Jurnal Bimas Islam Vol. 9 No. 2 Tahun 2016

advertisement
Daftar Isi
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan
Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair
Maliki Fiqh Thinking about Marriage and Its Implementation in
Algeria Marriage Law — 211
Engkos Kosasih
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern
Administration Marriage in the Modern Islamic World — 259
Ahmad Tholabi Kharlie
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts
Al-Masâ’il tentang Perkawinan Beda Agama
Implementation of Maqâshid Al-Syarî’ah in Decision of Bahts AlMasâ’il on Interfaith Marriage — 293
Ali Mutakin
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran
dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier
The concept of ‘darajah’: Quranic Solution
In Overcome Dual Load of Career Women — 323
Muhammad Amin
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di
Indonesia
The influence of Islamic Religion againstthe Legal Developments in
Indonesia — 341
Fabian Fadhly
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah
Kajian Pra-nikah
Principles of Justice Women in Islam:
A Study of Pre-marriage — 371
Ru’fah Abdullah
Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _211
Maliki Fiqh Thinking about Marriage and Its
Implementation in Algeria Marriage Law
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan
Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair
Engkos Kosasih
Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung
Email:[email protected]
Abstract : Family law in Islamic countries worth to be observe as an academic study materials.
Birth of taqnin efforts in the problem of ahwal as-sakhsiyyah is very beneficial for tajdid
or renewal of Islamic law. Maliki madhhab have unique and specific istinbath method
that allows for variation of ijtihad which makes varied as well. The writer concludes that
power influence maliki madhhab in the Algerian family law is clearly appear. Articles
in family law adopted by Maliki madhhab even though it keeps accommodating another
madhhab thought. The domination of Maliki madhhab does not interfere the existence of
other articles which are diametrically Maliki madhhab itself. This theory Malikiyyah law
implementation is textual, but the codification law in practice tends to be contextualist.
Abstraksi : Hukum keluarga di negara-negara Islam layak untuk dicermati sebagai bahan
kajian akademis. Kelahiran upaya taqnin dalam masalah ahwâl as-sakhsiyyah ini
sangat bermanfaat bagi tajdîd atau pembaharuan hokum islam. Madzhab maliki
memiliki keunikan dan kekhususan metode istinbath yang memungkinkan adanya
variasi hasil ijtihad yang bervariatif pula. Penulis berkesimpulan bahwa daya
pengaruh madzhab maliki dalam hokum keluarga Aljazair itu sangat nampak.
Pasal-pasal dalam hokum keluarga banyak mengadopsi pemikiran madzhab
maliki walaupun tetap mengakomodasi madzhab lainnya. Dominasi maliki tidak
menghalangi adanya pasal-pasal lain yang justru bersikap diametral dengan madzhab
maliki itu sendiri. Teori implementasi hokum malikiyyah ini bersifat tekstualis,
namun kodifikasi hukum dalam prakteknya cenderung bersifat kontekstualis.
Keywords: Family Law, Madhhab, Marriage
212_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
A.Pendahuluan
Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan. Begitu
pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam al-Qur’an
terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung
berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud.1Perkawinan atau
pernikahan dalam istilah ilmu fiqh klasik berarti suatu akad (perjanjian)
yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan
memakai lafadz inkah atau tazwîj. Akan tetapi menurut penulis definisi
tersebut sangat kaku dan sempit, sebab nikah hanya sebagai perjanjian
legalisasi hubungan seksual antara pria dan wanita saja. Seolah-olah
hakikat pernikahan hanya pelampiasan nafsu dan syahwat saja.
Dalam kaitannya untuk menghilangkan pandangan masyarakat
tentang arti nikah, sekaligus menempatkan pernikahan sebagai sesuatu
yang mempunyai kedudukan mulia, ulamamuta’akhirîn berupaya
menjelaskan dan meluaskan arti nikah, dengan memberikan gambaran
yang komprehensif dengan definisinya,yaitu “Nikah ialah suatu akad
yang menyebabkan kebolehan bergaul antara seorang laki-laki dan
perempuan dan saling tolong-menolong diantara keduanya serta
menentukan batas hak dan kewajiban diantara keduanya.” 2
Pernikahan memiliki fungsi adiluhung baik dari aspek teologis,
psikologis, biologis, maupun sosiologis. Secara teologis, pernikahan
dapat mendewasakan manusia dalam menjalani pengamalan
spiritualnya mendekatkan diri pada Allah SWT. Pasangan suami
yang soleh dan istri yang solehah dapat saling memotivasi untuk
meningkatkan kualitas ibadah dan membina rumah tangga yang penuh
dengan nilai-nilai Islami serta keturunan yang berakhlak mulai. Dari
aspek psikologis, salah satu tujuan hidup manusia adalah mencari
kebahagiaan, sedangkan pernikahan yang harmonis dan penuh cinta
kasih merupakan sarana menciptakan kebahagiaan dan kedamaian yang
mendalam di hati manusia. Pernikahan pun merupakan sarana etiklegal untuk menyalurkan kebutuhan biologis manusia sehingga mampu
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _213
menyelamatkan diri dari seks bebas yang dapat mengakibatkan HIV/
AIDS. Tidak kalah pentingnya, pernikahan memiliki fungsi sosiologis
menjalin tali persaudaraan antar dua keluarga yang tak jarang memiliki
latar belakang sosio-kultural yang berbeda.
Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar
untuk menjelaskan tujuan pernikahan dalam al-Qur’an adalah:“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (QS. Al-rûm/30: 21).
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan
suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah
tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri
yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing
pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah
tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT. dalam surat alRûm (30) ayat 21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh
Allah dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga
yang ideal menurut Islam, yaitu sakinah (as-sakînah), mawadah (almawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa
as-sakînah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang
bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT.
dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
B.Dasar-Dasar Madzhab Maliki
1. Sekilas Tentang Tokoh dan Periode/Fase
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah,
Harun Al-Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah alMuwaththa’ (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk
hal ini, Khalifah mengutus orang memanggil Imam. Harun al-Rasyîd
menunggunya di istananya, sementara Imam Malik menunggu di
214_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
rumahnya. Karena waktu semakin bertambah, dan yang ditunggu tidak
datang juga, maka Harun al-Rasyîd pun kemudian memanggilnya, dan
berkata: “Wahai Abdallah, seharian aku menunggumu!”. Mendengar
hal demikian, Imam Malik menyatakan: “Aku juga menunggumu seharian
wahai Amir al-Mu’minin; sesungguhnya ilmu itu dicari, tidak datang sendiri,
dan sesungguhnya anak pamanmu SAW. yang dia datang bersama ilmu, jika
engkau meninggikannya, dia akan tinggi, dan jika engkau rendahkan, maka ia
menjadi rendah.”3
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas
bin Malik bin Abi Amîr bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin
Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 717 M. Kakeknya
bernama Amîr, termasuk salah seorang Sahabat Besar di Madinah. Malik
belajar Hadits di bawah bimbingan al-Zuhrî, yang merupakan seorang
ulama Hadits terbesar pada masanya, dan juga di bawah bimbingan
Perawi Hadits, Nafi’, seorang budak yang dimerdekakan oleh Abdullah
ibn ‘Umar. Perjalanan Malik keluar dari Madinah hanya untuk berhaji,
karenanya ia mencukupkan diri mempelajari ilmu yang tersedia di
Madinah. Dia pernah dipenjara pada tahun 764M. oleh pemerintah
Madinah, karena membuat ketetapan hukum yang menyatakan bahwa
perceraian yang dipaksa tidak sah. Ketetapan hukum ini bertentangan
dengan ketetapan pemerintah, bahwa terdapat sumpah setia yang dari
kalangan istri, yang bila mereka melanggar sumpah tersebut, maka
otomatis dicerai. Malik kemudian dipenjara dan disiksa, sehingga
terdapat cedera di lengannya.Apabila melaksanakan shalat, ia tidak
mampu mengangkat tangannya ke dada. Karena itu, menurut beberapa
riwayat, Malik kemudian melaksanakan shalat dengan kedua tangan di
sisinya.4
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di
Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan
Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan
sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.5
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _215
Karena keluarganya merupakan ulama ahli hadits, maka Imam Malik
pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya.
Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal
seperti Nafi’ bin AbîNu’aim, Ibnu Syihab az Zuhrî, Abul Zinad, Hasyim
bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir.
Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tâbi’in ahli hadits,
fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Ja’far Shadiq dan Rabi Rayi.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan
rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi
olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya
yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur
membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah
dan berkata,”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi”.
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali,
manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan
dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko
yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah.
Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasysyiah,
Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji
setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25
tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada
khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa
keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam
Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya.
Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan
pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam
kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan
untanya. Dengan hal itu, Ja’far seakan mengingatkan orang banyak,
ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang
penguasa.
216_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan
keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera
mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan
untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan
itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan
menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000
dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun
ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah.
Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali
untuk berhaji.6
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama
di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika
segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah.
Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari
tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang
sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk
pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para
cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri
kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
2. Dari Al Muwaththa’ Hingga Madzhab Maliki
Mengenai al-Muwaththa’, Imam Syafi’i berkata:“Tidak ada satu kitab
pun di atas permukaan bumi ini yang lebih sahih setelah kitab Allah daripada
kitab Malik.”7Mengomentari pendapat Imam Syafi’i di atas, Ibnu Taimiyah
menyatakan: “Dan dia (Muwaththa’ Imam Malik) sebagaimana yang
dinyatakan Syafi’i RA..”8
Al-Muwaththa’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan haditshadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia
menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan
ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki
banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan
memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.9
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _217
Al-Muwaththa’ merupakan kitab fikih yang berbeda dari kitab-kitab
fikih lainnya, karena mencakupsunnah qawliyyah dan sunnah fi’lliyyah
sebagai landasannya, dengan mengikuti sunnah yang memiliki derajat
mutawatir, dari masa ke masa.Abu Ameenah Bilal Philips mencatat
mengenai al-Muwaththa’:
“The early books of Fiqh were usually a mixture of legal rulings, Hadeeths,
opinions of the Sahaabah, and of students of the Sahaabah. Al-Muwaththa’ of
Imam Malik is a classical example of this stage.”10
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya al-Muwaththa’ tak akan
lahir bila Imam Malik tidak “dipaksa” Khalifah Abu Ja’far al-Mansur.
Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah al-Mansur meminta
Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya,
Imam Malik enggan melakukan itu, sehingga khalifah berkata:
“Ya Abu Abdillah, tidak ada orang yang lebih tahun selain aku dan engkau
di atas permukaan bumi ini. Aku disibukkan oleh urusan pemerintahan, maka
buatlah sebuah karya yang bermanfaat bagi manusia. Permudahlah manusia
dengannya.”11
Berdasarkan ungkapan Khalifah di atas, maka dibuatlah sebuah karya
dnegan judul al-muwaththa’, yang berarti al-musahhil wa al-muyassir
(yang memberikan kemudahan).12Namun, karena dipandang tak ada
salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah al-Muwaththa’. alMuwaththa’ditulis di masa Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M) dan baru
selesai di masa al-Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui al-Muwaththa’ sebagai karya pilihan yang tak
ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan
hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan
betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits.
Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720
hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16
edisi yang berlainan. Selain al-Muwaththa’, Imam Malik juga menyusun
218_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
kitab al-Mudawwanah al-Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban
Imam Malik atas berbagai persoalan.13
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga
mewariskan madzhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai
Madzhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwaththa’,
kitab-kitab seperti al-Mudawwanah al-Kubra, Bidâyatul Mujtahid wa
Nihâyatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan al-Risâlah fi al-Fiqh alMaliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Ashl al-Madarik Syarh
Irsyad al-Masalik fi Fiqh Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan
Bulgah al-Salik li Aqrab al-Masalik (karya Syeikh Ahmad as SAWi), menjadi
rujukan utama madzhab Maliki.14
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, madzhab ini juga
dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan
hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam
Madzhab Maliki adalah al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW., amalan
sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madînah), qiyas (analogi),
dan al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau
dilarang oleh dalil tertentu).
Madzhab Maliki pernah menjadi madzhab resmi di Mekah, Madinah,
Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan
Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut
madzhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan
Madinah saat ini mengikuti Madzhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah
pengikut Madzhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini
satu-satunya negara yang secara resmi menganut Madzhab Maliki.
Kitab al-Mudawwanah sebagai dasar fiqih madzhab Maliki dan sudah
dicetak dua kali di mesir dan tersebar luas disana, demikian pula kitab
al-Muwaththa’. Pembuatan undang-undang di mesir sudah memetik
sebagian hukum dari madzhab Maliki untuk menjadi standar mahkamah
sejarah Mesir.15
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _219
Di dalam perkembangan madzhab Maliki, bahwa perkembangan
suatu madzhab fikih tidak terlepas dari pembahasan mengenai
pemikiran-pemikiran ushul dan banyaknya mashadir yang dimilikinya,
dan para penerus setelah Imam mereka, dan juga banyaknya pemikiran
hukum yang diijtihadkan. Menurut Abu Zahrah, seluruh hal tersebut
terdapat di dalam madzhab Maliki. Manhaj fikih mereka adalah yang
paling banyak di antara madzhab-madzhab fikih lainnya.16
Murid-murid Imam Malik telah memperluas pemikiran ushulnya. Di
antara muridnya itu ialah ada yang menghimpun antara pemikiran fikih,
filsafat, dan hikmah, yaitu Ibnu Rusyd al-Hafîdz, di mana orang-orang
Eropa banyak belajar darinya mengenai filsafat Aristoteles. Ia juga pernah
menulis sebuah buku yang berjudul Tahâfut al-Tahâfut, merupakan
sebuah karya yang berisikan kritikan terhadap pemikiran Tahâfut alFalâsifah karya al-Ghazâlî. Sebagai seorang yang ahli (mumtâz) dalam
fikih madzhab Maliki, ia juga ahli dalam bidang komparasi (muqaranah),
yang terlihat dalam karya monumentalnya Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtashid, sebuah kajian komparatif dalam bidang fikih.17
Madzhab ini berkembang di berbagai daerah, dan yang paling banyak
ialah di daerah Hijaz. Di Madinah, madzhab ini pernah mengalami
stagnasi, hingga permasalahan qadha’ dipegang oleh Ibnu Farhoun,
tahun 793 H., dan ia memunculkan kembali madzhab ini. Bagaimanapun,
dominasinya tidak sebagaimana di daerah Hijaz.18
Madzhab ini juga terlihat di Mesir bahkan ketika Imam Malik masih
hidup. Keberadaanmadzhab ini di Mesir tidak terlepas dari peranan
murid-muridnya, seperti Abdurrahman ibn al-Qasim,19‘Utsman ibn
al-Hakam, Abdurrahman ibn Khâlid, dan Asyhab. Di Mesir, madzhab
Maliki paling dominan, sehingga kemudian hadir madzhab Syafi’i, dan
akhirnya, Sultan negeri ini menjadi dua madzhab ini sebagai madzhab
yang dominandiMesir.20
Di daerah Tunisia juga berkembang madzhab ini, tetapi madzhab
Hanafi lebih dominan. Hal ini dikarenakan Sultan Asad ibn al-Farat,
220_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
yang awalnya pengikut madzhab Maliki, berpindah kepada madzhab
Hanafi. Kemudian, setelah kedatangan al-Mu’idz ibn Badisy, ia mengajak
masyarakat Tunisia untuk mengikuti madzhab Maliki, demikian juga
pemerintahannya ikut terlibat di dalamnya, yaitu di daerah Maghrib
(Moroko). Hingga sekarang, mayoritas masyarakat Tunisia menganut
madzhab ini.21
Di daerah Andalus, madzhab ini memiliki perkembangan yang
cukup tajam, karena juga didukung oleh Sultan. Awalnya madzhab
yang dominant di daerah ini adalah madzhab al-Awza’i, seorang ahli
fikih dari Syam. Kemudian, Sultan tadi itu tidak memberikan wewenang
dalam pemerintahan ulama yang tidak fakih dalam madzhab Maliki.22
Berdasarkan penjelasan di atas, Ibnu Hafîzh al-Andalusi sampai
menyatakan, bahwa terdapat dua madzhab yang awal perkembangannya
didukung oleh Sultan dan pemerintah, yaitu madzhabHanafi di Masyriq,
dan madzhab Maliki di Andalus.23Dengan demikian, madzhab Maliki ini
berkembang pesat di daerah Islam sebelah Barat, dan sedikit di Timur,
seperti di daerah Iraq. Hal ini dikarenakan banyak muridnya yang berada
di Mesir dan Tunisia.24
3. Pengendali kekuasaan (otoritas) tasyri’ dan Sumber Tasyri’
Pengendali tasyri’ dalam Madzhab Maliki tidak bisa dipisahkan dari
sumber-sumber tasyri’ yang dipegang teguh oleh komunitas madzhab
ini. Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa Imam Malik, di samping
seorang Faqih, juga seorang Ahli Hadits, dimana dalam meriwayatkan
Hadits, Imam Malik menyandarkan periwayatan kepada orang yang
menyatakannya, yang merupakan periwayatan yang dhabith. Hal ini
dapat dilihat dari kitab al-Muwaththa’.25
Imam Malik memiliki manhaj tersendiri dalam istinbath hukum Islam,
akan tetapi manahij tersebut belum tercatat. Kemudian, para muridnya
mencatat manâhij tersebut, dan kemudian dijadikan sebagai dasar (ushûl)
bagi bangunan pemikiran fikih Imam Malik dan madzhabnya. Qadhi
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _221
‘Iyadh di dalam Al-Madarik menjelaskanmengenai dasar-dasar umum
yang menjadi manhaj Imam Malik dalam istinbath.26
Secara ringkas, manhaj yang ditempuh di dalam Madzhab Maliki ia
mendasarkan pendapat fiqhiyyah pada al-Qur’an; apabila tidak diperoleh
informasi pasti dari al-Quran, maka mereka menyandarkannya kepada
Sunnah (yang termasuk sunnah di sini ialah Hadits Nabi, Fatwa Sahabat
dan keputusan hukum mereka, dan ‘amal penduduk Madinah); kemudian
bila masalah belum terlsesaikan dengan berpegang kepada kedua di
atas, maka mereka menyandarkan pendapat kepada qiyas (yaitu mencari
kesamaan illat antara hukum yang sedang dicari pemecahan [furu’]
dengan hukum yang di-nash-kan [ashl]); di samping qiyas, terdapat juga
al-mashlahah, sadd al-dzara’i’, al-‘urf, dan al-‘adat.27 Berikut penjelasannya:
a. Kitab Allah
Imam Malik menjadikan Kitab Allah (al-Qur’an) sebagai dasar bagi
hujjah dan dalil terhadap berbagai permasalahan hukum,28 dan sebagai
sumber hukum primer yang digunakan tanpa prasyarat dalam berbagai
implikasinya.29Dia memahami nash secara sharih, tanpa ditakwil, kecuali
ada dalil yang mewajibkannya untuk ditakwil. Di dalam memahami nash,
ia menggunakan mafhum al-muwafaqah denganfahw al-khithab, seperti
dalam firman-Nya berikut: 30
Artinya:”Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. al-Nisa/4:10)
Larangan yang terdapat dalam nash dipahami secara fahw al-khithab,
yaitu seperti merusaknya, daripada hanya memakannya.31Mereka
juga memperhatikan illat hukum, seperti dalam firman-Nya berikut:
Artinya:“Katakanlah:‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
–karena sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang yang disembelih atas
222_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
nama selain Allah’.” (QS. Al-An’am/6: 145).
Illat pengharaman yang terdapat di dalam ayat di atas ialah kotor (rijs);
yang diartikan sebagai yaitu makanan yang buruk dan sudah terserang
wabah penyakit. Dengan demikian, setiap makanan yang termasuk
dalam kategori rijs adalah haram juga.32
b. Sunnah
Sunnah di dalam madzhab Maliki –sebagaimana madzhab lainnya
–dianggap sebagai sumber terpenting kedua di dalam hukum Islam.
Yang dimaksud sunnah di sini ialah yang berderajat mutawatir, dan
juga masyhur. Madzhab ini juga mengambil dari beberapa perkataan
beberapa sahabat yang aman dari dusta, atau riwayat sekelompok tâbi’în
yang tidak mungkin bersepakat dusta. Jelasnya, madzhab ini mengambil
kemasyhuran sunnah dari masa tâbi’în dan tâbi’ at-tâbi’în. adapun
setelah generasi ini tidak dianggap lagi, karena masa-masa tersebut tadi
mendekati derajat tawatur dari segi kekuatan istidlal.33
Mereka juga menggunakan Hadits Ahad, yaitu hadits yang tidak
sampai derajat mutawatir dan juga masyhur pada masa tabi’in, tidak
pula pada masa tabi’in. Dalam hal ini, amal penduduk Madinah lebih
didahulukan daripada Hadits Ahad, dan bahkan mereka mendahulukan
qiyas daripada Hadits Ahad.34
c. Amal Penduduk Madinah
Imam Malik menganggap amal penduduk Madinah sebagai hujjah,
apabila amal tersebut di-naql dari Nabi SAW.35 Dia menyebut perkataan
gurunya, Rabi’ah ibn Abdirrahman: “Seribu dari seribu orang (perbuatan)
lebih baik dairpada satu dari satu orang (periwayatan).”36
Menurut Utsman Syausan, Imam Malik belum menyusun ushul-nya
yang dia jadikan sebagai dasar pembinaan fiqh-nya, dan dia juga tidak
menjelaskan seluruhnya, hal demikian telah berlangsung antara Imam
Malik dengan Imam al-Laits bin Sa’ad dalam isyarat kepada sebagian
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _223
kaidah-kaidah ushuliyah yang dikeluarkan berdasarkan asas-asasnya,
sebagai rincian dari hukum-hukum furu’ sebagaimana tercatat dalam
risalahnya “Apabila terjadi suatu hal di Madinah secara dzahir maka
diamalkan, dan aku tidak mendapatkan perselisihan di dalamnya;
bagi warisan yang terdapat pada mereka yang tidak boleh seorang pun
menjiplaknya dan mengakuinya”.37
d. Fatwa Sahabat
Imam Malik menganggap fatwa Sahabat di sini sebagai perkataan
yang wajib diamalkan. Karena itu terdapat riwayat yang mengenainya
bahwa ia mengamalkan fatwa sebagian sahabat dalam manasik haji, dan
meninggalkan amalan yang disandarkan pada Nabi SAW. dengan asumsi
bahwa apa yang dilakukan sahabat itu tidak sebagaimana anjuran Nabi
SAW, dan juga, manasik itu tidak mungkin diketahui melainkan melalui
jalan naql.38
Imam Malik mengambil perkataan sahabat dalam suatu perkara
yang tidak diketahui kecuali dengan jalan naql sebagai Hadits. Dengan
demikian, apabila terdapat pertentangan antara dua ashl, maka ia
memiliki di antara keduanya mana yang paling kuat sanadnya dan
paling relevan dengan prinsip umum hukum Islam.39
e. Qiyas, Maslahah Mursalah, dan Istihsan
Prinsip pemikiran fikih yang dikembangkan oleh Imam Malik ialah
mempermudah, dan tidak mempersulit, hal ini sesuai dengan karya
monumentalnya al-Muwaththa’, yang berarti mempermudah.40
Apabila qiyas memerlukan pertalian hukum yang tidak di-nash-kan
dengan hukum tertentu yang di-nash-kan, maka maslahat particular (almashlahah al-juz’iyyah) mengharuskan selain itu, maka yang demikian
inilah yang disebutkan dengan al-istihsan. Dengan kata lain, istihsan ialah
ketetapan maslahat karena tidak adanya nash (hukm al-mashlahah haitsu la
nash), sama saja apakah pokok permasalahan hukum itu bersumber dari
qiyas atau tidak.41
224_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Ringkasnya ialah bahwa Imam Malik menggunakan hukum maslahat
bila tidak terdapat nash al-Quran atau Sunah Nabi SAW. yang menjelaskan
perkara yang dimaksud, karena pada prinsipnya, keberadaan syariat
Islam ialah demi kemasalahatan manusia. Seluruh nashsyara’, tidak
diragukan lagi, berkenaan dengan maslahat. Oleh karena itu, bila tidak
terdapat nash mengenai suatu hal, maka hukum maslahat yang benar
dan sesuai dengan maksud-maksud syara’ adalah syariat Allah juga.42
f. Al-Dzara’i’
Masalah al-dzara’i’ ini terdapat banyak dalam masalah furu’iyyah, yang
sasarannya ialah bahwa sesuatu yang mengarah kepada yang haram
maka menjadi haram, sesuatu yang mengarah kepada yang halal maka
menjadi halal. Demikian sesuatu yang mengarah pada masalahat maka
diajurkan dan dituntut, dan sesuatu yang mengarah kapada mafsadat
adalah haram.43
Keberadaan al-dzara’i’ ini merupakan suatu kemestian hukum,
dikarenakan suatu perbuatan memiliki implikasi yang berupa tujuan
atau maksud tertentu, baik atau buruknya, dapat mendatangkan
maslahata atau mafsadat. Perbuatan-perbuatan itu dapat bersifat taklifi
(pembebanan), sebagaimana dalam al-ahkam al-khamsah.44
C.Konsep Imam Malik Terhadap Hukum Nikah
Madzhab Malikiyyah biasanya membahas dua jenis nikah yaitu
nikah yang sah dan nikah yang batal. Nikah dalam malikiyyah adalah
sebuah akad yang menghalangi keharaman untuk digauli dengan shigat
tertentu.45 Ulama dalam madzhab ini mendefinisikan nikah adalah
sebagai akad untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan anak
Adam tanpa menyebutkan harga secara pasti sebelumnya.
Secara sederhana madzhab malikiyah mengatakan bahwa nikah
adalah kepemilikan manfaat karenanya nikah yang sah adalah ketika
terkumpul 3 rukunnya, yaitu wali, pengantin dan shigat. 46 Nikah yang
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _225
sah itu apabila ketiga syarat utama itu terwujud yaitu terbukanya
kemungkiinan jima’ karena inti jima’ adalah menumpahkan sperma lakilaki ke rahim sang istri. Syarat kedua adalah terbukanya kemungkinan
terjadinya kehamilan. Ketiga, persalinan kelahiran bayi yang mutlak dari
rahim sang istri.
Hukum nikah dalam madzhab Maliki juga bervariatif.Pertama, Wajib.
Hukum menikah menjadi wajib apabila memenuhi tiga syarat, yaitu,
khawatir melakukan zina, atau tidak mampu berpuasa atau mampu
tapi puasanya tidak bisa mencegah terjadinya zina. Atau tidak mampu
memiliki budak perempuan (amal) sebagai pengganti isteri dalam
istimta’.
Kedua, haram. Hukum menikah menjadi haram apabila tidak khawatir
zina dan tidak mampu memberi nafkah dari harta yang halal atau atau
tidak mampu jima’, sementara isterinya tidak ridlo. Ketiga, Sunnah.
Hukum menikah menjadi sunnah apabila tidak ingin untuk menikah
dan ada kekhawatiran tidak mampu melaksanakan hal-hal yang wajib
baginya. Keempat, Mubah. Hukum menikah menjadi mubah apabila tidak
ingin menikah dan tidak mengharap keturunan, sedangkan ia mampu
menikah dan tetap bisa melakukan hal-hal sunnah. Menurut madzhab
Maliki, rukun nikah ada lima yaitu : wali, mahar (mas kawin), calon
suami, calon istri, dan shighat.47
1. Konsep Mahar menurut Imam Malik
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan
memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya
dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan
atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan
secara ikhlas. Para ulama fiqih sepakat bahwa mahar wajib diberikan
oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo,
pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam
aqad pernikahan. Para ulama sepakat bahwa mahar merupakan syarat
nikah dan tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya.48
226_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah
perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian
mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan
derajat kaum perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak
harga dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai
laki-laki, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang
diperjual belikan, sehingga perempuan tidak berhak memegang harta
bendanya sendiri atau walinya pun tidak boleh dengan semena-mena
menghabiskan hak-hak kekayaannya.49 Dalam syariat Islam, wanita
diangkat derajatnya dengan diwajibkannya kaum laki-laki membayar
mahar jika menikahinya. Pengangkatan hak-hak perempuan pada
zaman Jahiliyah dengan adanya hak mahar bersamaan pula dengan hakhak perempuan lainnya yang sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana
adanya hak waris dan hak menerima wasiat.50
Salah satu keistimewaan Islam ialah memperhatikan dan menghargai
kedudukan wanita, yaitu dengan memberikan hak untuk memegang
dan memiliki sesuatu. Setelah itu, Islam datang dengan menghilangkan
belenggu tersebut, kemudian istri diberi hak mahar (maskawin), dan
kepada suami diwajibkan untuk memberikan mahar kepada istrinya,
bukan kepada ayahnya atau siapapun yang dekat denganya. Dan orang
lain tidak boleh meminta harta bendanya walaupun sedikit, meskipun
oleh suaminya sendiri, kecuali dengan mendapatkan ridho kerelaan
istri.51
Mahar ditetapkan sebagai kewajiban suami kepada istrinya, sebagai
tanda keseriusan laki-laki untuk menikahi dan mencintai perempuan,
sebagai lambang ketulusan hati untuk mempergaulinya secara ma’ruf.52
Mahar termasuk keutamaan dalam agama Islam dalam melindungi dan
memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya
dalam pernikahan berupa mahar perkawinan yang besar kecilnya
ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu
harus diberikan secara ikhlas.53
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _227
Terbentuknya sebuah keluarga di awali dari pernikahan antara lakilaki dan perempuan.54 Dalam melaksanakan perkawinan biasanya
dirayakan dengan berbagai macam acara, tergantung keinginan kedua
mempelai. Islam telah mengangkat derajat kaum wanita, karena mahar
diberikan sebagai tanda penghormatan kepadanya. Bahkan andai kata
suatu perkawinan itu berakhir dengan perceraian mahar itu tetap
merupakan hak milik istri dan suami tidak berhak mengambil kembali
kecuali dalam kasus khulu’ yaitu perceraian terjadi karena permintaan
istri. Dalam masalah ini istri harus mengembalikan semua mahar yang
telah dibayarkan kepadanya.55
Dengan demikian, mahar merupakan hak istri yang diterima dari
suaminya, pihak suami memberinya dengan suka rela atas persetujuan
kedua belah pihak antara istri dan suami. Pemberian suami dengan suka
rela tanpa mengharap imbalan sebagai tanda kasih sayang dan tanggung
jawab suami atas istri atas kesejahteraan keluarganya.56 Apabila mahar
sudah diberikan suami kepada istrinya, maka mahar tesebut menjadi
milik istri secara individual.57 Penyerahan mahar dilakukan secara tunai.
Namun apabila calon mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar
boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian, maka mahar
boleh ditangguhkan. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya
menjadi utang calon mempelai pria.58
Undang-undang perkawinan tidak mengatur mengenai mahar. Hal ini
karena mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. Rukun nikah
secara bahasa adalah bagian pokok pada suatu bangunan yaitu bagian
terkuat yang menyangga bangunan agar tetap kokoh. Dan menurut
istilah adalah apa-apa yang jika sesuatu perbuatan dilaksanakan tidak
dengannya akan batal. Pernikahan dianggap sah apabila rukun nikah
dan syarat-syaratnya telah terpenuhi.
Rukun dan syarat nikah menurut pendapat Ulama’ antara lain adalah:
Menurut Abdullah AL-Jaziri dalam bukunya Fiqh A’la Madzâhib AlArba’ah menyebutkan, yang termasuk rukun nikah adalah Al-ijab dan
Al-qobul, dimana tidak ada nikah tanpa keduanya.59 Menurut Sayyid
228_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Sabiq menyimpulkan bahwa rukun nikah terdiri dari Al-ijab dan Alqobul sedangkan yang lainnya termasuk syarat pernikahan.
Menurut Imam Hanafi rukun nikah terdiri dari shighât (ijab dan qobul),
wali, calon laki-laki, calon perempuan.60 Menurut Imam Syafi’i rukun
nikah terdiri dari calon laki-laki, calon perempuan, wali, dua orang saksi,
ijab dan qobul.sedangkan menurut Imam Hambali rukun nikah adalah
calon laki-laki, calon perempuan, ijab dan qobul.61 Menurut pendapat
Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Hambali bahwa mahar adalah bukan
termasuk rukun nikah.
Sedangkan menurut Imam Malik rukun nikah adalah calon laki-laki,
calon perempuan, wali, mahar, dua orang saksi, ijab dan qobul. Ketika
mahar disebut maka nikahnya sah dan ketika mahar tidak disebutkan
maka nikahnya tidak sah. Berdasarkan dengan pendapat Imam Malik
bahwa mahar adalah sebagai rukun nikah ini. Adapun pendapat Imam
Malik tentang mahar sebagai rukun nikah terdapat dalam kitab AlMuwaththa’ adalah sebagai berikut“rukun nikah ada empat yaitu wali,
mahar, tempat, dan ijab qobul”.62
Dari peryataan diatas dapat disimpulkan bahwa Imam Malik
berpendapat bahwa mahar adalah sebagai rukun nikah. Tentunya
pendapat ini sangat berbeda dengan imam madzhab yang lain, seperti
Syafi’i, Hanafi dan Hambali. Dalam permasalah mahar, Maliki mengambil
sikap yang sangat berbeda. Perbedaan pandangan Maliki dengan imam
madzhab yang lain tentunya memiliki nalar hukum yang berbeda dan
tidak digunakan oleh imam madzhab yang lain.
Sebelum mengetahui pemikiran Imam Malik seputar status hukum
mahar, sebaiknya dibahas terlebih dahulu seputar silang pendapt
madzhab mengenai maslah tersebut. Dalam perspektif madzhab, mahar
(al-shodâq)63 adalah elemen penting yang menjadi bagian dalam akad
nikah. Urgensi posisi mahar dalam nikah, setidaknya bisa dilihat dari
munculnya silang pendapat antar madzhab mengenai status hukum
mahar dalam nikah. Dalam hal ini, bisa dipetakan dua paradigma
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _229
madzhab dalam memposisikan status mahar sebagi elemen penting
akad nikah.
Paradigma pertama, menyatakan bahwa status mahar (al-shodâq)
dalam akad nikah merupakan rukun dipandang dari sisi tidak sahnya
pensyaratan yang bersifat menggugurkan atau meniadakan (al-isqot)
status mahar. Konsekuensi pandangan ini adalah status tidak sahnya
akad nikah, apabila disyaratkan dalam akad tersebut peniadaan mahar.64
Pandangan ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Malik,
meskipun sebenarnya masih ada silang pendapat antara ulama madzhab
ini sendiri mengenai maslah tersebut.
Redaksi kitab-kitab Imam maliki menyatakan mahar adalah rukun.
Yang dimaksud dengan rukun dalam hal ini adalah tidak sah sebuah
pernikahan apabila dalam akad disyaratkan adanya pengguguran
atau peniadaan kewajiban suami untuk membayar mahar kepada istri.
Dalamhal ini tidak bisa ditafsirkan, bahwa mahar adalah rukun, sehingga
keberadaannya harus disebutkan dalam akad.65
Pada dasarnya, dalam Imam Maliki, mahar yang dianggap sebagai
rukun dalam nikah bukan pendapat yang final, tapi masih ada silang
pendapat yang cukup kuat mengenai statusnya apakah rukun atau syarat.
Faktor-faktor perbedaan pendapat dalam madzhab maliki mengenai
status mahar, apakah rukun atau syarat adalah: pertama, pendapat
yang menyatakan mahar adalah syarat memandang dari sisi kebaradaan
esensi nikah syar’i tercukupi dengan terpenuhinya tiga elemen pokok,
yaitu al-mahal (suami dan istri), al-wali, dan al-shighât (ijab dan qobul);
kedua, Pendapat yang menyatakan mahar adalah rukun memandang
dari sisi sah dan tidak sahnya akad nikah bergantung dari eksitensi
mahar yang termasuk elemen pokok dalam nikah, sehingga posisi mahar
sama dengan al-mahal (suami dan istri), al-wali, dan al-shighât (ijab dan
kabul).66
Paradigma kedua, menyatakan bahwa status mahar dalam akad
nikah hanya sebatas syarat sahnya saja, sehingga pensyaratan peniadaan
230_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
mahar dalam akad nikah tidak berfungsi atau tidak bisa diberlakukan.
Konsekuensinya adalah wajib bagi suami membayar mahar mitsil
(jumlah mahar yang berlaku dalam tradisi keluarganya), jika suami tidak
menyebutkan mahar dalam akad nikah. Pendapat ini adalah pandangan
mayoritas ulama madzhab.
Pasal 14 UU Perkawinan menyebutkan bahwa mahar adalah
pemberian yang diberikan kepada istri baik uang atau yang sejenisnya
selama diperbolehkan secara syara’. Ia juga adalah sesuatu yang
dimiliki secara sepenuhnya. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa mahar
itu ditentukan dalam akad baik dibayar segera atau ditangguhkan,
sementara dalam kondisi nilai mahar itu tidak ditentukan , maka istri
berhak mendapatkan mahar mitsil. Dalam pasal 16 dijelaskan bahwa istri
berhak menerima maskawin secara penuh baik telah digauli atau karena
ditingggal suami yang wafat. Ketika bercerai, ia mendapatkan setengah
mahar.
2. Wali Nikah
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Wali
dengan bentuk jamak Auliyâ yang berarti pecinta, saudara, atau penolong.
Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang
yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban
anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin
perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah
dengan pengantin pria). Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak
sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali).
Perwalian dalam istilah Fiqh disebut wilayah yang berarti penguasaan
dan perlindungan. Yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh
yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan
melindungi orang atau barang.67
Dalam Fiqh Sunnah di jelaskan bahwa wali adalah suatu ketentuan
hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _231
hukumnya, wali ada yang khusus dan ada yang umum. Wali khusus
adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.68
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian
bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang mangakadkan nikah
itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam
suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi
izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu
atau mewakilkannya kepada orang lain.69 Pengertian Wali Nikah adalah
orang yang memiliki kekuasaan atas seorang wanita untuk melakukan
akad apapun, atau karena keturunan, adanya wasiat atas perwalian atas
orang Islam.70 Karenanya seorang wali harus disyaratkan beragama
Islam, merdeka, cerdas, telah akil balig, tidak sedang berihram dan
akadnya tidak haram.71Wali nikah dalam Hukum perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak
menikahkannya.Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil
terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi
tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah
atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam malik tidak
membolehkan wanita menikahkan dirinya sendiri, baik gadis maupun
janda.
Sedangkan menurut Malikiah: urutan wali dalam pernikahan adalah:
wali mujbir yaitu ayah dan washinya, malik, kemudian setelah wali
mujbir yaitu anak laki-laki walaupun dihasilkan dari zina, kemudian
anak laki-lakinya anak laki-laki, kemudian ayah (tidak mujbir) dengan
syarat ayah dengan cara syar’i (dengan nikah yang sah), saudara lakilaki, saudara laki-lakinya seayah. Waqiila: saudara laki-laki sekandung,
saudara laki-laki seayah, anaknya saudara laki-laki sekandung, anak
laki-lakinya saudara laki-laki seayah, kemudian kakek dari ayah, paman
sekandung, anaknya paman, paman dari saudara laki-laki (am liakh),
anaknya paman dari saudara laki-laki (ibnu am liakh), ayahnya kakek,
pamanya ayah,kemudian perwalian pindah kepada hakim akan tetapi
232_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
dengan syarat tidak diperkenankan meminta bayaran maka apabila
memita bayaran tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan terebut.
Imam Malik berpendapat juga bahwa jika yang akan menikah adalah
orang yang biasa-biasa saja, bukan termasuk orang yang mempunyai
kedudukan, kerupawanan dan bukan bangsawanan tidak apa-apa ia
menikah tanpa wali. Akan tetapi ketika ia seorang yang berkedudukan,
berwajah rupawan dan banyak harta maka ketika menikah harus
memakai wali.72
Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik
membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih
dahulu ada persetujuan secara tegas sebelum akad nikah. Sedangkan
bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami,
maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali
diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar. Dalam UU Perkawinan pasal
7 disebutkan bahwa wali yang berwenang menikahkan anak wanitanya
yang tidak sempurna (al-qashirah)adalah ayah atau salah satu kerabat
paling dekat atau qadhi bagi yang tidak ada walinya. Sementara pasal 11
menyebutkan bahwa seorang wanita yang cerdas boleh dinikahi selama
dihadiri walinya yaitu ayahnya, salah seorang kerabatnya atau siapapun
yang dipilih.73
Lalu bagaimana dengan wali bagi wanita yang telah hamil? Para
ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari madzhab Hanafi tidak
memperbolehkan pernikahannya itu sebelum dia melahirkan, tidak
dengan lelaki yang menzinahinya atau tidak juga dengan lelaki yang
lainnya. hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: ”Seorang wanita
yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan.” (HR.
Abu Daud) dan sebagaimana riwayat dari Said al Musayyib bahwa
seorang laki-laki telah menikahi seorang wanita dan ketika diketahui
bahwa wanita itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada
Nabi SAW maka beliau SAW pun memisahkan mereka berdua.” (HR.
Baihaqi). Sedangkan para ulama Syafi’i dan Hanafi membolehkan
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _233
pernikahannya dikarenakan belum terkukuhkannya nasab, berdasarkan
sabda Nabi SAW,” Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi
yang berzina tidak memiliki apa-apa.” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud).
Untuk negara Aljazair adaya wali nikah masih diwajibkan. Jika sang
wali tidak mau menikahkan maka bisa diganti wali hakim dengan syarat
sekufu. Akan tetapi persoalan sekufu ternyata telah berbeda dengan
konsep fikih madzhab. Sekufu dulunya diartikan sebagai kesederajatan
dalam hal yang bersifat gengsi dan materialistis seperti dalam nasab,
harta, merdeka dan status muslim ternyata berpindah dalam persoalan
yang bersifat psikologis sosial seperti adanya rasa cinta dan sudah
berhubungan erat.
Tentang kebebasan perempuan dalam perkawinan, perundangundangan Aljazair kurang tegas karena disatu sisi melarang adanya
nikah paksa, di sisi lain masih diberlakukan adanya hak ijbar.74
Namun pada intinya persetujuan calon diharuskan dan secara implisit
mengasumsikan adanya prinsip pelarangan nikah paksa. Kebolehan
memaksa nikah (ijbar) bukan alasan semata-mata subyektivitas dari
wali (bapak), akan tetapi karena ada argumentasi lain yaitu bila tidak
dinikahkan akan terjerumus pada sikap fasad.
Pembentukan hukum keluarga di Aljazair diantaranya bermaksud
meningkatkan usia nikah bagi kedua calon mempelai. Hukum keluarga
1984 dengan tegas memperlihatkan hal ini. Pada pasal 7 secara jelas
ditetapkan usia calon mempelai laki-laki 21 tahun dan calon mempelai
perempuan 18 tahun. Usia nikah ini cukup tinggi dibandingkan dengan
usia nikah yang terdapat dalam hukum keluarga di negara-negara Islam
lain. Tercatat hanya Banglades yang menyamai batas minimum usia
nikah.75
Dalam Nash (Al-Qur’an dan Hadist) tidak terdapat ketentuan yang
secara ekslipisit menetapkan batasan usia nikah. Para ahli fiqih juga
tidak membahas usia nikah. Barangkali melacak pendapat mereka dapat
dilakukan dengan mengaitkan usia baligh, karena baligh adalah syarat
234_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
bagi calon mempelai untuk dapat melangsungkan pernikahan. Dalam
hal ini, Maliki menetpakan usia 17 tahun. Namun demikian, pernikahan
bagi yang masih di bawah usia 17 tahun dianggap sah, kalau menurut
wali dapat mendatangkan kebaikan bagi yang bersangkutan.76
Dapat diduga ketentuan usia nikah yang terdapat dalam perundangundangan Aljazair ini murni atas pertimbangan yang lebih bersifat
sosiologis, sebab ketentuan ini tidak diambil dari pandangan madzhab
di luar Maliki. Madzhab Hanafi yang disinyalir menempati posisi kedua
di Aljazair setelah madzhab Maliki, menetapkan usia baligh yang lebih
rendah dari batasan ini, yakni 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi
perempuan.
3. Saksi dalam Nikah
Diantara madzhab sunni, Malikiyah mempunyai pendapat berbeda
tentang saksi dalam pernikahan. Dari pendapat Imam Malik tentang
kedudukan saksi dan masa hadirnya saksi dalam perkawinan didukung
dengan dalil :
‫ال نكاح‬:‫عن عمران بن حصني عن النيب صلي اهلل عليو وسلم قال‬
)‫بويل وشاىدى عدل (رواه دارالقطىن‬
ّ ّ‫اال‬
Artinya : “Dari Imron bin Husen dari Nabi bersabda : Tiada nikah
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR. Darul Qutni).77
Hadits Imron yang telah diriwayatkan oleh Darul Qutni dan Baihaqi
dari segi ilatnya termasuk hadits hasan karena ada salah satu sanad yang
tidak disebut yakni Abdullah bin Muhriz. Menurut Malik kehadiran
para saksi tidak wajib dalam akad nikah, tetapi hukumnya mandub
(sunnah). Dan menurut Imam Malik bahwa saksi harus hadir pada
saat persetubuhan antara kedua belah pihak, tanpa adanya saksi maka
nikahnya rusak karena ketiadaan kedua saksi itu secara mutlak pembuka
jalan kepada zina.
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _235
Dalam kitab Al-Bahr dari Ali dan ‘Umar dan Ibnu Abbas dan Atroh,
Sya’bi, Ibnu Musoyab, Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal,
Tirmidzi berkata : menurut sahabat Nabi dan para tâbi’in mereka berkata
bahwasanya tidak ada pernikahan kecuali adanya saksi, dan lafadz
tersebut tidak ada perselisihan diantara para ulama. Titik perselisihan
itu adalah jika perkawinan hanya disaksikan oleh orang perorang
secara tidak bersamaan menurut sebagaian besar ahli ilmu kufah tidak
membolehkan, sehingga perkawinan itu harus disaksikan oleh dua
orang saksi secara bersamaan pada saat berlangsungnya akad nikah.
Menurut sebagaian ulama Madinah boleh persaksiannya seorang demi
seorang dengan syarat setelah berlangsungnya perkawinan tersebut
harus diumumkan, dan hal ini juga merupakan pendapat Malik.
Jadi menurut Imam Malik, kedudukan saksi berfungsi sebagai syarat
sah, sehingga pernikahan tanpa adanya saksi maka hukumnya tetap
sah asal diumumkan terlebih dahulu. Sebagaimana hadits berikut :
“Menyampaikan hadits pada kami Nasr bin Al-Juhsomi dan Halil bin
‘Umar keduanya berkata menyampaikan hadits pada kami Isa bin Yunus
dari Kholid bin Ilyas dari Robiah bin Abdurrahman dan dari Qasim
dari Aisyah dari Nabi SAW. bersabda: ‘umumkanlah pernikahan dan
bunyikanlah genderang’”.(HR. Ibnu Majah).78
Perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang menjadi sunnah
Rasulullah SAW yang diatur oleh ketentuan syara’, perkawinan adalah
satu cara yang sangat tepat untuk melangsungkan keturunan karena
salah satu tujuan dari perkawinan adalah mengahasilkan keturunan.
Sehingga dalam hal ini perkawinan banyak memberikan maslahat baik
bagi para pihak, anak keturunan, orang tua maupun orang-orang di
sekitar. Suatu perbuatan akan mempunyai nilai manfaat jika perbuatan
tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik,
ketentuan syara’ ataupun aturan-aturan pemerintah dan suatu perbuatan
akan bernilai mafsadah jika suatu perbuatan tersebut dilaksanakan tidak
sesuai dengan ketentuan yang masih dan sedang berlaku.
236_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Imam Malik berpendapat bahwa nikah tanpa dihadiri dua orang
saksi tetap sah hukumnya, tetapi dengan sarat pernikahan itu harus
diumumkan pada khalayak ramai, sehingga secara tidak langsung bahwa
Imam Malik juga melarang nikah sirri. Dalam hal ini dua orang saksi yang
berhak mengumumkan tentang telah terjadinya pernikahan antara dua
belah pihak. Jadi tanpa adanya dua orang saksi maka kahalayak ramai
tidak bisa mengetahui secara pasti tentang berlangsungnya perkawinan.
Akan tetapi dalam pandangan ulama’ Malikiyah bahwa saksi harus
hadir pada saat persetubuhan kedua belah pihak. Pendapat ini apabila
dilihat dari segi moral dan adat istiadat yang berlaku di Indonesia maka
kurang relevan, karena pada satu sisi persetubuhan merupakan perbuatan
yang sangat privacy (pribadi), yang tidak pantas untuk disaksikan serta
tidak mungkin orang lain dapat secara leluasa menyaksikannya. Pada
sisi lain kebiasaan tersebut tidak berlaku dalam adat istiadat masyarakat
Indonesia.
Dan apabila ditinjau dari maslahatnya kesaksian seperti ini hanya
sedikit sekali maslahatnya, yakni dua orang saksi hanya dapat mengetahui
bahwa antara kedua belah pihak tersebut secara resmi menjadi suami
istri yang sah. Dan diantara kedua belah pihak (suami dan istri) sudah
tidak berstatus bujang maupun gadis.Dari analisis tersebut sampai
pada kesimpulan bahwa pendapat Imam Malik dan ulama Malikiyah
dalam konteks bangsa Indonesia kurang relevan, karena hadits yang
mendukung pendapat tersebut masih terjadi perselisihan diantara
para ulama, apakah yang mendukung itu dhaif, mauqul, mursal ataukah
termasuk hadits shahih dan tidak ada pendukung hadits yang masih
kuat lagi.
Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi
sebagai syarat sah nikah. Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk
sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan
saksi, namun bisa ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan
i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami sebagai media penyambung
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _237
informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok
saksi dalam proses akad nikah. Menurut Malikiyah saksi tidak
dibutuhkan kehadirannya pada saat akad, namun saksi akan diharuskan
kehadirannya setelah akad sebelum suami mencampuri isterinya.
Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu
sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakup kesaksian. Meski demikian
mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan
mereka terhadap hadits tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan
Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah
yang pada waktu itu mengamalkan hadits-hadits yang berkaitan dengan
i’lan.
Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran saksi dalam akad nikah
tidaklah wajib, tetapi cukuplah dengan pemberitahuan (diumumkan)
kepada orang banyak. Namun pemberitahuan itu sebelum mereka
bercampur. Apabila kedua suami istri itu telah bercampur sebelum
disaksikan (diketahui) oleh orang lain, maka keduanya harus dipisahkan
(fasakh).Menurut pendapat yang mu’tamad di kalangan Malikiyah (bukan
Imam Maliki), saksi menjadi syarat sah suatu perkawinan.
Adapun yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah, Nabi SAW bersabda:
“Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”. (HR.
Daruquthny dan Ibnu Hibban).
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena
menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama
menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan
suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya
suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah
pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek),
seperti kumpul kebo.
Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran saksi dalam akad nikah
tidaklah wajib, tetapi cukuplah dengan pemberitahuan (diumumkan)
kepada orang banyak. Namun pemberitahuan itu sebelum mereka
238_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
bercampur. Apabila kedua suami istri itu telah bercampur sebelum
disaksikan (diketahui) oleh orang lain, maka keduanya harus dipisahkan
(fasakh)79
Dalam referensi lain, menurut Imam Malik:saksi hukumnya tidak
wajib dalam akad, tetapi wajib untuk percampuran suami terhadap
istrinya (dukhul). Maksudnya, kalau akad dilakukan dengan tanpa
seorang saksi pun, akad itu dipandang sah, tetapi bila suami bermaksud
mencampuri istrinya, dia harus mendatangkan dua orang saksi. Jika
tidak didatangkan saksi, maka akadnya harus dibatalkan secara paksa,
dan pembatalan itu sama kedudukannya dengan talak ba’in. Alasan
yang dikemukakan Imam Malik, yaitu ada hadits yang dinilainya lebih
shahih, diantaranya:“ Diterima dari Malik ibn al-Mundzir, dia berkata
‘sesungguhnya Nabi SAW. Telah membebaskan shafiyah r.a. lalu
menikahkannya tanpa adanya saksi “ ( HR Al-Bukhari)
Menurut pendapat yang mu’tamad di kalangan Malikiyah (bukan
Imam Maliki), saksi menjadi syarat sah suatu perkawinan. Adapun yang
menjadi dasarnya adalah hadits dari Aisyah ra., Nabi berkata: “Tidak sah
nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”. (HR. Dara Quthny dan
Ibnu Majah).
Jumhur ulama selain Malikiyah berpendapat, bahwa kesaksian itu
diperlukan saat akad nikah, agar saksi itu mendengar saat ijab qabul.
Lebih lanjut Hanafiyah mengatakan, karena saksi termasuk rukun nikah,
maka disyariatkan keberadaannya pada saat akad nikah. Sedangkan
Malikiyah berpendapat bahwa saksi memang menjadi syarat sah nikah,
tetapi kehadirannya boleh saat akad nikah dan boleh juga disaksikan pada
waktu lain seperti resepsi, asal sebelum bercampur kedua mempelai.80
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya,
karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga,
terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada
kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu.
Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _239
nikah itu. Saksi menjadi syarat sah akad nikah. Berbeda dengan Imam
Malik, kehadiran saksi dalam akad nikah tidaklah wajib, tetapi cukuplah
dengan pemberitahuan (diumumkan) kepada orang banyak. Menurut
pendapat yang mu’tamad, saksi menjadi syarat sah suatu perkawinan.Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat hendaklah
dipandang hal yang wajar saja dan hal itu menandakan bahwa pikiran
orang itu hidup tidak membeku, kreatif dan tidak mandek berjalan
ditempat.
4. Fasakh versi Imam Malik
Pemikiran Imam Malik tentang fasakh yaitu kecacatan yang dapat
menyebabkan terjadinya fasakh adalah impotensi; gila; karena penyakit
sopak dan kusta; dan karena al ritq; al-qorn; al afal dan al-ifdha. Pada
dasarnya hukum fasakh adalah mubah atau boleh; apabila istri atau
suami yang dicerai dengan keputusan fasakh oleh pengadilan tidak dapat
dirujuk Istinbath hukum yang digunakan Imam Malik mengenai fasakh
telah memenuhi syarat; artinya telah memakai adillah al ahkam yang
paling kuat dengan menempatkan al-Qur’an di urutan pertama; baru
kemudian hadits; ijma; dan qiyas Imam Malik telah melakukan kebenaran
di dalam istinbath hukum untuk suatu produk hukum; khususnya
mengenai fasakh dalam pernikahan. Imam Malik berpendapat bahwa
cacat yang dapat menyebabkan batalnya perkawinan ada 9 (sembilan)
macam, yaitu: gila, kusta, sopak, tahi keluar ketika bersetubuh, kusta
yang terang, potong kemaluan, unnah potong 2 buah pelirnya dan lemah
kemaluannya karena penyakit.
Menurut, imam Malik (93-179 H/712- 795 M), terjadi pembatalan
pekawinan dalam pernikahan fasid (rusak). Beliau merinci beberapa
jenis pernikahan yang tergolong pernikahan fasid (rusak) yaitu nikah
mut’ah (kawin kontrak) dan pernikahan seorang pria dengan wanita
yang mahram (haram dinikahi karena pertalian darah dan hubungan
perkawinan). Begitu pula dengan pernikahan seorang wanita tanpa
wali, menurut pandangannya bathil (tidak sah). Akan tetapi pernikahan
240_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
yang dianggap fasid (rusak) oleh imam Malik ternyata dianggap sah oleh
imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M) seperti pernikahan seorang
wanita tanpa wali.81
Begitu pula, dalam pernikahan seorang laki-laki dengan mahram-nya
(haram dinikahi karena pertalian darah dan hubungan perkawinan),
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama besar. Menurut
imam Malik, Syafi’i, Allaits, Auzai, dan Ahmad, mereka berpendapat
pernikahan tersebut tidak sah. Pendapat tersebut juga sesuai pendapat
sahabat-sahabat Nabi seperti ‘Umar, Ali, Ibnu ‘Umar dan Zaid bin
Tsabit. Dalil yang mereka kemukakan adalah hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Usman bin Affan yang artinya:“Jangan menikahi
mahrom dan dinikahi, juga tidak boleh meminangnya.” Sedangkan
menurut imam abu Hanifah membolehkan pernikahan tersebut terjadi,
beliau mengemukakan argumentasinya berdasarkan hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tentang pernikahan Nabi dengan
Maimunah yang masih ada hubungan mahrom dengan Nabi. Apabila
salah satu dari kedua pasangan suami istri itu murtad (keluar dari agama
Islam), maka menurut Madzhab Hanafi telah terjadi talak (cerai) secara
langsung. Namun, apabila ada seorang suami yang sebelum menikah
dalam keadaan musyrik (penyembah berhala) kemudian masuk Islam
dan istri tidak mau masuk Islam mengikuti suaminya maka terjadilah
fasakh (pembatalan perkawinan). Adapun jika ada seorang istri masuk
Islam dan sang suami tetap dalam kemusyrikannya maka terjadilah
talak (cerai), pernyataan ini didasarkan pendapat Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafi’i. Sedangkan menurut Abu Yusuf pada kasus itu terjadi
fasakh (pembatalan perkawinan) tersebut. Lain halnya menurut Ulama
Malikiyah, apabila sang suami tidak mau masuk Islam setelah istrinya
masuk Islam, atau istri selain kitâbiyah (yahudi dan Nasrani) tidak mau
masuk Islam setelah suaminya masuk Islam maka secara langsung rusak
ikatan pernikahannya.82
Seseorang yang hilang dan tidak diketahui keberadaannya dalam
jangka waktu tertentu dapat membatalkan perkawinan. Menurut
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _241
madzhab Maliki, ditunggu sampai empat tahun, jika suami tidak muncul
maka ditetapkan iddah (masa menunggu wanita yang ditinggal mati
suaminya atau dicerai) yaitu empat bulan sepuluh hari. Setelah itu baru
boleh menikah dengan laki-laki lain.83
Dalam UU Perkawinan no 05-09 tanggal 4 Mei 2005 disebutkan bahwa
bagi calon mempelai harus menyertakan surat sehat minimal 3 bulan
pra pernikahan yang menyebutkan bahwa kedua calon mempelai itu
tidak mengidap penyakit atau cacat yang menghalangi kesempurnaan
perkawinan. Hanya saja UU Aljazair ini tidak menentukan persis jenis
penyakit yang berbahaya atau tidak berbahaya. Dalam pasal di atas juga
disebutkan bagi petugas pencatat nikah harus memverifikasi terlebih
dahulu surat sehat keduanya sebelum ijab-kabul berlangsung sehingga
menghindari adanya penyakit berbahaya yang mungkin mengenai salah
satu mempelai, terutama penyakit AIDS.
D.Sekilas Dinamika Hukum Keluarga Aljazair
Perkembangan hukum Islam dibawah pengaruh Perancis di Aljazair
dalam beberapa hal paralel dengan perkembangan hukum Islam dibawah
pengaruh Inggris di India, tetapi hasilnya sangat berbeda sekali. Di
sebahagian besar wilayah Aljazair qadhi masalah-masalah yang biasanya
berada dibawah wewenang mereka. Malahan pemerintahan Perancis
memperluas penerapam hukum Islam terhadap adat melampaui apa
yang pernah terjadi pada masa Aljazair dibawah kekuasaan Turki.84
Peubahan hukum positif jarang sekali terjadi di Aljazair. Hukum positif
di negeri tersebut hanya mencakup masalah-masalah yang bertalian
dengan perwalian bagi anak-anak, perkawinan dan perceraian.
Pada 4 Februari 1959 (dengan ketentuan-ketentuan yang terkandung
dalam dekrit 17 September 1959) yang menetapkan bahwa perkawinan
harus dilaksanakan atas persetujuan kedua mempelai, menetapkan
batas umur minimum untuk kawin dan mendekritkan bahwa perceraian
diputuskan kecuai oleh sebab kematian hanya oleh keputusan pengadilan
berdasarkan permintaan suami atau isteri, atau atas permintaan
242_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
keduanya. Pengadilan banding akhir dilaksanakn melalui Muslim Appel
Division dari pengadilanbanding di Aljazair.
Hukum Perancis juga merupakan faktor yang ikut menentukan
dan mempengaruhi bentuk hukum Islam yang berlaku di Aljazair.85
Terutama sekali pengaruh dari pandangan-pandangan hukum para
hakim Perancis di Aljazair, khususnya Marcel Movand (meninggal 1932)
yang mengepalai komisi penyusunan konsep hukum Islam Aljazair
pada tahun 1906 yang hasilnya diterbitkan pada tahun 1916. komisi
tersebut mengadakan perubahan-perubahan hukum madzhab Maliki,
dan mengambil ajaran-ajaran Madzhab Maliki apa dirasa lebih sesuai
dengan ide-ide modern. Code Morand ini memang tidak pernah menjadi
hukum tetapi mempunyai arti yang sangat penting.
Dengan cara ini hukum Islam yang berlaku di Aljazair telah menjadi
sistem hukum yang independen yang disebut:“Droit Musulman
Algerien”. Tidak terdapat komperatif studi lainnya yang dilakukan
untuk mempelajari perbedaan caranya teori hukum Inggeris dan Perancis
mendekati masalah-masalh hukum Islam.
Tiga tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, pemerintahan
Aljazair megumumkan sebuah hukum yang ringkas yang disebut
Marriage Ordinance 1959. tujuan lahirnya undang-undang ini adalah
untuk mengatur aspek-aspek tertentu dari perkawinan dan perceraian
di kalangan umat Islam. Ordonansi ini memuat 12 ayat yang tujuan
utamanya adalah:
1. Mengatur tata cara pelaksanaan dan registerasi perkawinan.
2. Meningkatkan usia nikah calon suami maupun isteri.
3. Mengatur perceraian melalui peradilan dan ketentuan-ketentuan
pasca perceraian.
Menindak lanjuti proklamasi kemerdekaan pada bulan Juli 1963,
Aljazair mempermaklumkan sebuah konstitusi yang menempatkan
Islam sebagai agama negara.86 Sebagai negara jajahan Perancis, sistem
hukum Aljazair terpengaruh oleh sistem hukum Perancis dalam hukum
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _243
sipil, pidana dan administrasi peradilan. Tetapi hal ini tidak menafikan
hukum keluarga bermadzhab Maliki dan Ibadi yang khas lokal. Ketika
negara ini dalam masa penajajahan, usaha-usaha priodik mensistemisasi
dan mengkodifikasikan bagian-bagian hukum keluarga telah dilakukan
dibawah panduan para ahli hukum Islam. Pada tahun 1906 seorang
ahli hukum Perancis bernama Marcel Morand diberi wewenang untuk
mempersiapkan rancangan hukum Islam, khususnya hukum keluarga
sesuai dengan yang berlaku pada perdilan lokal. 87 Draft tersebut
dipublikasikan 10 tahun kemudian dibawah titel:“Avant-Project de Code
du Droit Musulman Algerien”. Sekalipun secara umum didasarkan pada
madzhab Maliki, prinsip-prinsip hukum non-Maliki yang sebagaian
besarnya madzhab Hanafi ikut mewarnai rancangan undang-undang
ini, sebab pengikut madzhab Hanafi menduduki urutan kedua setelah
Maliki. Hasil usaha Morand tersebut tidak pernah dijadikan hukum
positif lewat legislasi formal hukum, namun dapat dicatat rancangan
ini memberi pengaruh pada aplikasi dan administrasi hukum keluarga
Islam di Aljazair.88
Segera setelah mencapai kemerdekaan Aljazair mengundangkan
sebuah hukum untuk mengamandemen ordonansi 1959 dan mencabut
ketentuan-ketentuan yang mengatur usia nikah. Di sampng itu, hukum
baru tersebut juga mencabut aturan-aturan yang mengharuskan
penganut Ibadi mengikuti ordonansi tersebut. Dengan amandemen ini
berarti ketentuan hukum yang tetap berlaku setelah tahun 1963 mengikat
bagi keseluruhan warga negara.
Setelah diundangkannya kostitusi tahun 1976, tuntutan kodifikasi
hukum keluarga dan waris yang komfrehensif semakin meningkat. Untuk
tujuan ini, pada tahun 1980 telah diajukan sebuah rancangan hukum
dimaksud kepada Dewan Nasional. Beberapa tahun kemudian, setelah
melewati perdebatan dan pertimbangan rancangan tersebut diterima dan
ditetapkan pada tahun 1984. Aturan-aturan yang termaktub didalamnya
diambil dari beberapa aliran fiqh, rancangan hukum keluarga Aljazair
1916 dan hukum keluarga yang berlaku di negra lain, khususnya Maroko.
244_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Undang-undang keluarga di Aljazair masih mendasarkan secara
normatif terhadap teks-teks al-Quran walaupun dengan penafsiran
sosiologis yang relevan dengan konteks sekarang, kedua mendasarkan
pada siyâsah shar’iyyah berupa adanya sanksi denda dan pidana
bagi mereka yang melanggar atau persyaratan administratif ijin
poligami dengan persetujuan isteri sebelumnya dan anutan madzhab
masyarakat yang terus diikuti sebagai kasus wali nikah. Adapun metode
pembaharuan hukum di beberapa negara modern dengan cara 1) tahsis
al-qada/siyasah shar’iyyah seperti persyaratan dalam poligami dengan
izin dari istri sebelumnya 2) reinterpretasi teks dengan jalan qiyas
seperti kasus poligami dan asas hukumnya dan 3) takhayyur dan talfîq,
seperti dalam penghapusan hak ijbar dengan mengambil pendapat Ibn
Subrumah.89
1. Nikah Beda Agama
Salah satu isu penting dalam materi pembaharuan hukum keluarga
di negara-negara Muslim adalah perkawinan beda agama. Meskipun
materi ini tidak banyak dibahas dalam Undang-undang Hukum
Keluarga di negera-negara Muslim, tetapi tingkat signifikansinya begitu
jelas jika dikaitkan dengan tingkat kemajemukan agama yang dianut
warga negara di setiap negara-negara Muslim dan tingkat perubahanperubahan sosial dan politiknya.Pengaturan perkawinan beda agama
yang diatur dalam Undang-undang Hukum Keluarga Irak, Yaman
Utara, Aljazair, dan Yordania sesungguhnya merupakan upaya negara
dalam memberikan kejelasan status hukum di tengah perdebatan di
kalangan Muslim (fuqaha dan mufasir) sejak zaman klasik hingga
sekarang tentang hukum perkawinan beda agama.Adapun menurut
madzhabMâlikî, menikahi Ahl al-Kitâb hukumnya adalah makruh.
Madzhab Hanbalī menyatakan menikahi Ahl al-Kitâb adalah khilāf yang
utama karena ‘‘Umar ibn al-Khattāb pernah mengatakan kepada para
sahabat yang menikahi wanita Ahl al-Kitâb yang berstatus dhimmī agar
menceraikannya. Para sahabat pun menceraikan istri-istri dari Ahl alKitâb, kecuali Khudhayfah. Adapun Ahl al-Kitâb yang berstatus ‘arbî,
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _245
menurut madzhab hanafî haram hukumnya menikahi mereka apabila
berada di dār al-’arb. MadzhabSyâfi’î dan Mâlikî berpendapat haram
hukumnya. 90
Perkawinan beda agama di Aljazair diatur dalam Undang-undang
Hukum Perdata No. 11 tahun 1984 (Civil Code).91 Pasal 31 menyebutkan,
“Seorang perempuan Muslimah tidak dapat menikah dengan seorang
laki-laki non-Muslim.” Pasal ini menegaskan bahwa adanya larangan
perempuan Muslimah dinikahkan dengan laki-laki non-Muslim. Hal
ini tentu saja tidak berbeda dengan pandangan kebanyakan ulama
yang bersepakat kebolehan laki-laki menikah dengan Ahl al-Kitâb
dan sebaliknya dilarang perempuan menikah dengan non-Muslim.
MadzhabMâlikî yang dianut mayoritas masyarakat Aljazair berpendapat
bahwa menikahi wanita Ahl al-Kitâb adalah makruh, seperti halnya
pendapat madzhab fikih lainnya, seperti madzhab hanafî dan Syâfi’î.
Inilah letak perbedaan antara materi hukum perkawinan beda agama
dalam Hukum Keluarga di Aljazair dengan pendapat madzhabMâlikî.
Aturan perkawinan beda agama di Aljazair hanya diatur satu pasal
tentang perempuan Muslimah yang dilarang menikah dengan laki-laki
non-Muslim. Ini berarti laki-laki Muslim boleh menikahi wanita Ahl alKitâb. Ketentuan ini tidak menjelaskan status perempuan yang telah
menikah dengan laki-laki non-Muslim, apakah dibatalkan atau tidak.
Hukum perkawinan beda agama yang diberlakukan di
Aljazairsesungguhnya menunjukkan arus perdebatan yang serius dari
keterikatan dengan tekstual Al-Qur’an (kebolehan laki-laki Muslim
menikah dengan wanita Ahl al-Kitâb) dengan mengambil jalan istinbāt
lain (larangan laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitâb).
Negara ini berani tidak merujuk pada pendapat imam-imam madzhab
(Mâlikî, hanafî, dan Syâfi’î) yang sepakat menghukumi makruh bagi
laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita Ahl al-Kitâb.
Argumen sadd al-dharī’ah atau al-maslahah yang biasanya digunakan
untuk melarang laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitâb
246_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
tidak menjadi pertimbangan utama, sehingga hukum perkawinan beda
agama dibiarkan seperti bunyi teks Al-Qur’an. Kecenderungan ini bukan
berarti representasi dari liberalisme Islam, yang cenderung membolehkan
laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitâb. Tetapi juga,
kecenderungan ini tidak memenuhi kepentingan konservatisme dan
radikalisme Islam. Dengan demikian, hukum perkawinan beda agama
di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak cenderung bertahan dengan
tekstualitas al-Qur’an tanpa pernah dipengaruhi oleh radikalisme dan
liberalisme Islam.
Meskipun tidak dominan, pemberlakuan hukum perkawinan beda
agama di Yaman Utara, Yordania, Aljazair, dan Irak tetap menggunakan
pertimbangan yang kompleks, seperti konteks sosial-politik gerakan
Islam, kolonialisme, pendapat imam-imam madzhab, dan teks terutama
al-Qur’an. Ini berarti bahwa perdebatan pemberlakuan hukum
perkawinan beda agama di suatu negara akan sangat beriringan dengan
kompleksitas yang dialami oleh negara dalam mengelola perbedaan
ideologi, sosial, dan politik.
2. Pembatasan Usia Perkawinan
Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang
batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas
umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan
diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya.
al-Quran mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan
perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu.
Secara tidak
langsung, al-Quran dan Hadits mengakui bahwa kedewasaan sangat
penting dalam perkawinan. Usia dewasa dalam fiqh ditentukan dengan
tanda-tanda yang bersifat jasmani yaitu tanda-tanda baligh secara umum
antara lain, sempurnanya umur 15 (lima belas) tahun bagi pria,ihtilam bagi
pria dan haid pada wanita minimal pada umur 9 (sembilan) tahun. Para
ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batasan umur bagi orang
yang dianggap baligh.92 Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _247
bahwa anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila
telah menginjak usia 15 tahun. Ulama Hanafiyyah menetapkan usia
seseorang dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak
perempuan. Sedangkan ulama dari golongan Imamiyyah menyatakan
bahwa Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun
bagi anak perempuan.
Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua
pendapat. Pertama, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya
sama seperti anak berusia 8 tahun sehingga dianggap belum baligh.
Kedua, ia dianggap telah baligh karena telah memungkinkan untuk
haid sehingga diperbolehkan melangsungkan perkawinan meskipun
tidak ada hak khiyar baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa.
Mengingat, perkawinan merupakan akad/perjanjian yang sangat kuat
(miitsaqan ghalizan) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya
untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh
keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Pembentukan hukum keluarga di Aljazair diantaranya bermaksud
meningkatkan usia nikah bagi kedua calon mempelai. Hukum keluarga
1984 dengan tugas memperlihatkan hal ini. Pada pasal 7 secara jelas
ditetapkan usia calon mempelai laki-laki 21 tahun dan calon mempelai
perempuan 18 tahun. Usia nikah ini cukup tinggi dibandingkan dengan
usia nikah yang terdapat dalam hukum keluarga di Negara-negara Islam
lain. Tercatat hanya Banglades yang menyamai batas minimum usia
nikah.
Dalam Nash (al-Qur’an dan Hadits) tidak terdapat ketentuan yang
secara ekslipisit menetapkan batasan usia nikah. Para ahli fiqih juga
tidak membahas usia nikah. Barangkali melacak pendapat mereka dapat
dilakukan dengan mengaitkan usia baligh, karena baligh adalah syarat
bagi calon mempelai untuk dapat melangsungkan pernikahan. Dalam
hal ini, Maliki menetapkan usia 17 tahun. Namun demikian, pernikahan
248_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
bagi yang masih di bawah usia 17 tahun dianggap sah, kalau menurut
wali dapat mendatangkan kebaikan bagi yang bersangkutan.93
Dapat diduga ketentuan usia nikah yang terdapat dalam perundangundangan Aljazair ini murni atas pertimbangan yang lebih bersifat
sosiologis, sebab ketentuan ini tidak di ambil dari pandangan madzhab
di luar Maliki. Madzhab Hanafi yang disinyalir menempati posisi kedua
di Aljazair setelah madzhab Maliki, menetapkan usia baligh yang lebih
rendah dari batasan ini, yakni 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi
perempuan.Jadi, dalam batasan usia nikah Aljazair melakukan reformasi
extra dektrinal, yaitu keluar dari pendapat yang berkembang di kalangan
pemikir hukum Islam (madzhab), seterusnya membuat keputusan
hukum baru melalui ijtihad, dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip
hukum Islam.Aturan usia nikah 20 tahun bagi laki-laki, 28 tahun bagi
perempuan dapat saja diabaikan hakim atas permintaan pihak-pihak
yang berkepentingan dan atas pertimbangan demi kebaikan para calon.
E. Penutup
Pemikiran madzhab Maliki di Aljazair sebagai madzhab mayoritas
tentu sangat mempengaruhi pola pemikiran UU Keluarga di Negara
tersebut. Namun tentu saja madzhab-madzhab lainnya pun dalam batas
tertentu turut serta menyuburkan dialektika fikih ini. Kecenderungan
maliki yang tekstualis ini tentu sangat relevan dengan kultur masyarakat
tradisonalis yang masih menjadi mainstream.
Hukum keluarga di Aljazair memang sangat dipengaruhi madzhab
maliki walaupun tetap mengadopsi juga madzhab lainnya. Upaya
modifikasi hukum ini sudah banyak dilakukan terutama menyikapi
permasalahan-permasalahan modern yang terjadi. Kehadiran
universitas-universitas Islam banyak mewarnai dinamika hukum ini
sehingga memungkinkan terwujudnya upaya kodifikasi hukum yang
lebih komprehensif. Dinamika ijtihad modern mutlak diperlukan agar
bisa menjawab tantangan maslah yang terjadi.
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _249
Kehadiran hukum keluarga dalam perkembangannya sangat
membantu upaya penyelesaian masalah kontemporer. Elastisitas hukum
Islam sebagai ciri fundamentalnya memungkinkan adanya tajdîd atau
pembaharuan yang bermanfaat bagi pengayaan tema-tema terkait hukum
keuarga. Tipikal hukum keluarga di Aljazair ini bisa jadi barometer bagi
tajdîd dalam hukum keluarga di indonesia. Tentu saja upaya sinergis dari
berbagai praktisi hukum Islam sangat dibutuhkan.
250_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Daftar Pustaka
Abu Zahrah,Muhammad,Târîkhal-Madzâhib al-Islâmiyyah fi al-Siyâsah wa
al-Aqa’id wa Târîkhal-Madzâhib al-Fiqhiyyah, Kairo:Dar al-Fikr al‘Arabi, tt., cet. 1,
Al-Azhar Khuzairi, Thahir, al-Madkhal il al-Muwaththa’ Imam Malik ibn
Anas, Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah,
Maktabah al-Syu’un al-Fanniyyah,1429H./2008M, cet. 1
Al-Dardir, Syarh Ash-Shagîr tt., juz 2.
Al-Jaziri, Abd al-Rahman bin Muhammad ‘Audh, al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib
al-`Arba’at, Beirut:Dar Ibn Hazm, 2001.
Al-Dasyuqi, Hasiyah Al Dasuqy, Bairut:Dar Fikr al-Ilmiyah, 2009, Vol 2.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Fiqh A’la Madzâhib Al-Arba’ah, Semarang:CV.
Toha Putra, 1993.
Ali al-Sayis, Muhammad, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruh,AlAzhar:Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, al-Kitab al-Tasi’, tt.
Ameenah Bilal Philips, Abu, The Evolution of FIqh:Islamic Law and The
Madh-hab, Kuala Lumpur:A.S. Noordeen, 1411H./1990M, cet. 2.
Asy-Syaukani, Muhammad Ibnu Ali Mahmud, Syarh Nailul Author,
Beirut: Dar Al-Fikr,t.th, Juz 6.
Daly, Peunoh,Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta:PT Bulan
Bintang, 1998.
Dutton, Yasin, The Origin of Islamic Law:The Quran, tha Muwaththa’, and
Madinan ‘Amal,Richmond Survey:Curzon Press, 1999, cet. 1.
Fuad Abd al-Baqi,Muhammad,al- Mu’jam al- Mufahras li al-Fâz al-Qurân
al- Karîm, Beirut:Dar al-Fikr, 1987.
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _251
Ghazali, Abd. Rahman, Fiqih Munakahat , Jakarta:Prenada Media, 2003.
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, CV. Pustaka Setia, 2000.
Husain,Muhammad, Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama
dan Gender,Yogjakarta: LKIS, 2001.
I.Doi, Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta:PT Rineka
Cipta, 1992.
Jawad Mughniyyah, Muhammad, al Ahwâl al Syakhsiyyah, Beirut:Dar al
‘Ilmi lil Malayain, tt.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi:Academy
of Law and Religion, 1987.
M. Ali Hasan, perbandingan Madzhab fiqh, Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2000, cet 2.
Muzdhar, M. Attho’, Membaca Gelombang Jihad, antara Tradisi dan
Liberalisasi, Yokyakarta:Titian Ilahi Pres, 1998.
Muhtar, Kamal,Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan,Jakarta:Bulan
Bintang, 1994.
N.J Coulson,MA, Aljazair History of Islamic Law, Edinburgh:Edinburgh
University, 1964.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara, Jakarta-Leiden:INIS,
2002.
Nurudin, Amin, Hukum Perdata Islam di Indonesia Jakarta:Prenada Media,
2004, cet 1.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang:Dina Utama Semarang, 1993.
Rofiq, Ahmd, Hukum Islam Di Indonesia Jakarta:Raja Grafindo Persada
2003.
Rusyd, Ibnu, Terjemah Bidâyatul Mujtahîd, Penerjemah:M. A. Abdurrahman
dan A. Harits Abdullah, Semarang:CV. Asy. Syifa’, 1990.
252_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Sabiq, Sayyid,Fiqih Sunnah 2, Ter. Nor Hasanudin, Jakarta:Pena Pundi
Aksara 2006, Cet 1.
---------------, Fiqh Sunnah 7, Bandung:Al-ma’arif, 1997.
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, terj., Depag., 1985.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta:PT Rineka Cipta, 2005.
Syarifuddin, Amîr,Ushul Fiqh, Jakarta:Kencana, 2009, cet. 5, vol. 2.
Syausyan, Utsman bin Muhammad al-Akhdhar, Takhrîj al-Furu’ ‘ala
al-Ushûl:Dirâsah Târîkhiyyah wa Manhajiyyah wa Tathbiqiyyah,
Riyadh:Dar Thayyibah, 1419H./1998M., cet. 1, vol. 1.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, Jakarta:Rajawali Pers, 2010.
Wahhab Khollaf, Abdul,Khulâshah Târîkh tasyri’ Islam, Solo:CV.
Ramadhani, 1991.
Zakariya al Kandahlawi, Maulana, al Muwaththa”tt.
Zuhaily,Wahbah, Al Fiqhul Islami wa ‘Adilatuhu, Beirut:Daar al Fikr, juz 2.
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _253
Endnotes
1. Muhammad Fuad Abd al-Baqi,al- Mu’jam al- Mufahras li al-Faz al- Quran alKarim, Beirut: Dar al-Fikr, 1987: h. 332-333 dan 718.
2. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, CV. Pustaka Setia, 2000, h. 13.
3. Thahir al-Azhar Khuzairi, al-Madkhal il al-Muwaththa’ Imam Malik ibn
Anas,Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, Maktabah alSyu’un al-Fanniyyah, 1429H./2008M, cet. 1, h. 25-26.
4. Abu Ameenah Bilal Philips, The Evolution of FIqh: Islamic Law and The Madhhab, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1411H./1990M, cet. 2, h. 69-70; Yasin
Dutton, The Origin of Islamic Law: The Quran, tha Muwatta’, and Madinan
‘Amal,Richmond Survey: Curzon Press, 1999, cet. 1, h. 11;.
5. Yasin Dutton, ibid.,h. 11-12.
6. Abu Ameenah Bilal Philips, ibid, h. 70. Menurutnya, Imam Malik
mencukupkan diri dengan pengetahuan yang terdapat di Madinah.
7. Thahir al-Azhar Khuzairi, ibid, h. 6.
8. Ibid
9. Yasin Dutton, ibid, h. 22.
10. Abu Ameenah Bilal Philips, ibid, h. 57.
11. Thahir al-Azhar Khuzairi, ibid, h. 74-75.
12. Ibid., h. 75.
13. Yasin Dutton, ibid, h. 31.
14. Abdul Wahhab Khollaf, Khulashoh Tarikh tasyri’ Islam, Solo: CV. Ramadhani,
1991, h. 89; lih. juga dalan Yasin Dutton, ibid., h. 31.
15. Abdul Wahhab Khollaf, ibid.
16. Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzâhib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-
254_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Aqa’id wa Tarikh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.,cet.
1, h. 404.
17. Muhammad Abu Zahrah, ibid, h. 404.
18. Ibid., h. 405.
19. Abdurrahman ibn Qasim ini dilahirkan di Madinah, seorang yang ahli
dalam bidang Hadits dan qira’ah. Dia menulis sebuah kitab monumental
dalam mazhab Maliki, yaitu Al-Mudawwanah. Lih. Abu Ameenah Bilal
Philips, ibid,, h. 73-74.
20. Muhammad Abu Zahrah, ibid, h. 405.
21. Ibid.
22. Ibid.
23. Ibid.
24. Ibid.
25. Ibid h. 396.
26. Ibid.
27. Muhammad Ali al-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi wa Athwaruh Al-Azhar:
Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, al-Kitab al-Tasi’, t.t., h. 96.
28. Muhammad Abu Zahrah, ibid, h. 397.
29. Abu Ameenah Bilal Philips, ibid, h. 71; Yasin Dutton, h. 61.
30. Muhammad Abu Zahrah, ibid, h. 397; Yasin Dutton, ibid, h. 114-115.
31. Muhammad Abu Zahrah, ibid., h. 397.
32. Ibid., h. 398.
33. Zakariya al-Sibri, ibid, h. 36; Abu Umar Yusuf al-Andalusi, ibid, h. 10.
34. Muhammad Abu Zahrah, ibid, h. 399.
35. Yasin Dutton, ibid, h. 33.
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _255
36. Muhammad Abu Zahrah, ibid, h. 399.
37. Utsman bin Muhammad al-Akhdhar Syausyan, Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul:
Dirasah Tarikhiyyah wa Manhajiyyah wa Tathbiqiyyah, Riyadh: Dar Thayyibah,
1419H./1998M., cet. 1, vol. 1,h. 138-139.
38. Muhammad Abu Zahrah, ibid, h. 400; Zakariya al-Sibri, ibid, h. 82-83.
39. Ibid.
40. Thahir al-Azhar Khuzairi, ibid,h. 75. Al-muwaththa’, yang berarti al-musahhil
wa al-muyassiryang memberikan kemudahah, Lih. juga Abdul Halim alJundi, ibid, h. 200.
41. Muhammad Abu Zahrah, ibid, h. 401.
42. Muhammad Ali al-Sayis, ibid, h. 97; ‘Adil al-Syuyikh, ibid, h. 226.
43. Muhammad Abu Zahrah, ibid, h. 402.
44. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, vol. 2, Jakarta: Kencana, 2009, cet. 5, h. 421422.
45. Al-Dardir, Syarah Ash-Shagir juz 2, h. 332.
46. Al-Dardir, Syarah Ash-Shagir juz 2, h. 334.
47. Abd al-Rahman bin Muhammad ‘Audh al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al`Arba’at, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2001, h. 818.
48. Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Penerjemah: M. A. Abdurrahman
dan A. Harits Abdullah, Semarang: CV. Asy. Syifa’, 1990, h. 385.
49. Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah 2, Ter. Nor Hasanudin, Jakarta: Pena Pundi
Aksara 2006, Cet 1, h. 40.
50. Amin Nurudin, Hukum Perdata Islam di IndonesiaJakarta:Prenada Media,
2004, cet 1, h. 54.
51. Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat,”seri buku daras”, Jakarta: Prenada
Media, 2003, h. 84-85.
52. Muhammad Husain, Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
256_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Gender,Yogjakarta: LKIS 2001, h.108-109.
53. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010,
h.38.
54. Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan,Jakarta: Bulan
Bintang, 1994, h.81.
55. Abdur Rahman I.Doi, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1992, h.64.
56. Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang,
1998, h.219.
57. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, h.55.
58. Ahmd Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia Jakarta:Raja Grafindo Persada 2003
h. 104.
59. Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh A’la Madzahib Al-Arba’ah, Semarang: CV. Toha
Putra, 1993, h.20.
60. Abdurrahman, Ghazali, Fiqih Munakahat, Jakarta: 2008, h.127.
61. Raja’ Ahmad Ahmad, Diktat kuliyah Dirasah Islamiyah wa al-Arabiyyah li’l
Banat, h. 72.
62. Maulana Zakariya al Kandahlawi, al Muwaththa’‟t.t, h. 287.
63. Pada dasarnya istilah mahar tidak dikenal dalam sumber asli hukum Islam.
Al-quran dalam beberapa kesempatan hanya menyebutnya sebagai sadaqah.
yaitu dalam surat al-Nisa’ 4:4 “Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dan maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yangsedap lagi baik akibatnya”.
64. Al-Dasyuqi, Hasiyah Al-Dasuqy, Bairut: Dar Fikr al-Ilmiyah, 2009, Vol 2, h.
294.
Pemikiran Fikih Maliki Tentang Pernikahan dan Implementasinya dalam UU Perkawinan Aljazair _257
65. Ibid, h. 14.
66. al-Showi, Hasiyah Al Showi, h. 79.
67. Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,
1974, h. 89.
68. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, Bandung: Al-ma’arif, 1997, h. 11.
69. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama Semarang, 1993, h.
65.
70. Ahkam NIkah inda al-Malikiyyah, h. 172.
71. Ibid h. 174.
72. Ibid, h. 189.
73. Ibid, h. 183-184.
74. Lihat UU Keluarga al Jazair dalam Ahkam an Nikah, h. 34.
75. M. Attho’ Muzdhar, Membaca Gelombang Jihat, antara Tradisi dan Liberalisasi,
Yokyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998, h. 179
76. Abdur Rahman al-jaziri, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah, Solo: Toko Kitab
AS, ttp., juz IV, h. 52.
77. Muhammad Ibnu Ali Mahmud Asy-Syaukani, Syarah Nailul Author,
Beirut:Dar Al-Fikr,t.th, Juz 6,h. 2-8.
78. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th,
Juz I,h. 611.
79. M. Ali Hasan, perbandingan mazhab fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2000, cet 2, h. 145-149.
80. Ibid.
81. Zuhaily,Al Fiqhul Islami wa ‘Adilatuhu, Beirut: Daar al Fikr, juz 2, h. 238.
82. Ibid , h. 267.
83. Obid h. 270.
258_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
84. Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj., Depag., 1985, h. 123.
85. Lihat juga: N.J Coulson,MA, Aljazair History of Islamic Law, Edinburgh:
Edinburgh University, 1964, h. 171.
86. ahir Mahmood, Family Reform in the Muslim World, New Delhi: The Indian
law Institute, 1972, h. 129.
87. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Academy of
Law and Religion, 1987, h. 15.
88. Tahir Mahmood, Family Reform…, h. 129.
89. Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Jakarta-Leiden: INIS,
2002, h. 278.
90. Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, jilid IX, h. 6654.
91. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 16-17.
92. Muhammad Jawad Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, Beirut: Dar al ‘Ilmi
lil Malayain, tt. h. 16.
93. Abdur Rahman al-jaziri, al-Fiqh ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Solo: Toko Kitab
AS, tt, juz IV, h. 52.
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _259
Administration Marriage in the Modern
Islamic World
Administrasi Perkawinan di Dunia
Islam Modern
Ahmad Tholabi Kharlie
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
email: [email protected]
Abstract: Based on the demands of today, the regulation on registration of marriages started to
be valid in some Muslim countries. There is only some highlight formalism aspects
of an sich which has no effect on the substance at the level of criminalization which
penalizing the offenders, like criminals. However, in the study of classical fiqh, the
discussion about the registration of marriage can not be found in the literature.
New registration appears when the world development more complex and problems
of human life on the earth becoming complicated. Therefore, the positive marriage
legal provisions applicable in various Muslim countries concerning the registration
of marriage which is a leap of thought in the discourse of family law in the Islamic
world. In the other words, there is point of departure which is not only take the
development format, but more than that, the marriage registration provisions
application has led munakahât to achieve ideal performance and should be appreciated.
Abstraksi : Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, regulasi tentang pencatatan
perkawinan mulai diberlakukan di negeri-negeri muslim mutakhir. Ada yang
hanya sekadar menonjolkan aspek formalisme an sich tanpa berpengaruh terhadap
substansi hingga pada tataran kriminalisasi yang menjatuhkan sanksi kepada para
pelanggarnya, layaknya para pelaku kriminal.Meskipun demikian, dalam kajian
fikih klasik, pembahasan tentang pencatatan perkawinan tidak dapat dijumpai dalam
berbagai literatur. Pencatatan baru mencuat ketika perkembangan dunia kian kompleks
dan problematika kehidupan umat manusia di muka bumi menjadi semakin rumit.
Oleh karena itu, ketentuan hukum perkawinan positif yang berlaku di berbagai negeri
260_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
muslim menyangkut pencatatan perkawinan ini merupakan lompatan pemikiran dalam
diskursus hukum keluarga di dunia Islam mutakhir. Dalam arti kata lain, telah terjadi
keberanjakan (point of departure) yang tidak hanya mengambil bentuk pengembangan
format, namun lebih dari itu, pemberlakuan ketentuan pencatatan perkawinan telah
mengantarkan hukum munakahât mencapai performa yang ideal dan patut diapresiasi.
Keywords: marriage registration, KUA, family law, Islamic world
A.Pendahuluan
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (mîtsâq-an
ghalîzhan).”(QS.Al-Nisâ/4: 21)
Demikian Tuhan menggambarkan kukuhnya tali perkawinan (mîtsâqan ghalîzhatan). Dalam al-Qur’an, istilah serupa muncul pada tiga tempat,1
yakni surat al-Nisâ/4 ayat 21 berkenaan dengan hubungan suami-isteri
(perkawinan), surat al-Nisâ’/4 ayat 154 yang berkisah tentang perjanjian
Allah dengan manusia dalam konteks melaksanakan pesan-pesan
agama, dan surat al-Ahzâb/33 ayat 7 tentang transaksi Tuhan dengan
para Nabi-Nya.
Mengamati ketiga konteks penggunaan terminologi “mîtsâq-an
ghalîzhatan” melempangkan suatu persepsi tentang keluhuran obyek
perikatan. Bagaimana tidak, ketika Tuhan membangun kontrak yang kuat
dengan para kekasih-Nya menyangkut “misi langit” yang Mahaagung,
dan pada saat yang sama Dia pun meniscayakan kesebandingan
keagungannya dengan transaksi antara suami dan isteri dalam ikatan
akad perkawinan.
Jika akad perkawinan dianggap sebagai ikatan yang kukuh,
sebagaimana kukuhnya perjanjian Tuhan dengan manusia dan para nabiNya, maka sejatinya perkawinan menjadi tidak hanya bermakna ritus
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _261
pribadi an sich, namun harus dianggap sebagai peristiwa agung lagi sakral,
baik secara vertikal maupun horizontal. Maka sebagaimana layaknya
suatu perhelatan (transaksi) agung al-Qur’an selalu menganjurkan agar
diabadikan, seperti halnya utang piutang.
Kalau toh transaksi utang-piutang (mudâyanah), yang notabene
merupakan transaksi muamalat, secara khusus mendapat perhatian
nashal-Qur’an dan diabadikan dalam surat al-Baqarah/2 ayat 282, maka
transaksi perkawinan yang jelas-jelas jauh lebih sakral dan memiliki
makna yang sangat adiluhung sejatinya mendapat perhatian yang
proporsional, lebih dari sekadar transaksi jual-beli.
Dalam konteks fikih munakahat klasik, pembahasan tentang
pencatatan perkawinan tidak dapat dijumpai dalam berbagai literatur.
Pencatatan baru mencuat ketika perkembangan dunia kian kompleks dan
problematika kehidupan umat manusia di muka bumi menjadi semakin
rumit. Pertanyaannya, bagaimana sesungguhnya argumentasi normatif
dan celah-celah yang dapat ditembus untuk mendukung pemberlakuan
pencatatan perkawinan ini? Dan seberapa jauh keberanjakan negerinegeri muslim di dunia modern dalam mengimplementasikan regulasi
anyar tersebut?
B.Landasan dan Argumentasi Normatif
Sejauh ini syariah Islam, baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah, tidak
mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini
berbeda dengan ayat muamalat (mudâyanah) yang dalam situasi tertentu
diperintahkan untuk mencatatnya. Oleh karena derasnya perkembangan
zaman, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan yang ada, maka
tidak mengherankan jika hampir seluruh negara di dunia Islam modern
menerapkan peraturan tersebut.2
Pada dasarnya, pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya
yang diatur melalui perundang-undangan dalam rangka melindungi
martabat dan kesucian (mitsâqan ghalîzhatan) perkawinan, dan lebih
262_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
khusus lagi memberikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan
dalam kehidupan keluarga.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta
Nikah, yang masing-masing suami-isteri mendapatkan salinannya,
apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka, atau
salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan
upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masingmasing. Karena dengan akta tersebut, suami-isteri memiliki bukti otentik
atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.3
Pencatatan perkawinan dan aktanya, bagi sebagian masyarakat
tampaknya masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini akibat
pemahaman yang fikih sentris, yang dalam kitab fikih sejauh ini hampir
tidak pernah dibicarakan, sejalan dengan situasi dan kondisi waktu fikih
itu ditulis. Namun, jika kita mencoba memperhatikan ayat mudâyanah
(QS.Al-Baqarah/2: 282) mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik
sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan, secara
redaksional menunjukkan bahwa “pencatatan” (kitâbat) didahulukan
dari pada “kesaksian”, yang dalam perkawinan (persaksian) menjadi
salah satu rukun yang harus dilaksanakan.4
Mengomentari ayat mudâyanah tersebut, Syeikh Muhammad Rasyîd
Ridhâ menilai bahwa, “Demikianlah keberadaan perangkat hukum
dalam ayat ini jauh lebih terang dari pada (cahaya) matahari, baik dari
segi maknanya, maupun dari sisi illat (alasan logis) hukum dan hikmah
(dampak positif) yang terkandung di dalamnya.” 5
Seperti diketahui, kebanyakan mufassir berpendirian bahwa perintah
menuliskan transaksi utang-piutang pada ayat 282 surat al-Baqarah adalah
semata-mata bersifat anjuran (amr li al-nadb) berdasarkan beberapa alasan
berikut ini, pertama, adanya firman Allah yang membolehkan ketiadaan
penulisan akad utang-piutang, dengan alasan karena ikrar mereka
(kreditur dan debitur) yang tetap mengikat meskipun tidak dilakukan
secara tertulis dan atau di hadapan para saksi, dâ’in, dan mudâ’in.
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _263
Kedua, sejak di masa-masa awal Islam dan periode-periode
berikutnya, kenyataan menunjukan bahwa kaum muslimin tidak pernah
mewajibkan transaksi utang-piutang harus dilakukan secara tertulis atau
di hadapan para saksi; mengingat praktik seperti itu kadang-kadang
memang dipraktikkan, tetapi tidak jarang pula pada kesempatan lain
tidak digunakan.
Sekiranya pencatatan utang-piutang itu diharuskan, niscaya mereka,
kaum muslimin, mewajibkan praktik pencatatan utang-piutang ini pada
masanya. Tidak diindahkannya pencatatan utang-piutang oleh kaum
muslimin ini, oleh sebagian ahli tafsir, khususnya al-Râzi, dijadikan
dasar konsensus ulama (ijma’) tentang ketidakharusan menulis utangpiutang (mudâyanah).
Ketiga, keharusan mencatat transaksi utang piutang, yang dinafikan
oleh nash justru hanya akan menimbulkan kesulitan dalam memperlancar
proses jalannya transaksi utang-piutang.
Sebagian ulama lain, di antaranya ‘Atha’ al-Sya’bi dan Ibn Jarîr alThabarî berpendapat bahwa perintah menuliskan transaksi utangpiutang itu adalah wajib. Hal ini didasarkan pada kaidah, “Pada
dasarnya, perintah itu wajib”. Dan inilah yang justru dipedomani oleh
mayoritas ahli hukum Islam. Kaidah ini kemudian disertai dengan
beberapa perintah yang terdapat dalam ayat ini, yang fungsinya tidak
lain hanyalah sebagai penguat.
Buktinya, untuk kasus orang-orang tertentu, dalam hal ini orang idiot
(safah) dan lemah akal, tetap saja diperintahkan supaya mencatat yang
pencatatannya diwakili oleh wali-wali mereka yang berhak. Dan mereka
(orang bodoh dan idiot) itu sama sekali tidak dimaafkan (dispensasi)
untuk tidak menuliskan transaksi utang-piutangnya, terbukti dengan
mengharuskan walinya mendiktekan di hadapan pencatat (notaris).
Penguatan ketentuan semacam ini tidak mungkin terdapat pada hal-hal
yang tidak wajib.6
264_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Pendapat kedua inilah yang kemudian dipilih oleh syaikh
Muhammad ‘‘Abduh, seraya menambahkan beberapa dalil lain dalam
upaya membantah argumentasi kelompok pertama. Alasan mereka
yang mengatakan bahwa kewajiban mencatat transaksi utang-piutang
menyulitkan kaum muslimin dibantah ‘‘Abduh, “Di mana letak
kesulitannya?” Kata ‘Abduh dengan nada tanya. Kalaupun kewajiban
mencatat transaski utang-piutang itu benar-benar akan menimbulkan
kesulitan, maka yang akan terkena pasti hanya sebagian kecil saja dari
kalangan orang-orang dewasa. Anehnya, mengapa mereka tidak merasa
kesulitan dengan keharusan berwudhu yang harus dilakukan oleh setiap
mukallaf setiap hari ketika hendak melaksanakan shalat lima waktu.
Kalau ini tidak memberatkan mengapa pencatatan tersebut justru
memberatkan, ujar ‘Abduh.7
‘Abduh juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan keharusan
menghilangkan kesempitan dan kesulitan oleh nash itu adalah dalam
rangka menghilangkah masyaqah (kepayahan) dan meniadakan
pembebanan kepada mukallaf, akan tetapi yang dimaksudkan
ialah pembebanan itu sendiri bukan dimaksud memberatkan dan
menimbulkan kesulitan itu sendiri bagi orang-orang mukallaf melainkan
pada setiap hukum itu pasti mengandung satu atau beberapa nilai guna
yang justru menghilangkan kesempitan dan kesulitan. Dan dengan ini
pula, kaum muslimin diharapkan dapat meningkatkan keterampilannya,
terutama keahlian tulis-baca. Demikian ‘Abduh.8
Berkenaan dengan konteks perbincangan mengenai pencatatan
perkawinan, sejauh ini tidak dijumpai sumber-sumber fikih yang
menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkawinan dan
membuktikannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada
ayat muamalat tersebut. Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan
perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas dapat
mendatangkan maslahat bagi tegaknya mahligai rumah tangga. Hal ini
sejalan dengan prinsip:
‫النِن َالكاح ِنالَّالبِنوِن وش ِن‬
‫اى َالدبِن َال ْدد ٍلل‬
‫َال َال َال ّ َال َال‬
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _265
‫در املفاسد مقدم على جلب املصاحل‬
“Menolak kemadaratan
kemaslahatan”
lebih
didahulukan
dari
pada
memperoleh
‫تصرف االمام على الرعية منوط باملصلحة‬
“Suatu tindakan (peraturan) pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan
dan kemaslahatan masyarakat”
Selain itu, ada pula hal menarik dalam kajian fikih klasik. Pembahasan
yang relevan dan (agaknya) dapat ditarik ke dalam persoalan pencatatan
perkawinan masa kini adalah regulasi tentang saksi dan pengumuman
perkawinan. Indikatornya dapat dilihat dari kecenderungan ahli fikih
yang menempatkan kedua tema tersebut dalam pembahasan yang
mandiri.9 Kenyataan ini menimbulkan keyakinan, bahwa masalah
perkawinan memang erat kaitannya dengan masalah saksi dan i’lân.10
Pembahasan tentang saksi, dalam literatur fikih klasik, agaknya
cukup beragam namun terkesan dinamis. Hal mana disebabkan para
ulama berbeda pandangan dalam menerjemahkan regulasi saksi dalam
perkawinan ini. Pembahasan tentang saksi menjadi penting ketika
terdapat relevansi kuat dengan persoalan pencatatan perkawinan.
Implikasinya, pandangan-pandangan fikih terhadap keberadaan saksi
dalam perkawinan akan dengan mudah ditarik (hukumnya) dalam
wilayah pencatatan perkawinan.
Imam Abu Hanifah dan pengikutnya (Hanafiyah), misalnya,
berpandangan bahwa saksi adalah salah satu rukun yang harus ada dalam
setiap akad perkawinan.11 Jika tidak, maka perkawinan dianggap tidak
sah. Hal ini berbeda secara diametral dengan pandangan Imam Malik
bin Anas yang menitikberatkan bukan pada sosok saksinya, tetapi pada
fungsi yang diemban oleh para saksi, yakni iklan atau pengumuman.
Maka menurut Malik, saksi tidak termasuk dalam rukun nikah, tetapi
menjadi rukun adalah pengumuman (i’lân).
266_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Senada dengan Hanafiyah, Imam al-Syafi’i juga mengharuskan
adanya saksi dalam perkawinan. Saksi dalam perkawinan haruslah dua
orang pria yang adil. Bahkan, persaksian dua orang saksi bermusuhan
dengan para calon mempelai dapat diterima, dan perkawinannya sah,
dengan catatan tetap adil dan mengakui perkawinan tersebut. Untuk
menunjukkan keharusan adanya saksi dalam perkawinan, al-Syafi’i
menulis sejumlah Hadis dan Âtsâr. Di antara Hadisnya ialah riwayat
Muslim dari Ibnu Abbas, yang mengharuskan saksi yang adil dan wali
dewasa (mursyid), ditambah âtsâr Umar yang tidak mengakui perkawinan
yang hanya dihadiri satu orang saksi pria dan satu saksi wanita. Oleh
Umar, perkawinan semacam ini diketegorikan sebagai perkawinan sirri
yang terlarang.12
Sementara itu Ibnu Qudâmah, salah seorang Hanabilah yang populer,
berpandangan bahwa saksi dalam perkawinan harus ada.13 Saksi dalam
perkawinan, menurut dia, tidak boleh seorang zimmi ataupun wanita.
Tapi dia membolehkan seorang buta bersaksi, dengan syarat mengetahui
benar terhadap suara orang yang tengah melakukan akad perkawinan
itu, dan diperkirakan mengetahui seperti apa yang diketahui oleh
orang yang tidak buta. Di samping harus ada saksi dalam akad nikah,
Ibnu Qudâmah juga mengatakan bahwa disunahkan mengumumkan
perkawinan sehingga orang lain mengetahuinya.
Hukum mengumumkan menurut Ibnu Qudâmah hanya sunnah,
berdasarkan perintah untuk mengadakan pukulan-pukulan gendang
(rebana) dan suara, tetapi perintah ini bukan perintah wajib. Sekiranya
pengumuman menjadi syarat akad, pasti disyaratkan seperti syaratsyarat lain.14 Dengan demikian, Ibnu Qudâmah membedakan antara
saksi dan pengumuman. Saksi merupakan rukun nikah yang harus ada
(wajib) ketika melakukan akad nikah, sedangkan pengumuman adalah
hal lain di luar akad nikah, yang hukumnya hanya sunnah.
Dari pembahasan di atas, tampak bahwa pada prinsipnya semua
ulama tersebut mewajibkan adanya saksi dalam akad nikah, hanya
saja Imam Malik terlihat lebih menekankan fungsi saksi, yakni sebagai
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _267
sarana pengumuman dari pada hanya sekadar hadirnya pada waktu
akad nikah, seperti yang dipegang ulama lain. Akibatnya terkesan Imam
Malik tidak mengharuskan saksi dalam akad nikah.15
Menarik ‘benang merah’ pandangan para fuqaha terkemuka di atas,
membuka jalan tentang pemahaman bahwa, agaknya, persaksian menjadi
hal yang sangat penting, dan oleh karenanya diharuskan. Dan, ini paralel
dengan urgensi regulasi pencatatan perkawinan yang mengandung
fungsi dan kemanfaatan yang serupa. Demikian perspektif fikih klasik.
Dalam perspektif hukum positif, kebijakan pemerintah yang mengatur
tentang pencatatan perkawinan dan dibuktikannya dengan akta nikah –
meminjamistilah teknis dalam epistemologi hukum Islam—refleksi dari
teori istislahatau maslahat mursalat. Hal ini karena meski secara formal
tidak ada ketentuan ayat atau Sunnah yang memerintahkan pencatatan
dalam urusan perkawinan, namun kandungan maslahatnya sejalan
dengan tindakan syarak yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi
manusia. Atau dengan memperhatikan ayat tersebut di atas, dapat
dilakukan analogi (qiyas), karena terdapat kesamaan illat, yakni dampak
negatif yang ditimbulkannya.16
Selain nashal-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat (282) yang mengindikasikan
urgensi pencatatan dalam perkawinan, dalam beberapa kitab Hadis
disebutkan tentang larangan orang menikah dengan sembunyi-sembunyi
(ilegal), seperti, “Janganlah kalian melacur dan melakukan pernikahan sirri.”17
Hadis ini menujukkan tentang kemestian melakukan publikasi terhadap
peristiwa suci tersebut. Karena pada hakikatnya, perkawinan adalah hal
mulia yang patut diiklankan.18
Dalam konteks perbincangan ini, dijumpai sebuah pernyataan Sahabat
Umar bin Khattab yang tidak mengakui keabsahan suatu perkawinan
yang dihadiri oleh satu orang saksi saja.19Âtsâr ini menunjukkan bahwa
perkawinan adalah peristiwa penting dan sakral secara privacy sekaligus
membutuhkan pengakuan publik, karena pada gilirannya nanti akan
bersinggungan dengan persoalan-persoalan publik.
268_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Memang, perkawinan sejatinya merupakan transaksi yang teramat
penting, bahkan jauh lebih penting ketimbang transaksi-transaksi lainnya
dalam kehidupan manusia. Jika suatu transaksi muamalat (mudâyanah)
harus dicatat, bukankah transaksi perkawinan merupakan hal yang lebih
krusial untuk dicatatkan?
Mengapa pencatatan perlu? Meski secara agama atau adat istiadat
perkawinan yang tidak dicatatkan adalah sah, namun di mata hukum
penguasa (hukm al-hâkim) tidak memiliki kekuatan hukum. Perkawinan
yang tidak tercatatkan berdampak sangat merugikan bagi isteri, dan
perempuan pada umumnya. Bagi isteri, dampak hukumnya adalah
tidak dianggap sebagai isteri yang sah karena tidak memiliki Akta Nikah
sebagai bukti hukum yang otentik. Akibat lanjutannya, isteri tidak berhak
atas nafkah dan harta warisan suami jika ia meninggal dunia dan isteri
tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian karena secara
hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.20
Adapun dampak bagi anak adalah status anak yang dilahirkan
dianggap sebagai “anak tidak sah”. Di dalam akta kelahirannya akan
dicantumkan status “anak di luar nikah”. Konsekuensinya, anak hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya,
dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya.
Tentu saja, pencantuman “anak luar nikah” akan berdampak
buruk secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Selain
itu, ketidakjelasan status anak di muka hukum mengakibatkan anak
tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya hidup, dan pendidikan dari
ayahnya. Selain berdampak hukum, perkawinan di “bawah tangan” juga
membawa dampak sosial bagi perempuan. Hal mana, perempuan yang
melakukannya akan sulit bersosialisasi di tengah masyarakat karena
sering dianggap sebagai isteri simpanan atau dianggap “kumpul Kebo”.21
Berdasarkan landasan dan argumentasi normatif di atas, dapat
ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang
perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak. Karena ia memiliki
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _269
landasan metodologis yang cukup kokoh, yakni al-qiyâs dan al-maslahat
al-mursalat,22 yang bahkan (maslahat) dalam pandangan al-Syâthibi
dianggap sebagai dalil qath’i yang dibangun atas dasar kajian induktif
(istiqra’i).
C.Peraturan Perundang-undangan
Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, regulasi tentang
pencatatan perkawinan mulai diberlakukan di negeri-negeri muslim
mutakhir. Ada yang hanya sekadar menonjolkan aspek formalisme
an sich tanpa berbengaruh terhadap substansi hingga pada tataran
kriminalisasi yang menjatuhkan sanksi kepada para pelanggarnya,
layaknya para pelaku kriminal. Berikut akan dikemukakan beberapa
model perundang-undangan di negeri-negeri muslim yang mengatur
masalah pencatatan perkawinan.
Di Indonesia23, ketentuan yang mengatur pencatatan perkawinan—
yang merupakan aspek menonjol dan cukup banyak diperdebatkan
keberadaannya—terdapat dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang No.
1/1974 tentang Perkawinan (UUP), pasal 2-9 Peraturan Pemerintah (PP)
No. 9/1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan No. 1/1974,
dan pasal 5-6 dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/1991 tentang
Komplasi Hukum Islam (KHI).
Pasal 2 ayat (2) UUP menyatakan bahwa, “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”24 Dalam
kaitan ini, pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI menegaskan:25
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undangundang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
270_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Adapun teknis pelaksanaannya dijelaskan dalam pasal 6 ayat (1) dan
(2) KHI sebagai berikut:26
(1) Untuk memenuhi kektentuan di dalam pasal 5, setiap perkawinan
harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Adapun tujuan pencatatan ini disebutkan dalam penjelasan UUP No.
4 Poin (b) paragraf II,
“Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.”27
Dari Ketentuan-ketentuan di atas dapat dipahami bahwa pencatatan
tersebut adalah syarat administratif. Jadi, tujuan pencatatan perkawinan
itu tidak lain semata-mata untuk kepentingan administrasi dan tidak ada
hubungannya dengan persoalan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Dalam arti kata lain, tanpa pencatatan, perkawinan tetap sah, karena
ukuran sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh normanorma agama dari para pihak yang melangsungkan perkawinan.
Pencatatan perkawinan diatur, karena tanpa pencatatan, suatu
perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul
adalah apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak
lain tidak dapat melakukan upaya hukum karena tidak memiliki buktibukti yang sah dan otentik dari perkawinan yang telah dilangsungkan.
Tentu saja, kondisi demikian bertentangan dengan misi dan tujuan yang
terkandung dalam perkawinan itu sendiri.
Lebih lanjut, pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 9/1975 mengatur Pegawai
Pencatat Nikah sebagai pihak yang berhak melakukan pencatatan:28
(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _271
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu
selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan
pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
Jika diperhatikan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam PP
No. 9/1975 itu, yaitu tentang peraturan pelaksanaan perkawinan
terdapat beberapa tahap dalam proses pencatatan perkawinan, yakni
pemberitahuan, penelitian, pengumuman, dan pencatatan.
1. Pemberitahuan Perkawinan
Mengenai pemberitahuan perkawinan ini diuraikan dalam dalam
pasal 3-5 PP No. 9/1975. Pada pasal 3 dikemukakan:29
setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
(1) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurangkurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan.
(2) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2)
disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat
atas nama Bupati Kepala Daerah.
Lebih lanjut pasal 4 PP No. 9/1975 menyebutkan bahwa, “Pemberitahuan
dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang
tua atau wakilnya.” Mengenai pasal ini dijelaskan dalam penjelasan atas
PP No. 9/1975, sebagai berikut,30
“Pada prinsipnya, kehendak untuk melangsungkan perkawinan
272_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
harus dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai,
atau oleh orang tuanya atau wakilnya. Tetapi apabila karena sesuatu
alasan yang sah pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
secara lisan itu tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan dapat
dilakukan secara tertulis. Selain itu maka dapat mewakili calon mempelai
untuk memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinan adalah
wali atau orang lain yang ditunjuk berdasarkan kuasa hukum.”
Jadi, jelaslah bahwa pemberitahuan itu pada dasarnya harus dilakukan
secara lisan, dan karena sesuatu hal pemberitahuan dapat dilakukan
secara tertulis.
Selanjutnya, pasal 5 memuat apa saja yang harus diberitahukan,31
“Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan,
pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang
atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami
terdahulu.”
Dalam penjelasan atas pasal ini dikemukakan,32
“Bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga,
maka dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan,
dicantumkan baik nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi
mereka yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan
nama kecilnya saja ataupun namanya saja.
Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat
dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan.
Hal-hal yang harus dimuat dalam pemberitaan tersebut merupakan
ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya
hal-hal lain, misalnya mengenai wali nikah, bagi mereka yang beragama
Islam.”
2. Penelitian
Mengenai penelitian ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) PP
Nomor 9/1975:
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _273
(1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan
perkawinan menurut undang-undang.
Lebih lanjut ayat (2) mengemukakan hal-hal lain yang diteliti, yakni:
kutipan akta kelahiran, keterangan mengenai nama, agama, pekerjaan,
izin tertulis pengadilan mengenai dispensasi umur dan poligami, dan
lain-lain. Penelitian tersebut kemudian ditulis dalam sebuah daftar yang
telah disediakan (pasal 7 ayat/1 dan/2).
3. Pengumuman
Jika segala persyaratan tentang pemberitahuan telah terpenuhi serta
hasil penelitian menunjukkan tidak terdapatnya halangan permanen,
maka Petugas Pencatat Nikah menyelenggarakan pengumuman
dengan cara menempelkan surat pengumuman memuat formulir yang
ditentukan untuk maksud tersebut pada tempat yang telah ditentukan.
Hal ini ditegaskan dalam pasal 8 PP No. 9/1975 sebagai berikut,33
“Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta
tiada sesuatu halangan perkawinan. Pegawai Pencatat menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut
formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada
suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.”
Adapun yang dimuat dalam formulir pengumuman tersebut
dikemukakan dalam pasal 9:34
(1) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman
dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila
salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama
isteri dan atau suami mereka terdahulu;
(2) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
274_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
4. Pencatatan
Yang dimaksud dengan pencatatan di sini adalah pencatatan dalam
pengertian sempit, yaitu sesuai dengan ayat (3) pasal 11 PP No.9/1975.
perkawinan dicatat secara resmi jika akta perkawinan itu telah
ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang saksi, Petugas Pencatat
Nikah (PPN), dan wali. Selain itu pihak-pihak tersebut harus pula
menandatangani buku daftar perkawinan.
Demikianlah beberapa landasan yuridis yang mengatur pencatatan
perkawinan di Indonesia. Sejauh ini, secara normatif, diktum mengenai
pencatatan perkawinan di Indonesia dalam pandangan ahli hukum sama
sekali tidak terkait dengan persoalan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
Meskipun demikian, tak urung, perdebatan publik mengenai keberadaan
pasal yang pencatatan ini cukup hangat mengemuka.35
Sebagaimana halnya di Indonesia, hukum perkawinan negara
Malaysia36 juga mengharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan
perkawinan. Di antara undang-undang yang mengatur (di samping
berbagai perundangan yang sama berdasarkan wilayah) adalah Undangundang Pinang tahun 1985 pasal 25 yang berbunyi:37
“Perkawinan selepas tarikh yang ditetapkan tiap-tiap orang yang
bermastautin dalam Negeri Pulau Pinang dan perkawinan tiap-tiap
orang yang tinggal di luar negeri tetapi bermastautin dalam Negeri
Pulau Pinang hendaklah didaftarkan mengikuti Enakmen ini.”
Secara prinsipil, proses pencatatan perkawinan dilakukan setelah
selesai akad nikah. Hanya saja dalam tahap operasionalnya proses
pencatatan ada tiga jenis. (1) untuk orang-orang yang tinggal di negara
masing-masing pencatatan dilakukan segera setelah akad, kecuali
Kelantan yang menetapkan 7 hari setelah akad nikah; (2) orang asli
Malaysia yang menikah di kedutaan Malaysia di luar negeri sama dengan
yang tinggal di negeri sendiri. Perbedaannya terletak pada petugas
yang melakukan pencatatan; (3) orang Malaysia yang menikah di luar
negeri tapi bukan di kedutaannya, maka rentang waktu pendaftaran
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _275
adalah enam bulan pasca akad kepada petugas yang ditunjuk kedutaan.
Jika pulang ke Malaysia masih dalam tenggang waktu tersebut dapat
mendaftar di Malaysia.
Jika dicermati, peraturan yang mengharuskan pencatatan perkawinan
di Malaysia berfungsi sebagai syarat administrasi, dan tidak ada
kaitannya dengan sah atau tidaknya akad nikah.
Negara Brunei Darussalam38 juga mengharuskan adanya pendaftaran
(pencatatan) perkawinan, meskipun dilakukan setelah dilangsungkannya
akad nikah. Dan lewat pendaftaran inilah Pegawai Pendaftar memeriksa
kelengkapan administrasi pendaftaran. Hal ini diatur dalam Religious
Council and Kadis Courts pasal 143 ayat (1) dan (2):39
(1) Dalam jangka waktu 7 hari setelah melakukan akad nikah para
pihak diharuskan melapor perkawinan tersebut, yang boleh jadi
para pasangan atau wali.
(2) Pencatat wajib memeriksa apakah seluruh persyaratan perkawinan
sudah terpenuhi sebelum melakukan pencatatan.
Selanjutnya, bagi pihak-pihak yang tidak mendaftarkan
perkawinannya, maka dapat dikenakan sanksi kurungan atau denda.
Ketentuan ini diatur dalam pada pasal 180 ayat (1), “Seorang yang
seharusnya tapi tidak melaporkan perkawinan atau perceraian kepada
Pegawai Pencatat adalah satu pelanggaran yang dapat mengakibatkan
dihukum dengan hukuman penjara atau denda $ 200.”
Sebagaimana halnya Brunei, Singapura40 menerapkan ketentuan yang
mengharuskan pencatatan perkawinan (pasal 102) dan menganggap
tindak melanggar hukum bagi mereka yang tidak mau mencatatkannya
(pasal 130) dan diancam dengan hukuman denda $ 500. Demikian
juga bagi para pihak atau petugas yang melanggar ketentuan ini dapat
dikenakan sanksi yang sama atau penjara 6 bulan (pasal 133).
Pasal 81 Code of Muslim Personal Laws of The Philippines Tahun 1977
mengharuskan warga Filipina41 untuk mencatatkan perkawinan mereka
276_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
yang fungsinya sebagai data administrasi. Tetapi sejauh ini tidak
dijelaskan tentang status dan akibat hukum bagi perkawinan yang tidak
dicatatkan.
Dalam undang-undang Lebanon42(The Law of The Right of The Family
of 16 July 1962) hanya disebutkan, seharusnya pegawai yang berwenang
hadir dan mencatatkan perkawinan (akad nikah). Sebaliknya, tidak ada
penjelasan tentang status dan akibat hukum perkawinan yang tidak
sesuai dengan prosedur ini.43
Sementara itu, masalah pencatatan perkawinan di negara Pakistan44
merupakan salah satu ketentuan yang sangat penting dalam pelaksanaan
perkawinan, sebagaimana halnya di Indonesia. Pemerintah Pakistan
mewajibkan setiap perkawinan untuk dicatatkan.
Ketentuan mengenai wajibnya pencatatan perkawinan ini termuat
dalam Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (The Muslim
Family Laws Ordonance, 1961) seksi 5 ayat (1),45
“Every marriage solemnized under Muslim law shall be registered in
accordance with the provisions of this ordinance.”
“Setiap pekawinan dalam lingkup hukum Islam harus dicatatkan
sesuai dengan peraturan yang berlaku”.
Selanjutnya dalam seksi 5 ayat (2) dinyatakan,46
“For the purpose of registrsation of marriage under this ordinance, The
Union Council shall grant licences to one or more persons, to be called Nikâh
Registrars, but in no case shall more than one Nikâh Registrar be licensed for
any one ward.”
“Untuk tujuan pencatatan perkawinan menurut ordonansi ini,
Majelis Keluarga (The Union Council) akan memberikan surat izin kepada
seseorang atau beberapa orang, yang disebut sebagai Pegawai Pencatat
Nikah (Nikâh Registrar), tetapi dalam suatu kasus tidak diizinkan lebih
dari satu orang Pencatat Nikah untuk satu daerah tertentu.”
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _277
Berdasarkan ketentuan di atas, Majelis Keluargalah yang berhak
mencatat Pegawai Pencatat Nikah yang akan melakukan pencatatan
akad nikah, dan majelis itu memberikan izin untuk melakukan pekerjaan
tersebut hanya kepada satu orang saja pada setiap daerah tertentu.
Pada ayat (3), dijelaskan bahwa setiap perkawinan yang tidak
dilaksanakan oleh Petugas Pencatat Nikah harus dilaporkan kepada
pegawai tersebut oleh orang yang melangsungkan perkawinan tersebut.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka dianggap sebagai perbuatan melawan
hukum (pelanggaran). Dengan demikian, tugas utama Pegawai Pencatat
Nikah adalah mencatat masalah-masalah administratif yang berkaitan
dengan akad nikah, dan dia dapat saja tidak hadir pada saat pelaksanaan
akad nikah tersebut. Lebih jelas dapat dikemukakan seksi 5 ayat (3)
dimaksud,47
“Every marriage not solemnized by the Nikah Registrar shall, for the purpose
of registration under this ordinance, be reported to him by the person who has
solemnized such marriage.”
“Setiap perkawinan yang tidak dihadiri oleh Petugas Pencatat
Nikah, yang dimaksudkan untuk dicatatkan berdasarkan ordonansi ini,
maka yang bersangkutan harus melaporkan peristiwa tersebut kepada
petugas.”
Dalam seksi ini juga dijelaskan, bahwa perkawinan yang tidak
dicatatkan tidaklah dianggap batal, tetap sah. Hanya saja, pihak-pihak
yang berakad dan saksi-saksi yang melanggar ketentuan tersebut
mendapat sanksi karena tidak mencatatkan perkawinan tersebut. Secara
tegas pelanggaran terhadap ketentuan tersebut tertera dalam ayat (4)
seksi 5,48
“Whoever contravenes the provisions of subsection (3) shall be punishable
with simple imprisonment for a term which may extend to three months, or with
fine wich may extend to one thousand rupees, or with both.”
“Barangsiapa yang tidak mengindahkan ketentuan dalam ayat (3)
278_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
akan dihukum dengan kurungan penjara ringan paling lama tiga bulan,
atau denda setinggi-tingginya seribu rupee, atau dengan kedua-duanya.”
Ketentuan hukum—dengan memberikan sanksi—seperti itu sama
sekali tidak bertentangan dengan asas-asas pemikiran pidana Islam
yang justeru memberi hak kepada penguasa untuk memberikan takzir
bila diperlukan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan yang
dikehendaki oleh Syarak.
Di negara Yordania49, ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam
Undang-undang Tahun 1976 pasal 17. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa
mempelai pria berkewajiban untuk mendatangkan qâdhi atau wakilnya
dalam upacara perkawinan.50 Petugas yang berwenang, sebagaimana yang
ditunjuk oleh qâdhi, mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan
sertifikat perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa
pencatatan, maka orang yang mengadakan upacara perkawinan (kedua
mempelai) dan saksi-saksi dapat dikenakan hukuman berdasarkan
“Jordanian Penal Code” dan denda lebih dari 100 dinar.51
Sementara itu di Mesir52, persoalan pencatatan tidak dikemukakan
secara jelas dalam beberapa literatur. Seperti diketahui bahwa negara ini
telah melakukan beberapa amandemen. Ada beberapa hal yang dapat
dikemukakan menyangkut hasil amandemen UU Nomor 100 tahun
1985. dalam amandemen ini dinyatakan bahwa seorang yang akan
menikah harus menjelaskan status perkawinan pada formulir pencatatan
perkawinan.
Bagi yang sudah beristri, harus mencantumkan nama dan alamat
isteri atau isteri-isterinya. Pegawai pencatat harus memberitahukan
istrinya tentang rencana tersebut. Seorang istri yang suaminya menikah
lagi dengan wanita lain, dapat diminta cerai berdasarkan kemudaratan
ekonomi yang diakibatkan poligami dan mengakibatkan tidak mungkin
hidup bersama dengan suaminya. Hak cerai ini dapat berlaku, baik
ditetapkan ataupun tidak, dalam taklik talak. Jika hakim tidak dapat
mendamaikan, maka perceraianlah yang terjadi. Hak isteri minta cerai
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _279
hilang dengan sendirinya kalau ia tidak memintanya selama masa satu
tahun setelah dia mengetahui perkawinan tersebut.53
Di samping itu, hukum keluarga Mesir juga memberitakan ancaman
kepada orang yang memberikan pengakuan palsu kepada pegawai
pencatat tentang status perkawinan atau alamat isteri atau isteri-isterinya,
atau isteri yang dicerai. Seorang pegawai pencatat yang lalai atau gagal
melaksanakan tugasnya dapat dihukum dengan hukuman penjara
maksimal 1 bulan dan hukuman denda maksimal 50 Pound Mesir, dan
pegawai yang bersangkutan dinonaktifkan maksimal selama 1 tahun.54
Mencermati beberapa hal di atas, tampak bahwa persoalan pencatatan
perkawinan di Mesir menjadi bagian penting. Hal ini dapat diamati
dari keberadaan Petugas Pencatat Nikah dan tingkat partisipasi mereka
dalam persoalan administrasi perkawinan.
Di negara Libya55, ketentuan yang menunjuk adanya keharusan
pencatatan perkawinan terdapat dalam pasal 5 Hukum Nomor 10 Tahun
1984 hal mana secara khusus berkaitan langsung dengan persoalan
perkawinan, perceraian, dan konsekuensi yang menyertainya,56
“Marriage shall be proved by an official document or by a ruling of the court.”
“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan dokumen resmi
pemerintah atau pengadilan.”
Ketentuan ini menunjukkan bahwa perkawinan dianggap absah jika
mendapat legitimasi dari pihak-pihak yang berwenang, dalam hal ini
pemerintah dan badan peradilan. Dalam arti kata lain, perkawinan yang
bersifat ilegal (sirri) dan, tentu saja, tidak terdaftar di kantor pemerintahan
dianggap tidak sah. Namun sejauh ini, selain sanksi administrasi, tidak
dijumpai mengenai sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap mereka
yang melakukan perkawinan ilegal.
Pasal 14 Undang-undang Republik Yaman57 No. 20 Tahun
1992 mengharuskan pencatatn perkawinan. Mereka yang tidak
mancatatkannya, paling lambat 7 hari setelah dilangsungkannya akad
nikah, dapat diancam dengan sanksi penjara.
280_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Aljazair58 hanya menetapkan, bahwa akad nikah boleh dilakukan
setelah mendapat pengesahan dari pegawai yang berwenang. Ketentuan
ini diatur dalam UU Aljazair No. 84-11 tahun 1984 pasal 18. Sebaliknya,
tidak ada aturan atau penjelasan tentang status pencatatan perkawinan.
Tunisia59 menetapkan, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan
catatan resmi dari pemerintah (official document) sesuai dengan UU
Tunisia No. 40 Tahun 1957, yang telah diperbarui tahun 1962, 1964, 1966,
dan 1981, pasal 4.
Maroko60 malah mensyaratkan tanda tangan dua notaris untuk
absahnya suatu perkawinan. Selanjutnya, catatan asli harus dibawa
ke pengadilan, dan salinannya dikirim ke Direktoral Pencatatan Sipil.
Demikian halnya istri mendapat catatan asli dan salinan bagi suami,
selama maksimal 15 hari dari akad nikah. Hal ini diatur dalam The Code
of Personal Status Tahun 1957/1958, pasal 42 ayat (6).
Aturan menarik dapat ditemukan dalam UU Syiria61 No. 34 Tahun
1975 pasal 40 ayat (1), yang menetapkan formulir perkawinan harus
disampaikan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan, yang salah satu
aspek dari formulir tersebut adalah keterangan dari dokter bahwa yang
bersangkutan tidak sedang mengidap penyakit menular. Selanjutnya,
perkawinan harus dilakukan di pengadilan, meskpiun dimungkinkan
terjadinya perkawinan di luar pengadilan.
Selaras dengan Syiria, UU Irak (pasal 11 ayat/1, di samping
mengharuskan pencatatan, dalam catatan juga harus dilampirkan surat
keterangan dokter bahwa yang bersangkutan tidak sedang mengidap
penyakit menular. Bersamaan dengan itu, sanksi bagi yang melanggar
aturan pencatatan dibedakan antara yang sudah pernah menikah dengan
yang belum. Yakni minimal 6 bulan dan maksimal 1 tahun penjara atau
denda minimal 300 dinar dan maksimal 1000 dinar bagi yang belum
pernah menikah. Serta minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun penjara
bagi yang sudah menikah.
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _281
Dengan demikian, secara umum undang-undang perkawinan muslim
kontemporer mengharuskan pencatatan perkawinan, kecuali Aljazair
yang tidak mencantumkan aturan tentang pencatatan perkawinan.
Hanya saja dalam rincian keharusan pencatatan perkawinan tersebut
ditemukan keragaman aturan, dan dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok besar.62Pertama, kelompok yang menetapkan pencatatan
sebagai satu keharusan, dan menghukum pihak-pihak yang melanggar,
atau perkawinan yang dilakukan tidak memiliki kekuatan hukum. Yang
termasuk kelompok ini adalah Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam,
Singapura, Mesir, Iran, India, Pakistan, Yordania, Tunisia, Irak, dan
Republik Yaman.
Kedua, kelompok yang menjadikan pencatatan sebagai syarat
administrasi, tetapi tidak menegaskan status dan akibat hukum
perkawinan yang tidak dicatatkan. Yang termasuk kelompok ini adalah
Filipina, Lebanon, Maroko, dan Libya.
Ketiga, kelompok yang meskipun mengharuskan pencatatan tapi
masih mengakui perkawinan yang tidak dicatatkan. Dalam hal ini hanya
Syiria yang masuk dalam kategori ini.
Namun demikian, meskipun telah melakukan upaya agar pencatatan
menjadi syarat sah perkawinan, kelompok pembaru belum mampu
menghadapi kelompok tradisionalis yang menolak upaya tersebut.
Maka dengan demikian, tidak satupun negara muslim yang menjadikan
pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan.
D.Penutup
Ketentuan hukum perkawinan positif yang berlaku di berbagai negeri
muslim menyangkut pencatatan perkawinan merupakan lompatan
pemikiran dalam diskursus hukum keluarga di dunia Islam mutakhir.
Dalam arti kata lain, telah terjadi keberanjakan (departure) yang tidak
hanya mengambil bentuk pengembangan format, namun lebih dari itu,
282_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
pemberlakuan ketentuan pencatatan perkawinan telah mengantarkan
hukum munakahat mencapai performa yang ideal dan patut diapresiasi.
Namun demikian, problematika internal yang kini dihadapi adalah,
munculnya reaksi dari kalangan muslim tradisionalis yang masih kukuh
dengan tradisi pemikiran fikih klasik. Keadaan ini berakibat munculnya
kesan keraguan dalam perundang-undangan. Di Indonesia, misalnya,
menyangkut keabsahan perkawinan, yang diatur dalam UUP, dianggap
oleh para ahli hukum mengandung dualisme. Di satu sisi, perkawinan sah
berdasarkan ketentuan agama dan kepercayaannya. Namun, interpretasi
ini terbantahkan dengan adanya diktum yang meniscayakan keabsahan
perkawinan harus dicatatkan.
Menurut penulis, dualisme semacam itu bisa saja terjadi
terhadap negara-negarayang mengesankan ketidaktegasan dalam
mengimplementasikan ketentuan ini. Ketidaktegasan yang dimaksud
adalah memposisikan ketentuan administratif tersebut sebagai bagian
yang menentukan keabsahan suatu perkawinan. Dan, meskipun masih
terkesan kurang mantap, Pakistan sudah menunjukkan hal yang patut
dihargai. Dengan memberikan sanksi pidana terhadap mereka yang
enggan melakukan pencatatan perkawinan, diharapkan membawa efek
jera (detterent effect) terhadap para pelanggar.
Namun demikian, melihat problematika sosial yang muncul akibat
ketidaktegasan ketentuan ini, menimbulkan persoalan-persoalan
baru yang lebih memusingkan banyak pihak, di antaranya: maraknya
praktik-praktik poligami dan hampir semuanya ilegal (tidak tercatat),
maraknya perkawinan bawah tangan (sirri) dan nikah kontrak, semakin
menjamurnya prostitusi terselubung, ketiadaan akta nikah menyebabkan
terabaikannya hak-hak isteri dan anak, serta ketidakjelasan status
hukum mereka, ketiadaan akta nikah akan menyulitkan pengadaan akta
kelahiran, dan masih banyak lagi problem sosial yang muncul.
Mencermati kenyataan tersebut, maka perlu direkomendasikan halhal berikut: pertama, sejatinya aspek pencatatan dalam perkawinan
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _283
semakin dipertegas dalam diktum keabsahan perkawinan, dan,
kalau perlu disertai sanksi yang memberatkan bagi pihak-pihak yang
melakukan perkawinan tanpa dicatat.
Kedua, pencatatan merupakan salah satu hak sipil warga. Maka, agar
tidak menjadi sumber korupsi, perlu dicarikan prosedur administratif
yang tepat dan terjamin.
Ketiga, selama ini rendahnya pemahaman masyarakat tantang hukum
adalah terletak pada sosialisasi yang tidak memadai. Aspek inilah yang
sesungguhnya ikut menentukan sukses atau tidaknya perundangan
yang berlaku.
284_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1995.
Alami, Daoud L. dan Doreen Hincheliffe, Islamic Marriage and Divorce
Laws of Arab World, London: Kluwer Law International, 1996.
Anas, bin Malik, Al-Muwaththa’, ttp: tp, tt.
Bangsa dan Negara-Negara di Dunia, Jakarta: Direktorat Pelayanan
Penerangan Luar Negeri Departemen Penerangan RI, 1997.
Daulay, Saleh Partanoan, Dinamika Perkembangan Hukum Keluarga di
Dunia Islam, Makalah, Jakarta: Tidak Diterbitkan, 2003.
Esposito, Jhon L., The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, New
York Oxford: Oxford University Press, 1991.
Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan
Agama, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Departemen Agama RI, 2001.
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in The Muslim World, New Delhi:
The Indian Law Institute, 1972.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: The Indian
Law Institute, 1987.
Mardjono, Hartono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan,
Bandung: Mizan, 1997.
Mudzhar, Muhammad Atho, Islam and Islamic Law in Indonesia: A SocioHistorical Approach, Jakarta: Office of Religious Research and
Development, and Training Ministery of Religious Affairs Republic
of Indonesia, 2003.
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _285
Mulia, Siti Musdah, Pokok-Pokok Pikiran Bagi Revisi KHI, Makalah, Jakarta:
Tidak Diterbitkan, 2003.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia
dan Malaysia, Leiden-Jakarta: INIS, 2002.
Qudâmah, bin Muwaffaq al-Dîn Abî Muhammad ‘Abdillâh bin Ahmad,
Al-Mughnî wa al-Syarh al-Kabîr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1984.
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Beirut-Lubnan: Dar
al-Fikr, tt.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000.
Sarakhsî, al Syams al-Dîn, Al-Mabsûth, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1989.
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
Jakarta: UI Press, 1990.
Suma, Muhammad Amin, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers,
2001.
Syâfi’i, al Muhammad bin Idrîs, Al-Umm, ttp: tp, tt.
Tanûkhi, al Al-Imâm Muhammad Sahnûn bin Sa‘îd, Al-Mudawwanat alKubrâ, Beirut: Dar al-Shadir, 1323 H.
286_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Endnotes
1. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000, vol. 2, cet. I,h. 368.
2. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000, h. 107.
3. Ibid,h. 108.
4. Ibid, h. 118.
5. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Beirut-Lubnan: Dar alFikr, tt, juz III, h. 117—132.
6. Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers,
2001, h. 161.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Dapat diambil contoh, apa yang dilakukan Al-Imâm Muhammad Sahnûn
bin Sa‘îd al-Tanûkhi. Dia membahas secara khusus tentang perkawinan
sirri (diam-diam) dan saksi dalam Al-Mudawwanat al-Kubrâ, Beirut: Dar alShadir, 1323 H.
10. Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia,Leiden-Jakarta: INIS, 2002, h. 139.
11. Syams al-Dîn al-Sarakhsî, Al-Mabsûth,, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1989, V, h. 30.
12. Muhammad bin Idrîs al-Syâfi’i, Al-Umm, TTP: TP, TT., V, h. 19.
13. Muwaffaq al-Dîn Abî Muhammad ‘Abdillâh bin Ahmad bin Qudâmah, AlMughnî wa al-Syarh al-Kabîr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1984, VII, h. 340.
14. Ibid, h. 435.
15. Khoiruddin Nasution, Ibid, h. 146.
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _287
16. Ahmad Rofiq, Ibid, h. 121.
17. Periksa dalam Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Nikah, hadis no. 1008, Sunan alNasai, Kitab al-Nikah, hadis no. 3316—17, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Nikah,
hadis no. 1186.
18. Perhatikan hadis-hadis, yang mengimbau agar mengiklankan perkawinan,
dalam Sunan al-Tirmidzi hadis no. 1009, Sunan Ibnu majah hadis no. 1885,
dan Musnad Ahmad hadis no. 15545, dan hadis-hadis yang menghendaki
hadirnya empat unsur dalam akad nikah demi sahnya suatu akad nikah.
Misalnya ada Hadis yang menyatakan,
‫اعلنوا النكاح ولو بالدف‬
19. Lihat dalam Malik bin Anas, Al-Muwaththa’, Kitab al-Nikah, hadis no. 982.
20. Siti Musdah Mulia, “Pokok-Pokok Pikiran Bagi Revisi KHI”, Makalah tidak
Diterbitkan, 2003, h. 3.
21. Ibid.
22. Penggunaan dalil hukum lebih dari satu—seperti dalam kasus di atas—
adalah logis dan masuk akal. Karena semakin banyak landasan dan
argumentasi (dalil) hukum yang digunakan, maka apa yang kita pertahankan
menjadi kian tak terbantahkan.
23. Secara geografis Indonesia terletak di bagian tenggara benua Asia. Meskipun
jumlah penduduknya (203.583.886 jiwa [data 1996]) mayoritas beragama
Islam (87%), namun secara politis Indonesia tidak menerapkan sistem
pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dengan luas wilayah 5.193.250
km2 terdiri dari pelbagai suku, bahasa, budaya, dan agama yang sangat
beragam. Umat Islam di Indonesia sebagian besar menganut mazhab Syafii.
Pengaruh mazhab fikih tersebut begitu kuat mempengaruhi sikap-sikap
keberagamaan masyarakatnya. Lihat dalam Bangsa dan Negara-Negara di
Dunia, Jakarta: Direktorat Ppelayanan Penerangan Luar Negeri Departemen
Penerangan RI, 1997, h. 113—116.
24. Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama,,
Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI,
288_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
2001, cet. I, h. 132.
25. Ibid, h. 319 atau lihat dalam Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia,, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995, cet. II, h. 114.
26. Ibid.
27. Ibid, h. 150.
28. Ibid, h. 159.
29. Ibid,h. 159—160.
30. Ibid, h. 175.
31. Ibid,h. 160
32. Ibid,h. 174
33. Ibid,h. 161.
34. Ibid.
35. Baca gagasan dan kritik beberapa pasal krusial UUP dalam Hartono
Mardjono, Menegakkan Syariat Islam dalam Konteks Keindonesiaan,Bandung:
Mizan, 1997.
36. Terletak di kawasan Asia Tenggara. Negara ini menganut sistem kerajaan,
dengan luas wilayah 329.750 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 19.723.587
jiwa. Lihat dalam Bangsa dan Negara-negara di Dunia, Ibid, h. 201-204.
37. Khoiruddin Nasution, Ibid, h. 150.
38. Terletak di bagian utara pulau Kalimantan. Negara dengan jumlah penduduk
sekitar 292.266 (1995) dan luas wilayah hanya 5.770 km2 ini menganut sistem
kerajaan. Mayoritas penduduknya menganut agama Islam (63%), disusul
Budha (14%), dan Kristen (8%). Lihat dalam Bangsa dan Negara-negara di
Dunia, Ibid, h. 49—50.
39. Tahir Mahmood, Family Law Reform in Thge Muslim World (New Delhi: The
Indian Law Institute, 1972, h. 207.
40. Terletak kawasan Asia Tenggara dengan luas wilayah hanya 581 km2
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _289
dan jumlah penduduk 2.890.468 jiwa. Di negara yang menganut sistem
pemerintahan republik ini agama yang dominan adalah Budha (29%),
Kristen (19%), Islam (16%) dan Tao (13%). Lihat dalam Bangsa dan Negaranegara di Dunia, Ibid, h. 293—294.
41. Terletak kawasan Asia Tenggara dengan luas wilayah 300.000 km2 dan
jumlah penduduk 73.265.584 jiwa. Di negara yang menganut sistem
pemerintahan republik ini agama yang dominan adalah Katolik Roma (83%),
Kristen Protestan (9%), Islam (5%), dan animisme. Lihat dalam Bangsa dan
Negara-negara di Dunia, Ibid, h. 81—84.
42. Terletak di Asia Barat Daya (kawasan Timur Tengah). Negara dengan jumlah
penduduk sekitar 3.695.921 jiwa (1995) dan luas wilayah hanya 10.400 km2
ini menganut sistem republik. Mayoritas penduduknya menganut agama
Islam (95%), disusul Kristen (30%). Lihat dalam Bangsa dan Negara-negara
di Dunia, Ibid, h. 184—187.
43. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: The Indian
Law Institute, 1987, h. 98.
44. Negara yang berbentuk Republik Islam (Islamic Republic of Pakistan)
terletak dibagian selatan Asia. Di sebelah barat berbatasan dengan Iran,
timur dengan India, utara berbatasan dengan Afganistan dan Cina. Luas
wilayah negeri ini 803.943 km2 dengan jumlah penduduk 131.541.920
jiwa (data 1995). Yang beragama Islam berjumlah 97% terdiri dari muslim
berhaluan Sunni sebanyak 77% dan Syiah sebanyak 20%. Lihat dalam
Bangsa dan Negara-negara di Dunia, Ibid, h. 250.
Republik Islam Pakistan adalah negara yang didirikan pada tahun 1947
dengan Islam sebagai raison d’ etre, ternyata hingga sekarang masalah tempat
dan pengertian tentang Islam belum juga terselesaikan. Selisih pandangan
dan benturan pendirian masih terus berlanjut antara kelompok “sekularis”
dan kelompok yang ingin melaksanakan “sistem” politik, ekonomi, dan
sosial Islam. Sejak kelahirannya, negara ini diwarnai dengan pergolakan
politik yang selalu meledak-ledak. Kalaupun toh terjadi kompromisasi,
selalu saja berjalan sesaat.
290_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Dalam UUD 1956 nama resmi negara itu adalah Republik Islam Pakistan.
Namun predikat itu sempat tertanggalkan, karena UUD 1962 menghilangkan
predikat itu. Baru dikembalikan lagi setelah terjadi protes kelas dan meluas
dari masyarakat. Lihat dalam Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara:
Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990, cet. II, h. 228-232
45. Tahir Mahmood, Ibid, h. 258.
46. Ibid.
47. Ibid.
48. Ibid.
49. Yordania merupakan salah satu kerajaan yang terletak di Asia barat.
Penduduknya mayoritas beragama Islam. Sebanyak 95% diantaranya
beraliran Sunni dan bermazhab Hanafi. Selainnya, 4% beragama Kristen
dan 1% lagi gabungan Druze dan Bahai. Lihat dalam atau amati pula dalam
Bangsa dan Negara-negara di Dunia, Ibid, h. 343.
Negara modern Yordania muncul kali pertama pada 1921 sebagai Emiran
Transyordan. Semenjak runtuhnya Dinasti Utsmani pada 1918, Yordania
berada dalam kekuasaan Inggris dan memperoleh kemerdekaannya pada
1946, yang selanjutnya menjadi kerajaan Hasyimiyah Yordania. Mayoritas
penduduk Yordania pada permulaan abad ke-20 adalah petani dan
pedagang yang tinggal di perdesaan. Umumnya mereka adalah penganut
mazhab Hanafi. Perhatiakan Esposito, Jhon L., The Oxford Encyclopedia of
Modern Islamic World, New York Oxford: Oxford University Press, 1991
Hingga tahun 1951, Yordania masih menggunakan hukum keluarga Turki
Utsmani sampai diundangkannya Undang-undang Hak-hak Keluarga
No. 92 tahun 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perkawinan,
perceraian, mahar, pemenuhan nafkah, dan pemeiliharaan anak. Undangundang ini, dengan demikian, sekaligus mencabut ketentuan yang terdapat
pada hukum Turki Usmani.
Pada perkembangan selanjutnya, Undang-undang hak-hak Keluarga tahun
1951 diganti dengan Undang-undang Status Personal Yodan 1976 yang
disebut dengan “Qânûn al-Ahwâl al-Syakhshiyyah”. Undang-undang ini
Administrasi Perkawinan di Dunia Islam Modern _291
didominasi oleh paham mazhab Hanafi sebagai hukum tidak tertulis yang
masih tetap berlaku. Amandemen berikutnya dilakukan pada tahun 1977
yang menghasilkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1977. Lihat dalam
http://law.emory.edu /IFL/legal/jordan.htm
50. Tahir mahmood, ibid, h. 80—81.
51. Saleh Partanoan Daulay, Dinamika Perkembangan Hukum Keluarga di Dunia
Islam, Makalah, Jakarta: Tidak Diterbitkan, 2003, h. 19.
52. Mesir adalah negara yang terletak di Afrika Utara dengan mayoritas
penduduk beragama Islam (96%). Ada beberapa kelompok minoritas
religius (4%) seperti Kristen Koptik, Katolik, Protestan, dan sedikit yahudi.
Sejak awal perkembangan hokum Islam, Mesir merupakan tempat kedua
sekaligus pusat penyebaran mazhab Syafii. Namun belakangan, setelah
menjadi bagian propinsi Dinasti Usmani, Mesir mengadopsi sistem hukum
yang bersumber dari mazhab Hanfi. Lihat dalam http://www.law.emory.
edu/IFL/legal/egypt.htm.
53. Daoud L. Alami dan Doreen Hincheliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of
Arab World, London: Kluwer Law International, 1996, h. 58.
54. Ibid. Atau lihat dalam Saleh, Ibid, h. 15.
55. Republik Rakyat Sosialis Libya, Socialist People’s Libyan Arab Republik,
terletak di utara benua Afrika dengan luas wilayah 1.759 km2 yang dihuni
sekitar 5.248.401 jiwa (1995). Dari 97% penduduk muslim seluruhnya
bermazhab Sunni dan sisanya 3% menganut agama Kristen. Lihat dalam
Bangsa dan Negara-negara di Dunia, Ibid, h. 192-194.
56. Ibid, h. 182.
57. Terletak di kawasan Barat Daya Jazirah Arab. Negara dengan jumlah
penduduk sekitar 14.728.474 jiwa (1995) dan luas wilayah 527.960 km2 ini
menganut sistem republik. Seluruh penduduk negara ini menganut agama
Islam (100%). Lihat dalam Bangsa dan Negara-negara di Dunia, Ibid, h.
342—343
292_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
58. Terletak di Afrika Barat Daya. Negara dengan jumlah penduduk sekitar
28.539.321 jiwa (1995) dan luas wilayah 2.381.741 km2 ini menganut sistem
republik. Mayoritas penduduknya menganut agama Islam (99%). Lihat
dalam Bangsa dan Negara-negara di Dunia, Ibid, h. 9-12.
59. Terletak di kawasan Afrika Utara. Negara dengan jumlah penduduk sekitar
8.879.845 jiwa (1995) dan luas wilayah hanya 163.610 km2 ini menganut
sistem republik. Mayoritas penduduknya menganut agama Islam (98%) dan
lain-lainya (2%). Lihat dalam Bangsa dan Negara-negara di Dunia, Ibid, h.
323—324.
60. Terletak di kawasan Afrika. Negara dengan jumlah penduduk sekitar
29.168.848 jiwa (1995) dan luas wilayah hanya 712.550 km2 ini menganut
sistem kerajaan. Mayoritas penduduknya menganut agama Islam (99%)
dan lainnya (1%). Lihat dalam Bangsa dan Negara-negara di Dunia, Ibid, h.
211—212.
61. Syiria atau Suriah terletak di Asia Barat Daya (kawasan Timur Tengah).
Negara dengan jumlah penduduk sekitar 15.451. 971 jiwa (1995) dan
luas wilayah 185.180 km2 ini menganut sistem republik Islam. Mayoritas
penduduknya menganut agama Islam Sunni (74%), Islam golongan lain
(16%), Kristen (10%).. Lihat dalam Bangsa dan Negara-negara di Dunia, Ibid,
h. 309—310.
62. Khorudin Nasution, Ibid, h. 158.
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _293
Implementation of Maqâshid Al-Syarî’ah in
Decision of Bahts Al-Masâ’il on Interfaith
Marriage
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan
Bahts Al-Masâ’il tentang Perkawinan Beda Agama
Ali Mutakin
Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Iman Parung Bogor
Email: [email protected]
Abstract : Marriage formed tocreatea nuanced offamily in harmony, happy and prosperous(sakinah
mawaddah wa Rahmah). Harmonious family, happy and prosperous marriage reflects
area lization al-Usul al-khamsah or maqasidal-shari’ah. While interfaith marriage
(between Muslims and non-Muslims include poly the ists and Ahlal-Kitab), isone of the
emergence factors of various conflict that can be a threat of the harmony, happiness and
well-being ofthe household. On the other hands, interfaith marriage also allegedly would
be a threat forreligious practice (apostasy) forone of the bride and groom. Based on this,
Bahtsul-Masa’il decideprohibition of the practice of any form of interfaith marriage.
Abstrak :
Perkawinan dibentuk untuk menciptakan keluarga yang bernuansa harmonis,
bahagia dan sejahtera (sakînah mawaddah wa rahmah). Keluarga harmonis,
bahagia dan sejahtera merupakan perkawinan yang mencerminkan terwujudnya alushûl al-khamsah atau maqâshid al-syarî‘ah. Sedangkan perkawinan beda agama
(antara Muslim dengan non-Muslim yang mencakup Musyrik dan Ahl al-Kitâb),
merupakan salah satu faktor munculnya berbagai konflik yang akan mengancam
keharmonisan, kebahagiaan dan kesejahteraan rumah tangga. Di samping itu,
perkawinan beda agama juga disinyalir akan mengancam praktek keagamaan
(murtad) bagi salah satu kedua mempelai. Berdasarkan hal tersebut, Bahts alMasâ’il memutuskan keharaman praktek perkawinan beda agama apapun bentuknya.
Keywords: Bahts al-Masâ’il, Interfaith Marriage, Maqâshid al-Syarî‘ah
294_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
A.Pendahuluan
Perkawinan beda agama sebagai fakta sosial bukanlah isu baru. Para
sarjana muslim di setiap zaman merespon fenomena ini dengan beragam
pendapat. Walhasil, diskursus perkawinan beda agama menjadi bagian
penting dalam perjalanan pemikiran Islam hingga sekarang.
Berbagai fatwa dan pendapat mengemuka, dengan beragam alasan
dan dasar istinbath hukum. Dalil yang sering dikedepankan adalah surat
al-Baqarah/2 ayat 221 dan surat al-Mumtahanah/60 ayat 10. Para ulama
sepakat bahwa wanita Muslimah tidak boleh (haram) dinikahkan dengan
lelaki non-Muslim, baik dari kelompok Musyrik (penyembah berhala)
maupun Ahl al-Kitâb.1
Secara historis perkawinan beda agama ini telah terjadi di kalangan
umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW. kemudian zaman
sahabat, tabi’in hingga masa-masa berikutnya dan berlanjut sampai
sekarang. Lebih-lebih dalam konteks masyarakat yang plural dan
heterogen, seperti di negara Indonesia, yang merupakan bangsa
multikultural dan multiagama.
Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama
yang diakui secara sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu,
Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain.2 Sensus penduduk tahun 1980
menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia
(88,2 % dari 145 juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3%),
Hindu (2,1 %), dan Budha (0,9 %). Oleh karena itu, perkawinan beda
agama menjadi sebuah fakta yang wajar dan sangat mungkin terjadi.3
Bagi masyarakat Indonesia, perkawinan beda agama juga menjadi pro
dan kontra. Meski bukan negara Islam, namun mayoritas penduduknya
adalah muslim. Di samping itu, Indonesia juga menjadi wadah yang
ramah terhadap beragam pandangan madzhab, termasuk dalam hal
perkawinan beda agama. Karena itulah, pro dan kontra selalu menghiasi
setiap cerita di kehidupan bermasyarakat.
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _295
Fakta ini misalnya dapat dijumpai di Provinsi Yogyakarta. Berdasarkan
hasil sensus perkawinan beda agama antara tahun 1990 dan 2000 di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan melting
pot atau wadah peleburan identitas budaya, menunjukkan bahwa di
DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus
perkawinan beda agama dari 1000 kasus perkawinan yang tercatat. Pada
tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan trend-nya menurun menjadi 12
kasus pada tahun 2000. Tahun 1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun
1990 (19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000).
Hasil sensus tersebut menunjukkan bahwa laki-laki cenderung
melakukan perkawinan beda agama dibanding perempuan. Angka
perkawinan beda agama, sesuai sensus 1980, 1990 dan 2000, paling
rendah terjadi di kalangan Muslim (di bawah 1%). Hal ini menunjukan
bahwa semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam, maka pilihan
kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi penganut
agama yang minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin dengan
pasangan seagama juga semakin kecil. Dengan demikian untuk menikah
beda agama, bagi penganut agama yang “minoritas,” kemungkinannya
semakin besar.4
Pro dan kontra seputar perkawinan beda agama juga mendapat respon
dari kalangan ormas Islam, khususnya Nahdlatul Ulama. Sebagai ormas
Islam yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat, NU telah beberapa kali
mengadakan kajian tentang perkawinan beda agama ini melalui bahts
al-masâ’il.
Sebagai kajian akademis, bahts al-masâ’il bagi keluarga besar Nahdlatul
Ulama (NU) merupakan tradisi intelektual yang berkembang sejak lama,
ada sebelum NU berdiri. Sebagai gambaran, tradisi diskusi di kalangan
pesantren melibatkan kiyai dan santri sebelum NU berdiri. Ketika NU
resmi berdiri, tradisi ini terjaga hingga kini dan menjadi wadah bagi para
ulama dalam merumuskan ijtihad atas tema-tema tertentu yang actual di
masyarakat.
296_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
B.Kerangka Teori
1. Konsep Maqâshid al-Syarî‘ah
Tujuan syari’at atau Maqâshid al-Syarî’ah berintikan mewujudkan
kemaslahatan, baik dengan cara menarik manfaat (jalb al-manâfi‘) maupun
mencegah kerusakan (dar’u al-mafâsid). Kemaslahatan akan terwujud jika
lima unsur pokok (ushûl al-khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara.
Kelima unsur pokok tersebut adalah al-dîn (agama), al-nafs (jiwa), al-‘aql
(akal), al-nasl (keturunan), dan al-mâl (harta).5 Guna mewujudkan serta
memelihara ushûl al-khamsah tersebut, maka maslahat dibagi kepada tiga
tingkatan kepentingan, yaitu mashlahah al-dharûriyât, mashlahah al-hâjiyât
dan mashlahah al-tahsîniyât.
Mashlahah al-Dharûriyât merupakan maslahat yang bersifat esensial
atau primer, dimana kehidupan manusia sangat tergantung padanya,
baik kehidupan di akhirat maupun kehidupan di dunia. Ini merupakan
sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan manusia dan
merupakan tingkat maslahat yang paling tinggi. Tidak terpenuhinya
maslahat tersebut, maka mengakibatkan terancamnya eksistensi
kehidupan di dunia maupun di akhirat. Guna menjaga maslahat ini
ada dua solusi yakni, pertama merealisasikan dan mewujudkanya, kedua
memelihara kelestarianya. Contoh menjaga agama (hifzh al-dîn) dengan
merealisasikan dan melaksanakan kewajiban-kewajiban agama seperti
beriman, mengucapkan dua kalimah syahâdah, melaksanakan shalat,
menunaikan zakat, puasa, haji dan lain sebagainya, serta memelihara
kelestarian agama dengan berjihad menegakkan al-amru bi al-ma’rûf wa
al-nahyi ‘an al-munkar.6
Mashlahah
al-Hâjiyât
merupakan
maslahat
yang
bersifat
menyempurnakan atau sekunder, dimana kemaslahatan tersebut
dibutuhkan oleh manusia untuk mempermudah dalam kehidupan
dan menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak
terealisasinya maslahat ini akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan
yang berimplikasi tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _297
manusia. Contoh dalam bidang ibadah, diberikanya rukhshah meringkas
(qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang sakit dan musâfir.7
Mashlahah al-Tahsîniyât merupakan maslahat yang bersifat pelengkap
atau tersier, dimana kemaslahatan tersebut sebagai penunjang tingkat
martabat (muru’ah) guna meraih kabaikan dan akhlak yang mulia.
Tidak adanya maslahat ini, tidak sampai merusak, mengancam ataupun
menyulitkan kehidupan manusia. Contoh dalam bidang ibadah,
menghilangkan najis, menutupi aurat, berpakaian yang bagus-bagus,
melakukan ibadah-ibadah sunah.8
Pembagian kemaslahatan ini perlu dilakukan guna menentukan
tingkat kebutuhan dan skala prioritas dalam mengambil suatu
kemaslahatan. Dalam hal ini berarti kemaslahatan tingkat al-dharûriyât
lebih didahulukan daripada kemaslahatan tingkat al-hâjiyât, dan
kemaslahatan tingkat al-hâjiyât lebih didahukan daripada kemaslahatan
tingkat al-tahsîniyât.
2. Bahts al-Masâ’il dalam Nahdlatul Ulama
Sebagaimana dipaparkan di awal, bahwa bahts al-masâ’il di kalangan
Nahdlatul Ulama (NU) diyakini sebagai tradisi intelektual, tumbuh
dan berkembang sebelum NU berdiri, kemudian dilestarikan dan
dilembagakan pasca NU berdiri. Sebetulnya Bahts al-Masâ’il telah
berkembang di tengah masyarakat Muslim tradisional pesantren jauh
sebelum tahun 1926 dimana NU didirikan. Saat itu sudah ada tradisi
diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiyai dan santri yang
hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul
Oelama). Dalam buletin LINO, selain memuat hasil Bahts al-Masâ’il juga
menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang
kiyai menulis ditanggapi kiyai lain, begitu seterusnya.9
Menurut Martin van Bruinessen, tradisi Bahts al-Masâ’il yang
berkembang di kalangan NU bukanlah murni dari gagasan para kyai
dan ulama NU. Melainkan tradisi yang diimpor dari Tanah Suci Makkah.
Tradisi tersebut sudah ada di Tanah Suci Makkah yang disebut dengan
298_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
tradisi halaqah.10 Tradisi halaqah inilah yang diadopsi oleh para santri
Indonesia yang belajar di Tanah Suci Makkah, ketika mereka pulang ke
tanah air Indonesia, sistem halaqah diterapkan di lembaga pendidikan
pesantren guna mengkaji persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.
Adapun sistem pengambilan keputusan dalam Bahts al-Masâ’il
Nahdlatul Ulama dirumuskan dalam tiga prosedur.
a. Prosedur Pemilihan Qawl/Wajah
1) Ketika dijumpai beberapa qawl/wajah (pendapat) dalam satu
masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu
pendapat.
2) Pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan tata urutan
sebagai berikut:
a) Dengan mengambil pendapat yang lebih mashlahah dan
atau yang lebih kuat.
b) Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan
Muktamar NU ke-I, bahwa perbedaan pendapat diselesaikan
dengan memilih:
• Pendapat yang disepakati oleh al-Syaykhân (Nawawi
dan Rafi’i)
• Pendapat yang dipegangi oleh Nawawi saja
• Pendapat yang dipegangi oleh Rafi’i saja
• Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
• Pendapat ulama terpandai
• Pendapat ulama yang paling warâ‘
b. Prosedur Ilhâq
Dalam hal ketika suatu masalah atau kasus belum dipecahkan dalam
kitab, maka masalah atau kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur
ilhâq al-Masâ’il bi Nazhâ’irihâ (mempersamakan hukum suatu kasus yang
belum ada ketentuan hukumnya dengan kasus yang mirip yang telah
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _299
ada ketentuan hukumnya dalam kitab fikih) secara jamâ‘i (kolektif). Ilhâq
dilakukan dengan memperhatikan mulhaq bih (kasus yang telah ada
ketentuan hukumnya dalam kitab-kitab fikih), mulhaq ilayh (kasus yang
hendak dicari hukumnya atau dipersamakan hukumnya) dan wajh alilhâq (sifat yang mempertemukan antara mulhaq bih dengan mulhaq ilayh)
oleh para mulhiq (ulama penggali hukum) yang ahli.
c. Prosedur Istinbâth
Dalam hal ketika tak mungkin dilakukan al-ilhâq karena tidak adanya
mulhaq bih dan wajh al-ilhâq (sisi persamaannya) sama sekali di dalam kitab,
maka dilakukan istinbâth secara jamâ’i yaitu dengan mempraktekkan
qawâ’id al-ushûliyyah dan qawâ’id al-fiqhiyyah oleh para ahlinya.11
3. Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan Fikih
a. Wanita Muslimah dengan lelaki non-Muslim (Musyrik dan Ahl
al-Kitâb)
Para ulama sepakat bahwa wanita Muslimah tidak boleh (haram)
dinikahkan dengan lelaki non-Muslim, baik dari kelompok Musyrik
(penyembah berhala) maupun Ahl al-Kitâb.12 Pengharaman ini
berdasarkan surat al-Baqarah/2 ayat 221 dan surat al-Mumtahanah/60
ayat 10.
Larangan atau pengharaman wanita Muslimah menikah dengan lelaki
Musyrik, meskipun pandangan mayoritas ulama tidak memasukan
Ahl-al-Kitâb dalam kelompok yang dinamai Musyrik, bukan berarti
ada izin untuk pria Ahl al-Kitâb mengawini wanita Muslimah. Menurut
surat al-Baqarah/2 ayat 221 larangan tersebut berlanjut hingga mereka
beriman, sedangkan Ahl al-Kitâb tidak dinilai beriman dengan iman yang
dibenarkan Islam. Bukankah mereka –walau tidak dinamai Musyrik –
dimasukan ke dalam kelompok Kafir? Ini dapat dipahami pula dari
surat al-Mumtahanah/60 ayat 10 bahwa wanita-wanita Muslimah
tidak diperkenankan juga mengawini atau dikawinkan dengan pria
300_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Ahl al-Kitâb. Dalam ayat tersebut meskipun tidak menyebutkan istilah
Ahl al-Kitâb, tetapi menyebutkan istilah al-Kawâfir “orang-orang kafir”,
sedangkan Ahl al-Kitâb adalah termasuk salah satu kelompok orangorang Kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak menyebut Ahl
al-Kitâb, namun ketidakhalalan tersebut tercakup dalam kata al-Kawâfir
“orang-orang kafir.”13
b. Laki-laki Muslim dengan wanita Musyrik
Para ulama sepakat bahwa laki-laki Muslim dilarang menikahi wanitawanita Musyrik (penyembah berhala).14 keharaman ini sebagaimana
wanita Muslimah haram menikah dengan lelaki Musyrik. Berdasarkan
surat al-Baqarah/2 ayat 221. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa bagi
seorang Muslim haram melakukan pernikahan dengan orang Musyrik,
baik laki-laki maupun Wanita, karena antara orang Muslim dengan orang
Musyrik terdapat perbedaan yang sangat mendasar tentang masalah
keyakinan (i’tiqâdiyah) yang tidak mungkin dapat dipertemukan, yakni
antara ketauhidan dan keberhalaan. Hal ini tentu mengakibatkan
keluarga sakînah mawaddah wa rahmah yang merupakan harapan dari
sebuah ikatan perkawinan tidak akan pernah terwujud.
Menurut Rasyîd Ridhâ, yang dimaksud orang Musyrik sabagaimana
dalam ayat tersebut adalah orang Musyrik Arab saja pada masa Nabi.15
Hal ini ditunjukan dengan redaksi dalam surat al-Baqarah/2 ayat 221,
disamping melarang pernikahan dengan orang Musyrik juga diikuti
anjuran menikah dengan budak. Jelas konteksnya adalah orangorang Musyrik Arab zaman Nabi, dan sekarang sudah tidak ada lagi
sebagaimana halnya budak.16 Jika diperhatikan, bentuk ungkapan “almusyrikât dan al-musyrikîn” tersebut menggunakan ungkapan plural
dan diimbuhi al-ma‘rifah (the definite article). Dalam ilmu tata bahasa
(gramatikal) Arab, bentuk ini menerangkan keseluruhan (li al-istaghrâq).
Dari sini dapat dipahami bahwa larangan perkawinan dengan wanita
Musyrik tanpa pandang bulu dan batas regional, apakah itu dari Musyrik
Arab atau bukan.
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _301
c. Laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitâb
Berdasarkan zhâhir nash dalam surat al-Mâ’idah/5 ayat 5, perkawinan
antara lelaki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitâb hukumnya boleh.
Menurut jumhur ulama, kebolehan pria Muslim menikah dengan
wanita Ahl al-Kitâb adalah bahwa Ahl al-Kitâb merupakan kelompok
tersendiri yang berbeda dari golongan Musyrik meskipun masih dalam
kategori golongan Kafir. Kemusyrikan dan kekufuranya berbeda dari
kemusyrikan kelompok yang lain. Semua ini dapat dipahami dari
penyebutan lafad Ahl al-Kitâb dihubungkan (ma‘thûf) dengan lafad almusyrikîn dalam surat al-Bayyinah/98 ayat 1. Sedangkan penghubungan
dengan menggunakan huruf “‘athaf waw” memberikan petunjuk bahwa
terdapat perbedaan antar Ahl al-Kitâb dengan Musyrik.17
C.Keputusan Lajnah Bahts al-Masâ’il Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama
NU mengeluarkan fatwa tentang perkawinan beda agama, sebanyak
tiga kali. Pertama oleh Keputusan Konferensi Besar Pengurus Besar Syuriah
Nahdlatul Ulama Ke-1 di Jakarta yang diselenggarakan pada tanggal
21-25 Syawwal 1379 H/18-22 April 1960 M. Dalam Konferensi tersebut
diputuskan bahwa perkawinan antara lelaki Muslim dengan perempuan
Kafir hukumnya tidak boleh/haram dan tidak sah. Keharaman ini apabila
perempuan kafir tersebut bukan Kafir Kitabi yang asli.18 Dasar hukum
yang diambil oleh NU adalah Kitab Tuhfah al-Thullâb bi Syarh al-Tahrîr dan
Hâsyiyah al-Syarqawi juz II. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa hanya
perempuan Ahl al-Kitâb yang asli saja perkawinan beda agama ini boleh
dilaksanakan, yang berarti halal. Adapun Ahl al-Kitâb menurut Zakariya
al-Anshârî ada dua, yaitu Isrâiliyah dan bukan Isrâiliyah. Wanita-wanita
isrâiliyah tersebut boleh dinikahi apabila orang tuanya masuk ke dalam
agama tersebut sebelum dinaskh dengan kerasulan Nabi Muhammad.
Sebaliknya, apabila orang tuanya masuk ke agama tersebut setelah
dinaskh dengan kerasulan Nabi Muhammad maka hukumnya tidak
boleh dan haram. Wanita-wanita yang dimaksud adalah anak cucu Yakub
302_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
ibn Ishâq ibn Ibrâhîm. Sedangkan wanita-wanita yang bukan Isrîiliyah,
boleh dinikahi apabila agama orang tuanya diketahui bahwa agama yang
dianutnya tersebut belum dinaskh dengan kerasulan Nabi Muhammad.
Adapun yang dimaksud dengan wanita bukan Isrâiliyah adalah orangorang Arab dan sekitarnya (‘Ajam) seperti Turki yang mengikuti agama
Yahudi dan Nasrani.19 Dengan kata lain, bahwa boleh menikahi wanita
Ahl al-Kitâb dengan catatan nenek moyangnya sudah menjadi Ahl alKitâb sejak masa Nabi Muhammad. Jadi, bolehnya menikahi mereka
karena menghormati asal usul keturunannya saja. Hal ini ditunjukan
dengan kata min qablikum (dari sebelum kamu) ayat yang dijadikan dasar
kebolehan menikahi wanita-wanita Ahl al-Kitâb (QS. al-Mâ’idah/5 ayat 5.
Kedua Keputusan Muktamar Ke-IV Jam’iyah Thariqah Mu’tabarah di
Semarang pada tanggal 4-7 Sya’ban 1388 H/28-30 Oktober 1968 M. Dalam
Muktamar tersebut juga menyepakati tentang tidak sahnya perkawinan
seorang Muslim dengan wanita Kristen, meskipun dilakukan dengan
dua kali akad. Begitu juga sebaliknya, seorang wanita Muslimah dengan
seorang lelaki non-Muslim tidak sah. Dan walinya haram melakukan
perkawinan tersebut, sebab telah melakukan akad yang batal, sesuai
dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama.20 Keputusan tersebut
berdasarkan kedua kitab Fath al-Mu‘în dan I‘ânah al-Thâlibîn. Dalam
kedua kitab tersebut, dijelaskan bahwa termasuk salah satu syarat bagi
mempelai wanita adalah harus beragama Islam atau tergolong wanita
Kitâbiyah murni, yakni Yahudi dan Nasrani. Kebolehan dengan wanita
Kitâbiyah inipun ada indikasi makruh. Hal ini menunjukan bahwa
kesamaan agama atau akidah bagi kedua mempelai merupakan salah
satu asas perkawinan Islam. Karena tujuan perkawinan adalah untuk
mencari ketenangan dan kebahagiaan jiwa berdasarkan syari’at, untuk
menggapai keridlaan Tuhan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
wanita Kitâbiyah yang murni diperbolehkan karena ada kesamaan akidah
yakni mereka hanya mengakui Tuhan satu; Allah. Bagi Kitâbiyah yang
akidahnya sudah terkontaminasi dengan keyakinan trinitas, maka tidak
halal. Dengan demikian, pada dasarnya perkawinan dengan Kitâbiyah
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _303
juga dilarang, hal ini ditunjukan dengan adanya indikasi makruh
menikahinya.
Ketiga, Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-28 di Yogyakarta
pada tanggal 26-29 Rabi’ul Awal 1410 H/25-28 Nopember 1989 M. Pada
dasarnya keputusan Muktamar ini sebagai pengukuhan atas keputusankeputusan sebelumnya, yakni Keputusan Konbes ke-1 di Jakarta 1960
dan Keputusan Muktamar Ke-IV Jam’iyah Thariqah Mu’tabarah di
Semarang 1968. Begitu juga dengan landasan keputusan hukum tersebut,
tidak jauh berbeda dengan kedua keputusan sebelumnya. Yakni kitab alSyarqâwî ‘Alâ al-Tahrîr, ditambah kitab al-Muhadzdzab. Keputusan yang
sudah disepakati tersebut menyatakan bahwa hukum pernikahan antara
dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
D.Implementasi Teori Maqâshid al-Syarî’ah dalam Perkawinan Beda Agama
1. Hifzh al-Dîn
Menurut KH. Arwani, salah satu hikmah dibolehkannya menikah
dengan wanita Ahl al-Kitâb adalah kalau lelakinya itu Muslim maka lelaki
itu akan mengatur rumah tangganya. Dan lelaki yang menjadi pemimpin
rumah tangga tidak akan mudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran Ahl alKitâb. Dengan demikian suami Muslim mampu membina pendidikan
anak-anaknya secara Islami.21
Sedangkan KH. Zulfa mengatakan bahwa hikmah dibolehkannya
lelaki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitâb adalah untuk
berdakwah kepada mereka. Dengan harapan mereka bisa mengikuti
agama yang dianut suaminya, Islam.22 Jika kondisi justeru sebaliknya,
isteri (Ahl al-Kitâb) yang berperan aktif dalam mengatur rumah
tangganya, atau justeru suami (Muslim) akan terbawa kepada agama
yang dianut isterinya (Ahl al-Kitâb), maka hukum boleh (mubâh) dapat
berubah menjadi haram. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaltût
bahwa ketika Allah melarang wanita Muslimah menikah dengan lelaki
Ahl al-Kitâb karena untuk menjaga pengaruh kekuasaan dan dominasi
304_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
suaminya terhadap wanita muslimah, maka Islam juga memandang
bahwa sesungguhnya jika pria Muslim telah bergeser dari posisi yang
semestinya dalam keluarga, dan menyerahkan urusan keluarga kepada
isterinya yang bukan Islam, maka Islam melarangnya untuk mengawini
wanita Kitâbiyah tersebut.23
Larangan perkawinan tersebut sudah dimulai pada masa sahabat,
‘Umar ibn Khaththab adalah salah satu sahabat yang melarang
perkawinan beda agama24 dengan alasan siyâsah syar‘iyyah. Beliau
menghimbau kepada para sahabat untuk tidak megawini wanita Ahl
al-Kitâb karena kekhawatiranya terhadap sikap lelaki Muslim yang
lebih cenderung memilih wanita Kitâbiyah karena kecantikanya dari
pada wanita Muslimah, sehingga akan menimbulkan fitnah dikalangan
wanita Muslimah. Larangan ‘Umar ibn Khaththab jika diperhatikan
hanyalah untuk menghindari mafsadah atau bahaya. Bahaya yang akan
ditimbulkan akibat perkawinan beda agama dipandang lebih besar dari
pada manfaat yang akan didapatkanya. Dalam kajian qawâ’id al-ushuliyyah
metode ini disebut dengan sadd al-dharî‘ah yakni upaya pencegahan
atau tindakan preventif untuk menolak kerusakan atau menyumbat
jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan. Sedangkan
dalam kajian qawâ’id al-fiqhiyyah kaidah tersebut dikenal dengan dar’u
al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashâlih yakni menolak kerusakan lebih
didahulukan daripada mengambil kebaikan.
Penggunaan metode sadd al-dzarî‘ah dalam penetapan hukum yang
perlu diperhatikan oleh para ahli hukum adalah bahwa dzarî‘ah (jalan)
yang akan membawa kepada mafsadah harus ditetapkan berdasarkan
penelitian yang seksama. Penulis telah mengidentifikasi berbagai hal
yang dianggap NU sebagai kemudaratan atau mafsadah yang ditimbulkan
akibat perkawinan dengan wanita Ahl al-Kitâb. Mafsadah tersebut adalah
perpindahan agama suami (Muslim) kepada agama yang diikuti oleh
isterinya (Ahl al-Kitâb) dan agama anak sama dengan agama yang diikuti
oleh ibunya.25 Menurut NU, menjaga agama (hifzh al-dîn) baik untuk diri
sendiri maupun orang lain bahkan untuk memperkuat komitmen semua
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _305
umat beragama terhadap ajaran agamanya menempati prioritas di atas
segala-galanya atau darûriyât.26 Dengan demikian hifzh al-dîn merupakan
suatu hal yang sangat esensial karena hifzh al-dîn merupakan salah satu
tujuan disyari’atkan hukum Islam.
Maslahat sebagai inti tujuan syari’at (maqâshid al-syarî‘ah) atau filosofi
ajaran Islam yang hendak dicapai dari larangan perkawinan antar
agama adalah untuk merealisasikan hifzh al-dîn. Beragama adalah suatu
keharusan bagi semua orang, sebab nilai-nilai kemanusiaan yang dibawa
oleh ajaran agama manusia menjadi lebih tinggi derajatnya dari derajat
hewan. Agama adalah salah satu ciri khas manusia. Dalam memeluk
suatu agama, manusia harus memperoleh rasa aman dan damai, tanpa
adanya intimidasi. Dalam rangka memelihara dan mempertahankan
kehidupan dan agama serta membentengi jiwa dengan nilai-nilai
keagamaan itulah, maka berbagai macam ibadah disyari’atkan. Ibadah ini
dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat
keberagamaan.27
Oleh karena itulah, pada dasarnya manusia membutuhkan agama
secara mutlak. Tanpa agama tidak ada gunanya hidup, bahkan agama
adalah kebutuhan paling utama dari semua kebutuhan pokok. Untuk
melindungi kehormatan agama, syari’at menetapkan hukuman yang berat
bagi kejahatan agama. Agama menempati urutan pertama dalam tujuan
syari’at, sebab keseluruhan Ajaran syari’at mengarahkan manusia untuk
berbuat sesuai dengan kehendak-Nya dan keridlaan Tuhan. Karena itu di
dalam Al-Qur’an dan Hadits manusia didorong untuk beriman kepada
Allah, dan inilah yang menjadi prinsip perkawinan. Adapun hubungan
perkawinan dengan aspek akidah ini memungkinkan perkawinan dalam
Islam menjadi sebuah ibadah.28
Dengan memperhatikan mafsadah yang akan ditimbulkan akibat
perkawinan beda agama, yakni perpindahan agama suami (Muslim)
kepada agama yang diikuti oleh isterinya dan agama anak sama dengan
agama yang diikuti oleh ibunya, maka sudah seharusnya perkawinan
tersebut dicegah, dengan pertimbangan perkawinan itu menimbulkan
306_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
mafsadah, dan mafsadah-nya sudah pasti terjadi. Pencegahan mafsadah
tersebut dengan cara melarang perkawinan itu. Dengan pencegahan
itulah, maka maslahat sebagai inti dari Maqâshid al-Syarî’ah akan terwujud.
Sebab maslahat bisa diwujudkan dengan dua cara, pertama dengan
menghindari mafsadah (kerusakan) dan kedua dengan mewujudkan
29
kemaslahatan itu sendiri
‫درء املفاسد وجلب املنافع‬.
Menjaga al-dîn (agama) dari kerusakan, merupakan suatu hal yang
harus dilakukan, karena menjaga al-dîn merupakan dharûriyyat yang
paling besar dan terpenting, maka syari’at mengharamkan berbagai
macam bentuk riddah (Murtad), serta memberi sanksi kepada orang
yang Murtad dan dibunuh.
Pada dasarnya beragama merupakan fitrah bagi manusia, beragama
merupakan panggilan naluri jiwa. Karena jiwa sebelum masuk ke dalam
jasad manusia, ia telah dipersaksikan oleh Tuhannya.30 Dengan persaksian
tersebut, maka beragama yang merupakan fitrah manusia harus dijaga,
mengabaikannya berarti menelantarkanya, sehingga palakunya harus
dikenakan sanksi.
Untuk menjaga agama yang merupakan fitrah manusia sejak lahir
itulah, maka Allah mensyari’atkan ibadah kepada hambanya. Agar
dengan ibadah tersebut manusia akan selalu ingat terhadap Tuhannya.
Sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam firmannya surat al-Dzâriyat/51
ayat 56
‫َوَما َ َ ْق ُت ْقا َّن َو ْقا ْق َ َّن ََي ْق ُت ُت وو‬
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.
Demikian tujuan hakiki dari penciptaan makhluk. Oleh karena itu,
segala aspek kehidupan manusia (Mu’min) baik yang berhubungan
dengan Tuhan langsung (vertikal) maupun dengan sesama (horizontal)
akan dinilai sebagai ibadah manakala diniatkan untuk mengabdi
kepada Allah. Namun sebaliknya jika perbuatan tersebut tidak didasari
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _307
niat untuk mengabdi kepada Allah, maka perbuatan tersebut tidak
dianggap sebagai ibadah, karena ibadah memerlukan sebuah niat,
sedangkan salah satu syarat niat adalah Islam. Dengan demikian, orang
melakukan perkawinan beda agama yang disinyalir terjadi pemurtadan
maka sudah barang tentu harus dilarang demi untuk menjaga agama
pelaku kawin beda agama. Pemurtadan, baik yang dialami oleh suami
maupun anak merupakan madarat yang sangat besar, sebab agama
merupakan salah satu sendi darûriyyât al-khamsah yang wajib dijaga oleh
setiap individu dan juga oleh bersama-sama. Agama dalam darûriyyât alkhamsah merupakan darûriyyât yang paling urgen dibandingkan dengan
darûriyyât yang lain. Oleh karena itu, mencegah kemudaratan akibat
dari perkawinan beda agama harus didahulukan daripada mengambil
manfaat dari perkawinan beda agama.
2. Hifzh al-Nasl
a. Keharmonisan Rumah Tangga
Kemaslahatan perkawinan yang berupa meneruskan keturunan
merupakan termasuk mashlahat dharûriyyât. Penyaluran kebutuhan
biologis secara benar (tidak zina) merupakan maslahat hâjjiyyah.
Sedangkan kemaslahatan yang berupa kelanggengan ikatan perkawinan,
keharmonisan rumah tangga, saling berbagi kasih sayang, ketenangan
dan cinta adalah maslahat tahsiniyah.31
Terwujudnya suasana keluarga yang tenang, penuh dengan kasih
dan sayang (sakînah mawaddah wa rahmah), merupakan dambaan setiap
pasangan suami dan isteri yang telah mengikatkan dirinya dalam ikatan
(akad) perkawinan. Sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.32 Kehidupan keluarga yang diliputi dengan
suasana tenang, penuh kasih dan sayang, barang kali inilah yang
digambarkan oleh Nabi Muhammad bahwa rumah tangga adalah surga
308_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
di dunia baytî jannatî (rumahkau surgaku). Rumah sebagai tempat untuk
mendatangkan ketenangan dan ketentraman bagi anggota keluarga.
Dalam surat al-Rûm ayat 21 menjelaskan bahwa tujuan perkawinan
adalah membentuk keluarga yang sakînah mawaddah wa rahmah. Sakînah,
dimana angggota keluarga hidup dalam keadaan tenang dan tentram, seia
sekata sehingga tercipta rasa kedamaian. Mawaddah, kehidupan anggota
keluarga dalam suasana kasih mengasihi, butuh membutuhkan, hormat
menghormati satu sama lainnya. Rahmah, pergaulan keluarga dengan
sesamanya saling menyayangi, cinta mencintai sehingga kehidupan
diliputi rasa kasih sayang. Hal ini menunjukan bahwa, membentuk
rumah tangga yang diliputi oleh suasana bahagia, harmoni, tentram,
sakînah, cinta mencintai (mawaddah), dan kasih mengasihi (rahmah),
merupakan tujuan hal yang mesti dicapai dalam rumah tangga. Dalam
istilah disebutkan bahwa dalam perkawinan harus “silih asuh (saling
bina membina), silih asah (saling menerima dan memberi), dan silih asih
(saling kasih mengasihi)”. Sehingga pada gilirannya, mampu menciptakan
satu kesatuan yang terpadu (integrated). Hal ini berdampak bukan saja
menciptakan suasana yang mesra dikalangan keluarga, akan tetapi juga
memancarkan kemesraan pada orang lain, terutama kapada tetangga
dan lingkungannya.33
Akan tetapi, tidak jarang justeru terjadi sebaliknya, rumah tangga
yang didambakan sebagai surga di dunia “baytî jannatî” malah
menjadi neraka di dunia. Mereka tidak dapat menikmati kebahagiaan
yang diperoleh lewat perkawinannya. Ikatan rumah tangga retak
(broken home). Pintu perceraian selalu terbuka. Setiap saat ditiup badai
pertengkaran dan percekcokan. Anak-anak terlantar, nakal, durhaka,
tamak dan serakah. Semua itu merupakan masalah keluarga yang harus
diselesaikan. Perkawinan merupakan pembentukan keluarga, dan
keluarga merupakan batu bata dalam bangunan bangsa. Oleh karena itu,
manakala batu bata itu kokoh dan kuat, maka bangunan itu kokoh dan
kuat pula, dan begitu pula sebaliknya, jika batu bata yang menyangga
bangunan itu rapuh, maka bangunan itu niscaya akan runtuh pula, dan
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _309
sesungguhnya satu bangsa itu terdiri dari kumpulan beberapa keluarga.34
Dengan demikian, soal perkawinan bukan hanya urusan antara dua
orang yang bersangkutan (suami dan isteri), melainkan urusan bersama
dan harus mendapatkan perhatian penuh dari masyarakat. Oleh
karena itulah, setiap agama mengakui bahwa perkawinan merupakan
perbuatan suci (sakral). Agama mengatur dan menjunjung tinggi lembaga
perkawinan, sebab lewat perkawinan pergaulan laki-laki dan wanita
terjalin secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai
makhluk yang mulia dan terhormat.
Perkawinan yang akan melahirkan keluarga sakînah mawaddah
wa rahmah, adalah perkawinan yang mampu menghadapi berbagai
konflik dan juga mampu menyelesaikannya. Konflik selalu ada dalam
kehidupan bersama, bahkan dalam hubungan yang sempurna sekalipun.
Untuk menciptakan suasana keluarga bahagia, tentram dan harmonis
diperlukan masing-masing pasangan suami-isteri memiliki kualitas
interaksi perkawinan yang tinggi. Dalam kehidupan suatu perkawinan,
terkadang apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan.
Perkawinan menuntut adanya perubahan gaya hidup, menuntut adanya
penyesuaian diri terhadap tuntutan peran dan tanggung jawab baru
baik dari isteri maupun suami. Ketidakmampuan melakukan tuntutantuntutan tersebut tidak jarang menimbulkan pertentangan, perselisihan
dan bahkan berakhir dengan perceraian.35
Konflik yang terjadi dalam kehidupan keluarga, merupakan suatu hal
yang tidak bisa dihindari, akan tetapi harus dihadapi. Ini karena dalam
suatu perkawinan terdapat penyatuan dua pribadi yang unik dengan
membawa sistem keyakinan masing-masing berdasar latar belakang
budaya serta pengalaman yang berbeda-beda. Perbedaan yang ada
tersebut, perlu disesuaikan satu sama lain untuk membentuk sistem
keyakinan baru bagi keluarga mereka. Proses inilah, yang seringkali
menimbulkan ketegangan, ditambah lagi dengan sejumlah perubahan
yang harus mereka hadapi, seperti perubahan kondisi hidup, perubahan
310_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
kebiasaan dan atau perubahan kegiatan sosial. Menurut Sadarjoen,
sumber konflik perkawinan yang saling berpengaruh satu sama lain
secara dinamis adalah perbedaan yang tidak terelakkan, perbedaan
harapan, kepekaan, keintiman dalam perkawinan, aspek kumulatif
dalam perkawinan, persaingan dalam perkawinan, dan perubahan dalam
perkawinan. Pasangan suami isteri terdiri atas individu yang secara
esensial memiliki berbagai macam perbedaan baik dalam pengalaman
maupun dalam kebutuhannya. Perbedaan tersebut terkait erat dengan
nilai-nilai yang dianut dan nampak peranannya dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah. Secara logika, perbedaan masing-masing dalam
memaknai sesuatu memiliki kecenderungan untuk memicu terjadinya
konflik sekiranya kedua pasangan tidak mampu menemukan persetujuan
secara total dan tidak mampu menerima perbedaan-perbedaan tersebut.36
Perkawinan beda agama merupakan perkawinan yang syarat
dengan konflik. Karena dalam perkawinan tersebut, masing-masing
individu mempunyai perbedaan-perbedaan yang bukan hanya masalah
kehidupan sehari-hari melainkan masalah-masalah prinsip dalam
kehidupan. Dengan peraturan agama masing-masing, mereka terikat
pada ketentuan-ketentuan doktrin yang mereka terima dari agama
yang dianutnya. Perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai
kesulitan di lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah,
pendidikan anak, pengaturan tatakrama makan-minum, pembinaan
tradisi keagamaan, dan lain sebagainya. Perkawinan tersebut, tidak
akan melahirkan interaksi sosial yang istimewa, bahkan dari hubungan
tersebut tidak akan didapatinya rasa mawaddah wa rahmah.
Berdasarkan tujuan perkawinan yang hendak dicapai, yaitu sakînah
mawaddah wa rahmah, maka perkawinan yang ideal adalah suatu
perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta
dan ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan
keterpaduan itu, kehidupan suami-istri akan tentram, penuh rasa
cinta dan kasih sayang. Kehidupan keluarga akan bahagia dan kelak
memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin. Berdasarkan ajaran
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _311
Islam, deskripsi kehidupan suami-istri di atas akan dapat terwujud bila
suami-isteri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab keduanya
berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam.
b. Menjaga Moral
Tujuan perkawinan selain untuk mendapatkan keluarga yang
sakînah mawaddah wa rahmah, juga untuk menjaga moral. Oleh karena
itu, Islam mengharamkan perbuatan zina, sekaligus melegalkan intitusi
perkawinan. Dengan demikian, Al-Qur’an mengilustrasikan perkawinan
dengan istilah al-Ihshân. Al-Hushn yang berarti benteng pertahanan,
kokoh dan kuat. Maka, al-Ihshân berarti berusaha menjaga diri dengan
bersembunyi dalam benteng. Dan orang yang menikah disebut alMuhshan, yang berarti bahwa seola-olah dia telah membangun sebuah
benteng pertahanan dan benteng penjagaan. Maksudnya ia telah masuk
dalam penjagaan benteng ini yang dibangun untuk menjaga moralnya
dan dirinya dengan status perkawinannya.37
Dengan demikian salah satu wujud untuk menjaga moral, Allah telah
mengharamkan perbuatan zina. Karena disinyalir perbuatan zina akan
merusak moral sekaligus mengacaukan jalur keturunan. Lebih dari itu,
Al-Qur’an menjelaskan bahwa perbuatan zina termasuk perbuatan yang
keji dan seburuk-buruknya jalan. Sebagaimana yang difirmankan Allah
dalam surat al-Isrâ/17 ayat 32.
Ayat tersebut bukan hanya melarang perbuatan zina, akan tetapi
segala bentuk perbuatan yang akan mendekatkan diri kepada perbuatan
zina juga terlarang. Sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa
‫للوسائل احكام املقاصد‬
“bagi setiap wasîlah (perantara) hukumnya sama
dengan hukum tujuan”. Apabila yang dituju itu wajib, maka media menuju
kepada yang wajib juga wajib. Sebaliknya apabila yang dituju itu haram,
maka usaha menuju yang haram juga haram. Oleh karena itu, segala
sesuatu yang bisa menghantarkan atau membuat terjadinya perbuatan
zina maka hukumnya sama dengan zina.
312_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Di sisi lain, Nabi lewat Haditsnya telah memberikan perintah menikah
bagi siapa saja yang telah mampu untuk menikah, bagi yang belum
mampu, agar menahan diri dengan melakukan ritual puasa, sebab puasa
disinyalir mampu menahan nafsu untuk berbuat yang tidak diinginkan.
Demikian ayat dan juga Hadits Nabi, dalam upaya menjaga
keturunan atau keluarga (Hifzh al-Nasl) yakni melarang perbuatan zina
juga sekaligus melarang perbuatan-perbuatan yang bisa menghantarkan
kepada perbuatan zina. Sebagai solusinya syari’at memberikan jalan
untuk menikah guna terbebas dari perbuatan zina tersebut. Dengan
demikian, larangan perkawinan beda agama yang dilakukan oleh
LBMNU terdapat indikasi perbuatan zina di dalamnya. Karena NU
menganggap orang-orang Kristen dan yang lainya bukanlah termasuk
golongan Ahl al-Kitâb, dikarenakan kitab-kitab yang dijadikan pedoman
sudah mengalami berbagai macam perubahan. Perubahan tersebut
baik yang berhubungan dengan subtansi maupun teksnya. Perubahanperubahan itulah yang menjadikan mereka tidak dikategorikan sebagai
Ahl al-Kitâb, orang-orang Yahudi dan Nasrani mengalami pergeseran
tentang ketauhidan. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan mereka
bahwa Nabi ‘Isa dan ‘Uzayr dianggap sebagai Tuhan,38 yang dengan jelas
dalam Al-Qur’an perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan syirik.
Keputusan LBMNU, yang menyatakan tentang tidak sah dan
haramnya perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang berlainan
agama, baik laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslim, dan atau
wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, menunjukan bahwa
perkawinan tersebut jika tetap berlangsung masuk kategori perbuatan
zina. Hal ini dikarenakan secara syar‘i perkawinan tersebut dianggap
tidak sah. Yang berakibat pada tidak halalnya hubungan antara laki-laki
dan wanita tersebut.
Jika diperhatikan, kemungkinan banyaknya kasus perkawinan
beda agama, dikarenakan faktor keagamaan yang disandang oleh
pelaku perkawinan tersebut lemah. Yakni keimanan yang lemah
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _313
mengakibatkan terjerumusnya seseorang untuk melakukan perkawinan
beda agama, sebaliknya tingkat keagamaan (iman) yang kuat tidak
akan menjerumuskan seseorang pada perkawinan beda agama. John
Mulhearn menyatakan bahwa releguitas yang kuat akan mampu
mengendalikan praktek perkawinan beda agama.39 Dalam salah satu
Haditsnya Nabi sudah memperingatkan bahwa seseorang tidak akan
melakukan perbuatan zina, selama di dalam hatinya masih ada iman.40
Menurut Hamka dalam perkawinan lebih memilih pada bentuk
perkawinan yang ideal, yakni perintah berhati-hati dalam memilih
pasangan hidup, karena isteri adalah teman hidup, membantu,
menegakkan rumah tangga yang bahagia penuh cinta dan kasih sayang
karena iman, mewariskan generasi yang salih dan salihah. Karenanya,
perkawinan harus dibangun atas dasar keyakinan yang sama dan
harus ditegakan atas dasar kafa’ah (kesempurnan), yaitu masing-masing
suami-isteri memiliki pokok dasar, persamaan tujuan, kepercayaan
dan anutan agama. Dengan demikian, Muslim tidak sepadan dengan
segala perilaku orang-orang yang mempersekutukan Allah, sehingga
tidak boleh dilengahkan, karena rumah tangga yang kokoh dibangun
atas dasar iman yang kokoh pula, sehingga perkawinan yang bercitacita bahagia dunia-akhirat, serta menggapai ampunan-Nya menjadikan
rumah tangga yang ideal dan bahagia, karena persamaan menuju ridho
Allah.41 Dengan demikian, perkawinan yang dilaksanakan membawa
kemaslahatan untuk individu dan keluarganya.
E. Penutup
Perkawinan beda agama, merupakan praktek perkawinan yang
menyalahi prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam. Prinsip perkawinan
dalam Islam, merupakan prinsip yang berlandaskan teori Maqâshid alSyarî’ah yakni prinsip yang berusaha untuk menciptakan kemaslahatan
bagi seluruh manusia dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan
dengan perkawinan tersebut. Secara umum, kemaslahatan perkawinan
merupakan segala sesuatu yang digunakan untuk meraih Maqâshid
314_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
al-Syarî’ah dari perkawinan, baik yang bersifat dharûriyyah, hâjjiyyah
maupun tahsîniyyah.
Kemaslahatan perkawinan yang termasuk ke dalam kategori mashlahah
dharûriyah adalah meneruskan keturunan yang merupakan penjagaan
langsung terhadap salah satu al-ushûl al-khamsah yang berupa hifzh alnasl. Kemaslahatan perkawinan yang masuk peringkat mashlahah hâjiyyah
adalah kemaslahatan yang merupakan penjagaan secara tidak langsung
terhadap aspek al-nasl, seperti menyalurkan kebutuhan biologis secara
benar (tidak berzina). Sedangkan kemaslahatan yang masuk kategori
peringkat mashlahah tahsîniyyah merupakan kemaslahatan untuk mencari
ketenangan (sakînah), membagi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa
rahmah).
Di samping hifzh al-nasl, perkawinan juga disinyalir untuk
menyempurnakan keagamaan seseorang. Dengan demikian, secara
tidak langsung perkawinan juga dimaksudkan untuk melindungi
agama (hifzh al-dîn) seseorang dari segala sesuatu yang bisa mengancam
praktek keagamaan orang tersebut. Oleh karena itu, perkawinan beda
agama yang dimungkinkan menimbulkan mafsadah lebih besar dari pada
kemaslahatannya, yakni perpindahan agama (murtad) oleh salah satu
pasangan, dan agama anak lebih cenderung mengikuti agama ibunya
(non-Muslim), sudah selayaknya dilarang.
LBMNU melalui metode qawlî yang diambil dari pendapat-pendapat
ulama, melarang praktek perkawinan beda agama apapun bentuknya.
Hal ini berdasarkan beberapa mafsadah yang timbul akibat dilaksanakan
perkawinan beda agama. Mafsadah tersebut, adalah perpindahan
agama (murtad) bagi salah satu pasangan serta agama anak cenderung
mengikuti agama ibunya (non-Muslim), hal ini berdasarkan bahwa ibu
lebih sering berinteraksi dengan anak dibandingkan dengan suami.
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _315
Daftar Pustaka
Abd al-Baqî, Ibarahim Mahmud, Daur al-Waqf fi Tanmiyat al-Mujtama’
al-Madany (Namudzatun al-Amanah al-‘Ammah li al-Auqof Bidaulat alKuwait), al-Kuwait: al-Amanah al ‘Ammah li al-Auqof, 2006.
Ahnan, Maftuh, Rumahku Surgaku, tk., Galaxy, 2008
Aini, Nuryamin, “Fakta Empiris Nikah Beda Agama” dalam Ijtihad Islam
Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan Yang Dinamis. Jakarta:
Jaringan Islam Liberal, 2005, cet 1.
al-Maudûdî, Abu al-A‘lâ, Huqûq al-Zawjayni, terj., Abu ‘Amir ‘Izza Rasyid
Ismâ‘il, Yogyakarta: Absolut, tt.
al-Syâfi’î, Muhamad ibn Idris, al-Umm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1980, Juz V.
al-Syâthibî, Abû Ishâq, al-Muwâfaqât fi Ushûli al-Syarî’ah, Beirut: Dâr alKutub al-Ilmiyah, 2003, Juz II.
al-Zuhaylî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Beirut: Dâr al-Fikr,
Juz 9, 1997.
al-Zuhaylî, Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986,
Jilid II.
Aqil Bahsoan, “Maslahah Sebagai Maqashid al-Syari’ah” dalam Jurnal
INOVASI, Volume 8, Nomor 1, Maret 2011.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1996.
Christensen, Harold T. and Barber, Kenneth E, “Interfaith versus
Intrafaith Marriage in Indiana” dalam Journal of Marriage and
Family, 1967, Vol. 29, No. 3, Published by: National Council on
Family Relations Stable URL:http://www.jstor.org/stable/349583
316_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Davidson, James D. and Widman, Tracy, “The Effect of Group Size
on Interfaith Marriage among Catholics” dalam Journal for the
Scientific Study of Religion, Sep., 2002, Vol. 41, No. 3, Published
by: Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of Religion
Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1387452
Eva Meizara Puspita Dewi dan Basti, “Konflik Perkawinan Dan Model
Penyelesaian Konflik Pada Pasangan Suami Isteri”, dalam Jurnal
Psikologi, Desember 2008, Volume 2, No. 1.
Hamka, Tafsîr al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
John Mulhearn, S. J, “Interfaith Marriage and Adult Religious Practice”
dalam Journal Sociological Analysis, Spring, 1969, Vol. 30, No. 1,
Published by: Oxford University Press Stable URL: http://www.
jstor.org/stable/3709931
Masyhuri, Aziz, al-Fuyûdhât al-Rabbaniyah, Surabaya: Khalista, tt.
Mudzhar, M. Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi
tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS,
1993.
Mulia, Siti Musdah, Muslimah Reformis; Perempuan Pembaru Keagamaan,
Bandung: Mizan Pustaka, 2005.
Nahdlatul Ulama, Ahkâm al-Fuqâhâ: Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes 1926-2010, Surabaya:
Khalista dan Lajnah Ta’lif Wan Nashr (LTN) PBNU, 2011.
Rasyd, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999, Juz II.
Sabiq, Al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1985, Juz
2.
Sastra, Abd. Rozak A. dkk, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda
Agama (Perbandingan Beberapa Negara), Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Jakarta, 2011.
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _317
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Ciputat: Lentera Hati, 2006, vol. 1.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: al-Mizan, 2007.
Wawancara dengan Arwani Faishal (Wakil Ketua LBM NU) di gedung
PBNU. Rabu 01 Oktober 2014.
Wawancara dengan KH. Zulfa (Ketua Umum LBM NU) di kediaman
beliau. Jl. Warakas II Gg. II Rt 007/002 Tanjung Priok, Sabtu 15
Oktober 2014.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fikih, terj., Saefullah Ma’shum dkk,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
318_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Endnotes
1. Muhamad ibn Idrîs al-Syâfi’i, al-Umm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1980, Juz V,6-7
2. Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI ke-4) menyatakan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, selain Islam ada Hindu, Budha,
Kristen, Katolik, Protestan, dan lain-lain. Bahkan yang Islam ada yang santri
dan ada yang kejawen. Lihat Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Sabtu,
27 Maret 2004, 11.
3. M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta : INIS, 1993, 11.
4. Abd. Rozak A. Sastra dkk, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda
Agama (Perbandingan Beberapa Negara) (Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Jakarta 2011), 4-6.
Bandingkan dengan Harold T. Christensen and Kenneth E. Barber, “Interfaith versus Intrafaith Marriage in Indiana” dalam Journal of Marriage and
Family, Vol. 29, No. 3 (Aug., 1967). Published by:National Council on Family
Relations Stable URL:http://www.jstor.org/stable/349583. James D. Davidson and Tracy Widman, “The Effect of Group Size on Interfaith Marriage
among Catholics” dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 41,
No. 3 (Sep., 2002). Published by: Wiley on behalf of Society for the Scientific
Study of Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1387452
5. Abu Ishâq al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fi Ushûli al-Syarî’ah, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, 2003, 8.
6. Ibid
7. Ibid, h. 9
8. Ibid, h. 9
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _319
9. Sahal Mahfudh “Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah
catatan pendek”, dalam A. Ma’ruf Asrori dan Ahmad Muntaha (eds),
Ahkâm al-Fuqâhâ: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan
Muktamar, Munas dan Konbes 1926-2010 (Surabaya: Khalista dan Lajnah Ta’lif Wan Nashr (LTN) PBNU, 2011), vii.
10. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisitradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1996, 34
11. Nahdlatul Ulama, Ahkâm al-Fuqâhâ: Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes 1926-2010, Surabaya:
Khalista dan Lajnah Ta’lif Wan Nashr (LTN) PBNU, 2011, 472-473
12. Muhamad ibn Idrîs al-Syâfi’i, al-Umm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1980, Juz
V,6-7
13. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, Ciputat: Lentera Hati, 2006, vol.1, 444
14. Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1985,
Juz 2, 99
15. Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1999,
Juz II, 141-142.
16. Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis; Perempuan Pembaru Keagamaan,
Bandung: Mizan Pustaka, 2005, 62
17. al-Shaykh Hasan Khâlid, al-Zawâj bi Ghayr al-Muslimîn, 112-113. Lihat
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: al-Mizan, 2007,
cet. Ke-1487
18. Ibid, Nahdlatul Ulama, 314
19. Abî ‘Abd Allah ibn Idrîs al-Syâfi’i, Kitâb al-Umm tahqîq ‘Alî Muhammad dan ‘Âdil Ahmad, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, 2001, Juz
6, 30-31
320_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
20. Aziz Masyhuri, al-Fuyûdhât al-Rabbaniyah, Surabaya: Khalista, tt., 9899
21. Wawancara dengan Arwani Faishal (Wakil Ketua LBM NU) di gedung PBNU, Rabu 01 Oktober 2014.
22. Wawancara dengan KH. Zulfa (Ketua Umum LBM NU) di kediaman
beliau, Jl. Warakas II Gg. II Rt 007/002 Tanjung Priok, Sabtu 15 Oktober 2014.
23. Ibid, Mahmûd Syaltût, 279-280
24. Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr,
1997, Juz 9, 6655
25. Nuryamin Aini (pengajar Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia) menyatakan bahwa pengaruh seorang ibu untuk mendidik anaknya
agar mengikuti agama ibunya jauh lebih berhasil dari pada ajakan
ayahnya. Dominasi figur ibu tidak bisa dipisahkan dari peran nurturancie-nya dan intensitas waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Lihat Nuryamin Aini, “Fakta Empiris
Nikah Beda Agama” dalam Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan
Keberagamaan Yang Dinamis, Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005, cet.
Pertama, 219-220
26. Ibid, Nahdlatul Ulama, Ahkâm al-Fuqâhâ, 947
27. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, terj., Saefullah Ma’shum dkk,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, 549
28. Aqil Bahsoan, “Maslahah Sebagai Maqashid al-Syari’ah” dalam Jurnal
INOVASI, Maret 2011, Volume 8, Nomor 1, 116. Perkawinan merupakan salah satu aspek mu’amalah sebagai wadah untuk interaksi
antara manusia satu dengan yang lainya, hal ini disebabkan karena
Implementasi Maqâshid Al-Syarî’ah dalam Putusan Bahts Al-Masâ’il _321
manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan interaksi
dengan yang lainya. Perkawinan itu sebenarnya hanya hubungan relasi saja, hanya saja, kalau sesuatu itu naturnya baik, kalau diniatkan
ibadah, maka menjadi ibadah.
29. Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân al-Suyûthî, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir,
Semarang: Thaha Putra, tt., 31
30. QS. al-A‘raf /7 ayat 172
31. Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr,
1986, cet. I, Jilid II, 772 dan 1025.
32. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Bab I Pasal 1
33. Maftuh Ahnan, Rumahku Surgaku, tk. Galaxy, 2008, 14-15
34. Ibid, Mahmûd Syaltût, 141
35. Eva Meizara Puspita Dewi dan Basti, “Konflik Perkawinan Dan Model Penyelesaian Konflik Pada Pasangan Suami Isteri”, dalam Jurnal
Psikologi Volume 2, No. 1, Desember 2008, 43
36. Eva Meizara Puspita Dewi dan Basti, “Konflik Perkawinan Dan Model Penyelesaian Konflik Pada Pasangan Suami Isteri”, dalam Jurnal
Psikologi Volume 2, No. 1, Desember 2008, 43-48
37. Abu al-A‘lâ al-Maudûdî, Huqûq al-Zawjayni, terj., Abu ‘Amir ‘Izza Rasyid Ismâ‘il, Yogyakarta: Absolut, tt., 2
38. QS. al-Tawbah/9: 30, QS. al-M’idah/5: 72
39. John Mulhearn, S. J, “Interfaith Marriage and Adult Religious Practice” dalam Journal Sociological Analysis, Spring, 1969, Vol. 30, No. 1
Published by: Oxford University Press Stable URL: http://www.jstor.
org/stable/3709931.
40. Sunan Abû Dawud No. 4691. Hadits ini termasuk Hadits yang mem-
322_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
punyai banyak redaksi, lihat Sunan Ibn Mâjah No. 3936, Sunan al-Tirmidzî No. 2625, Sunan Ibn Hibbân No. 186, Shahîh Bukhârî No. 2475
41. Hamka, Tafsîr al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, Juz 1-3, 193195
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier _323
The concept of ‘darajah’: Quranic Solution
In Overcome Dual Load of Career Women
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran
dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier
Muhammad Amin
Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang
email: [email protected]
Abstract : Pursuing career is the nature of every human being, male and female, as examplified by
the shahabiyat since the early days of Islam and keep continues until today. Nowadays,
the career women faced by the double burden problem, especially the khidmatulbait problem (domestic work space). Using a conceptual thematic interpretation
perspective, the writer offers concept ‘Darajah’ as a solution for this problem. Darajah
means the humility of a man to ease his wife’s burden. This concept is abstacted from
QS. al-Baqarah/2: 228 and based on the interpretation of Ibn Jarîr al-Thabarî againt
this verse. The writer also quoted the opinion of other mufassir and fiqh experts as
explanation of the concept ‘Darajah’. An Applicative step to implement this concept
has formulated by writer in the TM3 Formulation (Tafaqquh fi al-Din, Musyawarah,
Mulabasah, and Mulazamah) which accompanied by an “end-to-end” commitment.
Abstraksi : Meniti Karier merupakan fitrah setiap manusia, pria dan wanita, sebagaimana
dicontohkan oleh para shahabiyat sejak masa permulaan Islam dan tetap berlangsung
hingga saat ini. Dewasa ini, problem yang dihadapi oleh wanita karier adalah double
burden, khususnya beban khidmatul bait (domestic sphare-ruang kerja domestik).
Dengan menggunakan pendekatan tafsir tematik konseptual, penulis menawarkan
solusi konsep ‘Darajah’ berupa kerendahan-hati seorang suami untuk meringankan
beban-beban istrinya. Konsep ini disarikan dari surat al-Baqarah/2ayat228 dan
berlandaskan pada penafsiran Ibnu Jarîr al-Thabarî terhadap ayat ini. Penulis
juga mengutip pendapat mufassir lain dan ahli fiqh sebagai penjelasan dari
konsep ‘Darajah’. Langkah aplikatif untuk melaksanakan konsep tersebut
324_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
penulis rumuskan dalam rumusan TM3 yaitu Tafaqquh fi al-Din, Musyawarah,
Mulabasah, dan Mulazamah yang diiringi dengan komitmen end-to-end.
Keywords : Career Woman, Double Burden, Khidmatul Bait, Darajah.
A.Latar Belakang
Meniti karier merupakan fitrah bagi setiap manusia, pria dan wanita.1
Hal ini diterapkan oleh para shahabiyat sejak masa awal hadirnya Islam.
Dewasa ini, seorang wanita yang berkarier berarti telah memilih peran
ganda2 (double role) dan telah memikul beban ganda (double burden)3 pada
wilayah publik dan domestik. Sebagai kitab petunjuk, al-Qur’an telah
memaparkan konsep ‘Darajah’4 sebagai solusi dari masalah ini.\
Himbauan untuk bekerja dalam al-Qur’an diperuntukkan bagi setiap
manusia. Himbauan tersebut telah dilakukan oleh para shahabiyat seperti
Hafshah binti Umar dalam bidang pendidikan, al-Syifa’ binti Abdullah
dalam bidang ekonomi, Nashibah dan Rufaidah binti Sa’ad dalam bidang
militer.5
Keikutsertaan wanita dalam wilayah publik terus berlangsung hingga
saat ini. Akan tetapi, seorang wanita kerier dituntut untuk menjalankan
segala urusan rumah tangga (khidmatul bait) dan juga menyelesaikan
segala tanggung jawabnya di ruang publik.6 Dalam konteks keluarga,
pembagian beban kerja antara pria dan wanita terkadang tidak merata,
bahkan pada beberapa keluarga, beban kerja seorang istri jauh lebih
berat dan lebih lama daripada beban kerja suami.
Sebagai usaha untuk menjawab problem di atas, maka penulis
menawarkan konsep ‘Darajah’ sebagai solusi. Darajah adalah kerendahan
hati seorang suami untuk meringankan beban kerja istrinya. Konsep ini
terinspirasi dari al-Qur’an. Firman Allah:
          …
 
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier _325
Artinya: ”....Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. al-Baqarah/2: 228.)
Penjelasan mengenai hal ini akan penulis paparkan pada bagian
berikutnya disertai dengan pandangan para ulama fiqh tentang wanita
karier, masalah khidmatul bait, dan konsep Darajah. Penulis juga mengutip
pendapat ulama tafsir dan fiqh tentang status wanita karier dalam
perspektif islam.
Kajian pada tulisan ini dibagi menjadi menjadi tiga bagian:
pertama, Pendahuluan yang berisi latar belakang dan rumusan masalah.
Kedua, Pembahasan tentang wanita wanita karier, double burden, dan
konsep Darajah. Ketiga, Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
B.Islam dan Beban Ganda Wanita Karier
1. Wanita Karier dalam perspektif Islam
Wanita berarti perempuan yang telah dewasa, sementara karier
berarti perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan,
dan sebagainya atau pekerjaan yang memberikan harapan untuk
maju.7 Dengan demikian, wanita karier diartikan sebagai wanita yang
berkecimpung dalam kegiatan profesi seperti usaha, perkantoran, dan
lain sebagainya.8
Hasil penelitian kelompok studi wanita FISIP – UI tahun 1987
menunjukkan beberapa alasan seorang wanita berkeluarga memilih
untuk bekerja. Faktor tersebut adalah: Faktor ekonomi seperti menambah
penghasilan atau punya penghasilan sendiri, Faktor kepuasan jiwa seperti
mengisi waktu luang, ingin lebih berkembang, dan mempraktekkan
ilmu.9 Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa wanita turut andil
dalam berbagai bidang pekerjaan, seperti buruh kasar, karyawan, atau
kepemimpinan.10
326_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Di dalam al-Qur’an, Allah SWT. secara eksplisit menjelaskan hak dan
potensi wanita untuk bekerja pada tiga ayat: QS. al-Nisâ’/4: 32 dan 124,
serta QS. al-Nahl/16: 97. Adapun kata ‘bekerja’ secara umum terulang
sebanyak 359 kali11 dalam berbagai termnya, yaitu ‘amila, kasaba, fa’ala
dan sa’a.12
Term yang digunakan dalam surat al-Nisâ’/4 ayat 32 adalah iktasaba
sementara pada dua ayat lainnya Allah SWT. menggunakan term ‘amila.
Firman Allah:
        
Artinya:” bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan,
dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (QS.
al-Nisâ’/4: 32)
Kata iktasaba dalam ayat di atas terbentuk dari kata asal kasaba.
Penambahan huruf ta pada kata tersebut menunjukkan arti kesungguhan
atau usaha ekstra. Berbeda dengan kasaba yang berarti melakukan sesuatu
dengan mudah dan tidak disertai upaya yang sungguh-sungguh.13 Ayat
di atas memberikan neraca keadilan bagi pria dan wanita, keduanya
memiliki keistimewaan masing-masing dan memiliki potensi untuk
melakukan sebuah usaha, pekerjaan, atau meniti karier dengan sungguhsungguh serta profesional.
Selain pada ayat di atas, anjuran untuk bekerja juga terdapat dalam
ayat 97 surat al-Nahl/16 Allah berfirman:14
            
     
Artinya:” Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier _327
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (QS. al-Nahl/16: 97)
Kata amal shalih berarti segala perbuatan baik yang berguna bagi
pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan.
Penggunaan kata man pada ayat ini telah menunjukkan keumuman
dan hal itu lebih ditekankan lagi dengan penyebutan pria dan wanita.
Dengan begitu ayat ini menghimbau pria dan wanita untuk aktif dalam
tindakan baik yang berguna bagi masyarakat secara umum.15
Sebagian ulama memberikan kebolehan kepada seorang wanita untuk
bekerja atau berkarier. Quraish Shihab berpendapat bahwa seorang wanita
memiliki hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya
atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut.16 Cendekiawan
lain memberikan syarat bagi wanita yang bekerja untuk tidak bercampur
baur dengan pria di luar rumah17 dan berpakaian islami.18 Sementara
pada bidang politik, masih terjadi perbedaan pendapat ulama tentang
kebolehannya atau ketidakbolehannya wanita memimpin suatu negara.19
Ragam pekerjaan yang dapat dilakukan oleh wanita di luar rumah
antara lain: tenaga pengajar seperti guru dan dosen, tenaga kesehatan
seperti dokter gigi atau dokter kandungan, kerajinan tangan seperti
menyulam dan profesi-profesi lainnya.
Pada ranah sosial, beredar anggapan di masyarakat bahwa ruang
kerja domestik atau khidmatul bait adalah pekerjaan wanita. Dimulai
dari memasak, mencuci, menyapu, mengepel, dan segala urusan rumah
tangga lainnya.20 Setiap pekerjaan tersebut harus dilakukan oleh wanita
sejak subuh hingga malam hari, khususnya bagi wanita yang tidak
berkarier.
Anggapan tersebut juga tetap berkembang di kalangan wanita karier
sehingga terjadi peran ganda (double role) yang dimainkan oleh mereka.
Pada saat yang bersamaan, wanita juga memilkul beban ganda. Seorang
wanita dituntut untuk selalu mengurusi kebersihan dan kerapihan
328_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
rumah tangga dan ia juga memiliki beban pekerjaan di luar rumahnya.
Hal ini dikenal dengan istilah beban ganda atau double burden.
2. Double Burden dan Problematika Khidmatul Bait.
Kata double memiliki arti rangkap atau dua kali (lipat), sementara
kata burden berarti beban dan tanggung jawab.21 Kedua kata ini memiliki
padanan kata Bahasa Indonesia yaitu “Beban Ganda”. Kata beban berarti
tanggungan atau kewajiban yang harus dilakukan, sementara kata ganda
berarti lipat atau kali.22
Secara umum, dapat difahami bahwa double burden adalah dua atau
lebih beban yang dipikul wanita dalam waktu yang bersamaan. Artinya
wanita, khususnya wanita karier, memiliki dua peran yang harus
dimainkannya. Peran pertama adalah peran domestik sebagai ibu rumah
tangga dan peran kedua adalah peran publik sebagai pekerjaannya di
luar rumah.23
Para tokoh feminisme menyatakan bahwa double burden adalah
salah satu bentuk manifestasi ketidak-adilan gender. Setidaknya ada
lima bentuk manifestasi ketidakadilan gender ini yaitu: marjinalisasi
(pemiskinan ekonomi), subordinasi (dianggap tidak penting), stereotipe
(pelabelan negatif), violence (kekerasan), dan double burden (beban
ganda).24
Teori Mansour Fakih menyatakan bahwa ketidakadilan gender dapat
terjadi karena beberapa faktor yaitu: (1) Materi hukum (substanse of the law)
berupa tafsiran atau pemahaman agama dalam bentuk fiqh, syarah, dan
lainya. (2) Kultur hukum (culture of the law). (3) Sturktur hukum (Structure
of law).25 Pada makalah ini Penulis akan mengulas faktor pertama yakni
materi hukum (substance of the law) dengan memaparkan hak-hak dan
kewajiban seorang wanita, khususnya dalam masalah pembagian kerja,
dengan melihat sumber-sumber kitab fiqh dan tafsir terhadap al-Qur’an
surat al-Baqarah/2 ayat 228.
Allah SWT. telah mengatur berbagai urusan manusia, salah satunya
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier _329
adalah hubungan antara suami dan istri. Pada surat al-Baqarah ayat 228
Allah SWT. berfirman:
    
Artinya:”Dan mereka (para wanita) mempunyai hak seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang patut” (QS. al-Baqarah/2: 228)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa wanita memiliki hak dan kewajiban
yang kadarnya seimbang.26 Di antara berbagai hak dan kewajiban suami
istri yang dibahas oleh ulama adalah masalah pengurusan keperluan
rumah tangga.
Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban seorang istri
mengurusi urusan rumah tangga ini:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa khdimatul bait adalah kewajiban
seorang wanita karena telah menjadi ‘urf sejak zaman Nabi. Pendapat ini
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq.27
Pendapat Kedua menyatakan bahwa khidmatul bait bukanlah kewajiban
seorang wanita namun merupakan kesukarelaan dan salah satu dari
akhlak yang terpuji. Pendapat ini disampaikan oleh para ulama fiqh
sepeti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ibnu Hajar
al-Asqalani.28
Pendapat para ‘ulama fiqh ini didukung oleh fakta sejarah yang
menunjukkan bahwa sejak masa Nabi Muhammad saw. telah ada adat
yang mengatur wanita untuk bekerja pada ruang domestik. Diantara
riwayat-riwayat mengenai hal itu adalah:
Sayyidah Fatimah ra. selama menikah dengan sayyidah Ali ra. selalu
melaksanakan pekerjaan rumah, termasuk memasak dan menggiling
gandum. Karena beratnya pekerjaan tersebut maka beliau mengadu
kepada sayyidah Aisyah lalu rasul tidak memberikan Fatimah seorang
budak tetapi mengajarkannya tasbih. Menurut ulama, ini adalah dalil
yang menjelaskan bahwa mengurusi urusan domestik merupakan
urusan istri.29
330_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Riwayat lain menceritakan bahwa Asma binti Abu Bakr melayani
suaminya dan membantunya dalam mengerjakan beberapa pekerjaan
seperti mengurusi kuda dan lain-lain. Asma’ merasa berat jika harus
mengurusi kuda seorang diri maka ayahnya memberikan seorang budak
untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumahnya.30
Ketika menjadi khalifah, sayyidina Umar ra. pernah menceritakan
bahwa istrinya memasak untuk beliau, membuatkan roti, mencuci baju,
dan menyusui anak, padahal itu bukanlah kewajiban istrinya. Dan
karena itu pula, sayyidina Umar menerima ketika diomeli oleh istrinya
dan menasehati pria yang datang kepada beliau untuk melakukan hal
yang sama.31
Riwayat-riwayat dan pendapat-pendapat di atas menunjukkan bahwa
mengerjakan segala urusan domestik pada dasarnya bukanlah kewajiban
seorang istri. Namun melakukan hal tersebut adalah bagian dari akhlak
terpuji dan telah dicontohkan oleh para sahabat, istri Nabi, dann juga
putrinya sendiri.
3. Konsep ‘Darajah’ sebagai solusi.
Pembagian beban kerja yang dikenal di masyarakat Indonesia dewasa
ini lebih banyak berpola domestik-publik atau produktif-non produktif.
Biasanya, suami akan bekerja sejak pagi hingga sore hari sementara istri
akan mengerjakan pekerjaan rumah sejak bangun tidur hingga sesaat
sebelum tidur kembali. Persepsi tanggung jawab tugas domestik ini juga
terjadi pada wanita karier.
Pada bagian sebelumnya Penulis telah memaparkan pendapatpendapat ulama mengenai kewajiban istri dalam mengurus urusan
rumah tangga (khidmatul bait). Jika diperhatikan mayoritas ulama atau
pendapat Jumhur, maka hal itu bukanlah kewajiban namun merupakan
hal yang baik, patut, pantas, dan juga merupakan akhlak yang baik.
Akan tetapi, hal ini banyak disalahfahami oleh masyarakat Indoensia
sehingga terkadang beban kerja istri jauh lebih berat daripada beban kerja
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier _331
suami. Misalnya istri yang tidak bekerja di luar rumah akan mengurusi
kebutuhan rumah tangga sejak subuh hingga malam, begitu pula wanita
karier.
Untuk mengatasi hal ini, Allah SWT. telah menjelaskan di dalam alQur’an
  …
Artinya:“....Dan para suami memiliki kelebihan (derajat) di atas
mereka.”( Q.S. Al-Baqarah/2 : 228)
Ibnu Jarîr al-Thabarî menjelaskan bahwa para ulama tafsir berbeda
pendapat mengenai maksud ayat ini. Adapun pendapat-pentapat
tersebut adalah:
a. Al-fadl atau keutamaan dan kelebihan dalam masalah warisan,
jihad dan lainnya
b. Kepemimpinan dan ketaatan32
c. Karena mahar yang dibayarkan dan jika seorang suami mencelanya
maka ia telah melaknatnya dan jika wanita itu mencela suaminya
maka ia dikenai pidana
d. Kebaikan kepadanya, memberikan hak wanita, dan kebaikan
suami untuk mengurangi beban kewajiban istrinya. Pendapat ini
disampaikan oleh Ibnu Abbas, dan dianggap takwil yang paling
tepat oleh al-Thabari dan juga Quraish Shihab.33
Menurutnya al-Thabari, ayat ini bermakna derajat laki-laki itu adalah
kerendah-hatiannya untuk membantu istri, meringatkan beban-beban
dan kewajiban istri. Sehingga walaupun redaksi ayat ini bentuknya
khabar sesungguhnya ayat ini mengandung makna sunnah bagi suami
untuk berlaku baik dan membantu istrinya, sehingga mereka akan
mendapatkan derajat tersebut.34
Sunnahnya berbuat baik atau membantu istri dalam mengerjakan
urusan dan meringankan beban istri ini juga dapat ditemukan dalam
beberapa riwayat. Rasulullah saw. jika berada di rumah selalu membantu
332_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
urusan keluarganya hingga tiba waktu adzan.
ِ ِ
‫َِّب‬
َ ‫َس َوِد بْ ِن يَِز‬
ُّ ِ‫ َما َكا َن الن‬،‫ت َعائ َشةَ َرض َي اللَّهُ َعنْ َها‬
ُ ْ‫ َسأَل‬،‫يد‬
ْ ‫َع ِن األ‬
ِ
ِ
‫ « َكا َن يَ ُكو ُن ِ ِم ْهنَ ِة‬:‫ت‬
ْ َ‫ يَ ْ نَ ُ ِ اللَ ْت َال‬، َ َّ‫َلَّ ااُ َعلَْه َ َسل‬
» َ َ َ ‫ َِ َا َِ َ األَ َا َن‬،‫َ ْ لِ ِه‬
Artinya:” Dari Aswad ibn Yazid, aku bertanya kepada Aisyah ra. Apa
yang dilakukan Nabi saw. di rumah? Aisyah menjawab: Beliau selalu
membantu keluarganya, dan jika beliau mendengar adzan beliau keluar
(untuk shalat jama’ah).35
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
sebaik-baik kalian adalah orang yang baik kepada kelurganya. Dan aku
adalah orang yang paling berlaku baik kepada kelurga di antara kalian.36
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa dalam faham agama
Islam secara historis-sosiologis terdapat adat kebiasaan (‘urf) bagi wanita
untuk mengerjakan perkara-perkara domestik (khidmatul bait). Namun
hal tersebut tidak menghalangi suami untuk berlaku baik, meringankan
beban, dan membantu pekerjaan istrinya. Hal ini sesuai dengan ajaran
al-Qur’an bahwa kaum mukmin, laki-laki dan perempuan, adalah auliya’
(penolong)37 satu sama lain.
4. Tantangan dan Hambatan: Aplikasi Konsep “Darajah” dalam
Konteks Masa Kini
Pada bagian sebelumnya Penulis telah memaparkan ragam pandangan
ulama fiqh dan mufassir tentang ruang kerja wanita di rumah dan juga
solusi yang dapat ditawarkan berupa konsep “darajah” yang bisa dicapai
dengan melakukan kebaikan dan meringankan beban kewajiban istri.
Tujuannya adalah terciptanya keadilan, kesetaraan dalam kedudukan
suami-istri sebagai mitra atau musyarakatul hayat.
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier _333
Untuk mengaplikasikan solusi tersebut, maka Penulis menawarkan
konsep TM3, yaitu:
a) Tafaqquh fi al-Din (pendidikan dan pemahaman menyeluruh terhadap
sumber-sumber agama, meliputi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas).38
b) Musyawarah (membangun komunikasi yang efektif dalam keluarga,
termasuk masalah pembagian beban kerja).39
c) Mulabasah (saling menutupi dan melengkapi dalam membangun
relasi suami istri sebagai syarikatul hayat/mitra dalam hidup, bukan
relasi majikan-buruh atau patron-klien).40
d) Mulazamah (membangun kebersamaan dalam menghadapi setiap
pemasalahan dan saling membantu meringankan beban setiap
anggota keluarga).41
Konsep TM3 tersebut dapat diwujudkan dengan adanya sebuah
komitmen. Untuk itu, Penulis menawarkan komitmen end to end,42 yaitu
totalitas dan ketuntasan dalam bekerja. Dalam konteks perwujudan
konsep di atas maka diperlukan tuntas tafaqquh di al-din, tuntas
musyawarah, tuntas mulabasah, dan juga tuntas mulazamah.
C.Penutup
Islam memberikan kesempatan yang setara bagi pria dan wanita
untuk meniti karier, hal ini telah dilakukan oleh para shahabiyat hingga
para wanita saat ini. Misalnya profesi bidan atau dokter kandungan.
Keikut-sertaan wanita dalam tanggung jawab publik tidak disertai
dengan kesadaran pembagian beban kerja yang adil di wilayah domestik,
sehingga terjadi beban ganda (double burden). Faktor penyebabnya adalah
substance of the law, structure of the law, dan culture of the law.
Solusi Qurani untuk masalah beban ganda wanita karier adalah
konsep Darajah. Konsep ini dapat diterapkan dengan langkah-langkah
334_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
strategis TM3 yaitu, Tafaqquh fi al-Din, Musyawarah, Mulabasah, dan
Mulazamah yang diiringi dengan komitmen end-to-end.
Penulis menyarankan kepada setiap keluarga muslim untuk
menciptakan pola pembagian beban kerja yang baik di lingkungan
domestik. Juga mengamalkan kosep Darajah dengan langkah TM3,
sehingga akan tercipta keluarga yang menjunjung tinggi nilai keadilan
dan kebersamaan.
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier _335
Daftar Pustaka
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad, Mu’jam Mufahras li Alfadzi Al-Qur’an,
Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Al-‘Aini, Badruddin, T.t., Umdatul Qari. Beirut: Dar Ihya al-Turast al‘Araby.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, T.t., Kamus Kontemporer ArabIndonesia Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bari, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq alNajah, 1422 H.
Al-Fauzan, Abdul Aziz, Fikih Sosial, Terjemah Iman Firdaus dan Ahmad
Solahudin, Jakarta: Qisthi Press. 2007.
Al-Haitami, Hafidz, Majma’ Zawaid wa Manba’ al-Fawa’id, Beirut: Dar alFikr, 1992.
Al-Jaziri, Abdul Rahman, Al-Fiqhu ‘ala Madzahib al-Arba’ati, Kairo: Dar
al-Hadits, 1994.
Al-Naisaburi, Abu al-Hasan Muslim, T.t., Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya
al-Turats al-‘Arabi.
Al-Qahtany, Muhammad Ahmad Muabbir, Dkk, Pesan Untuk Muslimah.
Terjemah Muhammad Sofwan Jauhari, Jakarta: Gema Insani Press,
2002.
Al-Thabari, Ibnu Jarir, Jami’ al-Bayan fi Takwil Al-Qur’an, Muassasah alRisalah, 2000.
Al-Tirmidzi, Abu ‘Isa, Sunan al-Tirmidzi, Mesir: Musthafa al-Bani, 1975.
Al-Utsaimin, Muhammad Shalih, Hak-hak dalam Islam, Terjemah Tarmana
336_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Ahmad Qasim. Bandung: Trigenda Karya, 1995.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahab, Fiqh Munakahat.
Terjemah Abdul Majid Khon, Jakarta: Amzah, 2014.
Ba’albaky, Munir, Al-Mawrid: an English-Arabic Dictionary, Beirut: Dar al‘Ilmi, 2001.
Chira, Susan, Ketika Ibu Harus Memilih: Pandangan Baru tentang Peran
Ganda Wanita Bekerjta, Terjemah Sofia Mansoor, Bandung: Qanita.
1998.
Echols, John M. dan Hasan Dhadily, An English-Indonesian Dictionary,
Jakarta: Gramedia, 1977.
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001.
Ja’far, Muhammad Anis Qasim, Perempuan dan Kekuasaan: menelususri
Hak politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Terj, Ikhwan Fauzi,
Indonesia: Amzah, 2002.
Jurnal Analisis Sosial: Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan.
Edisi 4 / November 1996.
Nawawi, Muhammad ibn Umar, T.t., Syarah uqud al-Lujain, Indonesia:
Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1976.
Riyadi, Dodi, ‘Argumen Pemberdayaan Perempuan dalam Islam’ dalam
Bimas Islam, 2015, vol. 8 no. 2.
Sabiq, Sayyid. T.t. Fiqhu al-Sunnah. Kairo: al-Fath lil I’lam al-‘Arabi.
Sajogya, Pudjiwati, Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa,
Jakarta: Rajawali, 1985.
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier _337
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan,
2009.
------------, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, 2012.
Tapi Omas Ihromi (ed.), Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan
Ganda, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 1987.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Yasin, Maisar, Wanita Karir dalam Perbincangan, Terjemah Ahmad Thabroni
Masudi. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
338_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Endnotes
1. Himbauan al-Qur’an kepada manusia, pria dan wanita, untuk bekerja
dalam al-Qur’an diantaranya terdapat dalam Q.S. al-Nisa’/4: 32 dengan
menggunakan kata iktasaba. Lihat juga Q.S. al-Nisa’/4: 124 dan Q.S. alNahl/16: 97. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa fungsi kaum mukmin pria
dan wanita adalah auliya’ atau saling tolong. Lihat Q.S. al-Taubah/9: 71 dan
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2009,
h. 426.
2. Pembahasan mengenai dua buah peran dan dilema seorang wanita,
khususnya ibu atau istri, dalam meilih kedua peran tersebut dapat dilihat
dalam Susan Chira, Ketika Ibu Harus Memilih: Pandangan Baru tentang Peran
Ganda Wanita Bekerja, terj., Sofia Mansoor, Bandung: Qanita, 1998, h. 303
– 309. Lihat juga Pudjiwati Sajogya, Peranan Wanita dalam Perkembangan
Masyarakat Desa Jakarta: Rajawali, 1985, h. 38.
3. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001, h. 150.
4. Disarikan dari Q.S. al-Baqarah/2: 228. Menurut Quraish Shihab konsep
darajah ini berarti kesudian seorang suami untuk meringankan beban-beban
istrinya. Lihat Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2012, vol. I., h. 596 – 597.
5. Lihat Muhammad Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri
hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, terj., Ikhwan Fauzi, Indonesia:
Amzah, 2002, h. 65. Lihat Juga Dodi Riyadi, ‘Argumen Pemberdayaan
Perempuan dalam Islam’ dalam Bimas Islam, , tahun 2015, vol 8 no. 2, h. 250
-251.
6. Mansour Fakih, Membincang Feminisme, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, h. 4849.
7. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2007, ed. 3 –cet. 4, h. 508 dan 1268.
8. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar ... h. 1268.
9. Tapi Omas Ihromi, ed., Para Ibu yang Berperan Tunggal dan Yang Berperan
Ganda, Jakarta: Fakulta Ekonomi UI, 1987, h. 161.
10. Tapi Omas Ihromi, ed., Para Ibu... h. 155.
11. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfadzi al-Qur’an, Beirut:
Konsep ‘darajah’ : Solusi Al-Quran dalam Mengatasi Beban Ganda Wanita Karier _339
Dâr al-Fikr, 1994, h. 445 – 446, 613 – 620, 664 – 666, dan 767 – 768.
12. Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
Yogyakarrta: Multi Karya Grafika, t.t., h. 1063, 1322, 1399, dan 1505
13. Muhammad Qurasih Shihab, Tafsir al-Mishbah... vol. II, h. 504.
14. Dalam Q.S. al-Nisa’/4: 124 Allah SWT. menggunakan term ‘amila dalam
bentuk mudhari’.
15. Muhammad Qurasih Shihab, Tafsir al-Mishbah... vol. VI, h. 718 – 720.
16. Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an... h. 429.
17. Lihat Maisar Yasin, Wanita Karir dalam Perbincangan, terj., Ahmad Thabroni
Masudi, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, h. 30.
18. Muhammad Ahmad Muabbir al-Qahtany dkk., Pesan Untuk Muslimah terj.
Muhammad Sofwan Jauhari, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, h. 52.
19. Lihat Muhammad Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan... h. 40 – 70.
20. Mansour Fakih, Analisis Gender... h. 21
21. John. M. Echols dan Hasan Dhadily, an English-Indonesian Dictionary, Jakarta:
Gramedia, 1977, h. 55 dan 88.
22. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1976, h. 114 dan 344.
23. Jurnal Analisis Sosial: Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan
1996, Bandung: Akatiga 1996, edisi 4/ novermber, h. 60.
24. Mansour Fakih, Analisis Gender... hlm 12 – 13.
25. Mansour Fakih, Analisis Gender... h. 164.
26. Muhammad Shalih al-Utsaimin. Hak-hak Dalam Islam terj. Tarmana Ahmad
Qasim (Bandung: Trigenda Karya, 1995, h. 42 – 51. Mengenai hak-hak dan
kewajiban wanita secara umum dapat dilihat dalam Abdul Aziz Dahlan
(ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996, vol.
VI, h. 1920 – 1925.
27. Bandingkan dengan Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi... vol. VI, h. 1921.
28. Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Kairo: al-Fath lil I’lam al-‘Arabi, t.t., vol. 2, h.
131. Dan Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H,
vol. 9, h. 507.
29. Badruddin al-‘Aini, Umdatul Qari (Beirut: Dar Ihya al-Turast al-‘Araby, t.t.),
340_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
vol XXI h. 20. Bandingkan dengan Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqhu ‘ala
Madzahib al-‘Arba’ati (Kairo: Dar al-Hadits, 1994), vol IV h.425.
30. Abu al-Hasan Muslim al-Naisaburi, Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya alTurats al-‘Arabi), vol IV h. 1717 nomor hadis 2182.
31. Muhammad bin Umar Nawawi, Syarah Uqud al-Lujain (Indonesia: Dar Ihya
al-Kutub al-‘Arabiyyah, h. 5.
32. Bandingkan dengan Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab,
Fiqh Munakahat, terj. Abdul Majid Khon, Jakarta: Amzah, 2014, h. 222 – 223.
33. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2012, h. 596 – 597.
34. Ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (T.T.P: Muassasah alRiasalah, 2000, vol IV h. 531 – 537.
35. Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari (T.T.P : Dar Thauq al-
Najah, 1422 H.) vol. VII, h. 65. Nomor 5363. Lihat juga Abdul Aziz al-Fauzan,
Fikih Sosial, terj. Iman Firdaus dan Ahmad Solahudin Jakarta: Qisthi Press,
2007, h. 151.
36. Abu ‘Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Mesir: Musthafa al-Bani, 1975), vol
V h. 709 nomor 3895.
37. Q.S. al-Taubah (9) : 71.
38. Q.S. al-Taubah (9) : 122.
39. Q.S. Ali Imran (3) : 159 dan Q.S. al-Syura (42) : 38.
40. Q.S. al-Baqarah (2) : 187.
41. Q.S. al-Taubah (9) : 71.
42. Disarikan dari hadis Nabi Muhammad saw. dari Aisyah ra. Beliau
bersabda; “sesungguhnya Allah SWT. menyukai seseorang di antara kalian
yang melakukan sebuah perbuatan dengan tuntas (an yutqinahu : teliti
dan sempurna).” Lihat Nuruddin ‘Ali ibn Abi Bakar Hafidz al-Haitsami,
Majma’ Zawaid wa Manba’ al-Fawa’id (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), vol. IV h.
122. Bandingkan dengan Agus Jaya, ‘The Rola of Religious Affairs Office
(KUA)’ in Handling Sempalan Sect: Study Case of Religious Affairs Office
(KUA) Tanjung Batu District’ dalam Jurnal Bimas Islam vol. 8, no. 2. Tahun
2015, h. 221.
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _341
The influence of Islamic Religion againstthe Legal
Developments in Indonesia
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan
Hukum di Indonesia
Fabian Fadhly
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung
email: [email protected]
Abstract : The entry of Islam to Indonesia in the first century of Hijri or seventh century of
A.D which given influences to many aspect in Indonesian life, one of them is in
the field of law. The influence of Islam against the law in Indonesia began to be felt
with the rise of Islamic law being introduced and applied in public life of Indonesia
together with customary law at the time. Setbacks Islamic law in Indonesia began
when the Dutch applied receptie theory, this theory pressing enforceability and
implementation of Islamic law for Muslims in Indonesia. Changeover after
independency of Indonesia had given space to reenforce the Islamic law with
Indonesianperspective, and been realized by autonomy of religious court toadjudged
Islamic private cases, furthermore Islamic Law Compilation being used as referral for it.
Abstraksi : Masuknya Islam ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad ke tujuh
Masehi mempengaruhi berbagai lingkungan kehidupan Bangsa Indonesia, salah
satunya dalam bidang hukum. Pengaruh Islam terhadap hukum di Indonesia mulai
terasa dengan munculnya hukum Islam yang diperkenalkan dan diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat Indonesia bersamaan dengan hukum adat pada saat
itu. Kemunduran hukum Islam di Indonesia bermula ketika Belanda menerapkan
teori receptie, teori ini menekan keberlakuan serta penerapan hukum Islam bagi
muslim Indonesia. Perubahan yang terjadi setelah kemerdekaan memberi ruang
yang cukup luas untuk kembali memberlakukan dan menerapkan hukum Islam
yang bercorak ke-Indonesiaan. Keadaan ini terealisasikan oleh kemandirian
Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara yang berkaitan dengan bidang
keperdataan Islam, selain itu terdapat pula KHI yang menjadi rujukannya.
Keywords : Islam, Islamic law, Indonesian law.
342_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
A.Pendahuluan
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah SWT. melalui
perantaran malaikat-Nya Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam
perjalannya, Islam tumbuh dalam dinamika sosial kemasyarakatan
hingga saat ini tumbuh menjadi agama besar di dunia.
Berkembangnya ajaran Islam tidak lepas dari pengaruh kekuasaan
Islam yang mengalami perluasan wilayah. Khulafa ar-Rasyidin merupakan
pelopor ketercapaian hal tersebut, yang dilanjutkan oleh Dinasti Umayyah
dan Dinasti Abbasiyah. Perkembangan dan perluasan tersebut tidak
hanya terjadi di Jazirah Arab, sebagai tempat lahirnya Islam, melainkan
sampai ke wilayah Nusantara yang dikenal sekarang dengan Indonesia.
Sejarahwan berpendapat bahwa masuknya Islam ke Indonesia terjadi
pada awal-awal abad hijriah. Ibnu Batutah, seorang pengembara dari
Maroko, menuturkan di dalam bukunya bahwa penduduk pulau-pulau
yang dikunjunginya pada umumnya telah memeluk agama Islam dengan
madzhab Syafi’i. Sultan Malik Dzahir Syah digambarkannya sebagai
seorang pemimpin (raja/sultan) dan faqih (ahli dalam ilmu fiqih), atau
seorang faqih yang raja.1
Selain itu terdapat penemuan batu nisan seorang wanita muslimah
yang bernama Fatimah binti Maimun dekat Surabaya bertahun 475 H
atau 1082 M. Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah :
1. Pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di Peurlak Aceh Timur,
kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan Islam pertama
di Samudera Pasai, Aceh Utara.
2. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama
beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja
Pahit.
Bukti lain kentalnya ajaran Islam di Indonesia adalah gambaran
yang diceritakan oleh Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental bahwa
terdapat satu daerah bernamakan Pase (Pasai) sebagai sebuah kota
kosmopolitan, yang didiami oleh muslim beretnis Bengal. Bukti terakhir
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _343
muncul dari catatan sejarah Dinasti Sung dari Cina yang menyatakan
bahwa telah ditemukan indikasi adanya perkampungan bangsa Arab di
wilayah yang dikenal saat ini sebagai Sumatera.2 Gresik memiliki buktibukti tertua tentang adanya masyarakat muslim, dengan ditemukannya
sebuah batu kubur bertuliskan Arab Khufi yang memiliki angka tahun
tertua di Indonesia.3
Pedagang Timur Tengah4 merupakan pelopor
Islam ke wilayah Aceh. Sejarah pun mencatat Islam
berkembang di Indonesia pada Abad ke tiga belas.
agama Islam berasal dari tanah Gujarat, Gowa,
mayoritas dari mereka adalah para pedagang.
membawa ajaran
mulai masuk dan
Saat itu penyebar
maupun Lahore,
Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke tiga belas merupakan perintis
dan pelopor kerajaan Islam di Indonesia pada saat itu, kemudian
diikuti oleh Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan beberapa
kerajaan lainnya.5 Aceh menjadi daerah pertama masuknya Islam ke
Nusantara pada abad 1 Hijriah, dibuktikan dengan terdapatnya makam
raja Samudera Pasai yang dikenal dengan Malik al-Shaleh (Malikus
Shaleh) (668-1245 H/1298-1326 M).6 Pedagang-pedagang muslim dari
Arab, Persia, dan India pada Abad ke-7 M (H) telah melakukan aktifitas
ekonomi berdagang dengan masyarakat asli Indonesia jauh sebelum
ditakluknya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M. Malaka pada
saat itu merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran
yang membawa hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh Nusantara
ke Cina dan India. Keadaan ini menempatkan Malaka pada saat itu
sebagai mata rantai pelayaran yang penting dalam penyebaran Islam di
Indonesia.7
Pengaruh Islam terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia
tidak dapat dinafikan keberadaannya. Munculnya nilai-nilai Islam tidak
hanya mempengaruhi politik Indonesia yang mengenal partai-partai
yang berbasis ajaran Islam, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan
Indonesia. Bidang ekonomi menjadi bagian lain dari akulturasi sistem
ekonomi dengan Islam sebagai suatu ajaran hidup manusia, dengan
344_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
munculnya ekonomi Syariah sebagai salah satu sistem ekonomi yang
berkembang di Indonesia sejak tahun 1992. Hukum menjadi bagian lain
yang terpengaruh atau dipengaruhi ajaran Islam, dengan munculnya
lembaga-lembaga hukum yang diatur melalui konsepsi aturan Islam,
seperti wakaf, perkawinan, perceraian dan waris.
Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan hukum Islam sebagai
bagian dari tata hukum Indonesia, dengan menempatkan kedudukan
agama menjadi rujukan untuk tercapainya tujuan negara. Tujuan
ini dibentuknya Negara seperti dituangkan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-Empat, ditempuh dengan jalan
melandasinya dengan satu dasar, ialah Pancasila. Satu di antaranya
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang merupakan perwujudan
diakuinya hak hidup untuk agama..8
Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan
dari al-fiqh al-Islami, dalam istilah hukum Barat dikenal dengan Islamic
Law. Dalam al-Qur’an maupun Sunnah tidak dijumpai istilah hukum
Islam, yang digunakan adalah kata syari’ah yang dalam penjabarannya
kemudian lahir istilah fiqh. Antara syariah dan fiqh memiliki hubungan
yang sangat erat. Syariah tidak dapat dipahami dengan baik tanpa melalui
fiqh atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku.
Fiqh sebagai hasil usaha ijtihad, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang
dan waktu yang meliputi faqih (jamak fuqaha) yang memformulasikannya.
Karena itulah, sangat wajar jika kemudian terdapat perbedaan dalam
rumusan fikih di antara para ulama.9
Ajaran Islam mempengaruhi tata hukum di Indonesia baik hukum
tertulis, maupun hukum tidak tertulis. Islam memberikan kebijaksanaan
dalam menerapkan aturan ajaran Islam di dalam kehidupan
bermasyarakat yaitu melalui kebijaksanaan tasyri’, taklif dan tathbiq.
Kebijaksanaan tasyri’ adalah kebijaksanaan pengundangan suatu
aturan hukum Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Kebijaksanaan taklif adalah kebijaksaan dalam penerapan
suatu ketentuan hukum terhadap manusia sebagai mukallaf (subjek
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _345
hukum) dengan melihat kepada situasi dan kondisi pribadi manusia
itu; melihat kemampuan fisik, biologis dan dan rohani; mempunyai
kebebasan bertindak dan mempunyai akal sehat. Kebijaksanaan tathbiq
adalah kebijaksanaan perlakuan dan ketentuan hukum yang dapat saja
berbeda dengan hukum perbuatan itu bagi orang lain.10
Hukum
Islam
bertujuan
untuk
memudahkan
umat
dalam
melaksanakan ibadah kepada Allah. Islam adalah agama yang sempurna.
Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah),
hubungan antarsesama manusia (hablumminannas), dan hubungan
manusia dengan alam (hablumminal ‘alam). Dalam hubungan itu, Allah
menetapkan aturan-aturan hukum yang harus diikuti, ditaati, dan
dipatuhi oleh umat Islam. Aturan hukum itu bertujuan agar manusia
hidup teratur, damai, dan adil.11
Masuknya Belanda ke Indonesia mulai mempengaruhi perkembangan
hukum Indonesia dengan munculnya berbagai macam hambatanhambatan yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda, sebagai upaya
untuk menekan pengaruh Islam dalam masyarakat Indonesia. Cara yang
dilakukan pemerintah Belanda adalah dengan memberlakukan teori
receptie, yaitu hukum yang berlaku dalam realita masyarakat adalah
hukum adat, sedangkan hukum Islam dapat diberlakukan apabila telah
beradaptasi dengan hukum adat, yang dikemukakan oleh Christian
Snouck Hurgronje (1857-1936), sebagai penasihat Pemerintah Belanda
dalam kaitannya dengan Islam dan persoalan-persoalan pribumi.
Snouck Hurgronje mendalami hukum dan agama Islam secara khusus
di Indonesia, bahkan pernah melakukan penyamaran sebagai dokter
mata dengan nama Abdul Ghafur di Mekkah.12 Teori ini didukung
pula oleh Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933), Bertrand Ter Haar,
dan beberapa muridnya.13 Munculnya teori receptie ini memberikan
argumentasi dan dasar bagi Belanda untuk membentuk sebuah komisi
yang bertugas meninjau kembali wewenang Peradilan Agama di Jawa
dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi dari komisi ini, lahirlah
Stb (staatblad) Nomor 116 berisi pencabutan wewenang Peradilan Agama
346_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
untuk menangani masalah waris dan yang lainnya, perkara perkara ini
kemudian dilimpahkan kepada Landraad (Pengadilan Negeri).14
Islam yang telah memasuki sendi-sendi kehidupan Bangsa Indonesia
sejak awal abad ke satu Hijriah (tujuh Masehi) memberikan dampak
yang luar biasa terhadap perkembangan hukum yang kita kenal
dengan hukum Islam dalam term ke-Indonesiaan. Tulisan ini bertujuan
memaparkan pengaruh Islam yang memiliki peran begitu besar terhadap
perkembangan dan pembangunan hukum nasional, terutama berkaitan
dengan hukum bagi muslim di Indonesia. Metode yuridis normatif
dengan pendekatan historis merupakan metodelogi yang digunakan
dalam tulisan ini. Yuridis normatif ditujukan untuk menganalisis bahanbahan hukum yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Pendekatan historis dimaksudkan untuk memahami filosofis aturan
hukum/hukum dari waktu ke waktu15 dalam ruang lingkup hukum
Islam di Indonesia.
B.Pembahasan
1. Islam di Indonesia
Islam merupakan kata yang paling tepat digunakan sebagai ajaran
Tauhid dari agama Samawi setelah munculnya agama Nasrani dan
Yahudi. Kata ini merupakan refleksi dari penyerahan diri seseorang
kepada Allah SWT. sebagai pencipta alam semesta. Penganut Islam
disebut dengan kata sifat muslim (di negara Barat diistilahkan dengan
moslem).16 Islam dalam konteks sejarah merupakan risalah yang
paripurna dan universal. Islam mengatur seluruh masalah kehidupan,
serta hubungan antara kehidupan itu dengan sebelum dan sesudah
kehidupan. Islam juga mengatur interaksi manusia dengan penciptanya,
dirinya sendiri, serta sesama manusia di setiap waktu dan tempat.
Islam telah membawa corak pemikiran khas dan melahirkan sebuah
peradaban yang berbeda dengan peradaban mana pun, yang mana
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _347
melahirkan kumpulan konsepsi kehidupan, membuat perasaan para
penganutnya mendarah daging dengan corak peradabannya. Pemikiranpemikiran yang dibawa Islam juga mampu melahirkan pandangan hidup
tertentu, yaitu pandangan halal dan haram, sebuah metode yang unik
dalam kehidupan, serta mampu membangun sebuah masyarakat yang
pemikiran, perasaan, sistem dan individu-individunya berbeda dengan
masyarakat manapun.17
Islam merupakan agama dan peradaban. Fakta sejarah
menggambarkan bahwa dalam jangka waktu empat belas abad sejarah
manusia, Islam telah mengalami perluasan wilayah yang terbentang dari
benua Asia dan Afrika, bahkan sebagian Eropa mengalami dampak dari
perluasan tersebut.18
Secara umumnya kedatangan Islam di Melayu diawali abad ke7, dibawa oleh para pedagang. Hamka yang telah membuat kajian
menggunakan sumber Cina dan tulisan T.W. Arnold menyebut peranan
dakwah para pedagang Arab di daerah Melayu dan dunia sebelah timur
adalah sekitar abad ketujuh M. Kelompok kecil pendakwah ini telah
berada di daerah Melayu yaitu di bahagian barat Sumatera (674 M), dan
878 M dan di Jawa pada 1082 M, di Champa 1039 M, Semenanjung Tanah
Melayu pada 878 M dan 1302 M dan semakin bertambah ramai sekitar
abad ke-15. Islam telah tersebar sejak abad ke-13 atau ke-14 berdasarkan
kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Melayu-Islam
pertama.19
Ada tiga teori yang menjelaskan tentang masuknya Islam di Indonesia.
Pertama, Islam telah masuk ke Indonesia ketika telah ada orang Islam di
Indonesia, baik orang asing maupun orang pribumi. Kedua, Islam telah
masuk ke Indonesia ketika ada orang pribumi yang telah masuk Islam.
Ketiga, Islam telah ke Indonesia ketika Islam telah mengalami proses
pelembagaan di wilayah Indonesia.20
Ira M. Lapidus menyatakan terdapat tiga teori yang mempengaruhi
berkembangnya Islam beserta aturan-aturan yang termaktub di
348_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
dalamnya, teori pertama menekankan peran kaum pedagang yang telah
melembagakan dirinya di wilayah pesisir pantai. Akulturasi yang terjadi
antara penguasa lokal dan pedagang melalui lembaga pernikahan, serta
kemampuan diplomatik yang dimiliki dalam perdagangan internasional
merupakan faktor lain yang mempengaruhi berkembangnya Islam di
daerah pesisir. Penguasa lokal merupakan kelompok pertama yang
memeluk agama Islam, sebagai upaya untuk memisahkan diri kekuasaan
Majapahit yang beragama Hindu, serta bertujuan untuk menarik simpati
muslim untuk membentukan kelompok pedagang demi mengimbangi
pedagang-pedagang Hindu di Jawa.
Teori kedua, peran para sufi yang berasal dari Gujarat, Bengal, dan
Jazirah Arab. Kedatangan para sufi memiliki peran tidak hanya sebagai
penyebar agama Islam, melainkan pula sebagai pedagang dan politisi
yang memiliki tujuan untuk menjalin komunikasi melalui perdagangan
dan kekuasaan dengan penguasa lokal. Teori ketiga, berkaitan dengan
penekanan akan makna Islam bagi masyarakat muslim dibandingkan
makna Islam dalam pandangan penguasa lokal. Islam telah menyumbang
sebuah landasan ideologis bagi kebajikan individual, bagi solidaritas
kaum tani dan komunitas pedagang, dan bagi integrasi kelompok
parochial yang lebih kecil menjadi masyarakat yang lebih besar.21
Ahmad Mansur Suryanegara, menjelaskan lebih lanjut tentang masuk
Islam ke Indonesia berdasarkan wilayah para penyebar agama Islam:
a. Teori Gujarat yang mengikuti hasil penulisan sarjana Belanda,
terutama kajian dari Christian Snouck Hurgronje. Pendapatnya
menyatakan bahwa Islam tidak mungkin masuk ke Indonesia
secara langsung dari jazirah Arab tanpa melalui ajaran tasawwuf
yang berkembang di India, terutama di daerah Gujarat dengan
Kesultanan Samudera Pasai yang menerima ajaran Islam melalui
jalur Gujarat ini. Ia menghubungkannya dengan penyerangan dan
pendudukan Baghdad oleh Raja mongol pada Tahun 1258 M. Teori
ini diperkuat oleh J. P. Moquette berdasarkan temuan arkeologis,
yaitu batun nisan Sultan Malik as-Salih yang meninggal pada 669
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _349
H (1297 H) di Gampong Samudera, Lhoksumawe. Data arkeologis
ini dianggap sebagai batu nisan tertua yang mencantumkan
sultan pertama di wilayah ini, Moquette menyimpulkan bahwa
kedatangan Islam pertama di Samudera adalah pada 1270-1275
M.22
b. Teori Makkah merupakan teori yang digunakan oleh Hamka
dalam menjelaskan proses masuknya Islam ke Indonesia,
bahwa berdasarkan berita dari Dinasti Tang telah ditemukan
permukiman pedagang Arab Islam pada abad ke 7 M di pantai
barat Sumatra. Teori ini menyangkal bahwa Kesultanan Samudera
Pasai yang didirikan pada 1275 M atau abad ke 13 M sebagai awal
masuknya agama Islam, melainkan Kesultanan ini timbul karena
perkembangan Islam pada masa itu.23
c. Teori Persia diungkap oleh Abu bakar Atjeh yang mengikuti
pandangan Hoesein Djajadiningrat, bahwa islam masuk melalui
jalur Persia dan bermadzhab Syi’ah. Dasar dari pendapat ini adalah
bahwa sistem baca atau sistem mengeja membaca al-Qur’an,
terutama di Jawa Barat mengikuti sistem Persia. Teori ini dinilai
lemah karena tidak semua pengguna sistem baca huruf al-Qur’an
tersebut di Persia penganut madzhab Syi’ah.
d. Teori Cina merupakan pandangan yang lahir dari Slamet Muljana,
yang menekankan Islam masuk ke Indonesia berdasarkan
akulturasi, karena pernikahan orang pribumi Indonesia dengan
orang Cina. Pendapat ini coba dibuktikan dengan lahirnya para
penguasa dan ulama yang memiliki darah bangsa Cina, seperti
Sultan Demak, para Wali Sanga. Pendapat ini bertolak dari Kronik
Sam Po Kong.24 Berita ini diketahui melalui catatan dari Ma Huan,
seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana ChengHo. Ia menyatakan melalui tulisannya bertempat tinggal di pantai
utara Pulau Jawa, bahwa sejak kira-kira-kira tahun 1400 telah ada
saudagar-saudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai utara
Pulai Jawa.25
350_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
e. Teori maritim N. A Baloch sejarawan Pakistan menyatakan masuk
dan perkembangan agama Islam di Indonesia, akibat umat Islam
memiliki kavigator atau mualim dan wirausahawan Muslim yang
dinamik dalam penguasaan maritim dan pasar, melalui aktifitas
ini ajaran Islam mulai dikenalkan di sepanjang jalan laut niaga
di daerah pantai tempat persinggahannya pada abad ke 1 H atau
abad ke 7 M.26
f. Teori Coromandel dan Malabar. Teori ini dikemukakan oleh
Marrison dengan mendasarkan pada pendapat yang dipegangi
oleh Thomas W. Arnold. Teori Coromandel dan Malabar yang
mengatakan bahwa Islam yang berkembang di Nusantara berasal
dari Coromandel dan Malabar adalah juga dengan menggunakan
penyimpulan atas dasar teori mazhab. Ada persamaan mazhab yang
dianut oleh umat Islam Nusantara dengan umat Islam Coromandel
dan Malabar yaitu mazhab Syafi’i. Dalam pada itu menurut
Marrison, ketika terjadi Islamisasi Pasai tahun 1292, Gujarat masih
merupakan kerajaan Hindu. Untuk itu tidak mungkin kalau asal
muasal penyebaran Islam berasal dari Gujarat.
g. Teori Mesir dikemukakan oleh Kaijzer ini juga mendasarkan
pada teori mazhab, dengan mengatakan bahwa ada persamaan
mazhab yang dianut oleh penduduk Mesir dan Nusantara,
yaitu bermazhab Syafi’i. Teori Arab-Mesir ini juga dikuatkan
oleh Niemann dan de Hollander. Tetapi keduanya memberikan
revisi, bahwasanya bukan Mesir sebagai sumber Islam Nusantara,
melainkan Hadramaut. Sementara itu dalam seminar yang
diselenggarakan tahun 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam
ke Nusantara menyimpulkan bahwasanya Islam langsung datang
dari Arab, tidak melalui dan dari India.27
2. Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas
penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup di dalam
masyarakat. Ayat al-Qur’an dan sunnah dalam al-Hadits begitu banyak
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _351
yang menggambarkan bahwa orang yang beriman memiliki kewajiban
untuk menaati hukum. Tingkatan kehidupan beragama seorang muslim
dikaitkan dengan sikap dan ketaatnya kepada Allah SWT. dan RasulNya.28
Penerapan dan pelaksanaan hukum Islam telah ada sejak permulaan
abad 14 Masehi, terlihat pada masa Kerajaan Samudera Pasai sebagai
kerajaan Islam pertama. Sultan Malik As-Shaleh adalah ahli dalam
bidang fikih menurut madzhab Syafi’i. Dengan bantuan para ulama
dari berbagai mancanegara serta dari qadhi (hakim), sultan pertama
dari kerajaan ini menerapkan berbagai keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan pelaksanaan hukum Islam di daerahnya. Salah satu
bukti penerapan dan pelaksanaan hukum Islam di Samudera Pasai dapat
ditemukan dalam Prasasti Trengganu.
Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam
karena kedudukan hukum Islam itu sendiri. Ketentuan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945 telah memberi penegasan atas
hal tersebut. Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 mengungkapkan
pernyataan kemerdekaan Indonesia atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa.
Ismail Suny29 mengungkapkan bahwa sejarah hukum pada zaman
Hindia Belanda mengenai hukum Islam dapat dibagi kepada dua
periode: Pertama, periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya (secara
kesuluruhan) yang disebut dengan receptio in complexu, yaitu periode
berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam karena memeluk
agama Islam. Hukum Islam yang telah berlaku sejak kerajaan Islam
di Nusantara hingga zaman V.O.C, yaitu hukum kekeluargaan Islam
khususnya hukum perkawinan dan waris, tetap diakui oleh Belanda.
Pengakuan akan teori ini dituangkan oleh V.O.C melalui peraturan
Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760. V.O.C memerintahkan
D.W. Freijer untuk menyusun Compendium yang memuat hukum
perkawinan dan kewarisan Islam untuk diperbaiki dan disempurnakan
oleh ahli hukum Islam pada saat itu. Kitab hukum itu secara resmi
352_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
diterima oleh Pemerintahan V.O.C tahun 1706 dan dipergunakan oleh
pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan
umat Islam di daerah kekuasaan V.O.C. Kitab tersebut dikenal dengan
dengan Compendium Freijer,30 dan kemudian menjadi dasar hukum dalam
Regeering Reglemen (RR) tahun 1885.
Kedua, penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yang kemudian
dikenal dengan teori receptie yaitu hukum yang berlaku dalam realita
masyarakat adalah hukum adat, sedangkan hukum Islam dapat
diberlakukan kalau sudah beradaptasi dengan hukum adat. Teori ini
dilegalisasi dalam undang-undang dasar Himdia Belanda, sebagai
pengganti RR yaitu Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (IS).
Pengaruh dari perubahan RR ke IS menyebabkan dicabutnya hukum
Islam dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda melalui Staatblad
No. 212 pada tahun 219. Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck
Hurgronje (1857-1936) dan didukung pula oleh Cornelis Van Vollenhoven
(1874-1933), Bertrand Ter Haar, dan beberapa muridnya.31 Munculnya
teori receptie ini memberikan argumentasi dan dasar bagi Belanda untuk
membentuk sebuah komisi yang bertugas meninjau kembali wewenang
Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan bekal sebuah rekomendasi
dari komisi ini, lahirlah Stb (staatblad) Nomor 116 berisi pencabutan
wewenang Peradilan Agama untuk menangani masalah waris dan yang
lainnya. Perkara perkara ini kemudian di limpahkan kepada Landraad
(Pengadilan Negeri).32
Perkembangan dan perubahan yang lebih baik dalam memaknai dan
menempatkan hukum Islam di Indonesia dengan mengenyampingkan
teori receptie, mulai dilakukan setelah Indonesia merdeka.33 Konstitusi
pasca kemerdekaan menempatkan hukum Islam sebagai bagian
masyarakat Indonesia yang tidak terpisahkan dengan ajaran Islam,
karena faktor kedekatan sejarah yang membentuk Islam Indonesia,
sehingga selaras dengan tujuan dari hukum Islam itu sendiri. Teori ini
ditujukan untuk memberikan pengertian dan pemahaman baru akan
pentingnya Islam menjadi bagian dari pembangunan hukum nasional
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _353
yang selaras dengan Pancasila dan UUD 1945.34 Teori ini diistilahkan
dengan teori receptie exit yang dikemukan oleh Hazairin. Pokok-pokok
pikiran teori ini ialah:
a. Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara
Indonesia sejak tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia
dan mulai berlakunya UUD 1945.
b. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 maka negara Republik
Indonesia berkewajiban, membentuk hukum nasional Indonesia
yang bahannya hukum agama. Negara mempunyai kewajiban
kenegaraan untuk itu.
c. Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional
Indonesia bukan hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama
lain untuk pemeluk agama lain. Hukum agama di bidang hukum
perdata diserap dan hukum pidana diserap menjadi hukum
nasional Indonesia. Itulah hukum baru Indonesia dengan dasar
Pancasila.35
Perjalanan sejarah hukum Indonesia menunjukkan pula bagaimana
unsur-unsur dalam sistem hukum Pancasila terisi oleh unsur-unsur
hukum Islam. Pancasila terutama sila pertama Ketuhanan Yang Maha
Esa menunjukkan pentingnya peran agama, atau kausa prima terhadap
sila-sila lainnya dalam membangun hukum. GBHN bidang agama
dengan jelas menyatakan pengaruh agama yang kuat menjadi salah satu
fondasi terbentuknya hukum yang ditujukan untuk pengembangan,
pembangunan, dan pembentukan hukum nasional secara keseluruhan
demi kepentingan kehidupan kemasyarakatan.
Ada tiga hukum Islam dalam tata kehidupan bernegara. Pertama,
hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur
kehidupan umat Islam, minimal dengan menerapkan apa yang dianggap
baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, kebolehan, dan
larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan unsur yuridis
prudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum
354_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki
aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negara sehingga
penerapan hukum Islam secara penuh menjadi slogan perjuangan yang
masih memiliki daya tarik yang besar.36
Keadaan ini menunjukkan begitu lekatnya Indonesia sebagai bangsa
dan Negara dengan hukum Islam. Di satu sisi Islam memahami pentingnya
proses hukum berintegrasi dengan kehidupan bermasyarakat, sisi
lainnya menunjukkan proses tersebut dapat terlaksana dan dilaksanakan
melalui peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif.
Abdurrahman memberikan tiga argumentasi yang dapat menunjukkan
arti penting hukum Islam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia, yaitu:
a. Secara faktual umat Islam Indonesia bukan hanya sebagai
kelompok mayoritas di Indonesia, melainkan menjadi mayoritas
umat Islam di dunia. Keadaan ini menunjukkan hukum Islam
sebagai aturan yang mengikat terhadap subjek hukum yang besar
pula. Akan tetapi keadaan ini dapat dicapai sepenuhnya apabila
umat Islam memperlakukan dan melaksanakan ketentuannya
dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya dampak negatif terhadap
kedudukan hukum Islam bila keadaan ini tidak disadari dan
dilaksanakan dengan baik oleh umat Islam itu sendiri.
b. Indonesia meskipun bukan merupakan negara Islam, memberikan
tempat bagi hukum Islam dengan menetapkan Pancasila sebagai
dasar negara dan satu-satu asas dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa selaras dengan ajaran
Tauhid sebagai pokok dari ajaran Islam, memberikan landasan
idiil yang cukup kokoh untuk melaksanakan ketentuan hukum
Islam dalam negara hukum yang berlandaskan Pancasila. Jaminan
ini pula ditujukan oleh UUD 1945 dalam penghormatan akan
kemerdekaan bagi masyarakat Indonesia untuk beribadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya.
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _355
c. Bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia dalam rangka
kegiatan pembangunannya telah menempatkan Pembinaan
Hukum Nasional sebagai salah satu bidang yang menjadi kajian.
Hukum Islam dalam agenda kajian ini dapat menjadi salah satu
bagian pokok yang sangat diperlukan untuk membina hukum
Nasional tersebut. Kajian ini ditujukan untuk menunjukan bahwa
hukum Islam penting menjadi pertimbangan dalam memetakan
hukum nasional secara keseluruhan, karena hukum Islam berada
dan berkembang bersamaan hukum adat dan lebih dahulu
dibandingkan hukum Eropa Kontinental (Belanda) mempengaruhi
sistem hukum Indonesia.37
Pasca kemerdekaan Indonesia dari Belanda setelah Perang Dunia ke II
(dua), keterpisahan sistem hukum dalam badan peradilan menjadi bagian
yang mendapatkan perhatian dari tokoh-tokoh pemimpin Indonesia
pada saat itu. Tahun 1948 terdapat aturan memerintahkan peleburan
Pengadilan Agama kepada Pengadilan Umum (civil courts), akan tetapi
pelaksanakaannya tidak dapat dilakukan karena revolusi yang terjadi
pada saat itu. Badan peradilan agama dapat terealisasikan keberadaannya
pada tahun 1957, dengan mendapatkan persetujuan dari kabinet melalui
peraturan pemerintah yang memberikan wewenang untuk pembentukan
Pengadilan Agama di wilayah yang belum memilikinya. Aturan ini
pula memberikan kewenangan untuk mendirikan Pengadilan Agama
bersamaan dengan pengadilan umum yang telah ada sebelumnya, dan
memiliki wilayah kewenangan absolut dan kewenangan relatif layaknya
pengadilan umum.38
Kewenangan mengadili yang diberikan kepada Pengadilan Agama
melalui Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957, berupa penyelesaian
sengketa dalam perkawinan (perkawinan, perceraian, dan rujuk), waris,
hadanah, wakaf, hibah, dan sedekah. Sebagai konsekuensi, beberapa
pengadilan pribumi yang telah ada di daerah-daerah tertentu di
Indonsesia melebur dan bertransformasi menjadi Pengadilan Agama.
356_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Kedudukan Pengadilan Agama dalam sistem peradilan di Indonesia
sebagai lembaga yang independen, dikuatkan dengan lahirnya UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Undang-undang
ini ditujukan untuk memberikan keleluasaan bagi Pengadilan Agama
untuk melaksanakan setiap keputusan yang lahir dari persidangan,
karena sebelum munculnya undang-undang ini setiap putusan yang
dikeluarkan olehnya memerlukan persetujuan dan pengukuhan dari
Pengadilan Umum/Pengadilan Tata Usaha Negara.39
Perubahan lain yang muncul setelah kemerdekaan adalah lahirnya
Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991,40 yang menjadi acuan dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan
Agama berkaitan dengan perkawinan, waris dan harta perkawinan.41
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan rangkaian sejarah
hukum nasional dalam mengungkapkan ragam makan kehidupan
masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang:
a. Adanya norma hukum yang hidup dan ikut serta bahkan mengatur
interaksi sosial.
b. Aktualnya dimensi normatif akibat terjadinya eksplanasi
fungsional ajaran Islam yang mendorong terpenuhinya tuntutan
kebutuhan hukum.
c. Alim ulama Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan
kesepakatan bahwa KHI adalah rumusan tertulis hukum Islam
yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat
Indonesia.42
Pada peradilan agama sendiri, terdapat 13 buah kitab fikih bermazhab
Syafi’i sebagai sumber hukum materiil untuk menyelesaikan perkara
yang diajukan ke Pengadilan Agama.43 Keanekaragaman kitab fikih
sebagai sumber hukum untuk memutuskan perkara di Pengadilan
Agama berimplikasi terhadap kemungkinan terjadinya perbedaan
putusan atau disparitas antar Pengadilan Agama satu wilayah dengan
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _357
wilayah lainnya untuk perkara yang sama. Keadaan inilah yang menjadi
salah satu alasan untuk dilakukannya unifikasi hukum Islam khususnya
di bidang hukum keluarga.
Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku mencoba
menjawab permasalahan ini. KHI disusun dan dirumuskan untuk mengisi
kekosongan hukum substansial pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama. Pemberlakuan KHI memberikan tempat secara yuridis
bahwa hukum Islam di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan
menjadi hukum positif tertulis dalam sistem hukum nasional (tata
hukum Indonesia). Ia menjadi dasar untuk pengambilan keputusan
hukum terhadap perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama.44
Bagi mereka yang berperkara di Pengadilan Agama, dapat melakukan
pembelaan dan segala upaya untuk mempertahankan hak dan
kewajibannya dengan tidak boleh menyimpang dari kaidah Kompilasi
Hukum Islam. KHI memberikan acuan pada proses persidangan bahwa
para pihak tidak boleh mempertentangkan pendapat-pendapat yang
terdapat dalam kitab fiqih tertentu. Begitu pula dengan penasihat hukum,
mereka hanya diperkenankan mengajukan tafsir dengan bertitik tolak
dari rumusan Kompilasi Hukum Islam. Semua pihak yang terlibat dalam
proses di Peradilan Agama, sama-sama mencari sumber dari muara yang
sama yaitu Kompilasi Hukum Islam.45
KHI menjadi penting sebagai rujukan dan landasan putusan Peradilan
Agama. KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas
Indonesia, pandangan ini dapat dilihat dari unsur-unsur sistem hukum
nasional:46
a. Landasan ideal dan konstitusi KHI adalah Pancasila dan UndangUndang Dasar 1956. Ketentuan ini dimuat dalam konsideran
Instruksi Presiden dan dalam Penjelasan Umum Kompilasi Hukum
Islam yang disusun sebagai bagian dari sistem hukum nasional dan
menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan
358_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran
masyarakat dan bangsa Indonesia.
b. KHI dilegalisasi oleh isntrumen hukum dalam bentuk Instruksi
Presiden yang dilaksanakan oleh Keputusan Menteri Agama,
dan merupakan bagian dari rangkaian peraturan perundangundangan yang berlaku. Instruksi Presiden ini tidak mengurangi
sifat legalitas dan otoritasnya, dikarenakan segala yang
dirumuskan di dalamnya merupakan suatu kebutuhan akan
ketertiban masyarakat Islam masa kini dan masa yang akan datang.
Kandungan isi dari KHI disusun dan diupayakan berdasarkan
keinginan dan kesadaran masyarakat yang membutuhkannya.
c. KHI dirumuskan dengan merujuk pada sumber hkum Islam, yaitu
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. yang bercorak keIndonesiaan.
d. Aktualisasi KHI berada pada wewenang badan peradilan dalam
lingkungan Peradilan Agama, berdasarkan tafsiran teologis
dari penjelasanya. Bidang kewarisan (Buku II) pola dasarnya
merupakan peralihan bentuk dari kewarisan menurut pada fuqaha
(dalam lingkungan “tradisi besar” meminjam istilah redfield ke
dalam bentuk kanun (qanun).
C.Penutup
Pengaruh Islam terhadap hukum di Indonesia mulai terasa dengan
munculnya Hukum Islam sebagai suatu sistem yang bermula dan
dimulai pada saat datangnya para cendekiawan dan pedagang muslim
ke Indonesia. Melalui peran keduanya Islam dapat tumbuh dan
berkembang. Hukum Islam mulai diperkenalkan dan diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat pada saat itu bersamaan dengan hukum adat
yang telah ada jauh sebelum masuknya Islam.
Pengaruh hukum Islam mulai berkurang ketika masuknya Belanda
dan menerapkan teori receptie. Teori ini menekan keberlakuan serta
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _359
penerapan hukum Islam bagi muslim Indonesia. Namun perubahan
yang terjadi setelah kemerdekaan memberi ruang yang cukup luas bagi
muslim Indonesia untuk kembali memberlakukan dan menerapkan
hukum Islam yang bercorak ke-Indonesiaan. Keadaan ini terealisasikan
oleh kemandirian Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara yang
berkaitan dengan bidang keperdataan Islam, selain itu terdapat pula KHI
sebagai rujukan memeriksa dan memutuskan di Pengadilan Agama.
360_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Daftar Pustaka
Abdul Halim, “Membangun Teori Politik Hukum Islam Di Indonesia”,
dalam Jurnal Ahkam, 2013, Vol. XIII, No. 2, Juli.
Ali Imron, “Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum
Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklif dan Mas`uliyyat dalam
Legislasi Hukum)”, dalam Disertasi pada, Semarang: Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2008.
Ahmad, Amarullah, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,
Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992.
A. Hasymi, (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
Bandung: Al-Ma’arif, 1989.
Arba’iyah Mohd Noor, “Perkembangan Pensejarahan Islam Di Alam
Melayu”, dalam Jurnal Al-Tamaddun, 2011, Bil. 6.
Azizy, A. Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media,
2002.
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: al-Kautsar, 2010.
Djajadiningrat, P.A. Hoesain, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten,
Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Edyar, Busman dkk (ed.), Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka
Asatruss, 2009.
Gani Abdullah, Abdul, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
H. A. R. Gibb, Islam dalam Lintasan Sedjarah, Djakarta: Bhratara, edisi terj.
1960.
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _361
Hamid, Zahri, Prinsip-Prinsip Hukum Islam tentang Pembangunan Nasional
di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1975.
Habib Muhsin Syafingi, “Internalisasi Nilai-Nilai Hukum Islam dalam
Peraturan Daerah “Syari’ah” di Indonesia”, dalam Jurnal Pandecta,
2012, Vol. 7, No. 2, Juli.
Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1961.
Hossein Nasr, Seyyed, Islam Religion, History, and Civilization, New York:
HarperSan Fransisco, 2003.
Husein Nasution, Amien, Hukum Kewarisan (Suatu Analisis Komparatif
Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta: Rajawali
Pers, 2012.
Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia,
dalam Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya,
Bandung: Rosdakarya, 1991.
Idri, “Religious Court in Indonesia History and Prospect”, dalam Journal
Of Indonesian Islam, 2009, Vol. 03, No. 02, December.
Karim, Muchith A., (editor), Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat
Islam Indonesia, , Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia,
Badan Litbang dan Pustlitbang Kehidupan Keagamaan, 2010.
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat 1 & 2, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
Mahmud Marzuki dan Peter, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta:
Kencana, 2013.
Mardani, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional”,
dalam Jurnal Hukum, 2009, No. 2 Vol. 16 April.
----------, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Manan, Abdul, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006.
Mansur Suryanegara, Ahmad, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka
362_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Semesta, 2009.
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
M. B. Hooker, Islam in South-East Asia, Leiden: E. J. Brill, 1983.
-----------------, “Introduction: Islamic Law in South-east Asia”, dalam
Asian Law Journal, 2002, Vol.4.
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan
Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Total Media, 2006.
Mark E. Cammack and R. Michael Feener, “The Islamic Legal System In
Indonesia”, dalam Pacific Rim Law & Policy Journal, 2012, Vol. 21
No. 1, January.
Muhammad Daud Ali, dkk, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Cik Hasan Bisri ed), Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Muhammad Julijanto, “Implementasi Hukum Islam Di Indonesia
Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme”, dalam Conference
Proceedings of Annual International Conference on Islamic Studies
(AICIS XII), UIN Sunan Ampel Surabaya, t.th.
Muarif Ambary, Hasan, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, dalam
Kebangkitan Islam dalam Pembahasan, Bandung: Yayasan Nurul
Islam, t.th.
Oksep Adhayanto, “Khilafah Dalam Sistem Pemerintahan Islam”, dalam
Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, 2011, Vol. 1, No. 1.
Praja, Juhaya S., Pengantar, dalam Hukum Islam di Indonesia Perkembangan
dan Pembentukannya, Bandung: Rosdakarya, 1991.
Rafiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama
Widya, 2001.
Ramulto, Moh. Idris, Asas-Asas Hukum Islam (Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedududukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _363
Indonesia), Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Samsul Wahidin, Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di
Indonesia, , Jakarta: Akademika Pressindo, 1984.
Samsul Wahidin, Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di
Indonesia, , Jakarta: Akademika Pressindo, 1984.
Suny, Ismail, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
dalam Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya,
Bandung: Rosdakarya, 1991.
Syamsul Bahri, “Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh Sebagai Bagian
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”, dalam
Jurnal Dinamika Hukum, 2012, Vol. 12, No. 2, Mei.
Tandrasasmita, Uka, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009.
Thalib, Sayuti, Receptio in Complexu, Theorie Receptie dan Receptio A
Contrario, dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1976.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), Jakarta:
Rajawali Pers, 2011.
Yulkarnain Harahab dan Andy Omara, “Kompilasi Hukum Islam Dalam
Perpektif Hukum Perundang-Undangan”, dalam Jurnal Mimbar
Hukum, 2010, Volume 22, Nomor 3, Oktober.
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan
Agama Islam di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1983.
364_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Endnotes
1. Amarullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,
Jakarta: Gema Insani Press, 1996, h. 55.
2. M. B. Hooker, Islam in South-East Asia, Leiden: E. J. Brill, 1983, h. 4.
3. Hasan Muarif Ambary, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, dalam
Kebangkitan Islam dalam Pembahasan, Bandung: Yayasan Nurul Islam, t.th, h.
63.
4. Pedagang Arab Telah datang ke Indonesia sejak masa kerajaan Sriwijaya
(abad ke-7 M) yang menguasai jalur pelayaran perdagangan di wilayah
Indonesia bagian barat termasuk Selat Malaka pada waktu itu. Hubungan
pedagang Arab dengan kerajaan Sriwijaya terbukti dengan adanya para
pedagang Arab untuk kerajaan Sriwijaya dengan sebutan Zabak, Zabay
atau Sribusa. Pendapat ini dikemukakan oleh Crawford, Keyzer, Nieman,
de Hollander, Syekh Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya yang
berjudul Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dan mayoritas tokoh-tokoh
Islam di Indonesia seperti Hamka dan Abdullah bin Nuh. Bahkan Hamka
menuduh bahwa teori yang mengatakan Islam datang dari India adalah
sebagai sebuah bentuk propaganda, bahwa Islam yang datang ke Asia
Tenggara itu tidak murni. Busman Edyar, dkk (ed.), Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009, h. 207.
5. Amien Husein Nasution, Hukum Kewarisan (Suatu Analisis Komparatif
Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta: Rajawali Pers, 2012,
h. 2.
6. Syamsul Bahri, “Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh Sebagai Bagian
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”, dalam Jurnal
Dinamika Hukum, Mei 2012, Vol. 12 No. 2. h. 360. Masuknya Islam membawa
perubahan dalam masyarakat Aceh. Nilai-nilai Islam mulai diaplikasikan
dan diterapkan dalam kehidupan masyarakatnya yang sebelumnya
beragama Hindu. Penerapan syari’at Islam mulai ada dan berkembang
pada kerajaan-kerajaan Aceh, hingga puncaknya pada kesultanan Iskandar
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _365
Muda (1607-1636 M). Hukum Islam mulai mengalami perkembangan
dengan berakulturasi dengan masyarakat Indonesia diawali mulai dari
Aceh dengan berkembangan Hukum Islam pada masa Iskandar Muda
yang menerapkan secara kaffah (menyeluruh) aturan-aturan Islam dengan
masdzhab Syafi’i yang meliputi bidang ibadah, ahwal as-syakhshiyyah (hukum
keluarga), jinayah (pidana Islam), uqubah (hukuman), murafa’ah, iqtishadiyyah
(peradilan), dusturiyyah (perundang-undangan), akhlaqiyyah (moralitas), dan
‘alaqah dauliyyah (kenegaraan).
7. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), Jakarta: Rajawali
Pers, 2011, h. 191-192.
8. Samsul Wahidin, Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1984, h. 97.
9. Muhammad Julijanto, “Implementasi Hukum Islam Di Indonesia Sebuah
Perjuangan Politik Konstitusionalisme”, dalam Conference Proceedings of
Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII), Surabaya:
UIN Sunan Ampel Surabaya, t.th. h. 669. Hukum Islam pada hakekatnya
meliputi hukum Aqidah (keyakinan tentang ad-Din), Hukum-hukum
Akhlaq, Hukum-hukum Amaliyah yang meliputi aspek-aspek: peribadatan,
mukallaf, pergaulan, kehartaan, perkawinan, kewarisan, perekonomian,
ketatanegaraan, kemasyarakatan, kepidanaan, peradilan, hubungan antar
golongan dan hubungan internasional. Zahri Hamid, Prinsip-Prinsip Hukum
Islam tentang Pembangunan Nasional di Indonesia, Yogyakarta : Bina Cipta,
1975, h. 36.
10. Ali Imron, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum
Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklif dan Mas`uliyyat dalam Legislasi
Hukum), Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 2008, h. 57, tidak dipublikasikan. Bahtiar Effendy
menulis bagaimana ciri Islam yang paling menonjol dapat diterima dalam
berbagai keadaan maupun kondisi yang dapat mempengaruhi pada setiap
sistem hukum, yaitu sifatnya yang “hadir di mana-mana (omnipresence)”.
Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa di mana kehadiran Islam
selalu memberikan “panduan moral yang benar bagi tindakan manusia”.
Hal tersebut ditandaskan oleh Muhammad Hisyam, bahwa karakter Islam
yang tidak terbatas pada domain kepercayaan, ritual, dan moral, tetapi
366_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
juga meliputi penataan masyarakat. Muhammad Julijanto, “Implementasi
Hukum Islam Di Indonesia Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme”,
dalam Conference Proceedings of Annual International Conference on Islamic
Studies (AICIS XII), Surabaya: UIN Sunan Ampel, t.th. h. 667.
11. Habib Muhsin Syafingi, “Internalisasi Nilai-Nilai Hukum Islam dalam
Peraturan Daerah “Syari’ah” di Indonesia”, dalam Jurnal Pandecta, 2012,
Volume 7. Nomor 2. Juli, h. 141.
12. Moh. Idris Ramulto, Asas-Asas Hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedududukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia), Jakarta: Sinar
Grafika, 1995, h. 56.
13. Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2006, h. 11. Klaim provokatif dan distorsif ini sangat berpengaruh terhada
eksistensi hukum Islam ketika itu, bahkan hingga sekarang ini, sampaisampai Hazairin menyebutnya sebagai teori “iblis”. Ahmad Rafiq,
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Widya, 2001, h. 68.
14. A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media,
2002, h. 155.
15. Peter Mahmud Marzuki, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana,
2013, h. 166.
16. H. A. R. Gibb, Islam dalam Lintasan Sedjarah, Djakarta: Bhratara, 1960, edisi
terj. h. 9.
17. Oksep Adhayanto, “Khilafah Dalam Sistem Pemerintahan Islam”, dalam
Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, 2011, Vol. 1, No. 1, h. 80. al-Qur’an
pada dasarnya adalah kitab yang memuat pesan-pesan, petunjuk-petunjuk,
dan perintah moral bagi kepentingan hidup manusia di muka bumi.
Petunjuk dan perintah ini bercorak universal, abadi, dan fungsional, sebagai
intisari wahyu terakhir.
18. Seyyed Hossein Nasr, Islam Religion, History, and Civilization, New York:
HarperSan Fransisco, 2003, h. xi.
19. Arba’iyah Mohd Noor, “Perkembangan Pensejarahan Islam Di Alam
Melayu”, dalam Jurnal Al-Tamaddun, Bil. 6, 2011, h. 30.
20. Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, al-Kautsar, Jakarta: t.p. 2010,
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _367
h. Xi.
21. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat 1 & 2, Jakarta: Rajawali Pers, 1999, h.
718-719.
22. Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009, h.
13. Ahli tasawuf hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha
menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengahtengah masyarakatnya. Para ahli tasawuf biasanya memiliki keahlian
untuk menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Jalur tasawuf, yaitu proses
islamisasi dengan mengajarknan teosofi dengan mengakomodir nilai-nilai
budaya bahkan ajaran agama yang ada yaitu agama Hindu ke dalam ajaran
Islam, dengan tentu saja terlebih dahulu dikodifikasikan dengan nilai-nilai
Islam sehingga mudah dimengerti dan diterima. Busman Edyar, dkk (ed.),
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009, h. 208.
23. Teori ini selain Hamka dikedepankan oleh W. P. Grooeneveldt, T. W.
Arnold, Syed Naguib al-Attas, George Fadlo Hourani, J. C. van Leur,
Uka Tjandrasasmita. Kedatangan Islam sejak abad 7 dan 8 M dipicu oleh
perkembangan hubungan dagang laut nusantara bagian timur dan barat
Asia, terutama setelah kemunculan dan perkembangan tiga dinasti kuat,
yaitu, Kekhalifahan Umayyah (660-749 M) di Asia Barat, Dinasti Tang (618907 M) di Asia Timur dan Kerajaan Sriwijaya (7-14 M), di Asia Tenggara.
Uka Tandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009, h. 12-13.
24. Misalnya Soeltan Panembahan Demak Fatah dalam Kronik Sam Po Kong
bernama Panembahan Jin Bun. Arya Damar sebagai pengasuh Panembahan
Jin Bun pada saat di Palembang bernama Swan Liong. Sultan Treggana
memiliki nama Cina Tung Ka Lo. Wali Sanga yang memiliki nama Cina
antara lain Soenan Ampel (Bong Swi Hoo), Soenan Goenoeng Djati (Toh A
Bo). G. W. J. Drewes menyatakan bahwa teori ini lemah karena kurangnya
data dan sitem interpretasi yang kurang tepat, akibat pengambilan data
yang dikumpulkan tidak tepat dan tidak beralasan.
25. Teori ini dikemukakan oleh Emanuel Godinho de Eradie seorang scientist
Spanyol. (Anonim).
26. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka
Semesta, 2009, h. 99-102.
368_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
27. A. Hasymi, (ed.). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,
Bandung: Al-Ma’arif, 1989, h. 7.
28. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam
Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya, Bandung:
Rosdakarya, 1991, h. 100.
29. Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
dalam Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya, Bandung:
Rosdakarya, 1991, h. 73-75. Teori ini dicetuskan oleh pakar hukum Belanda
bernama Lodewijk Willem Christian van den Berg.
30. Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2014,
h. 140.
31. Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2006, h. 11.
32. A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media, 2002,
h. 155. Ismail Suny mengungkapkan reaksi pihak Islam terhadap campur
tangan Belanda dalam masalah hukum Islam ini banyak ditulis dalam
buku-buku dan surat kabar-surat kabar pada saat itu. Tujuan politik hukum
Belanda ini ditujukan untuk memperkuat kepentingan kekuasaannya di
Indonesia, oleh karena itu tatkala kesempatan terbuka pada saat BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) terbentuk
dan bersidang pada zaman penjajahan Jepang, pemimpin-pemimpin Islam
memperjuangkan berlakunya hukum Islam dengan kekuaatan Islam tanpa
dihubungkan dengan hukum adat.
33. Hukum Islam pada zaman kemerdekaan pun mengalami dua periode:
Pertama, perode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif dalam
hukum konstitusi dimaknai sebagai sumber hukum yang baru diterima
orang apabila ia telah diyakini. Dalam konteks hukum Islam Piagam Jakarta
sebagai salah satu hasil dari sidang BPUPKI merupakn persuasive source
bagi grondwet-interpretatie dari UUD 1945 selama empat belas tahun (Sejak
22 Juni 1945 ketika ditandatangani gentlemen agreement antara pemimpin
nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler sampai 5 Juli 1959, sebelum
Dekrit Presiden RI diundangkan). Hukum Islam menjadi sumber autoritatif
dalam hukum tata negara ketika ditempatkannya Piagaman Jakarta dalam
Pengaruh Agama Islam Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia _369
Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959. Juhaya S. Praja, Pengantar, dalam Hukum Islam
di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya, Bandung: Rosdakarya, 1991,
h. Xi.
34. Di Indonesia, Syariat Islam dan negara adalah dua entitas yang sepanjang
sejarah Indonesia senantiasa terlibat pergumulan dan ketegangan abadi
dalam memosisikan relasi agama (syariat Islam) dan negara, antara proyek
sekularisasi dan Islamisasi negara dan masyarakat. Ketegangan ini terjadi
dalam dua tataran penting yang berbeda. Pertama, tataran scholastik atau
bersifat teoritik-idealistik. Perdebatan ini mencuat ke permukaan pada akhir
tahun 1930-an antara Sukarno dan Mohammad Natsir. Kedua, tataran
realisticpolitik atau ideologis-empirik. Polemik ini terjadi ketika merumuskan
dasar konstitusi negara Indonesia modern pasca-kolonial yang berlangsung
dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945, dan dalam
sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 sampai
22 Agustus 1945, dalam rangka penyusunan dan pengesahan UUD 1945.
Abdul Halim, “Membangun Teori Politik Hukum Islam Di Indonesia”,
dalam Jurnal Ahkam, Juli 2013, Vol. XIII, No. 2, h. 260.
35. Mardani, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional”,
dalam Jurnal Hukum, 2009, No. 2 Vol. 16 April, h. 269. Seorang tokoh lain
yang juga menentang teori receptie adalah Sayuti Thalib yang menulis buku
Receptie a Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Teori
ini mengandung sebuah pemikiran bahwa, hukum adat baru berlaku kalau
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Melalui teori ini jiwa pembukaan
dan UUD 1945 telah mengalahkan Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregling itu.
36. Juhaya S. Praja, Pengantar, dalam Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan
Pembentukannya, Bandung: Rosdakarya, 1991, h. xiv-xv.
37. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992, h. 2-4.
38. Mark E. Cammack and R. Michael Feener, “The Islamic Legal System In
Indonesia”, dalam Pacific Rim Law & Policy Journal, 2012, Vol. 21, No. 1,
January, h. 16-17. Keinginan untuk mendirikan pengadilan agama yang
mandiri terpisah dari badan peradilan lain tampak mulai tahun 1951 dengan
adanya aturan pada saat itu yang menyatakan akan dibentuk pengadilan
370_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
agama melalui peraturan pemerintah. Aturan ini pula yang menjadi dasar
bagi lahirnya peraturan pemerintah tahun 1957 dalam pembentukan
Pengadilan Agamadi seluruh Indonesia.
39. Idri, Religious Court in Indonesia History and Prospect, dalam Journal Of
Indonesian Islam, 2009, Vol. 03, No. 02, December, h. 309-310. UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, telah diubah dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Undang-undang ini
mengalami perluasan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa yang
berdasarkan prinsip Islam. Kewenangan tersebut antara lain: pengawasan,
penyelesaian sengketa di tingkat pertama terhadap orang Islam dalam
bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sedekah dan
tansaksi ekonomi syari’ah (bank syari’ah, lembaga keuangan mikro, asuransi
syari’ah, reasuransi syari’ah, shari’ah mutual funds, saham syari’ah, shari`ah
securities medium term, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, shari`ah
mortgage, dan binis berbasis syari’ah.
40. Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, h. 62.
41. MB. Hooker, “Introduction: Islamic Law in South-east Asia”, dalam Asian
Law Journal, 2002, Vol.4, h. 221.
42. Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, h. 62.
43. lihat Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor
B/I/735.
44. Yulkarnain Harahab, “Andy Omara, Kompilasi Hukum Islam Dalam
Perpektif Hukum Perundang-Undangan”, dalam Jurnal Mimbar Hukum,
2010, Vol. 22, No. 3, Oktober, h. 627.
45. M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, , Yogyakarta: Total Media, 2006, h. 103.
46. Muchith A. Karim (editor), Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia, , Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, Badan Litbang
dan Pustlitbang Kehidupan Keagamaan, 2010, h. 4-5.
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _371
Principles of Justice Women in Islam: A Study of
Pre-marriage
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam:
Sebuah Kajian Pra-nikah
Ru’fah Abdullah
Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Maulana Hasanuddin Banten
email: [email protected]
Tata Setiana
Indonesia Youth Forum
email : [email protected]
Abstract : The universality of Islamic teachings wrote clearly in the texts of the Qur’an and
prophetic narrations. Best explanation of the universal message of Islam brought by one
of them lies in the amount of attention devoted to the individual human being, on the
principles of justice. One of the principles of justice which is responsible for individual
rights in Islam are systematically and widely summarized in the theme of marriage.
The importance of the theme of marriage (munakahat) addresses the potential equality
between the rights earned by men and women to be the main study of Islamic law,
beside the three other major discussion of such worship, muamalah and jinayah. In
the theme of marriage, the principles of justice as if just found after the bound between
pairs of men and women in the event of a valid contract. It illustrates the multiple
phases before it happen or in pre-marital principles of justice have not becoming a
focus discussion in the study of Islamic law. Regarding the latest perspective, we
should bear this paper to the study of pre-marital to explore the principles of justice,
especially what to receive by the lady in entering the realm of marriage.
Abstraksi : Universalitas ajaran Islam termaktub secara jelas dalam nash-nash al-Qur’an dan
riwayat-riwayat kenabian. Pengutaraan terbaik dari pesan universal yang dibawa
oleh Islam salah satunnya terletak pada perhatian besarnya yang ditujukan kepada
individu manusia, tentang prinsip-prinsip keadilan. Salah satu prinsip keadilan
yang menaungi hak-hak individu dalam Islam secara sistematis dan luas terangkum
372_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
dalam tema perkawinan. Pentingnya tema perkawinan (munakahat) yang membahas
potensi kesetaraan antara hak-hak yang diterima oleh laki-laki dan wanita menjadi
kajian utama hukum Islam, selain tiga pembahasan utama lainnya seperti ibadah,
muamalah dan jinayah. Dalam tema perkawinan, prinsip keadilan seakan baru
ditemukan pasca terikatnya antara pasangan laki-laki dan wanita dalam peristiwa
akad yang sah. Hal ini menggambarkan bahwa beberapa fase sebelum itu atau di masa
pra-nikah prinsip-prinsip keadilan belum menjadi fokus pembahasan dalam kajian
hukum Islam. Berkenaan dengan perspektif terakhir tersebut, perlu kiranya tulisan
ini diarahkan kepada kajian pra-nikah yang menelusuri prinsip-prinsip keadilan
khususnya yang diterima oleh pihak wanita menjelang memasuki ranah perkawinan.
Keywords: Women, Pre-marital, Justice.
A.Pendahuluan
Isu kesetaraan antara laki-laki masih menjadi pembahasan yang aktual
di kalangan sarjana muslim. Hal ini tak lepas dari berbagai isu yang
terus menggelinding seiring dengan laju modernitas dan problematika
di dalamnya. Sebagai sebuah pemikiran, tentunya diskursus kesetaraan
ini akan terus berjalan seiring dengan berkembanganya wawasan dan
dinamika sosial kemasyarakatan.
Para sarjana mensinyalir, agama sering dituduh sebagai sumber
terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat, termasuk ketidakadilan
relasi antara laki-laki dan perempuan dengan hilangnya kesetaraan
antara keduanya. Hal ini tak lepas dari teks agama yang sering menjadi
rujukan. Isu kesetaraan muncul ketika disadari bahwa perbedaan
gender antara laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidakadilan
dalam berbagai bentuk seperti marginalisasi atau pemiskinan ekonomi,
subordinate atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, stereotype
atau pencitraan yang negatif bagi perempuan. Citra perempuan yang
dimaksud hanya bergelut pada 3R (dapur, sumur,kasur), kekerasan, dan
double burden (beban ganda) terhadap perempuan yang bermuara pada
perbuatan tidak adil yang dibenci oleh Allah SWT.1
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _373
Hakikatnya, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan
dan persamaan mengandung prinsip-prinsip kesetaraan. Dalam teks alQur’an maupun hadits, dua sumber primer hukum Islam, ditegaskan
bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba, khalifah
di bumi, dan menerima perjanjian primordial. Pada saat bersamaan,
keduanya memiliki potensi yang sama dalam meraih prestasi optimal,
yaitu derajat takwa di hadapan Allah SWT.2
Dalam al-Qur’an pengakuan tentang adanya perbedaan (distinction)
antara laki-laki dan Wanita tidak serta merta mendukung atas terjadinya
pembedaan (discrimination), yang dapat menyebabkan keuntungan di
satu pihak serta kerugian di pihak yang lain.Nasaruddin Umar dalam
penelitiannya menyebutkan, adanya perbedaan tersebut dimaksudkan
untuk mendukung obsesi al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan
harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di
lingkungan keluarga, (QS. al-Rûm/30:21) sebagai cikal bakal terwujudnya
komunitas ideal dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan
(baldat-un thayyibat-un wa rabb-un ghafur(QS. Saba/34:15).3
Nasaruddin menambahkan, dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat
menjelaskan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,
diantaranya: laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial
(QS. al-A’raf/7: 172); Adam dan Hawa sama-sama terlibat dalam drama
kosmis (QS.al-Baqarah/2: 35, 187, QS.al-A’raf/7: 20, 22, 23); laki-laki dan
perempuan memiliki kesempatan untuk meraih prestasi (QS. Ali Imran/3:
195), laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di muka bumi (QS. AlAn’am/6: 165, QS. Al-Nisa/4: 124, QS.al-Nahl/16: 97, QS. Ghafir/40: 40),
laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba (QS.al-Dzariat/51:
56).4
Sedangkan konsekuensi atas tidak adanya status pembedaan
antara laki-laki dan wanita di dalam al-Qur’an, menunjukkan pesan
universalisme Islam dalam menghargai hak-hak asasi, yang secara
alamiah telah dinisbahkan bagi keduanya sebagai makhluk utama sang
pencipta. Berkaca dari semangat universalismenya tersebut, Islam tidak
374_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
saja memberikan bukti bahwa kajian hukum kontemporer tentang HAM,
tidak lagi melulu menjadi monopoli kampanye dari pihak negara-negara
barat saja. Melainkan secara jelas dalam jejak nash dan riwayat kenabian,
penghargaan atas hak kesetaraan merupakan ikhtiar kelanggengan dari
ajaran rahmatan lil alamin dalam islam,
Ajaran al-Qur’an tentang status kesetaraan antara laki-laki dan wanita
dalam beberapa derajat penilaiannya di hadapan Allah, salah satunya
tercantum di dalam Al-Ahzab ayat 35:
     
     
    
     
      
Artinya:“Sesungguhnya laki-laki dan wanita muslim, laki-laki dan wanita
mukmin, laki-laki dan wanita yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan wanita
yang benar, laki-laki dan wanita yang sabar, laki-laki dan wanita yang khusuk,
laki-laki dan wanita yang bersedekah, laki-laki dan wanita yang berpuasa, lakilaki dan wanita memelihara kehormatannya, laki-laki dan wanita yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan
pahala yang besar” (QS. Al-ahzab/33:35)
Dalam keterangan lain, al-Qur’an menyebutkan tentang kapasitas
laki-laki dan wanita sebagai satu-satunya pewaris bagi keberlangsungan
hidup manusia yang senantiasa setara, serta saling silih melengkapi
atas kebutuhan masing-masing mereka. Bentuk hubungan yang saling
membutuhkan itu, ditamsilkan sebagai pakaian yang saling menutupi
tubuh satu pihak, dan satu tubuh pihak lainnya.Sebagaiamana didalam
QS. Al-Baqarah/2: 187:
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _375
Artinya:“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan
istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”
(QS. al-Baqarah/2: 187)
Berkiblat kepada prinsip-prinsip kesetaraan antara pasangan bani
adam seperti yang telah dinormakan oleh nash al-Qur’an di atas,
menunjukkan pesan utama ajaran Islam tentang keadilan. Syahdan,
jika ditemukan nilai ajaran Islam yang tidak mengedepankan prinsip
keadilan khususnya dalam konteks relasi antar individu manusia atau
kemasyarakatan maka dapat dipastikan bahwa pemahaman tersebut
sangat layak untuk dipersoalkan.
B.Pinsip Kesetaraan dan Keadilan dalam Islam
Konteks normatif tentang prinsip keadilan yang dipesankan oleh alQur’an dapat digali, salah satunya dalam tema perkawinan. Penelusuran
atas prinsip keadilan di dalam perkawinan saat ini dinilai cukup
mendesak dan diperlukan, seiring dengan semakin berkembangnya pola
perubahan sosial yang terjadi dalam level masyarakat, terutama yang
memengaruhi lingkungan keluarga.
Kesadaran masing-masing individu seorang muslim, baik itu lakilaki maupun wanita dalam memahami pesan keadilan seperti yang
diwartakan oleh al-Qur’an, khususnya pada fase perkawinan dituntut
untuk lebih ditingkatkan. Hal ini sangat dibutuhkan demi mewujudkan
hakikat perkawinan yang berkeadilan dan ideal.
Sedangkan pada tataran yang lain kekuatan pemahaman seorang
muslim dalam ikhtiarnya menuju idealitas perkawinan perlu diimbangi
pula oleh asas pemahaman konstitusional. Pada konteks perkawinan
jaminan atas nilai keadilan dan kesetaraan hak antara laki-laki (suami)
dan wanita(istri) tertuang secara lugas dalam penjelasan pasal 6 UU
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:
376_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan
istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai
pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh
kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada
paksaan dari pihak manapun.”5
Berdasarkan penjelasan pasal di atas, terdapat beberapa asas keadilan
yang telah dijaminkan oleh negara kepada masing-masing pihak,
baik itu suami ataupun istri. Dua diantara jaminan itu adalah prinsip
kesetaraan hak persetujuan yang melibatkan kedua belah pihak, serta
tidak ditolerirnya unsur paksaan dalam hubungan keduanya dalam
perkawinan.
Bentuk persetujuan yang dilahirkan oleh kedua belah pihak
meniscayakan adanya titik temu pemahaman atas sebuah permasalahan
yang didialogkan. Dialog yang harmonis merupakan wujud dari
komunikasi efektif yang seyogyanya diikhtiarkan bersama tanpa
melibatkan unsur paksaan di antara masing-masing pihak yang ada.
Efektifitas komunikasi tidak hanya sekadar lahir dari satu atau dua
kali perbincangan saja, melainkan didukung pula oleh kedewasaan
ego masing-masing pihak atas hasil akhir persetujuan yang dapat
memberikan kemaslahatan bersama.
Salah satu tujuan dari pernikahan adalah untuk melanggengkan rantai
kehidupan manusia di muka bumi. Islam memandang bahwa ikatan
suami istri yang terbingkai dalam sistem keluarga menjadi pilar utama
bagi kehidupan umat manusia. Dalam sebuah penilaian disebutkan
bahwa maju-mundurnya sebuah bangsa sangat ditentukan oleh sejauh
mana kekokohan pilar yang disebut keluarga (baca: sakinah, mawaddah,
rahmah, abadi, tentram nan indah) dapat mewarnai kultur masyarakat
yang ada di lingkungannya.
Pernikahan sebagai proses perjalanan bersama yang dilakoni oleh
pasangan suami-istri bertujuan untuk mencapai ketenangan dan
kebahagiaan. Hal ini dipaparkan dengan jelas oleh al Qur-an :
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _377
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.”(QS. al-Rum/30:21).
Menanggapi kriteria dalam surah al-Rum itu, Kyai Husein
Muhammad Pimpinan Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun
Cirebon, menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung tiga hal, yang
penting untuk diperhatikan dalam perkawinan: yaitu sakinah, mawaddah
dan rahmah. 6Menurut Kyai Husein, “sakinah”, berasal dari kata sakana.
Kata “sakinah” bisa berarti tempat tinggal, menetap dan tenang-tenteram
(tidak ada ketakutan). Dengan demikian maka perkawinan merupakan
wahana atau tempat di mana orang-orang yang ada di dalamnya,
terlindungi dan dapat menjalani kehidupan dengan tenang dan tenteram
serta tanpa ada rasa takut.
“Mawaddah” dalam penerjemahan Kyai Husein diartikan cinta.
Dalam rujukannya atas Muqatil bin Sulaiman, seorang ahli tafsir abad
ke 2 H, yang mengatakan bahwa “mawaddah” berarti “mahabbah”
(cinta), “nashihah” (nasehat) dan “al shilah” (hubungan yang kuat),
yakni hubungan yang di dalamnya tidak terdapat ucapan atau tindakan
yang menyakiti. Pemaknaan tersebut menunjukkan bahwa perkawinan
merupakan ikatan antara dua orang yang diharapkan dapat mewujudkan
hubungan saling mencintai, saling menasehati dan saling menghormati.
Sementara dalam kata “rahmah” memiliki arti yang sangat mendalam.
Dalam pandangan Kyai Husein kata rahmah adalah kasih, kelembutan,
kebaikan dan ketulusan. Perkawinan yang dipahami oleh Kyai Husein
adalah harapan agung Tuhan agar pasangan suami dan istri kelak dapat
menjalin relasi-relasi saling mengasihi, saling memberikan kebaikan dan
kelembutan, dan semua itu ditumpahkan dengan hati yang tulus.”7
Ikhtiar mendalami tujuan dari sebuah perkawinan secara bersaman
juga memahami relasi ideal kemanusiaan. Jika benar demikian maka
harapan masing-masing pihak untuk dapat saling menghargai prinsip
378_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
kesetaraan antara satu dan lainnya, dapat dimulai dengan upaya
pemenuhan dan penjagaan atas hak-hak dan martabat mereka secara
keseluruhan.
Fakta bahwa masih berkembangnya stigma tentang lemah dan
rendahnya status salah satu pihak dibandingkan satu pihak lainya, wa
bial-khusus dalam konteks perkawinan maka pembangkitan kembali
semangat keadilan dan kesetaraan hak terutama bagi pihak yang sudah
lama dirugikan tersebut niscaya untuk diimpikan.
C.Hak-hak Wanita Pra-nikah
1. Hak Memilih Pasangan
Sebagaimana Islam telah meletakkan dasar-dasar dan prinsipprinsip bagi kaum laki-laki dalam memilih pasangan hidup, Islam juga
memberikan kebebasan mutlak kepada kaum wanita untuk memilih
laki-laki yang diinginkannya saat dilamar. Dengan demikian Islam telah
menggabungkan antara hak wali untuk menikahkan wanita dan hak
wanita untuk menerima calon suami yang diinginkannya atau menolak
calon suami yang tidak diinginkannya. Dalam hal ini Islam selanjutnya
melarang para orangtua atau wali untuk bersikap otoriter dalam
menikahkan putera-puteri atau suadara-saudara wanita mereka,tanpa
adanya persetujuan dari mereka.
Ketika seorang wanita telah dewasa dan telah sanggup untuk
melakukan pernikahan, maka langkah yang paling baik adalah segera
menentukan dan memilih pasangan yang sesuai dengan seleranya.
Wanita dapat memilih pasangannya dengan laki-laki yang ia kenal di
lingkungan masyarakatnya, baik yang terdekat seperti tetangga maupun
di lingkungan pendidikan dan pekerjaan.
Secara umum wanita lebih menghendaki laki-laki yang bertanggung
jawab, pengertian, sabar, tidak memaksakan kehendak, berasal dari
keturunan yang baik, berpendidikan, mempunyai pekerjaan yang mapan,
memiliki rumah pribadi hingga mobil pribadi. Walhasil wanita sangat
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _379
mendambakan seorang pendamping yang nyaris ideal dan tanpa cacat.
Dalam kenyataannya keinginan itu tidak selamanya terbukti, sebab
sesempurna apapun sosok suami ia tetap adalah manusia biasa dengan
segala kelebihan dan kekurangan.8Mengingat manusia memiliki banyak
kekurangan, maka Rasulullah SAW. selalu mengingatkan kepada
umatnya agar tidak terpedaya dengan ketampanan fisik dan materi
belaka, melainkan dianjurkan untuk memilih laki-laki yang tekun
beragama dan berakhlak mulia.Sebagaimana Allah SWT, berfirman
dalam QS. al-Hujurah ayat 13:
Artinya:“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS.
Hujurat/49: 13)
Latar agama menjadipilihan yang sangat prinsipil bagi wanita sebab
pada kriteria inilah, jaminan atasterjaganya kualitas keimanan tidak
hanya bernilai ibadah semata. Akan tetapi bersama kualitas pribadi yang
shaleh dan berakhlakul karimah itulah kelak akan dapat menciptakan
sebuah keluarga yang taat dan penuh dengan kedamaian. Dengan
bersandingkan seorang suami yang berakhlak mulia makaakan tampak
wujud ketulusan cinta yang hadir dalam cara menggauli sang istri, salah
satunya adalah melalui tutur laku dan sapa yang baik, lahir maupun
batin.9
Dalam satu kisah al-Qur’an, diceritakan tentang akhlak mulia seorang
Musa AS. , ketika membantu dua gadis yang hendak mengambilkan air,
di tengah tandusnya padang pasir dengan sikap yang begitu tulus dan
tanpa pamrih. Seketika melihat ketulusann yang dicontohkan seorang
Musa AS. tersebut, salah seorang dari keduanya menaruh hati kepada
Musa, dan mengutarakan niat untuk memilih Musa sebagai pasangan
hidup.
380_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Kisah ini terekam di dalam al-Qur’an pada QS. al-Qashash ayat 26,
yang berbunyi:
         

Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya . (QS. al-Qashash/28: 26)
Penjabaran dalam kalimat pertama pada ayat di atas adalah al-qawy.
Lafadz al-qawy umumnya dimaknai sebagai kekuatan fisik. Konteks
yangmelatari pemaknaan kekuatan fisik ini sangat lumrah jika dikaitkan
dengantren persainganantar manusia dalam memburu sumber
kehidupan, kondisi alam dan jenis pekerjaan yang umumnya diemban
oleh masyarakat arab padang pasir.
Dalam pemaknaannya yang lain, kata al-Qawy juga memiliki arti
bertanggung jawab. Keselarasan antara bentuk tanggung jawab yang
dimiliki oleh seorang suami dengan posisi keluarga dan seorang istri
yang diberikan tanggungjawab, tampaknya lebih sesuaidanbernilai
sepadan. Karena jika pemaknaan hanya dibatasi oleh kekuatan fisik saja
(materi dan ketampanan), maka dalam arus panjang bahtera perkawinan
akan mudah larut dan memudar. Dan sebaliknya bahwa jika sifat yang
dimiliki itu adalah sebuah tanggung jawab, maka hasil yang akan
diciptakan kelak adalah rasa kebercukupan dan keberkahan dari sebuah
usaha yang maksimal.
Adapun sifat ke dua yang tergambar dari sosok Musa AS. adalah alAmin, artinya orang yang dapat dipercaya. Ketika salah satu dua gadis
(anak Nabi Syu’aib) itu berkata kepada ayahnya bahwa Musa adalah
seorang yang dapat dipercaya, lalu ayahnya bertanya “apa alasanmu
mengatakan demikian?”. Kemudian anaknya bercerita “ketika aku
hendak membawanya ke rumah, aku berada di depannya, lalu ia berkata,
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _381
sebaiknya aku saja yang berjalan di depan dan kalian dibelakangku,
kalau nanti sampai di persimpangan jalan, kalian bisa melempar krikil
sebagai pertanda ke arah mana kita harus menuju.10
Dalam kisah ini nampaknya wanita sangat mendambakan seorang
laki-laki yang dapat dipercaya.Dengan sifat al-amin (dapat dipercaya)
maka sosok suami dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam memilih
pasangan terutama untuk menentramkan hati pasangan wanita.
2. Hak Wanita dalam Lamaran
Sungguh Islam memperbolehkan bagi wanita untuk meminang
laki-laki. Islam menetapkan hak wanita selama ia memelihara dasar
keshalehan dalam memilih. Tradisi pelamaran wanita atas laki-laki telah
dikenal oleh bangsa Arab sebelum Islam. Sebagian dari contoh peristiwa
itu adalah yang dilakukan oleh Siti Khadijah binti Khuwailid kepada
Rasulullah SAW.11
Dalam Islam proses lamaran temaktub padakamus fiqih dengan
sebutan “khitbah”, yangberarti “permintaan”. Dalam penjelasan yang
luas, Khitbah dapat diartikan sebagaipernyataan permintaan dari
seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita untuk mengawininya,
baik dilakukan secara langsung atau dengan perantara pihak lain yang
dipercayai sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.12
Menurut Sayid Sabiq, meminang dimaksudkan sebagai permintaan
seorang laki-laki kepadawanita, untuk diperkenankan dipilih menjadi
seorang istri bagi pihak yang meminta dengan tradisi umum yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat.13 Sedangkan menurut Abu Zahrah khitbah
adalah permohonan seorang laki-laki atas kesediaan seorang wanita
tertentu untuk diperistri, yang diajukan kepada wanitaitu sendiri atau
kepada kuasanya (wali) dengan penjelasan-penjelasan yang dimaksud.14
Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan sebelum
adanya ikatan suami istri, dengan tujuan agar ketika memasuki ke
jenjang pernikahan didasari atas sikap kesadaran dan kesukarelaan
382_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
yang didapatkan dari masing-masing pihak. Khitbahatau peminangan
bukanlah perkawinan,melainkan janji setia antara seorang laki-laki dan
seorang wanita untuk melanjutkan kepada fase pernikahan. Karenanya
khitbah tidak berkonsekwensi pada penetapan hak dan penghalalan
sesuatu yang haram. Tidak ada yang dihalalkan bagi yang menghitbah
maupun yang dikhitbah, kecuali sebatas melihat bakal calon, dengan
maksud agar keduanya ridha dan ikhlas dengan kondisi masing-masing
pihak. Selebihnya kedua-duanya masih berstatus sebagai orang asing
(bukan mahram) sampai akad nikah dilangsungkan.15
Khitbah dipahami sebagaipagar pembuka yang kelak mengantarkan
pasangan calon pengantin menuju ke gerbang pernikahan.Karenanya
khitbah tidak memiliki konsekuensi apapun seperti yang berlaku pada
pernikahan. Khitbah tidak menghalalkan apapun, kecuali hanya untuk
saling memandang antara laki-laki dan wanita. Hal ini agar kedua belah
pihak dapat saling menerima dengan penuh keikhlasan atas kelebihan
dan kekurangan masing-masing.
3. Hak Wanita Menolak Lamaran
Pada dasarnya sebuah pernikahan dilandasi oleh rasa saling memiliki
kecocokan antara pihak suami dan istri. Namun betapapun idealnya
sikap saling cocok di antara pasangan pernikahan mustahil dapat
terwujud jika tidak dimulai dari komunikasi awal yang coba dibangun,
termasuk dalam tahapan pra nikah, seperti dalam proses lamaran.
Proses lamaran yang umumnya diterima oleh pihak wanita sebagai
pihak yang akan diperistri oleh sang pelamar, tidak semuanya dapat
menerima lamaran begitu saja. Umumnya ada banyak pertimbangan yang
melatari wanita untuk memastikan diterima atau ditolaknya lamaranlamaran yang wanita hadapi. Dengan kian ragamnya pertimbangan yang
mendasari wanita dalam menentukan lamaran yang diterima, maka
selayaknya dapat diimbangi pula dengan sikap legowo dan lapang dada,
jika keputusan yang dihasilkan adalah penolakan atas lamaran dari sang
wanita.
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _383
Penolakan lamaran seorang wanita sebaliknya tidak dipandang
sebagai bentuk pembangkangan atau sikap ketidaktaatan, melainkan
layak dipahami sebagai sikap pertimbangan yang bertanggung jawab
dan matang.
Menarik untuk ditelusuri sebuah kisah hikmah tentang penolakan
lamaran yang pernah dilakukan oleh seorang wanita terhadap laki-laki,
yang ternyata dalam penolakan tersebut tidak sedikitpun menyisakan
konflik di antara pihak-pihak terkait. Sebagaimana dikisahkan bahwa
pada masa Rasulullah SAW. pernah seorang wanita menolak lamaran
dari seseorang, dan secara kebetulan yang melamar itu adalah Rasulullah
sendiri. Ketika Rasulullah SAW. melamar putri pamannya yang bernama
“Ummu Hani” putri Abdul Muthalib setelah meninggal suaminya, maka
ia menjawab (wanita tersebut) kepada Rasulullah“Wahai Rasulullah,
aku ini wanita yang memelihara dan menanggung nafkah anak-anakku
yang yatim, maka anakku masih kecil, ia memiliki empat anak. Padahal
hak suami itu berat. Aku takut kalau aku mengurusi suamiku, akan
mengabaikan urusan anakku. Kalau aku mengurusi anakku, akan
mengabaikan hak suami”. Maka Rasulullah SAW bersabda:“Sesungguhnya
diantara yang menunggang unta, yang terbaik adalah wanita Quraisy. Mereka
sayang pada anaknya waktu masih kecil dan mengurusi suaminya. Kalau aku
tahu bahwa Maryam binti Imran menunggang Unta, pasti aku tidak akan
melebihkan orang lain atasnya”.16
Dalam tamsil penolakan atas lamaran Rasulullah SAW, beliau
menunjukkan sifat ketauladanan yang baik. Sikap Rasulullah yang
sangat menghargai penolakan Ummu Hani tidak sedikitpun diiringi
dengan raut merah dan perkataan marah, bahkan sebaliknya Rasulullah
malah menyanjungsikap tegas Ummu Hani dan sekaligus memuji-muji
kaum wanita Quraisy, yang merupakan latar keluarga dari Ummu Hani.
Pada riwayat yang lain, terjadi pada diri Amirul Mukminin, Umar
Ibnu Khathab ketika melamar Ummu Kultsum binti Abu Bakar, melalui
perantara saudaranya, Siti Aisyah. Ketika Aisyah menanyakan kepada
384_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Ummu Kalsum, tentang persetujuannya, ternyata ia menolak dan berkata
“aku tidak perlu dia”. Aisyah pun menghardiknya seraya berkata:
Apakah engkau tidak senang (menerima) Amirul Mukminin? Ia (Ummu
Kultsum) pun menjawab, ya. Aku menolaknya karena (Umar Bin Khatab)
berkehidupan kasar dan cenderung keras terhadap wanita”.17
Menanggapi penolakan Ummu Kultsum terhadap Umar bin Khattab
tersebut, Aisyah tidak ingin memberitahukannya kepada Umar. Aisyah
malah meminta kepada Amru bin Ash untuk berkenan sebagai sebagai
mediator dalam menyampaikan perihal penolakan Ummu Kulsum
kepada Umar.
Berkat kecerdikan dan kepiawaian Amr Bin Ash dalam mengantar
sesuatu, ia mendatangi Umar dan memulai pembicaraan, Hai Umar, ”ada
berita buruk yang sampai kepadaku. Aku berdoa semoga Allah SWT
melindungi kau darinya”. Umar bertanya”, Apa itu? Ia balik bertanya,
engkau melamar Ummu Kulsum binti Abu Bakar? Umar menjawab,
ya. Apakah mau merebut dia dariku? Ia berkata, tidak. Tapi ia masih
kecil, ia tumbuh dengan didikan Amirul Mukminin (Abu Bakar) dalam
kelembutan, sementara kau punya sifat keras, kami menghormatimu.
Kami tidak bisa mengubah salah satu sifat dan akhlakmu. Amru
berkata, aku yang akan berkata kepadanya. Aku tunjukkan kau pada
yang lebih baik, yakni Ummu Kulsum binti Ali bin Abi Thalib. Dengan
memperistrikannya, nasabmu akan berhubungan pada Rasulullah
SAW.18
4. Hak Wanita dalam Menentukan Kafa’ah
Dalam istilah fiqih “sejodoh” disebut “kafa’ah”, artinya ialah
sama, serupa, seimbang, atau serasi.19Kata ini merupakan kata yang
terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam QS. al-Ikhlas Ayat 4,
yang berarti “tidak suatu pun yang sama denganNya”.
‫َو َو ن َو ُك نَّل ُكن ُك ُك ًو ن َو َو ٌدن‬
Kafa’ah atau juga biasa disebut mukafa’ah secara bahasa adalah
kesejajaran atau egalitas dalam status dan tingkatan. Secara syariah,
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _385
kafa’ah adalah kesejajaran antara suami dan istri dalam kriteria-kriteria
tertentu yang bisa mencacatkan kehidupan berumah tangga. Namun ada
juga ulama yang menyatakan bahwa kafa’ah dikembalikan kepada adat
kebiasaan masyarakat.20
Kafa’ah menjadi hal penting bagi setiap individu yang condong
hidup dalam keseimbangan dan berposisi proporsional. Dalam surah
an-Nur, Allah SWT. Memberikan tamsil yang sangat baik tentang posisi
keseimbangan dan asas proporsional. Ayatnya berbunyi:
Artinya: Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak
baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik
(pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan lakilaki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang di
tuduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan
rizki yang mulia (yaitu surga). (QS. Al-Nûr/24:26)
Kafa’ah dalam perkawinan merupakan pendorong terciptanya
kebahagiaan dalam pergaulan suami dan istri, dan lebih menjamin
keselamatan wanita dari kegagalan rumah tangga.Menurut Sayyid
Sabiq, “jika laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam
akhlak serta kekayaan, tidaklah diragukan jika kedudukan antara lakilaki dan wanita sebanding akan merupakan faktor kebahagiaan hidup
suami istri dan lebih menjamin keselamatan wanita dari kegagalan
dan kegoncangan rumah tangga”.21Tujuan perkawinan akan tercapai
manakala keseimbangan antara kedua calon mempelai itu terpenuhi.
Sebetulnya kafa’ah itu bukanlah salah satu dari syarat mutlak yang
harus ada dalam perkawinan, karena pada dasarnya semua manusia di
hadapan Allah SWT. itu adalah sama. Bisa saja dalam melangsungkan
pernikahan tersebut tidak mempertimbangkan kafa’ah (sebanding)
asalkan keduanya, baik calon istri maupun calon suami ikhlas menerima,
tetap perkawinan dapat dilaksanakan dan sah nikahnya.
Islam memberikan batasan kafa’ah dari segi agama, karena dengan
386_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
agama seseorang akan menjadi lebih baik dan tanggung jawab terhadap
keluarganya. Seperti Rasulullah SAW. bersabda dalam sebuah hadits :
‫ ُهْيل َ ُه ا َ َُه‬: ‫ َ َا‬، ‫صلى هلل عليه وسلم‬
‫ َ ا َ يِب َ يِب‬، ‫ وايِب يِبد ليِبه‬، ‫ و يِبِل يِبِل‬،
‫ا اد يِبن‬
َ َ َ ََ َ
‫ َع يِبن الَّنيِب‬، ََ‫َعن َيِب ُه َ ْي‬
‫ َو يِبِلَ َسبيِب َه‬، َ‫ ايِب َ يِبِل‬: ‫َ َ ٍع‬
‫َ يِبَ َ َد َا‬
Artinya:“Dari Abi Hurairah ra berkata Rasulullah SAW: Perempuan itu
dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia.”(HR.
Bukhari)22
Menurut sebagian ulama, yang menjadi ukuran kufu’ adalah sikap
hidup yang lurus dan sopan, bukan dengan ukuran keturunan, pekerjaan,
kekayaan dan lain sebagainya.23 Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafa’ah
itu tidak ada ukurannya, semua manusia adalah sama dihadapan
Allah SWT., dan semua manusia adalah bersaudara,24mempunyai hak
yang sama, laki-laki muslim menikahi wanita muslimah, seperti dalam
kasus Rasulullah mengawinkan Zainab binti Jahs dengan Zaid bin
Harisah (bekas budak Rasul), mengawinkan Miqdad (orang miskin)
dengan Dhaba’ah binti Zubair bin Abdul Muthallib. Abu Hudzaifah
mengawinkan Salim seorang bekas budak wanita Anshar dengan
Hindun binti al-Walid bin Utbah bin Robi’ah. Bilal bin Rabah bekas budak
menikah dengan saudara wanita Abdu-Rahman bin Auf.25“Rasulullah
SAW.telah mengawinkan dua putrinya sendiri dengan Utsman bin Affan,
Zainab dengan Abd al-Ash bin Rabi’, sedangkan keduanya adalah dari
suku Abd al-Syams, Zainab binti Jahsy dengan Zaid bin Haritsah maula
beliau. Abu Huzaifah mengawinkan Salim bekas budak wanita Ansar
dengan Hindun binti al-Walid, Bilal bin Rabah kawin dengan saudara
wanita Abdurrahman bin Auf.
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _387
Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayahal-Mujtahid, berkata: pada
mazhab Maliki, tidak diperselisihkan lagi bahwa, jika ada seorang gadis
dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang laki-laki yang peminum khamr
atau laki-laki yang fasik, maka ia berhak untuk menolak perkawinannya,
dan hakim hendaknya memperhatikan hal ini agar supaya menceraikan
antara keduanya. Demikian juga jika ayahnya menikahkan anak gadisnya
dengan laki-laki yang berpenghasilan haram, dan suka mengancam
untuk perceraian, maka bagi wanita tersebut mempunyai hak untuk
menuntut pembatalan.26
5. Hak menerima Mahar
Penerimaan mahar oleh pihak wanita yang diterima dari pihak lakilaki dalam akad nikah adalah salah satu bukti nyata ajaran Islam dalam
menghargai sisi kesetaraan manusia. Alih-alih memiliki hak atas mahar,
kesengsaraan pihak wanita di zaman pra-Islam justru mengalami ujian
hidup yang sangat mengkhawatirkan. Bahkan yang paling mendasar
kesempatan kaum wanita untuk hidup sekalipun menjadi kisah yang
mustahil ada dan didapatkan pada masa-masa pra Islam.
Hingga akhirnya Islam datang dan menghilangkan belenggu
kesengsaraan ini. Derajat wanita kemudian diangkat dengan setinggittingginya. Diantara tiga hak yang paling berharga yang diterima oleh
wanita dengan datangnya Islam adalah hak untuk hidup, hak untuk
menerima waris dan hak menerima mahar. Mahar (maskawin) di dalam
Islam diartikan sebagai” hak atas kekayaan (atau sesuatu yang bernilai)
bagi wanita, yang diwajibkan kepada laki-laki karena akad nikah”.Mahar
adalah pemberian wajib yang diberikan dan dinyatakan oleh calon suami
kepada calon istri di dalam sighat akad nikah yang merupakan tanda
persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami istri.27
Ada beberapa definisi mahar yang dikemukakan oleh ulama mazhab
diantanya mazhab Hanafi yang mendefinisikan mahar sebagai jumlah
harta yang menjadi hak istri karena akad perkawinan atau terjadinya
senggama dengan sesungguhnya. Ulama lainnya mendefinisikannya
388_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
sebagai harta yang wajib dibayarkan suami kepada istrinya ketika
berlangsung akad nikah sebagai imbalan dari kesediaan penyerahan
kepada suami (senggama) Ulama mazhab Maliki mendefinisikannya
sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli. Ulama
mazdhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai sesuatu yang wajib
dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. Sedangkan ulama
mazhab Hanbali mendefinisikannya sebagai imbalan dari suatu
perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan
setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan
oleh hakim. Termasuk juga kewajiban untuk melakukan senggama.
Sedangkan Quraish Shihab mengatakan bahwa mahar adalah lambang
kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri
dan anak-anaknya.28
Menurut Sayyid Sabiq mahar adalah harta atau manfaat yang wajib
diberikan oleh mempelai laki-laki dengan sebab nikah atau watha.”29
Mahar adalah: “harta benda tertentu yang diberikan oleh seorang lakilaki kepada seorang wanita ketika melakukan akad nikah”. Madzhab
syafi’i menyebut bahwa mahar ini sebagai kewajiban suami sebagai
syarat mendapatkan manfaat dari istri.30
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
mahar adalah sesuatu bentuk barang yang bermanfaat yang diberikan
oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita karena
adanya ikatan perkawinan sebagai pemberian yang wajib. Islam
sangat menghargai dan memperhatikan kedudukan wanita, dengan
memberikan hak kepadanya, maka mahar hanya diberikan kepada istri
bukan kepada orang tuanya sebagai ganti rugi karena anaknya diambil
oleh laki-laki lain. Allah SWT berfirman dalam QS.Al-Nisa/4: 4:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya..”
(QS. Al-Nisa/4: 4)
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _389
Maksud dari ayat di atas adalah bahwa mahar diartikan sebagai
pemberian yang wajib, (harus ada) apakah ia diberikan saat ijab qabul
atau setelah ijab qabul dalam akad nikah.
Jika mahar itu diberikan pada saat akad nikah, ini menunjukkan bahwa
seorang laki-laki itu bertanggung jawab kepada istrinya, ditandai dengan
pemberian mahar diawal. Dan mahar itu miliknya wanita atau istri,
bukan harta bersama dan bukan harta bawaan laki-laki yang diberikan
kepada istri. Jika suaminya meminjam maskawin maka suami wajib
membayarnya. Lain halnya bila istri itu dengan suka rela memberikan
semua atau sebagian mahar kepada suaminya maka ambillah harta itu
sebagai harta yang halal.
6. Perjanjian Perkawinan.
Dalam literatur fiqh klasik tidak ditemukan bahasan khusus
tentang perjanjian perkawinan. Meskipun terdapat bahasan yang
berkaitan dengan perjanjian, adalah tema “persyaratan dalam
perkawinan”. Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian
adalah karena perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh pihak-pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang ditentukan.
Hukum perjanjian dalam perkawinan adalah mubah,yang berarti
dibolehkannya seseorang untuk membuat perjanjian maupun tidak.
Jumhur ulama berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan
dalam bentuk pernjajian itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana
hukum memenuhi perjanjian lainnya,bahkan syarat-syarat yang
berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan, seperti
dalam hadits Rasulullah SAW:“Sesungguhnya syarat yang paling utama
dipenuhi ialah sesuatu yang dengannya kamu pandang halal hubungan kelamin
(perkawinan)”.31
Dalam hadis lain Rasulullah saw, bersabda:
ِ
ِِ
.‫َح ال َحَر ًاما‬
ُّ
َ ‫ْي الْ ُم ْسلم‬
َ ْ َ‫الصلْ ُح َجائٌز ب‬
ُ ‫ إِاَّل‬،‫ْي‬
َ ‫ أ َْو أ‬،‫صلْ ًحا َحارَم َح ََلًَّل‬
ِ ‫»والْمسلِمو َن علَى ُشر‬
ِ
ِ
‫ا‬
‫َح ال حراما‬
‫أ‬
‫َو‬
‫أ‬
،
‫َّل‬
‫َل‬
‫ح‬
‫م‬
‫ر‬
‫ح‬
‫ا‬
‫ط‬
‫ر‬
‫ش‬
‫َّل‬
‫إ‬
،
‫م‬
‫ه‬
‫وط‬
ً
َ
ً
‫ا‬
َ
َ ْ
َ ََ ْ
ْ ُ َ ُ ُْ َ
ِ ِ‫الصلْح جائِز ب ْي الْمسل‬
ِ
‫ا‬
.‫َح ال َحَر ًاما‬
‫أ‬
‫َو‬
‫أ‬
،
‫َّل‬
‫َل‬
‫ح‬
‫م‬
‫ر‬
‫ح‬
‫ا‬
‫ح‬
‫ل‬
‫ص‬
‫َّل‬
‫إ‬
،
‫ْي‬
‫م‬
ْ
ً
َ
‫ا‬
َ
َ ْ
َ ََ ً ُ
ْ ُ َ ْ َ ٌ َ ُ ُّ
ِ
ِ ِ
‫َح ال حراما‬
َ ‫ أ َْو أ‬،‫ إاَّل َش ْرطًا َحارَم َح ََلًَّل‬،‫»والْ ُم ْسل ُمو َن َعلَى ُشُروط ِه ْم‬
َ
390_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Artinya:”Berdamai dengan sesama muslimin itu diperbolehkan kecuali
perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu
yang halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah
mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau
menghalalkan suatu yang haram.”(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan
Ibnu Majah dari Amru bin Auf, diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu
Hurairah. At-Tirmidzi berkata, “Hadits shahih”)32
Nash lainnya yang turut membahas perjanjian perkawinan adalah
pendapat dari Umar bin Khattab, Saad bin Abi Waqas, Mu’awiyah, ‘Amru
bin ‘Ash, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus, Auza’iy, ishaq
dan golongan Hanbali, yang menyebutkan bahwa hukum perjanjian
perkawinan dibolehkan. Dengan demikian konsekuensi dari penepatan
atas perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak terkait adalah bernilai wajib
untuk ditunaikan dan dilaksanakan. Sebagaimana firman Allah swt,
dalam surah al-Maidah, ayat pertama berbunyi:
ِ ‫َّل‬
‫يي ءَ َمنُو أ َْوفُو بِااْ ُع ُقود‬
َ ‫يَاأَيُّ َها ا‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji”
Dalam satu riwayat dikisahkan, bahwa seseorang pasangan yang
menikah telah memiliki perjanjian untuk bertempat tinggal di rumah
sang istri. Namun jelang waktu tertentu sang suami berkeinginan untuk
mengajak pindah dari rumah sang istri. Melihat keinginan tersebut,
pihak keluarga dari sang istri pun mengadukan permasalahan itu kepada
Umar bin Khatab. Dalam keputusannya, Umar memastikan bahwa
pihak wanita lebih berhak atas janji yang disepakati bersama suami,
yaitu untuk menetap kembali bersama di rumah sang istri. Dengan
demikian tampaklah ketegasan khalifah Umar saat membatalkan hak
dasar seorang suami atas istri, dengan hujjah kesepakatan perjanjian
perkawinan.
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _391
Perjanjian perkawinan dalam pembahasan hukum positif, termaktub
secara luas dalam UU Perkawinan, diantaranya pasal 29 (3) Undangundang No 1 Tahun 1974 yang menjelaskan bahwa Perjanjian Perkawinan
mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Dalam Bab V tentang Perjanjian Perkawinan, tertulis 4 poin penting
yang berbunyi:
1.) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, yang
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
2.) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan keasusilaan.
3.) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4.) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat
diubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Secara rinci bentuk perjanjian perkawinan dibahas juga salah satunya
dalam Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu bahwa: Kedua calon
mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
a. Ta’lik talak.
b. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Tapi dalam praktiknya masih jarang yang melakukan,tidak
seperti halnya “ta’lik talak”, telah membumi di masyarakat,
setiap selesai ijab qabul, langsung naib menganjurkan kepada
pihak mempelai laki-laki untuk membaca ta’lik talak. Akan
tetapi perjanjian pranikah tidak semua masyarakat mengenal,
apalagi melakukannya.Bahkan ada yang beranggapan perjanjian
pranikah itu materialistis, egois, tidak rasioalis belum nikah sudah
membicarakan harta. Oleh karena itu masih diperlukan sosialisasi
kepada masyarakat.
392_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Dalam bagian ini dirinci beberapa poin atas kemanfaataan dari
perjanjian pranikah, diantaranya ialah:
a. Perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi secara hukum
harta bawaan masing-masing pihak (suami/istri).Artinyaperjanjian
perkawinan dapat berfungsi sebagai media hukum untuk
menyelesaikan masalah rumah tangga yang terpaksa harus
berakhir, baik karena perceraian maupun kematian. Dengan
adanya perjanjian perkawinan, maka akan jelas dibedakan mana
yang merupakan harta gono gini (yang perlu dibagi dua secara
merata), dan mana yang merupakan harta pribadi masing-masing
(tidak perlu dibagi).
b. Perjanjian perkawinan juga berguna untuk mengamankan aset
dan kondisi ekonomi keluarga. Jika suatu saat terjadi penyitaan
terhadap seluruh aset keluarga karena bisnis bangkrut, dengan
adanya perjanjian perkawinan, pasangan ekonomi keluarga
akan bisa aman. Ketika hendak membuat perjanjian perkawinan
pasangan calon pengantin biasanya memandang bahwa
perkawinan itu tidak hanya membentuk suatu rumah tangga saja,
namun ada sisi lain yang harus dimasukkan dalam poin-poin
perjanjian. Tujuannya tidak lain agar kepentingan mereka tetap
terjaga.
c. Perjanjian perkawinan juga sangat bermanfaat bagi kepentingan
kaum wanita. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka
hak-hak dan keadilan kaum wanita (istri) dapat terlindungi.
Perjanjian perkawinan dapat dijadikan pegangan agar suami
tidak memonopoli harta gono gini dan harta kekayaan pribadi
istrinya. Di samping itu dari sudut pemberdayaan wanita,
perjanjian tersebut bisa menjadi alat perlindungan wanita dari
segala kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (
KDRT ).33
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _393
Meski telah dituliskan secara gamblang dan jelas, baik dalam UUP
dan KHI, namun dalam perakteknya perjanjian perkawinan ini belum
familiar bagi masyarakat. Hal ini dipengaruhi budaya ketimuran yang
menempatkan pernikahan tidaklah sesuatu yang transaksional.
Dalam konteks yang luas, perjanjian perkawinan sangat diperlukan
terutama untuk memberikan jaminan atas rasa keadilan bagi setiap
pihak dalam berumah tangga.Kepastian akan terjaganya hak-hak
perempuan menjadi alasan tersendiri dalam penerapan perjanjian
perkawinan ini. Meski tidak menutup fakta bahwa laki-laki juga dapat
menjadi korban dalam rumah tangga, namun perjanjian perkawinan
lebih identik dengan penjagaan atas hak-hak perempuan. Perjanjian
perkawinan dinilai penting dan bermanfaat bagi semua wanita, bukan
dalam kapasitas cintanya atas harta, jabatan, atau kekuasaan, melainkan
semata mendambakan rasa keadilan.
D.Penutup
Berdasarkan penjelasan keseluruhan dari tulisan di atas, dapat
disimpulkan beberapa prinsip keadilan yang dapat diketahui dan
dipahami oleh pihak wanita sebelum memasuki ranah perkawinan.
Pertama, tentang hak wanita untuk memilih pasangan. Pada hak
pertama ini prinsip keadilan dalam Islam menjamin pihak wanita secara
otonom dan tanpa paksaan memilih pasangan yang akan dijadikan
pendamping hidup dalam perkawinan. al-Qur’an dengan tegas
menyatakan bahwa kejelian wanita dalam menentukan pilihan atas
pasangan menjadi utama, tidak hanya karena didasari oleh unsur emosi
biologis saja, melainkan diiringi pula oleh pertimbangan kesadaran
rasional juga atas dasar prinsip agama.
Kedua,hak wanita dalam lamaran atau khitbah, yang dipahami sebagai
sikap kemandirian yang diemban dalam menentukan akan terlaksana
atau tidaknya sebuah perkawinan. Khitbah kemudian ditamsilkan
sebagai pagar pembuka yang kelak mengantarkan pasangan calon
394_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
pengantin menuju ke gerbang pernikahan. Pengertian mendasar khitbah
tidak menyebabkan konsekuensi hukum apapun seperti yang berlaku
pada pernikahan. Khitbah tidak menghalalkan apapun, kecuali hanya
untuk saling memandang antara laki-laki dan wanita, sebagai media
untuk saling dapat menerima dengan penuh keihlasan atas kelebihan
dan kekurangan masing-masing.
Ketiga, hak wanita menolak lamaran. Seperti halnya hak wanita untuk
menerima lamaran dari pihak pelamar, urgensi akan prinsip keadilan
yang mengedepankan sisi kesetaraan dan kemandirian pilihan, bahwa
hak untuk menolak pun demikian. Dalam penolakan lamaran seorang
wanita seghalibnya tidak dipandang sebagai bentuk pembangkangan
atau sikap ketidaktaatan, melainkan layak dipahami sebagai sikap
pertimbangan yang bertanggung jawab dan matang.
Keempat, hak menentukan kafa’ah. Kafa’ah menjadi hal penting
bagi setiap individu yang condong hidup dalam keseimbangan dan
berposisi proporsional. Islam memberikan batasan kafa’ah dari segi
agama, karena dengan agama seseorang akan menjadi lebih baik dan
tanggung jawab terhadap keluarganya.
Kelima, adalah hak menerima mahar. Penerimaan mahar oleh pihak
wanita yang diterima dari pihak laki-laki dalam akad nikah adalah salah
satu bukti nyata ajaran Islam dalam menghargai sisi kesetaraan manusia.
Nilai kesetaraan yang bersumber dari prinsip keadilan dipandang tidak
hanya dari fase historis ketidakadilan wanita pra islam saja, melainkan
bahwa penerimaan mahar oleh pihak wanita berpotensi terhadap pola
pengaturan keluarga dalam sistem manaejemen ekonomi keluarga.
Karena dalam memasuki fase perkawinan posisi suami atau laki-laki
sebagai kepala keluarga membutuhkan modal utama yang dititipkan
melalui mahar terhadap wanita.
Keenam, hak membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan
dinilai penting dan bermanfaat bagi semua wanita, bukan dalam
kapasitas cintanya atas harta, jabatan, atau kekuasaan, melainkan dapat
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _395
mengantarkan posisi wanita kepada jaminan atas rasa keadilan di dalam
perkawinan.Demikian, melalui kajian hak-hak wanita pra-nikah ini,
sebaiknya tidak hanya memperkaya tema perkawinan an sich, melainkan
dapat juga menjadi pintu masuk untuk memahami prinsip-prinsip
keadilan dalam Islam yang lebih luas.
396_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Daftar Pustaka
Husein Muhammad Makalah “Kajian Keluarga Sakinah”, di Masjid
Agung Al Azhar Kebayoran Baru, Jakarta, 05 Juni 2005,
diselenggarakan atas kerjasama Rahima-Divisi Kajian YISC Al
Azhar.
Lilik Ummi Kultsum, “Hak-hak perempuan dalam Pernikahan Persfektif
Tafsir Sufistik” dalam Jurnal Journal of Qur’an and Hadith Studies,
Vol. II Tahun 2013, Jakarta
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1987
Rusyd, Ibnu, Bidaayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar
al-Fikri, t.th
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa, Moh Thalib, Bandung: Pt. Al –
Ma’arif, 1990
Sarifa Suhra “:Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Implikasinya Terhadap Hukum Islam”, dalam Jurnalal-Ulum, IAIN
Gorontalo, Volume. 13 Nomor 2
Shihab, Quraish, Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan
umat, Bandung: Mizan, 2006
al-Subki, Ali Yusuf Fiqh Keluarga
Jakarta:Penerbit Amzah, 2010
Pedoman
dalam
berkeluarga,
Susanto, Happy, Pembagian Harta Gono Gini Sat Terjadi Perceraian, Jakarta:
PT. Transmedia Pustaka, 2008, Catakan Kedua,
Tim Penulis Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an
tematik, Jakarta: Kamil Pustaka, 2014.
Tim Sinergi,Tatanan Berkeluarga Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Ketahanan
Keluarga Indonesia (LK3I), tanpa tahun,
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _397
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an,
Jakarta: Paramadina, 2001
Zahroh, Muhammad Abu, al-Ahwalu Asyahsiah, Mesir: Darul Fikri alArobi, 1957
UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Departemen Agama
398_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Endnotes
1. Sarifa Suhra , “Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Implikasinya Terhadap Hukum Islam”, dalam
Gorontalo, 2013, Volume. 13 Nomor 2, h. 374
Jurnalal-Ulum, IAIN
2. Ibid, h. 373
3. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, h.18-19.
4. Ibid, h. 248
5. UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Departemen Agama
6. Husein Muhammad , Artikel “Kajian Keluarga Sakinah”, di Masjid Agung
Al Azhar Kebayoran Baru, Jakarta, 05 Juni 2005, diselenggarakan atas
kerjasama Rahima-Divisi Kajian YISC Al Azhar.
7. Husein Muhammad, 2005.
8. Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an tematik, Jakarta: Kamil
Pustaka, 2014.
9. Ibid
10. Ibid
11. Ibnu Hisyam mengatakan, bahwa Khadijah adalah seorang perempuan
yang teliti, mulia dan cerdas. Bersamaan dengan kehendak Allah yang
memberinya kemuliaan, ketika seorang laki-laki bernama Maysarah
menemani Rasulullah dalam berdagang, menceritakan tentang akhlak mulia
Rasulullah kepada Khadijah. Dalam waktu yang tak cukup lama Khadjah
pun mengutus seseorang kepada Rasulullah, sembari mengatakan, “ Wahai
anak pamanku, sesungguhnya aku menyukaimu untuk menjadi kerabatmu”.
Selepas itu Rasulullah pun memberitahukan paman-pamannya, sehingga
hadirlah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan terjadilah peminangan dan
pernikahan di antara Khadijah dan Rasulullah. Lihat Dr. Ali Yusuf as-Subki
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita dalam Islam: Sebuah Kajian Pra-nikah _399
Fiqh Keluarga Pedoman dalam berkeluarga, Jakarta:Penerbit Amzah, 2010, h. 81
dan Ibn Hisyam dalam HamisySirah Nabawiyah Ibn Hisyam Jil.1/h.174.
12. Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1987, h. 28.
13. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Alih Bahasa, Moh Thalib, Bandung: Pt. Al –
Ma’arif, 1990, h. 31.
14. Muhammad Abu Zahroh, al-Ahwalu Asyahsiah, Mesir: Darul Fikri al-Arobi,
1957, h. 19
15. Tanpa ada nama pengarang, penerjemah, Tim Sinergi,Tatanan Berkeluarga
Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Ketahanan Keluarga Indonesia (LK3I), tanpa
tahun, h. 105.
16. Lih. Al-Naway, Syarh al-Nawawy ‘ala Muslim, Daar al-Khoir, 1996, hadis
nomor 2527
17. Tanpa ada nama pengarang, penerjemah, Tim Sinergi,Tatanan Berkeluarga
Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Ketahanan Keluarga Indonesia (LK3I), tanpa
tahun, h. 105
18. Ibid.
19. Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, ibid, h. 69.
20. Lilik Ummi Kultsum, “Hak-hak perempuan dalam Pernikahan Persfektif
Tafsir Sufistik,”dalam Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol. II Tahun 2013,
Jakarta, h. 167.
21. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ibid, h. 36.
22. Shahih Bukhari, no. 5090.
23. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ibid, h. 36.
24. ibid.
25. ibid.
26. Ibnu Rusyd, Bidaayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar alFikri, t.th, h.12.
400_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
27. Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan,ibid, h. 78.
28. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas pelbagai persoalan
umat, Bandung: Mizan, 2006, h. 204.
29. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ibid, h. 52.
30. Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘al Madzhab al-Arba’ah, Beirut: Darul
Fikr, t.t, Jil. IV, h. 94
31. Ibid
32. HR Tirmidzi, no. 1271. Hadits hasan shahih. Lihat juga shahih Bukhari 4/451.
Sunan ahmad 2/366, Sunan Abu Dawud no. 3594. Hadis ini diriwaytkan
dengan beberapa versi kualitas sanad yang berbeda.
33. Happy Susanto, “Pembagian Harta Gono Gini Sat Terjadi Perceraian, Cetakan
Kedua, PT. Transmedia Pustaka, Jakarta, 2008, h. 81.
Pedoman
Transliterasi
Revitalisasi Peran
dan Fungsi
Keluarga _401
_413
Pedoman Transliterasi
402_JurnalBimas
BimasIslam
IslamVol.5.
Vol.9.No.2
No.II2012
2016
414_Jurnal
Ketentuan Tulisan _402
A. Ketentuan Tulisan
1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf,
dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait
pengembangan masyarakat Islam lainnya.
2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris
dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font
Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17
halaman dengan spasi satu setengah.
3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika
sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords .
Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan.
Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut
dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah.
4. JUDUL
a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak
melebihi 18 kata.
b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan
alamat e-mail dicetak di bawah judul.
c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa
(Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata)
ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf
miring.
d. Tulisan menggunakan endnote
e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama
pengarang dengan ketentuan sebagai berikut:
• Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang
pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota
Penerbit: Penerbit.
• Untuk karangan dalam buku dengan banyak
kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul
Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
Prinsip-prinsip Keadilan Wanita Revitalisasi
dalam Islam:Peran
Sebuah
danKajian
FungsiPra-nikah
Keluarga _403
_415
Penerbit: Penerbit. Halaman.
• Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama
Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah,
Volume (Nomor): Halaman.
• Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang.
Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ).
Tanggal mengakses karangan tersebut.
5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan
Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya
sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel
dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar
tersendiri dengan kualitas yang baik.
6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang
dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah
tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/
flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam
([email protected]).
404_Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.II 2016
Download