Mudik dan Tradisi Ruhani Rabu, 8 Agustus 2012 09:54 wib Sudah seperti kendala musiman dimana-mana terlihat hiruk pikuk di titik tertentu seperti Stasiun KA, Bandara dan Pelabuhan orang-orang rela mengantre berjubel hanya untuk bertemu sanak saudara di kampung halaman. Mudik, secara harafiah berarti pergi ke udik. Dan kini, dalam perjalanan sejarahnya, mudik telah menjadi bagian dari prosesi perjalanan besar, ramai, dan meriah ke suatu tempat yang dianggap paling dasar dari petualangan hidup dari masyarakat modern yang disebut udik. Udik, sering diibaratkan sebagai bagian paling hulu di sungai nun jauh di dalam, di daerah-daerah pegunungan, tempat pembudayaan budaya-tradisi kehidupan umat manusia mulai ditumbuhkembangkan. Dari udik itu pulalah tertanam "sumber kehidupan" sekaligus "sumber kerinduan" yang dibatinkan oleh setiap manusia, khususnya manusia-manusia pada zaman modern di perkotaan yang telah mengalami transformasi sosok. Dalam hal ini, masyarakat modern, seperti Jakarta, yang sering mengalami kendala psikologis dan sosiologis serta kekosongan humanistik-batiniah-ruhaniah sebagai masyarakat metropolitan yang telah mengalami transformasi sosok tersebut, merasa tercambuk untuk mudik agar bisa meraih kembali kunci "psikoanalistik humanistik" meminjam Erich Fromm- yang salah satunya adalah dengan cara menghidupkan kembali "kultur kekerabatan" yang dalam Islam disebut bersilaturahim. Karena itulah, para pemudik menjadi tidak peduli dengan banyaknya energi yang harus dikeluarkan, seperti harus antre berhari-hari untuk bisa mendapatkan tiket dan dalam perjalanan harus melewati medan yang berat serta tingginya risiko yang harus dihadapi, seperti kecelakaan dan kriminalitas. Mereka pun yakin bahwa dengan bersilaturahim di kampung halaman bersama anggota keluarga dan handai taulan setelah mengalami pendadaran puasa, mereka akan menemukan kembali jati dirinya dan menimba kembali semangat dan kekuatan baru untuk menjadi "penangkal" dan "senjata" dalam menghadapi realitas kerasnya persaingan dalam kehidupan ini. Mencari jawaban spiritual Oleh karena itu, dalam peradaban modern ini, mudik perlu dimaknai sebagai sebuah prosesi spiritual. Sebab, dari balik prosesi mudik itu sebenarnya dalam alam keruhanian bergema keinginan manusia untuk menoleh ke belakang mencari akar spiritual peradaban yang terabaikan. Dan juga dalam kehidupan manusia selalu menyembul pertanyaan eksistensial kemanusiaan, yaitu bagaimana membangun suatu kerangka pemikiran sebagai basis keutuhan peradaban baru dalam menyelaraskan fisik-jasmaniah dengan kebutuhan akan spiritual-ruhaniah sesuai dengan prinsip dualitas manusia; jasmani dan ruhani. Hanya orang-orang berimanlah yang sanggup menempatkan prinsip dualitas; badan-ruh-tubuh-jiwa pada porsi yang sebenarnya. Sebab, dalam "peziarah" iman sebagai epistemologi kehidupan, akan memberikan kemampuan kepada siapa saja yang berusaha secara maksimal untuk meningkatkan kualitas hidup atau mutu prosesi hidup menuju Sang Khalik. Orang semacam ini, menurut filsuf modern Rene Descartes, orang bukan hanya mampu melihat jiwa di dalam seluruh prosesi dirinya, tetapi juga hakikat Allah. Karena, dalam seluruh prosesi hidup manusia kaum beriman, tidak lebih daripada ziarah menapaki tangga menuju tingkat yang lebih tinggi-sempurna untuk memperoleh kesejatian diri hingga mendapatkan kesempurnaan bersama Sang Khalik. Maka, dalam hal ini prosesi mudik sebenarnya juga merupakan peristiwa transformasi spiritual dari peziarahan kaum beriman dalam mewujudkan solidaritasnya terhadap sesama manusia yang dibelenggu oleh kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan di tengah peradaban modern. Spiritualitas mudik mengingatkan kita akan keluhuran manusia yang masih memiliki semangat asal yang sekaligus mendorong kita dalam mewujudkan nilai-nilai yang bersifat transenden untuk menghindari segala belenggu hedonisme-materialisme yang tercipta di tengah peradaban modern. Tampaknya para pemudik cukup menghayati prosesi mudik sebagai sebuah perjalanan spiritual, yakni kembali ke udik untuk menimba semangat religiositasnya di arena sosial yang masih dikepung aneka kesulitan. Karenanya dalam pergerakan ekstra massal dengan jangkauan geografis yang kolosal tersebut, para pemudik selalu tidak memedulikan kalkulasi penalaran ekonomi, seperti uang dan sarana transportasi. Yang terpenting dari mereka adalah masing-masing saling membatinkan keruhanian sekaligus menjadi pilar peradaban, kemudian menjadi pijar-pijar yang memercikkan keputusan-keputusan hidup yang menjadi penuntun hidup selanjutnya pascamudik. Prosesi mudik juga hakikatnya memiliki dimensi sosial. Sebab, apa pun bobot aktivitas spiritual-keruhanian, ia hanya akan memiliki makna dalam konteks sosial. Di sinilah implementasi dari aktivitas mudik seperti Lebaran mendapat tempat, sosok, dan hakikatnya. Artinya, apa pun dimensi spiritual di dalamnya, ia harus ditransformasikan dalam dimensi sosial dan budaya agar kebahagiaan religius dapat dirasakan, baik secara etik maupun moral. Bahwasanya dalam prosesi mudik itu, semua orang tanpa pandang status sosial, ekonomi, dan politik, memiliki kesempatan yang sama untuk kembali ke pusat-pusat kehidupan tradisional, ke titik-titik pijak dasar kemanusiaan di suatu tempat yang bernama udik. Dalam kebersamaan tanpa perbedaan status sosial ini, prosesi mudik dapat dijadikan sebagai momentum yang penting, semacam introspeksi diri untuk mencari peran baru dalam membantu memecahkan masalah-masalah kemanusiaan Dari situ pulalah dapat tercipta suatu ruang keharmonisan kita dalam masyarakat plural tanpa ada lagi sekatsekat egoisme-egoposentrisme dan blok-blok psikologis, pranata-pranata, dan tata sosial yang selama ini sangat membedakan antara individu dan kelompok yang satu dengan yang lain. Karena memang dalam birokrasi kantor dan sistem-sistem sosial lainnya, yang sebenarnya manusia sanggup dan seharusnya dapat saling 'mengikat' dan saling menghormati satu sama lain dalam pola tatanan yang kolektif, namun sering kali tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan sejati, yakni kebersamaan. Oleh karena itu, sangat diharapkan, dari cahaya terang-benderang Idul Fitri, yang diperoleh lewat perjuangan dalam ujian pendadaran puasa dan ditambah lagi dengan spirit prosesi mudik, dapat menjadi area pelahiran kembali 'manusia-manusia baru' dalam diri para pemudik dan menjadi titik tolak baru bagi kehidupan kemanusiaannya, 'tubuh dan jiwa, badan dan ruh'. Dengan demikian, proses mudik Lebaran ber-Idul Fitri itu sendiri niscaya akan menjadikan para pemudik atau para peraya-perayanya untuk mampu melihat bahwa di balik kehidupan riil sosial, masih terbentang luas kepincangan sosial, ekonomi, politik, serta bisa terbuka kerudung nuraninya untuk ikut membenahi moralitas bangsa kita yang masih tertinggal diburitan peradaban. Ayipudin el Rabani Pengurus PP HIMA Persis, Peneliti Institute for Education Cultur & Information (IECI Jakarta) (//mbs)