam penelitiannya terhadap perusahaan
manufaktur menyebutkan bahwa dari variabel yang diteliti termasuk likuiditas
tidak ada satu variabel pun yang berpengaruh secara signifikan terhadap dividend
payout ratio. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gill dan
Green (1993) dalam Yuniningsih (2002) yang menyatakan bahwa likuiditas suatu
perusahaan mempunyai pengaruh positif dengan dividend payout ratio. Jadi dapat
dikatakan bahwa antara likuiditas dengan kebijakan dividen mempunyai
hubungan yang positif atau searah.
2.8 Pengaruh Leverage Terhadap Kebijakan Dividen
Mougoue dan Mukherjee (1994) memperkirakan besarnya proporsi hutang
terhadap pembayaran dividen tergantung pada tingkat hutang perusahaan pada
saat itu. Perusahaan sebaiknya tidak menggunakan hutang untuk tambahan
pendanaan jika hutang tersebut sudah mendekati batasnya, namun apabila
proporsi penggunaan hutang belum terlalu tinggi, maka perusahaan dapat
meningkatkan pinjaman untuk menaikkan dividen. Faktor ini mencerminkan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan
oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang.
Apabila perusahaan menentukan bahwa pelunasan utang akan diambil dari laba
ditahan, perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatannya untuk
keperluan tersebut. Ini berarti hanya sebagian kecil saja pendapatan yang dapat
37
dibayarkan
sebagai
dividen
(Riyanto,
2001).
Peningkatan
utang
akan
mempengaruhi tingkat pendapatan bersih yang tersedia bagi pemegang saham,
artinya semakin tinggi kewajiban perusahaan, akan semakin menurunkan
kemampuan perusahaan membayar dividen (Sudarsi, 2002). Prihantoro (2003)
menyatakan bahwa debt to equity ratio mencerminkan kemampuan perusahaan
dalam memenuhi seluruh kewajibannya, yang ditunjukkan oleh berapa bagian
modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Oleh karena itu, semakin
rendah DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar semua
kewajibannya. Jika beban hutang tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk
membagi dividen akan semakin rendah, sehingga DER mempunyai hubungan
negatif dengan dividend payout ratio.
Menurut Theoral dan Supatmi (2008), tingkat hutang suatu perusahaan
berpengaruh terhadap kebijakan dividen suatu perusahaan, apabila perusahaan
meningkatkan pembayaran dividen bagi para pemegang saham, maka akan
mengakibatkan tingkat leverage perusahaan menjadi berubah. Hal ini dikarenakan
dengan pembayaran dividen yang makin besar akan mengurangi kas perusahaan,
sehingga manajemen perlu mencari tambahan dana untuk menjaga agar struktur
modal tetap optimal. Penelitian Hairani (2001) menunjukkan bahwa pembagian
dividen dipengaruhi oleh leverage, demikian pula penelitian Sumariyati (2008)
diperoleh hasil bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen.
Jadi dapat dikatakan bahwa antara leverage dengan kebijakan dividen mempunyai
hubungan yang negatif atau berlawanan.
38
2.9
Pengaruh Profitabilitas Terhadap Kebijakan Dividen
Menurut Hanafi (2004), perusahaan yang mempunyai aliran kas atau
profitabilitas yang baik bisa membayar dividen atau meningkatkan dividen.
Profitabilitas juga berpengaruh terhadap kebijakan dividen karena dividen adalah
sebagian dari laba bersih yang diperoleh perusahaan, oleh karena itu dividen akan
dibagikan apabila perusahaan memperoleh keuntungan. Keuntungan yang layak
dibagikan kepada pemegang saham adalah keuntungan setelah perusahaan
memenuhi kewajiban-kewajiban tetapnya yaitu bunga dan pajak. Perusahaan yang
semakin besar keuntungannya akan membayar porsi pendapatan yang semakin
besar sebagai dividen (Sudarsi, 2002).
Damayanti (2006) menyatakan bahwa besar kecilnya laba yang diperoleh
perusahaan akan mempengaruhi besar kecilnya dividen yang akan dibagikan.
Semakin besar tingkat laba atau profitabiitas yang diperoleh perusahaan akan
mengakibatkan semakin besarnya dividen yang dibagikan dan sebaliknya.
Theobalt (1978) dalam Yuniningsih (2002)
menemukan bahwa profitabilitas
mempunyai pengaruh positif terhadap pembayaran dividen. Penelitian Amidu dan
Abor (2006) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara
profitability dengan dividend payout ratio. Hasil penelitian ini sama dengan hasil
penelitian dari Usman (2006), Anil dan Kapoor (2008) bahwa tingkat
profitabilitas mempengaruhi dividen secara positif. Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian dari Prihantoro (2003) yang menyebutkan bahwa profitability tidak
berpengaruh signifikan terhadap dividend payout ratio. Jensen et al (1992)
menyatakan bahwa semakin tinggi profitabilitas perusahaan, maka semakin tinggi
39
pula aliran kas dalam perusahaan, dan diharapkan perusahaan akan membayar
dividen yang lebih tinggi. Pada kondisi tertentu kebijakan perusahaan berubah
sehingga peningkatan profitabilitas diikuti dengan peningkatan pembayaran
dividen sehingga profitabilitas dapat mencerminkan penentuan pembayaran
dividen. Jadi dapat dikatakan bahwa antara profitabilitas dengan kebijakan
dividen mempunyai hubungan yang positif atau searah.
2.10 Pengaruh Kebijakan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan
Pengaruh kebijakan pembayaran dividen dan pergerakan harga saham telah
didokumentasikan oleh beberapa peneliti. Studi klasik yang dilakukan oleh
Lintner (1956) memperoleh hasil: 1) badan usaha lebih menekankan pembayaran
dividen yang stabil; dan 2). Earning merupakan factor penentu utama dalam
kebijakan dividen. Penelitian dengan menggunakan model Lintner ditindaklanjuti
oleh Fama dan Babiak (1968) yang menemukan dukungan yang kuat atas model
yang dikembangkan Lintner. Sementara Pettit (1972) menemukan bahwa badan
usaha yang melakukan peningkatan pembayaran dividen akan mengalami
peningkatan rata-rata tingkat keuntungan dua hari setelah dilakukannya
pengumuman tersebut, begitu pula sebaliknya.
Penelitian
Werner
(2008)
menunjukkan
bahwa
kebijakan
dividen
berpengaruh positif terhadap harga saham. Meningkatnya harga saham suatu
perusahaan secara tidak langsung akan meningkatkan nilai perusahaan itu sendiri.
Kebijakan dividen merupakan suatu kebijakan yang dengan biaya mahal, karena
badan usaha harus menyediakan dana dalam jumlah besar untuk keperluan
pembayaran dividen. Banyak badan usaha yang selalu mengkomunikasikan
40
bahwa badan usahanya memiliki prospek ke depan yang cerah dan tidak
menghadapi masalah keuangan. Badan usaha yang kurang prospektif dan
menghadapi masalah keuangan sudah tentu akan kesulitan untuk membayar
dividen. Hal ini berdampak pada badan usaha yang membagikan dividen,
memberikan tanda pada pasar bahwa badan usaha tersebut memiliki prospek ke
depan yang cerah dan mampu untuk mempertahankan tingkat kebijakan dividen
yang telah ditetapkan pada periode sebelumnya. Badan usaha dengan prospek ke
depan yang cerah, akan memiliki harga saham yang semakin tinggi, sehingga nilai
perusahaan tersebut juga tinggi.
Pada umumnya investor cenderung berpikir apabila menginvestasikan
kelebihan dana yang dimiliki pada perusahaan yang menjanjikan pembayaran
dividen yang besar, maka akan memperoleh tingkat keuntungan yang besar pula.
Kebijakan pembayaran dividen mempunyai pengaruh bagi pemegang saham dan
perusahaan yang membayar dividen. Para pemegang saham umumnya
menginginkan pembagian dividen yang relatif stabil karena hal tersebut akan
mengurangi ketidakpastian akan hasil yang diharapkan dari investasi yang mereka
lakukan dan juga dapat meningkatkan kepercayaan pemegang saham terhadap
perusahaan sehingga nilai saham juga dapat meningkat.Bagi perusahaan, pilihan
untuk membagikan laba dalam bentuk deviden akan mengurangi sumber dana
internal nya, sebaliknya jika perusahaan menahan labanya dalam bentuk laba
ditahan maka kemampuan pembentukan dana internalnya akan semakin besar
yang dapat digunakan untuk membiayai aktivitas perusahaan sehingga
mengurangi ketergantungan perusahaan terhadap dana eksternal dan sekaligus
41
akan memperkecil resiko perusahaan. Pertimbangan mengenai kebijakan dividen
ini diduga sangat berkaitan dengan kinerja keuangan perusahaan. Bila kinerja
keuangan perusahaan bagus maka perusahaan tersebut akan mampu menetapkan
besarnya dividend payout ratio sesuai dengan harapan pemegang saham dan tentu
saja tanpa mengabaikankepentingan perusahaan untuk tetap sehat dan tumbuh
(Marlina dan Danica, 2009). Dengan demikian, antara kebijakan dividen dengan
nilai perusahaan menunjukkan hubungan yang positif .
Download